Keimanan dengan wujud Allah merupakan salah satu dari bagian yang wajib diimani dari bagian rukun iman yang pertama, yaitu iman kepada Allah. Dijelaskan oleh Syekh Shalih Al-‘Ushaimi hafizhahullah dalam Syarah Tsasalatul Ushul karya beliau,
“Kadar wajib dari keimanan kepada Allah adalah iman tentang adanya wujud Allah dan bahwasanya Allah adalah Tuhan semesta alam yang berhak diibadahi dan memiliki berbagai nama dan sifat yang sempurna.” (Syarah Tsalatsatul Ushul Li Syaikh Al-‘Ushaimi, hal. 55)
Demikian juga, hal yang sama disampaikan oleh Syekh Abdullah Al-Fauzan dalam Hushulul Ma’mul,
“Iman kepada Allah mengandung empat unsur wajib, yaitu: 1) iman terhadap adanya Allah, 2) iman kepada rububiyah Allah, 3) iman kepada uluhiyah Allah, dan 4) iman bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna.” (Husulul Ma’mul Fii Syarhi Tsalatsatil Usul, hlm. 142)
Oleh karena itu, jika seseorang mengaku beriman kepada Allah, haruslah terpenuhi dalam keyakinannya tentang empat hal di atas. Jika hilang salah satunya atau tidak terpenuhi, maka iman kepada Allah tidak sah.
Seluruh manusia telah bersepakat, kecuali yang menyimpang, bahwasanya mengetahui adanya wujud Allah tidak dapat dicapai dengan cara melihat wujud-Nya tatkala kita di dunia. Hal ini berdasarkan firman Allah,
وَلَمَّا جَاۤءَ مُوسَىٰ لِمِیقَـٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِیۤ أَنظُرۡ إِلَیۡكَۚ قَالَ لَن تَرَىٰنِی وَلَـٰكِنِ ٱنظُرۡ إِلَى ٱلۡجَبَلِ فَإِنِ ٱسۡتَقَرَّ مَكَانَهُۥ فَسَوۡفَ تَرَىٰنِیۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلۡجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكࣰّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقࣰاۚ فَلَمَّاۤ أَفَاقَ قَالَ سُبۡحَـٰنَكَ تُبۡتُ إِلَیۡكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ
“Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, (Musa) berkata, ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.’ (Allah) berfirman, ‘Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala), niscaya engkau dapat melihat-Ku.’ Maka ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) kepada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, ‘Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.’” (QS. Al-A’raf: 143)
Selain dari ayat di atas, juga terdapat hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda,
تَعَلَّمُوا أنَّهُ لَنْ يَرَى أحَدُ مِنْكُمْ رَبَّهُ حَتَّى يَمُوْتَ
“Ketahuilah oleh kalian, bahwasanya salah seorang di antara kalian tidak akan dapat melihat Tuhannya sampai kalian meninggal (mati).” (HR. Muslim no. 169)
Hadis di atas menceritakan bahwa mustahil bagi seorang hamba ketika masih hidup di dunia untuk melihat Allah Ta’ala. Oleh karena itu, cara (metode) untuk mengimani adanya (wujud) Allah bagi seorang hamba adalah melalui beberapa metode berikut ini.
Pertama: Mengetahui wujud Allah dengan cara sam’iyyat
Yaitu bergantung dengan adanya kabar dari wahyu. Kabar dari wahyu ini diperoleh melalui dakwah para nabi dan rasul. Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala,
وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan Kami mewahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)
Pendapat pertama ini adalah jalan ahlussunnah waljamaah dalam menetapkan eksistensi wujud Tuhan. Akan tetapi, perlu digaris bawahi bahwa maksud mereka dalam hal ini hanyalah dalam aspek perincian. Mereka tidak memaksudkan pembatasan sahnya iman terhadap wujud Allah hanya berdasarkan dalil wahyu semata. Akan tetapi, mereka juga menetapkan bahwa ada dalil telaah akal yang telah menjadi fitrah bagi manusia, yaitu sengan cara tafakkur terkait penciptaan Allah. Dalil telaah akal/ logika ini menegaskan bahwa penciptaan dan pengaturan alam semesta yang begitu sempurna menunjukkan bahwa ada Tuhan yang Mahakuasa atas semua yang terjadi dan tercipta di alam semesta.
Kedua: Mengetahui wujud Allah dengan dalil ilham
Dalil ilham ini akan dilakukan ketika seorang itu telah menjadi mukallaf (balig dan berakal). Dia harus mencari ilham pengetahuan tentang wujud Allah, bukan menggunakan dalil wahyu maupun dalil telaah akal (logika). Pendapat ini dipegang oleh kebanyakan dari kalangan sufi dan syi’ah. Cara untuk mendapatkan ilham pengetahuan yang sempurna, tingkat keyakinan bahwa Allah itu ada adalah dengan berpaling dari kesibukan-kesibukan dunia dan sangat perhatian terhadap zikir, riyadhah (dengan taat syariat dan perbaikan akhlak), penyucian hati, dan khalwat (menyendiri untuk fokus sibuk beribadah) sampai nanti turun ilham tersebut.
Ketiga: Mengetahui wujud Allah dengan melalui metode telaah akal (logika)
Dalil telaah akal ini terbagi menjadi dua, a) telaah akal versi ahlussunnah waljamaah; dan b) telaah akal versi para ulama kalam.
Telaah akal versi ahlussunnah waljamaah
Adapun telaah akal versi ahlussunnah dapat kita namai dengan telaah akal yang syar’i karena berdasarkan bukti-bukti logis mengenai wujud Allah, baik yang dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadis, maupun dengan cara tafakkur dan tadabbur pikiran terkait ayat-ayat Allah kauniyah (penciptaan makhluk). Salah satu contoh dalil telaah akal ini dalam Al-Qur’an adalah firman Allah,
ٱلَّذِینَ یَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِیَـٰمࣰا وَقُعُودࣰا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَیَتَفَكَّرُونَ فِی خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَـٰذَا بَـٰطِلࣰا سُبۡحَـٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali ‘Imran: 191)
Dalam ayat lain, Allah juga memerintahkan untuk memikirkan dan merenungi ayat-ayat kauniyyah Allah yang besar dari kerajaan alam semestanya,
أَوَلَمۡ یَنظُرُوا۟ فِی مَلَكُوتِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا خَلَقَ ٱللَّهُ مِن شَیۡءࣲ وَأَنۡ عَسَىٰۤ أَن یَكُونَ قَدِ ٱقۡتَرَبَ أَجَلُهُمۡۖ فَبِأَیِّ حَدِیثِۭ بَعۡدَهُۥ یُؤۡمِنُونَ
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala apa yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya waktu (kebinasaan) mereka? Lalu berita mana lagi setelah ini yang akan mereka percayai?” (QS. Al-A’raf: 185)
Dalil telaah akal (logika) yang syar’i menurut ahlussunnah ini dapat berupa beberapa dalil-dalil turunan yang banyak, di antaranya:
Pertama: Dalil penciptaaan
Dalil penciptaan ini berdasarkan bukti terciptanya makhluk setelah sebelumnya tidak ada dan merupakan bukti yang pasti adanya Yang Mahapencipta. Hal ini karena kaidah logika bahwa sesuatu yang dicipta itu pasti ada yang mencipta. Atau, keberadaan dan lenggengnya sesuatu yang dicipta itu bergantung kepada yang menciptakannya. Hal ini selaras dengan yang Allah Ta’ala firmankan agar orang-orang musyrik berpikir terkait penciptaan mereka,
أَمۡ خُلِقُوا۟ مِنۡ غَیۡرِ شَیۡءٍ أَمۡ هُمُ ٱلۡخَـٰلِقُونَ
“Atau apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. Ath-Thur: 35)
Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan dalam Tafsir-nya terkait ayat di atas,
وهذا استدلال عليهم، بأمر لا يمكنهم فيه إلا التسليم للحق، أو الخروج عن موجب العقل والدين، وبيان ذلك: أنهم منكرون لتوحيد الله، مكذبون لرسوله، وذلك مستلزم لإنكار أن الله خلقهم.
وقد تقرر في العقل مع الشرع، أن الأمر لا يخلو من أحد ثلاثة أمور:
إما أنهم خلقوا من غير شيء أي: لا خالق خلقهم، بل وجدوا من غير إيجاد ولا موجد، وهذا عين المحال.
أم هم الخالقون لأنفسهم، وهذا أيضا محال، فإنه لا يتصور أن يوجدوا أنفسهم
فإذا بطل [هذان] الأمران، وبان استحالتهما، تعين [القسم الثالث] أن الله الذي خلقهم، وإذا تعين ذلك، علم أن الله تعالى هو المعبود وحده، الذي لا تنبغي العبادة ولا تصلح إلا له تعالى.
“Ayat tersebut adalah bukti (hujjah) atas mereka yang tidak ada yang bisa dilakukan oleh mereka kecuali hanya dengan menerima kebenaran ayat ini atau mereka memilih untuk keluar dari konsekuensi aksiomatis akal dan agama (bahwa mereka itu tercipta, bukan mencipta). Penjelasannya sebagai berikut,
Ketika mereka (orang-orang musyrik) mengingkari ketauhidan Allah dan mendustakan rasul Allah, maka hal ini berkonsekuensi bahwasanya mereka mengingkari bahwa Allah telah menciptakan mereka (karena yang mencipta itulah yang berhak disembah).
Telah terpatri dalam aksiomatis logika akal dan agama bahwasanya hakikat penciptaan makhluk itu tidak terlepas dari tiga kemungkinan:
Pertama: Mereka (makhluk) tercipta tanpa ada yang mencipta sama sekali, maka tidak ada sang Pencipta yang menciptakan mereka (makhluk). Bahkan, mereka tercipta tanpa ada peristiwa penciptaan dan pelaku yang menciptakan mereka. Gambaran kemungkinan pertama ini nyata kemustahilannya.
Kedua: Merekalah yang menciptakan diri mereka sendiri. Gambaran kedua ini juga mustahil karena tidak mungkin dapat dibayangkan bahwa mereka sendirilah yang menciptakan diri mereka sendiri.
Jika dua kemungkinan gambaran di atas adalah batil (tertolak) dan telah jelas kemustahilannya, maka tersisalah kemungkinan ketiga yaitu,
Ketiga: Allahlah yang menciptakan mereka (para makhluk). Jika telah terbukti pilihan terakhir ini, maka berkonsekuensi tidak boleh tidak bahwa sesembahan yang benar (haq) adalah Allah semata yang seluruh ibadah tidak diperkenankan diserahkan dan tidak sah, kecuali hanya untuk Allah Ta’ala semata.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 781)
Kedua: Dalil beragamnya dan berubah-ubahnya kondisi makhluk
Dalil ini merupakan salah satu bukti bahwa ada Yang Mahamengatur alam semesta ini dengan segala keberagaman dan berubah-ubahnya sifat dari makhluk. Salah satu uraian yang menarik dibawakan oleh Ibnul Qayyim tentang dalil ini. Beliau rahimahullah berkata,
“Termasuk ayat-ayat (adanya Allah), adalah bumi ini dijadikan memiliki banyak jenis dan beragam sifat dan manfaat, padahal tanah-tanah tersebut berdekatan dan bersinggungan. Tanah yang ini lunak dan yang itu keras dan saling berdekatan dan bersinggungan. Tanah ini dapat ditumbuhi tanaman dan yang itu tidak dapat ditumbuhi tanaman juga saling berdekatan dan bersinggungan. Tanah yang ini adalah tanah liat dan bersinggungan dengan tanah berpasir. Tanah yang ini bersifat keras dan tanah yang itu lembek saling bersinggungan pula. … Tanah yang ini datar dan yang itu penuh dengan perbukitan dan gunung-gunung. Tanah yang ini tidak bisa gembur, kecuali dengan hujan. Dan ada tanah yang jika terkena hujan malah tidak gembur. Dan ada pula tanah yang tidak akan baik, kecuali jika diairi dengan air sungai. Maka Allah menurunkan hujan di tempat yang jauh lalu mengalir melewati sungai-sungai sehingga dapat menjangkau tanah tadi. Sungguh betapa indahnya dan cukup satu ayat dari ayat-ayat tadi menunjukkan bahwa Allah itu ada, yang sifat dan perbuatan-Nya sempurna, dan menunjukan atas kebenaran para rasul-Nya.”
Ibnu Katsir rahimahullah juga menjelaskan tentang uraian yang semisal dengan berkata,
“Siapa saja yang merenungkan ciptaan yang ada di bumi maupun di langit dan perbedaan bentuk, warna, karakter, fungsi, dan peletakannya pada ukuran dan kadar yang pas, maka akan mengetahui kekuatan Penciptanya dan sifat bijaksana, keilmuan, keteraturan, dan kebesaran kekuasaannya-Nya. Diceritakan dari Ar-Razi dari Imam Malik rahimahullah bahwasanya Harun Ar-Rasyid bertanya kepada Imam Malik tentang adanya wujud Allah. Maka, beliau menjawab dengan keberagaman bahasa, suara, dan nada intonasi manusia.
Selain itu, diceritakan juga dari Imam Asy-Syafii bahwa beliau ditanya tentang adanya wujud Allah. Beliau rahimahullah menjawab, “Satu jenis daun tuut (satu jenis pohon) memiliki satu rasa. Apabila daun ini dimakan oleh ulat, maka akan keluar ibraisam (jenis sutra). Sedangkan jika dimakan oleh lebah, maka akan keluar madu. Sementara apabila dimakan oleh kambing, unta, dan hewan ternak, maka akan keluar berak dan kotoran. Kemudian, apabila dimakan oleh rusa, maka akan menghasilkan minyak kasturi. Padahal seluruh hasil tadi berasal dari satu jenis daun yang sama.”
Ketiga: Dalil kefakiran makhluk
Setiap makhluk tidak boleh tidak membutuhkan makhluk yang lain. Bahkan, layaknya menjadi syarat kehidupan di antara mereka. Kemudian setiap makhluk juga tidak dapat melakukan sesuatu dengan sendirinya. Melakukan sesuatu dengan sendirinya tanpa ada bantuan pihak lain merupakan kekhususan yang dimiliki oleh Allah. Oleh karena itu, adanya sifat butuhnya makhluk kepada sesuatu yang lain merupakan bukti bahwa ada Yang Mahakaya di antara semua makhluk yang ada. Hal ini dikarenakan tidak disebut fakir, kecuali ada yang Mahakaya yang menjadi tempat bergantung seluruh yang fakir. Allah Ta’ala berfirman,
ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ
“Allah tempat meminta segala sesuatu.” (QS. Al-Ikhlas: 2)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata,
اللهُ الصَّمَدُ؛ أي: المقصود في جميع الحوائج؛ فأهل العالم العلوي والسفلي مفتقرون إليه غاية الافتقار، يسألونه حوائجهم، ويرغبون إليه في مهمَّاتهم؛ لأنه الكامل في أوصافه، العليم الذي قد كمل في علمه، الحليم الذي قد كمل في حلمه، الرحيم الذي كمل في رحمته، الذي وسعت رحمته كل شيء، وهكذا سائر أوصافه.
“Allah adalah tempat bergantung seluruh makhluk, maksudnya adalah tempat bergantung seluruh makhluk dalam setiap hajat-hajat mereka. Maka, seluruh makhluk yang berada di langit dan di bumi membutuhkan Allah dengan kondisi sangat membutuhkan (pertolongan-Nya). Mereka (makhluk) meminta agar dilancarkan urusan-urusan mereka dan menggantungkan harapan kepada-Nya dalam perkara-perkara yang penting dari mereka. Semua ini karena Allah Mahasempurna dalam segala sifat-sifat-Nya. Dia adalah Yang Mahamengetahui yang sempurna pengetahuan-Nya. Dia adalah Yang Mahalembut yang sempurna kelembutan-Nya. Dia adalah Yang Maha Penyayang yang sempurna kasih sayang-Nya. Dia adalah yang Mahaluas rahmat-Nya, dan begitu pula sifat-sifat Allah yang lain.” (Taisiru Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 896-897)
Keempat: Dalil penciptaan yang sempurna
Alam semesta dengan kebesaran dan kebagusannya itu cocok dengan keberadaan manusia. Alam semesta ini layaknya telah dipersiapkan untuk kelangsungan hidup dan eksistensi seluruh makhluk dengan sangat cocok dan pas. Maka, keselarasan dan kesesuaian dari alam semesta ini secara aksiomatis melahirkan keyakinan adanya Sang Pencipta dan kesempurnaan-Nya. Hal ini karena tidak mungkin adanya alam semesta yang sempurna penciptaannya ini terjadi hanya kebetulan dan tanpa kesengajaan saja. Allah Ta’ala berfirman,
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ٱلَّذِی جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ فِرَ ٰشࣰا وَٱلسَّمَاۤءَ بِنَاۤءࣰ وَأَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَاۤءِ مَاۤءࣰ فَأَخۡرَجَ بِهِۦ مِنَ ٱلثَّمَرَ ٰتِ رِزۡقࣰا لَّكُمۡۖ فَلَا تَجۡعَلُوا۟ لِلَّهِ أَندَادࣰا وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 21-22)
Allah Ta’ala juga berfirman pada ayat lain,
ٱلَّذِیۤ أَحۡسَنَ كُلَّ شَیۡءٍ خَلَقَهُۥۖ وَبَدَأَ خَلۡقَ ٱلۡإِنسَـٰنِ مِن طِینࣲ
“Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.” (QS. As-Sajdah: 7)
Itulah beberapa hal yang terkait dengan dalil-dalil yang paling terlihat dalam kehidupan kita terkait adanya wujud Allah. Oleh karena itu, semoga dari berbagai pelajaran di atas akan semakin menguatkan dan mengingatkan kita semuanya terkait pentingnya mengimani wujud Allah, berikut juga dengan seluruh sifat-sifat-Nya yang sempurna. Mengingat sangat penting pada hari ini dan zaman ini, banyak dari kalangan-kalangan yang memusuhi Islam mencoba untuk memasukkan karaguan ke dalam umat Islam mengenai kebenaran agama ini, bahkan membuat bingung tentang eksistensi wujud Allah sebagai Tuhan semesta alam. Wallahu Ta’ala a’lam.
***
Penulis: Sakti Putra Mahardika
Catatan kaki:
Diringkas dari Kitab Al-Fawaid Al-Masthurah karya Dr. Kamilah Al-Kawari, hlm. 21-32 cetakan Dar Ibnu Hazm.
Referensi tambahan:
Taisir Al-Karim Ar-Rahman karya Syekh Abdurrahman As-Sa’di cetakan Dar Ibnu Hazm.
Husulul Ma’mul Fii Syarhi Tsalatsatil Usul karya Syekh Dr. Abdullah Al-Fauzan cetakan Dar Ibnu Al-Jauzi.
Syarah Tsalatsatul Ushul Li Syaikh Al-‘Ushaimi
© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78068-cara-mengimani-wujud-allah-taala.html