Jangan Marah saat Ditagih Hutang!

Oleh: Siti Nur Alvianda
Mahasiswi Universitas Indraprasta PGRI
snalvianda@gmail.com

SAAT ada seseorang yang mengalami kesulitan atau meminta bantuan kita sebisa mungkin kita bantu, tidak tega untuk menolak atau membiarkannya begitu saja. Terutama kesulitan itu sedang dialami oleh teman dekat atau keluarga yang sangat kita kenal dengan baik. Normal saja kalau kita memiliki rasa ingin membantu semampu diri kita.

Naah setelah kita meminjamkaan terkadang terjadi masalah pada si penghutang yang malah tidak tau diri ini, saat ingin meminjam kata-katanya sangat manis, tapi saat ingin ditagih malah sikapnya berubah seenaknya rasanya kesal hingga kesabaran ini memiliki batas rasanya. Sampai saat di mana kita sudah kehilangan kesabaran untuk menagihnya, bukannya dapat jawaban atau penjelasan baik-baik malah diomeli denan kata-kata tidak enak di hati.

Kalau sudah gitu muncul-lah perasaan dilema mau mengikhlaskan, tapi nominal yang dipinjamkan lumayan apa lagi buat mahasiswa yang belum bekerja. Mau diberi kesabaran sampai penghutang mau membayarnyaa, malah “makan hati”. Kalau sudah gini gimana dong?

Perlu segera kita cari solusi untuk keduanya, masalah perhutangan bukan suatu hal yang gampang, melainkan amat sangat pelik. Sebaiknya, untuk kamu yang ingin memberi hutang harus berpikir dua bahkan hingga tiga kali, jika memang ingin memberi pinjaman tidak ada salahnya untuk membuat perjanjian resmi di atas kertas terutama pada nominal yang cukup besar, tidak ada yang tau akan resiko ke depannya bukan.

Untuk kamu yang ingin berhutang, bayarlah sesuai dengan perjanjian yang sudah kamu janjikan jangan jadikan ucapanmu di awal sebuah kebohongan, bisa jadi itu awal dari orang-orang tidak ingin membantu kembali.

Jikalau memang belum bisa membayar pada saat itu, buat lah perpanjangan perjanjian dengan memberi kabar kepada orang yang kamu hutangi seperti: “Maaf yah, saya belum bisa membayar, namun akan saya usahakan secepatnya.”

Dengan begitu si pemberi pinjaman juga bisa dengan legowo memberi kelonggaran, jangan malah kamu yang lebih galak dari si pemberi hutang. Gunakan etika dan attitude yang baik, terutama pada persoalan pelik seperti hutang ini.

Semoga kita terhindar dan dijauhkan dari tipe penghutang yang lebih galak di saat ditagih hutangnya, jangan sampai juga kita ikutan menjadi penyulit atau beban di hidup orang lain. Jangan sampai kita ikutan berantakan di saat penghutang lebih galak di saat ingin meminjam uang. []

ISLAMPOS

Hukum Orang yang Qurban Makan Daging Qurbannya Sendiri

BAGI orang yang berqurban, memakan daging qurban yang disembelihnya justru dianjurkan. Hal ini sebagimana di anjurkan oleh Rasulullah dalam hadis berikut:

عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” إذا ضحى أحدكم فليأكل من أضحيته (رواه أحمد)

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kamu berqurban, maka hendaklah dia memakan sebagian dari daging qurbannya.” (HR. Ahmad-Musnad Imam Ahmad no: 9078)

Berdasarkan hadis ini, dianjurkan bagi mereka yang berqurban untuk memakan sebagian dari daging qurbannya. Selama hal ini memungkinkan, seandainya tidak memungkinkan maka tidak menjadi masalah. Seperti mereka yang berqurban di daerah terpencil sementara dia tinggal di kota.

Berapa besar orang yang berqurban boleh memakan daging qurbannya?

Secara umum tidak ada batasan khusus. Ada ulama yang mengatakan dia boleh makan sepertiganya dan ada juga yang mengatakan setengahnya.

Intinya dia boleh memakan sebagian daging qurbannya dan sebagian lagi dibagikan pada orang lain, baik kepada fakir miskin ataupun kepada orang kaya.

Fakir miskin menerima daging qurban sebagai sedekah dan menjadi hak milik. Hak milik maksudnya adalah fakir miskin boleh memakan jatah daging qurbannya atau boleh juga menjual jatahnya (kalau jatah yang dia dapat kebanyakan)

Sementara orang kaya boleh menerima daging qurban sebagai hadiah. Jatah daging qurbannya menjadi hak guna, dia hanya boleh memakan daging qurbannya tapi tidak boleh menjualnya.

Intinya orang yang berqurban, kalau memungkinkan, dia dianjurkan untuk memakan sebagian daging qurbannya. []

SUMBER: CHANEL MUSLIM

Doa Rasulullah di 10 Hari Pertama Dzulhijjah

Berikut ini adalah doa Rasulullah di 10 hari pertama Dzulhijjah. Doa ini bisa dipanjatkan selama bulan Dzulhijjah. Dalam Islam, bulan Dzulhijjah termasuk salah satu dari empat bulan yang disebut asyhurul hurum [bulan haram]—Muharram, Dzulhijjah, Rajab, dan Dzulqaedah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda;

إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ  وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى  وَشَعْبَانَ

“Artinya; Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat di antara bulan Jumada Akhirah dan Sya’ban.”

Untuk itu, di bulan Dzulhijjah seorang muslim dianjurkan untuk memperbanyak amalan-amalan, dzikir dan berdoa. Pasalnya, di bulan ini terdapat pelbagai kemuliaan dan keberkahan, bahkan Allah akan mengabulkan doa orang yang memohon kepadanya.

Di antara doa yang bisa dipanjatkan di bulan Dzulhijjah ialah doa yang dibaca Rasulullah. Doa ini tercantumkan dalam kitab Almu’jamul Kabir, karya Imam Ath-Thabrani. Doa  ini dibaca sebanyak 10x kali saban hari, hingga 10 hari Dzulhijjah. Faedah doa ini, bagi orang yang membacanya akan mendapatkan ampunan dan rahmat dari Allah.

Simak doa Rasulullah di 10 Hari Pertama Dzulhijjah;

لَا إِلَهَ إِلّا اللهُ عَدَدَ الدُّهُوْرِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ عَدَدَ أَمْوَاجِ البُحُوْرِ، لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ عَدَدَ النَّبَاتِ وَالشَّجَرِ، لاَ إِلَه َإِلَّا اللهُ عَدَدَ اْلقَطْرِ وَاْلمَطَرِ، لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ عَدَدَ لَمْحِ اْلعُيُوْنِ، لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ خيرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مِنْ يَوْمِنَا هَذاَ إلِىَ يَوْمِ يُنْفَخُ فِي الصُّوْرِ

“Lā ilaha illallah ‘adada ad-duhūr, lā ilaha illallah ‘adada amwāji al buhūr, Lā ilaha illallah ‘adada  annabāti wa asy-syajar, Lā ilaha illallah ‘adadal qathri wal mathar, Lā ilaha illallah ‘adada lamhil ‘uyūn, Lā ilaha illallah khairam mimmā yajma’ūn, Lā ilaha illallah min yauminā hadzā ilā yaumi yunfakhu fī al-shur.”

Artinya: “Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebanyak hitungan masa, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebanyak hitungan ombak lautan, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebanyak hitungan tumbuhan dan pohon, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebanyak tetesan dan air hujan.

Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebanyak kedipan mata, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah mulai hari ini sampai hari ditiupkannya terompet hari kiamat.”

Demikian penjelasan doa Rasulullah di 10 hari pertama Dzulhijjah. Semoga bermanfaat. 

BINCANG SYARIAH

Mengenal Mina Jadid

Mina Jadid diqiyaskan dengan halaman atau bagian luar masjid.

Pemerintah Kerajaan Arab Saudi memperluas wilayah Mina dengan harapan menjadi solusi dari kepadatan Mina selama musim haji. Jumlah jamaah haji yang semakin banyak melalui banyak pertimbangan keselamatan jamaah tidak mungkin disatukan dalam satu wilayah.

Di padang Mina yang seluas 600 hektare, jamaah akan menginap tiga hari untuk melakukan ritual lempar jumroh. Sehingga perluasan menjadi kebutuhan tak terelakan. Saudi Gazette melaporkan, sejumlah ahli telah direkrut untuk mengkaji kekurangan layanan bagi tamu Allah. Salah satu kajiannya adalah perluasan ini.

Kasi Bimbingan Ibadah Daerah Kerja (Daker Madinah) Yendra Al Hamidy menjelaskan lokasi perluasan Mina biasa disebut di Arab Saudi dengan istilah tausi’ul Mina, disebabkan karena lokasi Mina yang aslinya sudah penuh ditempati jamaah haji dari berbagai negara di dunia.

“Meskipun demikian, lokasi Mina Jadid itu masih berurutan, masih menyambung dengan jamaah haji lainnya yang berada di lokasi Mina awal,” kata dia, Sabtu (24/6/2023).

Ihwal keabsahan jamaah haji mabit di wilayah perluasan Mina atau Mina Jadid. Menurutnya, itu merupakan pendapat ulama.

“Terkait keabsahan mabit di Mina Jadid itu sudah merupakan pendapat ulama Saudi, Syaikh Muhammad bin Baz,” kata Yendra, sapaan Yendra Al Hamidy.

“Itu yang sampai kita survei kemarin itu, di bidayatul Mina sampai Mina sudah penuh kondisinya. Kemudian (wilayah Mina) disambungkan di belakangnya,” kata Yendra.

Dari aspek fikihnya, ia menqiyaskan Mina Jadid dengan halaman atau bagian luar masjid yang dipergunakan untuk sholat jamaah ketika bagian dalam masjid sudah penuh oleh jamaah lain.

“Kemudian diqiyaskan (oleh ulama Saudi) bahwa apabila seseorang berjamaah di masjid kemudian penuh, maka boleh seseorang itu menyambung shafnya di halaman masjid, bahkan keluar masjid, yang penting jamaah itu menyambung dengan jamaah yang ada di dalam masjid,” ujar Yendra.

Qiyas sendiri yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu yang belum ada ketentuannya dan didasarkan pada sesuatu yang sudah ada ketentuannya. Dalam konteks ini, ketetapan dan dasar hukum Mina Jadid sama dengan halaman atau bagian luar masjid.

IHRAM

Syiar dengan Bermalam di Muzdalifah

Bermalam di Muzdalifah merupakan salah satu wajib haji.

 Salah satu di antara kewajiban haji bagi para jamaah yakni bermalam di Muzdalifah.

Dikutip dari buku Keutamaan Negeri Al-Haram oleh Prof. DR. Mahmud Al-Dausary, Muzdalifah terletak di antara Arafah dan Mina, terpisah antara Mina oleh Lembah Muhassir, berjarak sekitar enam kilometer dari Arafah, dan sekitar delapan kilometer dari Mesjidil Haram dari arah Tenggara. Diperkirakan luasnya sekitar 9,36 meter persegi.

Muzdalifah sendiri berasal dari al-Tazalluf dan al-Izdilaf yang bermakna mendekat. Itu disebabkan karena para jamaah haji saat mereka meninggalkan Arafah, mereka mengunjungi dan mendekatinya (Muzdalifah). Ada pula yang mengatakan bahwa ia dinamakan demikian karena orang-orang mendatanginya di waktu malam.

Ia juga dinamai Jam\’a dikarenakan orang-orang berkumpul di sana, atau karena shalat Maghrib dan Isya dijamak di situ. Tempat ini juga dinamakan al-Masy’ar al-Haram, yang bermakna tanda atau syiar negeri al-Haram, karena ia menjadi salah satu bagian syiar penting haji dan keterkaitannya dengan beberapa amalan yang wajib dalam haji, seperti bermalam, menjamak shalat Maghrib dan Isya. Ia disifati sebagai (kawasan) al-Haram, disebabkan kehormatannya dan karena ia termasuk dalam batasan al-Haram.

Allah Ta’ala sendiri telah menyebutkan Muzdalifah di dalam firmanNya:

فَاِذَآ اَفَضْتُمْ مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوْهُ كَمَا هَدٰىكُمْ ۚ وَاِنْ كُنْتُمْ مِّنْ قَبْلِهٖ لَمِنَ الضَّاۤلِّيْنَ

“Maka apabila kalian bertolak meninggalkan Arafah, maka sebutlah nama Allah di al-Masy’ar al-Haram (Muzdalifah),

dan ingatlah Ia sebagaimana Ia telah memberikan kalian petunjuk meskipun sebelumnya kalian sungguh termasuk orang-orang yang sesat.” (al-Baqarah ayat 197).

Bermalam di Muzdalifah pada malam 10 Dzulhijjah termasuk salah satu kewajiban dalam ibadah haji. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu tentang sifat haji Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

“Hingga beliau mendatangi Muzdalifah, lalu menunaikan shalat Maghrib dan Isya di sana dengan satu adzan dan dua iqamah. Beliau tidak bertasbih di antara keduanya sedikit pun. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berbaring hingga fajar terbit. Lalu beliau shalat subuh hingga

fajar menjadi jelas, dengan satu adzan dan satu iqamah.

Kemudian beliau menaiki (untanya) al-Qashwa, hingga beliau sampai di al-Masyar al-Haram, beliau kemudian menghadap kiblat, beliau berdoa, bertakbir, bertahlil dan mentauhidkan Allah. Beliau terus berdiri hingga (matahari) sangat menguning, lalu beliau bergerak maju sebelum matahari terbit.” (HR Muslim)

IHRAM

Fatwa Ulama: Hukum yang Berkaitan dengan Anak Hasil Zina

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Saya adalah seorang laki-laki berusia 25 tahun. Baru-baru ini saya menemukan bahwa orang-orang yang saya tinggal bersama mereka bukanlah wali sebenarnya bagi saya. Ibu kandung sebenarnya adalah orang yang saya anggap sebagai bibi saya (yaitu, saudara perempuan wanita yang mengasuh saya). Di mana beliau terlibat dalam zina mahram dengan saudara laki-lakinya ketika dia berada di negara kafir –wallahu musta’an-. Lalu beliau hamil darinya dan tidak menikahinya, bahkan tetap melajang. Ketika beliau melahirkan saya, beliau pindah ke Aljazair. Dan beliau ingin meletakkan saya di panti asuhan, tetapi putri bibi saya melarangnya dan membawaku ke ibunya yang kemudian mengasuh saya. Dia memalsukan dokumen administrasi agar saya ber-intisab kepada mereka dan ber-laqab dengan nama suaminya. Karena suami bibi saya juga berzina dengan ibu kandung saya dan dia takut bahwa saya adalah anaknya, maka dia segera mengadopsi saya.

Pertanyaan saya adalah:

Apa yang harus saya lakukan untuk memperbaiki status dan nasab saya? Ibunda kandung saya sekarang sudah menikah, apakah saya harus berbakti kepadanya? Dan apakah saya berhak mewarisinya jika dia meninggal, atau beliau berhak mewarisi saya jika saya meninggal? Saat ini, saya sedang mencari seorang istri, apakah saya dituntut mengungkapkan keadaan saya kepada calon wali? Mohon berikan fatwa kepada kami. Somoga Allah memberikan pahala.

Jawaban:

Puji syukur kepada Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada hamba yang Allah utus sebagai rahmat bagi semesta alam, serta kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du,

Tidak ada dosa bagi orang yang bertanya dari segi syariat karena apa yang disebutkan adalah akibat dari perbuatan orang lain. Anak yang lahir (dari zina) tidak berdosa akibat yang dilakukan oleh pelaku zina. Bagi orang yang berzina dengan mahramnya, wajib mendapatkan hukuman had dengan kesepakatan para ulama, dengan adanya perbedaan pendapat mengenai sifat hukuman tersebut.

Hukumannya menurut syariat (menurut pendapat yang rajih) adalah dihukum mati dalam semua kondisi, baik ia sudah menikah atau belum menikah. Ini adalah mazhab Ahmad dan selain beliau dari kalangan ahli hadis. Mereka berdalil dengan hadis Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

Pamanku, Harits bin Amr melewati saya dengan membawa sebuah bendera yang diberikan kepadanya oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Saya bertanya kepadanya, ‘Wahai pamanku, ke mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusmu?’ Dia berkata, ‘Dia mengutus saya kepada seorang pria yang menikahi istri ayahnya, dan dia memerintahkan saya untuk memenggal lehernya (dan mengambil hartanya).’”[1]

(Pendapat tersebut) berbeda dengan ulama yang berpendapat bahwa hukumannya tidak berbeda dengan hukuman bagi orang yang berzina dengan bukan mahramnya, dan ini adalah mazhab mayoritas ulama[2]. Namun, ketika sistem pengadilan saat ini tidak berhukum berdasarkan syariat dan batas-batasnya, maka kewajiban bagi keduanya adalah bertobat yang tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan (melakukan) semua syaratnya.

Adapun anak hasil zina, ia dinasabkan kepada ibunya, bukan bibinya. Bahkan, meskipun suaminya mengklaimnya sebagai anak secara tidak syar’i, kecuali jika yang bersangkutan adalah ayah biologisnya yang telah terperinci dalam fatwa lain[3].

Dan dia diperbolehkan untuk menikah seperti individu lainnya karena itu bukanlah dosa yang ia lakukan dan bukan aib yang ia lakukan. Tetapi dia harus memberitahukan wali-wali wanita tentang kondisinya, karena mereka mungkin tidak menyukai perkawinan putri mereka dengan seseorang yang memiliki keturunan yang tidak jelas. Dan hukumnya menyesuaikan dengan kondisi wanita yang ingin dinikahi[4]. Jika menerima, maka pernikahannya sah. Dan jika mereka tidak menerima, dia bisa mencari yang lain.

Untuk memperbaiki nasab kekerabatannya dalam dokumen resmi, ia harus berkonsultasi dengan seorang ahli hukum atau pengacara untuk membimbingnya mengenai prosedur hukum dan kemungkinan memperbaiki dokumen tanpa merugikan keluarga yang mengadopsinya karena tidak tahu. Jika ada konsekuensi yang merugikan mereka, seperti penjara atau hal lainnya, maka biarkan dokumen tersebut tetap dalam keadaan semula dan dia tetap bernasab ke ibunya. Dan dia tidak boleh mewarisi apa pun dari keluarga yang mengadopsinya, kecuali melalui pemberian atau wasiat: sepertiga atau lebih rendah dari harta, dan dia tidak akan memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka. Jika bibinya yang membesarkannya tidak memberinya ASI selama dua tahun berturut-turut, maka anak-anaknya dari bibi tersebut akan dianggap sebagai ajnabiyah (orang asing) baginya, dan dia tidak boleh bercampur baur dan berduaan dengan mereka[5].

Untuk suami bibinya, jika dia tidak yakin bahwa anak ini berasal darinya, maka dia dapat meminta bantuan (setelah Allah) dengan melakukan tes DNA.[6] Orang yang meminta itu harus mendapat izin dari pengadilan. Jika terbukti bahwa dia adalah ayah kandung, dia telah mengadopsinya. Jika bukan ayah kandung, maka anak bernasab kepada ibunya yang melahirkannya (seperti yang telah disebutkan sebelumnya) dan akan mewarisi jika ibu tersebut meninggal dalam kedua keadaan, tes DNA tersebut benar atau tidak. Dan dia akan mewarisinya jika ibu meninggal karena dia adalah ibu kandung.

Demikian penjelasanya dan perlu diperhatikan bahwa ibu sebagai pelaku tetaplah ibu dan kewajiban untuk berbuat baik kepadanya tetap berlaku, meskipun dosanya besar. Terutama jika dia telah bertobat dengan tulus. Sebab seorang ibu pantas mendapatkan bakti dan perlakuan yang baik, meskipun dia berbuat kesyirikan. Dan tidak diragukan bahwa kesyirikan lebih besar dosanya daripada perzinaan. Oleh karena itu, Allah berfirman,

وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَا‌ۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗا

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)

Dan pengetahuan hanya ada pada Allah Yang Mahatinggi. Wa akhiru da’wana, anilhamdulillahi rabbil ‘alamin. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari pembalasan, serta memberikan selawat dan salam dengan sempurna.

Baca juga: Penyakit Ganas Akibat Tersebarnya Zina Secara Terang-Terangan

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Artikel: Muslim.or.id

Sumber:

https://ferkous.com/home/?q=fatwa-1295

Catatan kaki:

[1] “Abu Dawud meriwayatkan dalam kitab ‘Al-Hudud‘ sebuah bab tentang laki-laki yang berzina dengan istri-istrinya (4456, 4457), dan Tirmidzi dalam kitab ‘Al-Ahkam‘ sebuah bab tentang orang yang menikahi istri ayahnya (1362), dan Nasa’i dalam kitab ‘An-Nikah‘ sebuah bab tentang pernikahan apa yang dilakukan oleh para ayah (3331, 3332), dan Ibnu Majah dalam kitab ‘Al-Hudud‘ sebuah bab tentang orang yang menikahi istri ayahnya setelahnya (2607), dan Ahmad dalam ‘Musnad‘ (18557, 18578, 18579). Dan Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih dalam ‘Irwa Al-Ghalil‘ (2351).

[2] Lihat ‘Al-Mughni‘ oleh Ibnu Qudamah (8/182), ‘At-Tafri‘ oleh Ibnu Al-Jallab (2/224), ‘Al-Muhalla‘ oleh Ibnu Hazm (11/252).

[3] Lihat fatwa nomor: (464) yang berjudul “Tentang hukum pernikahan pelaku zina dan hak anak dari pernikahan tersebut,” dan fatwa nomor: (1221) yang berjudul “Tentang keberatan terhadap hukum memberikan hak anak hasil zina kepada ayahnya” di situs resmi: https://ferkous.com/.

[4] Lihat fatwa nomor: (659) berjudul “Tentang hukum tanggung jawab terhadap anak terlantar dan sejauh mana kesetaraannya dengan anak yatim dalam hal imbalan“, dan fatwa nomor: (918) berjudul “Tentang hukum adopsi dan konsekuensinya” di situs resmi: https://ferkous.com/.

[5] Lihat fatwa nomor: (1242) yang berjudul “Tentang hukum memberikan gelar penjamin kepada yang dijamin tanpa mengadopsinya” di situs resmi: https://ferkous.com/.

[6] Lihat fatwa nomor (463) berjudul “Keabsahan Penggunaan Sidik Jari Genetik dalam Bidang Investigasi Kriminal dan Hubungan Kekerabatan” di situs resmi: https://ferkous.com/.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85530-hukum-anak-hasil-zina.html

Kenapa Idul Adha Indonesia Beda dengan Saudi?

Mengapa Idul Adha Indonesia  beda dengan Saudi? Sering kali berbeda penyelenggaraannya di berbagai negara, ada yang lebih cepat dan ada yang lebih lambat. Namun kesemuanya tetap melaksanakan hari raya pada tanggal 10 Dzulhijjah dan 1 Syawal. 

Lalu apa alasannya kenapa Idul Adha di Indonesia beda dengan Arab Saudi? Pasalnya, belakangan ribut masalah ini, dan tak sedikit orang-orang yang komplain dan akibat perbedaan tersebut. di Arab Saudi puncak haji, sekaligus Idul Adha terjadi di hari Rabu tanggal 28 Juni, sementara di Indonesia Kamis tanggal 29 Juni. 

Kenapa Idul Adha Indonesia Beda dengan Saudi?

Menurut pakar falaq dan astronomi, perbedaan ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan matla’ (tempat munculnya hilal), yakni sebab jauhnya jarak di antara keduanya. Sehingga meskipun sama-sama menggunakan metode rukyatul hilal, tetap saja terjadi perbedaan terkait tanggal pelaksanaannya Idul Adha. Rasulullah Saw bersabda;

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ

“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Namun jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari”. (HR. Muslim, No. 1081) 

Dari hadis ini, Imam Al-Nawawi menjelaskan bahwasanya Ibnu Suraij, Mutharrif bin Abdillah, dan Ibnu Quthaibah menggunakan metode Hisab. Adapun Imam Malik, Imam Syafii, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah dikira-kirakan dengan menyempurnakan puasa sampai tanggal 30. 

Dan menurut Imam Al-Marizi, Sabda Nabi Saw yang berbunyi Faqdiru lahu itu dimaksudkan pada penyempurnaan puasa sampai tanggal 30, yang demikian adalah interpretasi dari mayoritas ahli fikih dan yang demikian  tidak bisa dianotasi dengan perkiraannya ahli hisab.” (Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim, Juz 7 H. 189)

Karena perintahnya adalah untuk rukyatul hilal, maka Indonesia dan Arab Saudi sama-sama melaksanakannya. Namun kadang bisa terlihat dan tidak, sehingga menyebabkan adanya perbedaan terkait tanggal Hari Raya. 

Al-Habib Abdurrahman Al-Masyhur menjelaskan terkait batasan mathla’, dalam bukunya beliau menyatakan;

“(مسألة : ب) : مطلع تريم ودوعن واحد بالنسبة للأهلة والقبلة إلا بتفاوت يسير لا بأس به ، وقال أبو مخرمة : إذا كان بين غروبي الشمس بمحلين قدر ثمان درج فأقل فمطلعهما متفق بالنسبة لرؤية الأهلة ، وإن كان أكثر ولو في بعض الفصول فمختلف أو مشكوك فيه فهو كالمختلف ، كما نص عليه النووي ، فعدن وزيلع وبربرة وميط وما قاربها مطلع ، وعدن وتعز وصنعاء وزبيد إلى أبيات حسين وإلى حلى مطلع وزيلع وواسة وهرورة وبر سعد الدين وغالب بر السومال فيما أظن إلى بربرة وما هناك مطلع ، ومكة والمدينة وجدة والطائف وما والاها مطلع ، وصنعاء وتعز وعدن وأحور وحبان وجردان والشحر وحضرموت إلى المشقاص مطلع ، ولا يتوهم من قولنا الشحر وعدن مطلع مع قولنا عدن وزيلع مطلع أن تكون الشحر وزيلع مطلعاً ، بل إن عدن وسط ، فإذا رؤي فيها لزم أهل البلدين ، أو في أحدهما لزم أهل عدن. 

“Mathla’nya kota Tarim dan Dawan ini sama, ini dinisbatkan kepada tempat rukyatul hilal dan arah kiblatnya. Hanya saja ada keterpautan yang sedikit, namun masih bisa ditolerir. 

Menurut Abu Makhromah, jika di antara 2 tempat terbenamnya Matahari itu sekadar 8 derajat atau kurang, maka mathla’nya dihitung sama ketika dipakai untuk melihat hilal. Adapun jika derajatnya melebihi 8, maka sudah dianggap berbeda mathla’nya. Atau jika mathla’nya diperselisihkan, maka diarahkan pada perbedaan mathla’, sebagaimana yang diutarakan oleh Imam al-Nawawi. 

Maka Adn, Zayla’, Barirah, Maydh dan daerah terdekatnya ini mathla’nya sama. Adn, Taiz, Shun’a, Zabid, ke Abyat Husain dan daerah Haly ini satu mathla’. Zayla’, Wasah, Harurah, daratan Sa’duddin, mayoritas daerah Somal, sampai Barirah dan daerah sekitarnya -menurutku- satu mathla’ Mekkah, Madinah, Jeddah, Toif dan sekitarnya ini satu mathla’. 

Sedangkan Kota Shun’a, Taiz, Adn, Ahwar, Habban, Garden, Syahr, Hadhramaut, sampai daerah Misyqash ini satu mathla’. Dari pernyataan Syahr dan Adn satu mathla’, Adn dan Zayla’ satu mathla’, maka tidak bisa dipahami bahwasanya Syahr dan Zayla’ ini satu mathla’. 

Sebab Adn berada di tengah-tengah, maka jika di sana hilal sudah terlihat, wajib bagi dua daerah untuk berpuasa (penanda pergantian bulan) atau jika di salah satunya maka hanya wajib bagi Adn saja”. (Bughyah al-Mustarsyidin, Juz 1 226) 

Dengan demikian bisa diketahui jawaban dari pertanyaan kenapa terjadi perbedaan pelaksanaan Idul Adha antara Indonesia dan Arab Saudi, yakni karena sudah melebihi 8 derajat sehingga sudah beda mathla’nya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH

Surat Nabi dan ‘Robeknya’ Kekuasaan Raja Kisra

Ajakan Nabi Muhammad kepada penguasa Persia, Raja Kisra ditolak. Surat Nabi dirobek hingga kerajaan itu hancur dan robek sesuai doa dan prediksi Nabi

DALAM mengembangkandakwah Islam,Rasulullah Muhammad ﷺ menggunakan media surat-menyurat.Banyak raja-raja dan penguasa kala itu mendapat surat yang berisiajakan mengenal Islam,mengajak beriman kepada Allah dan utusan-Nya, bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah yang tiada sekutu baginya dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Di antara penguasa yang mendapat surat adalah Kaisar Heraklius, penguasa Romawi dan Raja Kisra. Kisra adalah sebutan untuk beberapa raja Persia (kini Iran) dari Dinasti Sasaniyah.

Di antara Raja Kisra yang paling terkenal adalah Kisra II atau Abarwiz, yang berakhir tragis setelah dibunuh oleh putranya sendiri dalam aksi kudeta. Seluruh anggota keluarganya yang laki-laki juga dibunuh, kecuali putranya sendiri, Ardashir.

Surat yang dikirimkan Rasulullah ﷺ Raja Kisra isinya serupa dengan surat-surat yang beliau kirimkan kepada para Raja dan Kaisar di berbagai belahan dunia (Al-Uqaili, 2011:424).  Inilah rangkuman surat yang diambil dari Buku Dakwah bin Qalam Nabi Muhammad karangan Dr H. Mustafirin, penerbit NEM).

***

Surat yang dikirimkan kepada Kisra Abrawaiz, dibawa oleh sahabat Rasulullah ﷺ. Abdullah bin Huzafah as-Sahmi. (Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad II. (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 394).   

Abdullah bin Huzafah as-Sahmi merupakan utusan Nabi Muhammad ﷺ kepada Kaisar Persia untuk menyampaikan surat dari Baginda Nabi Muhammad ﷺ yang mengajak memeluk agama Islam.

Ia juga dikenal sebagai salah satu tawanan perang dari Heraklius dari Kekaisaran Romawi Timur. Atas keimanannya yang kuat terhadap Islam dan dapat melewati setiap godaan yang diberikan oleh Kaisar Heraclius, seluruh tawanan perang muslim dibebaskan tanpa syarat.

Berikut bunyi surat tersebut sebagai berikut:

بسم من محمد رسول الله إلى كشري عاليم فارس سلام على من اتبع الهدى وأمن بالله ورسوله وشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأن محمدا عبده ورسوله، وأدعوك بدعاية الله عز وجل فإنى أنا رسول الله إلى الناس كافة لأنذر من كان حيا ويحق القول على الكافرين، أسلم تسلم، فإن توليث فإنما عليك إثم المجوس ها

الله الرحمن الرد

“Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,

Dari Muhammad Rasulullah kepada Kisra Raja Persia,

Keselamatan bagi yang mengikıuti petunjuk, yang beriman,

kepada Alah dan Rasul-Nya, dan bersaksi bawa tidak ada Tuhan selain Allah,

Dan aku adalah utusan Allah kepada umat seluruh manusia, untuk memberi peringatan bagi siapa yang hidup dan supaya pastilah azab terhadap orang-orang kafir,

Masuklah  Islam maka kau akan selamat, dan jika kau mengabaikannya naka atasmu dosa orang-orang Majusi.”

Robeknya Kekuasaan Kisra

Setelah menerima surat, Kisra Abrawaiz membaca surat dari Baginda Nabi ﷺ, lalu merobek sambil berkata: “la menulis surat ini kepadaku, padahal ia adalah hambaku?  Kabar itu pun sampai pada Rasulullah ﷺ. Beliau lalu bersabda: “Allah akan merobek kerajaannya.” (Asy-Syafii, 1993:397).

Adapun Kisra Badzan, penguasa Yaman, mengutus Babawaih. Dan Babawaih berkata pada Rasulullah ﷺ. “Raja Diraja Kisra telah menulis surat kepada Raja Badzan dan memerintahkannya agar mengirim utusan kepadamu akan hadir (padanya) bersamamu. la mengutusku kepadamu agar kamu mau berangkat bersamaku.” Lalu Rasulullah  ﷺ memberitahukan bahwa Allah Swt akan memberikan kekuasaan Kisra pada anaknya, Syiruwaih, dan membunuhnya.” (Ath-Tabari, 1991:90-91).

Dan semua yang dikatakan Rasulullah ﷺ benar-benar menjadi kenyataan. Akhirnya yang menguasai singgasana Kisra adalah anaknya, Qubadz, yang dijuluki dengan nama Syiruwaih.

Raja Kisra dibunuh dengan hina dina pada tahun 628 M. Setelah kematiannya, kerajaan Kisra terpecah-pecah dan menjadi permainan di tangan anak-anak keluarga Istana.

Syiruwaih hanya hidup enam bulan saja dalam kurun empat tahun, singgasananya digantikan oleh sepuluh raja. Tampak pemerintahan tercabut hingga orang-orang berkumpul dan menunjuk Yazzdajir sebagai raja terakhi Bani Sasan.

Dialah orang yang menghadapi penyerangan tentara Islam yang menyebabkan runtuhnya pemerintahan Sasaniyah yang berjaya lebih dari empat abad lamanya sebelum musnah secara keseluruhan. (Abul Hasan Ali Al-Hasan An-Nadwi, Shirah Nabawiyyah, Sejarah Lengkap Nabi Muhammad, Darul Manas, 2011).

Setelah itu tidak pernah ada lagi pemerintahan Sasaniyah, dan nyatalah dengan itu berita yang diungkap oleh Rasulullah ﷺ dengan Sabdanya: “Jika Kisra hancur, maka tidak ada Kisra setelahnya. (an-Naisaburi, 1992, 2236-2237).*

HIDAYATULLAH

Puasa Arafah Ikut Wukuf atau Hasil Sidang Isbat?

Puasa Arafah ikut wukuf atau hasil sidang isbat? Pertanyaan ini sering sekali ditanyakan oleh masyarakat umum, bahkan membuat gaduh di masyarakat. Lebih jauh lagi, beredar pernyataan dari seseorang bahwasanya puasa Arafah dilaksanakan ketika saat jamaah haji Wukuf di padang Arafah, bukan dengan menyesuaikan kalender setempat.

Puasa Arafah Ikut Wukuf atau Hasil Sidang Isbat? 

Benarkah demikian? Jwabannya tidak benar [artinya puasa Arafah itu mengikuti kalender atau hasil isbat], karena ibadah puasa Arafah itu berkaitan dengan waktu. Buktinya adalah disunnahkan pula puasa dari tanggal 1 Dzulhijjah hingga tanggal Arafah, yakni 9 Dzulhijjah. Imam Al-Ramli menyatakan;

(وَ) صَوْمُ يَوْمِ (عَرَفَةَ) وَهُوَ تَاسِعُ الْحِجَّةِ لِخَبَرِ مُسْلِمٍ «صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ» وَالْمُرَادُ بِالسَّنَةِ الَّتِي قَبْلَ يَوْمِ عَرَفَةَ السَّنَةُ الَّتِي تَتِمُّ بِفَرَاغِ شَهْرِهِ وَبِالسَّنَةِ الَّتِي بَعْدَهُ السَّنَةُ أَوَّلُهَا الْمُحَرَّمُ الَّذِي يَلِي الشَّهْرَ الْمَذْكُورَ… وَيُسَنُّ صَوْمُ الثَّمَانِيَةِ أَيَّامٍ قَبْلَ يَوْمِ عَرَفَةَ كَمَا صَرَّحَ بِهِ فِي الرَّوْضَةِ سَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الْحَاجُّ وَغَيْرُهُ، أَمَّا الْحَاجُّ فَلَا يُسَنُّ لَهُ صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يَلِ يُسْتَحَبُّ لَهُ فِطْرُهُ وَلَوْ كَانَ قَوِيًّا لِلِاتِّبَاعِ. رَوَاهُ الشَّيْخَانِ، وَلِيَقْوَى عَلَى الدُّعَاءِ.

“Dan disunnahkan pula untuk berpuasa di hari Arafah, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi “Berpuasa pada hari Arafah ini bisa menghapus dosa setahun sebelumnya dan sesudahnya”. 

Adapun yang dimaksud dengan diampuni dosa di tahun sebelumnya adalah tahun pra hari Arafah, sedangkan yang dimaksud dengan sesudahnya yaitu tahun berikutnya yang dimulai dari bulan Muharram hingga akhir bulan. 

Di samping itu disunnahkan juga untuk berpuasa pada 8 hari sebelumnya yakni dari tanggal 1 Dzulhijjah sampai tanggal 8 sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Raudhah. Hukum ini berlaku umum bagi mereka yang berhaji dan tidak, hanya saja tidak disunnahkan bagi orang berhaji untuk berpuasa pada hari Arafahnya. 

Justru yang disunnahkan adalah tidak berpuasa meskipun ia masih kuat, hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw yang direportasikan oleh Imam Bukhari dan Muslim, di samping itu juga untuk memberikan nutrisi atau kekuatan dia untuk berdoa”. (Nihayat al-Muhtaj, Juz 3 H. 206) 

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Syekh Sulaiman al-Jamal, dalam Hasyiyahnya beliau menyatakan;

وَقَدْ قَالُوا لَيْسَ يَوْمُ الْفِطْرِ أَوَّلَ شَوَّالٍ مُطْلَقًا بَلْ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَكَذَا يَوْمُ النَّحْرِ يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ وَيَوْمُ عَرَفَةَ الَّذِي يَظْهَرُ لَهُمْ أَنَّهُ يَوْمُ عَرَفَةَ سَوَاءٌ التَّاسِعُ وَالْعَاشِرُ لِخَبَرِ الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ وَفِي رِوَايَةٍ لِلشَّافِعِيِّ وَعَرَفَةُ يَوْمَ يَعْرِفُ النَّاسُ وَمَنْ رَأَى الْهِلَالَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ غَيْرِهِ وَشَهِدَ بِهِ فَرُدَّتْ شَهَادَتُهُ يَقِفُ قَبْلَهُمْ لَا مَعَهُمْ وَيُجْزِيهِ إذْ الْعِبْرَةُ فِي دُخُولِ وَقْتِ عَرَفَةَ وَخُرُوجِهِ بِاعْتِقَادِهِ

“Para ulama berkata, ‘Hari raya fitri itu bukan berarti awal Syawal secara mutlak, (namun) adalah hari di mana orang-orang sudah tidak berpuasa lagi, demikian halnya hari nahr adalah hari orang-orang menyembelih kurban, dan begitu pula hari Arafah adalah hari yang menurut orang-orang tampak sebagai hari Arafah, meski tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah, mengingat hadits, ‘berbuka (tidak puasa lagi) yaitu hari orang-orang tidak berpuasa dan Idul Adha adalah hari orang-orang menyembelih kurban,’ (HR Tirmidzi, dan ia shahihkan). 

Dalam riwayat Imam Syafi’i ada hadits; hari Arafah adalah hari yang telah dimaklumi oleh orang-orang;

“Barangsiapa melihat hilal sendirian atau bersama orang lain dan ia bersaksi dengannya, lalu kesaksiannya itu ditolak, maka ia harus wuquf sebelum orang-orang, tidak  boleh wuquf bersama mereka, dan wuqufnya mencukupi (sebagai rukun haji). Sebab yang menjadi pedoman perihal waktu masuk dan keluarnya hari Arafah adalah keyakinannya sendiri”. (Futuhat al-Wahhab bi Taudhih Syarh Manhaj al-Thullab, Juz 2 H. 406) 

Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya ibadah puasa Arafah ini didasarkan pada daerah (Mathla’) masing-masing, bukan mengikuti pelaksanaan Wukuf di Arafah. Hal ini sebagaimana Hadis yang berbunyi;

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ

“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Namun jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari”. (HR. Muslim, No. 1081) 

Dari perintah Rasulullah Saw ini bisa diambil kesimpulan bahwa puasa Arafah dilaksanakan sesuai ru’yah masing-masing, bukan mengikuti rukyatnya daerah lain. 

Puasa Arafah ikut wukuf atau hasil sidang isbat? Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH

Bergeser ke Makkah, Salam ke Nabi, dan Minta Nasihat Ulama

Tentu berbeda dengan kondisi Madinah yang mulai sepi, Kota Makkah justru makin dipadati jamaah.

Oleh AGUNG SASONGKO dari MADINAH, ARAB SAUDI

Tepat Jumat, (23/6/2023) dini hari, rombongan kloter terakhir yang berasal dari Embarkasi Solo (SOC-99) tiba di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz, Madinah. Kedatangan rombongan berjumlah 302 jamaah ini sekaligus menjadi penutup dari rangkaian kedatangan 13 kloter kuota tambahan.

Mereka transit sejenak di Madinah sebelum meneruskan perjalanan menuju Makkah. Bagi kami di Media Center Haji Daker Madinah, kedatangan kloter terakhir tersebut memberikan sinyal sudah waktunya bergeser ke Makkah.

photo

Sebelum itu, saya berniat pamit dan mengucapkan salam kepada Rasulullah sebelum bertugas ke Makkah. Ini tak lain karena saya sempat bertanya kepada Kiai Ahmad Wazir Ali, konsultan ibadah di Daker Madinah soal ini. “Kiai, apakah sebelum kita berangkat ke Makkah perlu berziarah ke Rasulullah, pamit, Kiai?” kata saya.

Kiai, apakah sebelum kita berangkat ke Makkah perlu berziarah ke Rasulullah, pamit, Kiai?

NAMA TOKOH

Dengan panjang lebar, Kiai Wazir menyarankan ke sana, tapi dengan catatan tidak perlu memaksakan diri memasuki Raudhah, cukup dalam lingkungan Masjid Nabawi dan berdoa. Kepada kami, pengasuh Pesantren Denayar Jombang itu menyebutkan ada tiga doa yang perlu dipanjatkan seusai salam kepada Rasulullah.

Doa yang dipanjatkan kepada Allah, yakni, pertama, berdoa agar kita diberikan kemudahan dalam menjalani rangkaian ibadah haji hingga selesai. Kedua, berdoa mudah-mudahan diberikan kesehatan hingga sampai ke Tanah Air bertemu handai taulan. Terakhir dan paling penting adalah berdoa agar bisa kembali ke Tanah Suci kembali bisa berziarah kepada Rasulullah. “Bisa aja nanti kita dipanggil lagi menjadi petugas atau umrah, itu yang penting,” pesan Kiai Wazir.

Saban hari memang Kiai Wazir ini banyak menerima pertanyaan, terutama mengenai ibadah haji. Kadang juga tak enak selalu bertanya. Pernah suatu ketika, beliau sedang membuat teh mint dan membaca, duduk di sofa hijau dekat dengan ruang kerjanya di daker, beliau saya ganggu lagi dengan pertanyaan-pertanyaan lain. Dengan ramah beliau melayani.

Terakhir, ketika kami mengundang beliau untuk mengisi pengajian, dipaparkanlah berbagai kemudahan, ini dalam konteks sebagai petugas haji. Hal itu yang membuat kami tenang. Misalnya, ketika saya belum sempat berziarah ke makam Rasulullah karena begitu padat memantau pergerakan jamaah, Kiai Wazir memberikan penyejuk yang tiada tara. “Selama masih di lingkungan masjid, kita bisa memberi salam, dan doa kita juga makbul,” katanya.

Begitu pun ketika petugas lebih sibuk mengurus jamaah daripada beribadah, Kiai Wazir kembali membuat hati kami “nyess” atau lega. Kata Kiai Wazir, “Barang siapa yang menggembirakan kesusahan orang mukmin maka Allah SWT akan menggembirakan kesusahannya di hari kiamat.”

“Barang siapa yang memudahkan urusan orang mukmin, maka Allah SWT akan memudahkan urusannya di hari kiamat. Allah SWT selalu menolong hamba, selagi dia mau menolong saudaranya.”

Tentu berbeda dengan kondisi Madinah yang mulai sepi, Kota Makkah justru makin padat dengan jamaah. Tentu ada tantangan bagi kami yang bertugas di Madinah yang selanjutnya ditempatkan di Makkah. Wilayah yang luas dan cuaca yang lebih panas, ini jadi pertimbangan kami untuk mencari motivasi lebih sebelum kembali bertugas.

Lagi-lagi, kami sempatkan untuk mengobrol sejenak dengan Kiai Wazir. Sekadar untuk melepas rasa nervous sekaligus mempertebal tekad kami.

Lagi-lagi saya merepotkan Kiai Wazir. Memandang wajah seorang ulama adalah ibadah

Saya pernah membaca sebuah tulisan dari Syaikh Nawawi al-Bantani dalam kitab Riyadh al-Shalihin, bahwa Ali Ibn Abi Thalib berkata, “Memandang wajah seorang ulama adalah ibadah. Lalu berpendar cahaya dalam pandangan itu dan terang cahaya di dalam hatinya. Ketika seorang ulama mengajarkan ilmu maka satu tema yang diajarkan berhadiah satu istana di surga. Bagi yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya akan mendapatkan hadiah serupa.”

Lalu, Syaikh Nawawi juga menuliskan, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang memuliakan seorang ulama, sungguh ia telah memuliakan aku.” Mengapa begitu? Menurut Syaikh Nawawi Banten, “Karena ulama adalah kekasih Nabi SAW”. Lalu, Nabi SAW melanjutkan, “Barang siapa yang memuliakan aku, sungguh ia telah memuliakan Allah.”

Nantinya saya bersama 400 lebih petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Daerah Kerja (Daker) Madinah bakal ditempatkan di 10 pos pemantauan jamaah di Mina. Di sana, 229 ribu jamaah Indonesia ditempatkan dalam 70 maktab atau gugusan tenda-tenda jamaah. Kegiatan jamaah haji di Mina ialah titik paling kritis dalam prosesi ibadah haji. Pasalnya, jamaah harus berjalan kaki dari tenda ke tempat melempar jumrah. Jamaah rentan kelelahan dan tersasar.

Jadi, berziarah ke makam Nabi, lalu meminta nasihat ulama sebelum berangkat ke Makkah, sepertinya jadi pilihan yang tepat. “Cakep, bismillah,” ucap saya spontan.

IHRAM