Khutbah Jumat: Lepas dan Sambut Tahun Baru dengan Tiga Perkara

Inilah materi khutbah Jumat singkat yang menguraikan tiga langkah-langkah dan adab saat melepas dan meyambut tahun baru agar bisa menjadi panduan muslim.

Khutbah Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Tahun baru masehi akan segera kita masuki. Kita tinggalkan tahun yang lama dengan sejuta kenangan. Mungkin ada banyak kebaikan yang sudah kita kerjakan, maka kita ucapkan Al-Hamdulillah. Mungkin ada keburukan yang kita lakukan, maka sudah selayaknya kita sesali dengan berucap Astaghfirullah (aku memohon ampunan Allah).

Pergantian tahun, lebih layak jika kita isi dengan kegiatan yang baik. Kita jauhkan diri kita dan keluarga dari kegiatan yang nihil manfaat. Kita sama-sama sudah mengetahui, ada saja umat manusia termasuk umat Islam, yang latah merayakan pergantian tahun dengan hal-hal yang jauh dari semangat memperbaiki keadaan diri, sehingga tidak sadar dalam keadaan yang seperti apa kelak diri ini dihadapkan kepada Allah SWT.

Mari kita menjadi muslim yang melek keburukan agar dapat kita jauhi dan melek kebaikan supaya dapat kita tunaikan. Sepatutnya tiap pergantian masa kita isi dengan hal-hal yang menambah kebaikan dan bobot timbangan pahala kita di sisi Allah SWT. Karena waktu kita di dunia sangat terbatas. Pergantian waktu membuat kita semakin dekat kepada kematian. Apakah layak kita sambut dekatnya kematian dengan hura-hura dan foya-foya? Kita isi dengan kelalaian kepada Allah, dosa, dan maksiat?

Kaum Muslimin, Jamaah Khutbah Jumat yang dimuliakan Allah

Mari kita lakukan langkah-langkah dalam lepas sambut tahun baru sebagai berikut.

Pertama, senantiasa bertobat dan memohon ampun kepada Allah SWT. Setiap kita tidak bisa lepas dari jeratan maksiat. Seandainya ada dari kita yang lepas dari maksiat anggota badan, kita tak bisa lepas dari maksiat berupa keinginan dalam hati untuk berbuat dosa sekecil apapun itu.

Andai kata kita lepas dari maksiat lahir dan batin, kita masih harus menghadapi godaan-godaan setan yang ingin menggelincirkan kita dari mengingat Allah. Seandainya kita merasa bisa menghadapi godaan setan, maka kita tidak bisa lepas dari kelalaian dan kekurangan dalam beribadah Allah SWT.

Jangankan kita sebagai seorang manusia yang pada dasarnya adalah tempatnya salah dan lupa, bahkan Malaikat saja masih mengakui banyak kekurangan dalam beribadah kepada Allah. Rasul ﷺ bersabda :

يوضع الميزان يوم القيامة فلو وزن فيه السموات والأرض لوسعت، فتقول الملائكة: يا رب لمن يزن هذا؟ فيقول الله تعالى: لمن شئت من خلقي، فتقول الملائكة: سبحانك ما عبدناك حق عبادتك

“Diletakkanlah mizan pada hari kiamat. Seandainya ditimbang di dalamnya langit dan bumi, niscaya akan tetap lapang. Malaikat berkata, ‘Wahai Rabb-ku, untuk siapa timbangan ini?’ Allah Ta’ala berkata, ‘Untuk yang Aku kehendaki dari hamba-Ku.’ Malaikat berkata, ‘Maha Suci Engkau, kami tidaklah bisa beribadah kepada-Mu dengan sebenar-benarnya.’” (Diriwayatkan oleh Al-Ajuri).

Intinya, tidak ada seorang pun dari kita yang selamat dari maksiat dan dosa. Karenanya, kita mohon ampun di setiap waktu agar selamat di dunia sampai akhirat.

Jama’ah Khutbah Jumat yang Dimuliakan Allah

Kedua, mari kita tinggalkan tahun sebelumnya dan sambut tahun berikutnya dengan bermuhasabah. Muhasabah berarti koreksi diri. Kita harus memaksa diri ini untuk selalu meninjau dan mengoreksi perbuatan dan perkataan yang sudah kita lakukan selama ini. Dari sinilah kita bisa mendapatkan kesimpulan atas apa yang sudah kita kerjakan. Apakah lebih banyak kebaikan yang kita lakukan di tahun sebelumnya atau sebaliknya, lebih banyak keburukan yang kita tinggalkan dalam kehidupan kita?

Sungguh kita akan merugi jika enggan bermuhasabah. Tidak ada rasa sesal yang muncul ketika kita melewatkan kebaikan. Orang yang mau melakukan muhasabah akan selalu melihat kekurangan pada diri sendiri. Buah manfaatnya adalah tampil menjadi pribadi yang lebih baik lagi dalam pandangan Allah. Al-Quran telah memberikan isyarat agar kita bermuhasabah setelah beramal :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: Al-Hasyr : 18)

Seorang ulama bernama Muhammad bin Wasi` adalah sosok yang mengisi kehidupannya dengan penuh rasa takut yang luar biasa atas dosa-dosanya yang pernah ia lakukan dan digelayuti kerinduan untuk segera berjumpa dengan Allah. Beliau jika ditanya, “Bagaimana keadaanmu pada pagi hari ini?” Beliau menjawab, “Di pagi hari ini, aku merasa kematianku semakin dekat, semakin jauh dari cita-citaku, dan aku merasa amalku hanya berisi keburukan.”

Mari bermuhasabah dengan memperbaiki niat, amal, dan perbuatan dosa yang kita kerjakan. Kita hadirkan muhasabah dalam kehidupan kita dengan sering menunaikan salat tobat, memohon ampun kepada Allah.

Karenanya, apakah layak dan pantas kita lepas tahun yang lama dan sambut tahun yang baru dengan maksiat, sementara amal kita masih dari jauh dari kesempurnaan dan ajal kita semakin dekat?

Hadirin Hafidzakumullah

Langkah ketiga, kita manfaatkan kesempatan hidup yang Allah berikan dan sisa umur yang masih ada dengan beramal kebaikan di jalan Allah dan berbuat hal yang bermanfaat bagi sesama. Suatu hari Baginda Nabi Muhammad ﷺ memberikan nasihat kepada seseorang dengan berkata :

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara : Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR: Al-Hakim)

Masa muda, sehat, kaya, waktu luang, dan hidup di dunia tidak pernah terulang. Bahkan beberapa di antaranya berlaku sekali seumur hidup. Inilah masa-masa yang harus kita manfaatkan dengan kebaikan, persiapan, dan memperbanyak bekal sebelum kita menghadap kepada Allah.

Siapa yang melewatkan kesempatan emas yang telah Allah berikan, maka akan sulit untuk beramal di masa-masa yang berlawanan dari masa sebelumnya.

Untuk itulah, kita jadikan momentum pergantian tahun dengan memasang niat dan tekad kuat bahwa tahun depan harus lebih baik dari tahun sekarang. Kita sudahi gaya penyambutan tahun baru dengan hura-hura. Kita ganti dengan banyak memohon ampun kepada Allah, beristighfar sebanyak-banyaknya.

Kemudian, kita senantiasa melakukan muhasabah dan memanfaatkan kesempatan yang tersisa dengan mengemas amal kebaikan demi meraih ridha Allah SWT, agar kita meninggalkan dunia dalam keadaan husnul khatimah dan masuk ke dalam surga-Nya.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فيِ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ َإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْليِ هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ ليِ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. اَمَّا بَعْدُ :

فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ تَعَالىَ وَذَرُوا الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ وَمَا بَطَنْ، وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ.

وَاعْلَمُوْااَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ، فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاً عَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ،

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ وَالجُنُونِ والجُذَامِ وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا, اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى والتُّقَى والعَفَافَ والغِنَى، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil

HIDAYATULLAH

Larangan Menganggur dan Janji Allah SWT untuk Mereka yang Berusaha

Allah SWT perintahkan hamba-Nya bekerja dengan sungguh-sungguh

Memasuki 2022 ini, para ulama banyak yang memberikan nasihat dan pesat kepada umat Islam agar terus berkarya untuk kebaikan. Hal ini sejalan dengan apa yang difirman Allah ﷻ dalam Alquran, kitab yang menjadi pedoman bagi seluruh umat Islam.

Pendiri Pusat Dakwah Alquran al-Fahmu Institute Jakarta, Ustadz Fahmi Salim, menjelaskan, salah satu prinsip yang Allah tekankan dalam Alqur’an dan terkadang diabaikan adalah prinsip untuk senantiasa melakukan amal pekerjaaan, tidak boleh kosong atau menganggur.

“Jangan ada kevakuman. Karena, kevakuman itu hanya akan memberikan celah bagi setan untuk masuk, sehingga kita justru disibukkan dengan hal -hal yang sia-sia,” kata Ustadz Fahmi dikutip dari bukunya yang berjudul “Tadabbur Qur’an di Akhir Zaman”, Sabtu (1/1).

Lulusan Al Azhar Kairo ini menjelaskan, tidak boleh ada kata menganggur bagi seorang Muslim, tapi harus terus disibukkan dengan melakukan amal-amal kebaikan. Menurut dia, inilah prinsip lugas yang disampaikan dalam ayat Alquran, tepatnya dalam surat Al Insyirah. Allah ﷻ berfirman: 

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ ﴿ ١﴾ وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ ﴿ ٢﴾ الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ ﴿ ٣﴾ وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ ﴿ ٤﴾ فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿ ٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿ ٦﴾ فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ ﴿ ٧﴾ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ ﴿ ٨﴾

Artinya: “Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)? dan Kami pun telah menghilangkan bebanmu darimu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan sebutan (nama)-mu bagimu. Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (QS Al Insyirah [94]: 1-8).

Lebih lanjut, Ustadz Fahmi Salim menjelaskan, ayat tersebut merupakan motivasi bahwa seorang Muslim adalah sosok pekerja keras, bukan pemalas. Menurut dia, seornag Muslim adalah pekerja keras yang berharap hanya kepada Allah ﷻ.

“Surat Al Insyirah ini berisi motivasi bagi para pejuang, penyemangat bagi para petarung, dan pekerja amal-amal kebaikan,” jelas Ustadz Fahmi.

Dia menambahkan, Allah ﷻ memberikan jaminan bahwa setelah umat Islam bersusah payah, bekerja keras dalam hidup, maka ketahuilah setelahnya Allah akan membukakan jalan-jalan kemudahan. “Menariknya, di akhir surat ini, meskipun Nabi Muhammad 

 ﷺ menghadapi urusan yang berat, tetapi Allah  ﷻ justru memerintahkannya untuk terus berjuang, bekerja, dan melakukan amal-amal dakwah. Jangan berpangku tangan, jangan bermalas-malasan, dan jangan mengabaikan waktu yang terus berjalan,” ucap dia. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Ibnu Athaillah: Bukti Kebodohan adalah Menjawab Semua Pertanyaan

Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari merupakan seorang ulama sufi yang lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M. Ibnu Atha’illah tergolong ulama yang produktif dan menulis salah satu kitab paling terkenal dalam Islam, yaitu kitab Al-Hikam.

Di dalam kitab ini, Ibnu Athaillah menjelaskan tentang salah satu bukti kebodohan. Dia mengatakan,

من رأيته مجيبا عن كل ما سئل، ومعبرا عن كل ما شهد، وذاكرا كل ما علم فا ستدل بذالك على وجود جهله

Artinya, “Bukti kebodohan seseorang adalah selalu menjawab semua pertanyaan, menceritakan semua yang dilihat, dan menyebut semua yang diketahui.”

Hikmah yang disampaikan Ibnu Atha’illah ini telah dijelaskan kembali oleh Syekh Abdullah Asy-Syarqawi. Menurut Syekh Abdullah, seorang murid atau seorang arif dianggap bodoh jika ia selalu menjawab, dengan mengungkapkan semua yang dilihat dan dirasakan batinnya, saat ditanya tentang ilmu yang diberikan Allah kepadanya.

Mengapa disebut bodoh?

Karena, menurut Syekh Abdullah, seharusnya ia mengerti bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu dibutuhkan penguasaan yang baik atas ilmu yang bersangkutan. Dan itu amat mustahil. Allah SWT berfirman,

وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا

“Tidaklah kami diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS al-Isra’ [17]: 85).

Semestinya, kata Syekh Abdullah, orang yang menjawab semua pertanyaan itu memerhatikan kondisi sang penanya. Karena, tidak semua orang layak bertanya seperti itu atau cukup mengerti ketika mendengar jawaban atas pertanyaan seperti itu. Menjawab pertanyaan orang semacam ini adalah sebuah kebodohan.

Kemudian, lanjut dia, mengungkapkan semua yang disaksikan sama dengan menyebarkan rahasia yang semestinya disimpan. Orang-orang bijak berkata, “Hati orang-orang merdeka merupakan kuburan rahasia. Rahasia adalah amanat Allah pada seorang hamba.”

Sementara itu, mengungkapkan semua yang diketahui merupakan bukti tidak adanya kemampuan dalam memilah-milah ilmu pengetahuan. Bisa jadi, kata Syekh Abdullah, di antara ilmu yang diketahuinya itu ada yang tidak layak untuk diberitahukan kepada orang lain, karena bisa membahayakan, mendatangkan kerusakan, atau penolakan manusia.

Rasulullah SAW bersabda, “Di antara ilmu ada yang bagaikan mutiara berlumuran tanah yang tidak diketahui (bahwa itu mutiara), kecuali oleh ulama yang mengenal Allah. Jika ilmu itu diperlihatkan kepada manusia, niscaya orang-orang yang lalai kepada Allah akan menolaknya.”

IHRAM

Surah As Sajdah Ayat 5: Tingginya Arsy yang Berjarak Tempuh Ribuan Tahun

Banyak dalil-dalil dalam Al Quran yang menjelaskan tentang kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Tidak terkecuali dalam surat As Sajdah ayat 5 yang menjelaskan tentang kuasa Allah dalam mengurus segala urusan di alam semesta ini.

Adapun bacaan selengkapnya dapat disimak pada pemaparan berikut,

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ

Bacaan latin: Yudabbirul-amra minas-samā`i ilal-arḍi ṡumma ya’ruju ilaihi fī yauming kāna miqdāruhū alfa sanatim mimmā ta’uddụn

Artinya: “Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.”
Baca juga:
Surah 13 Ayat 28 dalam Al Quran: Banyak Zikir, Hidup Tenang

Berdasarkan penafsiran dari Al Quran Kemenag, maksud kalimat satu hari yang berkadar seribu tahun di atas merujuk pada lamanya waktu kehidupan alam semesta sejak diciptakan hingga hari kiamat.

Hal ini juga disebut untuk menyatakan waktu yang tidak terhingga milik Allah SWT dalam mengurus segala urusan langit dan bumi.

“Perkataan seribu tahun dalam bahasa Arab tidak selamanya berarti 1000 dalam arti sebenarnya, tetapi kadang-kadang digunakan untuk menerangkan banyaknya sesuatu jumlah atau lamanya waktu yang diperlukan,” tulis Kemenag.

Selain itu, makna kalimat ‘..(urusan) itu naik kepadaNya..’ dalam surah As Sajdah ayat 5 menjelaskan bahwa segala sesuatunya akan kembali kepada Allah SWT. Segala urusan yang ‘dipinjamkan’ oleh Allah SWT akan dikembalikan kepadaNya pada saat hari penghisaban.
Tingginya Arsy, Langit Tertinggi Kedudukan Allah SWT

Waktu tempuh menuju lapisan langit tertinggi, tempat kedudukan Allah SWT, dijelaskan dalam surat As Sajdah ayat 5 ini. Menurut tafsir Ibnu Katsir, maksud dari ‘..(urusan) itu naik kepadaNya..’ juga dapat bermakna segala amal perbuatan dilaporkan oleh para malaikat pencatat ke atas langit yang terdekat.

Sementara itu, jarak terdekat antara langit dan bumi sama dengan jarak perjalanan lima ratus tahun. Hal ini dapat diartikan ketebalannya bisa melebihi jarak tempuh lima ratus tahun dan berada di luar kemampuan manusia untuk menghitungnya.
Baca juga:
Surat At Taubah Ayat 122 Tentang Menuntut Ilmu dan Jihad, Sama Pentingnya?

Namun, hal ini tidak berlaku bagi malaikat yang hanya membutuhkan waktu hingga sehari saja untuk menghadapNya.

“Mujahid, Qatadah, dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa jarak yang ditempuh oleh malaikat yang turun ke bumi adalah lima ratus tahun. Begitu pula naiknya sama dengan perjalanan lima ratus tahun, tetapi malaikat dapat menempuhnya sekejap mata,” tulis Ibnu Katsir dalam tafsir surat As Sajdah ayat 5.

Hal ini juga dijelaskan dalam surat Al Ma’arij ayat 4 yang berbunyi

تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

Artinya: “Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun.”

Wallahu’alam.

DetikHIKMAH

Muhasabah Diri

Islam mengenal konsep muhasabah yang tidak menunggu masa tahunan.

Perhitungkan dirimu sebelum kamu diperhitungkan dan timbanglah dirimu sebelum kamu ditimbang dan bersiap-siaplah untuk pameran yang paling besar.

Akhir tahun kerap menjadi momentum untuk berbenah diri. Evaluasi, introspeksi dan resolusi pun disusun demi meraih pencapaian terbaik pada tahun berikutnya.

Islam mengenal konsep muhasabah yang tidak menunggu masa tahunan. Upaya menghitung diri bisa dilakukan setiap hari sesuai dengan firman Allah SWT. 

Yaa ayyuhalladzii naamanuttaqullaha wal tanzhur nafsun ma qadda mat lighad. Wattaqullah. Innallaha khabirun bimaa ta’malun.” (QS al-Hasyr: 18). Yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah (dengan mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya), dan hendaklah setiap diri melihat dan memperhatikan apa yang telah dilakukan (dari amal-amalnya) untuk hari esok (hari Akhirat). dan (sekali lagi diingatkan) bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahateliti akan segala yang kamu kerjakan.”

Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah menjelaskan, dalam ayat ini, Allah SWT memberi perintah takwa hingga dua kali. Dua perintah tersebut mengapit imbauan agar kita memperhatikan segenap amal yang sudah diperbuat.

Takwa yang pertama, ujar Quraish, berada dalam konteks ajakan kepada kaum Muslimin agar tidak bernasib seperti orang Yahudi dan munafik yang mendapatkan siksa duniawi dan ukhrawi. Karena itu, kita diminta bertakwa agar terhindar dari siksa Allah baik dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Perintah takwa kedua didorong rasa malu atau untuk meninggalkan amalan negatif. Hal ini tampak jelas dari kalimat, “Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah meliputi pengetahuan-Nya akan segala yang kamu kerjakan.”

Quraish menjelaskan,  perintah untuk memperhatikan apa yang diperbuat untuk hari esok merupakan  perintah untuk melakukan evaluasi terhadap segenap amal yang telah dilakukan. Analoginya bak seorang tukang yang telah menyelesaikan pekerjaannya.

Ia dituntut untuk memperhatikannya kembali agar menyempurnakannya bila telah baik atau memperbaikinya bila masih ada kekurangan. Jika tiba saatnya diperiksa, tidak ada lagi kekurangan karena barang tersebut sudah tampil sempurna. Demikian dengan setiap mukmin yang dituntut untuk terus menjadi lebih baik.

Para ulama menjelaskan, ada tiga dimensi waktu pada ayat tersebut. Pertama, masa sekarang dan yang akan datang dalam kalimat wal tanzhur. Karena itu, ayat tersebut bisa dimaknai hendaknya setiap jiwa itu dalam keadaan terus menerus memperhatikan apa yang telah dia lakukan.

Dimensi kedua yakni masa lalu. Apa yang telah dia lakukan. Sementara itu, dimensi berikutnya adalah masa depan (lighadin) yang dimaknai sebagai akhirat.  Karena itu, kita diminta untuk mengevaluasi perbuatan pada masa lalu dengan fokus terhadap amal-amal yang sedang kita lakukan sebagai inventarisasi dan pertanggungjawaban pada tak hanya hari esok tetapi sampai kepada akhirat.

Muhasabah berasal dari kata bahasa Arab hasaba-yahsubu-hisaban yang berarti menghitung. Dalam sebuah kesempatan, Umar bin al-Khattab berpesan untuk senantiasa melakukan perhitungan diri dengan perkataan yang artinya: “Perhitungkan dirimu sebelum kamu diperhitungkan dan timbanglah dirimu sebelum kamu ditimbang dan bersiap-siaplah untuk pameran yang paling besar.”

Sebagian ulama menyatakan bahwa muhasabah diri adalah kesiapan akal untuk menjaga dirinya dari perbuatan khianat dan senantiasa bertanya dalam setiap perbuatan yang dia lakukan, “Mengapa dia melakukannya dan untuk siapa dia lakukan?”

Apabila ternyata perbuatannya itu karena Allah, maka dia melanjutkannya. Namun bila dia berbuat karena selain Allah maka segera dia menghentikannya, dan menyalahkan dirinya atas kekurangan dan kesalahan yang dia lakukan.

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan apabila seorang hamba telah memberikan persyaratan kepada dirinya dalam melaksanakan kebenaran pada pagi harinya dan waktu sore, dia hendaknya menuntut dirinya dan menghisabnya atas segala gerak dan diamnya.

Hal ini sebagaimana apa yang dilakukan para pedagang terhadap barang dagangannya setiap akhir tahun, atau akhir bulan, bahkan setiap hari. Demikian besarnya harapan untuk memperoleh keuntungan dan takut mengalami kerugian sehingga perjalanan waktu terasa amat cepat dan singkat.

Kapan waktu yang tepat untuk memuhasabah diri? Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan, betapa besar manfaat seseorang untuk duduk sebentar sesaat sebelum tidur untuk memuhasabah diri.

Dia bisa melihat apa yang dialami pada hari itu, apakah keuntungan dan kerugian. Dia memperbaharui taubat nasuha antara dirinya dengan Allah SWT. Kemudian, dia tidur dengan tobatnya dan bertekad untuk tidak mengulangi dosa saat terjaga nanti.

Jika amalan ini dilakukan setiap malam, Ibnu Qayyim menjelaskan, seseorang yang mati dalam kondisi demikian, maka ia mati dalam keadaan tobat. Jika terjaga, maka dia berada dalam kondisi siap beramal dan bergembira karena ajalnya ditangguhkan. Dia pun bisa menghadap keharibaan Tuhannya dan memperbaiki kekurangannya.

Wallahu a’lam.

OLEH A SYALABY ICHSAN

KHAZANAH REPUBLIKA

Apa yang Dimaksud dengan Merasa Aman Dari Makar Allah?

Fatwa Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafidzahullahu ta’ala

Pertanyaan:

Apakah yang dimaksud dengan merasa aman dari makar (azab) Allah? Apakah seorang mukmin yang banyak beramal salih akan tercegah dari merasa aman terhadap makar Allah? Lalu bukankah Allah menjanjikan kebaikan yang banyak dan pahala yang mulia? Bagaimana mengkompromikan antara larangan merasa aman dari makar Allah dan berprasangka baik kepada Allah?

Jawaban:

Seorang mukmin wajib untuk senantiasa merasa memiliki rasa takut (khauf) dan harap (roja’). Janganlah ia berlebihan dalam rasa harap sampai ia merasa aman dari makar Allah, karena Allah Ta’ala berfirman,

‏أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ اللَّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ‏

“Maka apakah mereka merasa aman dari makar Allah (azab Allah yang tiada terduga)? Tidak ada (tiada) yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang merugi” (QS. Al-A’raaf: 99).

Maka merasa aman dari makar Allah akan membawa kepada maksiat, dan membawa kepada tidak adanya rasa takut (khauf) kepada Allah Ta’ala.

Demikian juga, seseorang jangan berlebihan di sisi khauf, sampai ia merasa putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya berputus asa dari rahmat Allah adalah kekufuran. Allah Ta’ala berfirman,

‏وَمَن يَقْنَطُ مِن رَّحْمَةِ رَبِّهِ إِلاَّ الضَّآلُّونَ‏

“Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Rabbnya kecuali orang-orang yang sesat” (QS. Al-Hijr: 56).

Allah Ta’ala juga berfirman,

‏إِنَّهُ لاَ يَيْأَسُ مِن رَّوْحِ اللَّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ‏

“Sesungguhnya tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang kufur” (QS. Yusuf: 87).

Berprasangka baik (husnuzan) kepada Allah haruslah dibarengi dengan menjauhi maksiat. Jika tidak demikian, maka itulah (yang disebut dengan) merasa aman dari makar Allah Ta’ala. Begitu pun, berbaik sangka kepada Allah juga dibarengi dengan mengerjakan sebab-sebab pembawa kebaikan, dan meninggalkan sebab-sebab pembawa keburukan. Itulah rasa harap (roja’) yang terpuji.

Adapun husnuzan kepada Allah Ta’ala yang dibarengi dengan meninggalkan kewajiban dan mengerjakan perkara yang diharamkan, maka ini adalah rasa harap yang tercela. Itulah merasa aman dari makar (azab) Allah Ta’ala.

***

Penerjemah: Muhammad Fadhli

Sumber: http://iswy.co/e3hks

Sumber: https://muslim.or.id/71284-apa-yang-dimaksud-dengan-merasa-aman-dari-makar-allah.html

Cerita Lancarnya Uji Coba Umroh 84 Anggota Amphuri

Uji coba umroh 84 pimpinan pemilik travel anggota Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) berjalan lancar. Kelancaran uji coba umroh sudah terasa oleh rombongan sejak di bandara Tanah Air.

“Alhamdulilah rombongan perdana unsur pimpinan PPIU anggota Ampuri yang berangkat ke Tanah Suci tanggal 30 dan tanggal 31 jam satu tiga puluh satu dini hari tiba dengan selamat di Jeddah,” kata Ketua Amphuri Firman M Nur, saat dihubungi Republika, kemarin.

Firman menceritakan, bagaimana kelancaran proses kedatangan di airport Jeddah. Di sana kata dia semua proses yang dilalui oleh 84 rombongan Amphuri berjalan sengat lancar tidak ada hambatan

“Artinya memang pemerintahan Saudi Arabia semenjak membuka pintu umroh bagi jamaah Indonesia ke tanah Suci telah memberikan, menetapkan prosedur kedatangan yang sangat mudah,” ujarnya.

Saat tiba di Jeddah, rombongan hanya melalui cek pemeriksaan bukti PCR yang sah dari tiga laboratorium yang di tunjuk oleh GACA, yaitu Kartika Pulau Mas dan dua laboratorium lainnya . 

“Hanya itu saja pemeriksannya,”katanya.

Karena secara vaksinasi telah melakukan skrening sistem ketika mengajukan vis dan selanjutnya para pimpinan PPIU dari anggota Amphuri langsung menuju imigrasi. Pada tahapan proses imigrasi di Saudi Arabia juga sangat lancar dan keadaan ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang antriannya bisa sampai tiga jam.

“Kita tidak lama mengantri di imigrasi, proses sangat cepat dan petugas-petugas imigrasi sekarang sudah punya mental servis yang cukup baik,” katanya.

Setelah selesai proses kemigrasian, rombongan langsung mengambil bagasinya masing- masing. Setelah itu rombongan keluar dan disambut dengan hangat oleh pihak muasasah sebagian daripada tendor yang melayani pimpinan PPIU yang bekerja sama dengan Ampuri.

Rombongan kata Firman disambut dengan sangata romantis oleh para muasasa dengan tradisi Arab yaitu mereka membagikan kurma dan manisan serta setiap peserta mendapatkan bunga. Bunga mawar merah ini dibentuk dengan sangat indah dikalungkan kepada para rombongan. 

“Ini bagian daripada sambutan yang sangat sangat terbuka dan sangat welcome dari mereka terhadap kedatangan jamaah dari Indonesia,” katanya.

IHRAM

Hukum Menangis dalam Salat

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Bagaimana hukum menangis ketika membaca Al-Qur’an dalam salat? wajazakallah khairan ?

Jawab:

Dibolehkan menangis, merengek, dan merintih bagi orang yang salat jika memang ia tidak mampu menahannya.  Hal tersebut didasarkan pada dalil firman Allah Ta’ala,

إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَن خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا

“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pengasih kepada mereka, maka mereka tunduk sujud dan menangis.” (QS. Maryam : 58)

Ayat ini merupakan dalil umum baik untuk orang yang salat maupun selainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ketika salat,

وَفِي صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ المِرْجَلِ مِنَ البُكَاءِ

“… di dadanya ada suara seperti air yang mendidih karena menangis.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu HIbban, dan Ahmad, dari hadis Abdullah bin Syikhir radhiyallahu ‘anhu. Disahihkan Al-Albani dalam At-Ta’liqatul Hisan [750])

Begitu pula, saat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sedang sakit menjelang ajalnya, beliau menugaskan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu untuk mengimami jamaah. Aisyah radhiyallahu ‘anha kemudian berkata,

إِنَّ أَبا بكرٍ رجلٌ رَقيقٌ إِذا قرأَ غلبَهُ البكاءُ

“Sesungguhnya Abu Bakar adalah laki-laki yang hatinya lembut, apabila ia membaca Al-Qur’an, ia selalu menangis.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda,

مُروهُ فيصلِّي

Suruhlah Abu Bakar untuk memimpin salat (bersama orang-orang).

Aisyah radhiyallahu ‘anha mengulangi jawabannya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun kembali bersabda,

مُروه فيُصلِّي، إِنَّكنَّ صَواحِبُ يوسفَ

Suruhlah dia untuk memimpin salat. Kalian ini seperti isteri-isteri Yusuf!” (HR. Al-Bukhari dari hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu)

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau melaksanakan salat subuh dan membaca surah Yusuf hingga sampai pada ayat (86), “Terdengarlah nasyij-nya” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq, Ibnu Syaibah, Abdur Razaq, dan Al Baihaqi dari Abdullah bin Syadad. Disahihkan Ibnu Hajar dalam Taghliq at-Ta’liq [2/300]).

Adapun yang dimaksud dengan an-nasyij disini adalah suara yang membawa isak dan tangis. (An-Nihayah karya Ibnu Atsir V/52-53)

Wal ‘ilmu indallahi ta’ala.

Sumber  :

https://ferkous.com/home/?q=fatwa-849

Penerjemah: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/71221-hukum-menangis-dalam-shalat.html

Bagaimana Seharusnya Toleransi Beragama antar Negara Islam?

Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu ta’ala

Pertanyaan:

Menurut anda, sampai mana batasan toleransi yang dapat menjaga hubungan keislaman antar negeri-negeri Islam satu sama lain?

Jawaban:

Toleransi yang dilakukan wajib terikat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Artinya, melakukan toleransi sebatas pada perkara-perkara yang dibolehkan oleh syariat untuk bertoleransi.

Pemerintah di negeri Arab dan Islam wajib untuk saling menasihati satu sama lain. Mereka juga wajib berhukum dengan syariat Allah dalam mengurusi masyarakatnya. Begitu pun wajib bagi mereka untuk saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Tidak boleh menganggap remeh terhadap apa yang telah disyariatkan oleh Allah Ta’ala. Bahkan, mereka wajib untuk berhukum dengan syariat Allah, patuh terhadap syariat Allah,  dan mewajibkan rakyat mereka untuk tunduk kepada syariat Allah Ta’ala. Ini adalah jalan keselamatan, jalan kemuliaan, jalan pertolongan, dan jalan persatuan.

Adapun toleransi di luar ranah hukum syariat; seperti saling memberikan keringanan terhadap utang-piutang, saling menolong satu sama lain, atau perkara lain yang dibolehkan oleh syariat, maka tidak mengapa dilakukan.

***

Penerjemah: Muhammad Fadhli

Sumber: http://iswy.co/e104md

Sumber: https://muslim.or.id/71286-bagaimana-seharusnya-toleransi-beragama-antar-negara-islam.html

Hemat Menggunakan Air Seperti Rasulullah

Rasulullah SAW telah mengajarkan bagaimana cara bijak bagi manusia untuk menggunakan air. Pada zaman Rasulullah SAW, penduduk Arab kala itu sudah membuat kamar mandi di dalam rumah.

Namun demikian, kamar mandi tersebut tidak disediakan kloset untuk membuang air besar. 

Ustaz Ahmad Sarwat dalam buku Mengenal Lebih Dekat Kehidupan Zaman Nabi SAW menjelaskan, meski Madinah merupakan daerah yang subur namun bukan berarti wilayah tersebut berlimpahkan air yang banyak sebagaimana wilayah-wilayah di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Jumlah curah hujan yang berbeda antara dua kawasan ini tentunya berpengaruh terhadap jumlah cadangan air bagi masyarakat yang hidup di dalamnya. 

Di masa Nabi, ketersediaan air baik itu di Makkah maupun Madinah berbeda dengan kondisi sekarang. Di Makkah meskipun ada sumur air zamzam yang airnya deras mengalir hingga sekarang, namun teknologi di masa itu masih amat sederhana. Pada masa itu, air sumur zamzam belum lagi dialirkan ke rumah-rumah penduduk. 

Sehingga penduduk Makkah meski tidak kekurangan air, namun secara teknis mereka tetap harus mengangkut air secara manual dari sumber air ke rumah mereka. Entah menggunakan kendi atau pun tempayan. Sehingga pola hidup masyarakat kala itu menjadi sangat hemat dalam menggunakan air. 

Dan karena tidak setiap rumah memiliki sumur, maka mereka amat sangat hemat menggunakan air. Salah satunya dengan cara tidak mandi rutin sehari dua kali. Saking perhitungannya, Ustaz Sarwat menyebut, umat Islam mengenal adanya hadis bagaimana hematnya Nabi ketika menggunakan air untuk berwudhu atau mandi janabah.

Jika Nabi mandi, airnya hanya satu sha alias 3,5 liter. Jika beliau berwudhu maka beliau hanya membutuhkan satu mud, atau kira-kira 0,7-0,8 liter air. Di dalam salah satu hadis, Rasulullah berwudhu hanya dengan satu mud. 

Rasulullah SAW bersabda, “Kaana Rasulullahi SAW yatawaddha-a bil-muddi wa yughtasilu bisshaa’i ila khamsatu amdaa-din,”. Yang artinya, “Rasulullah SAW berwudhu dengan satu mud air dan mandi dengan satu sha hingga lika mud air,” (HR Bukhari Muslim). 

IHRAM