Jangan Salah, Setelah Nikah, Akan Ada Ujiannya Juga, tetapi …

HIDUP tak akan lepas dari masalah dan ujian. Pun begitu dengan ketika nikah pasti akan ada ujian. Lika-liku hidup berumah tangga sudah pasti dialami pasangan suami istri.

Ibarat sebuah batu seberat satu kilogram yang akan terasa berat jika dibebankan kepada anak usia dua tahun, namun akan terasa ringan jika dijinjing oleh dua orang dewasa sehat berusia dua puluh tahunan.

Selain pengalaman, ilmu dan iman merupakan kompetensi yang harus dimiliki agar sebuah beban terasa ringan. Agar seseorang mampu menjalani ujian dengan semangat, seberat dan serumit apa pun persoalannya.

Begitu pun dengan ujian pernikahan. Semuanya dikembalikan kepada masing-masing individu yang terlibat di dalamnya dan niat awal mereka untuk menikah.

Seorang istri yang biasa hidup mewah akan berat jika diuji dengan kekurangan harta dan makanan setelah menikah. Semakin rumit ketika orang tuanya meninggal dunia tanpa mewariskan harta yang banyak, kemudian suaminya tidak cakap dalam mengupayakan nafkah.

Jika dibiarkan terus menerus, ujian yang ujungnya ada di perut ini bisa berdampak bahaya; pertengkaran karena lapar, menuntut hak karena terlalu banyak melihat rumah tangga orang lain, hingga berujung pada perceraian.

Demikian pula dengan seorang laki-laki yang hidup dalam lingkungan keshalihan. Ia akan mengalami ujian yang berat tatkala istrinya-ternyata-bukan seorang Muslimah yang taat dalam menjalankan ibadah wajib dan sunnah.

Ada jarak yang sangat jauh. Ada rentang yang amat panjang. Si laki-laki sangat terpukul, sebab di dalam benaknya, dengan menikah akan tambah shalih dan mudah serta nikmat dalam beribadah lantaran ada teman sejati.

Tapi ia-justru-mendapatkan kesukaran tak bertepi karena harus bekerja keras untuk mempertahankan keshalihannya.

Bukan hanya agar bisa istiqamah dengan ritme yang ia jalani, tapi juga harus mengajak istrinya untuk bergabung dalam garis edar ruhani yang sama. Sayangnya, alih-alih menuruti ajakan suaminya dalam taat, sang istri juga membangkang bahkan menentang saat diajak melakukan berbagai jenis amal ketaatan.

ISLAMPOS

5 Cinta yang Harus Dihindari oleh Seorang Muslim

ADA beberapa cinta yang harus dihindari oleh seorang Muslim. Apa saja dan kenapa?

Rasa cinta memang bersarang pada setiap manusia. Dan hal itu menjadi suatu anugerah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya. Meski begitu, jangan sampai anugerah itu bersarang pada jalan yang salah. Artinya, kita mencintai sesuatu yang seharusnya tidak kita cintai.

Sebagaimana dilansir dari ummi-online.com bahwa ada lima cinta yang harus dihindari oleh kaum muslim. Apa sajakah itu?

1. Kecintaan Terhadap Dunia

Sebagai seorang muslim sejati harus menghindari rasa cinta dunia yang berlebihan. Jangan sampai kita melupakan amal untuk bekal di akhirat kelak.

2. Kecintaan untuk Membangun Rumah yang Megah

Rumah memang salah satu kebutuhan primer manusia. Akan tetapi, muslim sejati juga jangan sampai terlalu disibukkan dengan urusan membangun rumah yang megah. Jangan biarkan diri kita lupa dan meninggalkan amal perbuatan yang dapat menerangi kubur kelak.

3. Kecintaan Terhadap Kesibukan Mengumpulkan Harta Benda

Mencintai pekerjaan memang sangat dianjurkan. Tentu pekerjaan yang diridhai Allah. Akan tetapi, yang lebih penting diingat oleh seorang muslim sejati adalah perhitungan Allah terhadap benda yang dimiliki.

Sesungguhnya dari harta benda itu, yang halal akan dihisab dan yang haram akan menjadi siksa. Ngeri kan? Yuk pikirkan lagi untuk apa saja harta kita.

4. Kecintaan Terhadap Pasangan dan Anak-anak

Loh, kenapa tidak boleh? Mencintai pasangan dan anak-anak itu wajib asalkan tetap tidak boleh melebihi cinta manusia kepada Rabbnya. Bagi seorang muslim sejati, cinta tertinggi tetap pada Allah bagaimanapun kondisinya.

5. Kecintaan Terhadap Hawa Nafsu

Ketahuilah, hawa nafsu bisa menjadi kendaraan syetan untuk mengelabuhi manusia. Apalagi seorang muslimah yang rentan terhadap berbagai godaan. Jangan sampai hawa nafsu kita menjadi kendaraan syetan hingga berhasil membujuk kita untuk meninggalkan perintah Allah.

Nah, itulah kecintaan yang harus dihindari oleh seorang muslim sejati. Apakah kita sudah melakukannya?

ISLAMPOS

5 Tingkatan Mengesakan Allah Menurut Imam Asy-Sya’rani

Syekh Abdul Wahab Asy-Sya’rani dalam karyanya Al-Fathul Mubin Fi Jumlatin Min Asrār Addin Juz, 1, halaman 28, mengulas tentang tingkatan manusia dalam mentauhidkan atau mengesakan Allah. Dalam penjelasan, Imam Sya’rani mengatakan ada 5 tingkatan mengesakan Allah. 

Syekh Abdul Wahab Asy-Sya’rani menegaskan:

والناس في التوحيد على خمسة مقامات، العامة في أدنى تلك المقامات، والخاصة في أعلاها، والناس فيما بين ذلك على قدر قبولهم، وكل أحد إذا تفهم هذه المقامات المذكورة ميز مقامه منها ، وحيث هو من جملتها 

Tingkatan manusia dalam tauhid ada lima tingkatan, golongan awam berada pada tingkatan terbawah di antara tingkatan tersebut. Adapun golongan Khas ada pada tingkatan tertinggi.

Sedangkan golongan yang berada diantara dua tingkatan tersebut tergantung pada tingkatan pemahaman mereka tentang tauhid. Dan setiap orang yang dapat memahami tingkatan ini, maka dia memiliki tingkatan yang lebih tinggi sesuai dengan tingkatan golongannya.

5 Tingkatan Mengesakan Allah

Penjelasan Syekh Abdul Wahab Asy-Sya’rani di atas memberikan pemahaman bahwa setiap orang itu berbeda tingkatannya dalam mengesakan Allah. Oleh karena itu, Syekh Abdul Wahab Asy-Sya’rani membagi tingkatan tauhid atau mengesakan Allah atas lima tingkatan:

Pertama, mereka mempunyai keyakinan dalam mengesakan Allah, namun mereka tidak memperdalam keyakinannya. Mereka membenarkan apa yang mereka dengar, mereka tergolong paling rendahnya dalam mengesakan Allah. Kecintaan dan ketakutannya sekedar apa yang mereka dengarkan, seperti janji dan ancaman Allah.

Kedua, mereka mendengar dan membenarkan seperti kelompok yang pertama, namun mereka mendalami dan mempunyai pandangan tentang ciptaan Allah, dan mereka mencari tahu dalil-dalil tentang adanya ciptaan Allah, maqam ini kebanyakan diduduki oleh para ahli ilmu kalam.

Ketiga, mereka lebih tinggi maqamnya dari golongan yang kedua, karena mereka sudah tidak memandang kepada yang diadakan, tetapi mereka mencari tau tentang sifat yang mengadakan, dan dari menyaksikan yang ada, kepada menyaksikan yang mengadakan.

Keempat, mereka lebih mendekatkan diri kepada yang mengadakan, dan lebih dekat lagi persaksiannya, setiap melihat atau memandang sesuatu yang ada, mereka lebih inten melihat dan memandang kepada yang mengadakan.

Kelima, mereka sudah meraih tingkatan maqam tauhid hakiki. maqam ini tidak bisa diraih kecuali sudah mencapai maqam mahabbah, (kecintaan kepada Allah) dan mereka tenggelam dalam kecintaannya, dan jalan untuk meraih maqam mahabbah, harus membersihkan hati dari kecintaan kepada dunia, dan selalu berdzikir mengingat Allah. 

Itulah 5 tingkatan mengesakan Allah menurut Imam Asy-Sya’rani. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Membersihkan Hati sebagai Bekal Perjalanan Abadi

Selamatnya hati, dengan senantiasa melakukan pembersihan. Membersihkan hati haruslah menjadi prioritas Muslim sebagai bekal perjalanan abadi

Oleh: Muhammad Syafii Kudo

Hidayatullah.com | KITA semua tentu pernah melihat atau mendengar sebuah kalimat singkat yang berbunyi, ‘Hati-hati di jalan’. Sebuah kalimat yang nampaknya semua orang bisa sepakat (Muttafaqun Alaihi) merupakan kalimat yang paling sering diucapkan sebagai bentuk peringatan dari si pengucap kepada orang yang diberi ucapan tersebut agar tetap waspada selama di perjalanan supaya selamat sampai di tujuan.

Jika kita setuju dengan ungkapan bahwa ucapan adalah doa, maka kalimat ‘hati-hati di jalan’ adalah sebuah ‘azimat’ sakral yang ironisnya kini dianggap remeh belaka sebagai sebuah basa-basi lisan semata.

Jika ditelaah lebih dalam, kalimat ‘hati-hati di jalan’ mengandung sebuah peringatan agar selama di perjalanan kita selalu waspada demi selamat sampai tujuan.  Namun jangan salah, sebagai seorang Muslim, kita memiliki sebuah worldview khas yang berbeda dengan berbagai pemahaman lain di luar Islam.

Di dalam Islam dikenal konsep akhirat, yang bermakna bahwa semua manusia tujuan akhir perjalanannya kelak adalah ke akhirat untuk kembali kepada Allah. Inilah konsep yang dikenal sebagai Sangkan Paraning Dumadi di dalam khazanah pemikiran orang Jawa yang merupakan penjabaran dari konsep Istirja’ (Innalilahi wa Inna ilaihi raji’un) di dalam Islam.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda,

 مَا لِيْ وَلِلدُّنْيَا؟ مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟! إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

Apalah artinya dunia ini bagiku? Apa urusanku dengan dunia? Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan dunia ini ialah seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon, ia istirahat (sesaat) kemudian meninggalkannya.” (HR. Ahmad).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa manusia hidup di dunia ini ibarat sebuah perjalanan yang mana tujuan pulangnya adalah ke akhirat. Dan perjalanan ke akhirat tentu merupakan sebuah jalan pulang yang maha berat.

Banyak rintangan yang mesti dihadapi baik berupa godaan setan maupun dosa diri sendiri, dimana banyak manusia jatuh berguguran saat melakoni  perjalanan mudik abadi ini.

Maka dibutuhkan bekal yang cukup untuk mengarunginya. Sehingga wajar jika kalimat yang berselimut doa seperti ‘hati-hati di jalan’ itu adalah sebuah peringatan yang bermanfaat agar si penerima peringatan tidak sembrono yang bisa berujung celaka selama di perjalanan.

Firman Allah yang berbunyi, فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى, yang artinya berilah peringatan karena peringatan itu bermanfaat (QS. Al A’la :8-9).

Disebutkan bahwa barangsiapa yang keluar untuk melakukan perjalanan daripada perjalanan dunia tanpa perbekalan, maka dia akan menyesal ketika ternyata di tengah perjalanan dia butuh kepada perbekalan tersebut yang mana penyesalan di saat  itu sudah tidak ada gunanya lagi bahkan malah akan membinasakannya belaka.

Sahabat Abu Hurairah Radhiallahu Anhu menangis ketika detik-detik kematiannya seraya mengatakan, “Hanya saja aku menangis karena jauhnya perjalananku (di alam barzakh menuju tahap akhirat berikutnya) dan sedikitnya perbekalanku.” (Majmu’ Rosa’il Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 430).

Jika seorang Sahabat  Nabi sang periwayat hadis terbanyak dengan ketawadu’annya menangis karena merasa masih sedikit perbekalannya menuju akhirat, lantas bagaimana dengan kita yang memang benar-benar tidak punya bekal sama sekali ini.

Perbekalan Utama

Di dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Allah berfirman,

يَوۡمَ لَا يَنفَعُ مَالٞ وَلَا بَنُونَ ٨٨ إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبٖ سَلِيمٖ ٨٩

“Pada hari yang harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. Asy-Syu’ara: 88—89).

Mengenai pentingnya menjaga kebersihan hati, dikisahkan bahwa Syaikh Muhyiddin Ibnu al-Arabi berkata, “Salah seorang fakir mengundang kami untuk menghadiri pertemuan di lorong sempit berpenerangan pelita-pelita, di Mesir. Di situ berkumpul sekelompok guru. Lalu dia menghidangkan berbagai makanan. Maka mengalirlah macam-macam wadah.”

Di antaranya ada sebuah wadah kaca baru yang telah (pernah) digunakan untuk kencing. Setelah itu belum pernah digunakan lagi.

Lalu pemilik rumah meraih makanan di dalamnya, sedang para guru tadi sedang menyantap makanan.

Saat itu, tiba-tiba wadah itu berkata, “Sejak Allah memuliakanku dengan makannya para pembesar-pembesar itu dari diriku, sejak itu aku tidak rela diriku menjadi tempat kotoran sesudahnya.” Lalu wadah itu pecah menjadi dua.

Syaikh Muhyiddin berkata: Lalu aku berkata kepada perkumpulan itu, “Apakah kalian mendengar apa yang dikatakan wadah tadi?”

“Benar,” jawab mereka.

Aku bertanya, “Apa yang kalian dengar?”

Lalu mereka mengulangi ucapan wadah tadi.

Aku menukas, “Wadah itu berbicara dengan ucapan yang lain.”

“Apakah itu?”

Aku menjawab, “Demikian juga hati kalian. Sejak Allah memuliakan hati kalian dengan iman, setelah itu mereka tidak rela menjadi tempat najis, berupa maksiat dan cinta pada dunia.” (Syekh Abdul Qodir bin Ahmad Al Kuhany,  Huruf-Huruf Magis, Terb. Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2005, Hal. 20-21).

Di  dalam hadis dijelaskan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

(( إن الله لا ينظر إلى صوركم وأموالكم ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم ))

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa-rupa kalian dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat pada hati-hati kalian dan amalan-amalan kalian.”(HR. Muslim no. 2564)

Dari berbagai penjelasan di atas terlihat sangat jelas bahwa hati adalah hal “terpenting” di dalam kehidupan ini karena keselamatan manusia kelak di akhirat ditentukan oleh selamatnya hati mereka di hadapan Tuhannya.

Ini sesuai penjelasan Rasulullah ﷺ yang berbunyi,

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sesungguhnya di setiap jasad ada sekerat daging. Manakala sekerat daging tersebut baik, akan baik pula seluruh jasad. Namun, manakala sekerat daging tersebut rusak, akan berakibat rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah, sekerat daging tersebut adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim dari sahabat an-Nu’man bin Basyir Radhiallahu ‘Anhuma).

Lantas untuk membersihkan hati apa yang harus dilakukan? Tidak ada lain kecuali melakukan laku Tasawuf (Tazkiyatun Nufus). Sebab dengan mengamalkan tasawuf (Tazkiyatun Nufus), seseorang bisa perlahan mendidik jiwa dan hatinya agar bersih dari berbagai kotoran dan penyakit.

Karena menurut sebagian ulama sufi , tasawuf adalah,

هو الخروج من كل خلق دنيي والدخول في كل خلق سني

“Tasawuf adalah keluar dari akhlak yang tercela dan masuk kepada akhlak yang mulia.” (Al Washoya An Nafi’ah Lil Imam Al Haddad, hal. 30).

Syekh Abdul Wahab As Sya’roni di dalam kitab Al Yawaqit Wal Jawahir yang beliau nukil dari kitab Ihya’ Ulumiddin milik Imam Al Ghozali Rahimahullah dan dinukil pula dari sebagian Arifin menyatakan,

من لم يكن له نصيب من علم القوم يخاف عليه سوء الخاتمة

“Barangsiapa tidak ada baginya (bagian dari) ilmu kaum (Arifin) yakni ilmu tasawuf niscaya ditakutkan atasnya mati dalam keadaan su’ul khotimah.”

Syekh Abul Hasan Al Shadzily Rahimahullah berkata,

من لم يتغلغل في هذه العلوم مات مصرا على الكبائر وهولا يعلم

“Barangsiapa yang tidak mendalami ilmu ini (tasawuf) maka dia akan terus-menerus melakukan dosa besar dalam keadaan tidak sadar.”

Ibnu Rajab Rahimahullah bahkan berkata,

الاشتغال بتطهير القلوب أفضل من الإستكثار من الصوم والصلاة مع غش القلوب ودغلها

“Sibuk dengan menyucikan hati adalah lebih baik daripada memperbanyak puasa (sunah) dan salat (sunah) yang disertai dengan menipu hati dan ada khianat dalam hatinya.”

Walhasil mengingat perjalanan menuju akhirat adalah sebuah laku mudik yang berat dan lama, perbekalan amal tentunya merupakan sesuatu yang harus diutamakan.

Dan bahwa kelak yang menjadi barometer selamatnya hamba di sisi Tuhannya adalah selamatnya hati, maka senantiasa melakukan pembersihan hati haruslah menjadi prioritas utama seorang hamba di samping melakukan amalan-amalan kebajikan.

Sehingga laku tasawuf adalah sebuah harga mati. Ini sesuai dengan perkataan Syekh Ibn Abbad dalam Syarh Al Hikam Lil Ibni Atho’illah yang mengatakan,

وهذه هي العلوم التى ينبغى للانسان ان يستغرق فيها عمره الطويل ولا يقنع منها بكثير ولا قليل

“Dan inilah ilmu yakni ilmu tasawuf yang seyogyanya bagi manusia untuk menenggelamkan usianya yang panjang di dalamnya (untuk mempelajarinya) dan tidak (boleh) merasa puas dari mempelajarinya.”

Wallahu A’lam Bis Showab.

Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan

HIDAYATULLAH

Kenapa Inses Marak Terjadi di Indonesia?

Kenapa inses marak terjadi di Indonesia? Beredar kabar seorang tahanan berinisial ABRN (50) pelaku kasus hubungan inses pada anaknya yang masih kecil, telah tewas dianiaya sesama tahanan di ruangan tahanan Polres Metro Depok. Diduga ABRN tewas usai mendapatkan penganiaya dari sesama tahanan Polres Metro Depok. 

Menurut informasi sejumlah media, Wakasat Reskrim Polres Metro Depok, AKP Nirwan Pohan mengatakan, penganiayaan sesama tahanan hingga menyebabkan korban meninggal dunia terjadi pada Sabtu, (8/7) sore hari. Kejadian tersebut dipicu dari tahanan lainnya kesal dengan perbuatan korban yang melakukan pelecehan kepada anaknya.

Meskipun tindakan yang dilakukan para tahanan terkesan brutal dan menyalahi aturan hukum, akan tetapi bagaimanapun segala bentuk pemaksaan hubungan badan khususnya terhadap anak kandung sangatlah dilarang baik dalam hukum positif maupun ajaran agama. Bahkan Allah SWT juga berfirman:

الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ

Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kalian, (menganggap istrinya sebagai ibunya), padahal tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain adalah wanita yang melahirkan mereka dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (QS al-Mujadilah [58]: 2).

Maksud dari penjelasan ayat di atas yakni, Allah mengharamkan zhihâr, yaitu menganggap istri sama seperti ibu, padahal itu hanyalah anggapan, maka apa yang lebih dari sekadar anggapan, yaitu berhubungan badan dengan ibunya, jelas lebih diharamkan lagi. Kesimpulan ini merupakan bentuk penarikan ias dari dalâlah iltizâm, yaitu tanbîh al-adnâ alâ al-a’lâ, atau min bâbi ias.

Inses Bukan Fenomena Baru Namun Sangat Berbahaya

Dengan melihat penjelasan firman Allah, kita tahu bahwa inses bukanlah fenomena baru, tapi telah lama terjadi dari beberapa waktu silam. Hubungan semacam ini tak seharusnya dilakukan, selain karena bertentangan dengan nilai agama maupun moral, inses juga sangatlah berbahaya bagi korbannya. 

Karena dapat berakibat buruk bagi psikis dan fisik korban serta anak yang dilahirkan. Maka, perlu kita pahami betul, penyebab inses beserta upaya pencegahannya agar bisa meminimalisir hingga menumpas secara utuh peluang terjadinya inses. Lantas apa saja yang menjadi faktor pemicu maraknya kasus inses di Indonesia?

Faktor Penyebab Terjadinya Hubungan Inses

Secara garis besar, penyebab terjadinya inses dapat dikelompokkan ke dalam dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal yang menyebabkan terjadinya inses, antara lain:

Biologis

Pada faktor biologis, inses bisa terjadi akibat dorongan seksual yang terlalu besar dan adanya ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan nafsu seksualnya.

Psikologis

Dari segi psikologis, kemungkinan pelaku memiliki kepribadian yang menyimpang, seperti minder, tidak percaya diri, menutup diri dari lingkungan pergaulan, dan menarik diri dari pergaulan sosial masyarakat.

Hal tersebut menyebabkan psikis pelaku menjadi terganggu dan mengurung dirinya di rumah, sehingga tak ada pilihan lain untuk melampiaskan nafsu kepada putrinya, di mana anak perempuan menjadi figur utama yang mengurus keluarga sebagai pengganti ibu.

Selain faktor biologis dan psikologis, inses juga dapat terjadi akibat faktor eksternal. Berikut faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya hubungan seks sedarah.

Ekonomi

Masyarakat dengan tingkat ekonomi yang sangat rendah terkadang bertempat tinggal di dalam rumah yang tak memiliki banyak ruang, terutama ruang tidur. Hal tersebut menyebabkan seluruh anggota keluarga, baik suami-istri maupun anak-anak tidur dalam satu ruangan, bahkan satu tempat tidur.  Bila dalam satu waktu, seorang ayah bersentuhan dengan putrinya yang gadis, maka hal ini memungkinkan salah satunya terangsang dan berpotensi melakukan hubungan seksual.

Pendidikan

Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah berpotensi menyebabkan terjadinya inses. Apabila seseorang memahami dengan betul dampak buruk akibat melakukan inses, maka ia akan berusaha mencari solusi lain agar tidak melakukan inses, sehingga tidak berdampak pada kehidupannya, keutuhan keluarganya, dan kesehatan anak-anaknya.

Spiritual

Inses bisa juga dipengaruhi oleh tingkat pemahaman agama dan penerapan akidah serta norma agama seseorang. Bisa jadi pelaku tidak memahami betul batasan antar anggota keluarga dan dampak negatif dilakukannya inses.

Itulah penyebab terjadinya inses secara garis besar.

Namun, masih banyak lagi faktor spesifik yang mendasari terjadinya inses, seperti masa kecil pelaku, adanya gangguan emosional, pengawasan serta didikan orang tua, dan lain sebagainya. 

Upaya Pencegahan Inses

Dalam hal upaya pencegahan terjadinya inses, dapat dilakukan diantaranya tindakan sebagai berikut :

  1. Memperkuat keimanan dengan menerapkan ajaran agama yang bukan hanya ritual, tapi juga memahami nilai-nilai dalam agama
  2. Memperkuat rasa empati, sehingga memunculkan rasa sensitif terhadap penderitaan orang lain
  3. Mengisi waktu dengan kegiatan yang kreatif dan positif
  4. Menjauhkan diri dan keluarga dari segala sesuatu yang dapat membangkitkan syahwat
  5. Memberikan pengawasan dan bimbingan kepada anggota keluarga
  6. Memberikan pendidikan seks kepada anak diusia yang cukup

Demikian penjelasan terkait kenapa Inses marak terjadi di Indonesia? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

11 Adab Utang Piutang dalam Islam

APA saja adab utang piutang dalam Islam?

Siapa pun umumnya mempunyai permasalahan ekonomi keluarga. Ada yang bisa mengatasinya dengan baik tanpa membebani orang lain. Tapi banyak juga yang mencari solusinya dengan berhutang pada yang lebih mampu. Bahkan tidak jarang mengambil kredit ke Bank, dan ini bentuk hutang piutang yang lazim dilakukan. Tapi bagaimanakah adabnya? Karena terkadang mungkin ada yang meremehkan hal ini.

Jangan remehkan soal hutang piutang. Bila sudah punya kemampuan jangan ditunda-tunda lagi untuk membayarnya. Dalam Islam, hutang diperbolehkan, namun ada adabnya. Ada 11 adab utang piutang dalam Islam, yaitu :

1. Adab Utang Piutang dalam Islam: Jangan pernah lupa mencatat utang piutang.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ… سورة البقرة 282

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.” (QS Al-Baqarah: 282)

2. Adab Utang Piutang dalam Islam: Jangan pernah berniat tidak melunasi utang.

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ ‏‏أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا . رواه ابن ماجة 2410

“Siapa saja yang berutang, sedang ia berniat tidak melunasi utangnya, maka ia akan bertemu Allah sebagai seorang PENCURI.” (HR Ibnu Majah ~ hasan shahih)

3. Adab Utang Piutang dalam Islam: Punya rasa takut jika tidak bayar utang, karena alasan dosa yang tidak diampuni dan tidak masuk surga.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ ‏ “‏ يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ ‏”‏ ‏.‏ رواه مسلم 1886

“Semua dosa orang yang mati syahid diampuni KECUALI utang”. (HR Muslim)

4. Adab Utang Piutang dalam Islam: Jangan merasa tenang kalau masih punya utang.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ‏”‏ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِيَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ ‏”‏ ‏.‏ رواه ابن ماجة 2414

“Barangsiapa mati dan masih berutang satu dinar atau dirham, maka utang tersebut akan dilunasi dengan (diambil) amal kebaikannya, karena di sana (akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR Ibnu Majah ~ shahih)

5. Adab Utang Piutang dalam Islam: Jangan pernah menunda membayar utang.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ ‏ “‏ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ ‏”‏‏.‏ رواه البخاري 2287 ، مسلم 1564 ، النسائي 4688 ، ابو داود 3345 ، الترمذي 1308

“Menunda-nunda (bayar utang) bagi orang yang mampu (bayar) adalah kezaliman.” (HR Bukhari, Muslim, Nasai, Abu Dawud, Tirmidzi)

6. Adab Utang Piutang dalam Islam: Jangan pernah menunggu ditagih dulu baru membayar utang.

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ‏”‏ أَعْطُوهُ فَإِنَّ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ أَحْسَنَهُمْ قَضَاءً ‏”‏‏.‏ رواه البخاري 2392 ، مسلم 1600 ، النسائي 4617 ، ابو داود 3346 ، الترمذي 1318

“Sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam pembayaran utang. (HR Bukhari, Muslim, Nasai, Abu Dawud, Tirmidzi)

7. Adab Utang Piutang dalam Islam: Jangan pernah mempersulit dan banyak alasan dalam pembayaran utang.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ “‏ أَدْخَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ رَجُلاً كَانَ سَهْلاً مُشْتَرِيًا وَبَائِعًا وَقَاضِيًا وَمُقْتَضِيًا الْجَنَّةَ ‏”‏ ‏.‏ رواه ابن ماجة 2202 ، النسائي 4696

“Allah ‘Azza wa jalla akan memasukkan ke dalam surga orang yang mudah ketika membeli, menjual, dan melunasi utang.” (HR An-Nasa’i, dan Ibnu Majah)

8. Adab Utang Piutang dalam Islam: Jangan pernah meremehkan utang meskipun sedikit.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ‏ “‏ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ ‏”‏. رواه الترمذي 1078 ، ابن ماجة 2506

“Ruh seorang mukmin itu tergantung kepada utangnya sampai utangnya dibayarkan.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

9. Adab Utang Piutang dalam Islam: Jangan pernah berbohong kepada pihak yang memberi utang.

قَالَ ‏”‏ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ ‏”‏‏.‏ البخاري 2397 ، 833 ، مسلم 589 ، ابو داود 880 ، النسائي 5472 ، 5454

“Sesungguhnya, ketika seseorang berutang, maka bila berbicara ia akan dusta dan bila berjanji ia akan ingkar.” (HR Bukhari dan Muslim)

10. Adab Utang Piutang dalam Islam: Jangan pernah berjanji jika tidak mampu memenuhinya.

…وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا… سورة الإسراء 34

“… Dan penuhilah janji karena janji itu pasti dimintai pertanggungjawaban ..” (QS Al-Israa’: 34)

11. Adab Utang Piutang dalam Islam: Jangan pernah lupa doakan orang yang telah memberi utang.

وَمَنْ آتَى إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَعْلَمُوا أَنْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ ‏”‏ ‏.‏ رواه النسائي 2567 ، ابو داود 5109

“Barang siapa telah berbuat kebaikan kepadamu, balaslah kebaikannya itu.

Jika engkau tidak menemukan apa yang dapat membalas kebaikannya itu, maka berdoalah untuknya sampai engkau menganggap bahwa engkau benar-benar telah membalas kebaikannya.” (HR An-Nasa’i dan Abu Dawud)

Semoga bermanfaat.

SUMBER

Tersesat yang Seru dan Disyukuri saat Haji, ini Ceritanya

Cerita jamaah haji asal Tasikmalaya tersesat di Muzdalifah.

Sebanyak 392 jamaah haji asal Kota Tasikmalaya telah kembali ke tanah air pada Rabu (12/7/2023). Kedatangan mereka disambut antusias oleh sanak keluarga yang telah menunggu di Gedung Dakwah Kota Tasikmalaya. 

Sesampainya di Tasikmalaya, raut wajah para jamaah haji itu terlihat ceria. Beberapa jamaah juga tak kuasa menahan haru saat kembali bertemu keluarganya di Indonesia setelah menunaikan ibadah haji. 

“Alhamdulillah dari kloter 23 tidak ada yang tertinggal di Arab Saudi. Semua selamat, sehat, dan bisa kembali ke Indonesia,” kata salah seorang jamaah haji asal Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, Dadang Surahman (61 tahun).

Ia mengaku mendapatkan banyak pengalaman saat menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Salah satu pengalaman yang paling berharga baginya adalah saat berada di Muzdalifah. 

Sebagai orang awam di Arab Saudi, Dadang mengaku sering tersesat saat akan melakukan perjalanan ke Jamarat. Pasalnya, terdapat banyak jalan yang ada di daerah itu. 

“Memang ada istilah, kalau tidak nyasar di Arab itu bukan jamaah haji. Namun itu dinikmati dan menjadi happy ending. Alhamdulillah semua sehat dan sukses,” kata jamaah dari KBIH As Surur itu.

Tak hanya Dadang jamaah haji yang sempat tersesat ketika berada di Arab Saudi. Salah seorang jamaah lainnya, Adam Alamsah (65), juga beberapa kali tersesat saat berada di Muzdalifah. 

Ia mengisahkan, perjalanan dari Muzdalifah ke Mina itu sekitar 7 kilometer dari tendanya. Namun, dalam perjalanan, ia tak jarang tersesat. Bahkan, menurut dia, ada temannya yang tersesat sampai 28 kilometer. 

“Memang capek, tapi tetap ada kepuasan dalam hati,” kata lelaki asal Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya, itu.

Selain tersesat, kendala lain yang dirasakan Adam saat berada di Arab Saudi adalah faktor cuaca. Pasalnya, kondisi cuaca di Tanah Suci hampir dua kali lipat dengan kondisi di Indonesia. 

Karenanya, Adam sempat dua kali menjalani perawatan medis saat di Arab Saudi. Jamaah lainnya juga tak sedikit yang harus menjalani perawatan. 

“Alhamdulillah saya hanya sebentar, meski dua kali dirawat. Namun tetap semangat,” kata dia.

Ia menambahkan, peran petugas selama pelaksanaan ibadah haji juga sangat membantu para jamaah. Bahkan petugas yang bukan berasal dari rombongannya pun tak segan membantu para jamaah. 

Meski demikian, menurut Adam, pelayanan selama pelaksanaan ibadah haji ke depan tetap harus ditingkatkan. Sebab, masih terdapat beberapa hal minor yang dirasakan para jamaah dari sisi pelayanan. 

“Salah satunya itu tempat wudhu, saat di Mina itu tak ada penerangan. Lalu makanan juga kadang masih ada yang belum masak sudah disajikan. Itu yang perlu diperbaiki,” ujar dia.

Senada dengan Adam, Dadang juga menilai peran para petugas dalam pelaksanaan ibadah haji telah maksimal. Namun, bukan berarti pelayanan yang dirasakan selama ini tanpa kekurangan. 

“Mudah-mudahan ke depan ada peningkatan,” kata dia.

Sebelumnya, Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Tasikmalaya Supriana mengatakan, para jamaah telah tiba dengan selamat. Namun, berdasarkan informasi yang diterimanya, terdapat satu jamaah dari rombongan itu yang masih sakit dan dirawat di sebuah rumah sakit, Tangerang. 

“Hanya memang ada jamaah dari Kota Tasikmalaya sakit, sekarang masih dirawat di rumah sakit di Tangerang. Mudah-mudahan besok pulang,” kata dia di Gedung Dakwah Kota Tasikmalaya, Rabu.

Menurut dia, kembalinya para jamaah itu merupakan yang pertama di Kota Tasikmalaya pada musim haji kali ini. Masih ada ratusan jamaah haji asal Kota Tasikmalaya lainnya yang berada di Arab Saudi. 

Supriana mengatakan, jamaah haji asal Kota Tasikmalaya yang masih berada di Arab Saudi adalah mereka yang tergabung dalan kloter 24 sebanyak 40 orang, kloter 67 sebanyak 208 orang, kloter 68 sebanyak 48 orang, dan kloter 72 sebanyak 39 orang. “Informasi yang kami terima, mereka masih sehat,” kata dia.

Ia menambahkan, hingga saat ini tak ada jamaah haji asal Kota Tasikmalaya yang meninggal dunia di Arab Saudi. Ia mengakui, sempat ada beberapa jamaah asal Kota Tasikmalaya yang sakit dan harus dirawat, tapi mereka bisa kembali sehat.

IHRAM

Antara Ilmu yang Diamalkan dan yang Tidak Diamalkan

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسوله، نبينا محمد وآله وصحبه

Ilmu memiliki kedudukan yang mulia dalam agama Islam. Ilmu merupakan cahaya yang menerangi seseorang dalam menjalani kehidupan ini. Dengan ilmu, seseorang menjadi jelas dalam menapaki jalan kebenaran yang mengantarkannya ke surga Allah Ta’ala. Menjadi jelas jalan-jalan kesesatan yang patutnya ia hindari. Seseorang dapat meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat juga karena ilmu. Dan peribadatan kepada Allah Ta’ala tidak akan tegak, kecuali dengan ilmu. Oleh karenanya, Allah Ta’ala menuntut kita mendahulukan ilmu sebelum beramal,

فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْ ࣖ

Ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu.” (QS Muhammad: 19)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syekh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majahno. 224)

Ilmu yang dimaksud dalam hadis di atas adalah ilmu agama, ilmu yang dapat menegakkan agama seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala.

Demikian pula, tujuan penciptaan langit dan bumi ini adalah agar seseorang dapat mengenal Allah Ta’ala,

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ يَتَنَزَّلُ الْاَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ࣖ

Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan) bumi juga serupa. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. At-Thalaq: 12)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah berdoa untuk meminta tambahan sesuatu, kecuali ilmu,

وَقُلْ رَّبِّ زِدْنِيْ عِلْمًا

Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.’” (QS. Thaha: 114)

Dalil-dali di atas menunjukkan keutamaan ilmu dan keagungannya.

Tujuan ilmu adalah amal

Ilmu yang dipelajari tidak akan bermanfaat jika seseorang tidak mengamalkannya. Tujuan mempelajari ilmu bukan sekedar pengetahuan dan wawasan saja, melainkan amal saleh.

Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk meminta jalan yang lurus dan berlindung dari 2 penyimpangan sikap terhadap ilmu. Yang pertama adalah beramal tanpa ilmu. Yang kedua adalah berilmu, namun tidak beramal. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 7)

“Barangsiapa yang berilmu namun tidak beramal, maka mereka adalah yang dimurkai, berhak mendapat murka Allah Ta’ala, disebabkan oleh kelalaian mereka dalam mewujudkan tujuan dari ilmu, yaitu amal saleh. Dan barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, maka mereka adalah orang yang tersesat dari jalan Allah Ta’ala dan jalan yang lurus.” (Tsamaraatul ‘Ilmi Al-‘Amalu, Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin, hal. 13)

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang rusak dari kalangan para ulama kita, maka pada dirinya ada keserupaan dengan orang Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita, maka pada dirinya ada keserupaan dengan orang Nasrani.” (Iqtidha Sirathil Mustaqim, dikutip dari Tsamaraatul ‘Ilmi Al-‘Amalu Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin, hal. 14)

Orang Yahudi, mereka mengetahui dan mengenal Allah Ta’ala dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, namun tidak mau tunduk dan mengikuti. Sedangkan orang Nasrani adalah orang yang bersemangat dalam beramal, namun mereka tersesat karena tidak membangun amal tersebut di atas ilmu yang haq.

Seseorang tidak dapat menegakkan agama, kecuali dengan ilmu dan amal saleh. Karena dengan kedua hal itu, Allah Ta’ala utus Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS. At-Taubah: 33)

Al-huda yakni ilmu yang bermanfaat, diinul haq yakni amal saleh. (Tsamaraatul ‘Ilmi Al-‘Amalu Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin, hal. 11)

Sebab kita dimasukkan ke surga bukan sekedar karena ilmu yang kita ketahui, tetapi karena amal saleh,

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ࣖ

Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 82)

Allah Ta’ala sebutkan iman dan amal saleh sebagai sebab masuk surga. Firman lainnya,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Akibat ilmu yang tidak diamalkan

Di antara balasan yang diberikan Allah Ta’ala bagi yang tidak mengamalkan ilmu yang telah diamanahkan kepada seseorang adalah Allah Ta’ala hilangkan keberkahan dan Allah Ta’ala jadikan hatinya keras tidak dapat menerima hidayah. Allah Ta’ala berfirman,

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِّيْثَاقَهُمْ لَعَنّٰهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوْبَهُمْ قٰسِيَةً ۚ يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهٖۙ وَنَسُوْا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوْا بِهٖۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلٰى خَاۤىِٕنَةٍ مِّنْهُمْ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka, kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maidah: 13)

“Disebabkan oleh pelanggaran janji yang mereka (bani Israil) lakukan, mereka dilaknat”, yakni dijauhkan dari kebenaran dan petunjuk. “Hati mereka menjadi keras”, maknanya yaitu tidak mampu mengambil pelajaran dari peringatan. وَنَسُوْا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوْا بِهٖۚ  maknanya, yaitu mereka meninggalkan beramal atas pesan dan peringatan  yang telah diberikan.” (Tafsir Ibnu Katsir)

“Melupakan janji kepada Allah Ta’ala yang telah diambil oleh para Nabi atas mereka untuk beriman kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Al-Qurthubi)

Ayat ini menunjukkan bahwa meninggalkan amal akan mendatangkan laknat dari Allah Ta’ala. Selain itu, hati juga akan menjadi keras, tidak mampu menerima peringatan dan nasihat. Ketika hati keras dan tidak mendapat petunjuk, maka akan semakin menjauhkan seseorang dari Allah Ta’ala. Dan itu merupakan seburuk-buruk balasan di dunia.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖ يٰقَوْمِ لِمَ تُؤْذُوْنَنِيْ وَقَدْ تَّعْلَمُوْنَ اَنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْۗ فَلَمَّا زَاغُوْٓا اَزَاغَ اللّٰهُ قُلُوْبَهُمْۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Wahai kaumku! Mengapa kamu menyakitiku, padahal kamu sungguh mengetahui bahwa sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu?’ Maka, ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. As-Saff: 5)

Jika ilmu diamalkan

Allah Ta’ala akan menambahkan petunjuk bagi yang mengamalkan ilmunya. Dan Allah Ta’ala juga akan memberikan ketakwaan. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِيْنَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَّاٰتٰىهُمْ تَقْوٰىهُمْ

Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan mereka.” (QS. Muhammad: 17)

“Orang yang mendapat petunjuk adalah orang yang Allah Ta’ala anugerahi kepada mereka untuk mengikuti petunjuk. Hati mereka lapang dengan keimanan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Mereka menjadi orang yang senantiasa mendengarkan (petunjuk) Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Ath-Thabari)

“Maka, Allah akan زَادَهُمْ هُدًى وَّاٰتٰىهُمْ تَقْوٰىهُمْ yakni tambahkan keimanan atas iman mereka. Allah Ta’ala berikan ketakwaan kepada para muhtadin (orang yang mengikuti petunjuk).” (Tafsir Ath-Thabari)

Ayat ini berkenaan dengan orang munafik yang disebutkan pada surah Muhammad ayat 16, di mana kaum munafik tersebut hadir dalam khotbah-khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di hari Jumat. Namun, ketika mereka keluar dari majelis tersebut, mereka bertanya kepada para sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Apa yang telah dikatakan Muhammad?” Mereka adalah orang yang mendengar, namun tidak dapat memahami. Hati mereka telah ditutup sehingga tidak mampu memahaminya.

Adapun orang beriman dan bertakwa, Allah Ta’ala tambahkan ketakwaan dan Allah Ta’ala ilhamkan petunjuk ke jalan yang lurus.

Imam Al-Fakhr rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa orang munafik itu mendengar (seruan Rasul), namun tidak memberi manfaat. Menyimak, namun tidak mendapat faedah. Adapun orang beriman al-muhtadi (yang mendapat petunjuk), mereka mendengarkan dan memahaminya, kemudian beramal dengannya. Sehingga hal ini membantah uzur orang munafik yang mendengar, namun tidak memahami apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Shafwah Tafasir)

Ditambahkannya petunjuk, maksudnya antara lain (Tafsir Qurthubi),

Pertama: Allah Ta’ala tambahkan petunjuk (pendapat Rabi’ bin Anas).

Kedua: Mereka mengetahui apa yang mereka dengar dan mengamalkan apa yang mereka ketahui (pendapat Adh-Dhahak).

Ketiga: Allah Ta’ala tambahkan ilmu agama dan tunduk kepada perintah Nabinya (pendapat Al-Kalbi).

Keempat: Allah Ta’ala lapangkan hati mereka atas keimanan yang mereka yakini.

Ditambahkannya ketakwaan, maksudnya antara lain (Tafsir Qurthubi),

Pertama: Allah Ta’ala hadirkan rasa takut (pendapat Ar-Rabi’).

Kedua: Balasan ketakwaan di akhirat kelak (pendapat As-Suddi).

Ketiga: Allah Ta’ala beri taufik untuk beramal dengan amalan yang diwajibkan (pendapat Muqatil).

Keempat: Allah Ta’ala jelaskan kepada mereka apa yang perlu mereka jauhi (pendapat Ibnu Ziyad dan As-Suddi).

Kelima: Meninggalkan mansukh dan beramal dengan an-nasikh (pendapat ‘Athiyah dan Al-Mawardi).

Keenam: Meninggalkan kemudahan dan beramal dengan sungguh-sungguh.

Demikian. Semoga bermanfaat.

***

Penulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP, FIHA

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85666-antara-ilmu-yang-diamalkan-dan-tidak-diamalkan.html

Teladan Fatimah Az-Zahra Menjadi Seorang Ibu

Berikut ini kisah teladan Fatimah Az-Zahra menjadi seorang ibu. Fatimah Az-Zahra bukan saja manifestasi kelembutan dan kasih sayang seorang istri, namun beliau juga merupakan manifestasi kelembutan dan kasih sayang seorang ibu. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Fatimah seorang yang haniyah, yaitu seorang perempuan yang sangat mengasihi, menyayangi dengan lembut terhadap suami dan anak-anaknya.

Beliau juga mewasiatkan kepada Ali agar senantiasa lembut dan baik terhadap anak-anaknya. Bernazar demi kesembuhan putra-putrinya, bermain, membaca kisah-kisah dan syair-syair untuk putra-putrinya. Mengadakan perlombaan dan mengajari cara penilaian yang terbaik.

Suatu hari, Rasulullah Saw menyuruh Hasan dan Husein untuk berlomba menulis. Barangsiapa yang tulisannya bagus maka dialah yang menang. Hasan dan Husein kemudian menulis, setelah menulis, mereka kemudian menyerahkan tulisannya untuk dinilai oleh sang kakek. Namun, Rasulullah tidak memberikan penilaian, tetapi mereka berdua dikirim ke ibunda mereka untuk memberikan penilaian, karena Fatimah tidak ingin mengecewakan anaknya.

Akhirnya, terbersit suatu ide dari Fathimah, beliau berkata, “Wahai putra-putriku sayang, ibu akan melepaskan butiran-butiran kalung ibu, barang siapa yang mengumpulkan butiran-butiran tersebut maka tulisan dia yang paling bagus.” Ternyata, Hasan dan Husein keduanya mengumpulkan butiran kalung dengan jumlah yang sama, dan keduanya pun menjadi pemenang. Hal ini dilakukan oleh Fatimah sebagai bukti kasih sayangnya terhadap kedua putranya.

Lalu pelajaran apa yang diperolehnya?

Berdasarkan kisah di atas, terlihat teladan Fatimah Az-Zahra yang dapat kita ambil pelajarannya;

Pertama, yang diberikan Fatimah kepada putra dan putrinya, adalah cinta dan kasih sayang. Hati ibu yang penuh kasih dan sayang, dan dengan asuhan yang hangat, serta cinta sang Ayah terhadap putra putrinya dengan tulus. Maka, dengan demikian sangat jelas bahwa kasih sayang adalah pelajaran yang paling penting dalam mendidik anak-anak kita sebagaimana yang telah dilakukan oleh Fathimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib.

Kedua, yang dilakukan Fatimah kepada putra putrinya adalah, menumbuhkan kepribadian agar anak menjadi manusia yang berkualitas. Maka, sebagai seorang pendidik, Fatimah menumbuhkan pada anak-anaknya sikap percaya diri, menghormati orang lain, dan bercita-cita tinggi, menghargai keberadaan dirinya, agar anak jauh dari perbuatan buruk dan tidak menyerah karena merasa hina dan rendah.

Ketiga, yang dilakukan Fatimah adalah menumbuhkan iman dan takwa. Setiap anak harus ditanamkan pendidikan agama islam sejak usia dini, hingga akhir hayatnya, karena merupakan suatu kewajiban bagi setiap umat Islam untuk terus berikhtiar belajar, mencari ilmu sepanjang kehidupannya di dunia. Rasulullah Saw. senantiasa menanamkan ajaran agama dirumah Fatimah sejak masa kanak-kanak yang paling awal bahkan sejak masa penyusuan.

Keempat, yang dilakukan Fatimah kepada putra putrinya, adalah mematuhi aturan dan memperhatikan hak-hak orang lain. Salah satu yang harus diperhatikan oleh para orang tua adalah mengawasi anak-anaknya agar ia tidak melampaui batas terhadap orang lain, menghormati hak-hak mereka, belajar disiplin, dan tidak mengurangi hak orang lain.

Seorang anak yang memperhatikan hak-hak orang lain didalam rumah, maka ia akan senantiasa memperhatikan hak-hak orang lain ketika ia keluar rumah. Sebaliknya jika dalam rumah tangga dikuasai oleh perselisihan dan kekacauan, maka anak-anaknya akan terdidik untuk bermusuhan, melakukan pelanggaran, dan berbuat zalim terhadap orang lain.

Kelima, yang dilakukan Fatimah kepada anak-anaknya adalah berolahraga dan bermain. Olahraga dan bermain juga memiliki banyak manfaat bagi anak-anak, selain untuk kesehatan, juga untuk meningkatkan kecerdasan, lebih sportif, dan melatih jiwa sosialnya, serta membangun kepercayaan diri, membangun kerjasama, menjadi lebih fokus dan juga menjadi lebih bahagia. Olahraga dan bermain juga dilakukan oleh Rasulullah bersama dengan cucunya.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. memegang pundak Hasan dan Husein, dan kaki mereka berdua berada di atas kaki Rasulullah. Lalu beliau berkata, “Naiklah,” Maka anak itu naik sampai kedua kakinya berada di atas dada Rasulullah. Kemudian beliau mengatakan padanya, Bukalah mulutmu”, lalu beliau menciumnya dan setelah itu berdoa, “Ya Allah, sayangilah dia karena aku menyayanginya.”

Masih tentang Fatimah. Selain sebagai seorang sosok ibu dan istri, Fathimah juga aktif dan terjun langsung dalam masyarakat pada bidang dakwah dan pendidikan. Fathimah senantiasa menjawab pertanyaan dari para wanita kota Madinah tentang hukum Islam. Pernah suatu ketika perempuan datang menghadap Sayyidah Fathimah, untuk menanyakan berbagai hukum.

Suatu ketika seorang perempuan hendak bertanya kepada Fatimah “wahai putri Rasul, aku memiliki seorang ibu yang sudah tua. Dia mempunya banyak pertanyaan tentang shalat, karena itu dia mengirimku untuk menanyakan hal ini kepadamu,” kata perempuan tersebut. “Bertanyalah,” kata Fathimah.

Kemudian, perempuan tersebut menanyakan berbagai hukum dan permasalahan, hingga Ia malu untuk bertanya lagi karena banyaknya pertanyaan yang dilontarkan.

Namun, Fathimah masih tetap menjawab semua pertanyaan, dan tidak merasa terbebani atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, bahkan Beliau berkata “aku mendapatkan pahala dari setiap jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan melebihi jarak antara bumi dan arsy dari perhiasan dan mutiara-mutiara, maka pantaskah aku merasa terbebani atas pertanyaan-pertanyaan ini?”.

Demikisan teladan Fatimah Az-Zahra jadi seorang ibu yang sangat lembut dan penuh kasih sayang.  Wallahu a’lam bisshawaab.

BINCANG SYARIAH

Keutamaan Puasa Bulan Muharram 

Berikut ini keutamaan puasa bulan Muharram. Bulan Muharram disebut juga sebagai syahrullah (bulannya Allah). Hal ini menunjukkan betapa mulianya bulan Muharram. Karena mulianya bulan ini, Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan beberapa hal sebagai kesunnahan. 

Salah satunya adalah berpuasa di bulan yang mulia tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang disebutkan oleh ash- Shan’ani di dalam kitab Fath al-Ghaffār al-Jāmi’ liahkām Sunnah Nabiyyinā al-Mukhtār juz. 2, hal. 909, No. 2818:

عن أبي هريرة أن النبي – صلى الله عليه وسلم – سئل أي الصيام بعد رمضان أفضل، قال: ‌شهر ‌الله المحرم

“Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW pernah ditanya, puasa apakah yang paling utama setelah puasa Ramadhan? Rasulullah bersabda, puasa pada bulan Allah, yakni Muharram”.

Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa bulan Muharram adalah waktu yang paling utama untuk melakukan puasa sunnah. Menurut Imam as-Suyuthi di dalam kitab Syarah al-Suyūthi ‘ala Muslim juz. 3, hal. 252, puasa di bulan muharram menjadi puasa (sunnah) yang paling utama karena Muharram adalah awal permulaan tahun. 

Sehingga ketika seseorang membuka lembaran barunya di awal tahun dengan berpuasa maka ia telah membuka awal tahunnya dengan pekerjaan yang paling afdhal. Karena puasa adalah paling utamanya amal.

Selain dari keutamaan yang disebutkan di dalam hadits tersebut, ada pula keutamaan lain ketika seseorang melakukan puasa di bulan Muharram. Di antaranya sebagai berikut:

Pertama, pada bulan Muharram ada satu hari di mana dosa diampuni. Sebagaimana sabda Rasulullah yang disebutkan oleh Ibn Syaibah di dalam kitab al-Kitāb al-Mushannaf fī al-Ahādīts wa al-Atsār juz. 2, hal. 300, No. 9223:

«إِنْ كُنْتَ صَائِمًا شَهْرًا بَعْدَ رَمَضَانَ، فَصُمِ الْمُحَرَّمَ فَإِنَّهُ شَهْرُ اللَّهِ، وَفِيهِ يَوْمٌ تَابَ فِيهِ قَوْمٌ، وَيُتَابُ فِيهِ عَلَى آخَرِينَ»

“Jika kamu melakukan puasa sebulan setelah Ramadhan, maka berpuasalah di bulan Muharram. Karena sesungguhnya Muharram adalah bulannya Allah. Dan pada bulan tersebut terdapat satu hari di mana Allah telah menerima taubatnya satu kaum dan akan menerima taubat kaum yang lain”.

Kedua, puasa di bulan Muharram setara dengan berpuasa 30 hari pada selain asyhurul hurum (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab). Sebagaimana hadis yang dikutip oleh Syekh Ali al-Kalantany di dalam kitab Sīru al-Sālikīn fī Tharīqah al-Sādāt al-Shūfiyyah juz. 1 hal. 137:

صومُ يومٍ مِنْ شهر حرام افضل من ثلاثين من غَيرهِ وصوم يوم من رمضانَ افضلُ من ثلاثين من شهرٍ حرامٍ

“Puasa satu hari di bulan haram lebih mulia dari pada puasa 30 hari di selain bulan haram. Dan puasa satu hari di bulan Ramadan lebih utama daripada puasa 30 hari di bulan haram”.

Ketiga, Rasulullah SAW senantiasa melakukan puasa pada asyhurulhurum yang salah satunya adalah bulan Muharram. Sebagaimana riwayat dari Abu Dawud yang disebutkan di dalam kitab Fiqh al-Shiyām wa al-Hajj min Dalīl al-Thālib juz. 8, hal. 7:

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصوم الأشهر الحرم

“Sesungguhnya Rasulullah SAW sering melakukan puasa pada asyhurul hurum (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab)”.

Demikianlah beberapa keutamaan yang ada di balik melakukan puasa pada bulan Muharram. Selain beberapa keutamaan ini tentu masih banyak keutamaan lain yang akan diberikan kepada orang yang melakukan puasa. Karena puasa sendiri adalah salah satu ibadah yang pahalanya Allah sendiri yang mengetahui kelipatan ganjarannya. 

Demikian penjelasan terkait keutamaan puasa Bulan Muharram. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH