Tidak Berdiri Saat Mahallul Qiyam Maulid, Apakah Berdosa?

Sudah maklum bahwa saat kita membaca shalawat Al-Barzanji mahallul qiyam, kita dianjurkan untuk berdiri. Ini dimaksudkan untuk menghormati dan mengangungkan Rasulullah Saw. Namun bagaimana jika kita sengaja tidak berdiri pada saat pembacaan shalawat Al-Barzanji mahallul qiyam, apakah kita bisa berdosa?

Menurut para ulama, berdiri pada saat pembacaan maulid Al-Barzanji mahallul qiyam adalah dianjurkan. Tujuan berdiri ini adalah untuk menghormati dan mengagungkan Rasulullah Saw. Hal ini sebagaimana disebutkan Syaikh Abu Bakr Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin berikut;

جرت العادة أن الناس إذا سمعوا ذكر وضعه صلى الله عليه وسلم يقومون تعظيما له صلى الله عليه وسلم وهذا القيام مستحسن لما فيه من تعظيم النبي صلى الله عليه وسلم ، وقد فعل ذلك كثير من علماء الامة الذين يقتدى بهم

Sudah menjadi tradisi bahwa ketika mendengar kelahiran Nabi Muhammad Saw disebut-sebut, orang-orang akan berdiri sebagai bentuk penghormatan pada beliau. Berdiri seperti itu merupakan perbuatan yang sangat baik (mustahsan) sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Saw. Banyak ulama panutan umat yang sudah melakukan hal itu (berdiri).

Meski berdiri ini pada dasarnya hanya dianjurkan, namun jika kita tidak berdiri karena kita meremehkan terhadap keagungan Rasulullah Saw, maka hal itu bisa menjadikan kita kufur. Namun jika tidak berdiri hanya karena enggan melakukannya saja, bukan karena meremehkan dan tidak pula karena ada uzur, maka kita hanya berdosa. Apabila kita tidak berdiri karena ada uzur, maka hal itu tidak berdosa.

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Qarafi dalam kitab Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq berikut;

قلت: ومن هذا القيام عند ذكر مولده صلى الله عليه وسلم في تلاوة القصة فقد قال المولى أبوالسعود انه قد إشتهر اليوم في تعظميه صلى الله عليه وسلم واعتيد في ذلك فعدم فعله يوجب عدم الإكترث بالنبي صلي الله عليه وسلم وامتهانه فيكون كفرا مخالفا لوجود تعظيمه صلى الله عليه وسلم اه اي إن لا حظ من لم يفعله تحقيره صلي الله عليه وسلم وإلا فهي معصية

Saya katakan: berdiri ketika pembacaan maulid Nabi Saw dalam pembacaan kisahnya, maka Tuan Abu Su’ud berkata sesungguhnya berdiri dalam pembacaan maulid itu sudah masyhur adanya dan sudah menjadi kebiasaan.

Adapun orang yang tidak berdiri ketika dibacakan maulid Nabi Saw bisa seolah-olah tidak menaruh perhatian dan meremehkan Nabi Saw, maka yang demikian ini bisa menyebabkan dirinya kufur dan karena prilakunya tidak sejalan dengan menghormati Nabi Saw. Apabila seseorang tidak berdiri ketika dibacakan maulid dan tidak adanya unsur meremehkan, maka orang tersebut berdosa saja, tidak sampai kufur.

BINCANG SYARIAH

KDRT, Memukul Wajah Istri Sampai Berdarah?

Wahai suami, jangan sampai terjadi KDRT!

Sangat sangat tidak layak seorang laki-laki memukul wanita sampai terluka berdarah, apalagi di wajahnya.

Memukul dan menempeleng di wajah itu dilarang oleh agama baik untuk laki-laki, perempuan, anak-anak, dan siapa saja. Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,

إذَا قاتَلَ أحَدُكُمْ فلْيَجْتَنِبِ الوَجْهَ.

“Jika salah seorang dari kalian berperang (memukul), maka hendaklah ia menghindari bagian wajah.” (HR. Bukhari no. 2372)

Jika memang jantan, seharusnya engkau berhadapan dengan sesama laki-laki.

Engkau beradu otot dengan sesama laki-laki, terlebih di medan jihad.

Tetapi engkau berhadapan dengan wanita yang disifati dalam hadis sebagai kaca yang mudah pecah.

اِرْفَقْ بِالْقَوارِيْرِ

“Lembutlah kepada gelas-gelas kaca (maksudnya para wanita).” (HR. Bukhari)

Diketuk kasar saja, pecahlah kaca. Apalagi dipukul sekuat tenaga bersama kebencian dan cacian. Istrimu adalah partner bersama membangun rumah tangga, bukan rumah duka.

Memang benar, boleh memukul istri, tetapi itu sebagai langkah terakhir. Sekali lagi, sebagai langkah terakhir setelah langkah-langkah berikut:

Pertama: suami instrospeksi diri karena pembangkangan istri dan anak-anak, bisa jadi karena maksiat yang dilakukan oleh si suami sendiri.

Kedua: setelah menasihati istri secara baik-baik.

Ketiga: setelah menjauhi tempat tidurnya.

Memukulnya pun menurut penjelasan ulama itu hanya memakai siwak dan bantal yang tujuannya sekedar untuk menunjukkan puncak ketidaksukaan suami pada istri. Bukan dipukul, dibogem, atau dipukul dengan kayu, apalagi cambuk.

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

عَنْ عَطَاءٍ قَالَ: قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: مَا الضَّرْبُ غَيْرُ الْمُبَرِّحِ؟ قَالَ: السِّوَاكُ وَشِبْهُهُ، يَضْرِبُهَا بِهِ

Dari ‘Atha, dia berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa maksud pemukulan yang tidak menyakitkan?’”

Dia menjawab, ‘Memukul dengan siwak atau yang serupa dengannya.’” (Tafsir Ibnu Jarir, 8: 314)

Cukuplah teladan bagi kita bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memukul istri-istrinya, pembantu, dan budaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ، وَلَا امْرَأَةً، وَلَا خَادِمًا، إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah memukul dengan tangannya, tidak pernah memukul istri, dan tidak pernah memukul pembantu, kecuali ketika berjihad fii sabilillah.” (HR. Muslim)

Semoga Allah Ta’ala menjaga rumah tangga kaum muslimin

***

Penulis: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/79203-kdrt-memukul-wajah-istri-sampai-berdarah.html

Khutbah Jum’at – Mencintai Rasulullah Dengan Mengikuti Tuntunan dan Akhlaqnya

Khutbah I

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وعلى اله وأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أما بعد: فيايها الإخوان، أوصيكم و نفسي بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون، قال الله تعالى في القران الكريم: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمان الرحيم: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.

صدق الله

Sidang jumat yang dirahmati Allah

Marilah bersama-sama kita memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat kesehatan dan marilah bersama-sama kita meningkatkan keimanan dan ketakwaan hanya kepada Allah Azza Wajalla. Sholawat serta salam semoga tetap curahkan kepada baginda nabi Muhammad Saw yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh dengan rahmat yaitu Addinul Islam.

Sidang jumat yang dirahmati Allah

Memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw menjadi sebuah kegembiraan yang tiada terhingga bagi umat muslim, pada momentum inilah umat muslim mengungkapkan kecintaanya dengan keunikan masing-masing daerah di Indonesia, semisal di pulau Lombok NTB, pada momentum maulid anak-anak kecil yang telah lancar membaca Al-Quran ditampilkan di masjid lalu membaca surah yang telah dibagikan sehingga menjadi kebanggaan orangtua melihat anaknya lancar membaca Al-Quran, momentum maulid juga menjadi bulan khitan di pulau lombok selain itu adalah silaturrahim dengan cara mendatangi sanak saudara yang telah lama tidak bersua. kiranya pantaslah umat muslim berbahagaia, karena sekelas Abu Lahab sekalipun sungguh berbagia atas kelahiran kanjeng Nabi dan saking bahagianya sampai membebaskan seorang budak. Kegembiraan atas kelahiran nabi Muhammad membawa berkah, sebagaimana diceritakan dalam Sirah Nabawiyah bahwa Abu Lahab bahkan sampai memerdekakan budaknya yang bernama Suwaibah sebagai bentuk kegembiraannya dengan kedatangan anak dari saudara kandungnya Abdullah bin Abdul Mutalib itu.

Dalam hadis riwayat Imam Bukhari yang berasal dari Urwah bin Zubair mengatakan

وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ ، كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، َلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ – أي بسوء حال –، قَالَ لَهُ : مَاذَا لَقِيتَ ؟ قَالَ أَبُو لَهَبٍ : لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ “

Dan Tsuaibah adalah hamba sahaya milik Abu Lahab yang dia merdekakan kemudian menyusui Nabi Muhammad saw. tatkala Abu Lahab telah meninggal sebagian keluarganya melihat dalam mimpi tentang buruknya keadaan dia. Lalu dia berkata, “Apa yang terjadi?” Abu Lahab berkata, “Aku tidak mendapatkan apapun sepeninggal kalian kecuali aku diberi minum karena memerdekakan Tsuaibah.”

Sidang Jumat yang dirahmati Allah

Abu Lahab yang hingga akhir hayatnya masih tetap dalam keadaan kafir saja, begitu sangat bergembira atas kelahiran nabi Muhamamd Saw. Oleh karena itulah, bagi kita sebagai umatnya nabi Muhammad, wajib bergembira serta mengimplemnetasikan kegembiraan tersebut dengan meneladani ahklaq Rasulullah. Kegembiraan menyambut dan memperingati kelahiran nabi Muhammad sangat meriah, berbagai lomba keagamaan digelar untuk membumikan ajaran Rasulullah. Di indonesia bulan ini lazim kita sebut dengan maulid, berbagai perayaan yang terbalut dalam tradisi menjadi salah satu keunikan dan cara masyarakat indonesia bersyukur dan bersuka cita atas kelahiran nabi Muhammad Saw. bagaimana tidak! dengan kelahiran nabi Muhammad Saw yang menjadi nabi dan rasul terakhir, seluruh alam semesta mendapatkan rahmat dari Allah SWT, hal ini ditegaskan dalam surah al – anbiya ayat 107 :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya : 107)

Sidang Jumat yang dirahmati Allah

Kata kunci dari memperingati maulid Nabi Muhammad Saw adalah meneladani ahlaq beliau yang lemah lembut serta penuh dengan kejujuran. Kita sebagai umat Nabi Muhammad Saw tentu berharap dikemudian hari akan mendapatkan syafaat darinya, namun demikian bagaimana mungkin kita akan mendapatkan syafaat jikalau kondisi diri kita masih berselimutkan kekerasan, berselimutkan kebencian, berselimutkan munafik dan perbuatan jelek lainnya. Nabi Muhammad Saw diutus kedunia sebagai rasul tiadalah lain kecuali untuk memperbaiki ahlaq manusia yang telah rusak, dalam sebuah hadist rasulullah bersabda :

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق

“Sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki akhlaq” (HR. Bukhari)

Hadist tersebut dapatlah menjadi pegangan bagi kita semua untuk saling selalu berusaha memperbaikan diri, memperbaiki akhlaq. Ditengah arus informasi dan perubahasn sosial yang semakin tak terbendung masih banyak diantara kita juga yang lupa serta larut dalam kesenangan duniawi bahkan mungkin juga masih banyak diantara kita yang tidak mengambil manfaat dari perayaan maulid nabi. oleh karena itulah penting sekali bagi kita sekalian untuk bermuhasabah diri, mari kita lihat kembali apakah pantas kita menyebut diri sebagai  umat nabi Muhammad Saw, apakah pantas kiranya nabi Muhammad Saw akan memberikan kita syafaatnya kelak dihari perhitungan!.

Pertanyaan seperti inilah yang pada bulan Maulid tahun ini kita renungkan kembali seraya mengenang bagaimana perjuangan nabi Muhammad Saw dalam berdakwah sehingga kita tidak menjadi salah arah. karena tidak dapat dipungkiri banyak diantara kita yang mungkin masih merasa paling benar, merasa paling alim dan dekat dengan Allah SWT sehingga seringkali kita mekasakan kehendak, kita merasa yang paling islami sehingga sanggup melabelkan saudara sesama muslim menjadi kafir dan sebutan lainya yang kurang pantas.

Pada momentum bulan maulid yang jatuh pada bulan ini, marilah kita jadikan sebagai sarana muhasabah atau merenungkan kembali apakah kita telah meneladani rasulullah dan marilah kita tiada hentinya berlomba menjadi umat terbaik nabi Muhammad Saw. Karena berlomba menjadi yang terbaik juga tiada lain merupakan perintah Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 148 :

وَلِكُلٍّوِجْهَةٌهُوَمُوَلِّيهَافَاسْتَبِقُواالْخَيْرَاتِأَيْنَمَاتَكُونُوايَأْتِبِكُمُاللَّهُجَمِيعًاإِنَّاللَّهَعَلَىكُلِّشَيْءٍقَدِيرٌ

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah, 2: 148)

Sidang Jum’at rahimakumullah,

Semoga uraian singkat tersebut dapat menjadi pengingat sekaligus menjadi spirit baru untuk menuju perbaikan diri sehingga kita akan mendapatkan rahmat Allah SWT, dan semoga kita semua benar-benar dapat menjalankan segala perintah dan larangan-Nya dengan tanpa diiringi sifat Takabbur dan semoga kita semua termasuk orang-orang yang memiliki umur yang diberkati Allah subhanu wata’la. sehingga kita dapat memanfaatkan umur kita dengan sebaik-baiknya dan dapat menjalankan tuntunan Nabi Muhammad Saw yang setiap harinya memohon ampun dan perlindungan Allah SWT.

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ : أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

ISLAM KAFFAH

Membangun Sinergi Kebaikan, Menolak Permusuhan

Tolong-menolonglah kamu sekalian pada kebaikan dan takwa dan jangan tolong-menolong (sinergi) dalam dosa dan permusuhan

SINERGI berasal dari bahasa Yunani yaitu synergos yang berarti bekerja bersama-sama. Sinergi adalah suatu bentuk dari sebuah proses atau interaksi yang menghasilkan suatu keseimbangan yang harmonis sehingga bisa menghasilkan sesuatu yang optimum.

Sinergi yang dikehendaki dalam ajaran Islam adalah sinergi dalam hal yang baik dan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan. Hal ini ditegaskan dalam Surat al-Maidah ayat 2, Allah SWT berfirman;

وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu sekalian pada kebaikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.“ (QS: Al-Maidah: 2).

Secara tegas ayat di atas memerintahkan agar mengedepankan sinergi dan koordinasi. Hanya dengan sinergi permasalahan sekompleks apapun akan bisa diselesaikan dengan baik. Sinergi dapat memadukan berbagai potensi dan kekuatan, baik yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang, sehingga terjadi saling mengisi, melengkapi dan saling memperkuat.

Kaum Muslimin sudah tidak asing lagi dengan ungkapan seorang sahabat Nabi ﷺ, Ali bin Abi Thalib bahwa kebenaran yang tidak terorganisir dapat dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir dengan rapi.

Ibarat sebuah bangunan yang dapat berdiri kokoh ketika terjadi sinergi dan saling menopang yang harmonis antarberbagai unsur yang ada di dalamnya. Bahkan, bukan sekadar berdiri tegak dan kokoh, keindahan bangunan pun akan tampak dengan jelas.

Rasulullah ﷺ memberikan suatu ilustrasi, mukmin yang satu dengan mukmin yang lain ibarat satu bangunan yang saling memperkuat (HR Muslim). Perumpamaan orang yang beriman ibarat satu tubuh, jika satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh lainnya akan turut merasakan sakit.(HR. Bukhari dan Muslim).

Sinergi dan koordinasi itu akan semakin dirasakan manfaatnya secara luas manakala dilandasi al-birr (kebaikan) dan takwa. Artinya, sinergi dan koordinasi harus dalam hal yang positif dan bermanfaat bagi kehidupan.

Tidak boleh bersinergi dalam kemaksiatan dan dalam permusuhan. Tidak ada taawun dalam hal yang destruktif, merugikan, dan membahayakan bagi kehidupan.

Dalam membangun sinergitas ada beberapa syarat yang hendaknya dilakukan, yakni membangkitkan kepercayaan, membangun komunikasi yang efektif untuk mencegah distorsi pesan, membudayakan feedback yang cepat, dan menumbuhkan kreativitas baik vertikal maupun horizontal.

Salah satu prinsip sinergi adalah membangun kepercayaan (al-tsiqah). Budaya saling mempercayai harus dibangun meski memerlukan waktu.

Hal ini penting, karena kepercayaan yang bijak dan cerdas adalah hal yang dapat mengubah sesuatu atau mewujudkan dinamika menuju perubahan yang diharapkan.

Dalam suatu organisasi, kemampuan untuk membangun, menumbuhkan, menjaga dan mengembalikan semua kepercayaan (trust) para pemangku kepentingan maupun mitra kerja merupakan kunci sinergi.

Membangun trust berarti memikirkan suatu kepercayaan dalam cara yang positif, .penting bagi sebuah hubungan karena di dalamnya terdapat kesempatan melakukan aktivitas yang kooperatif, pengetahuan, self-respect, dan nilai moral lainnya.

Dalam membangun sebuah lembaga, organisasi –termasuk membangun bangsa dan menyelesaikan berbagai persoalan bangsa– sinergitas yang baik antara semua komponen (pihak) dalam satu komando adalah suatu hal yang niscaya. Dengan sinergitas inilah cita-cita sebuah lembaga (bangsa) akan bisa terwujud secara efektif dan efisien. Dalam bahasa agama, terwujud baldatun thayyibatun warabbun ghafur.

Dalam hidup ini perlu sinergi. Tanpa sinergi, tidak akan ada keharmonisan dalam kehidupan, karena masing-masing akan senantiasa untuk mementingkan dirinya sendiri, keluarganya sendiri, dan kelompoknya sendiri. Dalam istilah Arab, hidup nafsi nafsi.

Manusia seringkali lupa, bahwa manusia adalah makhluk sosial, artinya manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bantuan orang lain. Jika demikian, maka sudah semestinya manusia harus membangun sinergitas dalam hidup dan kehidupan.

dalam tubuh kita ini, dibangun dengan sinergis. Tatkala satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh lainnya akan turut saling membantu dan berempati satu sama lain.

Tidak ada satu pun anggota tubuh yang saling menyalahkan satu sama lain. Jadi, dalam diri kita ada pelajaran (ibrah) yang berharga untuk diimplementasikan dalam hidup dan kehidupan. 

Oleh karena itu, membangun sinergitas dalam kelembagaan, organisasi, kenegaraan dan kehidupan bukanlah sebatas wacana, namun membutuhkan bukti dan kesungguhan dari semua kita. Wallahu a’lam.*/Imam Nur Suharno, Kepala Divisi HRD dan Personalia Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

HIDAYATULLAH

Kualatnya Anak Durhaka

Tiba-tiba sebelah kanan tubuh anak durhaka ini lumpuh di depan Ka’bah, ia kualat akibat perilakunya terhadap ayahnya

KONON, ada seorang pemuda bernama Munazil. la gemar bersenda gurau, bermain-main, dan berbagai kesenangan, namun ia tidak juga sadar dari hal-hal itu.

la memiliki seorang ayah yang taat beragama. Ayahnya sering memberinya nasihat.

“Nak, waspadalah terhadap kesalahan dan kekeliruan pemuda, karena Allah memiliki kuasa dan siksa yang tidaklah jauh dari orang-orang dzalim.”

Setiap kali sang ayah memintanya dengan sangat, ia semakin membangkang dan berlaku lalim terhadap ayahnya. Pada suatu hari, ayahnya terus memberi nasihat atas kebiasaan buruknya, tapi kemudian anak itu menampar ayahnya.

Sang ayah pun bersumpah dengan nama Allah seraya bersungguh-sungguh dan berkata, “la akan mendatangi Baitullah lalu bergantungan di kain Ka’bah.”

Sang ayah mendoakan keburukan pada anaknya. Si anak pun pergi hingga sampai ke Baitullah. la bergantungan di kain Ka’bah lalu berkata:

Wahai Zat yang didatangi oleh ALHajjaj, mereka telah memutus harapan dari dekat dam jauh

Aku mendatangi-Mu wahai Zat yang tidak menyia-nyiakan

Orang yamg menyeru-Nya dengan sepenuh hati dengan menyebut

Maha Esa tempat bergantung

Ini Munazil yang tidak melepaskan diri dari kedurhakaan

Dengan hakku, renggnutlah aku dari ayahk, wahai Yang Maha Pemurah

Dengan daya-Mu, sisi tubuhnya menjadi lumpuh

Wahai Zat Yang Suci yang tidak dilahirkan dan yang tidak melahirkan

Konon, belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba sebelah kanan tubuh anak durhaka ni lumpuh.Kita berlindung kepada Allah dari kerasnya hati.*/Ibrahim Abd Muqtadir, “Wisdom of Luqman El Hakim” (Aqwam)

HIDAYATULLAH

Meneladani Rasulullah dalam Praktek Bernegara dan Berbangsa

Umat Islam akan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, 12 Rabiul Awal 1444 Hijriah. Disamping, perayaan dengan tradisi bermacam-macam, Maulid Nabi harus dijadikan momentum menghidupkan keteladanan bernegara yang diperjuangkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW.

Ketua Program Studi Magister Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, Dr. Abdul Muid Nawawi, MA., mengatakan dalam hal berbangsa dan bernegara, hal utama yang bisa diteladani dari Rasulullah adalah akhlaknya. Sebagaimana salah satu akhlak terpujinya adalah Al-Amin (dapat dipercaya).

“Kemuliaan akhlak disini secara spesifik adalah bahwa Rasulullah ini adalah orang yang memegang amanah, bergelar Al-Amin itu tadi yakni yang dapat dipercaya,” ujar Dr. Abdul Muid Nawawi, MA di Jakarta, Kamis (6/10/2022).

Menurutnya, dalam konteks bernegara, Nabi Muhammad SAW menerapkan apa yang disebut Piagam Madinah. Piagam itu merupakan sebuah pakta atau perjanjian yang melibatkan seluruh elemen masyarakat Madinah dengan segala perbedaan yang ada, seperti perbedaan agama, suku, tradisi, atau perbedaan lainnya yang kemudian itu dirangkul dalam suatu tempat namanya Madinah.

“Misalnya kita telah sepakat dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), maka menepati janji kesepakatan itu adalah bagian dari kemuliaan akhlak yang bisa kita teladani. Tidak kemudian memaksakan kehendak suatu kelompok baik mayoritas ataupun minoritas untuk dipaksakan. Kalau pun ada perubahan, maka perubahannya tentu lewat kesepakatan juga, bukan lewat pemaksaan,” jelasnya

Abdul Muid menambahkan, Pancasila sebagai dasar negara memiliki kemiripan dengan Piagam Madinah yang berfungsi mempererat persatuan diatas perbedaan dan melindungi masyarakat Indonesia dari segala ancaman.

“Pancasila itu merangkul seluruh perbedaan yang ada. Perbedaan agama, perbedaan suku, perbedaan ras, perbedaan budaya, semua itu dirangkul oleh Pancasila.  Bahkan termasuk juga perbedaan kepentingan politik juga dirangkul dengan Pancasila oleh Persatuan Indonesia,” ungkapnya.

Untuk itu, Ketua Bidang Literasi PB Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) ini berharap masyarakat bisa meneladani dan mengaktualisasikan semangat dalam membangun dan menjaga NKRI sebagaimana teladan Rasulullah dalam menjaga Madinah. Caranya dengan mensyukuri sepenuh hati nikmat besar yang diberikan Allah SWT kepada bangsa ini.

“Kita harus mensyukuri bahwa para pendiri bangsa kita ini adalah orang-orang yang sangat cerdas, dan jenius. Mereka telah mewariskan kepada kita bangsa ini dengan sangat baik. Ini warisan yang patut kita syukuri dan merawat. Bagi yang menghianati itu berarti tidak mensyukuri,” ujarnya.

Muid juga menyinggung terkait asumsi yang beranggapan, bahwa konsep bernegara yang ada di negeri ini dianggap tidak sesuai dengan apa yang dibangun/digagas oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan mereka juga mempertentangkan Pancasila. Menurutnya, narasi yang demikian bisa dilawan dengan dua cara.

Pertama, dengan kontra narasi yaitu menarasikan persatuan, menarasikan kebersamaan, menarasikan apapun yang penting bagi Indonesia. Kedua, dengan membuktikan dan mengaktualisasikan rasa persatuan, bahwa semua umat dan suku yang ada adalah saudara sebangsa setanah air. Dengan begitu, rasa aman dan nyaman akan tumbuh di tengah masyarakat, sehingga meminimalisir ancaman-ancaman yang hendak merusak persatuan dan persaudaraan bangsa.

“Itulah yang dihadirkan oleh Rasulullah SAW,  di mana tidak pernah ada non-muslim atau beda apapun yang terancam oleh kehadiran Rasulullah,” tuturnya.

Tidak hanya masyarakat, kata Muid, ia juga berharap pemerintah mampu meneladani akhlak Rasulullah untuk senantiasa menjaga dan memberi contoh baik bagi rakyat agar terbangun negara yang aman, maju dan sejahtera.

“Pemerintah harus terpuji sesuai keinginan rakyat. Kehadiran pemerintah juga benar-benar bermanfaat bagi seluruh rakyat,” pungkas Abdul Muid.

ISLAMKAFFAH

8 Bentuk Gibah

SAHABAT Islampos, bergosip atau gibah merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam. Gibah ini ada banyak macamnya. Muslim perlu mengetahui berbagai bentuk gibah supaya bisa terhindar darinya juga menghindari dari terjerumus ke dalamnya.

Gibah termasuk perbuatan menceritakan kekurangan orang lain sehingga tersebar luas. Gibah merupakan salah satu dosa besar dalam Islam. Orang yang menggibah tidak akan diampuni Allah SWT sampai dia meminta maaf kepada orang yang digibahinya dan meminta keridhaannya.

Allah SWT berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (QS  An Nur: 19)

Ketua umum Rabithah Alawiyyah yang juga pengasuh Pondok Pesantren Sunniyah Salafiyah Pasuruan, Habib Taufiq bin Abdul Qodir Assegaf saat mengisi kajian Kitab Ihya Ulumuddin yang disiarkan melalui kanal resmi YouTube Sunsal Media beberapa waktu lalu menjelaskan tentang berbagai bentuk gibah yang harus dijauhi oleh setiap Muslim.

1 Bentuk gibah: Gibah lisan

Gibah dengan lisan yaitu menceritakan kekurangan atau aib orang lain sehingga diketahui orang banyak. Dampak gibah dengan lisan sangat berbahaya sebab bisa memprovokasi orang lain sehingga tidak menyukai atau membenci seseorang.

2 Bentuk gibah: Gibah dengan tulisan

Gibah dengan tulisan yakni menceritakan aib orang lain dengan tulisan. Menurut Habib Taufiq gibah melalui tulisan bahkan bisa lebih berbahaya dari gibah lisan sebab gibah melalui tulisan akan bisa tersebar lebih luas.

“Gibah tidak harus dilakukan dengan lafaz dengan mulut. Gibah bisa juga dalam bentuk tulisan. Lewat medsos menceritakan aib orang lain. Tulisan itu lebih berbahaya karena bisa turun-temurun,” kata Habib Taufiq Assegaf.

3 Bentuk gibah: Gibah dengan isyarat

Gibah dengan isyarat maksudnya seseorang memberikan isyarat tentang aib seseorang kepada orang lain. Misalnya seseorang mendapati tamu yang datang ke rumahnya bertubuh pendek. Kemudian dia memberitahu kepada keluarganya yang lain dengan mengatakan “Ada tamu segini tubuhnya (sambil memberi isyarat dengan tangan menunjukkan tinggi tubuh tamu tersebut).

4 Bentuk gibah: Menirukan

Habib Taufiq mencontohkan seseorang yang menirukan atau mempraktikkan saudaranya yang mengalami keterbatasan fisik sehingga ditonton orang lain maka itu termasuk juga dalam gibah. Bakan dosanya berlipat karena telah mengolok-olok.

Habib Taufiq mengingatkan jangan kelebihan yang dimiliki oleh diri sendiri membuat menghina atau merendahkan orang lain. Sebab Allah dapat dengan mudah menghilangkan kelebihan itu dan merendahkan. Allah juga dapat dengan mudah mengangkat derajat seseorang dan memuliakannya.

5 Bentuk gibah: Membuka aib orang lain dengan menunjukkan kelebihan diri sendiri

Gibah dengan menampakkan kelebihan diri sebagai isyarat untuk membuka aib orang lain. Gibah jenis ini menurut habib Taufiq rentan menyerang pada ulama atau orang saleh.

Terkadang seseorang ketika mendapat saudaranya sesama muslim melakukan suatu aib, lalu dihadapan orang banyak seseorang tersebut membanggakan dirinya sebagai orang saleh yang terhindar dari melakukan aib tersebut (maksudnya memberitahu orang lain atau menunjukkan ada pelaku aib yaitu adalah saudaranya).

Bentuk gibah: Gibah dengan mengiringi pujian

Gibah mengiringi pujian. Habib Taufiq mengatakan banyak orang tergelincir dengan jenis gibah ini. Banyak orang yang memuji saudaranya namun pada akhirnya menceritakan kekurangan aibnya. Seperti menyebut saudaranya itu pintar, rajin, namun di akhir menceritakan keburukannya.

7 Bentuk gibah: Gibah dengan mendengar

Termasuk melakukan gibah ketika seseorang mendengar orang lain sedang menggibah lalu dirinya justru ikut bercampur atau mendengarkan dan tidak mencegah atau memberhentikan ghibah itu.

Maka, kendati tidak melakukan gibah dengan mulut, dirinya tetap melakukan ghibah dengan mendengar. Karena itu ketika mendapati orang yang melakukan gibah, hendaknya menurut habib Taufiq seorang Muslim segera mencegahnya agar tidak terjadi gibah.

8 Bentuk gibah: Membicarakan orang yang sudah meninggal

Menggibah orang yang sudah meninggal termasuk perbuatan dosa. Bahkan akan sulit untuk menghapus dosanya sebab orang yang digibahi telah meninggal. []

SUMBER: REPUBLIKA

Tauhid dan Kecintaan

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan,

“Pokok dari tauhid dan ruhnya adalah memurnikan cinta hanya kepada Allah semata. Ia merupakan sumber penghambaan dan ketundukan diri kepada-Nya. Bahkan, ia merupakan intisari dari hakikat ibadah. Tauhid pada diri seseorang tidak akan sempurna, kecuali dengan menyempurnakan cintanya kepada Rabbnya. Kecintaan kepada-Nya mendahului kecintaannya kepada segala sesuatu dan mengalahkan itu semua. Sehingga dia akan menimbang segala bentuk kecintaannya kepada apa saja dengan menundukkannya terhadap kecintaan kepada-Nya, yang dengan cinta itulah kebahagiaan hamba dan keberuntungannya akan sempurna.

Salah satu unsur yang melengkapi kecintaan tersebut adalah kecintaan fillah, yaitu tatkala seorang hamba mencintai amal dan orang-orang yang Allah cintai. Demikian pula, dia akan membenci amal atau orang-orang yang dibenci Allah. Dia akan membela wali-wali-Nya dan memusuhi musuh-musuh-Nya. Dengan seperti itulah, iman dan tauhid pada diri seorang hamba akan menjadi lengkap dan sempurna.

Adapun perbuatan mengangkat makhluk sebagai sekutu dalam hal cinta, di mana dia mencintai mereka sebagaimana cinta kepada Allah dan lebih mendahulukan ketaatan kepada mereka di atas ketaatan kepada Allah, merasa mendapatkan ketetapan hati dan ketenangan dengan mengingat mereka (pujaan selain Allah) dan berdoa kepada mereka, maka perbuatan ini adalah tergolong syirik besar. Sebuah dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah. Hati dari orang yang melakukan kesyirikan ini pun telah terputus dari petolongan dan perlindungan Zat Yang Mahaperkasa lagi Mahaterpuji. Bahkan, hatinya selalu bergantung dan bersandar kepada selain Allah, padahal sesuatu itu tidak menguasai apa pun untuknya. Perantara yang lemah ini dan dijadikan oleh orang-orang musyrik sebagai tempat bergantung dan menyandarkan hati mereka (kepada selain Allah), maka pada hari kiamat kelak (jalinan kasih sayang) itu akan lenyap dan terputus. Padahal ketika itu dia sedang berada dalam kondisi paling membutuhkan (pahala) amalnya. Pada saat itu, kecintaan ini justru berubah menjadi kebencian dan permusuhan.

Perlu diketahui bahwa kategori cinta itu ada tiga macam:

Pertama, cinta kepada Allah yang hal itu menjadi pokok keimanan dan sumber tauhid.

Kedua, cinta fillah (cinta karena Allah), yaitu cinta kepada para nabi Allah, rasul-rasul-Nya dan para pengikut mereka, cinta kepada amal, tempat-tempat atau hal lain yang dicintai oleh Allah. Cinta ini mengikuti kecintaan kepada Allah dan penyempurna baginya.

Ketiga, cinta ma’allah (mencintai sekutu selain Allah), itu merupakan cintanya orang-orang musyrik kepada pujaan dan sesembahan mereka yang berwujud pohon, batu, manusia, malaikat, atau yang lainnya. Maka, kecintaan semacam itu adalah pokok kesyirikan dan asasnya.

Di sana terdapat jenis cinta yang keempat, yaitu cinta yang sudah menjadi naluri manusia terhadap hal-hal yang disenangi dan dirasa cocok oleh jiwanya berupa makanan, minuman, pernikahan, pakaian, pergaulan, dan lain sebagainya. Cinta jenis ini, meskipun pada asalnya mubah, namun apabila ia menjadi sarana yang membantu untuk mewujudkan kecintaan kepada Allah dan merealisasikan ketundukan/ ketaatan kepada-Nya, maka ia termasuk dalam cakupan ibadah. Akan tetapi, apabila justru memalingkan orang dari hal itu dan memerantarai menuju perkara-perkara yang tidak disenangi oleh Allah, maka ia pun akan termasuk dalam cakupan hal yang terlarang. Dan kalau misalnya tidak ada kaitan dengan kedua tujuan di atas (mewujudkan sesuatu yang dicintai Allah atau dibenci-Nya), maka cinta seperti itu akan tetap berada pada status hukum asalnya, yaitu tergolong dalam perkara yang dibolehkan (mubah). Wallahu a’lam.” (Al-Qaul As-Sadid, hal. 95-97)

Syekh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah mengatakan,

“Salah satu tanda kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya adalah dengan mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang Dia benci sebagaimana Allah membencinya. Dia akan lebih mengutamakan keridaan Allah di atas segala sesuatu selainnya. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk mencapai apa yang membuat Allah rida. Dia akan menjauhi apa yang diharamkan Allah dan dia akan membencinya dengan amat sangat. Dia akan mengikuti ajaran rasul-Nya, melaksanakan perintahnya, dan meninggalkan larangannya. Hal itu sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala,

مَّن یُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ

Barangsiapa yang taat kepada Rasul itu, maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 80)

Oleh sebab itu, barangsiapa yang mendahulukan perintah selainnya (selain Rasul) di atas perintah beliau dan menyelisihi apa yang dilarangnya, maka itu adalah tanda ketiadaan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena kecintaan kepada Rasul itu sesungguhnya merupakan konsekuensi kecintaan kepada Allah. Barangsiapa cinta kepada Allah dan menaatinya, niscaya dia juga akan mencintai rasul dan menaatinya. Adapun orang yang tidak demikian (tidak cinta kepada Allah), maka hal itu juga tidak akan dia lakukan (menaati rasul-Nya).” (Fath Al-Majid, 312)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Pokok dari seluruh amal perbuatan adalah rasa suka (cinta). Karena seorang manusia tidaklah melakukan sesuatu, kecuali apa yang disukainya, baik dalam rangka mendapatkan manfaat atau untuk menolak madharat. Maka, apabila dia melakukan sesuatu tentulah karena dia menyukainya. Mungkin karena zat sesuatu itu sendiri (sebab internal), seperti halnya makanan atau karena sebab eksternal, seperti halnya meminum obat. Ibadah kepada Allah itu dibangun di atas pondasi kecintaan. Bahkan, rasa cinta itulah hakikat dari ibadah. Sebab, apabila anda beribadah tanpa memiliki rasa cinta, maka ibadah yang anda perbuat akan terasa hambar dan tidak ada ruhnya. Karena sesungguhnya apabila di dalam hati seorang insan masih terdapat rasa cinta kepada Allah dan keinginan untuk menikmati surga-Nya, maka tentunya dia akan menempuh jalan untuk menggapainya…” (Al-Qaul Al-Mufid, 2: 3)

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Tanda kebenaran cinta itu ialah apabila seseorang dihadapkan kepadanya dua perkara, salah satunya dicintai Allah dan Rasul-Nya sementara di dalam dirinya tidak ada keinginan (nafsu) untuk itu. Sedangkan perkara yang lain adalah sesuatu yang disukai dan diinginkan oleh nafsunya, akan tetapi hal itu akan menghilangkan atau mengurangi perkara yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Apabila ternyata dia lebih memprioritaskan apa yang diinginkan oleh nafsunya di atas apa yang dicintai Allah ini, berarti dia telah berbuat zalim dan meninggalkan kewajiban yang seharusnya dilakukannya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 332)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78974-tauhid-dan-kecintaan.html

Teks Khotbah Jumat: Pelajaran Penting dari Kisah Ashabul Kahfi

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral Muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Ada satu kisah fenomenal yang Allah Ta’ala sebutkan di dalam Al-Qur’an. Kisah yang selalu diceritakan dari generasi ke generasi kaum muslimin. Kisah yang menggambarkan betapa besarnya pengaruh akidah yang kuat dalam membendung gempuran nafsu syahwat dan syubhat pada diri seseorang. Sehingga dengan tauhid, semakin fokus dan ikhlas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Kisah para pemuda yang yang sedang dalam puncak-puncak keremajaan, para pemuda yang gelora syahwatnya dan rasa ingin tahunya masih menyala-nyala. Dengan kondisi seperti itu, mereka justru berpaling dari dunia yang penuh tipuan ini. Padahal di zaman tersebut, kemaksiatan merajalela dan kesyirikan mengakar kuat, sampai-sampai pelaku kemaksiatan dan kesyirikan itu selalu memaksa manusia lainnya untuk ikut serta tenggelam dalam kemaksiatan sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّهُمْ إِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ

“Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempari kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka.” (QS. Al-Kahfi: 20)

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, kisah tersebut adalah kisah Ashabul Kahfi, pemuda-pemuda penghuni gua yang Allah angkat derajatnya, para pemuda yang sangat yakin bahwa Allah Ta’ala akan senantiasa menjaga mereka selama mereka menjaga tauhid dan keimanan.

Para pemuda yang Allah jadikan kisah mereka sebagai kisah permisalan dalam hal keimanan, kisah yang sangat dibutuhkan oleh setiap pemuda muslim untuk dijadikan lentera petunjuk dalam menghadapi krisis iman. Di dalam kisah ini, terkandung banyak sekali pelajaran dan manfaat yang bisa diraih oleh pendengarnya.

Jemaah salat Jumat yang berbahagia.

Pelajaran pertama dan paling utama dari kisah Ashabul Kahfi adalah pentingnya mempelajari dan mengamalkan tauhid dengan benar. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala memulai kisah mereka ini dengan menyebutkan bagaimana tingginya kualitas tauhid mereka. Allah Ta’ala berfirman,

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَاَهُمْ بِالْحَقِّۗ اِنَّهُمْ فِتْيَةٌ اٰمَنُوْا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنٰهُمْ هُدًىۖ * وَّرَبَطْنَا عَلٰى قُلُوْبِهِمْ اِذْ قَامُوْا فَقَالُوْا رَبُّنَا رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ لَنْ نَّدْعُوَا۟ مِنْ دُوْنِهٖٓ اِلٰهًا لَّقَدْ قُلْنَآ اِذًا شَطَطًا

“Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka. Dan Kami teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri lalu mereka berkata, “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami tidak menyeru tuhan selain Dia. Sungguh, kalau kami berbuat demikian, tentu kami telah mengucapkan perkataan yang sangat jauh dari kebenaran.” (QS. Al-Kahfi: 13-14)

Baca Juga: Kisah Teladan dari Para Ulama Hebat di Bulan Ramadan

Pelajaran selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

“(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.” (QS. Al-Kahfi: 10)

Para pemuda tersebut mengajarkan akan pentingnya senjata doa bagi orang-orang saleh dan para pendakwah. Para pemuda penghuni gua ini berdoa meminta dua perkara yang sangat penting, yaitu: rahmat kasih sayang Allah Ta’ala, serta petunjuk Allah bagi mereka. Dua perkara yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang saleh dan para pendakwah di saat menghadapi cobaan dan ujian. Dua perkara yang menjadi senjata di saat fitnah dan perpecahan sedang terjadi.

Jemaah yang dirahmati Allah Ta’ala.

Di antara faedah lainnya adalah Allah Ta’ala menyematkan sifat ‘muda’ untuk para penghuni gua tersebut, sebagai bentuk pujian kepada mereka dan menunjukkan betapa mulianya masa muda bagi seseorang.

Masa muda, jika dimanfaatkan untuk kebaikan seperti hidup berdampingan dengan Al-Qur’an atau menyibukkan diri dengan ibadah dan amal, maka balasannya pada hari kiamat adalah mendapatkan naungan Allah Ta’ala. Pada hari tersebut, tidak ada yang dapat menaungi seorang pun, kecuali Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ في ظِلِّهِ، يَومَ لا ظِلَّ إلَّا ظِلُّهُ (منها): وشَابٌّ نَشَأَ في عِبَادَةِ رَبِّهِ

“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah Ta’ala pada hari di mana tidak ada naungan, kecuali naungan-Nya. Di antaranya: seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah.” (HR. Bukhari no. 660 dan Muslim no. 1031)

Sungguh merupakan kemuliaan bagi setiap pemuda yang menjaga masa mudanya, menghabiskannya untuk ketaatan kepada Allah Ta’ala. Terlebih lagi jika dia hidup di zaman dan lingkungan yang tersebar di dalamnya fitnah syubhat dan syahwat. Sungguh merupakan karunia Allah Ta’ala dan hidayah-Nya apabila ada seorang pemuda yang mampu menjaga dirinya dari terjangan ombak fitnah ini.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga pemuda-pemuda kaum muslimin, anak-anak kita, generasi penerus kita dari terjatuh ke dalam jurang fitnah, menjaga mereka dari kesyirikan, kemaksiatan, dan hal-hal yang tidak bermanfaat. Semoga Allah jadikan para pemuda kaum muslimin saat ini memiliki keimanan layaknya para pemuda di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

أقُولُ قَوْلي هَذَا  وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Maasyiral mukminin yang dimuliakan Allah Ta’ala,

Allah Ta’ala berfirman,

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ 

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89)

Begitu lengkapnya Al-Qur’an ini, sampai-sampai di dalam kisah Ashabul Kahfi ini terdapat penjelasan penting yang berhubungan dengan ilmu kedokteran. Allah Ta’ala berfirman,

وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ

“Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri.” (QS. Al-Kahfi: 18)

Ayat ini menjelaskan pentingnya membolak-balikkan posisi orang sakit yang sudah tidak bisa bergerak dan hanya diam di kasur saja. Hikmahnya, agar zat garam yang terkandung dalam tubuh orang sakit tersebut tidak mengendap di satu sisi saja, karena itu akan menyebabkan penggerusan dan pembusukan. Para ahli medis menjelaskan bahwa apabila kebusukan itu terjadi, maka itu termasuk cedera dan penyakit yang sulit untuk diobati.

Ma’asyiral Muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Di ayat selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,

وَكَذٰلِكَ بَعَثْنٰهُمْ لِيَتَسَاۤءَلُوْا بَيْنَهُمْۗ قَالَ قَاۤىِٕلٌ مِّنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْۗ قَالُوْا لَبِثْنَا يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍۗ قَالُوْا رَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْۗ فَابْعَثُوْٓا اَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هٰذِهٖٓ اِلَى الْمَدِيْنَةِ فَلْيَنْظُرْ اَيُّهَآ اَزْكٰى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِّنْهُ 

“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka, agar di antara mereka saling bertanya. Salah seorang di antara mereka berkata, ‘Sudah berapa lama kamu berada (di sini)?’ Mereka menjawab, ‘Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.’ Berkata (yang lain lagi), ‘Tuhanmu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, dan bawalah sebagian makanan itu untukmu.’” (QS. Al-Kahfi: 19)

Lihatlah bagaimana para penghuni gua tersebut! Mereka lebih mendahulukan urusan yang penting dan urgen daripada urusan lainnya yang tidak penting. Mereka tinggalkan perdebatan yang tiada habisnya dan mendahulukan mencari makanan di saat merasakan kelaparan. Ayat ini juga mengajarkan kepada kita tentang pentingnya menjaga skala prioritas dalam bertindak, tidak mudah terkecoh dengan hal-hal yang tidak bermanfaat dan tidak mengandung kebaikan.

Pelajaran selanjutnya yang bisa kita ambil adalah wajibnya berbuat baik dan berlemah lembut di dalam kehidupan, menyambung silaturahmi, dan berinteraksi dengan orang lain. Hal ini sebagaimana perkataan salah satu penghuni gua tersebut,

وَلْيَتَلَطَّفْ

“Dan hendaklah dia berlaku lemah lembut.”

Jemaah yang senantiasa dirahmati Allah Ta’ala.

Dalam kisah Ashabul Kahfi ini ada satu poin penting yang harus kita ingatkan.

Sebagian dari mereka yang sangat lemah akidah dan hidayahnya menjadikan firman Allah Ta’ala,

قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا

“Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, ‘Kami pasti akan mendirikan sebuah rumah ibadah di atasnya.’” (QS. Al-Kahfi: 21)

Sebagai dalil bolehnya membangun masjid di atas kuburan orang-orang saleh!

Ini jelas keliru, karena ayat di atas sedang menceritakan perkataan seorang pembesar dan penguasa di zaman tersebut, yang seringnya orang-orang semacam ini merupakan orang yang jahil, orang yang tidak mengetahui agama Islam dengan baik. Mereka menginginkan agar perbuatan mereka tersebut dapat mengabadikan peristiwa ajaib yang dialami oleh para pemuda penghuni gua.

Padahal telah jelas bahwa perbuatan semacam ini dalam syariat kita hukumnya haram. Bahkan, pelakunya mendapatkan laknat dari Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَعَنَ اللَّهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Allah melaknat Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR. Bukhari no. 1390 dan Muslim no. 529)

Lihat juga bagaimana sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala diceritakan kepada beliau gereja-gereja yang terdapat di negeri Ethiopia, di mana di dalamnya terdapat patung-patung. Beliau bersabda,

إنَّ أُولَئِكَ إذَا كانَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ، بَنَوْا علَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وصَوَّرُوا فيه تِلكَ الصُّوَرَ، فَأُولَئِكَ شِرَارُ الخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَومَ القِيَامَةِ

“Sesungguhnya mereka, jika orang saleh dari mereka meninggal, maka mereka mendirikan masjid (tempat ibadah) di atas kuburannya dan membuat patungnya di sana. Maka, mereka itulah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 427)

Sungguh beruntung bagi setiap mukmin yang bisa mengambil faedah dan pelajaran dari setiap ayat yang dia baca dan dia dengar. Karena inilah salah satu kewajiban kita terhadap Al-Qur’an yang mulia ini.

Ya Allah, jadikanlah kami salah satu hamba-Mu yang senantiasa mengingat-Mu, hamba-Mu yang selalu meresapi dan merenungi setiap ayat dari Al-Qur’an yang telah Engkau turunkan, mengambil pelajaran darinya, dan mengamalkannya di setiap detik kehidupan.

اللهم إنا نعوذ بك من عذاب جهنم، ومن عذاب القبر، ومن فتنة المحيا والممات، ومن شر فتنة المسيح الدجال

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/79063-pelajaran-penting-dari-kisah-ashabul-kahfi.html

Jawaban Nabi Muhammad Saat Orang Miskin Mengeluh tak Bisa Bersedekah Seperti Si Kaya

Jawaban Nabi Muhammad Saat Orang Miskin Mengeluh tak Bisa Bersedekah Seperti Si Kaya

Orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin pernah mengadu kepada Nabi Muhammad SAW soal kemampuan ibadah mereka. Dalam hadits riwayat Muslim dari jalur Abu Shalih, dari Abu Hurairah, kalangan fakir miskin Muhajirin mengeluh karena orang-orang kaya membawa banyak pahala, derajat dan kenikmatan yang besar.

Mereka mengatakan bahwa orang-orang kaya mampu melaksanakan sholat sebagaimana orang fakir miskin sholat, dan berpuasa seperti puasanya orang fakir miskin. Namun, orang kaya bisa bersedekah sedangkan mereka tidak bisa. Orang kaya bisa memerdekakan budak sedangkan mereka tidak mampu.

Mendengar hal tersebut, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kalian mau aku tunjukkan amalan yang jika dikerjakan akan mendahului orang-orang setelahmu dan tidak ada seorang pun yang lebih mulia kecuali orang yang mengerjakan amalan serupa, yaitu membaca tasbih, takbir dan tahmid sebanyak 33 kali setiap selesai sholat.

Dalam riwayat Abu Shalih disebut, kalangan fakir miskin Muhajirin itu kemudian kembali mendatangi Nabi SAW untuk menyampaikan bahwa orang-orang kaya telah mengetahui amalan yang mereka kerjakan lalu juga ikut mengamalkannya.

Lantas Nabi Muhammad SAW bersabda, “Itu adalah keutamaan Allah yang diberikan kepada orang-orang yang Dia kehendaki.”

Hadits riwayat Bukhari juga menjelaskan topik yang sama dan juga dari jalur Abu Hurairah, namun dengan sedikit perbedaan pada matan atau isi hadits. Dijelaskan dalam hadits tersebut, bahwa orang-orang fakir miskin mendatangi Rasulullah.

Mereka menyampaikan, orang-orang kaya memiliki derajat tinggi dan kenikmatan karena selain bisa sholat dan puasa, juga bisa melaksanakan ibadah haji, umroh dan berjihad serta bersedekah.

Rasulullah SAW kemudian menjelaskan suatu amalan dengan bersabda, “Maukah aku ajarkan amalan yang akan mengejar orang yang mendahului kalian dan dengan amalan tersebut membuat kalian menjadi terdepan dari orang setelah kalian. Tidak ada orang yang lebih utama daripada kalian, kecuali orang yang melakukan amalan serupa, yaitu bertasbih, bertahmid, dan bertakbir di setiap akhir sholat sebanyak 33 kali.”

Para sahabat kemudian berselisih. Ada yang bertasbih 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali. Lalu Abu Hurairah (perawi) kembali kepada Nabi SAW, dan beliau SAW bersabda, “Ucapkanlah subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar, sampai 33 kali.”

Sumber

https://www.elbalad.news/5371665