Apa Perbedaan Antara Hadits, Khabar, dan Atsar?

Pertanyaan:

Saya ingin tanya, apa perbedaan antara hadits, atsar, dan khabar? Karena saya sering membaca tulisan para ustadz yang menyebutkan hadits dengan istilah khabar. Mohon penjelasannya.

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursalin, Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.

Yang pertama, kami akan jelaskan dahulu definisi hadis.Al-haditssecara bahasa Arab artinya baru. Secara istilah, hadis adalah semua yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, atau sifat. Dengan kata lain, riwayat yang bercerita tentang perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu disebut hadis. Demikian juga riwayat yang bicara tentang perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau persetujuan beliau terhadap perbuatan para sahabat, atau tentang karakteristik beliau, maka ini semua termasuk hadis.

Istilah “hadits” ini disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نضَّرَ اللَّهُ امرأً سمعَ منَّا حديثًا فحفظَهُ حتَّى يبلِّغَهُ فربَّ حاملِ فقْهٍ إلى من هوَ أفقَهُ منْهُ وربَّ حاملِ فقْهٍ ليسَ بفقيهٍ

“Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar hadis dariku, kemudian ia menghafalnya hingga menyampaikannya kepada orang lain. Betapa banyak orang yang membawa ilmu namun ia menyampaikannya kepada orang yang lebih memahaminya. Betapa banyak orang yang membawa ilmu namun ia tidak memahami ilmu.” (HR. Abu Daud no.3660, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)

Sebagian ulama mengatakan bahwa hadis, atsar, dan khabar maknanya sama, yaitu semua yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, atau sifat. Sehingga boleh saja seseorang menyebut hadis dengan istilah khabar atau atsar.

Namun, istilahkhabarmaknanya berbeda dengan hadis atau lebih umum. Istilah khabar juga digunakan untuk:

a. Semua riwayat yang datang dari selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga jika riwayat tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, disebut dengan hadis. Adapun jika selain dari beliau, maka disebut dengan khabar.

b. Semua riwayat yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun dari selain beliau. Sehingga makna khabar di sini lebih umum dari hadis (Taisir Musthalahul Hadits, Mahmud ath-Thahhan, hal. 14).

Bahkan istilah “khabar” juga digunakan untuk semua kabar dari orang-orang setelah masa salaf sampai zaman sekarang. Syaikh ‘Amr bin Abdil Mun’im Salim menjelaskan:

الخبر هو ما نسب إلى النبي صلى الله عليه وسلم أو إلى أحد من الصحابة, أو من التابعين, أو من تابعيهم, إلى عصرنا هذا. فكل حديث خبر, وليس كل خبر حديث

“Khabar adalah semua (riwayat) yang dinisbatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kepada salah satu sahabat Nabi, atau tabi’in, atau tabi’ut tabi’in, dan seterusnya sampai orang-orang di zaman kita. Maka setiap hadis adalah khabar, namun tidak semua khabar adalah hadis.” (Maa Laa Yasa’a al-Muhadditsu Jahluhu, hal. 26)

Demikian juga istilah atsar, terkadang juga digunakan untuk menyebutkan riwayat dari sahabat Nabi atau dari tabi’in. Sehingga jika riwayat tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, disebut dengan hadis. Adapun jika selain dari sahabat atau tabi’in, maka disebut dengan atsar (Taisir Musthalahul Hadits, Mahmud ath-Thahhan, hal. 15).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

الحديث ما ينسب إلى الرسول صلى الله عليه وسلم يقال له: حديث، والأثر يطلق على ما ينسب إلى الرسول صلى الله عليه وسلم، وعلى ما ينسب إلى الصحابة والتابعين، يقال له: أثر، والغالب أن الأثر ما يروى عن الصحابة والتابعين، يسمى أثراً، وما يطلق عليه حديث هو ما ينسب إلى النبي صلى الله عليه وسلم

“Hadis adalah apa yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, itu semua disebut hadis. Dan atsar adalah apa yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada para sahabat serta tabi’in. Namun dalam penggunaan secara umum, atsar adalah riwayat dari sahabat dan tabi’in, sedangkan hadis adalah apa yang dinisbatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, jilid 28, no. 12)

Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/38927-apa-perbedaan-antara-hadits-khabar-dan-atsar.html

Rumah yang Dibeli dengan Hutang Riba, Haruskah Dijual?

Pertanyaan:

Qadarullah kami sudah membeli rumah dengan cara kredit melalui bank. Kami baru tau ternyata membeli rumah melalui bank itu termasuk riba ustadz. Bagaimana cara kami bertaubat? Apakah rumah yang sudah kami beli ini harus dijual ustadz? Mohon penjelasannya.

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya’ wal mursalin, nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Pertama, benar bahwa membeli rumah dengan cara kredit melalui bank pada umumnya merupakan transaksi riba. Karena realitanya bank hanya memberikan pinjaman uang kepada nasabah untuk membeli rumah. Kemudian nasabah mengembalikan uang pinjaman tersebut secara kredit dengan nilai yang lebih besar. 

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan:

البنوك ما تقرض الا بربا، ما تقرض البنوك إلا بفائدة ربوية فلا يجوز، إن حصلتَ على قرضٍ حسَن بدون فوائد فهذا لا بأس به هذا طيَب أما البُنوك فالمَعروف عنها ونظامُها كذلك لا تُقْرض إلا بربا يَسْتثمرون القَرض

“Bank tidaklah menghutangi kecuali dengan riba. Tidaklah bank menghutangi seseorang kecuali dengan tambahan riba dalam pengembaliannya, maka ini tidak dibolehkan. Jika seseorang bisa berhutang dengan qardhul hasan (hutang tanpa riba), tanpa adanya tambahan, maka ini tidak mengapa. Adapun bank, maka sudah ma’ruf dengan riba. Demikian juga sistem yang ada pada bank, ia tidaklah memberikan hutang kecuali dengan riba, mereka mengambil keuntungan dari hutang.” (http://www.alfawzan.af.org.sa/node/16110)

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ juga mengatakan:

يحرم أخذ قرض من البنوك وغيرها بربا، سواء كان أخذه القرض للبناء أم للاستهلاك في طعام أو كسوة أو مصاريف علاج، أم كان أخذه للتجارة به وكسب نمائه، أم غير ذلك؛ لعموم آيات النهي عن الربا

“Diharamkan berhutang ke bank atau lembaga lainnya dengan cara riba. Baik untuk membangun rumah, atau untuk aktivitas konsumtif seperti membeli makanan, pakaian, atau pengobatan. Demikian juga tidak boleh berhutang riba untuk modal usaha atau semisalnya. Berdasarkan keumuman ayat-ayat yang melarang riba.” (Fatawa al-Lajnah, 13/385)

Dan kita semua telah mengetahui bahwa riba adalah salah satu dosa besar. Allah ta’ala berfirman,

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. al-Baqarah: 275)

Allah ta’ala berfirman,

يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ

“Allah akan menghancurkan riba dan menumbuhkan keberkahan pada sedekah.” (QS. al-Baqarah: 276)

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ  آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan harta riba, orang yang memberi riba, juru tulisnya, dan saksi-saksinya. Beliau berkata, ‘Mereka semua sama’.” (HR. Muslim no. 2995)

Kedua, wajib segera bertaubat dari transaksi riba, karena begitu besar dosanya. Cara bertaubat dari transaksi riba adalah dengan melakukan tiga hal:

  1. Al-iqla’, berhenti melakukan riba setelah mengetahui larangannya.
  2. An-nadam, menyesal dengan penyesalan yang mendalam telah melakukan transaksi riba.
  3. Al-‘azm, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan:

هِيَ أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ نَادِمًا عَلَى مَا مَضَى؛ مُجْمِعًا عَلَى أَلَّا يَعُودَ فِيهِ

“Taubat seorang hamba adalah dengan menyesal terhadap apa yang telah ia lakukan, ditambah dengan tekad untuk tidak melakukannya lagi.” (Tafsir al-Baghawi, 8/169)

Al-Qurthubi rahimahullah juga mengatakan:

يَجْمَعُهَا أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: الِاسْتِغْفَارُ بِاللِّسَانِ ، وَالْإِقْلَاعُ بِالْأَبْدَانِ ، وَإِضْمَارُ تَرْكِ الْعَوْدِ بِالْجَنَانِ ، وَمُهَاجَرَةُ سَيِّئِ الْإِخْوَانِ

“Taubat itu menggabungkan 4 hal: istighfar dengan lisan, berhenti melakukan maksiat dengan badan, bertekad untuk tidak kembali melakukannya dengan anggota badan, dan menjauhi teman-teman yang buruk.” (Tafsir al-Baghawi, 8/169)

Ketiga, walaupun berhutang dengan cara riba hukumnya haram, namun uang yang didapatkan dari hutang riba tersebut sah menjadi hak milik penghutang. Demikian juga barang-barang yang dibeli dengan uang tersebut, sah menjadi hak miliknya. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid menjelaskan:

يجوز لصديقك أن يبيع منزله لمن تقدم لشرائه ، ولو كان المشتري سيحصل على المال من الاقتراض بالربا ؛ لأن الحرام هنا متعلق بالمقترض ، والقرض بشرط الربا وإن كان محرما إلا أنه يفيد الملك في مذهب الحنفية والحنابلة وقول للشافعية ، أي أن المقترض بالربا يملك المال الذي اقترضه ، وعليه فيصح أن يشتري به ما شاء ، مع إثم الربا

“Tidak mengapa teman Anda menjual rumahnya kepada orang yang akan membelinya tersebut walaupun si pembeli mendapatkan uangnya dari hutang riba. Karena keharaman di sini melekat pada si penghutang. Dan hutang riba itu walaupun termasuk perbuatan haram, namun pada uang yang dihutangi terjadi perpindahan kepemilikan, menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan salah satu pendapat ulama Syafi’iyah. Artinya, orang yang meminjam uang secara riba, ia tetap dianggap memiliki uang tersebut sehingga bisa digunakan untuk melakukan pembelian. Namun demikian ia mendapatkan dosa riba.” (Fatawa Mauqi Islam Sual wa Jawab, no.99366)

Contohnya, Fulan meminjam uang ke bank sebesar 300 juta rupiah untuk membeli rumah. Lalu bank mencairkan pinjaman tersebut dengan kesepakatan bunga 10%, sehingga Fulan akan mengembalikan sebesar 330 juta rupiah kepada bank dalam tempo 10 tahun. Maka dalam kasus ini Fulan dan pihak bank telah melakukan transaksi riba dan mereka semua berdosa besar. Namun 300 juta yang didapatkan Fulan itu sah menjadi hak miliknya dan rumah yang ia beli dengan uang tersebut juga sah menjadi miliknya. Adapun 30 juta kelebihan yang didapatkan bank adalah harta haram. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhkanlah diri kalian dari kelebihan riba. Jika kalian benar-benar beriman.” (QS. al-Baqarah: 278)

Jika penjelasan di atas telah dipahami, maka akan dipahami pula bahwa rumah atau kendaraan yang telah dibeli dengan cara berhutang riba, itu tidak harus dijual. Karena telah sah menjadi hak milik si penghutang riba.

Dewan Fatwa Islamweb ketika ditanya tentang orang yang membeli mobil dengan cara berhutang riba, mereka mengatakan:

فإن السيارة سيارته وهي ملك له، ولو اشتراها بما اقترضته اقتراضا ربويا؛ وإثم الربا إنما يتعلق به هو لا بالسيارة، فاستعماله لها ليس محرما، وما ينتج عنها ليس محرما 

“Mobil yang telah Anda beli tersebut, adalah milik Anda. Walaupun Anda membelinya dengan cara berhutang riba. Dosa riba melekat pada perbuatan Anda tersebut, bukan melekat pada mobil. Maka menggunakan mobil ini tidaklah haram. Dan penghasilan yang didapatkan dari mobil ini pun tidak haram.” (Fatawa Islamweb no.106503)

Namun jika cicilan hutang riba ke bank belum lunas, sebagai bentuk kesungguhan bertaubat dari transaksi riba, kami nasehatkan untuk berusaha melunasinya sesegera mungkin. Agar semakin cepat terlepas dari lingkaran transaksi-transaksi riba.

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberikan taufik dan kemudahan kepada kita semua.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/39447-rumah-yang-dibeli-dengan-hutang-riba-haruskah-dijual.html

Wudhu Gunakan Botol Spray, Sahkah?

Wudhu merupakan salah satu cara untuk menyucikan anggota tubuh menggunakan air.Setiap Muslim diwajibkan bersuci sebelum akan melaksanakan ibadah shalat.

Adapun teknis penyucian anggota wudhu ini dibagi menjadi dua macam, yaitu membasuh (al-ghuslu) dan mengusap (al-mashu).

Allah SWT telah berfirman dalam QS al-Ma’idah ayat 6, Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah.

Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.

Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.”

Lantas, bagaimana jika seseorang berwudhu dengan menggunakan botol spray?

Dalam kitab At-Tashil fi `Ulumit Tanzil telah dibedakan antara al-ghoslu dan al-mashu. Al-mashu adalah membasahi tubuh dengan usapan tangan yang terbasahi air, sementara al-ghoslu menurut Imam Malik adalah mengalirkan air dengan bantuan tangan dan menurut Imam Syafi’i berarti mengalirkan air (tanpa harus dengan bantuan tangan).

Saat berusaha berwudhu dengan menggunakan spray atau semprotan botol yang harus diperhatikan ada pada kegiatan membasuhnya.Dengan minimnya air yang ada, dikhawatirkan ada kekeliruan, yang harusnya dibasuh malah diusap.

Anggota tubuh yang saat wudhu wajib dibasuh, antara lain wajah, tangan sampai siku, serta kaki sampai ke mata kaki. Sementara, anggota tubuh yang wajib diusap adalah kepala, termasuk juga telinga.Selain empat bagian di atas, membasuh maupun mengusapnya hukumnya sunnah, menurut mayoritas ulama (jumhur).

Karena itu, perlu diingat anggota wudhu yang wajib dibasuh maka harus dibasuh, dengan cara mengalirkan air pada anggota badan tersebut. Jika kemudian diperlukan bantuan tangan untuk menjangkau bagian yang sulit dijangkau oleh aliran air, hal itu harus dilakukan.

Membasuh berarti tidak cukup sekadar semprotan tipis yang hanya membasahi dan tidak sampai mengalirkan air. Karena yang seperti ini disebutnya al-mashu atau mengusap, yang hanya berlaku pada bagian kepala.

Hal tersebut perlu menjadi perhatian bagi siapa pun yang ingin berwudhu atau menyucikan diri dengan menggunakan semprotan botol.Peng gunaan spray tersebut diperbolehkan, asalkan kedua teknis pensucian anggota wudhu ini diperhatikan. Karena jika hal ini sampai salah, akan berdampak pada ketidak absahan wudhu yang dilakukan. 

Imam al-Jasshos dalam kitab Ahkamul Qur’an menyebut, “Anggota wudhu yang diperintahkan Allah dibasuh, tidak sah hanya dengan dengan diusap. Karena membasuh maknanya mengalirkan air pada tubuh. Ketika seorang tidak melakukan ini, maka tidak disebut membasuh. Adapun mengusap tidak mengharuskan hal tersebut.Mengusap cukup dengan membasahi anggota tubuh dengan air, tanpa harus mengalirkan air padanya.” 

IHRAM

Keutamaan Berzikir (Mengingat Allah) di Setiap Keadaan

Allah Ta’ala berfirman,

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab (Al-Qur’an). Dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat mencegah dari perbuatan-perbuatan fahisyah (keji) dan munkar. Dan sungguh, dzikrullah (mengingat Allah) itu lebih besar (keutamaannya dibanding ibadah-ibadah lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-’Ankabut: 45)

(Di antara faedah ilmu pada ayat di atas antara lain) bahwa merutinkan zikir kepada Allah di setiap keadaan adalah amalan yang paling utama. Ia sempurna dengan sendirinya, dan (ibadah) yang lain tidak akan sempurna tanpanya.

At-Tirmidzi rahimahullah telah meriwayatkan dan menshahihkan (hadis),

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ، فَأَخْبِرْنِي بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ، قَالَ: «لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ»

Dari Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat-syariat Islam sudah banyak bagiku, maka kabarkanlah kepadaku akan sesuatu yang aku (bisa selalu) berpegang dengannya. (Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda, ‘(Hendaknya) lisanmu sentiasa basah (rathban) dengan dzikrullah (berdzikir kepada Allah).’[1] (HR. At-Tirmidzi)

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallamrathban” (رطبا – basah) adalah isyarat (kiasan) kepada banyaknya zikir, yang ini adalah sebab sempurnanya kehidupan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ

“… Dan tidak sesuatu yang basah dan tidak yang kering …” (QS. Al-An’am: 59)

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

لَعَلَّهُ يُخفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا

Semoga ini dapat meringankan (azab) bagi mereka berdua selama belum mengering.”[2]

Karena itu, zikir akan naik dengan sendirinya tanpa butuh untuk dinaikkan. Tidak seperti amal-amal lainnya sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه

“… kepada-Nya-lah naik kalimat-kalimat yang baik (al-kalim ath-thayyib). Dan amal saleh dinaikkan-Nya …” (QS. Fathir: 10)

Manusia yang mendapat porsi terbesar dari selawatnya Allah dan para malaikat-Nya terhadap hamba-hamba-Nya, adalah yang paling banyak zikirnya kepada Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا هُوَ ٱلَّذِى يُصَلِّى عَلَيْكُمْ وَمَلَٰٓئِكَتُهُۥ لِيُخْرِجَكُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ ۚ وَكَانَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada pagi dan petang hari. Dialah yang berselawat (memberi rahmat) kepadamu dan malaikat-malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 41-43)

Baca Juga: Hikmah dari Variasi Bacaan Doa dan Dzikir

Al-Baihaqi rahimahullah dalam kitab Ad-Dala-il dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Sulaim bin ‘Amir bahwa ada seorang lelaki yang datang menemui Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu. Kemudian dia berkata,

إني رأيت في منامي أن الملائكة تصلي عليك كلما دخلت وكلما خرجت وكلما قمت وكلما جلست

Sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku, para malaikat berselawat kepadamu setiap engkau masuk, keluar, berdiri, dan duduk.”

قَالَ: وأنتم لو شئتم صلّت عليكم الملائكة ثم قرأ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا (الآيات)

(Abu Umamah) menimpali, “… dan kamu, jika kamu mau, para malaikat (juga bisa) berselawat kepadamu.” Kemudian beliau membaca, “Wahai orang-orang yang beriman berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya…” (QS. Al-Ahzab: 41-43)[3]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam menjelaskan keutamaan Adz-Dzikr,

أنه يؤمن العبد من الحسرة يوم القيامة. فإن كل مجلس لا يذكر العبد فيه ربه تعالى كان عليه حسرة وترة يوم القيامة.

Sesungguhnya hal itu mengamankan seorang hamba dari penyesalan (kerugian) di hari kiamat. Karena sesungguhnya setiap majelis yang tidak disebutkan di dalamnya dzikrullah, akan menjadi penyesalan yang terus menerus di hari kiamat.”[4]

(Riwayat) dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu,

“من عجِز منكم عن الليل أن يكابدَه، وبخل بالمال أن ينفقَه، وجَبُنَ عن العدو أن يجاهده؛ فليكثر ذكر الله”.

Barangsiapa di antara kalian yang lemah (tidak mampu) terhadap malam untuk menghidupkannya (berdiri salat malam dan bertilawah), bakhil terhadap harta untuk menafkahkannya, pengecut terhadap musuh untuk berjihad melawannya, hendaknya ia memperbanyak dzikrullah.” (Hadis ini) diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dan disahihkan oleh Al-Albani, secara marfu’  diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Al-Bazzaar.[5] Terdapat pula keterangan yang semisal, mauquf[6] dari Ibnu Mas’ud dan Abu Darda radhiyallahu ‘anhum.

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَسِيرُ فِي طَرِيقِ مَكَّةَ فَمَرَّ عَلَى جَبَلٍ يُقَالُ لَهُ جُمْدَانُ، فَقَالَ: «سِيرُوا هَذَا جُمْدَانُ سَبَقَ الْمُفَرِّدُونَ» قَالُوا: وَمَا الْمُفَرِّدُونَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «الذَّاكِرُونَ اللهَ كَثِيرًا، وَالذَّاكِرَاتُ»

Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyusuri jalan kota Makkah. Lalu, beliau melewati suatu gunung (bukit) yang dinamakan, ‘Jumdaan’. Kemudian beliau bersabda, ‘Teruslah berjalan! Ini adalah Jumdan. Para Al-Mufarriduun telah mendahului (menang).’ (Para sahabat) bertanya, ‘Apakah Al-Mufarriduun itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘(Yaitu) laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah (berzikir).’”[7]

Baca Juga: Menyibukkan diri dengan Dzikir dan Membaca Al-Qur’an di Hari Jum’at

Tujuan dari segala macam ibadah adalah untuk mengingat Allah.

يَعْنِي هُمْ فِي جَمِيعِ هَذِهِ الْأَحْوَالِ يَذْكُرُونَ اللَّهَ وَيَكُونُ إِسْلَامُهُمْ وَإِيمَانُهُمْ وَقُنُوتُهُمْ وَصِدْقُهُمْ وَصَبْرُهُمْ وَخُشُوعُهُمْ وَصَدَقَتُهُمْ وَصَوْمُهُمْ بِنِيَّةٍ صَادِقَةٍ لِلَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى فِي أَكْثَرِ الْمَوَاضِعِ حَيْثُ ذكر الذكر قرنه بالكثرة هاهنا، وفي قوله بعد هذا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً

[الْأَحْزَابِ: 41]

وَقَالَ مِنْ قَبْلُ:

لِمَنْ كانَ يَرْجُوا اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً [الأحزاب:21]

لِأَنَّ الْإِكْثَارَ مِنَ الْأَفْعَالِ الْبَدَنِيَّةِ غَيْرُ مُمْكِنٍ أَوْ عُسْرٌ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ أَكْلُهُ وَشُرْبُهُ وَتَحْصِيلُ مَأْكُولِهِ وَمَشْرُوبِهِ يَمْنَعُهُ مِنْ أَنْ يَشْتَغِلَ دَائِمًا بِالصَّلَاةِ وَلَكِنْ لَا مَانِعَ لَهُ مِنْ أَنْ يَذْكُرَ اللَّهَ تَعَالَى وَهُوَ آكِلٌ وَيَذْكُرَهُ وَهُوَ شَارِبٌ أَوْ مَاشٍ أَوْ بَائِعٌ أَوْ شَارٍ، وَإِلَى هَذَا أَشَارَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ [آلِ عِمْرَانَ: 191]

“Yakni, mereka pada setiap keadaannya (senantiasa) mengingat Allah. Keislaman, keimanan, qunut, jujur, sabar, khusyuk, sedekah, hingga puasa mereka adalah dengan niat yang jujur karena Allah. Ketahuilah, bahwasanya Allah Ta’ala dalam beberapa ayat ketika menyebutkan “zikir”, (Allah) menggandengkannya dengan memperbanyaknya. Misal pada firman-Nya mengenai ini,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً

Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab: 41).

Dia berfirman juga sebelumnya,

لِمَنْ كانَ يَرْجُوا اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً

Bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir, dan banyak berzikir kepada Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Karena memperbanyak dari amalan-amalan badani adalah tidak mungkin atau sulit. Karena sesungguhnya manusia itu makannya, minumnya, dan proses mendapat makanan dan minumannya akan menghalanginya untuk bisa terus-menerus salat. Akan tetapi, tidak ada halangan baginya untuk dapat berzikir kepada Allah Ta’ala padahal ia sedang makan. Ia bisa berzikir kepada-Nya ketika ia minum, berjalan, atau berjual beli. Allah Ta’ala mengisyaratkan hal ini pada firman-Nya,

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ

Orang-orang yang berzikir kepada Allah ketika berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring.” (QS. Ali Imran: 191)

(Selesai kutipan dari At-Tafsir Al-Kabir.)[8]

Allah Ta’ala berfirman,

إنني أنا الله لا إله إلا أنا فاعبدني وأقم الصلاة لذكري

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, Tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah aalat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha: 14)

Wallahu a’lam.

Fadhilah Asy-Syaikh Abdullah bin Shalih Al-’Obailan hafizhahullah ta’ala wa nafa’anaa bi-’ilmih

***

Penerjemah: Muhammad Fadhli, S.T.

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Lihat Sunan At-Tirmidzi, tahqiq dan ta’liq Syakir, Bab Keterangan tentang Keutamaan Dzikir, hal. 457, no. 3375, Imam Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi (w. 279 H), https://al-maktaba.org/book/33754/5569#p1

[2] Konteks hadis ini adalah mengenai ancaman siksa kubur akibat air kencing dan gibah. Lihat hadis no. 5088 di Shahih Al-Jamihttps://al-maktaba.org/book/21659/9219 , Sunan An-Nasa’i 31

[3] Lihat Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihain karya Al-Hakim hal. 453, https://al-maktaba.org/book/2266/3712 dan Dala’il An-Nubuwwah karya Al-Baihaqi hal. 25, https://al-maktaba.org/book/13115/3896

[4] Lihat Al-Waabil Ash-Shayyib min Al-Kalim Ath-Thayyib karya Ibnul Qayyim hal. 44, https://al-maktaba.org/book/216/40

[5] Lihat Kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, Nashiruddin Al-Albani, hal. 205, https://al-maktaba.org/book/32968/837

[6] Mauquf adalah khabar yang disandarkan pada sahabat dan tidak berstatus marfu’. Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/1581-taisir-musthalah-hadits-9-khabar.html

[7] Lihat Shahih Muslim Bab Motivasi untuk Berdzikir kepada Allah Ta’ala, hal. 2062, karya Imam Muslim https://al-maktaba.org/book/33760/8050#p1

[8] Lihat Tafsir Ar-Razi, At-Tafsir Al-Kabir, hal. 169, Surat Al-Ahzab, Fakhruddin Abu Abdullah Muhammad bin Umar Ar-Razi (w. 606 H) https://al-maktaba.org/book/23635/4575#p3

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78371-keutamaan-berdzikir-mengingat-allah-di-setiap-keadaan.html

Akidah, Syariah dan Akhlak, Sebagai Cara Pandang Kehidupan

Kesepaduan akidah, syariah, dan akhlaq jika diakumulasi dan ditanamkan dalam diri, maka akan membentuk  bangunan kokoh dengan pondasi awalnya kesaksiandiri syahadah akan keesaan Tuhan (Tauhid)

PANDANGAN kehidupan adalah hal yang sangat penting untuk menentukan jalan kehidupan. Tidak hanya menentukan, namun pandangan kehidupan akan memberi kesadaran yang menjalaninya dengan penuh hikmah.

Bagaimanakah yang sekiranya patut dan layak untuk dijadikan penuntun kehidupan? Mari sejenak kita menelaah uraian ini.

Dalam Islam, kita mengenal konsep akidah, syariat dan akhlaq ketiga elemen ini adalah sebuah kesepaduan tak terpisahkan, semuanya saling tertaut dan menautkan. Jika menginsyafi tiga dasar ini, sesungguhnya Islam sedang menawarkan sebuah konsepsi kehidupan holistik kepada seluruh manusia.

Dalam sisi akidah, aqidah mempunyai makna “ikatan”, ikatan yang sangat kuat, ikatan yang secara fitrah mengikat setiap manusia. Ikatan apa?

Yaitu ikatan manusia dengan Tuhannya. Karena setiap manusia secara absolut pernah bersaksi bahwa Allah sebagai Rabb. Menelaah lebih dalam mengenai aqidah, hal ini menyasar bagian sangat mendalam yaitu hati (qalb) dan perasaan jiwa (nafs) yang sangat kuat yaitu keyakinan (yaqin).

Untuk menegakkan akidah dalam hati (qalb) dan menguatkan keyakinan dalam jiwa (nafs) cukup sederhana, yaitu mengakui secara jujur dalam hati yang tulus bahwa kita manusia terlahir secara fitrah (suci/bersih).

Fitrah yang seperti apa? Yaitu kebersihan ruh dan jasad karena kita pernah mengakui pengakuan agung bahwa Allah sebagai Rabb (Q.S. al-‘Araf: 172) kejadian ini disebut dengan mitsaq.

Setelah bersaksi Allah sebagai Rabb, maka ketika manusia terlahir di dunia kemudian beranjak ‘aqil baligh persaksian selanjutnya adalah bersaksi bahwa Allah sebagai ilah (sesembahan) dan tiada yang patut disembah kecuali Dia (Allah) serta mendeklarasikan diri bahwa Nabi Muhammad utusan Allah dengan bersyahadat dan ini sekaligus sebagai identitas diri pembeda antara Muslim dengan manusia umum lainnya.

Syahadat diartikan sebagai persaksian, persaksian yang bagaimana?, apakah bersaksi dengan mata (‘ayn) secara lahir?, tentunya bukan, melainkan mata batin (‘aynul yaqin). Mata batin inilah yang menjadi pandangan utama dalam kehidupan seorang muslim untuk menempuh jalan keselamatan dunia dan akhirat.

Dengan memenuhi syahadat yang diuraikan di atas, maka idealnya dalam Islam, para ulama bahkan mengartikan syahadat sebagai suatu amalan hati dan tubuh, jiwa dan raga, yang tanpa keduanya maka syahadatnya tidak sah.

Maka mengucapkan syahadat tidak bisa main main harus dengan penuh kesadaran, ketulusan, keikhlasan, dan dengan pemahaman serta pengetahuan yang benar. Sebab, sekali mengatakan Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah maka ia terikat dengan rukun rukun setelahnya, yaitu shalat, puasa, zakat, haji dan ini semuanya adalah syariat yang paling utama bagi seorang muslim.

Dalam sisi syariat, jika menelaah arti dari syariat dapat diterjemahkan bebas dengan kata “jalan”. Jalan sini adalah setelah kita dihidangkan oleh Islam dengan konsep aqidah, maka selanjutnya Islam menawarkan sebuah jalan tuntunan yang adil (‘adl), seimbang serta proporsional dalam menjalani kehidupan yaitu dengan syariat.

Mengapa penulis mengatakan adil dan proporsional? Karena memang pada kenyataannya syariat yang ditawarkan Islam kepada manusia selalu seimbang dalam masalah urusan dunia (muamalah duniawiyah) dan urusan akhirat (ukhrowiyyah) terjalin menjadi dua hubungan erat hubungan dengan manusia (hablum minannas) dan Allah (hablum minallah) kedua hubungan ini pun saling terikat dan mengikat.

Maqasid Syariah

Lebih dalam mengenai syariat, untuk menegaskan ini para ulama merumus kan lima rumusan, tujuan dari syariat Islam (maqasid syariah);

Pertama, syariat untuk menjaga agama (Islam) dalam bahasa arab dapat disebut hifdzud diin, menjaga agama dengan menanamkan rasa iman dan ihsan dalam diri, ini disyariatkan dengan kewajiban bersyahadat dan mendirikan shalat, karena sholat adalah tiang utama agama.

Kedua, syariat mempunyai fungsi untuk jiwa manusia, tuntunan yang ditetapkan dalam syariat yaitu untuk menjaga diri setiap manusia agar tetap istiqomah (konsisten) dalam kebaikan di ranah lahir maupun batin. Salah satu contoh dalam dimensi lahir adalah memakan makanan yang halal dan baik (thoyyib) serta merawat diri dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar, dalam dimensi batin syariat melarang untuk menggunjing, memfitnah, berbohong-membohongi, menebar aib dan lain sebagainya, disebutkan dalam bahasa lain hifdzun nafs.

Ketiga, syariat pun mempunyai andil dalam menjaga akal manusia, agar akal manusia itu sehat serta jernih pikirannya. Sebagai contoh, yaitu mewajibkan bagi seorang Muslim untuk menuntut Ilmu agar menjaga akalnya dari kebodohan (al-jahl) dan menuntut dirinya menjadi seorang yang adil dan baik. Ini disebut dengan hifzul ‘aql.

Keempat, syariat bertujuan untuk menjaga keturunan agar eksistensi manusia teratur dan terarah serta tidak menimbulkan kekacauan maka syariat mengambil andil di dalamnya salah satunya dengan menentukan hukum pernikahan (an-nikah), ini diungkapkan dengan hifdzun nasl.

Dan kelima, syariat ditetapkan bertujuan untuk menjaga harta agar terjaga dan terbagi rata sesuai haknya, maka syariat menerapkan hukum zakat, infaq dan shodaqoh, Ini diungkapkan dengan hifdzul maal.

Uraian lima ini jika diresapi dengan jernih, akan mengungkapkan kesepaduan Islam dalam sisi agama dan kemanusiaan, yang mana fungsi Islam bukan sekadar amalan privat namun menyentuh ranah keberlangsungan hidup manusia yang baik secara kolektif. Dalam ungkapan lain, kebaikan seorang muslim bukan untuk sendiri melainkan diaplikasikan kepada sesama manusia dengan perilaku atau akhlak.

Elemen yang ketiga adalah akhlaq. Secara etimologis (lughatan) akhlaq (bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.

Berakar dari istilah khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan istilah khaliq (pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan). Kesamaan akar istilah di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlak mencakup pengertian keterpaduan antara kehendak khaliq (Tuhan) dan perilaku makhluk (manusia).

Boleh dikatakan, tata perilaku seorang terhadap orang lain dan lingkungannya, namun ukuran dikatakan mengandung nilai akhlaq yang hakiki, yaitu apabila tindakan, perilaku yang dilakukan didasarkan kepada kehendak khaliq (Tuhan) atau sesuai tuntunan aqidah dan syariah.

Dalam hal akhlak, kita sebagai muslim tidak perlu risau dan bingung bagaimana berakhlak, mengapa demikian? Karena Allah telah memberikan contoh manusia terbaik dengan akhlak dan adabnya yang terbaik yaitu Nabi Muhammad ﷺ, bagaimana akhlak kepada Allah, kepada diri sendiri, orang lain dan lingkungan hidup.

Al-Qur’an dan sunnah sebagai standar penilaian akhlak. Di samping istilah akhlak, juga dikenal istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia.

Perbedaannya terletak pada standar masing masing. Bagi akhlak standarnya adalah al-Qur’an dan sunnah; bagi etika standarnya pertimbangan akal pikiran; dan moral standarnya adat kebiasaan umum yang berlaku di masyarakat.

Namun jika mencerna keluasan dari konsep akhlak menurut Islam, sesungguhnya ia telah mencakup keseluruhannya dari sisi wahyu (al-Qur’an & as-Sunnah), akal (‘aql) pikiran (fikr) dan semua konsep akhlak yang diejawantahkan Islam pasti bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat secara universal (rahmatan lil ‘alamin).

Apabila diklasifikasi, paling tidak dimensi akhlak menurut Islam dapat diuraikan sebagai berikut;

Pertama, akhlak terhadap Allah SWT yaitu dengan taqwa, cinta-ridho, ikhlas, khauf-raja’, tawakal, syukur, muraqabah dan taubat.

Kedua, akhlak terhadap Rasulullah ﷺ, beberapa contoh amalannya adalah mencintai dan memuliakan Rasul, mengikuti dan menaati Rasul, mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasul.

Ketiga, akhlak kepada diri sendiri pribadi dengan menanamkan dalam diri sifat shidiq, amanah, istiqamah, menjaga kesucian diri (iffah), berusaha melawan hawa nafsu (mujahadah),berani (syaja’ah), rendah hati (tawadhu)’, malu (haya’), sabar (shabr), dan pemaaf (‘afwu).

Keempat, akhlak dalam keluarga beberapa nilai utama di dalamnya adalah berbakti kepada orang tua birr al-Walidain, hak kewajiban dan kasih sayang suami isteri, kasih sayang dan tanggung jawab orang tua terhadap anak, silaturrahim dengan karib kerabat.

Kelima, akhlak bermasyarakat ini dilaksanakan dengan cara, akhlak bertamu dan menerima tamu, hubungan baik dengan tetangga dan masyarakat, pergaulan muda-mudi, dan ukhuwah Islamiyah.

Keeman, akhlak bernegara yaitu menyelaraskan hubungan antara rakyat dan pemimpin dengan musyawarah, menegakkan keadilan, amar ma’ruf nahi munkar, dan menjaga komunikasi hubungan pemimpin yang dipimpin.

Hubungan aqidah dan akhlaq

Aqidah adalah dasar pondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan, harus semakin kokoh pondasi yang dibuat.

Kalau pondasinya lemah, maka bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa pondasi. Ajaran Islam paling tidak terklasifikasi di dalamnya menjadi aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalat, atau aqidah, syari’ah dan akhlak, atau iman, islam dan ihsan, maka aspek ini semua tidak dapat dipisahkan semuanya saling mengikat dan terikat satu sama lain.

Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak mulia dan bermuamalah dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah SWT kalau tidak dilandasi dengan aqidah.

Seseorang tidaklah dinamai berakhlak mulia bila tidak memiliki aqidah yang benar. Begitu seterusnya bolak-balik dan bersilang.

Itulah sebabnya kenapa Rasulullah ﷺ selama 13 tahun periode Makkah memusatkan dakwahnya untuk membangun aqidah yang benar dan kokoh. Sehingga bangunan Islam dengan mudah bisa berdiri di periode Madinah dan bangunan itu akan bertahan terus sampai akhir kiamat.

Kesepaduan aqidah, syariah, dan akhlaq jika diakumulasi dan ditanamkan dalam diri, maka akan membentuk  bangunan kokoh dengan pondasi awalnya kesaksiandiri syahadah akan keesaan Tuhan (Tauhid) kemudian membentuk gugusan keyakinan asasi di dalam hati, pikiran dan perasaan seorang Muslim.

Selanjutnya, keyakinan asasi tersebut bersifat sangat operasional untuk kehidupan, karena ditopang oleh akal secara kreatif menempel sifat arsitektonik. Lebih dalam lagi, keyakinan asasi yang rasional tersebut menjadi cara pandang (worldview) untuk memproyeksikan realitas wujud di alam ini (syahadah dan ghoibah).

Dalam tahapan puncak, pada gilirannya berubah menjadi perilaku personal bersifat sosial- ilmiyah-teknologis dan puncaknya menjelma menjadi sistem kehidupan (minhajul hayah) Dan inilah boleh dikatakan sebagai pandangan hidup Islam the worldview of Islam yang patut dan layak dijadikan pandangan hidup.*/ Alvin Qodri Lazuardy

Sumber bacaan:

  • Al-Attas, S. M. N. (2019) Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak. Kuala Lumpur, Malaysia: Ta’dib International.
  • Ilyas, Y. (2012) Kuliah Akhlaq. LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
  • Zarkasyi, H. F. (2020) Minhaj Berislam Dari Ritual Hingga Intelektual. Jakarta: INSISTS-UNIDA.
  • Anton Ismunanto. (2019) Worldview Islam, Ponorogo, Universitas Darussalam Gontor
  • 5 الأنوار, ش. (2020) أصول الفقه دراسة نقدية في آليات اكتشف الأحكام الشرعية. مدرسة المعلمين المحمدية

HIDAYATULLAH

Munafik Sangat Berbahaya, Menuduh Munafik Lebih Berbahaya

Dalam perjalanan menyebarkan Islam, Rasulullah banyak bertemu dengan orang-orang  munafik. Di depan tampak manis, namun di belakang ia memusuhi. Allah sangat benci dengan orang yang demikian melebihi kepada golongan kafir yang sudah jelas permusuhannya.

Dalam satu hadist dari Sayyidina Ali Rasulullah pernah melukiskan suatu gambaran bahaya golongan munafik: Sungguh aku tidak mengkhawatirkan seorang mukmin ataupun seorang musyrik atas umatku. Seorang mukmin akan dipelihara Allah dengan imannya daripada perbuatan mengganggu mereka dan seorang musyrik akan Allah patahkan gangguannya dengan sebab kemusyrikannya dari mereka.  Tapi, aku sangat mengkhawatirkan seorang munafik yang pandai bersilat lidah, mengucapkan apa-apa yang kamu ketahui dan mengerjakan apa yang kamu ingkari …” (Nahjul Balaghah: 114).

Islam mempunyai konsen sangat besar terhadap sifat munafik ini. Tidak mengherankan, term ini terdapat banyak sekali dalam al-Quran. Bahkan ada beberapa ayat al-Qur’an turun disebabkan orang munafik. 

Dalam beberapa ayat tersebut tertulis ciri-ciri seorang munafik dan Rasulullah menyampaikan risalahnya dengan maksud agar umat Islam dapat mawas diri untuk tidak melakukan atau menjauhi perbuatan tersebut. Artinya, dengan mengenali ciri itu bukan berarti umat Islam mudah menuduh dan mencerca orang lain sebagai munafik.

Mengenali ciri-ciri yang telah disampaikan Rasulullah bukan berarti umat muslim boleh untuk mengumbar tuduhan kepada sesama muslim. Ciri-ciri itu agar umat Islam waspada terhadap bahaya kemunafikan terhadap diri dan umat Islam. Bukan dengan mengatakan kamu munafik, kamu fasik dan sebutan lainnya.

Sifat munafik memang sangat berbahaya, tetapi mudah menuduh orang lain munafik itu juga lebih berbahaya. Terkadang kita mudah dengan enteng menuduh orang lain munafik. Asal tidak sependapat dengan kita baik di lingkungan nyata atau medsos, munafikpun menjadi label andalan.

Seorang muslim harusnya paham bahwa menilai orang lain merupakan hak prerogratif Allah. Dalam kitab Aqidah Thahawiyah diulas, “Kami tidak memastikan salah seorang dari mereka masuk surga atau neraka. Kami tidak pula menyatakan mereka sebagai orang kafir, musyrik, atau munafik selama tidak tampak lahiriah mereka seperti itu. Kami menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah”.

Mudah memvonis orang lain munafik adalah sikap yang tidak pantas dilakukan sesama Muslim. Para sahabat Nabi dan ulama salaf akan berhati-hati dalam soal ini. Dalam hadistnya Rasulullah bersabda “Barang siapa menghina saudaranya sebab suatu  perbuatan dosa, niscaya ia tidak akan mati sebelum melakukan dosa yang sama” (HR Turmudzi).  

Jika kita mudah menuduh orang lain munafik dengan tanpa hati-hati ini menjadi sangat berbahaya karena kita menanggung dosa yang sama. Banyak ulama yang memberikan fatwa untuk memberikan hukuman kepada orang-orang yang secara serampangan menyebut saudara-saudara Muslim mereka dengan sebutan ataupun ejekan yang tidak baik terlebih ujaran tersebut ditunjukkan kepada orang yang saleh.

ISLAM KAFFAH

[Tafsir Al-Quran]: Sifat Orang Munafik, Pandai Berbicara dan Berpenampilan Menarik

Ada sebagian mengaku dirinya Islam, pandai bicara, pidatonya bagus, orasinya membuat berdecak kagum, penapilanya menarik, tetapi permusuhanya pada Islam tinggi, dialah munafik

DI ANTARA ciri dan tanda orang munafik adalah memiliki penampilan menarik, gayanya yang memuka dan pandai dalam berbicara. Tanda-tanda ini disampaikan Allah Subhanahu Wata’ala dalam Surat Al-Baqarah ayat 204-207.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّعْجِبُكَ قَوْلُهٗ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللّٰهَ عَلٰى مَا فِيْ قَلْبِهٖ ۙوَهُوَ اَلَدُّ الْخصام

“Dan di antara manusia ada yang pembicaraannya tentang kehidupan dunia mengagumkan engkau (Muhammad), dan dia bersaksi kepada Allah mengenai isi hatinya, padahal dia adalah penentang yang paling keras. (QS: Al-Baqarah [2]: 204)

Sebab turunnya ayat

1)  Diriwayatkan bahwa ayat ini turun pada Akhnas bin Syuraiq Ats-Tsaqob mendatangi Rasulullah ﷺ dan mengakui sudah masuk Islam. Setelah pergi ia melewati ladang dan sejumlah keledai milik orang Islam, ia membakar ladang dan membunuh keledai. Maka turunlah ayat ini.

2)  Riwayat lain disebutkan oleh Ibnu Abbas bahwasannya ayat ini diturunkan berkenaan dengan beberapa orang dari kalangan orang-orang munafik. Mereka membicarakan dan mencaci maki Khubaib dan para sahabatnya yang terbunuh dalam peristiwa Ar-Raji.

Kemudian Allah menurunkan ayat yang mencela orang-orang munafik dan memuji Khubaib dan para sahabatnya dalam Surah Al-Baqarah 207.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّعْجِبُكَ قَوْلُهٗ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللّٰهَ عَلٰى مَا فِيْ قَلْبِهٖ ۙ وَهُوَ اَلَدُّ الْخِصَامِ

“Dan di antara manusia ada yang pembicaraannya tentang kehidupan dunia mengagumkan engkau (Muhammad), dan dia bersaksi kepada Allah mengenai isi hatinya, padahal dia adalah penentang yang paling keras.” (QS: Al-Baqarah: 207)

Pandai berbicara

Pertama, ayat di atas menunjukkan bahwa ada sebagian yang mengaku dirinya orang Islam, dia pandai bicara, pidato dan ceramahnya menarik banyak orang, orasinya membuat banyak orang berdecak kagum, tutur katanya urut, runtut dan teratur, tidak ada orang yang mendengarnya kecuali tertarik dengannya.

Tetapi sejatinya, hatinya sangat benci dengan Islam , tidak senang ajaran Islam tegak di muka bumi. Dia sedih jika umat Islam mendapatkan kemenangan, sebaliknya dia senang jika umat Islam terpuruk dan mengalami kemunduran.

Allah Subhananhu wa Ta’ala berfirman,

وَاِذَا رَاَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ اَجْسَامُهُمْۗ وَاِنْ يَّقُوْلُوْا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْۗ كَاَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ ۗيَحْسَبُوْنَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْۗ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْۗ قَاتَلَهُمُ اللّٰهُ ۖاَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ

“Dan apabila engkau melihat mereka, tubuh mereka mengagumkanmu. Dan jika mereka berkata, engkau mendengarkan tutur-katanya. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa setiap teriakan ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS: Al-Munafiqun [63]: 44 )

Selain kata-katanya menarik, menurut ayat di atas kadang orang munafik berpenampilan sangat menarik dan menyakinkan juga. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ اَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كٰفِرُوْنَ

“Maka janganlah harta dan anak-anak mereka membuatmu kagum. Sesungguhnya maksud Allah dengan itu adalah untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan mati dalam keadaan kafir.”  (QS: At-Taubah [9]: 55).

Juga dikuatkan dengan firman-Nya,

وَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَاَوْلَادُهُمْۗ اِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ اَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كٰفِرُوْنَ

“Dan janganlah engkau (Muhammad) kagum terhadap harta dan anak-anak mereka. Sesungguhnya dengan itu Allah hendak menyiksa mereka di dunia dan agar nyawa mereka melayang, sedang mereka dalam keadaan kafir.”  (QS: At-Taubah [9]: 85).

Dua ayat di atas melarang umat Islam agar tidak terpedaya dan kagum dengan harta dan pengikut mereka. Jadi kalau disimpulkan dari empat ayat di atas, didapatkan bahwa sebagian orang munafik mampu membuat orang Islam kagum dan tertarik dalam empat hal;

1. Perkataan orasi dan pidato mereka.(QS. Al-Baqarah[2]: 204, QS. Al-Munafiqun [63]: 4).

2. Penampilan mereka yang sangat menarik dan menyakinkan (QS. Al-Munafiqun [63] : 4) (QS. At-Taubah [9]: 55 dan 85)

3. Anak atau

4. Pengikut mereka yang banyak. (QS. At-Taubah [9]: 55 dan 85)

Kedua, orang munafik mempersaksikan apa yang ada di dalam hatinya kepada Allah. Ini mirip denga firman-Nya,

يَّسْتَخْفُوْنَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ اللّٰهِ وَهُوَ مَعَهُمْ اِذْ يُبَيِّتُوْنَ مَا لَا يَرْضٰى مِنَ الْقَوْلِ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِمَا يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطًا

“Mereka dapat bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak dapat bersembunyi dari Allah, karena Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridai-Nya. Dan Allah Maha Meliputi terhadap apa yang mereka kerjakan.”  (QS. An-Nisa [4]: 108)

Sebagian ulama membaca ayat itu dengan, memfathahkan huruf ya’ dan mendhommahkan lafadz Allah, yang artinya “Dan Allah mempersaksikan apa yang ada di dalam hatinya.” Hal ini mirip dengan firman Allah,

اِذَا جَاۤءَكَ الْمُنٰفِقُوْنَ قَالُوْا نَشْهَدُ اِنَّكَ لَرَسُوْلُ اللّٰهِ ۘوَاللّٰهُ يَعْلَمُ اِنَّكَ لَرَسُوْلُهٗ ۗوَاللّٰهُ يَشْهَدُ اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ لَكٰذِبُوْنَۚ

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata, “Kami mengakui, bahwa engkau adalah Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.”   (QS: Al-Munafiqun [63]: 1)

Penentang yang keras

وَهُوَ اَلَدُّ الْخِصَام

“Padahal dia adalah penentang yang paling keras.”

1)  Ayat ini menunjukkan sifat munafik yang selanjutnya yaitu penentang yang paling keras.

2)  Didalam hadist Aisyah Radhiyallahu anha bahwa Rasulullah ﷺbersabda,

عن عائشة -رضي الله عنها- قالت: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلى اللهِ الأَلَدُّ الخَصِمُ

“Sesungguhnya Allah -Tabāraka wa Ta’ālā- membenci orang yang keras kepala dalam pertikaian dan selalu berselisih tanpa mau tunduk kepada kebenaran.”  (HR. Al-Bukhari)

Sebagaimana mengartikan Al-Aludd, Al-Khasim adalah orang yang susah ketika berselisih dan besar permusuhannya.  Di dalam firman Allah disebutkan,

فَاِنَّمَا يَسَّرْنٰهُ بِلِسَانِكَ لِتُبَشِّرَ بِهِ الْمُتَّقِيْنَ وَتُنْذِرَ بِهٖ قَوْمًا لُّدًّا

“Maka sungguh, telah Kami mudahkan (Al-Qur’an) itu dengan bahasamu (Muhammad), agar dengan itu engkau dapat memberi kabar gembira kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar engkau dapat memberi peringatan kepada kaum yang membangkang.”  (QS. Maryam [19]: 97)

“Luddan” pada ayat di atas artinya yang menyimpang atau membangkang dan ngeyel. Ini dikuatkan di dalam hadist lain,

وإذا خاصم فجر آية المنافق ثلاث: إذا حدّث كذب، وإذا وعد أخلف

“Tanda  munafik ada tiga, jika berbicara berdusta, jika berjanji ia ingkar dan jika bertengkar ia berbuat jahat.”

Membuat Kerusakan

وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَ اللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

“Dan apabila dia berpaling (dari engkau), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi, serta merusak tanam-tanaman dan ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan.”  (QS: Al-Baqarah [2]: 205)

1)  Salah satu ciri orang munafik adalah jika berpaling dari Nabi Muhammad ﷺdia berusaha untuk membuat kerusakan di muka bumi di antaranya dengan merusak tanam–tanaman dan memusnahkan tempat berkembang biaknya hewan- hewan.

Hal ini ditunjukkan oleh Akhnas bin Syuraiq yang membakar ladang dan membunuh keledai, sebagaimana sudah dijelaskan pada sebab turunnya ayat.

2) Ciri orang munafik yang sering membuat kerusakan ini  sudah Allah tunjukkan di awal Surah Al-Baqarah di dalam firman-Nya,

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi! ” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.”  (QS. Al-Baqarah [2]: 11)

Ini dikuatkan dengan firman Nya,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”  (QS. Ar-Rum [30]: 41)

Tidak menerima nasehat

وَاِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللّٰهَ اَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْاِثْمِ فَحَسْبُهٗ جَهَنَّمُ ۗ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ

“Dan apabila dikatakan kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah,” bangkitlah kesombongannya untuk berbuat dosa. Maka pantaslah baginya neraka Jahanam, dan sungguh (Jahanam itu) tempat tinggal yang terburuk.”  (QS. Al-Baqarah [2]: 206)

1)  Sifat orang munafik yang kelima, adalah jika dikatakan kepadanya, “Bertaqwalah kepada allah” dan jangan membuat kerusakan di muka bumi. Dia berpaling dan tidak mau menerima nasehat. Dia merasa tinggi dan lebih. Kemudian mudah melakukan dosa lagi. Maka jawaban mereka adalah “ justru kami ini melakukan perbaikan.”  (QS: Al-Baqarah [2] : 11).

2)  Diceritakan bahwa seorang Yahudi mempunyai keperluan kepada Harun Ar-Rasyid. Dia menunggu di depan pintunya sampai satu tahun tidak di penuhi keperluannya. Suatu ketika Harun Ar-Rasyid keluar dari istana, melihat hal itu orang Yahudi tersebut segera mengejarnya. Sampai bisa berdiri di depannya. Dia berkata kepadanya, “Bertaqwalah Wahai amirul mukminin.” Maka turunlah Harun Ar-Rasyid dari kudanya dan bersujud. Setelah mengangkat kepalanya, beliau langsung memenuhi kebutuhan orang Yahudi tersebut. Ketika sudah pulang ke istananya, ada yang bertanya,  “Wahai amirul mukminin mengapa engkau turun dari kuda, hanya karena permintaan seorang Yahudi?” Harun ar-Rasyid menjawab, “ bukan itu, tetapi saya turun karena teringat dengan firman Allah.”

وَاِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللّٰهَ اَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْاِثْمِ فَحَسْبُهٗ جَهَنَّمُ ۗ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ

“Dan apabila dikatakan kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah,” bangkitlah kesombongannya untuk berbuat dosa. Maka pantaslah baginya neraka Jahanam, dan sungguh (Jahanam itu) tempat tinggal yang terburuk.”  (QS. Al-Baqarah [2]: 206)

Berjualan dengan Allah

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْرِيْ نَفْسَهُ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ رَءُوْفٌۢ بِالْعِبَاد

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 207)

1)  Diriwayatkan ketika Suhaib Ar-Rumi berangkat hijrah ke Madinah, ia dikejar boleh beberapa orang Quraisy, maka ia turun dari kendaraannya lalu memasang anak panah, ia berseru, “Wahai orang-orang Quraisy, kalian tahu bahwa bidikanku sangat jitu. Demi Allah kalian tidak akan mampu menangkapku  sebelum kubidikkan semua anak panah yang ku bawa kemudian  aku melawan dengan pedang hingga aku habiskan senjata, setelah itu lakukanlah apa yang kalian mau terhadapku. Tapi kalau kalian sudi melepaskan aku, akan kutunjukkan kepada kalian tempat harta bendaku di Makkah.” Mereka berkata, “baiklah.” Setibanya Suhaib di Madinah, Nabi bersabda kepadanya, “transaksimu itu sungguh menguntungkan, wahai Abu Yahya,” maka turunlah ayat ini.

2)  Ayat di atas menunjukkan kebalikan dari tiga ayat sebelumnya yang berisi tentang , lima sifat orang munafik, dimana visi dan misinya hanya membuat kerusakan di muka bumi ini untuk kepentingan pribadi, untuk kekayaan dirinya, serta untuk kedudukan yang sedang di kejarnya.

Dalam ayat ini Allah menjelaskan sifat orang beriman yang menjual dirinya dan menginfakkan hartanya di dunia ini untuk meraih ridha dan surga Allah.  Ini salah satu metode Al-Qur’an sering membuat perbandingan antara dua kelompok manusia,  yang kafir dan yang beriman kepada Allah. Dan nasib keduanya di dunia dan di akhirat.

3)  Ayat Al-Quran yang sesuai dengan ayat ini adalah  firman Allah,

اِنَّ اللّٰهَ اشْتَرٰى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اَنْفُسَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ بِاَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَۗ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَيَقْتُلُوْنَ وَيُقْتَلُوْنَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ وَالْقُرْاٰنِۗ وَمَنْ اَوْفٰى بِعَهْدِهٖ مِنَ اللّٰهِ فَاسْتَبْشِرُوْا بِبَيْعِكُمُ الَّذِيْ بَايَعْتُمْ بِهٖۗ وَذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ

“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri mau-pun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung.”  (QS. At-Taubah [9]: 111)

Ayat di atas yaitu dalam Surah Al-Baqarah: 207 dan dalam At-Taubah : 111. Menjelaskan bahwa Allah telah membeli orang-orang yang beriman, harta dan jiwa mereka dengan bayaran surga. Padahal harta dan jiwa orang beriman juga milik Allah, tetapi  Allah membelinya dari orang beriman.

Hal itu untuk menunjukkan penghormatan dan permuliaan Allah kepada orang-orang beriman yang berjihad di jalan-Nya dengan mengorbankan harta dan jiwanya.

4)  Ayat di atas menunjukkan kebolehan seorang muslim yang menebus dirinya dengan hartanya ketika di halang- halangi untuk melaksanakan kewajiban dan ajaran agamanya. Karena Shuhaib ArRumi menebus dirinya dengan semua hartanya agar tidak di halangi untuk pergi berhijrah ke Madinah menyusul Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.*/Dr Ahmad Zain An-Najah

HIDAYATULLAH

Tata Cara Memandikan Jenazah

Salah satu urutan dalam mentajhiz jenazah ialah memandikan, maka dari itu mari kita ketahui konsep dan mekanismenya, agar kewajiban atau fardhu kifayah ini bisa terselesaikan dan sah. Nah berikut tata cara memandikan jenazah dalam Islam.

Pertama-tama, pastikan terlebih dahulu bahwa jenazah ini masuk pada kategori jenazah yang wajib dimandikan. Sebab jika ia syahid dunia dan akhirat atau syahid dunia saja, maka jenazahnya tidak perlu ditajhiz. Cukup langsung dikebumikan saja, tanpa dimandikan dan disholati.

Yang termasuk syahid duniadan akhirat ialah ia yang meninggal karena peperangan dengan tujuan menegakkan kalimat Allah, adapun contoh dari syahid dunia ialah ia yang juga meninggal sebab berperang di jalan Allah, namun niatnya ia ingin mendapatkan harta rampasan perang.

Jika ia bukan syahid dunia dan akhirat, maka mari kita mandikan dia. Pejamkan terlebih dahulu kedua matanya, lalu pakaikanlah baju yang menutupi auratnya. Kemudian bawalah ke tempat di mana auratnya tidak bisa dilihat orang lain, lalu mandikanlah ia.

Najis yang ada di tubuh mayit dihilangkan, semisal membasuh kedua pantatnya, menghilangkan kotoran dari hidungnya. Jenazah letakkan di tempat yang sepi di atas tempat yang tinggi seperti papan kayu atau lainnya dan ditutup auratnya dengan kain.

Orang yang memandikan memposisikan jenazah duduk sedikit miring ke belakang dengan ditopang tangan kanannya, sementara tangan kirinya mengurut bagian perut jenazah dengan penekanan agar apa yang ada di dalamnya keluar.

Lalu yang memandikan membungkus tangan kirinya dengan kain atau sarung tangan dan membasuh lubang depan dan belakang si jenazah. Kemudian membersihkan mulut dan hidungnya. Tiga Basuhan pertama, airnya campur dengan sabun atau daun bidara. Jika sudah bersih, basuhlah dengan air mutlak. lalu wudhu’kanlah dia sebagaimana wudhunya orang hidup.

Adapun doa memandikan jenazah laki-laki adalah sebagai berikut;

نَوَيْتُ الْغُسْلَ اَدَاءً عَنْ هذَاالْمَيِّتِ ِللهِ تَعَالَى

Nawaitul gusla adaa-an ‘an haadzal mayyiti lillahi ta’aalaa.

Artinya: “Saya niat memandikan untuk memenunhi kewajiban dari mayit (laki-laki) ini karena Allah Ta’ala”

Sedangkan Doa Memandikan Jenazah Perempuan adalah

نَوَيْتُ الْغُسْلَ اَدَاءً عَنْ هذِهِ الْمَيِّتَةِ ِللهِ تَعَالَى

Nawaitul gusla adaa-an ‘an haadzihil mayyitati lillaahi ta’aalaa.

Artinya: “Saya niat memandikan untuk memenuhi kewajiban dari mayit (perempuan) ini karena Allah Ta’ala”.

Pastikan air yang dibuat memandikan jenazah ini air mutlak, yakni air yang suci dan bisa dibuat bersesuci. Paling sedikitnya atau minimum disebut memandikan jenazah ialah meratakan air ke seluruh badannya jenazah. Maka bagaimana caranya, yang memandikan harus memastikan bahwa jenazah tersebut sudah dimandikan secara sempurna.

Yang paling utama jika jenazah tersebut adalah laki-laki, maka yang memandikannya ialah laki-laki juga. Dan yang paling didahulukan ialah orang yang ahli fikih di daerah setempat, atau biasa kita kenal dengan pak modin.

Hanya saja, boleh bagi istri untuk memandikan suami, dan sebaliknya pula. Jika tidak ada yang memandikan jenazah, kecuali orang yang ajnabi (bukan mahram dari pihak jenazah). Maka ia ditayammumi, bukan dimandikan.

Ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan yang meninggal di suatu daerah yang di sana hanya ada pihak ajnabi saja. Adapun dalam konteks jenazah yang tidak memungkinkan untuk dimandikan, semisal badannya terkena luka bakar, maka ia juga ditayammumi.

Dan perlu diketahui, bahwa jika jenazah tersebut sudah dimandikan oleh Malaikat atau Jin, manusia tetap terkena taklif untuk memandikan jenazah tersebut. Hanya saja, menurut Ibnu Hajar al-Haitami, jika ada jenazah yang dimandikan oleh Jin, maka ini dianggap cukup. Dalam artian, manusia tidak perlu memandikannya lagi.

Kemudian dalam konteks bayi yang keguguran, maka hukumnya diperinci. Jika bayi tersebut memampakkan tanda-tanda kehidupan semisal bernafas, bergerak atau menangis, maka ia dihukumi seperti jenazah pada umumnya.

Sedangkan jika bayi itu tidak memampakkan tanda-tanda kehidupan, namun ia sudah berbentuk manusia semisal memiliki kepala dan tangan, maka ia dimandikan juga. Adapun jika hanya sebatas daging saja, maka disunnahkan untuk menguburkannya.

Memandikan jenazah ini hukumnya wajib, jadi kita harus memperhatikan ini. Namun bisa juga menjadi boleh, dalam konteks orang kafir dan bayi yang keguguran, namun belum tampak tanda kehidupan darinya. Bahkan bisa menjadi haram, yakni pada konteks jenazah yang meninggal dalam peperangan membela agama.

Demikianlah sekilas terkait tata cara memandikan jenazah dan konsepnya, materi ini disarikan dari kitab fikih kontemporer karya Al-Habib Hasan bin Ahmad Al-Kaff yang berjudul al-Taqrirat al-Sadidah fi al-Masail al-Mufidah Juz 1 Hal. 371.

BINCANG SYARIAH

Pesan Buat para Pedagang, Bagaimana Jika Nabi Muhammad ﷺ Masuk ke Tokomu?

SAHABAT, seorang muslim adalah saudara dari saudara muslimnya. Sehingga dalam perdagangan pun tidak boleh saling merugikan. Rasulullah sendiri merupakan contoh terbaik bagi para muslim pebisnis. Adakah pesan buat para pedagang dari sang Nabi?

Terlarang bagi seorang muslim (penjual) jika ada cacat pada barang yang dijual, tidak menunjukkannya atau menunjukkannya kepada saudara (muslim)nya (pembeli). Hal itu disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah.

Nabi Muhammad memulai hadits dengan menyoroti persaudaraan kita dalam Islam dan karenanya mengingatkan kita tentang etika timbal balik yang menjadi haknya; salah satunya adalah keadilan dalam perdagangan.

Nabi menunjukkan bahwa tidak pernah ada berkah dalam transaksi yang menipu. Nabi Muhammad berkata, “Penjual dan pembeli memiliki pilihan (untuk membatalkan penjualan) selama mereka tidak berpisah (atau dia berkata, ‘sampai mereka berpisah’). Jika mereka mengatakan kebenaran dan menjelaskan hal-hal, mereka akan diberkati dalam penjualan mereka. Jika mereka menyembunyikan dan berbohong, berkah transaksi mereka tidak sah.” (HR Bukhari dan Muslim)

Haram menjual barang yang cacat tanpa sepengetahuan pembeli, sebagaimana disebutkan Nabi. Namun, saat ini banyak penjual Muslim menganggap enteng masalah ini dengan tidak memeriksa produk mereka secara teratur untuk menghapus yang kadaluwarsa, atau menjualnya dengan cacat yang mereka ketahui tanpa memberi tahu pembeli, dan lain-lain. Padahal, barang yang cacat dan/atau segera kedaluwarsa harus ditunjukkan dengan pengurangan harga.

Nabi menunjukkan bahwa tidak pernah ada berkah dalam transaksi yang menipu. Nabi Muhammad berkata, “Penjual dan pembeli memiliki pilihan (untuk membatalkan penjualan) selama mereka tidak berpisah (atau dia berkata, ‘sampai mereka berpisah’). Jika mereka mengatakan kebenaran dan menjelaskan hal-hal, mereka akan diberkati dalam penjualan mereka. Jika mereka menyembunyikan dan berbohong, berkah transaksi mereka tidak sah.” (HR Bukhari dan Muslim)

Nabi ﷺ menegur transaksi ilegal pedagang. Nabi berkata, “Pedagang adalah orang jahat.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Allah tidak menghalalkan bisnis?” Rasulullah menjawab: “Tentu saja Dia telah menyatakan perdagangan halal. Tetapi mereka (yaitu para pedagang) akan bersumpah demi Allah dan melakukan kejahatan, mereka tidak akan berbicara tetapi berbohong.” (HR Ahmad)

Bahkan gagasan untuk menimbun produk (bila kekurangan) dan menjualnya dengan harga lebih tinggi untuk memanfaatkan kebutuhan mendesak mereka, yaitu pemasaran gelap; telah disebutkan dalam Sunnah dan sangat dilarang.

“Betapa jahatnya pemasar gelap! Dia kesal saat mengetahui harga turun, dan senang saat mendengar harga naik.” (HR Al-Bukhari)

Salah satu alasan di balik penipuan dalam transaksi adalah bahwa kemiskinan di banyak negara Islam membuat banyak penjual berpikir tidak apa-apa untuk tidak jujur ​​dalam perdagangan karena mereka “tidak mampu membelinya,” meskipun mereka cenderung lupa bahwa Tuhan tidak akan memberi mereka berkah dengan uang haram.

Penyebab lain di balik kecurangan dalam perdagangan adalah tidak adanya Ihsan (keunggulan) dalam transaksi. Meskipun ini adalah sifat Islam yang signifikan, banyak keluarga Muslim lupa memberikan makanan halal kepada anak-anak mereka dan mereka tumbuh dengan berpikir bahwa menipu orang lain tanpa sepengetahuan mereka adalah “pintar”.

Ketika Nabi Muhammad ditanya tentang Ihsan, dia menjawab, “Ini adalah bahwa kamu harus melayani Allah seolah-olah bisa melihat-Nya, karena meskipun kamu tidak dapat melihat-Nya namun Dia melihatmu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Jika kita menerapkan hanya hadits Nabi ini dalam perdagangan (dan semua urusan kita yang lain) itu sudah lebih dari cukup. Pernahkah kita lupa bahwa Tuhan selalu ada, mengawasi semua tindakan kita? Apakah karena kita telah kehilangan banyak rasa takut kita kepada Tuhan sehingga kita berhenti memperhatikan perilaku kita; bertindak seakan tidak beriman?

Berikut ini adalah transaksi antara Nabi Muhammad dan salah satu sahabat:

Disebutkan bahwa Al-‘Adda’ bin Khalid berkata: “Nabi Muhammad menulis untukku, “Inilah yang dibeli Muhammad, Rasulullah, dari Al-‘Adda’ ibn Khalid, penjualan dari seorang Muslim ke Muslim lainnya, tanpa cacat tersembunyi, tanpa noda, dan tanpa kejahatan (gha’ ila) (yaitu dalam budak yang dijual.)” Qatada berkata, “Gha’ila berarti percabulan, pencurian dan pelarian.” (HR Bukhari)

Sangat menyedihkan untuk melihat situasi saat ini dari banyak pedagang Muslim ketika kita membandingkannya dengan nenek moyang Muslim kita dan bagaimana perilaku mulia mereka menginspirasi orang-orang yang mereka temui melalui perdagangan untuk memeluk Islam.

“Seperti halnya di sebagian besar wilayah penyebaran Islam, konversi damai dan sukarela jauh lebih penting daripada penaklukan dan kekuatan dalam menyebarkan agama di Asia Tenggara.

Hampir di mana-mana di pulau-pulau di wilayah tersebut, kontak perdagangan membuka jalan untuk konversi. Para saudagar dan pelaut Muslim memperkenalkan masyarakat lokal pada gagasan dan ritual agama baru…” (The Spread of Islam to Southeast Asia: Islam from the Beginning To 1300: 2002)

Pepatah mengatakan, “Tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata,” sangat baik diwujudkan dalam sejarah Islam, yaitu penyebaran Islam di banyak negara non-Muslim – seperti sebagian Asia, Afrika dan Eropa – melalui perilaku baik pedagang Muslim yang datang ke kontak komersial dengan orang-orang dari negara-negara tersebut.

Pada tahun 1500, sejarawan Anthony Reid mencatat bahwa pengaruh Islam hadir di pelabuhan pesisir Sumatera, Jawa, dan Malaysia. Orang-orang Asia Tenggara bersentuhan langsung dengan para pedagang Muslim yang tidak hanya ke India, tetapi juga ke Arab. Cendekiawan Arab juga datang ke Malaysia dan Indonesia, memfasilitasi informasi tentang agama tersebut.

Keberhasilan penyebaran Islam di Indonesia, Malaysia, dan Filipina banyak berkat pengenalan Al-Qur’an dan buku-buku dan referensi Islam lainnya.

Di Afrika Barat, seperti halnya Asia Tenggara, para pedaganglah yang memperkenalkan Islam, dan banyak penguasa menerimanya terlebih dahulu, disusul oleh yang lain.

Di Afrika Timur, para pedagang telah menyebarkan Islam ke pesisir pada abad kesepuluh, dan secara bertahap berkembang lebih jauh pada abad-abad berikutnya…” (Peran Pedagang dalam Menyebarkan Islam)

Sekarang, bayangkan, bagaimana jika Nabi Muhammad masuk ke toko Anda?

Apakah Anda akan segera mencari semua produk kadaluarsa dan membuangnya? Atau membersihkan semua lemari es yang berjamur?

Harap takut akan Allah dan perhatikan apa yang Anda jual dan selalu ingat akan pahala yang Alalh sediakan untuk Anda: “Pedagang yang jujur ​​ ​​akan bersama para nabi, orang-orang yang benar dan para syuhada di hari kiamat.” (HR At-Tirmidzi) []

SUMBER: ABOUT ISLAM/ ISLAMPOS

5 Amalan Ringan namun Pahalanya Besar

AMALAN-amalan yang mudah dilakukan tetapi Allah justru membalasnya dengan ganjaran yang besar, yaitu surga. Amalan ringan namun pahalanya besar, apa saja?

Amalan Ringan namun Pahalanya Besar yang Pertama, menuntut ilmu syar’i akan mengantarkan seseorang ke dalam surga.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Amalan Ringan namun Pahalanya Besar yang Kedua yaitu menjenguk orang yang sedang sakit.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah seorang muslim menjenguk muslim yang lain di pagi hari melainkan 70.000 malaikat bershalawat atasnya, memintakan ampun untuknya hingga ia berada di sore hari.

Dan jika ia menjenguknya di sore hari maka 70.000 malaikat bershalawat atasnya, memintakan ampun untuknya hingga ia berada di pagi hari. Dan ia akan memperoleh buah-buahan yang akan dipetik di dalam surga kelak.” (HR. At-Tirmidzi)

Amalan Ringan namun Pahalanya Besar yang ketiga yaitu menebarkan salam.

Rasulullah ﷺ menyebutkan hal tersebut dalam sebuah hadis. Dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu, Rasulullah SAW bersabda, “Hai manusia sebarkanlah salam, berilah makan orang lain, hubungkanlah sanak keluarga dan dirikanlah solat ketika orang-orang sedang tidur, niscaya Engkau akan masuk surga dengan damai.” (HR. Tirmidzi)

Amalan Ringan namun Pahalanya Besar yang Keempat, melakukan perbuatan kecil seperti menyingkirkan gangguan di jalan juga dapat menjadi penyebab masuk surga.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Sungguh aku telah melihat seorang laki-laki, mondar-mandir di dalam surga, hanya karena ia menyingkirkan gangguan, sebatang pohon di tengah jalan.” (HR. Muslim)

Amalan Ringan namun Pahalanya Besar yang kelima, membaca ayat kursi setelah selesai salat fardhu juga akan membuat seseorang masuk surga.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang membaca ayat kursi setiap selesai salat, maka tidak ada yang dapat menghalanginya untuk masuk surga kecuali kematian.” (HR. An-Nasaa’i). []

ISLAMPOS