Kisah Mualaf Nicolas Jaenger, Mantan Ateis yang Masuk Islam ketika Piala Dunia 2022 di Qatar

SAHABAT Islampos, Piala Dunia 2022 Qatar menjadi momen bersejarah bagi Nicolas Paul Jaeger, seorang mantan Ateis asal Prancis. Sebab, pada momen tersebut, pria ini memutuskan masuk Islam dan menjadi seorang mualaf.

Jaeger resmi menjadi mualaf di Qatar. Awalnya, ia menginjakkan kaki ke negara tersebut untuk menyaksikan Piala Dunia 2022. Menurut laporan MSN, Jaeger mengucap kalimat syahadat di Souq Waqif dibantu oleh Mohammed Al Awadi, seorang ahli agama Islam dari Kuwait.

Menurut penuturan Al Awadi, Jaeger memang sudah lama belajar soal Islam kepadanya sampai akhirnya ketika nonton Piala Dunia 2022 langsung di Qatar membulatkan tekad untuk menjadi muslim.

Video Nicolas Jaeger mengucap dua kalimat syahadat pun diunggah Al Awadi di media sosial dan viral. Banyak netizen ikut terharu dan bahagia atas keputusan yang diambil mantan atheis asal Prancis tersebut.

Di momen mengharukan tersebut, Jaeger dengan lantang mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian mendapat pelukan hangat dari para pria di sekitarnya. Ini menunjukkan bahwa Islam benar-benar agama yang cinta damai.

Diketahui bahwa selama penyelenggaraan Piala Dunia 2022, Qatar menjadi tuan rumah yang baik bagi semua pengunjung dari mancanegara. Qatar pun tetap menerapkan syariat Islam dan memperkenalkan budaya Arab serta karakter muslim terhadap siapapun yang datang ke sana.

Sentuhan keislaman yang hadir di tengah masyarakat Qatar adalah suara adzan berbunyi lantang, membuat banyak orang yang sebelumnya tidak pernah mendengar bahkan tidak tahu menjadi ingin tahu. Menurut laporan media lokal Qatar, banyak turis asing yang mendatangi masjid atau sekadar melihat isi dalam masjid karena mendengar suara adzan tersebut. Mereka juga melihat sendiri bagaimana umat Muslim shalat dan berdoa berjamaah di dalam masjid dengan sangat damai.

Dikatakan di sana bahwa selama periode penyelenggaraan Piala Dunia 2022 banyak sekali masyarakat global yang masuk Islam. Ya, diselenggarakannya Piala Dunia 2022 di Qatar memang telah berkontribusi dalam mengubah persepsi buruk tentang Islam. Banyak masyarakat dunia mengakui bahwa Islam adalah agama yang cinta damai dan jauh dari prasangka buruk mereka sebelumnya. []

SUMBER: OKEZONE

Khutbah Jumat: Pedoman Bagi Umat Islam dalam Bertoleransi

Tidak boleh atas nama toleransi dan keinginan menciptakan perdamaian, berujung pada keyakinan bahwa membenarkan keyakinan semua agama, inilah ringkasan khutbah Jumat  agar jadi pedoman umat Islam

Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil

Hidayatullah.com | HARI RAYA merupakan syiar (simbol) yang terkait erat dengan agama. Karenanya, Islam melarang untuk turut campur dalam bentuk apa pun dalam perayaan agama lain, khutbah Jumat kali ini memberikan pedoman bagi umat Islam tentang toleransi menurut Al-Quran.

Inilah teks lengkap khutbah Jumat kali ini;

Khutbah Jumat pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن

عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Ma’asyiral Muslimin Jamaah Jumat yang berbagahia

Di Tanah Air kita ada 6 (enam) agama yang diakui oleh negara. Terdiri dari Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Masing-masing agama juga memiliki hari raya sesuai kepercayaan.

Islam dengan Idul Fitri dan Idul Adha. Kristen Protestan dan Katolik dengan Natalnya. Budha dengan Waisak. Hindu dengan Nyepi dan Khonghucu dengan Imleknya.

Semua rakyat Indonesia berhak mengikuti keyakinan atau agamanya, tanpa ada paksaan dari pihak mana saja. Inilah yang tertuang dalam sila pertama Pancasila.

Segala bentuk pemaksaan atau bujukan untuk memeluk agama tertentu merupakan perbuatan yang menciderai semangat kerukunan antar umat beragama yang selama ini sudah berjalan dengan cukup baik.

Perbedaan agama di antara penduduk tanah air menjadi ajang untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain, saling menjaga kerukunan dan menjalankan keyakinannya tanpa saling memusuhi.

Karena kita adalah sama-sama anak bangsa yang terdiri dari berbagai suku dan agama, dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.

Umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia memiliki peran yang sangat vital dalam mewujudkan masyarakat yang rukun, damai, dan toleran. Toleransi yang diajarkan dalam Islam sarat dengan nilai-nilai persatuan dan keharmonisan.

Karenanya, pedoman toleransi dalam kehidupan beragama perlu menjadi rujukan agar  tidak disalahartikan menjadi sikap melepas semangat keislaman dan kedaulatan iman dalam diri kita.

Sekurang-kurangnya ada empat panduan dalam mengamalkan toleransi.

Pertama, tidak memandang perbedaan agama dengan pandangan permusuhan. Kita perlu menanamkan kepada siapa saja bahwa perbedaan agama dan keyakinan tidak berarti boleh untuk memusuhi pihak lain.

Namun juga tidak boleh atas nama toleransi dan keinginan luhur dalam menciptakan perdamaian, berujung pada keyakinan bahwa semua agama sama, sama-sama benar, sama-sama masuk surga. Ini jelas merupakan sesuatu pemikiran yang sesat dan menyesatkan.

Allah ﷻ berfirman:

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran : 85)

Kaum Muslimin jamaah Jumat yang berbahagia

Kedua, tidak mencela Tuhan dan konsep agama lain. Setiap celaan dan penghinaan kepada agama apa pun merupan perbuatan yang dikecam dalam Islam. Itulah toleransi dalam Islam.

Dalam bertoleransi, umat Islam di mana pun tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang menjurus kepada penghinaan dan penistaan terhadap agama di luar Islam. Ini adalah sesuatu yang sudah diwanti-wanti dalam Al-Quran.

Menghina, mencela, menista keyakinan kaum agama lain akan menyinggung perasaan dan bisa memicu permusuhan serta pertengkaran. Allah ﷻ berfirman:

وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sernbah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap urnat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al An’am : 108)

Yang sering terjadi dalam beberapa tahun belakangan di negara kita adalah penghinaan dan penistaan terhadap Islam. Ada yang mengolok-olok Al-Quran, menyebut kalimat zikir dengan iringan cacian serta makian dan terlalu banyak untuk kita sebutkan di sini.

Ketiga, tidak boleh memaksa pemeluk agama lain untuk memeluk agama Islam. Kebenaran agama Islam, bagi kita kaum beriman, adalah harga mati.

Kita meyakini bahwa jalan keselamatan itu hanya bisa melalui Islam. Ini keyakinan yang tak terbantahkan.

Namun keyakinan seperti ini tidak berarti kita dibenarkan untuk memaksa orang lain agar masuk Islam. Tidak boleh ada paksaan dalam memeluk Islam, betapa pun kita sangat meyakini kebenarannya. Allah ﷻ berfirman :

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS Al Baqarah : 256)

Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah

Keempat, memberikan hak beribadah kepada penganut agama lain. Sebagaimana tidak boleh ada pemaksaan untuk memeluk agama Islam, demikian pula halnya tidak boleh kita menghalang-halangi orang-orang kafir yang akan menunaikan ibadat sesuai keyakinan mereka.

Masing-masing agama sudah memiliki tata cara beribadah sesuai dengan waktu dan tempatnya. Ada yang melaksanakan ibadat di gereja, vihara, pura, kelenteng, dan masjid bagi yang beragama Islam.

Perkara ubudiyah tidak boleh dicampur-campur, masing-masing penganut agama harus menjalankan peribadatan menurut keyakinannya masing-masing. Allah ﷻ berfirman:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ، وَلا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ، وَلا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ، وَلا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ، لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS Al Kafirun [109]: 1-6)

Hari raya merupakan syiar (simbol) yang terkait erat dengan agama. Karenanya, Islam melarang untuk turut campur dalam bentuk apa pun dalam perayaan agama lain. Bahkan, sebagian ulama menyatakan bahwa ucapan selamat hari raya kepada umat lain berpotensi menyebabkan pengucapnya keluar dari aqidah Islam jika disertai niat memuliakan hari raya atau agama mereka.

Demikian pula dilarang melakukan segala bentuk partisipasi dalam hari raya non-muslim. Sayidina Umar bin Khathab pernah berkata:

اجتنبوا أعداء الله اليهود و النصارى يوم جمعهم في عيدهم، فإن السخط ينزل عليهم، فأخشى أن يصيبكم

“Jauhi musuh-musuh Allah yaitu kaum Yahudi dan Nashrani ketika berkumpul pada hari raya mereka. Kemurkaan Allah turun kepada mereka, dan aku khawatir kemurkaan itu akan menimpa kalian.” (HR. Baihaqi).

Demikianlah sekurang-kurangnya empat panduan dalam bertoleransi, untuk menjalani kehidupan berbangsa yang terdiri dari berbagai agama dan keyakinan. Mari kita hidup berdampingan dalam perbedaan dengan tetap memegang erat-erat keyakinan kita bahwa Islamlah satu-satunya agama yang haq yang membawa keselamatan di dunia sampai akhirat.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فيِ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ َإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْليِ هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ ليِ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Jumat Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. اَمَّا بَعْدُ :

فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ تَعَالىَ وَذَرُوا الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ وَمَا بَطَنْ، وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ.

وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ، فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاً عَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ،

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ وَالجُنُونِ والجُذَامِ وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا, اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى والتُّقَى والعَفَافَ والغِنَى، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Khutbah Jumat ini ditulis Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil. Arsip lain terkait Khutbah Jumat bisa diklik di SINI. Artikel lain tentang toleransi agama bisa dibuka www.hidayatullah.com

Wanita dan Panahan

Pertanyaan:

Bolehkah wanita mengikuti olahraga panahan dan mengikuti latihannya?

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Perlu diketahui bahwa terdapat beberapa hadits yang bicara tentang wanita dan panahan. Di antaranya hadits berikut ini,

عَنْ عَطَاءٍ عَنْ رَجُلٍ مِنْ هُذَيْلٍ قَالَ رَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَمَنْزِلُهُ فِي الْحِلِّ وَمَسْجِدُهُ فِي الْحَرَمِ قَالَ فَبَيْنَا أَنَا عِنْدَهُ رَأَى أُمَّ سَعِيدٍ ابْنَةَ أَبِي جَهْلٍ مُتَقَلِّدَةً قَوْسًا وَهِيَ تَمْشِي مِشْيَةَ الرَّجُلِ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ مَنْ هَذِهِ قَالَ الْهُذَلِيُّ فَقُلْتُ هَذِهِ أُمُّ سَعِيدٍ بِنْتُ أَبِي جَهْلٍ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِالرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ وَلَا مَنْ تَشَبَّهَ بِالنِّسَاءِ مِنْ الرِّجَالِ

Dari Atha’ dari seorang dari suku Hudzail, aku melihat Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash rumahnya di tanah halal sedangkan masjid yang menjadi langganan beliau shalat ada di tanah Haram. Saat aku bersama beliau, beliau melihat Ummu Saad putri Abu Jahl menenteng busur panah dan berjalan seperti gaya jalan laki-laki. Beliau bertanya, “Siapakah gerangan wanita ini?”. Seorang dari suku Hudzail mengatakan, “Ini adalah Ummu Saad binti Abu Jahl”. Beliau mengatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah bagian dari umatku laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Ahmad no.6875, sanadnya dinilai hasan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Dalam hadits lain dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma

أَنَّ امْرَأَةً، مَرَّتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مُتَقَلِّدَةً قَوْسًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (لَعَنَ اللَّهُ الْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ، وَالْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ

Ada seorang wanita yang lewat di depan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sambil menenteng busur panah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lantas bersabda, “Allah melaknat wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita” (HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath, 4/212).

Hadits kedua ini, dikatakan oleh al-Haitsami: “Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dari gurunya yaitu Ali bin Sa’id ar-Razi, ia perawi yang lemah. Adapun perawi yang lainnya tsiqah” (Majma’ az-Zawaid, 8/103).

Sedangkan Ali bin Sa’id ar-Razi, pendapat para ulama tentang beliau:

* Adz-Dzahabi: “Ia adalah hafizh, telah melakukan berbagai perjalanan yang jauh”.

* Ibnul Qasim al-Andalusi: “Ia tsiqah, alim dalam ilmu hadits”.

* Ad-Daruquthni: “Haditsnya bukan apa-apa, ia banyak bersendirian dalam periwayatannya, ia tidak tsiqah”.

* Ibnu Hajar: “Nampaknya ulama yang mencela beliau dikarenakan beliau masuk kepada urusan sulthan (pemerintahan)”.

Dari informasi di atas, kita dapati bahwa Ali bin Sa’id ar-Razi adalah perawi yang tsiqah. Namun ia mendapatkan celaan bukan dari sisi dhabt-nya, melainkan dari sisi masuknya beliau pada urusan pemerintahan.

Kesimpulannya, hadits riwayat ath-Thabrani di atas shahih, karena semua perawinya tsiqah. Terlebih jika dikuatkan dengan hadits Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash sebelumnya.

Makna Hadits

Hadits ini adalah peringatan bagi para wanita untuk tidak menyerupai laki-laki dalam bentuk apapun, terkhusus dalam berolahraga. Lebih khusus lagi dalam berolahraga panahan. Dalam hadits dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, beliau berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Bukhari no. 5885).

Bukan berarti olahraga panahan itu haram bagi wanita, namun jangan sampai dalam berolahraga panahan ia menyerupai laki-laki. Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid menjelaskan:

والذي يظهر : أن التشبه بالرجال في هذا الحديث : إنما جاء من جهة تقلّد القوس، كما يتقلده الرجال، أو من المشي مِشيةَ الرجال، كما جاء في لفظ الحديث.

وأما مجرد تدرب المرأة على الرمي بالقوس، دون أن تمشي مشية الرجال، أو تلبسه وتتقلده كالرجال، فلا حرج فيه؛ لأن الأصل الإباحة

“Makna yang nampak dari hadits ini adalah bahwa penyerupaan terhadap laki-laki yang disebutkan dalam hadits adalah dari sisi cara menenteng busur panah. Wanita yang disebutkan dalam hadits menenteng busur panah seperti laki-laki. Atau dari sisi gaya berjalannya, seperti gaya berjalan laki-laki. Sebagaimana ditegaskan dalam lafadz hadits.

Adapun jika wanita sekedar berolahraga panahan tanpa bergaya jalan seperti laki-laki dan tanpa berpakaian seperti laki-laki, dan tanpa menenteng busur seperti laki-laki, maka tidak mengapa. Karena hukum asalnya mubah” (Fatawa Islam Sual wa Jawab, no.364067).

Olahraga panahan memang dianjurkan untuk dipelajari. Dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu:

سمعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ، وهو على المنبرِ ، يقول  وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ

“Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkhutbah di atas mimbar. Tentang ayat (yang artinya) “Dan persiapkanlah bagi mereka al-quwwah (kekuatan) yang kalian mampu” (QS. al-Anfal: 60) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ‘Ketahuilah bahwa al-quwwah itu adalah memanah (sampai 3 kali)’” (HR. Muslim no. 1917).

Namun anjuran latihan memanah ini ditujukan kepada para laki-laki. Karena alasan dianjurkannya latihan memanah adalah dalam rangka persiapan jihad fi sabilillah. Sedangkan wanita tidak diperintahkan untuk berjihad. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam

يَا رَسَوْلَ اللهِ، هَلْ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ؟ قَالَ: جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ، اَلْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ

“Wahai Rasulullah, apakah ada jihad bagi wanita?” Beliau menjawab, “Jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu haji dan umrah” (HR. Ibni Majah II/968, no. 2901, dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ish Shaghir no. 2345).

Maka olahraga panahan bagi wanita tidak sampai level disunnahkan, namun sekedar mubah (boleh) saja. Dan olahraga panahan yang mubah ini berubah menjadi haram jika membuat wanita menyerupai laki-laki atau jika dilakukan sambil bercampur baur dengan laki-laki.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah memberikan nasehat:

الرياضة تختلف فهي كلمة مجملة فالرياضة بين البنات بأشياء لا تخالف الشرع المطهر، بمشي كثير في محل خاص بهن، لا يخالطهن فيه الرجال، ولا يطلع عليهن الرجال، أو بسباحة عندهن في بيتهن أو في مدرستهن خاصة لا يراها الرجال ولا يتصل بها الرجال، لا يضر ذلك. أما رياضة يحصل بها الاختلاط بين الرجال والنساء، أو يراها الرجال أو تسبب شراً على المسلمين فلا تجوز

“Olahraga itu banyak macamnya, dan itu merupakan kalimat yang umum. Maka olahraga untuk anak-anak wanita dengan berbagai macam jenisnya, ini (asalnya) tidak melanggar syariat yang suci ini. Misalnya para wanita jalan kaki bersama-sama di tempat yang khusus bagi wanita, tidak bercampur-baur dengan lelaki, dan tidak ada lelaki yang melihat mereka, atau olahraga renang bagi wanita di rumah mereka atau sekolah renang khusus bagi wanita, yang tidak terlihat oleh lelaki dan tidak ada lelaki. Ini tidak mengapa. Adapun olahraga yang terdapat ikhtilat (campur-baur) antara lelaki dan wanita, atau lelaki bisa melihat mereka, atau menyebabkan keburukan bagi kaum Muslimin maka tidak boleh” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi).

Maka wanita boleh saja mengikuti latihan panahan selama tidak membuat mereka menyerupai laki-laki dan dilakukan di tempat yang khusus bagi wanita serta di sana tidak ada kaum lelaki yang melihat mereka. 

Wallahu a’lam. Walhamdulillahi rabbil ‘alain, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/40943-wanita-dan-panahan.html

Benarkah Bom Bunuh Diri Termasuk Amaliyah Istisyhadiyah?

Pertanyaan:

Akhir-akhir ini terjadi lagi peristiwa bom bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang mengaku sedang berjihad. Konon yang ia lakukan disebut sebagai amaliyah istisyhadiyah. Yang saya ingin tanyakan, apa yang dimaksud dengan amaliyah istisyhadiyah? Mohon penjelasannya.

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Bom bunuh diri bukanlah jihad sama sekali. Bagaimana mungkin bom bunuh diri adalah jihad, padahal bunuh diri itu dilarang dalam Islam dan termasuk dosa besar? Allah ta’ala berfirman,

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا * وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An Nisa: 29-30)

Dari Tsabit bin ad-Dhahhak radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

ومَن قَتَلَ نَفْسَهُ بشيءٍ في الدُّنْيا عُذِّبَ به يَومَ القِيامَةِ

“Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, dia akan diadzab dengan hal itu di hari kiamat” (HR. Bukhari no. 6105, Muslim no. 110).

Bahkan sebagian ulama memandang perbuatan bunuh diri adalah kekufuran (walaupun ini pendapat yang lemah), karena melihat zahir dari beberapa dalil. Di antaranya, dari Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘ahu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,

كانَ فِيمَن كانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ به جُرْحٌ، فَجَزِعَ، فأخَذَ سِكِّينًا فَحَزَّ بهَا يَدَهُ، فَما رَقَأَ الدَّمُ حتَّى مَاتَ، قالَ اللَّهُ تَعَالَى: بَادَرَنِي عَبْدِي بنَفْسِهِ، حَرَّمْتُ عليه الجَنَّةَ

“Dahulu ada seorang lelaki yang terluka, dia putus asa lalu mengambil sebilah pisau dan memotong tangannya. Darahnya terus mengalir hingga dia mati. Allah Ta’ala berfirman, ”Hamba-Ku mendahului-Ku dengan dirinya, maka Aku haramkan baginya surga” (HR. Bukhari no. 3463, Muslim no. 113).

Namun yang tepat, orang yang bunuh diri itu tidak keluar dari Islam, namun mereka terjerumus dalam kufur asghar yang tidak mengeluarkan dari Islam.

‘Ala kulli haal, tidak mungkin perbuatan yang fatal dan merupakan dosa besar seperti ini justru dianggap jihad?!

Adapun mengenai amaliyah istisyhadiyah, kata istisyhadiyah secara bahasa artinya mencari status syahid. Yaitu upaya seseorang untuk mendapatkan kematian dengan status syahid atau syuhada dalam jihad fi sabilillah. Amalan ini disyariatkan dalam Islam, namun dilakukan dalam perang dan jihad yang syar’i, bukan dalam kondisi aman. Dan amaliyah istisyhadiyah yang dilakukan para salaf terdahulu bukan dengan bunuh diri, namun dengan menerjang musuh walaupun musuh dalam jumlah besar.

Di antara dalil disyariatkannya amalan ini, adalah firman Allah ta’ala:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ 

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridhaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya” (QS. Al-Baqarah: 207).

Ibnu Katsir menyebutkan:

ولما حمل هشام بن عامر بين الصفين ، أنكر عليه بعض الناس ، فرد عليهم عمر بن الخطاب وأبو هريرة وغيرهما ، وتلوا هذه الآية

“Ketika Hisyam bin Amir maju sendirian menerjang kedua sayap barisan musuh, sebagian orang memprotes perbuatannya itu (karena dianggap menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan). Maka Umar bin Khattab dan Abu Hurairah serta sahabat yang lain membantah protes tersebut, lalu mereka membacakan ayat ini” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/226).

Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:

لا أرى ضيقاً على الرجل أن يحمل على الجماعة حاسراً ، أو يبادر الرجل و إن كان الأغلب أنه مقتول , لأنه قد بودر بين يدي رسول الله صلى الله عليه وسلم ، و حَمَل رجل من الأنصار حاسراً على جماعة من المشركين يوم بدر بعد إعلام النبي صلى الله عليه وسلم بما في ذلك من الخير فقُتِل

“Menurutku tidak mengapa jika seseorang menerjang banyak musuh seorang diri dan bersegera melakukannya. Walaupun kemungkinan besar ia akan mati. Karena dahulu ini pun dilakukan para sahabat di hadapan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Karena seorang Anshar yang menerjang kaum musyrikin (dalam perang) seorang diri di perang Badar setelah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengumumkan bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan (yaitu surga). Kemudian orang Anshar itu pun meninggal” (Al-Umm, 4/169).

Demikian juga hadits dari Shuhaib bin Sinan radhiyallahu’anhu, tentang seorang pemuda yang tegar dalam mempertahankan tauhid. Pemuda tersebut berkata kepada raja yang musyrik,

إِنَّكَ لَسْتَ بقاتلي حَتَّى تَفْعَلَ مَا آمُرُكَ بِهِ .‏ قال : وَمَا هُوَ قال : تَجْمَعُ النَّاسَ في صَعِيدٍ وَاحِدٍ وَتَصْلُبُنِى عَلَى جِذْعٍ ثُمَّ خُذْ سَهْماً مِنْ كِنَانَتِى ثُمَّ ضَعِ السَّهْمَ فِى كَبِدِ الْقَوْسِ ثُمَّ قُلْ بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلاَمِ .‏ ثُمَّ ارْمِنِى فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ قَتَلْتَنِى .‏ فَجَمَعَ النَّاسَ فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ وَصَلَبَهُ عَلَى جِذْعٍ ثُمَّ أَخَذَ سَهْماً مِنْ كِنَانَتِهِ ثُمَّ وَضَعَ السَّهْمَ فِى كَبِدِ الْقَوْسِ ثُمَّ قال : بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلاَمِ .‏ ثُمَّ رَمَاهُ فَوَقَعَ السَّهْمُ فِى صُدْغِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ فِى صُدْغِهِ فِى مَوْضِعِ السَّهْمِ فَمَاتَ فَقَالَ : النَّاسُ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلاَمِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلاَمِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلاَمِ »‏ .‏

“Engkau tidak akan mampu membunuhku hingga kau mau melakukan yang aku perintahkan”. Raja bertanya: “Apa yang kau perintahkan?”. Pemuda itu berkata: “Kumpulkan semua orang di tanah yang luas lalu saliblah aku di atas pelepah kurma, lalu ambillah anak panah dari sarung panahku lalu ucapkan: “Bismillah, Rabbil ghulam”. Kemudian tembak aku dengan panah. Bila engkau melakukannya kau akan mampu membunuhku”. Akhirnya raja itu pun melakukannya. Ia mengumpulkan orang-orang di tanah lapang, kemudian menyalib pemuda tersebut di atas pelepah kurma, lalu melesakkan panah kepadanya sambil berkata: “Bismillah, Rabbil ghulam”. Anak panah itu pun menancap di pelipis pemuda tadi. Lalu pemuda itu pun meletakkan tangannya di pelipisnya kemudian mati. Orang-orang pun lalu berkata: “Kami beriman terhadap Rabb pemuda itu! Kami beriman terhadap Rabb pemuda itu! Kami beriman terhadap Rabb pemuda itu!” (HR. Muslim no.3005).

Dalam hadits ini, amaliyah istisyhadiyah dilakukan oleh sang pemuda demi membuat orang-orang bertauhid kepada Allah. Ia mengorbankan dirinya, namun ia tidak membunuh dirinya sendiri. Sang raja musyrik lah yang membunuhnya. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan hadits ini dengan mengatakan: “Seseorang dibolehkan untuk mengorbankan dirinya demi kemaslahatan umat Muslim secara umum. Karena pemuda ini memberi petunjuk kepada raja bagaimana cara membunuhnya, sehingga akhirnya ia pun mati” (Syarah Riyadhus Shalihin, 1/165).

Beliau juga menegaskan: “Amalan ini tidak boleh dilakukan kecuali jika ada maslahat yang besar untuk Islam. Jika memang ada maslahat yang besar dan manfaat yang besar untuk Islam, maka hukumnya boleh” (Liqa asy-Syahri, 20/74).

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani pernah ditanya, “Ada kekuatan pasukan yang disebut sebagai “pasukan komander”. Yang mereka punya kekuatan untuk mempersulit musuh dalam perang. Jadi mereka membentuk pasukan berani mati yang memasang bom di daerah musuh dan menyerang tank musuh, dan akhirnya mereka terbunuh. Apakah ini termasuk bunuh diri?”.

Beliau menjawab, “Ini tidak dianggap sebagai bunuh diri. Karena bunuh diri itu jika seseorang membunuh dirinya sendiri untuk melepaskan diri dari kehidupan yang sulit ini. Adapun apa yang Anda tanyakan ini adalah jihad fi sabilillah … Bunuh diri itu adalah dosa besar dalam Islam. Tidaklah seseorang melakukannya kecuali karena murka kepada Allah dan tidak ridha terhadap ketetapan Allah. Adapun yang ditanyakan ini, bukanlah bunuh diri. Sebagaimana amalan seperti ini dilakukan oleh sebagian sahabat Nabi, mereka menerjang sekelompok pasukan musuh dari kalangan orang kafir dengan pedang mereka. Dan mereka tetap terus lakukan demikian sampai akhirnya kematian mendatangi mereka dalam keadaan bersabar” (Silsilah al-Huda wan Nur, rekaman nomor 134).

Sehingga dari penjelasan-penjelasan di atas jelas bahwa amaliyah istisyhadiyah yang syar’i itu dilakukan jika memenuhi syarat berikut:

  1. Dilakukan di jihad perang melawan orang-orang kafir, bukan dalam kondisi aman
  2. Dilakukan dalam jihad yang syar’i, yaitu yang tidak menyimpang dari aturan syariat
  3. Dilakukan hanya jika ada maslahat yang besar bagi kaum Muslimin secara umum
  4. Tidak dengan cara membunuh diri sendiri, namun terbunuh oleh musuh

Sehingga jelaslah dari sini bahwa bom bunuh diri bukanlah amaliyah istisyhadiyah yang syar’i.

Oleh karena itu, aksi bom bunuh diri dalam perang dan jihad yang syar’i pun dilarang oleh mayoritas ulama kibar Ahlussunnah seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Shalih al-Fauzan, Syaikh Shalih Alu Syaikh dan selain mereka -semoga Allah merahmati mereka-.

Syekh Abdullah bin Jibrin menjelaskan, “Dan apa yang terjadi beberapa waktu lalu, berupa aksi pengeboman yang menyebabkan banyak korban jiwa serta korban luka-luka, tidak ragu lagi ini merupakan kejahatan yang mengerikan. Dan pengeboman ini menyebabkan korban jiwa dan korban luka dari orang-orang yang dijamin keamanannya serta juga kaum muslimin yang ada di tempat-tempat tersebut. Dan ini tidak ragu lagi merupakan pengkhianatan, dan merupakan gangguan terhadap orang-orang yang dijamin keamanannya serta membahayakan mereka. Orang-orang yang melakukan perbuatan ini adalah orang-orang mujrim (jahat). Keyakinan mereka bahwasanya perbuatan ini adalah jihad dengan alasan bahwa orang-orang yang ada di tempat tersebut adalah orang kafir dan halal darahnya, kami katakan, “ini adalah sebuah kesalahan.” Tidak diperbolehkan memerangi mereka, dan perang tidak terjadi kecuali setelah memberikan pemberitahuan perang kepada pihak kuffar dan setelah sepakat untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat. Berdasarkan firman Allah ta’ala,

وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ

“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur” (QS. Al-Anfal: 58).

Maka tidak boleh memerangi mereka yang dijamin keamanannya, demi kemaslahatan. Bahkan dengan memerangi mereka akan timbul mafsadah syar’iyyah, yaitu kaum Muslimin dituduh sembarangan sebagai kaum pengkhianat atau dituduh sebagai kaum teroris” (Sumber: web ibn-jebreen.com fatwa nomor 5318).

Jika bom bunuh diri dalam perang yang syar’i saja tidak diperbolehkan dalam Islam dan itu bukan amaliyah istisyhadiyah, maka apalagi jika bom bunuh diri berupa praktek terorisme di tengah masyarakat?! Bahkan yang menjadi korbannya adalah kaum Muslimin sendiri. Jelas ini lebih keliru dan lebih tidak diperbolehkan lagi.

Semoga Allah ta’ala memberi taufik kepada kaum Muslimin dalam menggapai perkara-perkara yang Allah ridhai dan semoga Allah jauhkan kaum Muslimin dari keburukan syubhat serta syahwat. 

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wal ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/40926-benarkah-bom-bunuh-diri-termasuk-amaliyah-istisyhadiyah.html

Kemenag Minta KBIHU Ubah Pola Pembelajaran Manasik Maji

Kementerian Agama meminta Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) untuk mengubah pola pembelajaran manasik kepada jamaah haji, agar tingkat pemahaman setiap jamaah merata.

Sekretaris Ditjen Penyelenggara Haji dan Umrah Kemenag Ahmad Abdullah berharap pembelajaran manasik tidak lagi selalu digelar secara massal. Sehingga, KBIHU dapat memotret tingkat pemahaman setiap jamaah yang dibimbingnya secara lebih baik.

“Kami juga berharap pembelajaran massal yang selama ini dilakukan mulai diubah polanya, sehingga KBIHU dapat memotret (kompetensi dan pemahaman) setiap individu jamaah yang ada dalam kelompok bimbingannya,” ujar Abdullah dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (23/12/2022).

Abdullah mengatakan pemahaman setiap orang tentang manasik berbeda-beda. Kondisi itu didasarkan sejumlah faktor, baik itu usia maupun stratifikasi pendidikan.

Maka dari itu, ia meminta agar pembelajaran dibuat per klaster, berdasarkan usia, kemampuan, serta stratifikasi pendidikan. Dengan demikian, jamaah haji dapat menyesuaikan dirinya saat diberikan materi oleh pembimbing.

“Pembelajaran bisa dibuat per kluster, berdasarkan usia, kemampuan, serta stratifikasi pendidikan,” kata dia.

Abdulllah menegaskan siap bersinergi dengan KBIHU dalam meningkatkan kualitas layanan bimbingan jamaah haji. “Ini bukti keseriusan atas kehadiran pemerintah untuk bersama-sama dengan KBIHU bahu membahu dan membangun sinergi yang solid untuk meningkatkan mutu layanan, khususnya terkait bimbingan ibadah,” ujarnya.

Kasubdit Bimbingan Jamaah Haji Kemenag Khalilurrahman mengatakan KBIHU sebagai mitra Kementerian Agama dalam penyelenggaraan bimbingan dan pembinaan manasik haji reguler, memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan bimbingan dan pendampingan kepada jamaah haji.

“KBIHU dalam menyelenggarakan bimbingan dan pembinaan manasik harus berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan ibadah haji,” kata dia.

Namun, kata dia, efektivitas pelaksanaan bimbingan KBIHU perlu dipantau dan dilakukan evaluasi untuk perbaikan penyelenggaraan manasik haji ke depan. Jika masih terdapat kekurangan-kekurangan dan kendala yang terjadi dalam bimbingan manasik, maka harus segera dicarikan solusi dan dibuatkan metode pembimbingan yang lebih tepat, efektif, dan efisien.

IHRAM

Fatwa Ulama: Perbedaan antara Pengakuan Lisan dan Hati

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Fadhilatus syekh, apakah perbedaan antara pengakuan dengan lisan dan dengan hati? Apakah dua hal tersebut saling berkonsekuensi?

Jawaban:

Iya, perbedaan antara pengakuan hati dan lisan itu sangat jelas. Sesungguhnya ada di antara manusia yang memberikan pengakuan dengan lisannya saja tanpa pengakuan dengan hatinya seperti orang-orang munafik.

Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik,

إِذَا جَاءكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ

Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, ‘Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.’ ” (QS. Al-Munafiqun: 1)

Akan tetapi, Allah Ta’ala berfirman,

وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ

Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. (QS. Al-Munafiqun: 1)

Hal ini karena orang-orang munafik tersebut hanya memberikan pengakuan dengan lisannya saja tanpa pengakuan dengan hatinya.

Terkadang seseorang memberikan pengakuan dengan hatinya, namun tidak dengan lisannya. Pengakuan seperti ini zahirnya tidak memberikan manfaat jika dilihat dari sudut pandang kita. Adapun dari sisi antara dia dengan Allah, maka ilmu tersebut di sisi Allah Ta’ala atau hukumnya diserahkan kepada Allah. Akan tetapi, ketika di dunia, itu tidak memberikan manfaat untuknya (karena kita tidak bisa mengetahui isi hati seseorang, pent.).

Oleh karena itu, kita tidak bisa menetapkan status keislaman seseorang selama dia tidak memberikan pengakuan secara lisan. Kecuali jika dia tidak mampu, baik tidak mampu secara inderawi (misalnya, karena bisu, pent.) atau secara hukmi (misalnya, karena ada ancaman terhadap nyawa yang nyata, pent.). Seseorang diperlakukan sesuai dengan tuntutan kondisinya. Oleh karena itu, harus ada pengakuan dengan hati dan lisan.

***

@Rumah Kasongan, 24 Jumadil Ula 1444/ 18 Desember 2022

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81587-fatwa-ulama-perbedaan-antara-pengakuan-lisan-dan-hati.html

Bolehkah Umat Islam Belanja Menggunakan Diskon Hari Natal?

Seperti halnya saat hari lebaran umat Islam, seperti Idul Fitri, pada saat perayaan Natal di pusat-pusat perbelanjaan digelar diskon atau potongan harga. Tentu saja diskon tersebut tidak hanya dinikmati oleh kaum Kristiani saja, melainkan juga dimanfaatkan oleh pemeluk agama lain, seperti penganut agama Islam.

Lalu, bagaimana hukum belanja menggunakan diskon Natal? Pertanyaan seperti ini penting dikemukakan beserta jawabannya, sebab bagi sebagian umat Islam yang alergi dengan segala sesuatu yang berbau Natal kerap melontarkan pernyataan keharaman belanja menggunakan diskon Natal.

Penjualan barang dengan diskon atau potongan harga sangat dianjurkan oleh Nabi, karena memudahkan dan meringankan terhadap seseorang dalam jual beli.

“Allah menyayangi orang-orang yang memudahkan dalam menjual, membeli dan mengadili”. (HR. Bukhari)

Lebih jelas, Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang hukum membeli barang saat perayaan Natal, yang umumnya ada diskonnya (diskon Natal). Beliau menjawab, boleh-boleh saja.

Hal senada juga disampaikan oleh Ibnu Hajar al Haitami, seorang ulama dari kalangan madhab Syafi’i. Menurutnya, secara umum umat Islam boleh meniru perbuatan orang kafir selama tidak berniat mengikuti dan mengimani kekafiran mereka. Maka, memberikan diskon atau belanja menggunakan diskon Natal tidak dilarang, selama tujuannya bukan mengikuti keyakinan mereka.

Sudah cukup jelas, pedagang muslim memberikan diskon Natal hukumnya boleh. Demikian pula, umat Islam dibolehkan berbelanja menggunakan diskon Natal. Disamping anjuran dari Nabi, memberi potongan harga atau diskon pada momen tertentu, seperti perayaan Natal, merupakan bentuk penghormatan terhadap saudara sebangsa dengan memudahkan mereka memperoleh barang yang diinginkan.

ISLAM KAFFAH

3 Mata yang Tidak Menangis di Hari Kiamat

SAHABAT Islampos, dalam sebuah ayat Alquran diterangkan bahwa ada dua reaksi manusia ketika hari kiamat tiba. Reaksi pertama adalah manusia yang menangis melihat kedahsyatan kiamat. Sedangkan reaksi yang lainnya adalah berseri-seri, tidak menangis. Tentu, semua orang berharap bisa termasuk ke dalam golongan yang kedua. Lantas, siapa saja pemilik mata yang tidak menangis di hari kiamat tersebut?

Mata yang tidak menangis di hari Kiamat

1 Mata yang tidak menangis di hari Kiamat: Mata orang-orang yang selama di dunia selalu menangis karena takut kepada Allah

Selama di dunia, mereka sudah terlebih dahulu menagis ketika membayangkan betapa menakutkannya siksa neraka. Mereka benar-benar takut mendapatkan hukuman Allah SWT. Mereka mencemaskan dirinya, takut Allah menurunkan azab atas kemaksiatan yang mereka perbuat di dunia.

2 Mata yang tidak menangis di hari Kiamat: Mata orang-orang yang berpaling dari perbuatan maksiat

Selama hidupnya di dunia, mereka adalah orang yang menggunakan matanya hanya untuk kebaikan. Pandangan mata mereka benar-benar terjaga. Mereka senantiasa berusaha menjaga mata mereka dari melihat sesuatu yang dilarang oleh Allah, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.

3 Mata yang tidak menangis di hari Kiamat: Mata orang-orang yang tidak tidur karena membela agama

Selamadi dunia, mereka tidak relaagama mereka direndahkan. Mereka senantiasa membela agamanya. Mereka sadar bahwa membela agama sama seperti memuliakan dirinya juga. Mereka memegang teguh janji Allah.

“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad: 7) []

Referensi: Kumpulan Kultum Muslimah Terbaru, Kumpulan Kultum Muslimah Sepanjang Tahun/Karya: Ust. A. Septiyani/Penerbit: Anak Hebat Indonesia/Tahun: 2020

Memetik Hikmah dari 3 Kisah Peristiwa Perjuangan Seorang Ibu

Kehadiran kita di dunia ini, tidak dapat kita pungkiri, adalah dengan sebuah pengorbanan yang sangat besar dari ibu kita. Dalam Al-Quran, Allah SWT menggambarkan dalam surat Luqman ayat 14:

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.”

Dalam artikel ini, penulis akan memaparkan mengenai tiga peristiwa dari sekian banyak peristiwa, yang menunjukkan betapa besar perhatian Islam terhadap ibu, yaitu:

Pertama, Peristiwa Saat Nabi Isa AS Berbicara Saat Masih Bayi

Sungguh adalah sebuah peristiwa yang sangat besar saat Allah menciptakan Nabi Isa AS tanpa seorang ayah, untuk menunjukkan kebesaran Allah SWT. Namun kelahiran Nabi Isa AS sempat mendatangkan tuduhan keji kepada Maryam. Digambarkan dalam surat Maryam ayat 27-28, yang artinya:

“Kemudian dia (Maryam) membawa dia (bayi itu) kepada kaumnya dengan menggendongnya. Mereka (kaumnya) berkata, “Wahai Maryam! Sungguh, engkau telah membawa sesuatu yang sangat mungkar.

Wahai saudara perempuan Harun (Maryam)! Ayahmu bukan seorang yang buruk perangai dan ibumu bukan seorang perempuan pezina.”

Lalu apa yang dilakukan oleh siti Maryam? Ia menunjuk Nabi Isa A.S. yang kala itu masih bayi. Lalu Nabi Isa A.S. berkata, yang terekam dalam surat Maryam ayat 30-32

Dia (Isa) berkata, “Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (melaksanakan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.”

Mari kita garis bawahi bahwa dalam peristiwa yang luar biasa tersebut, Allah menggerakkan lisan Nabi Isa AS. untuk mendeskripsikan dirinya sebagai orang yang berbakti kepada ibuku. Dan penjelasan ini datang setelah penjelasan bahwa beliau adalah orang yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat. Dari peristiwa tersebut, jelas bahwa berbakti kepada ibu adalah bukti dari kemuliaan seseorang dan keimanannya kepada Allah SWT.

Peristiwa Kedua, Saat Nabi Ismail AS Ditinggal Bersama Ibunya Di Padang Tandus

Atas perintah Allah SWT, Nabi Ibrahim AS harus meninggalkan Nabi Ismail AS yang masih bayi bersama ibunya, siti Hajar di Mekah yang saat itu begitu tandus. Siti Hajar bertanya kepada Nabi Ibrahim, “Apakah ini adalah perintah Allah?” Ketika Nabi Ibrahim AS mengiyakan, maka siti Hajar menerima perintah tersebut dengan pasrah.

Dalam suasana haus dan terik, siti Hajar lalu berusaha mencari air dari Shafa ke Marwa, hingga tujuh kali ulang-alik. Dan Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah, akhirnya air Zamzam muncul di tanah dekat kaki Nabi Ismail. Yang luar biasa adalah, peristiwa seorang ibu ini, yang berusaha untuk mencari air untuk putranya, diabadikan oleh Allah SWT sebagai salah satu ritual dalam ibadah Haji yang disebut sa’i.

Maka siapapun yang telah menunaikan ibadah umrah dan haji selayaknya selalu ingat kebesaran Allah dan kasih sayangnya pada Ibu dan anaknya, serta menghayati betapa besar perjuangan seorang ibu.

Peristiwa Ketiga, Saat Ibu Nabi Musa AS Mendapat Ilham Dari Allah SWT

Saat Fir’aun sedang mencanangkan untuk menghabisi seluruh anak laki-laki di negerinya, ibu Nabi Musa AS. teramat sedih dan khawatir bahwa putranya akan turut dihabisi. Namun dengan kekuasaan Allah, Allah memberikan ilham kepada Ibu nabi Musa AS.

وَاَوْحَيْنَآ اِلٰٓى اُمِّ مُوْسٰٓى اَنْ اَرْضِعِيْهِۚ فَاِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَاَلْقِيْهِ فِى الْيَمِّ وَلَا تَخَافِيْ وَلَا تَحْزَنِيْ ۚاِنَّا رَاۤدُّوْهُ اِلَيْكِ وَجَاعِلُوْهُ مِنَ الْمُرْسَلِيْنَ

“Dan Kami ilhamkan kepada ibunya Musa, “Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang rasul.” (QS. Al-Qasas ayat 7)

Akhirnya Nabi Musa AS dihanyutkan ke sungai Nil, lalu ia ditemukan oleh istri Fira’un. Dan karena bayi tersebut tidak mau menyusui kepada siapapun, akhirnya Allah mengembalikan bayi tersebut ke pangkuan ibunya untuk disusui oleh ibunya.

Kita lihat betapa sentral peranan Ibu dari Nabi Musa AS dalam peristiwa di atas. Bahkan hingga Allah memberikan ilham padanya. Semua peristiwa di atas sangat jelas menunjukkan betapa besar perhatian Islam kepada seorang Ibu. Ia begitu mulia kedudukannya, lebih berharga dari berlian. Dan dalam tingginya derajatnya itu, cinta Ibu pada kita, sungguh tak bertepi.

ISLAM KAFFAH

Tafsir Ayat tentang Penyerupaan Nabi Isa Sebelum Diangkat ke Langit

Berikut ini adalah tafsir ayat tentang penyerupaan Nabi Isa a.s sebelum diangkat ke langit.  Nabi Isa a.s dilahirkan di tengah kaum Yahudi, yang mana sebelumnya mereka telah berkali-kali membunuh nabi-nabi terdahulu. Peristiwa ini banyak disebut di dalam Alquran.

Seperti di surat Al-Baqarah ayat 87 yang bermakna, “Mengapa setiap rasul yang datang kepadamu membawa suatu pelajaran yang tidak kamu inginkan, kamu menyombongkan diri, lalu sebagian kamu dustakan dan sebagian kamu bunuh?” Sehingga di masa Nabi Isa a.s, kaum Yahudi pun melakukan aksi penolakan-penolakan yang serupa.

Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa upaya-upaya orang Yahudi untuk membunuh Nabi Isa a.s selain sebab ketidakpuasan atas ajaran yang dibawa, juga sebab kedengkian mereka terhadap nikmat dan keistimewaan-keistimewaan yang Allah Swt. berikan kepada Nabi Isa a.s.

Kaum Yahudi tiada henti mendustakan ajaran-ajaran Nabi Isa a.s, juga selalu melancarkan aksi-aksi penolakan yang dapat melukai Nabi Isa a.s.(Baca juga: Ketika Nabi Isa Turun Lagi Setelah Diangkat ke Langit).

Sebab itulah, Nabi Isa a.s tidak pernah bermukim di satu tempat. Beliau bersama Ibundanya selalu berpindah-pindah tempat untuk menghindari serangan-serangan Kaum Yahudi.

Parahnya lagi, Kaum Yahudi juga menghasut Raja Damaskus saat itu untuk turut menghentikan dakwah Nabi Isa a.s. sampai akhirnya Raja Damaskus mengutus pasukannya untuk mengepung Nabi Isa a.s dan segera mengeksekusinya setelah ditemukan.

Maka, dikepunglah Nabi Isa a.s oleh pasukan Yahudi, hingga terjadilah peristiwa penyerupaan Nabi Isa a.s sebelum diangkat ke langit.

Peristiwa ini secara eksplisit dikisahkan Alquran di surat An-Nisa ayat 157 yang berbunyi,

وَّقَوْلِهِمْ اِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيْحَ عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُوْلَ اللّٰهِۚ وَمَا قَتَلُوْهُ وَمَا صَلَبُوْهُ وَلٰكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ ۗوَاِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ ۗمَا لَهُمْ بِهٖ مِنْ عِلْمٍ اِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوْهُ يَقِيْنًاۢ ۙ

“(Kami menghukum pula mereka) karena ucapan mereka, “Sesungguhnya kami telah membunuh Almasih, Isa putra Maryam, Rasul Allah,” padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang menurut mereka menyerupai (Isa).

Sesungguhnya mereka yang berselisih pendapat tentangnya (pembunuhan Isa), selalu dalam keragu-raguan terhadapnya. Mereka benar-benar tidak mengetahui (siapa sebenarnya yang dibunuh itu), kecuali mengikuti persangkaan belaka. (Jadi,) mereka tidak yakin telah membunuhnya.”

Ayat di atas secara terang menjelaskan bahwa yang dibunuh dan disalib oleh pasukan Yahudi bukanlah Nabi Isa a.s. Tidak sebagaimana yang mereka yakini. Akan tetapi orang lain yang diserupakan oleh Allah Swt. dengan Nabi Isa a.s. Sedangkan beliau sendiri diangkat oleh Allah Swt. ke langit.

Sebagaimana firman Allah Swt. (surat An-Nisa ayat 158) بل رفعه الله إليه  “Tetapi Allah telah mengangkat Isa ke hadirat-Nya,”  Para ulama kita sepakat akan hal ini.

Akan tetapi, menyoal detail proses pengangkatan beliau, ulama kita berbeda-beda pendapat. Setidaknya, ada lima riwayat berbeda yang diulas oleh Imam Ar-Razi dalam tafsirnya Mafâtih al-Ghaib. Pertama, ketika pasukan Yahudi hendak membunuh Nabi Isa a.s, beliau diangkat oleh Allah Swt. ke langit.

Menyaksikan hal tersebut, para pembesar Yahudi khawatir para pengikutnya akan mempertanyakan mengapa mereka tidak kuasa untuk membunuh Nabi Isa a.s. Maka mereka membuat tipu daya dengan membunuh salah seorang di antara mereka dan mengatakan bahwa dia adalah jasad Isa A.s.

Tipu daya tersebut berhasil sebab tidak banyak yang mengerti wajah Nabi Isa a.s, pun Nabi Isa a.s memang sosok yang tidak banyak berinteraksi dengan banyak orang saat itu. Jika kemudian ada yang mengatakan bahwa sebagai pembesar Nasrani menyaksikan bahwa Nabi Isa a.s lah yang disalib, maka riwayat itu tidak bisa dibenarkan.

Sebab ketersambungan riwayatnya pun tidak bisa dibuktikan. Menurut Imam Ar-Razi pendapat ini lah yang banyak diamini oleh ulama ilmu kalam.

Kedua, pimpinan Yahudi mengutus salah seorang dari pasukannya untuk masuk ke sebuah rumah dan membawa Nabi Isa a.s keluar untuk dieksekusi oleh pasukan. Setelah masuk, Nabi Isa a.s diangkat oleh Allah Swt. dan lelaki tersebut diserupakan dengan Nabi Isa a.s. Sewaktu keluar rumah, segera pasukan Yahudi membunuh dan menyalib lelaki tersebut.

Ketiga, Allah Swt. menyerupakan salah seorang lelaki penguntit dan pengawas Nabi Isa a.s dari kalangan Yahudi, dengan wajah Nabi Isa a.s sewaktu beliau naik ke gunung untuk selanjutnya diangkat ke langit. Pasukan Yahudi membunuh dan menyalib lelaki tersebut, sekalipun sebelumnya lelaki tersebut mengatakan bahwa dirinya bukanlah Isa.

Keempat, sewaktu pasukan Yahudi mengepung rumah yang ditempati Nabi Isa a.s, beliau saat itu bersama sepuluh orang pengikut setianya. Beliau bertanya, “siapakah di antara kalian yang menginginkan Surga dengan syarat mau diserupakan denganku?”

Lantas salah seorang di antara mereka mengacungkan tangan, dan segera diserupakan dengan Nabi Isa a.s. Lalu dia keluar rumah dan dibunuh oleh pasukan Yahudi. Sedangkan Nabi Isa a.s diangkat ke langit oleh Allah Swt.

Terakhir, salah seorang pengikut Nabi Isa a.s berkhianat dengan mengabarkan kepada pasukan Yahudi tentang keberadaan Nabi Isa a.s. Lantas ketika ia masuk bersama pasukan Yahudi ke dalam rumah, ia diserupakan dengan Nabi Isa a.s dan kemudian dibunuh serta disalib oleh mereka.

Demikianlah tafsir ayat tentang penyerupaan Nabi Isa a.s sebelum diangkat ke langit. Sekalipun ulama kita berbeda-beda pendapat tentang detil peristiwanya, namun mereka sepakat bahwa yang dibunuh dan disalib oleh orang Yahudi bukanlah Nabi Isa a.s. melainkan lelaki lain yang diserupakan dengan Nabi Isa a.s. Wallahu a’lam bi al-shawâb.

Tulisan ini telah terbit di Bincangmuslimah.com