Makna Ahlussunah Waljamaah dan Sekte-Sekte yang Menyelisihinya

Makna ahlussunah waljamaah

Ahlussunah waljamaah (diambil dari bahasa Arab) terdiri dari dua unsur kata, yaitu as-sunnah dan al-jama’ah. Secara etiomologi, as-sunnah artinya adalah jalan/cara, baik itu jalan yang baik atau buruk (Lisanul ‘Arab). Sedangkan menurut terminologi dalam pembahasan akidah, as-sunnah adalah petunjuk yang telah diamalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, baik berupa ilmu, keyakinan, perkataan, maupun perbuatan. Inilah makna as-sunnah yang wajib diikuti. Orang yang mengikutinya akan dipuji, sedangkan orang yang menyelisihinya akan dicela. (Mabahits fi ‘Aqidah)

Adapun pengertian as-sunnah menurut Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah, “As-sunnah adalah jalan beragama yang ditempuh oleh seseorang, yaitu berupa berpegang teguh dengan apa yang dilaksanakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para khulafa’ur rasyidin berupa keyakinan, perkataan dan perbuatan. Inilah makna as-sunnah yang sempurna.“ (Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam)

Sedangkan yang dimaksud dengan al-jama’ah adalah pendahulu umat ini, yaitu para sahabat, tabiin, dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan sampai hari kiamat nanti. Mereka bersatu di atas Al-Kitab dan as-sunnah dan bersatu bersama di bawah para imam/pemimpin. Mereka senantiasa berjalan di atas apa yang sudah ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. (Mabahits fi ‘Aqidah)

Syekh Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim Al-‘Aql juga menjelaskan bahwa disebut al-jama’ah karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para imam yang berpegang dengan al-haq, tidak mau keluar dari jemaah mereka, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan salaful ummah. (Mujmal Ushul)

Kesimpulannya, definisi ahlusunah waljamaah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama. Mereka menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Syekh Khalifah At-Tamimi rahimahullah menjelaskan, “Ahlusunah  waljamaah adalah para sahabat, tabiin, tabiut tabi’in, dan siapapun dari umat ini yang  mengikuti jalan mereka. Maka, tidak termasuk dalam makna ini seluruh kelompok bid’ah dan pengikut hawa nafsu. As-sunnah di sini maksudnya adalah lawan dari bid’ah, sedangkan al-jama’ah adalah lawan dari al-firqah (berpecah belah/berkelompok-kelompok).” (Mu’taqad Ahlissunnah wal-Jama’ah)

Sekte-sekte yang menyelisihi ahlusunah waljamaah

Syekh Musthofa Al-‘Adawi menjelaskan bahwa ahlusunah waljamaah adalah para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai datangnya hari kiamat. Mereka senantiasa berpegang teguh dengan akidah yang benar, yaitu akidah Rasulullah dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang terbebas dari kerusakan bid’ah dan khurafat. Mereka disebut ahlusunah karena mereka mengamalkan sunah Nabi yang merupakan penjelas dari Al-Qur’an, sebagai bentuk pengamalan dari sabda Nabi,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Maka, wajib atas kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunah khulafa’ur rasyidin al-mahdiyyin (yang mendapatkan petunjuk dalam ilmu dan amal). Gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud, hasan sahih)

Mereka mengetahui bahwa petunjuk Nabi adalah petunjuk terbaik. Maka, mereka mendahulukan petunjuk Nabi daripada yang lainnya. Mereka disebut al-jama’ah karena mereka bersatu untuk mengikuti sunah Nabi. Mereka bersatu di atas kebenaran dan di atas akidah Islam yang murni. (Tadzhib Tashil ‘Aqidah Al-Islamiyyah)

Penamaan ahlusunah waljamaah ini penting untuk membedakan antara akidah sahih yang mengikuti Nabi dengan kelompok lain yang menempuh jalan yang tidak sesuai dengan petunjuk Nabi. Ada di antara kelompok yang mengambil akidahnya dari sumber akal manusia dan ilmu kalam yang berasal dari warisan filsafat Yunani. Mereka lebih mendahulukannya daripada firman Allah dan petunjuk dari Nabi. Yang termasuk kelompok ini di antaranya adalah para ahli filsafat, Qadariyyah, Maturidiyyah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Asya’irah yang mengikuti sebagian pemikiran Jahmiyyah.

Di antara kelompok tersebut ada pula yang mengambil akidahnya dari pemikiran gurunya yang dibangun di atas hawa nafsu seperti rafidhah dan yang lainnya. Di mana mereka lebih mendahulukan kalam para gurunya daripada firman Allah dan petunjuk Nabi.

Di antara kelompok tersebut ada juga yang dinisbatkan kepada pemikiran dan perbuatan mereka yang menyimpang dari petunjuk Nabi. Contohnya rafidhah, disebut demikian karena mereka rafadha (menolak) kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Demikian juga kelompok qadariyyah, disebut demikian karena mereka menolak qadar atau takdir Allah. Ada juga kelompok khawarij, disebut demikian karena mereka khuruj (keluar dan memberontak) dari kepemimpinan yang sah (Tadzhib Tashiil ‘Aqidah Al-Islamiyyah). Ini semua adalah kelompok yang menyimpang dari ahlusunah waljamaah.

***

Penulis: Adika Mianoki

Artikel: Muslim.or.id

Referensi:

Mabahits fii ‘Aqidah Ahlissunnah wal-Jama’ah wa Mauqif Al-Harakat Al-Islamiyyah Al-Mu’asirah minha, karya Nashir bin ‘Abdil Karim Al-‘Aql

Mujmal Ushul Ahlissunnah wal-Jamaa’ah fil ‘Aqidah, karya Nashir bin ‘Abdil Karim Al-‘Aql

Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab Al-Hanbali

Tadzhib Tashil ‘Aqidah Al-Islamiyyah, karya Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz Al-Jibrin

Mu’taqad Ahlissunnah wal-Jama’ah fi Tauhid Al-Asma’ wa Shifat, karya Muhammad bin Khalifah At-Tamimi

Lisanul ‘Arab, karya Muhammad bin Mukrim bin Mandzur

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85267-makna-ahlussunnah-waljamaah.html

Bekal Menerjemahkan Bahasa Arab (Bag. 3)

Bagan/daftar penting yang diperlukan dalam menerjemah

Beberapa bagan yang perlu dipelajari bagi penerjemah untuk menunjang kelancaran menerjemah, terutama saat didapatkan kesulitan memahami teks Arab atau memahami makna sebuah huruf atau memahami makna sebuah wazan adalah

Bagan baca kitab

Langkah-langkah membaca kitab itu secara garis besar ada empat langkah:

Pertama: Menentukan jenis kata isim/fi’il/huruf.

Kedua: Menentukan mabni/mu’rab.

Ketiga: Menentukan kedudukan/jabatan dalam kalimat (i’rab) marfu’at/manshubat/majrurat.

Keempat: Menentukan tanda baca/tanda i’rab fathah/dhammah/kasrah/alif/wawu/ya’

InsyaAllah keempat langkah ini dapat membantu penerjemah dalam mendapatkan terjemahan yang tepat, khususnya ketika menghadapi kesulitan menentukan jabatan kata dalam kalimat (i’rab). Misalnya: apakah kata tersebut sebagai fa’il atau naibul fa’il, maf’ul muthlaq atau tamyiz dengan cara mengurut keempat langkah tersebut sehingga ditemukan akar masalahnya.

Bagan huruf

InsyaAllah bagan huruf dapat membantu penerjemah menerjemahkan sebuah huruf ma’ani dengan baik. Karena sebuah huruf ma’ani bisa memiliki banyak makna, sedangkan bagan huruf menggambarkan rangkuman dari berbagai makna huruf berdasarkan tinjauannya masing-masing.

Tinjauan huruf ma’ani yang sering terpakai dalam aktifitas menerjemah di antaranya adalah:

Pertama: Ditinjau dari sisi sebuah huruf beramal atau tidak, maka terbagi menjadi dua: 1) huruf-huruf yang beramal dan 2) huruf-huruf yang tidak beramal.

Kedua: Ditinjau dari sisi masuknya huruf  ke sebuah jenis kata (kalimah) ada 3, yaitu: 1) Huruf yang masuk ke fi’il, 2) huruf yang masuk ke isim, dan 3) huruf yang masuk ke fi’il sekaligus isim.

Semua kelompok huruf di atas (kecuali huruf yang beramal) memiliki banyak varian makna/fungsi, dan rata-rata masing-masing makna/fungsi tersebut beranggotakan banyak huruf.

Di samping menguasai bagan, tentunya penerjemah perlu menghafal huruf-huruf beserta varian maknanya masing-masing.

Contoh penerapan makna huruf

Makna huruf ف itu banyak, di antaranya:

Pertama: Fa’ tafri’

Ciri khas Fa’ tafri’ adalah kalimat setelah fa’ adalah cabang/pembagian/konsekuensi akibat dari kalimat sebelum fa’(pokok).

Cara penerjemahan:

“lalu”, “maka”, “di antaranya”, atau terjemahan semisalnya.

Contohnya adalah firman Allah:

هُوَ اْلَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنْكُمْ كَافِرٌ وَمِنْكُم مُّؤْمِنٌ

“Dialah yang menciptakan kalian, lalu di antara kalian ada yang kafir dan di antara kalian (juga) ada yang mukmin.” (QS. At-Taghabun: 2)

Kedua: Fa’ tafsiriyyah (Tafshil)

Fa’ tafsiriyyah (tafshil) adalah kalimat setelah fa’ menjelaskan kalimat sebelumnya.

Cara penerjemahannya: “yaitu”, “pun”, “misalnya”, atau terjemahan semisalnya.

Contoh:

توضأ زيد فغسل يده

“Zaid berwudu, dia pun mencuci tangannya.”

Ketiga: Fa’ ta’lil

Ciri khas fa’ ta’lil adalah jawaban dari “limadza” (kenapa), dan kalimat alasan terletak setelah huruf fa’.

Cara penerjemahannya: “karena”, atau terjemahan semisalnya.

Contoh:

ساعد المسلمين فهم إخوانك

“Bantulah kaum muslimin, karena mereka adalah saudara-saudaramu.”

Keempat: Fa’ sababiyyah

Ciri khas fa’ sababiyyah adalah jumlah yang terletak sebelum fa’ sebagai sebab bagi jumlah setelah fa’.

Cara penerjemahannya: “niscaya”, “maka”, atau terjemahan semisalnya.

Contoh:

اعمل خيرا فتحصد خيرا

“Lakukan kebaikan, niscaya engkau akan memanen kebaikan (pula).”

Daftar makna wazan

Sebuah wazan bisa jadi memiliki makna yang banyak. Dan daftar makna wazan ini dapat membantu (bi’idznillah) penerjemah dalam menentukan terjemah sebuah kata yang memiliki makna yang banyak tersebut, dengan cara memilih salah satu dari pilihan terjemahan yang sesuai dengan makna wazan dan konteks kalimatnya.[1]

Dengan demikian, di antara trik saat penerjemah bingung menentukan terjemah sebuah “kata yang bersayap”[2] adalah dengan memeriksa daftar makna wazan yang disesuaikan dengan konteks kalimat.

Wazan dan maknanya:

Berikut ini beberapa wazan dan maknanya:

Wazan:

أَفعَلَ –  يُفْعِل  

Makna:

Masuk ke sesuatu

Tempat yang dituju

Sering/banyak sekali.

Menjadi

Masa

Menawarkan/penawaran

Adanya hubungan erat antara fi’il dan fa’il

Wazan:

فعّل – يفعّل

Makna:

Me-muta’addi-kan fi’il lazim

Menunjukkan pembuatan fi’il dari isim

Membangsakan maf’ul bih pada pengertian asal fi’ilnya

Memperbanyak

Wazan:

فاعلَ – يُفاعِلُ

Makna:

Mengandung pengertian saling

Banyak memperbanyak

Menjadikan muta’addi saja

Asal fi’il-nya.

Wazan:

تفعّل – يتفعّل

Makna:

Menunjukkan pengertian rentetan atau akibat

Sanggup/kesanggupan

Menjauhkan diri

Meminta/mencari

Terjadi berkali-kali

Terjadi

Wazan:

تفاعل – يتفاعل

Makna:

Menunjukkan pengertian saling

Berpura-pura

Menunjukkan pengertian secara berangsur

Sama dengan makna mujarrad-nya

Rentetan akibat dari suatu perbuatan

Wazan:

انفعل – ينفعل

Makna:

Mengandung pengertian efek/akibat

Wazan:

افْتَعَلَ – يَفْتَعِل

Makna:

Menunjukkan pengertian akibat/pengaruh dari perbuatan

Saling

Sama dengan makna mujarrad-nya

Sangat

Menjadikan/membuat

Mencari

Wazan:

استفعل – يستفعل

Makna:

Memohon/meminta

Memiliki sifat (diartikan dengan: mengangap)

Mengubah

Sanggup/kesanggupan

Sama dengan makna mujarrad-nya

Pengaruh/akibat

Aplikasi Penunjang

Di zaman kemajuan teknologi smart phone ini, alhamdulillah banyak kemudahan untuk melakukan berbagai kebaikan dengan media aplikasi. Di antaranya kebaikan berupa penerjemahan teks-teks berkonten ajaran agama Islam dengan manhaj Salaf Saleh.

Seorang penerjemah ilmu-ilmu Syar’i, tentulah harus memiliki kemampuan untuk memahami ayat Al-Qur’an dan Al-Hadis, melalui tafsir ayat dan syarah hadis. Oleh karena itu, aplikasi penunjang yang terpenting dimiliki oleh penerjemah adalah aplikasi kitab-kitab tafsir dan syarah-syarah hadis. Di samping itu, perlu juga memiliki aplikasi kamus bahasa Arab maupun dalam bahasa Indonesia, sebagai bahasa sumber maupun sasaran penerjemahan.

Berikut ini beberapa aplikasi yang sangat menunjang penerjemah (biidznillah) dalam menerjemahkan teks-teks ilmu-ilmu Syar’i:

Pertama: Tafsir sekitar 40 an kitab Tafsir

https://play.google.com/store/apps/details?id=com.thedawah.furqan

Kedua: Pencarian hadis, derajat dan syarahnya

https://play.google.com/store/apps/details?id=com.thedawah.hadith

Ketiga: Kamus Arab-Indonesia

https://play.google.com/store/apps/details?id=com.ristekmuslim.kamusarabindo

Keempat: Kamus Ma’ani Indonesia

https://play.google.com/store/apps/details?id=com.almaany.arid

Kelima: Kamus Ma’ani Arab

https://play.google.com/store/apps/details?id=com.almaany.arar

KBBI versi 5

https://play.google.com/store/apps/details?id=yuku.kbbi5

Semoga Allah Ta’ala menjadikan serial tulisan ini bermanfaat luas bagi kaum muslimin dan muslimat. Wallahu a’lam.

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1]  Konteks kalimat dapat diketahui dari hubungan antara sebuah kata yang sedang diterjemahkan dengan kata sebelum dan sesudahnya.

[2]  Kata bersayap yaitu kata yang memiliki banyak makna.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85217-bekal-menerjemahkan-bahasa-arab-bag-3.html

Jamaah Haji Diingatkan Agar tidak Merokok di Tanah Suci, Ini Sanksinya

 Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Riau, Mahyudin, mengatakan ada banyak peraturan di negara Arab Saudi yang harus diperhatikan jamaah haji selama melaksanakan ibadah di tanah suci. Di antara larangan yang menurut Mahyudin harus diperhatikan bagi jamaah perokok adalah memperhatikan tempat merokok di Arab Saudi.

Karena di negara tersebut, kata Mahyudin, merokok di sembarangan tempat dapat dikenai sanksi denda sampai sanksi kurungan. “Jamaah yang memiliki ketergantungan dengan rokok, sebaiknya selama berada di tanah suci untuk berpuasa/tidak merokok lebih dahulu atau jika tidak bisa juga, jangan merokok disembarang tempat. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi,” kata Mahyudin, Kamis (8/6/2023).

Mahyudin juga mengingatkan jamaah supaya tidak sembarangan membuang sampah di sekitaran Masjidil Haram dan juga di Masjid Nabawi. Bahkan bila perlu menurut Mahyudin jamaah bila melihat sampah harus bantu membuang ke tempatnya.

“Bila melihat sampah, kita bantu ambil dan kita buang pada tempat yang sudah disediakan. Kita berbuat baik di rumah Allah, insya allah berpahala dan kita pun senang jika tempat ibadah kita bersih,” ujar Mahyudin.

Kemudian lanjut Mahyudin, jamaah ataupun kelompok jamaah juga tidak boleh membentangkan spanduk atau tanda-tanda yang mencirikan kelompoknya. Baik itu di Masjid Nabawi maupun Masjidil Haram. Karena bisa ditangkap oleh Askar yang berjaga.

Lalu jamaah juga tidak boleh mengambil barang atau benda yang tercecer tanpa berkoordinasi dengan pihak keamanan. Walau berniat baik, sebaiknya kata Mahyudin membiarkan saja bila melihat benda yang tercecer karena di masjid ada CCTV.

Satu lagi kata dia jamaah disarankan tidak berkumpul atau berkerumun ketika berada di dalam maupun di luar halaman Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Karena hal itu dapat mengganggu aktivitas jamaah lain.

IHRAM

Muamalat Mudahkan Transaksi Jamaah Haji di Tanah Suci

Hal ini sesuai komitmen Bank Muamalat menyukseskan penyelenggaraan ibadah haji.

PT Bank Muamalat Indonesia Tbk memberikan kemudahan bagi jamaah haji yang ingin bertransaksi di Tanah Suci, Arab Saudi, melalui melalui Kartu Shar-E Debit Muamalat.

Direktur Utama Bank Muamalat Indra Falatehan dalam keterangan resmi yang disampaikan pada Kamis (1/6/2023) menjelaskan, kartu Shar-E Debit Muamalat berlogo VISA bisa digunakan di mesin ATM dan Electronic Data Capture (EDC) berlogo VISA/Plus di Arab Saudi. Selain itu, kartu tersebut juga bisa digunakan di mesin ATM milik Bank Al Rajhi yang tersebar di Kota Makkah, Madinah hingga Jeddah di Arab Saudi.

Indra menjelaskan, kelebihan dari Kartu Shar-E Debit Muamalat adalah tersedia pilihan transaksi bahasa Indonesia saat bertransaksi di ATM. Hal tersebut bermanfaat dan memberikan nilai tambah kepada para nasabah Bank Muamalat yang menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. “Hal ini pun sejalan dengan komitmen Bank Muamalat untuk senantiasa berkontribusi terhadap kesuksesan penyelenggaraan ibadah haji,” kata Indra.

Dia melanjutkan, setiap bertransaksi tarik tunai di ATM berlogo VISA/Plus di Arab Saudi, nasabah mendapatkan subsidi biaya tarik tunai, maksimal tiga kali dalam sebulan untuk kartu Shar-E Debit Ihram, dengan kurs yang kompetitif. Selain itu, terdapat pula subsidi belanja yang berlaku di toko atau pedagang berlogo VISA/Plus dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Indra mengatakan kartu Shar-E Debit Muamalat sudah bisa digunakan untuk bertransaksi secara online di berbagai e-commerce atau online shop dengan fitur keamanan yang sudah tersertifikasi oleh VISA (Verified by VISA Secure Code). Dia menjelaskan pengamanan transaksi pada fitur tersebut menggunakan teknologi 3D Secure dengan validasi One Time Password (OTP) berupa PIN 6 digit yang dikirimkan melalui SMS.

“Tujuan OTP adalah untuk memastikan keamanan transaksi antara pedagang dan pelanggan seolah keduanya bertransaksi secara tatap muka,” ujar Indra.

Bank Muamalat memiliki produk perbankan bagi masyarakat yang ingin merencanakan ibadah haji yang bernama Tabungan iB Hijrah Haji, yang mana basabah yang membuka tabungan ini akan dibekali dengan kartu Shar-E Debit yang bisa digunakan untuk bertransaksi di Tanah Suci. Selain itu, masyarakat juga dapat mempersiapkan langkah #HajiAnakHebat dengan Tabungan iB Hijrah Haji, sehingga putra-putrinya dapat menabung sejak dini, dan dapat beribadah dengan kondisi prima di usia muda.

IHRAM

Sebuah Historis Tentang Kurban Hewan

Artikel tentang sebuah historis tentang kurban hewan. Di dalam al-Qur’an sendiri tidak kurang dari 200 ayat berkenaan dengan hewan, baik secara langsung dan spesifik menyebutkan jenis hewan tertentu, ataupun secara tidak langsung dan umum dengan menyebutkan kelompok hewan dimaksud.

Lima diantaranya bahkan menjadi nama surat, yaitu, An-Naml (semut), An-Nahl (lebah), Al-Baqarah (sapi betina), Al-Ankabut (labalaba), Al-Fil (gajah). Sedangkan dua lainnya merujuk kepada jenis hewan tertentu, yaitu, Al-An’am (hewan ternak) dan Al-Adiyat (kuda perang yang berlari kencang).

Dalam hemat penulis, setidaknya terdapat empat tema terkait hewan dalam al-Qur’an yang perlu untuk disebutkan disini:

Pertama, berkenaan dengan jenis hewan yang disebutkan dalam al-Qur’an; Kedua, terkait dengan fungsi-fungsi hewan bagi manusia; Ketiga, perihal kehidupan dan karakter hewan-hewan tersebut; dan keempat, mengenai etika terhadap hewan.

Rangkaian-rangkaian pertanyaan di atas penting untuk diajukan dalam rangka memperoleh gambaran umum bagaimana Islam memandang hakikat hewan pada dirinya sendiri, relasinya dengan manusia, serta tentu saja berkaitan dengan persoalan hak asasi dan kesejahteraan hewan.

Kita tahu, secara umum, al-Qur’an memandang hewan (termasuk manusia didalamnya) sebagai bagian dari alam. Kata “alam” itu, menurut Quraish Shihab, seakar dengan kata “alamah” (yang lalu ketika diindonesiakan menjadi alamat) yang berarti “sesuatu yang menjelaskan sesuatu selainnya”.

Maksudnya, alam secara esensi merupakan tanda-tanda yang sangat jelas menunjuk kepada Tuhan pencipta yang Maha Esa, Kuasa, dan Mengetahui. Ketika disandingkan dengan kata Tuhan, alam adalah segala sesuatu selain-Nya. Alam bukan saja benda-benda langit atau bumi, tapi juga segala sesuatu di antara keduanya (penghuni-penghuni didalamnya).

Disinilah letak titik-temu antara hewan dan manusia sebagai sesama penghuni bumi sekaligus ketergantungan terhadapnya. Berbagai jenis hewan yang diangkat dalam al-Qur’an bukan saja menunjukan kedekatan hewan-hewan tersebut dengan keseharian masyarakat Arab ketika itu, tapi juga sekaligus menjadi bukti otentik perhatian besar Islam terhadap hewan secara keseluruhan.

Tentang Kurban Hewan

Sekilas, penulis teringat dengan Garda Satwa Indonesia (GSI) memiliki kutipan menarik terkait hak asasi hewan sebagai berikut, “Menyelamatkan satu ekor hewan mungkin tidak akan merubah dunia, tapi tentu akan mengubah seluruh dunia bagi hewan tersebut.”

Dengan dilandasi pemikiran di atas, Garda Satwa Indonesia (selanjutnya GSI) sejak awal terbentuknya telah memfokuskan diri untuk menjamin ditegakkannya hak-hak asasi hewan (animal rights), yang juga memiliki payung hukumnya dalam UU No 18/2009 tentang kesejahteraan hewan, bahwa hewan-hewan memiliki hak-hak dasar untuk hidup layak atau bebas dari intervensi manusia.

Hak-hak yang dimaksud oleh GSI ini meliputi: freedom from hunger, freedom from discomfort, freedom from pain, injury and disease, freedom from fear and distress, dan freedom to express normal behavior (5F). Tidak heran jika dalam banyak kasus penganiayaan hewan domestik, GSI selalu berada di lini terdepan. Tentu saja, apa yang dilakukan GSI ini hanyalah satu contoh kecil perjuangan para aktivis hewan dalam menjamin perlindungan dan ditegakkannya hak asasi hewan.

Syahdan, dalam diskursus filsafat Barat, hewan selalu ditempatkan dalam posisi yang berseberangan dengan manusia (relasi oposisi). Aristoteles memandang hewan sebagai makhluk yang tidak memiliki apa yang dimiliki oleh manusia, yaitu, kemampuan berbahasa.

Lewat kemampuan uniknya ini, manusia mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk secara moral. Sementara, hewan hanya memiliki suara (mere voice) yang berbeda dengan bahasa pada manusia, dimana suara tersebut tak lebih dari sekadar penanda kesenangan (sign of pleasure) dan kepedihan (sign of pain).

Pandangan Aristoteles ini, yang diamini oleh oleh Stoisisme dan Epicureanisme, mendapat tentangan dari filsuf Yunani lainnya yang kurang dikenal, seperti, Plutarch dan Porphyr. Kedua filsuf ini membantah pandangan Aristoteles yang membolehkan pembunuhan hewan untuk kepentingan manusia atas dasar irasionalitasnya, dengan membuktikan bahwa hewan ternyata menunjukan adanya kapasitas dalam berpikir (reasoning) dan berbahasa.

Meski demikian, pandangan Aristoteles ini terus mewarnai diskursus filsafat Barat hingga pada pertengahan abad ke 20, ketika antroposentrisme (yang dipicu oleh berbagai krisis bersifat multidimensional) mulai dipertanyakan. Sehingga, muncullah cabang keilmuan yang secara spesifik membahas segala sesuatu tentang hewan, animal studies, dengan dua pertanyaan besarnya: hakikat hewan dan kehewanan, dan relasi distingtif manusia dan hewan.

Setidaknya ada dua faktor yang memicu lahirnya animal studies ini. Pertama, kritik terhadap humanisme oleh teori-teori kritis yang berkembang, seperti, strukturalisme dan pascastrukturalisme yang berupaya menginterogasi kembali figur manusia yang konstitutif. Kedua, perubahan radikal perihal sosok hewan berdasarkan berbagai temuan dari ilmu-ilmu baru, seperti, ethologi dan ekologi.

Lalu, apakah mungkin membuat definisi hewan sebagai hewan (terlepas dari manusia) yang bersifat general atau umum? Jika hal tersebut dimungkinkan, maka karakteristik seperti apa yang membedakan hewan dengan manusia? Jika tidak, maka masih tepatkah penggunaan distingsi tersebut?.

Penting dicatat, bahwa maraknya studi tentang hewan ini sejak abad ke 20 M telah mencuatkan pertanyaan relevansi dari pendefinisian hewan secara homogen yang berlaku selama ini. Apakah benar ada esensi kehewanan dari ragam hewan yang ada? Persoalan definisi homogen hewan ini penting, sebab berimbas pada pembentukan demarkasi manusia dari hewan.

Masih tentang Kurban. Jauh sebelum lahirnya agama Yahudi, Kristen, dan Islam, bahkan jauh sebelum manusia dapat menulis dan kotakota didirikan, umat manusia telah terlebih dahulu melakukan ritual pengorbanan. Penelitian Paleontologi perihal nenek-moyang umat manusia, tepatnya Homo Neanderthalensis yang hidup dalam periode 110.000-35.000 tahun yang lalu, mengindikasikan adanya ritual pengorbanan yang dilakukan secara berkelompok (sacrificial gatherings) terhadap berbagai hewan dan bahkan manusia.

Dorongan untuk melakukan pengorbanan, dengan demikian, bersifat inheren dalam diri manusia dan masyarakatnya. Bahkan, dalam abad modern sekalipun, anak-anak muda dituntut untuk rela mengorbankan dirinya sendiri dalam peperangan demi kebaikan keluarganya, masyarakatnya, dan bangsanya.

Dalam tradisi Semitik, ritual pengorbanan yang dilakukan Nabi Ibrahim terhadap anak semata wayangnya (Ishaq dalam satu versi, dan Ismail dalam versi lain) telah menginspirasi berbagai bentuk pengorbanan diri (self-sacrifice) atas nama agama, mulai dari Perang Salib hingga Jihad.

Kita tahu, Nabi Muhammad sendiri tercatat melakukan suatu bentuk ritual pengorbanan yang tidak biasa menjelang wafatnya. Dalam sebuah hadits, yang salah-satunya, bersumber dari Abdullah Ibn Abbas, dilaporkan bagaimana Nabi ketika melakukan ibadah haji terakhirnya melakukan ritual pengorbanan dengan menyembelih 100 ekor unta disembelih oleh tangan Nabi sendiri, sementara sisanya oleh Ali ibn Abi Thalib.

Lalu kemudian Nabi memerintahkan untuk membagikan keseluruhan daging, kulit, dan bulu dari hewan sembelihan tersebut. [Baca juga: Sejarah Kurban Sebelum Islam].

Tak hanya itu, Nabi juga memotong rambutnya untuk kemudian didistribusikan ke para sahabat. Pada saat yang hampir bersamaan, Nabi juga mengirimkan utusannya kepada para pemimpin Arab dan non-Arab di sekitarnya, termasuk di antaranya Raja Negus dari Ethopia, Raja Khosraw dari Sassanid Persia, hingga Muqawqis di Iskandariah dan Heraclius di Romawi.

Ritual pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi itu, tentu saja, memiliki makna-makna simbolis yang perlu diinterpretasikan lebih lanjut. Menariknya, menurut Brannon Wheeler, makna simbolis dari ritual pengorbanan tersebut lebih bersifat sosiogonik alih-alih kosmogonik.

Artinya, ritual dimaksud bukan diperuntukkan sebagai persembahan bagi suatu kekuatan adiduniawi, melainkan penegasan akan asal-usul keislaman itu sendiri sebagai landasan peradaban Islam ke depannya.

Secara eksplisit, ritual pengorbanan yang dilakukan Nabi Muhammad (lewat pembagian daging dan minuman kepada para pengikutnya) dapat dibandingkan dengan Perjamuan Terakhir (Last Supper) yang dilakukan Nabi Isa menjelang penyalibannya.

Demikian pula dengan keputusan Nabi Muhammad untuk mengirimkan surat kepada para raja, dapat disandingkan dengan keputusan Nabi Isa untuk mengirimkan para pengikutnya ke seluruh penjuru dunia paska penyalibannya.

Pengorbanan 100 ekor unta itu sendiri merujuk pada kisah Nabi Ibrahim ketika mengorbankan anaknya yang lalu diganti dengan hewan sembelihan yang besar. Akan halnya pendistribusian rambut Nabi Muhammad selaku pemimpin umat Islam sebagai kekuatan baru di dunia ketika itu.

Sebagaimana halnya terdapat dalam tradisi lainnya (seperti, Buddha, Persia, dan Kristen), menandakan penegasan dirinya, dengan Mekah sebagai pusatnya (selaku tempat pengorbanan dilakukan), sebagai pusat peradaban Islam.

Sebagaimana dinyatakan oleh Phillip K. Hitti, dalam History of the Arabs, perihal keputusan Nabi untuk menggunakan unta, alih-alih domba, sebagai hewan kurbannya, terkait erat dengan tradisi dan keadaan masyarakat Arab pra-Islam itu sendiri.

Sebagaimana juga diketahui, unta dalam tradisi Arab, dengan kondisi geografisnya yang tertutupi padang pasir, merupakan harta yang paling berharga dan benar-benar menentukan hidup-matinya seorang Arab. Maka, pengorbanan dengan menggunakan unta dapat dipandang sebagai bentuk pengorbanan yang paling besar. Perihal keutamaan hewan unta ini bagi masyarakat Arab.

Sebuah Catatan

Terkait dengan Idul Qurban, penulis sendiri menemukan masih banyak kasus pelanggaran hak-hak hewan yang terjadi sebelum dan selama prosesi ritual Idul Qurban. Bukan saja pada aspek fisik, namun juga pada aspek psikologis hewan kurban yang kerap terabaikan karena anggapan keliru masyarakat bahwa mereka (maksudnya hewan kurban) tidak memiliki perasaan, akal, dan kesadaran-diri.

Tak hanya itu, penulis juga menemukan banyak kasus pembagian daging hewan kurban yang tidak tepat sasaran, sehingga timbul kesan kemubaziran. Tentu saja, menyikapi berbagai pelanggaran yang terjadi, alangkah baiknya jika penerapan prinsip 3R (replacement, reduction, refinement) dalam prosesi ritual Idul Qurban diwajibkan, sehingga lebih mengedepankan aspek-aspek kualitatif.

Dalam hal ini, mencakup kesejahteraan hewan kurban, baik fisik maupun psikologisnya, dan kemanfaatan alih-alih mengejar jumlah hewan yang dikurbankan (aspek kuantitatif).

Lebih dari itu, adanya tuntutan hak asasi hewan yang paling mendasar, yaitu hak untuk hidup itu sendiri. Artinya, bagaimanapun kita harus menekankan agar hewan-hewan kurban diberikan kesempatan untuk melestarikan keturunannya sebagai bentuk kompensasi atas kehidupannya sendiri yang direnggut manusia.

Dan, bahwa mereka kelak akan dibangkitkan kembali sebagai individu-individu dengan jiwa partikular. Berbeda halnya dengan hewan-hewan tingkat rendah dan tetumbuhan yang dibangkitkan kembali secara berkelompok (dikembalikan kepada spesies-nya masing-masing).

Demikian penjelasan terkait sebuah historis tentang kurban hewan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawaab.

BINCANG SYARIAH

Keutamaan dan Peristiwa Penting yang Terjadi Pada Bulan Dzulqa’dah

Allah subhanahu wa ta’ala melebihkan derajat sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Sebagian manusia, Allah jadikan lebih utama daripada sebagian manusia yang lain. Sebagian tempat, Dia jadikan lebih utama daripada sebagian tempat yang lain. Dan sebagian waktu, Dia jadikan lebih utama dibandingkan dengan sebagian waktu yang lain. Di antara sebagian waktu yang Allah lebihkan keutamaannya atas sebagian waktu yang lain adalah bulan Dzulqa’dah yang saat ini kita berada di dalamnya.

Keutamaan dan Keistimewaan

Di antara keutamaan dan keistimewaan bulan Dzulqa’dah adalah sebagai berikut:

Pertama, Dzulqa’dah adalah permulaan dari empat bulan yang dimuliakan (al-Asyhur al-Hurum). Empat bulan haram atau empat bulan yang dimuliakan itu adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Disebut Dzulqa’dah disebabkan orang-orang Arab pada masa lalu tidak melakukan perang (qu’uud ‘anil qitaal) di dalamnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ (سورة التوبة: ٣٦)

Maknanya: “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, sebagaimana dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan yang diagungkan (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab)” (QS at-Taubah: 36).

Kedua, Dzulqa’dah adalah satu di antara tiga bulan haji, yaitu Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Tidak sah ihram untuk haji pada selain waktu tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ (البقرة: ١٩٧)

Maknanya: “Musim haji itu pada bulan-bulan yang telah dimaklumi (ditentukan)” (QS al-Baqarah: 197).

Ketiga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan umrah kecuali pada bulan Dzulqa’dah. Sahabat Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu meriwayatkan:

اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَرْبَعَ عُمَرٍ، كُلَّهُنَّ فِي ذِي القَعْدَةِ، إِلَّا الَّتِي كَانَتْ مَعَ حَجَّتِهِ، عُمْرَةً مِنَ الحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي القَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مِنَ العَامِ المُقْبِلِ فِي ذِي القَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مِنَ الجِعْرَانَةِ، حَيْثُ قَسَمَ غَنَائِمَ حُنَيْنٍ فِي ذِي القَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مَعَ حَجَّتِهِ (رواه البخاري) –

Maknanya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berumrah sebanyak empat kali, semuanya pada bulan Dzulqa’dah kecuali umrah yang dilaksanakan bersama haji beliau, yaitu satu umrah dari Hudaibiyah, satu umrah pada tahun berikutnya, satu umrah dari Ji’ranah ketika membagikan rampasan perang Hunain dan satu lagi umrah bersama haji” (HR al-Bukhari).

Keempat, Dzulqa’dah adalah 30 malam yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya: “Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa untuk memberikan kepadanya kitab Taurat setelah berlalu tiga puluh malam (bulan Dzulqa’dah), dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh malam lagi (sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya menjadi empat puluh malam. Dan Musa berkata kepada saudaranya, yaitu Harun, “Gantikanlah aku dalam memimpin kaumku, dan perbaikilah dirimu dan kaummu, dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS al-A’raf: 142).

Peristiwa-Peristiwa Penting

Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada bulan Dzulqa’dah dalam lintas sejarah, di antaranya adalah:

Pertama, Pada Dzulqa’dah tahun kelima hijriah, terjadi perang Bani Quraizhah.

Kedua, Pada hari kamis, 6 Dzulqa’dah tahun kesepuluh hijriah, Rasulullah berangkat dari Madinah menuju Mekah untuk melaksanakan haji wada’.

Ketiga, Pada Dzulqa’dah tahun ketiga hijriah, terjadi perang Badr Sughra.

Keempat, Pada hari Sabtu, tanggal 7 Dzulqa’dah tahun 403 H, wafat seorang ulama ahli ilmu kalam dan ahli debat yang sangat masyhur, yaitu Imam Abu Bakr al-Baqillani. Beliau adalah salah seorang pejuang, pembela dan penyebar mazhab Asy’ari yang tiada lain adalah mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) ke berbagai penjuru. Berkat kegigihan dan perjuangan beliau dan ulama-ulama Aswaja lainnya saat itu, aqidah dan ajaran kelompok-kelompok yang menyimpang semakin tenggelam dan ditinggalkan para pengikutnya.

ISLAM KAFFAH

Bolehkah Perempuan Menyembelih Hewan Kurban?

Bolehkah perempuan menyembelih hewan kurban? Dalam agama Islam semua aspek kehidupan telah diatur dengan sistem yang sedemikian rupa agar manusia menjalankan hidup sesuai dengan keinginan Penciptanya. Salah satu aspek yang diatur oleh Islam adalah penyembelihan hewan.

Penyembelihan hewan juga merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah sebagai ketaatan untuk selalu mengkonsumsi makanan yang tidak dimurkai oleh Allah. Allah berfirman:

فَكُلُوْا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّٰهِ عَلَيْهِ اِنْ كُنْتُمْ بِاٰيٰتِهٖ مُؤْمِنِيْنَ

Artinya: “Maka makanlah dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) disebut nama Allah, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya” (QS. Al-An’am [6]: 118).

Dalam Islam juga terdapat satu ibadah penyembelihan hewan sebagai bentuk taqarrub kepada Allah yang dilakukan setiap tahunnya yaitu ibadah penyembelihan hewan kurban. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

وَلِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۗ

Artinya: “Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak” (QS. Al-Hajj [22]: 34).

Penyembelihan hewan dilakukan dengan beberapa ketentuan yang telah ditetapkan seperti penyebutan nama Allah dan pemutusan urat yang menjadi alur pernafasan dan makanan serta dengan menggunakan pisau yang tajam agar tidak menyiksa hewan yang disembelih.

Hukum Perempuan Menyembelih Hewan 

Lumrahnya penyembelihan hewan dilakukan oleh laki-laki dewasa karena pekerjaan tersebut dianggap sebagai pekerjaan yang hanya bisa dan sah dilakukan oleh laki-laki dewasa saja.

Namun anggapan tersebut sangat bertolak-belakang dengan beberapa penjelasan yang terdapat pada kitab-kitab fikih yang menyebutkan bahwa para perempuan dan anak-anak juga dibolehkan untuk menyembelih hewan dan hukum sembelihan mereka halal untuk dimakan.

Diantara kitab-kitab tersebut adalah kitab Radhah ath-Thalibin karya Imam Nawawi dengan keterangan yang berbunyi:

تحل ذبيحة الصبي المميز على الصحيح وفي غير المميز والمجنون والسكران قولان

“Menurut pendapat yang sohih, sembelihan anak kecil yang mumayyiz dihukumi halal, sedangkan sembelihan anak yang belum mumayyiz, orang gila dan orang yang sedang mabuk terdapat dua pendapat”.

Pada teks berikutnya disebutkan bahwa dua pendapat tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa sembelihan mereka hukumnya sah dan halal untuk dimakan dan pendapat yang mengatakan bahwa sembelihan mereka tidak sah.

Sementara keterangan yang lebih lengkap terdapat dalam kitab Kifayah al-Akhyar yang menyebutkan kehalalan hasil sembelihan perempuan. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa hasil sembelihan orang buta dan perempuan (bahkan perempuan yang sedang menstruasi) dihukumi halal untuk dikonsumsi.

Redaksi yang terdapat dalam kitab Kifayah al-Akhyar adalah sebagai berikut:

وكذا تحل ذكاة الأعمى والمرأة وإن كان حائضا

“Dan seperti itu pula halal hukumnya hewan yang disembelih oleh orang yang buta dan seorang perempuan (meskipun perempuan yang sedang menstruasi)”.

Demikian penjelasan terkait bolehkah perempuan menyembelih hewan kurban? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYRAIAH

Hukum Mendahulukan Orang Tua Haji

Berikut ini penjelasan terkait hukum mendahulukan orang tua haji. Syariat Islam memerintahkan setiap umat Muslim untuk melaksanakan ibadah wajib haji sebagai rukun Islam yang ke lima. Maka jelas bagi orang yang sudah memiliki kemampuan untuk haji, maka harus segera mendaftar haji, jangan sampai ditunda-tunda.

Sebagaimana sabda Nabi SAW:

عَجِّلُوا الْخُرُوجَ إِلَى مَكَّةَ , فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَا يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ مِنْ مَرَضٍ أَوْ حَاجَةٍ

Segerkanlah berangkat ke kota Mekah (untuk haji), karena kalian tidak tahu, barangkali akan ada halangan sakit atau kebutuhan lainnya. (HR. Abu Nua’im dalam al-Hilyah, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan dihasankan al-Albani dalam Sahih al-Jami’, No. 3990).

Namun ketika sudah berkeinginan kuat untuk melaksanakan ibadah haji, akan tetapi dananya ternyata terbatas, sedangkan orangtua sendiri juga belum melaksanakan ibadah haji, ini seringkali menjadikan seseorang dilema.

Satu sisi sang anak yang belum pernah haji masih terkena beban menjalankan rukun Islam yang kelima tersebut. Namun di sisi yang lain, ia juga berkeinginan membahagiakan orang tuanya. Lantas manakah yang lebih utama didahulukan? Mendahulukan haji pribadi atau membiayai haji orang tua?

Hukum Mendahulukan Orang Tua Haji

Sebagaimana yang dijelaskan dalam khazanah Fiqih Mazhab Syafi’i, orang yang memiliki kemampuan fisik dan finansial, berkewajiban melaksanakan haji, tapi ia tidak diharuskan berhaji secepatnya, boleh ia tunda di tahun-tahun mendatang dengan syarat adanya tekad kuat untuk melaksanakannya dan tidak ada dugaan kegagalan disebabkan suatu hal misalkan lumpuh atau kebangkrutan.

Oleh karenanya, dalam konteks ini sah-sah saja bagi sang anak untuk memilih antara mendahulukan hajinya sendiri atau menghajikan orang tuanya, sebab tidak ada kewajiban baginya untuk menyegerakan haji pribadi. Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menegaskan:

 وَهُمَا عَلَى التَّرَاخِي بِشَرْطِ الْعَزْمِ عَلَى الْفِعْلِ بَعْدُ وَأَنْ لَا يَتَضَيَّقَا بِنَذْرٍ أَوْ خَوْفِ عَضْبٍ أَوْ تَلَفِ مَالٍ بِقَرِينَةٍ وَلَوْ ضَعِيفَةً كَمَا يُفْهِمُهُ قَوْلُهُمْ لَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الْمُوَسَّعِ إلَّا إنْ غَلَبَ عَلَى الظَّنِّ تَمَكُّنُهُ مِنْهُ أَوْ بِكَوْنِهِمَا قَضَاءً عَمَّا أَفْسَدَهُ

“Haji dan umrah (kewajibannya) bisa ditunda, dengan syarat tekad yang kuat mengerjakannya dan tidak menjadi sempit dengan nadzar, kekhawatiran lumpuh atau rusaknya harta dengan sebuah tanda-tanda meski lemah, sebagaimana yang dipahami dari ucapan para ulama:

 ‘tidak boleh mengakhirkan kewajiban yang dilapangkan kecuali menduga kuat bisa melakukannya’. Atau (kewajiban haji dan umrah menjadi sempit) dengan status qadha dikarenakan ia merusaknya,”  (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Hamisy Hasyiyah al-Syarwani, Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, juz 4, hal. 4-5).

Namun bila melihat pertimbangan keutamaan, yang lebih baik dilakukan adalah mendahulukan hajinya sendiri, sebab mendahulukan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh. Dalam sebuah kaidah fiqih dinyatakan:

الْإِيثَارُ فِي الْقُرْبِ مَكْرُوهٌ وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ

“Mendahulukan orang lain dalam ibadah adalah makruh, dan di dalam urusan lain disunnahkan.”

Berkaitan dengan kaidah tersebut, Syekh Izzuddin bin Abdissalam sebagaimana dikutip al-Imam al-Suyuthi mengatakan:

قَالَ الشَّيْخُ عِزُّ الدِّينِ لَا إيثَارَ فِي الْقُرُبَاتِ، فَلَا إيثَارِ بِمَاءِ الطَّهَارَةِ، وَلَا بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ وَلَا بِالصَّفِّ الْأَوَّلِ ; لِأَنَّ الْغَرَضَ بِالْعِبَادَاتِ: التَّعْظِيمُ، وَالْإِجْلَالُ. فَمَنْ آثَرَ بِهِ، فَقَدْ تَرَكَ إجْلَالَ الْإِلَهِ وَتَعْظِيمِهِ

“Berkata Syekh Izzuddin; tidak baik mendahulukan orang lain di dalam ibadah-ibadah, maka tidak baik mendahulukan dalam urusan air bersuci, menutup aurat, dan shaf awal. Sebab tujuan ibadah-ibadah adalah mengagungkan Allah.

Barangsiapa mendahulukan orang lain di dalam urusan tersebut, maka sungguh ia telah meninggalkan pengagungan kepada Tuhan,” (al-Imam al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hal. 180).

Pilihan untuk mendahulukan haji pribadi juga dilakukan atas dasar menjaga perbedaan pendapat ulama yang menyatakan kewajiban haji adalah segera, tidak boleh ditunda, bahkan ini adalah pendapat tiga imam madzahib al-arba’ah selain Imam Syafi’i. Syekh Ibnu Quddamah menegaskan:

 مَسْأَلَةٌ قَالَ: فَمَنْ فَرَّطَ فِيهِ حَتَّى تُوُفِّيَ، أُخْرِجَ عَنْهُ مِنْ جَمِيعِ مَالِهِ حَجَّةٌ وَعُمْرَةٌ

“Berkata sang pengarang; barangsiapa teledor di dalam haji sampai wafat, maka dikeluarkan dari seluruh hartanya untuk melaksanakan haji dan umrah atas nama dia.”

  وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَجُّ، وَأَمْكَنَهُ فِعْلُهُ، وَجَبَ عَلَيْهِ عَلَى الْفَوْرِ، وَلَمْ يَجُزْ لَهُ تَأْخِيرُهُ. وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَة، وَمَالِكٌ. وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: يَجِبُ الْحَجُّ وُجُوبًا مُوَسَّعًا، وَلَهُ تَأْخِيرُهُ

“Detail persoalan tersebut adalah bahwa seseorang yang berkewajiban haji dan mungkin baginya untuk melaksanakan, maka wajib baginya melakukan segera, tidak boleh mengakhirkannya. Ini juga pendapat Abu Hanifah dan Malik. Berkata Imam al-Syafi’i; wajib haji baginya dengan kewajiban yang dilapangkan, dan boleh mengakhirkannya,” (Syekh Ibnu Quddamah, al-Mughni, juz 3, hal. 232).

Dari sejumlah pandangan ulama serta penjelasan hadis di atas maka dapat kita simpulkan, mendahulukan haji pribadi dalam konteks ini bukan berarti su’ul adab kepada orang tua.

Kewajiban berangkat haji pribadi dan berbakti kepada orang tua bukanlah sebuah hal yang patut dipertentangkan, karena seorang anak tetap bisa berbakti kepada orang tuanya dengan mendoakannya saat ia berada di tempat-tempat mustajab seperti Multazam, orang tua yang berada di tanah air pasti senang dengan hal itu. Bila punya kemampuan finansial berlebih, mengajak orang tua secara bersama-sama menunaikan ibadah haji tentu lebih utama.

Demikian penjelasan terkait hukum mendahulukan orang tua haji. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Bekal Menerjemahkan Bahasa Arab (Bag. 2)

Bismillah. Wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Kesalahan yang banyak terjadi dalam menerjemah

Beberapa kesalahan yang banyak terjadi dalam penerjemahan, yaitu:

  1. Kesalahan penggunaan terjemah sebuah kata
  2. Kesalahan dalam menyusun susunan kata dalam kalimat saat menerjemahkan
  3. Kesalahan dalam menentukan inti makna
  4. Kesalahan dalam bentuk memaksakan terjemahan harfiah pada semua jenis konteks kalimat

Kesalahan penggunaan terjemah sebuah kata

Dalam bahasa Arab, banyak didapatkan sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Sehingga, penerjemah terkadang melakukan kesalahan dalam memilih terjemah dari sebuah kata yang bermakna banyak tersebut.

Contoh:

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً

Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik.

Salah jika diterjemahkan ضرب dengan “memukul”, namun yang benar adalah diterjemahkan dengan “membuat perumpamaan”.

أقمت بمكة

Saya tinggal di Makkah.

Sebuah kesalahan jika diterjemahkan “Saya menegakkan kota Makkah.”

Cara menghindari kesalahan tersebut:

Pertama: Banyak mengenal arti kosakata yang memiliki makna lebih dari satu sehingga perlu banyak membuka kamus untuk memperkaya pengetahuan kosakata, jangan hanya berdasar pengetahuan selama ini saja.

Kedua: Mempelajari arti wazan sharaf dan makna huruf.

Ketiga: Mempelajari istilah sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing.

Keempat: Memahami konteks kalimat secara utuh.

Kelima: Memahami makna puisi, pepatah, atau ungkapan sesuai dengan kebiasaan pemakaian bangsa Arab.

Kesalahan dalam menyusun susunan kata dalam kalimat saat menerjemahkan

أقام أحمد بمكة

diterjemahkan “Ahmad tinggal di Makkah.”

Tidak tepat jika diterjemahkan “Tinggal Ahmad di Makkah”, karena belum diadaptasikan ke dalam struktur kalimat bahasa Indonesia SPK

Cara terhindar dari kesalahan memahami tarkibul jumlah:

Pertama: Mempelajari karakteristik kedua bahasa, yaitu: bahasa sumber dan bahasa sasaran.

Kedua: Fokus pada tarjamah maknawiyyah (bebas terikat) dengan menemukan inti makna dari konteks kalimat. Tarjamah maknawiyyah itu bebas, namun terikat, yaitu:

Bebas : tidak kaku, namun luwes mengikuti konteks kalimat sehingga akrab di telinga orang Indonesia

Terikat : tidak boleh mengubah makna, singkat, dan padat.

Kesalahan dalam menentukan inti makna

Contoh pertama:

مساعدة الوالدين

Pernyataan di atas bisa diterjemahkan dengan:

Bantuan untuk kedua orang tua” atau “Membantu kedua orang tua.

atau bisa juga diterjemahkan dengan:

Bantuan dari kedua orang tua.

Contoh kedua:

قامت العلماء بحماية المسلمين من جميع الطوائف

Ulama melindungi kaum muslimin dari berbagai kalangan masyarakat.

Atau,

Ulama melindungi kaum muslimin dari (pemikiran) berbagai kelompok sesat.

Contoh ketiga:

وليس حلق اللحية من الكبائر، إلا أن يواظب عليه صاحبه؛ لقول ابن عباس -رصي الله عنهما-: لا صغيرة مع الإصرار

Memotong jenggot bukan dosa besar, kecuali jika dilakukan terus menerus, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ‘Bukan dinilai dosa kecil jika suatu dosa dilakukan terus menerus.’

Dalam benak penerjemah, bisa saja terlintas bahwa perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ini sebagai alasan bagi “memotong habis jenggot itu bukan dosa besar” atau sebagai alasan bagi “terus menerus memotong habis jenggot itu dosa besar” ?

Oleh karena itu, perlu kecermatan dalam menentukan inti makna kalimat tersebut.

Cara terhindar dari kesalahan menentukan inti makna:

Pertama: Fokus pada tarjamah maknawiyyah (bebas terikat) dengan cara menemukan inti makna dari konteks kalimat dan penguasaan kosakata dan istilah.

Kedua: Mempelajari karakteristik kedua bahasa, yaitu: bahasa sumber dan bahasa sasaran.

Kesalahan dalam bentuk memaksakan terjemahan harfiah pada semua jenis konteks kalimat

Tidak semua jamak harus diterjemahkan plural

يكثر ترويج محلات الكتب في وسائل الإعلام

Banyak promosi toko buku di media masa.

Tidak harus diterjemahkan:

Banyak promosi toko-toko buku di media-media masa.

Kalimat aktif tidak harus selalu diterjemahkan dengan kalimat aktif, namun bisa diterjemahkan dengan kalimat pasif

يَبْدَءُ توزيع الكتب للطلاب اليوم

Pembagian buku untuk mahasiswa dimulai hari ini.”

Tidak harus diterjemahkan:

Hari ini mulai pembagian buku untuk mahasiswa.”

Isim tidak harus diterjemahkan isim, tapi bisa diterjemahkan dengan fi’il

ممنوع التدخين

Dilarang merokok.”

Tidak diterjemahkan menjadi: “Pelarangan merokok.

Cara terhindar dari kesalahan ini :

Pertama: Fokus tarjamah maknawiyyah (bebas terikat) dengan menemukan inti makna dari konteks kalimat.

Kedua: Memilih kosakata terjemah yang akrab.

Ketiga: Dengan mempelajari karakteristik kedua bahasa, yaitu: bahasa sumber dan bahasa sasaran.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85215-bekal-menerjemahkan-bahasa-arab-bag-2.html

Bekal Menerjemahkan Bahasa Arab (Bag. 1)

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Ilmu terjemah bahasa Arab itu multifungsi

Ilmu terjemah bahasa Arab itu sangat luas kegunaannya. Ilmu tersebut dibutuhkan bukan hanya oleh orang yang  berprofesi penerjemah, namun juga setiap pembaca teks bahasa Arab. Yang ingin tahu artinya, pastilah ada proses menerjemah di dalam hatinya. Mulai dari dai, penulis, editor, praktisi, akademisi, bahkan setiap pembaca Al-Qur’an dan hadis yang ingin tahu makna keduanya, tentulah mereka membutuhkan ilmu terjemah ini sesuai dengan kadar aktifitasnya tersebut.

Oleh karena itu, dalam rangka mensyukuri nikmat Allah Ta’ala, penulis ingin berbagi bekal sederhana dalam menerjemah. Semoga Allah Ta’ala menjadikan artikel sederhana ini bermanfaat luas bagi berbagai lapisan masyarakat kaum muslimin.

Bekal menerjemah tersebut terbagi menjadi tiga poin:

Pertama: Padanan istilah tata bahasa dalam dua bahasa (dalam pembagian kata maupun struktur kalimat)

Kedua: Kesalahan dalam menerjemahkan

Ketiga: Bagan penting yang diperlukan dalam menerjemah

Padanan istilah tata bahasa dalam dua bahasa

Menerjemahkan berarti mengungkapkan makna dari bahasa sumber (Arab) ke dalam bahasa sasaran (Indonesia). Oleh karena itu, seorang penerjemah perlu menguasai kedua bahasa tersebut, yaitu: bahasa sumber maupun bahasa sasaran.

Sedangkan masing-masing dari kedua bahasa tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga dalam menerjemahkan, perlu pengadaptasian dari karakteristik bahasa Arab kepada karakteristik bahasa Indonesia.

Untuk bisa mengadaptasikan karakteristik sebuah bahasa kepada bahasa lain dengan baik, seorang penerjemah perlu memahami padanan istilah tata bahasa dari kedua bahasa tersebut.

Padanan istilah tata bahasa setidaknya mencakup dua poin:

Pertama: Padanan istilah dalam pembagian kata

Kedua: Padanan istilah dalam struktur kalimat

Padanan istilah dalam pembagian kata

Dalam ilmu Nahwu, Al-Kalimah (kata) terbagi menjadi tiga macam: harfun, ismun, dan fi’lun.

Harfun

Harfun (huruf bermakna):

الحرف هو كلمة لا يفهم معناها إلا مع غيرها

Huruf adalah kata yang tidak bisa dipahami maknanya, kecuali (disertai) dengan selainnya.”

Mengapa huruf bermakna disebut sebagai “kata”?

Karena huruf dalam bahasa Arab terbagi dua, yaitu

Huruf Mabani: aksara penyusun kata, (seperti: alif, ba’, ta’, dst.). Inilah yang di dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah “huruf”, yaitu tanda aksara sebagai anggota dari abjad (a, b, c, dst.).

Huruf Ma’ani (huruf inilah yang dibahas dalam Nahwu): alat bahasa penghubung antar kata dalam sebuah kalimat.

Contoh:

Pertama: Masuk ke isim: huruf jar/preposisi (kata depan), dan lain-lain.

Kedua: Masuk ke fi’il: huruf nashab, huruf jazm, dan lain-lain.

Ketiga: Masuk ke isim dan fi’il: huruf istifham, athaf, dan lain-lain.

Fi’lun

Fi’lun (kata kerja dan sebagian kata sifat):

الفعل هو كلمة دلت على معنى واقترنت بزمن

Fi’il adalah kata yang menunjukkan kepada makna dan diiringi oleh waktu.

Contoh:

Pertama: Fi’il yang merupakan kata kerja:

كتب(menulis),  ذهب(pergi), قرأ (membaca).

Kedua: Fi’il yang merupakan kata sifat:

جَمُلَ (cantik,indah), قَرُبَ (dekat), كَثُرَ (banyak).

Ismun

Ismun (kata selain harfun dan fi’lun):

الاسم هو كلمة دلت على معنى بنفسه ولم تقترن بزمن

Isim adalah kata yang menunjukkan kepada makna dengan sendirinya dan tidak diiringi oleh waktu.”

Dengan demikian, isim adalah seluruh kata selain kata kerja, kata sifat yang berbentuk fi’il dan huruf bermakna.

Contoh cakupan isim:

Pertama: kata benda (nomina/isim mashdar). Contoh : كرسي (kursi), كتاب (buku), درس (pelajaran)

Kedua: kata sifat (adjektiva/isim fa’il, isim maf’ul, sifah musyabbahah bismil fa’il, isim tafdhil, dan lain-lain). Contoh: ناشط (rajin), كسلان (malas), جمال (cantik, indah).

Ketiga: kata keterangan (adverbal/isim zaman dan makan,dll). Contoh: أمس (kemarin), غد (besok), أمام (depan), خلف (belakang).

Keempat: kata ganti (pronominal/isim dhamir), kata tanya, kata bilangan (numeralia), kata sambung (konjungsi/isim maushul dan isim syarat), dan lain-lain.

Padanan istilah dalam struktur kalimat

Struktur kalimat dalam bahasa Indonesia

Kalimat merupakan rangkaian beberapa kata yang memiliki makna/informasi di dalamnya. Tiap kalimat dibangun atas unsur-unsur kalimat, mulai dari subyek (S), predikat (P), obyek (O), dan keterangan (K), disebut struktur kalimat SPOK, dan dalam beberapa kalimat terdapat unsur tambahannya.

Contoh struktur dasar kalimat dalam bahasa Indonesia adalah:

Pertama: SP = Ali belajar.

Kedua: SPO = Utsman membeli kitab.

Ketiga: SP Pel = Ulama berbicara tegas.

Keempat: SPO Pel = Kholid membelikan adiknya mushaf baru.

Kelima: SPK = Umar belajar di masjid.

Keenam: SPOK = Ahmad memasukkan mushaf ke saku.

Ketujuh: SP Pel K = Muhammad berbelanja sendirian di toko buku.

Kedelapan: SPO Pel K = Ummi mengirimi saya uang setiap bulan.

Struktur kalimat dalam bahasa Arab

Pertama: Fi’il – fa’il

نام الطالب

Kedua: Fi’il – fa’il – maf’ul bih

قرأت القرآن

Ketiga: Fi’il – fa’il – hal

شربت الماء جالسا

Keempat: Fi’il – fa’il – tamyiz

طاب محمد بدنا

Kelima: Fi’il – fa’il – huruf jar – isim majrur

ذهبت إلى المسجد

Keenam: Fi’il – na’ibul fa’il

كتب الدرس

Ketujuh: Mubtada – khabar

الأستاذ في المسجد

Kedelapan: Inna – isim inna- khabar inna

إنكم مسئولون

Kesembilan: Kaana – isim kaana – khabar kaana

كان العلماء حاضرین

Kesepuluh: Harfun nida – munada

يا أحمد أقم الصلاة

Padanan istilah dalam dua struktur bahasa

Pertama: Subjek adalah unsur kalimat yang berfungsi sebagai inti pembicaraan yang dijelaskan oleh fungsi/unsur kalimat lainnya dan menjadi jawaban “siapa” atau “apa”. Subjek bisa berupa nomina (kata benda), frasa nomina, atau klausa.

Dengan demikian, subjek bisa berupa: fa’il, na’ibul fa’il, mubtada’, isim kana, dan isim inna.

Kedua: Predikat adalah unsur kalimat yang menjelaskan subjek secara langsung dan sebagai jawaban dari “mengapa” atau “bagaimana”.

Dengan demikian, predikat bisa berupa: khabar, khabar inna, khabar kana.

Ketiga: Objek adalah unsur kalimat yang melengkapi predikat atau yang dikenai pekerjaan pada kalimat transitif. Secara umum berupa kata benda atau yang dianggap benda.

Dengan demikian, objek berupa: maf’ul bih.

Keempat: Keterangan adalah unsur kalimat yang menerangkan berbagai hal unsur kalimat lainnya (menerangkan S/P/O/Pel) dan dapat diletakkan secara bebas dalam kalimat. Dengan demikian, keterangan bisa berupa: na’at, maf’ul ma’ah, ma’ul liajlih, taukid, idhafah, hal.

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85213-bekal-menerjemahkan-bahasa-arab-bag-1.html