Hukum Memelihara Boneka Arwah

oneka arwah atau spirit doll belakangan viral di media sosial dan media maenstream. Boneka arwah kian mendapatkan tempatnya di Indonesia disebabkan tren di kalangan artis. Yang secara terang-terangan mengaku adopsi boneka tersebut selayaknya bayi yang hidup.

Lantas bagaimana sebenarnya hukum bermain dengan boneka arwah? Pun bagaimana fikih tentang mengadopsi boneka arwah?

Pada dasarnya hukum bermain boneka bagi anak perempuan hukumnya boleh. Hal sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, bahwa Aisyah binti Abu Bakar pernah bermain boneka disaksikan Rasulullah, beliau tidak melarangnya.

كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَكَانَ لِى صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِى ، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَىَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِى

“Aku dahulu pernah bermain boneka di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Aku memiliki beberapa sahabat yang biasa bermain bersamaku.

Ketika Rasululah shallallahu ‘alaihi wa salam masuk dalam rumah, mereka pun bersembunyi dari beliau. Lalu beliau menyerahkan mainan padaku satu demi satu lantas mereka pun bermain bersamaku” (HR. Bukhari no. 6130).

Sementara itu dalam kitab Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyyah, bahwa para  jumhur ulama menyatakan boleh bagi anak perempuan bermain boneka. Akan tetapi ada pengecualian dari  Qadhi Iyad. Ia menjelaskan bahwa kebolehan bermain boneka tersebut saat anak-anak tersebut masih kecil (belum baligh).

Pendapat itu dibantah oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari, yang menjelaskan bahwa perempuan yang sudah balik masih diperbolehkan untuk bermain boneka, dan memajang boneka. Pasalnya, ada hadis yang menunjukkan Aisyah masih bermain boneka sesaat setelah perang Tabuk, walhasil Aisyah sudah baligh ketika itu (red; perang Tabuk).

Simak penjelasan kitab Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyyah berikut;

تقدم ان قول الجمهور جواز صناعة اللعب المذكورة . فاستعمالها جائز من باب اولى, ونقل القاضي عياض جوازه عن العلماء , وتابعه النووي في شرح صحيح مسلم, قال : قال القاضي ; يرخص لصغار البنات.

والمراد بصغار البنات من كان غير بالغ منهن — إلى أن قال — وقال ابن حجر وفي الجزم فيه نظر لكنه محتمل لأن عائشة رضي الله عنها كانت في غزوة خيبر بنت أربع عشرة وأما في غزوة تبوك فكانت قد بلغت قطعا فهذا يدل على أن الترخيص ليس قاصرا على من دون البلوغ منهن بل يتعدى إلى مرحلة ما بعد البلوغ ما دامت الحاجة قائمة لذلك.

Artinya; Telah terdahulu pendapat para ulama bahwa bermain /membuat boneka hukumnya diperbolehkan. Dan memakainya juga boleh, itu sudah di bab pertama. Qadhi Iyad menukilkan pendapat bahwa ulama membolehkan bermain boneka.

Pendapat tersebut diikuti oleh Imam Nawawi dalam kitab Shahih Muslim, Imam Nawawi berkata; Qadi Iyad berkata; keringanan hukum bermain boneka diperbolehkan disebabkan karena masih kecil.

Yang dimaksud dengan anak-anak perempuan kecil adalah mereka yang belum sampai baligh-sampai ucapan- . Dan Ibnu Hajar berkata,”dan masih terdapat perdebatan mengenai kepastian tersebut, melainkan masih ada kemungkinan karena Aisyah.

Pasalnya, pada saat perang Khaibar adalah gadis berumur empat belas tahun, sedangkan pada saat perang Tabuk, sudah baligh, maka hal ini menunjukkan bahwa kemurahan tersebut bukan hanya karena belum baligh akan tetapi juga sampai pada sesudah baligh selama masih terdapat hajat.

Untuk persoalan memajang boneka dan gambar, Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi, dalam kitabnya Mausu’ah Fatawa as-Sya’rawi, menyebutkan  bolehnya memajang gambar makhluk bernyawa. Simak penjelasannya;

 س: ما القول فيمن يزينون الحائط برسوم بعض الحيوانات؟ هل هذه ينطبق عليها ما ينطبق على التماثيل البارزة المجسدة من تحريم؟   (ج): يقول فضيلة الشيخ الشعراوى: لا شيء في ذلك، ولكن ما حرم هو ما يفعله البعض لتقديس وتعظيم هذه الحيوانات، أما أن ترسم لكي يستعمل في الزينة فلا مانع من ذلك   “

Soal; Bagaimana pendapat Syekh terkait seseorang yang menghiasi tembok dengan gambar ataupun lukisan sebagian hewan? Apakah dalam permasalahan ini, sebagaimana berlaku pada patung yang berbentuk jasad yakni hukum haram?

Jawaban Syekh as-Sya’rawi; Persoalan di atas (gambar dan lukisan yang bernyawa) tidak perlu dipermasalahkan, hal yang diharamkan adalah perbuatan yang dilakukan sebagian orang berupa mengultuskan dan mengagungkan gambar hewan tersebut. Sedangkan melukis hewan dengan tujuan untuk digunakan menghias (tembok) maka tidak ada larangan.

Adapun persoalan terkait boneka arwah yang mengandung unsur kleniknya sebaiknya dihindari, jika sampai menimbulkan mudharat. Terlebih bila sampai menyesatkan akidah kaum muslimin. Demikian penjelasan tentang hukum memelihara boneka arwah.

BINCANG SYARIAH

Terbitkan M-Paspor, Kini Buat Paspor Cukup Lewat Aplikasi

Ditjen Imigrasi Kemenkumham menerbitkan aplikasi M-Paspor.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menerbitkan aplikasi M-Paspor. Melalui aplikasi itu, pemohon paspor kini dapat mengajukan permohonan dengan mengunggah scan berkas ke aplikasi. Sehingga pemohon paspor tidak perlu menunggu lama untuk petugas mengunggah dan memasukkan data permohonan. 

“Dalam aplikasi M-Paspor terdapat fitur-fitur yang mengakomodasi tahapan permohonan paspor yang biasa dilakukan secara tatap muka. Fitur-fitur tersebut antara lain Pembayaran PNBP di Awal, Reschedule Jadwal Kedatangan, Cek Status Permohonan Paspor, Validasi NIK Dukcapil dan Integrasi Dokumen Perjalanan RI,” ujar Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi, Arya Pradhana Anggakara, dalam siaran persnya, Jumat (31/12).

Menurut Arya, pemohon dapat mengunduh aplikasi M-Paspor pada Playstore dan menginstal di gawai. Selanjutnya pemohon mengunggah berkas persyaratan dan memilih kantor imigrasi serta jadwal kedatangan yang diinginkan. 

Kemudian berikutnya pemohon harus melakukan pembayaran di kanal-kanal yang tersedia baik secara daring seperti marketplace maupun luring seperti bank, Kantor Pos dan minimarket. Batas waktu pembayaran, yaitu dua jam setelah dokumen diunggah.

“Untuk saat ini kami masih soft launching, kantor Imigrasi yang akan membuka kuota antrean paspor pertama kali di aplikasi M-Paspor adalah Kantor Imigrasi Jakarta Selatan, Kantor Imigrasi Jakarta Pusat, dan Kantor Imigrasi Tangerang.”, tutur Arya. 

Sementara ini, kata Arya, aplikasi M-Paspor baru dapat diakses oleh pengguna gawai Android. Sedangkan, versi iOS masih dalam tahap approval oleh Appstore. “Untuk tahap terakhir, yaitu penyerahan paspor, pemohon dapat meminta paspor yang sudah jadi untuk dikirimkan ke rumahnya melalui jasa PT Pos Indonesia,” kata Arya.

IHRAM

M-Paspor Beri Alternatif Jamaah Membuat Paspor

Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM mengundang beberapa Kementerian/Lembaga (K/L) untuk melakukan uji coba aplikasi Mobile Paspor (M-Paspor). Salah satu yang diundang adalah Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama.

Kepala Subdit Dokumen dan Perlengkapan Haji Reguler, Nasrullah Jasam, mengatakan kedatangan mereka adalah untuk melihat alur aplikasi M-Paspor yang masih dalam tahap pengembangan, serta masih melayani permohonan M-Paspor baru dan penggantian.

Ia menilai aplikasi M-Paspor ini dapat memberikan alternatif kepada jemaah haji untuk membuat paspor. Sebelumnya Ditjen Imigrasi juga sudah memliki fasilitas pembuatan paspor seperti Paspor Keliling dan Eazy Paspor.

“Program M-Paspor ini memberikan alternatif jamaah dalam membuat paspor. Sebelumnya juga ada program paspor keliling, eazy paspor dan sekarang ada pilihan lagi M-Paspor,” ujar Nasrullah dalam keterangan yang didapat Republika, Kamis (6/1).

Ia berharap, dalam masa pandemi seperti saat ini, aplikasi M-Paspor menjadi salah satu alternatif pembuatan paspor. Layanan ini dapat menghemat waktu dan menghindari kerumunan.

Nasrullah menyebut di masa pandemi ini, jamaah bisa memanfaatkan M-Paspor karena prosesnya sangat singkat,  dimana kurang dari empat menit semua prises telah selesai. Karenanya, layanan ini bisa menjadi pilihan jamaah dan bisa dimanfaatkan.

Pihaknya juga sudah memberikan masukan-masukan terkait aplikasi M-Paspor. Salah satunya, pada kolom nama pemohon paspor diharap dapat disesuaikan dengan sistem dari Pemerintah Arab Saudi.

“Saya kira ini harus direspon dengan baik dan akan disampaikan juga sampai ke level jamaah agar dapat memanfaatkan fasilitas M-Paspor ini,” lanjut dia.

Kedepannya, ia sangat berharap bisa tetap bersinergi dengan Imigrasi, mengingat ada banyak fasilitas yang dapat memudahkan jamaah haji.

“Prinsipnya kita persiapkan segala sesuatunya, mudah-mudahan tahun 2022 ini ada haji dan program M-Paspor ini dapat memberikan alternatif pembuatan paspor kepada jemaah,” ujarnya.

Direktur Lalu lintas Keimigrasian Ditjen Imigrasi, Arman Aris, mengatakan undangan bagi beberapa K/L dalam uji coba ini adalah untuk meminta usul, saran dan masukan, dalam menyempurnakan sistem yang nantinya akan dievaluasi dan diperbaiki. Hal ini dilakukan demi pelayanan prima kepada masyarakat pengguna jasa keimigrasian, khususnya perihal paspor. 

“Uji coba M-Paspor ini untuk melihat kelemahan-kelemahan pada aplikasi. Mudah-mudahan tanggal 26 Januari nanti akan dilaunching di seluruh Indonesia,” ujar Amran.

Terkait layanan haji dan umrah, Kantor Imigrasi masih bekerjasama dengan Kantor Kemenag Kabupaten/Kota serta Pemerintah Daerah (Pemda) setempat untuk melayani jamaah. Mereka yang ingin membuat paspor dengan mendatangi Kanim setempat, memanfaatkan fasilitas Paspor Keliling, fasilitas Eazy Paspor ataupun dengan jemput bola.

“Kita jemput bola atau menggunakan eazy pasport bagi calon jamaah haji. Kalau umrah, mereka bisa datang ke Kantor Imigrasi terdekat atau menggunakan layanan eazy pasport, ataupun bisa dengan kolektif agar terlaksananya pelayanan prima dan terhindar dari calo,” ucap dia.

Uji coba M-Paspor ini disebut akan dilakukan di tiga Kantor Imigrasi yang dimulai pada tanggal 4 hingga 20 Januari 2022. Adapun tiga kantor yang dimaksud adalah Kantor Imigrasi Jakarta Selatan, Kantor Imigrasi Jakarta Pusat dan Kantor Imigrasi Tangerang. 

IHRAM

Kiat Meraih Kebahagiaan Sejati

Mengapa banyak orang merasa tak bahagia hatinya?

Ya, karena ia memandang kebahagiaan dengan sudut pandang orang lain. Realitanya, ada seorang ibu yang tetap bisa menikmati oase kebahagiaan meski harus bekerja 24 jam mengurus rumah tangga, apa rahasianya? Karena ia memaknai semua yang dilakukannya adalah sebuah ibadah kepada Allah Ta’ala. Mungkin seseorang hidup di desa yang banyak penyakit, dengan kehidupan ekonomi yang tidak cukup baik, namun ia merasa bahagia karena dia merasa semua yang terjadi adalah hal terbaik yang ditetapkan Allah Ta’ala. Ini merupakan bukti keimanannya kepada takdir Allah Ta’ala.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Segala sesuatu yang menyakitkan jiwa dan menyusahkannya adalah sebagai penghapus dosa.” (Majmu’ Rasail, 17/4).

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata: “Telah sampai kepada kami bahwa pahala yang paling banyak didapati seorang Muslim dalam catatan amalnya adalah (dari) kesusahan dan kesedihan” (Al Hilyah, 7/50).

Dan versi kebahagiaan seorang mukmin adalah standar akhirat. Obsesi akhirat inilah yang membuat seorang mukmin selalu bahagia setiap saat, bukan visi bahagia standar Firaun, Qarun, Hamam, dan lain-lain, yang paradoks dengan level kebahagiaan hakiki yang dikehendaki Allah Ta’ala dan rasul Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.

Di bawah ini ada tiga kiat agar hati selalu bahagia dunia dan akhirat,

1. Ridha dengan takdir Allah Ta’ala

Mengimani bahwa segala yang terjadi baik suka maupun duka adalah takdir Allah Ta’ala yang tidak akan luput dan tidak bisa dihindari. Semua yang terjadi tak lepas dari ilmu Allah Ta’ala, Allah Maha berbuat menurut pilihan dan kehendak-Nya.

Asy Syaikh Muhammad Ali Adam Al Ityubi berkata: “Yang terbaik untuk kita ialah pada yang Allah tetapkan bukan pada yang kita inginkan. Meski tentunya, bisa saja yang kita inginkan itu juga yang Allah tetapkan. tapi ingat, saat yang Allah tetapkan untuk kita berbeda dengan yang kita inginkan. itu bukan karena Allah semata ingin menggagalkannya. Tapi karena Allah tahu bahwa yang terbaik untuk kita bukan pada ada sesuatu yang kita inginkan itu, tapi pada hal yang Dia tetapkan. Sesungguhnya Allah ialah Yang membagikan rezeki dan penghidupan sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Tidak layak seorang hamba melihat pada orang lain. Sebab akan membuatnya menganggap remeh rezeki yang sudah Allah berikan kepadanya berdasarkan hikmah dan hukum-Nya.” (Asy Syaikh Muhammad Ali Adam Al Ityubi dalam penggalan pembahasan hadits kedua dari kitab Al jami‘ dari Bulughul Maram).

Subhanallah… dengan senantiasa belajar rububiyah Allah, memahami sifat-sifat indah dan mulia dari Allah Ta’ala, percaya kita selalu bahagia dan mampu menjalani hidup dengan keyakinan bahwa semua ini telah ditentukan Allah Ta’ala.

2. Selalu Bersyukur dan Bersabar

Ikrimah rahimahullah berkata: “Tidaklah ada seorang pun ia pasti merasakan suka dan juga duka. Oleh karena itu jadikanlah suka itu syukur dan duka itu sabar.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/27)

Dari Abu Yahya Shuhaib Bin Sinan radhiyallahu’anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ

Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapapun kecuali oleh orang mukmin, yaitu Jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. dan jika ia mendapat kesusahan ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999).

Kebahagiaan itu akan dinikmati seorang mukmin ketika ia mampu hidup optimis dalam suka maupun duka, dalam lapang maupun sempit. Karena semua itu jika tidak disyukuri, hati akan terasa sempit. Alangkah mulia akhlak seorang mukmin tatkala ia bisa menyembunyikan kesusahannya dan mampu tegar serta bersikap wajar tatkala diberi nikmat dan selalu berbaik sangka pada Allah Ta’ala.

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ

Siapa yang menampakan kecukupan, niscaya Allah akan membuatnya kaya” (HR. Bukhari no. 1469, Muslim no. 1745)

Kita tetap bisa bahagia meski dalam segala keterbatasan hidup, pola pikir islami inilah yang membuat mukmin tak pernah stres dan depresi. Hati lapang dada, tidak hasad, dan tetap semangat karena segala yang ditentukan Allah Ta’ala baik untuk hamba-Nya.

3. Memiliki Teman Saleh

Teman yang saleh yang mengajak pada ketaatan adalah anugerah istimewa yang membahagiakan. Sahabat yang selalu memberi rasa nyaman, memotivasi beramal saleh, dan selalu mencintainya, selalu bertanya tentang kabarmu, tidak bosan denganmu, memaafkan, menasehatimu ketika bersalah dan menyertakanmu dalam doa-doanya.

Ubaidillah bin Al Hasan rahimahullah pernah berpesan kepada seseorang, “Wahai Fulan, Perbanyaklah teman-teman (yang saleh). Dikarenakan paling tidak hal terkecil yang bisa kamu dapatkan ketika kabar kematianmu sampai kepadanya ia akan mendoakan kebaikan untukmu.” (Al Ikhwan Ibnu Abid Dunya, hal. 78)

Teman saleh bisa mengantarkan kita untuk kebahagiaan dunia akhirat. Membuat tensi iman memuncak, karena itu perbanyaklah teman saleh sehingga Anda bahagia.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika engkau memiliki teman yang membantu melaksanakan ketaatan kepada Allah, maka genggamlah ia erat-erat karena sesungguhnya mencari teman yang saleh itu susah, namun melepaskannya mudah.” (Hilyatul Auliya’ 4/101)

  1. Semoga uraian ini bermanfaat dan dan seharusnya kita selalu membahagiakan diri dengan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, Membuat orang lain di sekitar kita bahagia serta memohon kepada Allah Ta’ala agar kebahagiaan itu meretas sampai surga.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:

1. Majalah As-Sunnah edisi 6/ THN XX/ 1437 H

2. https://t.me/nasehatetam/3870

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14235-kiat-meraih-kebahagiaan-sejati.html

Shalat dan Berdoa di Kuburan

[Diangkat dari tesis kami yang berjudul Mazhâhir al-Inhirâf fî Tauhîd al-’Ibâdah ladâ Ba’dh Muslimî Indonesia wa Mauqif al-Islam minhâ (hal. 974-990)]

“RIWAS (Ritual Ziarah Wali Songo)” sebuah istilah yang amat familiar di telinga sebagian kalangan. Mereka seakan mengharuskan diri untuk melakukannya, minimal sekali setahun. Apapun dilakukan demi mengumpulkan biaya perjalanan tersebut. Manakala ditanya, apa yang dilakukan di sana? Amat beragam jawaban mereka. Ada yang ingin shalat, berdoa untuk kenaikan pangkat, kelancaran rezeki atau agar dikaruniai keturunan dan lain-lain.

Kepada siapa meminta? Ada yang terang-terangan meminta kepada mbah wali. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa ia tetap meminta kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, tapi supaya cepat dikabulkan mereka sengaja memilih makam orang-orang ‘linuwih’ tersebut.

Yang akan dibahas dalam tulisan sederhana berikut bukan hukum ziarah kubur. Karena itu telah maklum disunnahkan dalam ajaran Islam, jika sesuai dengan adab-adab yang digariskan. Namun, yang akan dicermati di sini adalah: hukum shalat di kuburan dan berdoa di sana. Semoga paparan berikut bermanfaat!

PERTAMA: SHALAT DI KUBURAN

Shalat di kuburan hukumnya haram, bahkan sebagian ulama mengategorikannya dosa besar.[1] Praktik ini bisa mengantarkan kepada perbuatan syirik dan tindakan menjadikan kuburan sebagai masjid. Karena itulah, agama kita melarang praktik tersebut. Amat banyak nash dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan hal tersebut. Di antaranya:

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا

Janganlah duduk di atas kuburan dan jangan shalat menghadapnya. (H.R. Muslim (II/668 no. 972) dari Abu Martsad radhiallahu ‘anhu)

Imam Nawawi rahimahullah (w. 676 H) menyimpulkan, “Hadits ini menegaskan terlarangnya shalat menghadap ke arah kuburan. Imam Syâfi’i rahimahullah mengatakan, ‘Aku membenci tindakan pengagungan makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid. Khawatir mengakibatkan fitnah atas dia dan orang-orang sesudahnya.”[2]

Al-‘Allâmah al-Munawy rahimahullah (w. 1031 H) menambahkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan; dalam rangka mengingatkan umatnya agar tidak mengagungkan kuburannya, atau kuburan para wali selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, bisa jadi mereka akan berlebihan hingga menyembahnya.”[3]

Berdasarkan hukum asal, larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas menunjukkan bahwa perbuatan yang dilarang hukumnya adalah haram. Demikian keterangan dari Imam ash-Shan’any rahimahullah (w. 1182 H).[4]

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا

Laksanakanlah sebagian shalat kalian di rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya kuburan. (H.R. Bukhâri (I/528-529 no. 432) dari Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma)

Hadits ini menerangkan agar rumah jangan dikosongkan dari shalat, sebab rumah yang tidak dipakai untuk shalat, terutama shalat sunnah, bagaikan kuburan yang memang bukan tempat untuk shalat.

Imam al-Baghawy rahimahullah (w. 510 H), setelah membawakan hadits di atas, menyimpulkan, “Hadits ini menunjukkan, bahwa kuburan bukanlah tempat untuk shalat.”[5]

Kesimpulan serupa juga disampaikan oleh Ibn Batthal rahimahullah (w. 449 H)[6] dan Ibn Rajab rahimahullah (w. 795 H).[7]

Ibnu Hajar al-‘Asqalany rahimahullah (w. 852 H) menyimpulkan lebih luas lagi. Kata beliau rahimahullah, “Kuburan bukanlah tempat untuk beribadah.”[8]

Sabda Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ

Bumi seluruhnya adalah masjid (tempat untuk shalat), kecuali kuburan dan kamar mandi. (H.R. Ahmad (XVIII/312 no. 11788) dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu. Sanadnya dinilai kuat oleh al-Hâkim[9], Ibnu Taimiyyah rahimahullah [10] dan al-Albâni.[11]

Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah (w. 620 H) menjelaskan, bahwa bumi secara keseluruhan bisa menjadi tempat shalat kecuali tempat-tempat yang terlarang untuk shalat di dalamnya, seperti kuburan. [12]

Keterangan serupa juga disampaikan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah[13] dan al-Hâfizh al-‘Iraqi rahimahullah (w. 806 H) [14].

4. Doa Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ، اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang disembah. Allâh sangat murka kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka masjid. [15]

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah (w. 463 H) menerangkan, “Dahulu orang Arab shalat menghadap berhala dan menyembahnya. Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa khawatir umatnya akan melakukan apa yang dilakukan umat sebelum mereka. Biasanya, jika nabi mereka wafat, mereka akan berdiam di sekeliling kuburannya, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap berhala. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang disembah”, dengan bershalat menghadap kepadanya, sujud ke arahnya dan menyembah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala sangat murka atas orang yang melakukan hal itu.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan para sahabat dan umatnya agar tidak terjerumus kepada perilaku buruk kaum terdahulu. Mereka shalat menghadap kuburan para nabi dan menjadikannya sebagai kiblat dan masjid. Sebagaimana praktik para pemuja berhala terhadap berhala mereka. Ini merupakan syirik akbar!”[16]

5.  Hadits-hadits yang berisikan larangan untuk menjadikan kuburan sebagai masjid. Di antaranya yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Semoga Allâh membinasakan kaum Yahudi. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. (H.R. Bukhari (I/531 no. 437) dan Muslim (I/376 no. 530) dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menuturkan, bahwa hadits di atas mengandung “larangan untuk sujud di atas kuburan para nabi. Semakna dengan itu juga haramnya sujud kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Hadits ini juga bisa diartikan larangan untuk menjadikan kuburan para nabi sebagai kiblat shalat. Setiap makna dalam bahasa Arab yang terkandung dalam hadits ini; maka itu termasuk perbuatan yang terlarang.”[17]

Setelah membawakan salah satu hadits yang berisikan larangan membangun masjid di atas kuburan, Imam Ibnul Mulaqqin rahimahullah (w. 804 H) berkata, “Hadits ini dalil dibencinya shalat di kuburan … Baik shalat di atasnya, di sampingnya atau menghadap ke arahnya. Tidak ada bedanya, semuanya dibenci (agama).”[18]

Hikmah di balik terlarangnya shalat di kuburan

Para ulama Islam sepakat, bahwa menyengaja shalat di kuburan adalah terlarang.[19] Tidak ada yang membolehkannya, apalagi menganjurkannya. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam menentukan ‘illah (sebab) terlarangnya perbuatan tersebut;[20]

Sebagian ulama memandang, bahwa sebabnya adalah karena kuburan identik dengan najis. Sebab tanahnya bercampur dengan nanah bangkai manusia.

Adapun ulama lainnya berpendapat, bahwa sebabnya adalah karena kekhawatiran akan terjerumusnya umat ini ke dalam kesyirikan.

Di antara yang memilih pendapat kedua ini: Abu Bakr al-Atsram (w. 273)[21], al-Mawardy (w. 450 H)[22], Ibn Qudamah[23], Ibn Taimiyyah (w. 728 H)[24], as-Suyuthy (w. 911 H)[25] dan yang lainnya.

Setelah menjelaskan bahwa maksud utama dilarangnya shalat di kuburan adalah karena dikhawatirkan akan mengakibatkan tindak menjadikan kuburan sebagai berhala, Imam as-Suyuthy memperjelas, “Inilah sebab mengapa syariat melarang perbuatan tersebut. Dan ini pula yang menjerumuskan banyak orang terdahulu ke dalam syirik akbar atau di bawahnya.

Tidak jarang engkau dapatkan banyak kalangan sesat yang amat merendahkan diri di kuburan orang salih, khusyu’, tunduk dan menyembah mereka dengan hati. Bentuk peribadahan yang tidak pernah mereka lakukan, sekalipun di rumah-rumah Allâh; masjid! …

Inilah mafsadah yang sumbernya dicegah oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Hingga beliau melarang secara mutlak shalat di kuburan, sekalipun tujuannya bukan untuk mencari berkah tempat tersebut. Demi menutup pintu yang menghantarkan kepada kerusakan pemicu disembahnya berhala.”[26]

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sebab larangan adalah karena kuburan tempat yang najis, maka ini kurang pas dan tidak didukung oleh nash. Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H) telah berpanjang lebar dalam menjelaskan hal itu. Di antara argumen yang beliau paparkan:

Seluruh hadits yang berisikan larangan shalat di kuburan tidak membedakan antara kuburan yang baru maupun kuburan lama yang digali kembali.

Tempat masjid Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dahulunya adalah kuburan kaum musyrikin. Sebelum dibangun masjid di atasnya, beliau memerintahkan agar kuburan tersebut digali lalu tanahnya diratakan kembali. Dan beliau tidak menyuruh supaya tanahnya dipindahkan. Bahkan setelah diratakan, langsung dipakai untuk shalat.

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melaknat kaum Yahudi dan Nasrani lantaran mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid. Telah maklum dengan jelas bahwa larangan itu bukan karena najis, karena jika demikian niscaya larangan tersebut tidak khusus untuk kuburan para nabi. Apalagi kuburan mereka adalah tempat yang suci, dan tidak mungkin dianggap najis, karena Allâh melarang bumi untuk memakan jasad mereka.[27]

Berbagai jenis orang yang shalat di kuburan dan hukum masing-masing:

Pertama: Orang yang shalat di kuburan dengan tujuan mempersembahkan shalatnya untuk sahibul kubur.

Ini jelas masuk dalam kategori syirik akbar; karena ia telah mempersembahkan ibadah kepada selain Allâh Ta’ala.

Allâh Ta’ala menegaskan,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

Artinya: “Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allâh. Maka janganlah kalian menyembah apa pun selain Allâh.” Q.S. Al-Jinn: 18.

Kedua: Shalat di kuburan dengan tujuan ber-tabaruk dengan tempat tertentu darinya.

Ini termasuk bid’ah yang mungkar dan penyimpangan dari ajaran Allâh dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam. Baik kuburan tersebut berada di arah kiblatnya maupun tidak, karena itu termasuk mengada-ada dalam praktik beribadah.

As-Suyuthy menjelaskan, “Jika seorang insan menyengaja shalat di kuburan atau berdoa untuk dirinya sendiri dalam kepentingan dan urusannya, dengan tujuan mendapat berkah dengannya serta mengharapkan terkabulnya doa di situ; maka ini merupakan inti penentangan terhadap Allâh dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam. Menyimpang dari agama dan syariatnya. Juga dianggap bid’ah dalam agama yang tidak dizinkan Allâh, Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam, maupun para imam kaum muslimin yang setia mengikuti ajaran dan sunnah beliau.”[28]

Ibn Hajar al-Haitamy (w. 974 H)[29] , al-Munawy[30] dan ar-Rumy (w. 1043 H)[31] juga menyampaikan keterangan senada.

Ketiga: Shalat di kuburan tanpa di sengaja, hanya karena kebetulan bertepatan dengan masuknya waktu shalat. Tanpa ada tujuan ngalap berkah darinya atau mempersembahkan ibadah untuk selain Allâh.

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.[32] Namun, yang lebih kuat adalah pendapat yang melarang, karena larangan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersifat umum serta demi menutup rapat pintu yang menghantar kepada kesyirikan. Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana dijelaskan Imam Ibn al-Mundzir (w. 319 H).[33]

Keempat: Shalat di kuburan dengan tujuan shalat jenazah.

Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu berikut menunjukkan bolehnya hal itu,

أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا، فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ، فَقَالُوا: “مَاتَ”. قَالَ: “أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي؟”. قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ. فَقَالَ: “دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ!”. فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَ: “إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ”.

“Dikisahkan seorang wanita hitam atau pemuda biasa menyapu masjid. Suatu hari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kehilangan dia, sehingga beliaupun menanyakannya.

‘Dia sudah meninggal’ jawab para sahabat.

‘Mengapa kalian tidak memberitahuku?’

Mereka seakan tidak terlalu menaruh perhatian terhadap orang tersebut.

Beliau berkata, ‘Tunjukkan padaku di mana kuburannya?’

Setelah ditunjukkan beliau shalat atasnya, lalu bersabda, ‘Sesungguhnya para penghuni kuburan ini diliputi kegelapan. Sekarang Allâh meneranginya lantaran aku shalat atas mereka.’” H.R. Bukhari (I/551 no. 438) dan Muslim (II/659 no. 956) dengan redaksi Muslim.

POIN KEDUA: BERDOA DI KUBURAN

Sebagaimana telah maklum bahwa doa merupakan salah satu ibadah yang amat agung dalam agama Islam. Allâh telah memotivasi umat manusia untuk memohon pada-Nya dan berjanji untuk mengabulkan permohonan mereka. Namun di lain sisi, Dia telah mensyariatkan berbagai adab dalam berdoa. Di antaranya: menentukan tempat dan waktu pilihan, yang lebih mustajab.

Namun, setan berusaha menyesatkan para hamba dengan mengiming-imingi mereka tempat dan waktu yang diklaim mustajab, padahal tak ada petunjuk agama tentangnya. Tidak sedikit manusia yang terjerat ranjau tersebut. Sehingga mereka lebih memilih berdoa di kuburan dan tempat-tempat keramat, dibanding berdoa di masjid. Lebih parah lagi, ada yang begitu khusyu’ menghiba dan memohon kepada sahibul kubur! Alih-alih mendoakan si mayit, malah berdoa kepadanya!

Dalil yang menunjukkan bid’ahnya menyengaja berdoa di kuburan untuk diri peziarah:

Pertama: Doa merupakan salah satu ibadah mulia, dan sebagaimana telah maklum bahwa ibadah apapun tidak akan diterima Allâh kecuali jika memenuhi dua syarat; ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.

Andaikan berdoa di kuburan merupakan ibadah, mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengajarkannya kepada umat? Kenapa pula para salafus salih tidak mempraktikkannya? Tidak ada dalil dari Alquran, maupun hadits sahih yang menunjukkan bahwa kuburan merupakan tempat favorit untuk berdoa. Ditambah dengan begitu banyaknya kitab yang ditulis para ulama guna menjelaskan adab berdoa, tidak ada satupun di antara salafus salih dan ulama yang mu’tabar yang mengatakan disyariatkannya berdoa di kuburan.

Ini menunjukkan bahwa praktik tersebut adalah bid’ah. Andaikan itu baik, niscaya mereka ada di garda terdepan dalam mempraktikkannya.

Kedua: Usaha para sahabat untuk melarang praktik doa di kuburan dan segala sesuatu yang bisa mengantarkan ke sana. Berikut fakta nyatanya:

a. Para sahabat “ketika menaklukkan negeri Syam, Irak dan yang lainnya, jika menemukan kuburan yang dituju orang-orang untuk berdoa di situ, mereka akan menutupnya.”[34] b. Para sahabat ketika menaklukkan Baitul Maqdis, mereka tidak bergegas untuk menuju makam Nabi Ibrahim ‘alaihiwssalam atau nabi lainnya, guna berdoa atau shalat di situ. Begitu pula para ulama salaf sesudah mereka berbuat. Imam Ibn Waddhah (w. 286 H) menerangkan, Sufyan ats-Tsaury (w. 161 H) jika masuk masjid Baitul Maqdis, beliau shalat di dalamnya. Dan beliau tidak menuju situs-situs itu ataupun shalat di sana. Begitu pula praktik para imam panutan selain beliau. Waki’ (w. 197 H) juga pernah mendatangi Masjid Baitul Maqdis, dan yang dilakukannya tidak lebih dari apa yang dilakukan Sufyan. Hendaklah kalian mengikuti para imam yang telah makruf. Orang terdahulu bertutur, “Betapa banyak praktik yang hari ini dianggap biasa, padahal dahulu dinilai mungkar. Disukai, padahal dulu dibenci. Dianggap taqarrub, padahal justru sejatinya menjauhkan (pelakunya dari Allâh). Setiap bid’ah selalu ada yang menghiasinya.”[35] c. Para sahabat ketika menaklukkan kota Tustur dan mendapatkan jasad Nabi Danial ‘alaihissalam, mereka menggali tiga belas liang kubur di berbagai tempat, lalu memakamkan Danial di salah satunya di malam hari. Setelah itu seluruh kuburan tersebut disamakan, agar orang-orang tidak tahu manakah makam beliau.[36]

Ketiga: Para ulama salaf membenci tindak menyengaja berdoa di kuburan dan menilainya sebagai bentuk bid’ah. Berikut buktinya:

a. Diriwayatkan bahwa suatu hari Zainal Abidin (w. 93 H) melihat seseorang masuk ke salah satu pojok di makam Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam lalu berdoa di situ. Zainal Abidin pun memanggilnya seraya berkata, “Maukah kuberitahukan padamu suatu hadits yang aku dengar dari bapakku,  dari kakekku, dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam? Beliau bersabda, “Janganlah kalian jadikan kuburanku ‘ied (tempat yang dikunjungi rutin secara berkala) dan rumah kalian kuburan. Bershalawatlah untukku, sesungguhnya shalawat dan salam kalian akan sampai padaku di manapun kalian berada”.[37]

b. Suhail bercerita bahwa di suatu kesempatan ia datang ke makam Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam untuk mengucapkan salam pada beliau. Saat itu al-Hasan bin al-Hasan (w. 97 H) sedang makan di salah satu rumah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Beliau memanggilku dan menawariku makan. Namun aku tidak makan. Beliau bertanya, “Mengapa aku tadi melihatmu berdiri?”. “Aku berdiri untuk mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam” jawabku. Beliau menimpali, “Jika engkau masuk masjid, ucapkanlah salam kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Sesungguhnya beliau telah bersabda, “Shalatlah di rumah dan jangan kalian jadikan rumah seperti kuburan. Allâh melaknat kaum Yahudi, lantaran mereka menjadikan kuburan para nabi mereka menjadi masjid. Bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian akan sampai padaku di manapun kalian berada.”[38]

Dua atsar di atas menunjukkan bahwa menyengaja memilih makam Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sebagai tempat berdoa, termasuk tindak menjadikannya sebagai ‘ied. Dan ini terlarang. Cermatilah bagaimana tabi’in paling afdhal dari kalangan Ahlul Bait; Zainal Abidin, melarang orang yang menyengaja berdoa di makam Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam, dan berdalil dengan hadits yang ia dengar dari bapaknya dari kakeknya. Beliau tentu lebih paham akan makna hadits tersebut, dibanding orang lain. Begitu pula keponakannya; al-Hasan bin al-Hasan; salah satu pemuka Ahlul Bait memahami hal serupa.

Keterangan di atas bersumber dari Ahlul Bait dan penduduk kota Madinah. Nasab dan tempat tinggal mereka lebih dekat dengan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Mereka jelas lebih cermat dalam memahami permasalahan ini, karena mereka lebih membutuhkan ilmu tentang itu dibanding yang lainnya.[39]

c. Di antara fakta yang menunjukkan bahwa ulama salaf menilai tindak menyengaja berdoa di kuburan termasuk bid’ah, mereka telah menyatakan bahwa jika seseorang telah mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam di makamnya lalu ingin untuk berdoa untuk dirinya sendiri, hendaklah ia berpaling dan menghadap kiblat serta tidak menghadap makam beliau. Dan ini merupakan pendapat empat imam mazhab dan ulama Islam lainnya.[40]

Padahal Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling mulia. Bagaimana halnya dengan makam selain beliau yang kemuliaannya jauh di bawah beliau??!

Abul Hasan az-Za’farany (w. 517 H) menerangkan, “Barangsiapa bermaksud mengucapkan salam kepada mayit, hendaklah ia mengucapkannya sambil menghadap ke kuburan. Jika ia ingin berdoa hedaklah berpindah dari tempatnya dan menghadap kiblat.”[41]

Keempat: Sebagaimana telah dijelaskan di depan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melarang shalat di kuburan atau menghadap ke arahnya. Hikmahnya agar orang tidak terfitnah dengan kuburan. Doa di kuburan lebih pantas untuk dilarang, sebab peluang untuk menimbulkan fitnahnya lebih besar.

Orang yang berdoa di kuburan dalam keadaan terpepet karena dililit masalah besar dan begitu berharap untuk dikabulkan, lebih besar peluangnya untuk terfitnah kuburan, dibanding orang yang shalat di situ dalam keadaan sehat wal afiat. Karena itu harus lebih dilarang agar orang tidak terjerumus ke dalam penyimpangan.[42]

Kelima: Di antara kaidah syariat yang telah disepakati para ulama; kaidah saddu adz-dzarâ’i’ (mencegah timbulnya kerusakan dengan menutup pintu yang menghantarkan kepadanya). Dan berdoa di kuburan sebagaimana telah maklum bisa mengantarkan kepada tindak memohon kepada sahibul kubur, dan ini merupakan kesyirikan. Jadi pintu yang menghantarkan ke sana harus ditutup rapat-rapat.[43]

Berbagai jenis orang yang berdoa di kuburan dan hukum masing-masing:

Doa di kuburan ada beberapa jenis:

Pertama: Doa untuk meminta hajat kepada sahibul kubur, entah itu nabi, wali atau yang lainnya. Ini jelas syirik akbar. Allâh Ta’ala memerintahkan,

وَاسْأَلُواْ اللّهَ مِن فَضْلِهِ

Artinya: “Mohonlah pada Allâh sebagian dari karunia-Nya.” Q.S. An-Nisa’: 32.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mewanti-wanti,

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّه

Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allâh. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allâh.” H.R. Tirmidzi (hal. 566 no. 2514 dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”.

Imam Ibn Abdil Hadi (w. 744 H) menerangkan bahwa berdoa memohon kepada selain Allâh hukumnya adalah haram dan dikategorikan syirik, berdasarkan ijma’ para ulama.[44]

Kedua: Menyengaja datang ke kuburan hanya untuk berdoa di situ, atau untuk ziarah kubur plus berdoa, dengan keyakinan bahwa doa di situ lebih mustajab, karena keistimewaan yang dimiliki tempat tersebut. Berdoa di situ lebih afdal dibanding berdoa di masjid atau rumah.

Potret ini mengandung unsur kesengajaan memilih kuburan sebagai tempat untuk berdoa. Dan ini tidak akan dilakukan melainkan karena dorongan keyakinan akan keistimewaan tempat tersebut dan keyakinan bahwa tempat itu memiliki peran dalam menjadikan doa lebih mustajab. Karena itulah jenis kedua ini menjadi terlarang dan dikategorikan bid’ah.

Tatkala berbicara tentang hukum shalat di kuburan, Imam as-Suyuthy menjelaskan, “Jika seorang insan menyengaja shalat di kuburan atau berdoa untuk dirinya sendiri dalam kepentingan dan urusannya, dengan tujuan mendapat berkah dengannya serta mengharapkan terkabulnya doa di situ; maka ini merupakan inti penentangan terhadap Allâh dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam. Menyimpang dari agama dan syariatnya. Juga dianggap bid’ah dalam agama yang tidak diizinkan Allâh, Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam, maupun para imam kaum muslimin yang setia mengikuti ajaran dan sunnah beliau.”[45]

Ketiga: Berdoa di kuburan karena kebetulan, tanpa menyengaja. Seperti orang yang berdoa kepada Allâh di perjalanannya dan kebetulan melewati kuburan. Atau orang yang berziarah kubur terus mengucapkan salam kepada sahibul kubur, meminta keselamatan untuk dirinya dan para penghuni kubur, sebagaimana disebutkan dalam hadits.

Jenis doa seperti ini diperbolehkan. Hadits yang memotivasi untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur menunjukkan bolehnya hal itu.

Dalam hadits Buraidah bin al-Hushaib radhiyallahu ’anhu disebutkan,

أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ

Aku memohon pada Allâh keselamatan untuk kami dan kalian.” H.R. Muslim (II/671 no. 975).

Dalam hadits Aisyah radhiyallahu ’anha disebutkan,

وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ

Semoga Allâh merahmati orang-orang terdahulu kami dan yang akan datang.” H.R. Muslim (II/671 no. 974).

Doa yang tidak ada unsur kesengajaan biasanya pendek, sebagaimana disebutkan dalam dua hadits di atas.

Jika ada yang ingin mempraktikkan doa jenis ketiga ini, sebaiknya ia mencukupkan diri dengan doa dan salam yang diajarkan dalam sunnah dan tidak menambah-nambahinya. Karena para ulama salaf membenci berdiam lama di kuburan.

Imam Malik (w. 179 H) berkata, “Aku memandang tidak boleh berdiri untuk berdoa di kuburan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Namun cukup mengucapkan salam lalu berlalu.”[46]

Wallahu ta’ala a’lam.

Pesantren “Tunas Ilmu” Purbalingga, Rabu, 25 Mei 2011.

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.

Artikel www.muslim.or.id


[1] Lihat: Az-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâ’ir karya Ibn Hajar al-Haitamy (I/148). [2] Syarh Shahîh Muslim (VII/42). [3] Faidh al-Qadîr (VI/318). [4] Lihat: Subul as-Salâm (I/403). [5] Syarh as-Sunnah (II/411). [6] Lihat: Syarh Shahih al-Bukhary (II/86). [7] Lihat: Fath al-Bary karya Ibn Rajab (III/232). [8] Fathul Bâri karya beliau (I/528). [9] Al-Mustadrak (I/251). [10] Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/189). [11] Irwâ’ al-Ghalîl (I/320). [12] Lihat: Al-Mughny (II/472). [13] Cermati: Syarah Shahîh Muslim (V/5). [14] Sebagaimana dinukil oleh al-Munawy dalam Faidh al-Qadîr (III/349). [15] H.R. Malik dalam al-Muwattha’ (II/72 no. 452) dari ‘Atha’ bin Yasar rahimahullah. Hadits ini mursal sahih. Dalam Musnadnya (I/220 no. 440 –Kasyf al-Astâr) al-Bazzar menyambung sanad hadits ini hingga menjadi marfû’. Begitu pula Ibn ‘Abd al-Barr dalam at-Tamhîd (V/42-43) menyambungnya dari jalan al-Bazzar. Syaikh al-Albany menyatakan hadits ini sahih dalam Tahdzîr as-Sâjid (hal. 25 no. 11) dan Ahkâm al-Janâ’iz (hal. 217). [16] At-Tamhîd (V/45). [17] At-Tamhîd (VI/383). [18] Al-I’lâm bi Fawâ’id ‘Umdah al-Ahkâm (IV/502). [19] Cermati: Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah (XXVII/488). [20] Lihat: Al-Hâwiy al-Kabîr karya al-Mawardy (III/60), Radd al-Muhtâr karya Ibn ‘Abidin (II/42-43) dan Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/190). [21] Sebagaimana dinukil Ibn al-Qayyim dalam Ighâtsah al-Lahfân (I/357). [22] Periksa: Al-Hâwiy al-Kabîr (III/60). [23] Cermati: Al-Mughny (II/473-474 dan III/441). [24] Lihat: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/190-191). [25] Baca: Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hal. 136-139). [26] Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hal. 136-139). [27] Lihat: Ighâtsah al-Lahfân (II/353-356). Masih ada argumen lain, bisa dibaca di Mujânabah Ahl ats-Tsubûr al-Mushallîn fî al-Masyâhid wa ‘inda al-Qubûr karya Abdul Aziz ar-Rajihy (hal. 28-30). [28] Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hal. 139). Lihat pula: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/193). [29] Cermati: Az-Zawâjir (I/148). [30] Periksa: Faidh al-Qadîr (VI/407). [31] Lihat: Majâlis al-Abrâr (hal. 126, 358-359, 364-365) sebagaimana dalam Juhûd ‘Ulamâ’ al-Hanafiyyah fî Ibthâl ‘Aqâ’id al-Quburiyyah karya Syamsuddin al-Afghany (III/1593-1594). [32] Untuk mengetahui pendapat mereka, baca; untuk referensi Madzhab Hanafi: Al-Ikhtiyâr li Ta’lîl al-Mukhtâr karya al-Mushily (I/97), Hasyiyah Ibn ‘Âbidîn (I/380), Badâ’i’ ash-Shanâ’i’ karya al-Kasany (I/335-336) dan al-Mabsûth karya as-Sarkhasy (I/206-207). Madzhab Maliki: Al-Mudawwanah karya Abu al-Walid Ibn Rusyd (I/182) dan Mawâhib al-Jalîl karya al-Hathab (II/63-64). Madzhab Syafi’i: Al-Umm karya Imam Syafi’i (II/632), al-Muhadzab karya asy-Syirazy (I/215-216) dan al-Majmû’ karya an-Nawawy (III/163-165). Madzhab Hambali: Al-Mughny karya Ibn Qudamah (II/473-474), al-Inshâf karya al-Mardawy (I/489) dan ar-Raudh al-Murbi’ karya Ibn al-Qasim (I/537). Madzhab Dzahiri: Al-Muhallâ karya Ibn Hazm (IV/27-33). [33] Cermati: Al-Ausath (V/185). [34] Minhâj as-Sunnah karya Ibn Taimiyyah (II/438). Lihat: Ibid (I/480-481). [35] Al-Bida’ wa an-Nahy ‘anhâ (hal. 50). [36] Kisah tersebut disebutkan oleh Ishaq dalam Sirahnya riwayat Yunus bin Bukair (hal. 49). Juga disebutkan Ibn Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah dan beliau menyatakan bahwa sanadnya hingga Abu al-‘Aliyah sahih. Lalu beliau menyebutkan jalur-jalur periwayatan lain yang mengindikasikan bahwa kejadian tersebut benar adanya. Periksa: Al-Bidâyah wa an-Nihâyah (II/376-379), Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/199-200) dan Ighâtsah al-Lahfân (I/377). [37] Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (V/177-178 no. 7624) dan ini adalah redaksi beliau. Juga diriwayatkan oleh Isma’il al-Qadhy dalam Fadhl ash-Shalat (hal. 35 no. 20) dan Abu Ya’la dalam Musnadnya (I/361 no. 469). Ibn Abdil Hadi dalam ash-Shârim al-Munky (hal. 468) berkata, “Kisah tersebut diriwayatkan Abu Ya’la dan al-Hafizh Abu Abdillah al-Maqdisy dalam al-Ahadîts al-Mukhtârah. Ini merupakan hadits yang mahfûzh dari Ali bin al-Husain Zainal Abidin dan memilik banyak syawâhid (riwayat penguat)”. Syaikh al-Albany menilainya sahih. Lihat: Fadhl ash-Shalat (hal. 36). [38] Diriwayatkan oleh Isma’il al-Qadhy dalam Fadhl ash-Shalat (hal. 40 no. 30) dan ini adalah redaksi beliau. Diriwayatkan pula oleh Abdurrazzaq dalam Mushannafnya (III/577 no. 6726) dan Ibn Abi Syaibah al-Mushannaf (V/178 no. 7625). Dua atsar di atas memiliki syâhid dari hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Abu Dawud (II/366 no. 2042) dan Ahmad (XIV/403 no. 8804). Dalam al-Adzkâr (hal. 173) Imam Nawawy menilai sanad hadits Abu Hurairah sahih dan diamini as-Sakhawy dalam al-Qaul al-Badî’ (hal. 312). Ibn Taimiyyah dalam ar-Radd ‘alâ al-Akhnâ’iy (hal. 92) dan Ibn Hajar sebagaimana dalam al-Futûhât ar-Rabbâniyyah (III/313) menyatakannya hasan. Adapun Ibn Abdil Hadi dan al-Albany menilainya sahih. Lihat: Ash-Shârim al-Munky (hal. 490) dan Shahîh al-Jâmi’ (II/706 no. 3785). [39] Periksa: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/245) dan Ighâtsah al-Lahfân (I/362). [40] Cermati: Al-Majmû’ (V/286), Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/239), Ighâtsah al-Lahfân (I/374) dan ad-Du’â’ wa Manzilatuh min al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah karya Jailan al-‘Arusy (II/614-616). [41] Sebagaimana dinukil an-Nawawy dalam al-Majmû’ (V/286). [42] Lihat: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/196-197). [43] Baca: Minhâj as-Sunnah (II/439-440), Ighâtsah al-Lahfân (I/396, 398) dan ad-Du’â’ wa Manzilatuh (II/483-484). [44] Cermati: Ash-Shârim al-Munky (hal. 543) dan Shiyânah al-Insân karya as-Sahsawany (hal. 234). [45] Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hal. 139). Lihat pula: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/193). [46] Asy-Syifâ’ karya al-Qadhi ‘Iyadh (II/85).

Sumber: https://muslim.or.id/6511-shalat-dan-berdoa-di-kuburan.html

Mengapa Allah Bersumpah dengan Waktu Fajar?

Surah Al-Fajr merupakan surat yang terletak pada nomor 89 dalam runtutan mushaf Al-Qur’an. Terdiri dari 30 ayat dan termasuk golongan surat Makkiyah. Seperti lazimnya bagian surat Al-Qur’an yang lain, Surat Al-Fajr merupakan salah satu surat yang diawali dengan rangkaian sumpah Allah dengan makhluk-Nya. Di antaranya dalam surat tersebut Allah bersumpah dengan waktu fajar di awal ayat sehingga suratnya diberi nama dengan nama surah Al-Fajr

Para ulama berbeda pendapat terkait makna kata “Al-Fajr” yang menjadi salah satu sumpah Allah dalam surat ini. Syekh Fakhr ad-Din ar-Razi dalam kitabnya Mafatih Al-Ghaib Juz 31 menyebutkan ada setidaknya 4 kemungkinan maksud dan alasan lafadz “Al-Fajr” menjadi salah satu sumpah Allah dalam Al-Qur’an:

Pendapat pertama, riwayat dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa maksud dari lafadz “Al-Fajr” dalam surat Al-Fajr tersebut ialah waktu subuh. Allah bersumpah dengannya dikarenakan waktu tersebut merupakan waktu terjadinya pergantian malam menuju siang, manusia dan hewan-hewan lainnya yang tadinya terlelap dalam tidurnya sedikit demi sedikit kemudian keluar dari sangkarnya untuk mencari penghidupan, rezeki. Selain itu, kejadian tersebut juga mirip dengan replika dibangkitkannya manusia dari kubur di hari kiamat kelak. Manusia yang “mati” tertidur kemudian “hidup” kembali, bangun dari tidurnya.

Pendapat kedua, maksud dari kata “Al-Fajr” tersebut ialah shalat fajar atau shubuh. Allah bersumpah dengannya dikarenakan shalat tersebut merupakan shalat yang dilakukan di awal pembuka waktu siang. Dan pada saat itu pulalah malaikat yang berjaga di waktu malam dan siang berkumpul. Mereka menyaksikan dan mendengar orang-orang yang membaca Al-Qur’an di waktu shubuh sebelum berganti jaga.

Pendapat ketiga, maksud dari waktu fajar yang disebutkan ialah bukan fajar yang terjadi setiap hari, melainkan waktu fajar pada hari-hari tertentu:

Pertama, fajar hari raya Kurban. Dengan alasan termasuk ke dalam bagian manasik yang merupakan di antara keistimewaan nabi Ibrahim As. Waktu tersebut juga masih tergolong ke dalam waktu pelaksanaan haji, hari yang besar di mana bangsa Arab yang menunaikan ibadah haji berbondong-bondong melakukan penyembelehan Kurban.

وكانت العرب لا تدع الحج وهو يوم عظيم يأتي الإنسان فيه بالقربان كأن الحاج يريد أن يتقرب بذبح نفسه, فلما عجز عن ذلك فدى بذلك القربان كما قال تعالى (وفديناه بذبح عظيم)

Bangsa Arab tidak meninggalkan ibadah haji, ia adalah hari yang agung  di mana umat manusia melakukan penyembelehan kurban. Seakan  orang yang berhaji hendak berkurban dengan menyembeleh dirinya sendiri. Dan ketika hal tersebut tidak mampu dilakukan, mereka menebusnya dengan menyembeleh kurban seperti yang difirmankan Allah Ta’ala (Al-Shaffat: 107): “dan kami tebus ia dengan sembelihan yang agung”. (Mafatih Al-Ghaib Juz 31 hal 162)

Kedua, fajar 10 hari dzulhijjah. Dengan alasan karena pada ayat selanjutnya Allah menyertakan dengan sumpah terhadap wa layalin ‘asyrin, 10 malam hari yang ditafsiri dengan 10 hari dzulhijjah. Selain juga dikarenakan ia merupakan awal dari bulan yang dipenuhi ibadah.

Ketiga, fajar awal bulan Muharram karena merupakan hari pertama dari kalender Islam. Di mana semua kegiatan umat Islam seperti puasa, haji dan zakat dimulai darinya setiap tahunnya dan akan terus terulang. Selain juga beberapa khabar menjelaskan bahwa Muharram merupakan bulan yang paling agung diantara bulan lainnya.

Pendapat keempat, maksud dari kata “Al-Fajr” tersebut ialah “al-Uyun al-lati yanfajir minha al-ma’” sumberan air yang darinya keluar air yang menjadi sumber kehidupan. Oleh karenanya Allah menjadikannya sumpah melihat semua kehidupan berasal darinya.

Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH

Hadapi Ujian Hidup, Mualaf Yefta: Ada Bisikan Jaga Sholat dan Wudhu

Mualaf Yefta Marantika berusaha untuk tak meninggalkan sholat dan wudhu

Hidayah bisa menghampiri siapa saja, meski berada di lingkungan yang berbeda agama. 

Hal itu diakui seorang mualaf, Yefta Marantika. Lelaki kelahiran Ambon, Maluku, itu memeluk Islam setelah menerima hidayah Illahi. Padahal, ia tumbuh besar di tengah lingkungan-dekat yang non-Muslim.

Pria yang kini berusia 47 tahun itu menuturkan kisahnya. Pertama-tama, latar keluarganya tidak bisa dikatakan jauh dari Islam. Memang, kedua orang tuanya beragama non-Islam. Mereka pun termasuk taat menjalankan ibadah agama itu.

Bagaimanapun, Yefta masih memiliki garis keturunan Muslim. Nenek dari ayahnya merupakan putri seorang kiai asal Jember, Jawa Timur. Bahkan, lanjutnya, nasabnya sampai pada Sunan Giri, salah satu Wali Songo. Adapun ibundanya mempunyai darah Arab. Keluarga besarnya itu dahulu tinggal di Tanah Abang, Jakarta.

Sewaktu Yefta masih anak-anak, kedua orang tuanya sempat menetap di Ibu Kota. Sebab, Jakarta saat itu menawarkan banyak peluang bagi seniman-seniman bertalenta. 

Ya, keluarganya berkecimpung di dunia kesenian. Ia sendiri adalah keponakan dari seorang komponis dan penyanyi kondang, Simon Dominggus Pesulima atau yang akrab disapa Broery Marantika.

Selama tinggal di Jakarta, keluarga ini berada di tengah komunitas Islam. Yefta kecil pun mulai terbiasa dengan rutinitas kaum Muslimin. Misalnya, kumandang azan tiap lima kali sehari atau semarak Ramadhan dalam sebulan tiap tahunnya. Di sekolahnya pun, ia berkawan dengan banyak orang Islam.

Mungkin karena pengaruh teman pula, Yefta semakin tertarik untuk mengenal Islam. Malahan, ia pernah meminta kepada ayah dan ibunya agar dirinya dikhitan. Sebab, kebanyakan kawannya sudah disunat. Saat Ramadhan tiba, ia pun turut serta dalam semarak bulan suci tersebut. 

Momen-momen seperti ngabuburitatau malam takbiran membuat hatinya gembira bersama teman-teman.

Tentu, semasa anak-anak itu dirinya belum sampai kepikiran untuk berpindah agama.

Ia baru pada tahap senang membersamai kebiasaan orang-orang Islam, terutama kawan-kawannya sendiri. Inti ajaran Islam tak terlalu dipahaminya. Dan, belum muncul pula ketertarikan untuk mendalaminya.

Namun, segalanya berubah tatkala dirinya beranjak remaja. Ia mulai sering merenung tentang makna kehidupan. Dalam dirinya, timbul keyakinan bahwa agama adalah sesuatu yang begitu penting da lam hidup. Karena itu, seseorang harus menghayati betul ajaran agamanya.

Pada waktu itu, Yefta muda mulai berkenalan dengan seorang perempuan. Muslimah ini juga menjadi tempatnya berdiskusi tentang Islam. Kepadanya, ia sering bertanya tentang beberapa ajaran agama ini. 

Baca juga : Masjid Sehitlik Saksi Sejarah Hubungan Diplomatik Jerman-Turki

Begitu pula dengan kisah-kisah Nabi Muhammad SAW, sebagai sosok yang mula-mula menyebarkan risalah Islam kepada dunia.

Masuk Islam

Pada 1994, Yefta telah memantapkan hatinya. Ia pun melafalkan dua kalimat syahadat untuk pertama kalinya. Proses berislam itu dilakukannya di hadapan imam dan sejumlah jamaah di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. 

Namun, sambungnya, pada masa itu komunitas-komunitas pembinaan mualaf terbilang minim. Ada kesan, orang-orang yang baru memeluk Islam seperti harus mencari kiat sendiri untuk mendalami Islam lebih lanjut. Ia pun merasakan hal yang sama.

“Saya dibimbing sekadarnya saja. Hanya tahu bah wa seorang Muslim itu, misalnya, wajib shalat lima waktu dan membaca Alquran. Setelah itu, saya belajar sendiri,” ujar dia kepada Republika beberapa waktu lalu. 

Namun, Yefta saat itu kian sibuk dengan pekerjaan nya. Sebagai seorang musisi, ia sering menghabiskan waktu di pelbagai gelaran konser. Popula ritasnya pun semakin melejit bersama dengan band-nya. 

Berbagai kota telah disambangi mereka untuk tampil di depan khalayak penonton. Pada 2004, ia memutuskan untuk hijrah ke Samarinda, Kalimantan Timur. Sebab, di sanalah jadwal panggungnya berlangsung lebih padat. 

Beberapa bulan kemudian, ujian hidup menghampirinya. Ia didera penyakit yang cukup parah. Yefta telah berkali-kali memeriksakan diri ke dokter. 

Namun, pelbagai penanganan medis yang diterimanya tak juga menyingkirkan sakit itu. Hampir-hampir saja ia menyerah. 

Pada suatu malam, Yefta merasa sangat ingin menyendiri. Di dalam kamarnya, ia berupaya mengingat-ingat lagi apa saja pencapaiannya selama ini. 

Tiba-tiba, dirinya tersadar bahwa sesuatu yang wajib disyukurinya ialah iman dan Islam. Kesadaran itu membuatnya sangat terharu. Tak terasa, air mata berlinang membasahi pipinya. 

“Saya lalu seperti mendapatkan bisikan untuk terus konsisten sholat dan selalu menjaga wudhu,” ujarnya mengenang. Mulai hari itu, ia berkomitmen untuk ikhtiar terus-menerus dalam meningkatkan keimanannya. Ketika jadwal manggung di Samarinda usai, Yefta segera kembali ke Jakarta. Ia kemudian mencari-cari komunitas Muslim yang bisa menjadi tempatnya belajar ilmu-ilmu agama. 

Akhirnya, pada 2006 seseorang memperkenalkannya dengan sebuah majelis taklim di daerah Sawangan, Depok. 

Sambil mengaji, dirinya juga terus berikhtiar dalam mengobati sakit. Alhamdulil lah, perlahan-lahan penyakit yang sempat menggerogoti kesehatannya dapat disingkirkan. 

Dengan kondisinya yang kembali sehat wal afiat, ia pun kembali bergiat mendalami agama.

Bangkit kembali 

Saat itu, Yefta merasa dirinya seperti hidup kembali. Ia berjanji tidak akan menghabiskan seluruh waktunya di dunia musik. Se lalu disempatkannya untuk ikut mengaji bersama dengan teman-teman komunitas Muslim.

Sebelumnya, ia merasa bagaikan di titik nadir. Sebab, penyakit yang sempat dideritanya itu tidak hanya menguras tenaga, tetapi juga biaya. Bahkan, nyaris seluruh hartanya habis untuk pengobatan dirinya.

Namun, ia tidak berkecil hati. Prasangkanya selalu baik terhadap Allah SWT. Asalkan diri tidak putus asa, percayalah bahwa rahmat dan pertolongan-Nya akan datang.

Setelah pulih dari sakitnya, Yefta kembali menata ulang band-nya. Ia mulai mendidik personel baru. Bahkan, manajemen musiknya semakin baik. Beberapa kali band besutannya itu tampil di luar negeri, semisal China.

Selama beberapa tahun, ia merasakan peningkatan karier. Sayangnya, pada Maret 2020 pandemi Covid-19 mulai merajalela. In donesia pun tak luput dari sebaran epidemi ini.

Wabah yang disebabkan virus korona baru itu mengubah kondisi. 

Pemerintah mulai memberlakukan pembatasan kegiatan di tempat-tempat umum. Dunia hiburan pun terpaksa rehat sejenak. Bahkan, tidak sedikit kafe atau hotel yang menjadi tempat Yefta rutin manggung tutup atau bangkrut.

Bagaimanapun sulitnya, peluang harus ditemukan. Maka, ia pun beralih profesi menjadi peternak ikan cupang. Ternyata, bisnis ini cukup menguntungkan. Ia berhasil menjual berbagai jenis ikan cupang, mulai dari yang termurah hingga yang berharga fantastis.

Alhamdulillah, dengan usahanya ini Yefta bisa menghidupi keluarganya serta 30 orang tim yang di bawah manajemennya. Bagaimanapun, bisnis ikan cupang mengalami pasang surut. Setelah tren meredup, ia harus kembali memutar otak untuk terus bertahan.

Yefta bersyukur karena memiliki lebih dari satu keahlian. Tidak hanya bermusik, tetapi juga mengolah masakan. Orang-orang pun mengakui, hasil olahannya terasa enak.

Ia pun tertantang untuk membuka usaha katering. Dan, bisnis ini baginya tidak hanya sebagai ajang mencari keuntungan. Lebih dari itu, ada keberkahan yang ingin diraihnya.

Karena itu, Yefta rutin bersedekah dari hasil usahanya, setidaknya tiap hari Jumat. Banyak sajian sengaja digratiskannya untuk berbagai kalangan yang membutuhkan. Katering yang dikenal dengan nama Coolshiva Creative ini kemudian turut menggalang donasi bagi siapapun yang ingin ikut serta dalam program Jumat Berkah.

“Setiap porsi makanan, baik yang harganya termurah maupun termahal, saya banderol sama rata dengan harga Rp 10 ribu. Itu hanya jika untuk sedekah, katanya.

Pada saat kebanyakan orang sulit bertahan, di masa pandemi ini Yefta cukup tangguh. Bahkan, anak-anaknya mampu menyelesaikan pendidikan tinggi dan mendapatkan gelar sarjana pada masa ini. Ia memang bertekad kuat, pendidikan adalah yang utama walau pun situasi ekonomi sedang tak menentu.

Selain itu meski berbeda agama dengan keluarga besarnya, Yefta selalu mendidik anaknya untuk tetap berhubungan baik dengan keluarga ayahnya. “Saya selalu mengajarkan mereka untuk hidup bertoleransi, tegasnya.     

sumber : Harian Republika

Atlet Tinju Rocky Memutuskan Masuk Islam

Rocky Pasarani masuk Islam atas pilihannya sendiri, tanpa ada paksaan.

Atlet tinju amatir nasional Rocky Pasarani memutuskan untuk masuk Islam. Pelatih tinju mantan menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri ini memutuskan masuk Islam tanpa paksaan dari siapapun.

Kabar Rocky bersyahadat diinfokan dalam akun @hanifdhakiri. Dalam unggahannya, Hanif menggugah foto Rocky sedang bersyahadat dipandu oleh Ust Muhammad Nur Hayid.

Selain itu, Hanif menuliskan keterangan yang berbunyi:

Namanya Rocky Pasarani, asal Semarang, atlet petinju amatir nasional. Sdh pensiun skrg. 5 th-an Rocky melatih saya, istri dan anak saya Elang bertinju scr privat. Saya sih males2 berlatih, makanya cuma bisa lawan Nibras..😁

.

Profesi Rocky skrg pelatih tinju privat. Muridnya mayan banyak. Stlh pandemi lbh banyak lg. Gara2 pandemi org banyak di rumah dan pny waktu luang. Rocky beruntung. Ia pelatih yang baik, pribadi yang baik.

.

3 th lalu Rocky mengutarakan niatnya masuk Islam. Dia non-Muslim, sama spt driver saya. Ga ada angin ga ada hujan dia minta dibantu mjd seorang Muslim. Mungkin itu yg namanya hidayah.

.

Saat itu sy minta dia berpikir benar2. Jika sungguh2 dan tdk ada paksaan dr siapapun, sy siap bantu dia masuk Islam. Entah knp, habis itu Rocky gak pernah bicara lg soal masuk Islam. Latihan tinju berjalan spt biasa.

.

Minggu pagi kmrn kita berlatih tinju. Usai latihan Rocky mengutarakan niat lg unt membaca dua kalimat syahadat. Rupanya 3 th terakhir ini ia sdh belajar agama Islam. Belajar rukun Islam dan Iman, wudlu, sholat, menghafal surat2 pendek, dll. Bahkan ia sdh puasa penuh tiap Ramadhan 3 th terakhir.

.

Stlh nanya bbrp hal kemantapan dia dan stlh memastikan tdk ada paksaan dr siapapun, sy telpon Kiai Muda @gushayid unt bantu membimbing Rocky bersyahadat. Tadinya mau minta @cakiminow atau Kiai @saidaqilsiroj53 atau Gus @yahyacstaquf Ketum PBNU terpilih. Tapi mengingat waktu dan kesiapan Rocky, jadilah dg Gus Hayid.

.

Sore itu di rumah sy, disaksikan bbrp teman, Gus Hayid membimbing Rocky bersyahadat. Alhamdulillah. Semua berjalan lancar. Kita doakan Rocky istiqomah di jalan Islam, senantiasa memperoleh pertolongan dan berkah Allah SWT. Smg Rocky & keluarga selalu sehat, lancar rezeki, bahagia berkah dunia akhirat. Aminnn..

.

Welcome to the club, Muhammad Rocky Pasarani.

KHAZANAH REPUBLIKA

Doa untuk Orang Sakit

Doa untuk orang sakit harus dihafalkan, karena setiap muslim dianjurkan untuk mendoakan muslim lainnya.

Tidak akan ada ruginya ketika Anda mendoakan muslim lain dengan kebaikan, karena doa tersebut sejatinya akan kembali kepada diri Anda.  

Lafal Doa untuk Orang Sakit

Ada beberapa riwayat yang menjelaskan lafal doa untuk orang sakit dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Berikut ini beberapa riwayat lafal doa tersebut:

  • Lafal pertama

لَا بَأْسَ طَهُوْرٌ إِنْ شَاءَ اللهُ

Laa ba’sa thohuurun insyaaAllah.

Artinya:

“Tidak apa-apa, penghapus dosa, InsyaAllah.” (HR. Bukhari).

  • Lafal kedua

أَسْأَلُ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيَكَ

As-alullaahal ‘adhim robbal ‘arsyil ‘adhim an-yasyfiyak.

Artinya:

“Aku meminta kepada Allah yang Maha Mulia, Rabb pemilik ‘Arsy yang Agung agar Dia menyembuhkanmu.” (HR. Tirmidzi)

Doa ini disunnahkan untuk dibaca sebanyak tujuh kali.

  • Lafal ketiga

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ مُذْهِبَ الْبَاسِ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِى لاَ شَافِىَ إِلاَّ أَنْتَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

Allahumma robbannaasi mudzhibal baasiisyfi antasy-syaafii laa syaafiya illaa anta syifaa’an laa yughoodiru saqoman.

Artinya:

“Wahai Allah Tuhannya manusia, hilangkanlah penyakitnya, sembuhkanlah ia. Hanya Engkau yang dapat menyembuhkannya, tidak ada kesembuhan selain kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak kambuh lagi.” ( HR. Bukhari)

  • Lafal keempat

الَّلهُمَّ اشْفِ فُلاَنًا

Allahummasyfi fulaanaan.

Artinya:

“Wahai Allah sembuhkanlah fulan.”

Perlu diketahui, fulan harus diganti dengan nama orang. Sebagai contoh, Apabila yang sakit itu bernama Abdullah, maka lafal doanya menjadi ‘Allahummasyfi Abdullah’. 

Dalam riwayat Imam Muslim, doa ini pernah dipanjatkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebanyak dua kali untuk mendoakan sahabat Sa’ad bin Abi Waqash.

اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا ,اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا

Allahummasyfi Sa’ad, Allahummasyfi Sa’ad.

Artinya:

“Wahai Allah sembuhkanlah Sa’ad, wahai Allah sembuhkanlah Sa’ad.”

Doa ini boleh dipanjatkan sebanyak dua kali, tiga kali, bahkan lebih.

Doa untuk Orang Sakit Dibaca oleh Siapa?

Doa untuk orang sakit dibaca oleh setiap muslim yang menjenguk orang lain, baik itu dari anggota keluarga, teman, hingga tetangga.

Perlu diketahui, doa tersebut tidak terbatas untuk orang-orang yang beragama Islam saja, karena orang-orang kafir juga boleh didoakan sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Dalil bolehnya seorang muslim mendoakan orang kafir agar sembuh dari sakitnya disampaikan oleh sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.

“Ada sekelompok sahabat yang melakukan safar, dan tibalah mereka di sebuah kampung. Para sahabat meminta izin untuk menginap di kampung tersebut, namun mereka tidak diizinkan hingga akhirnya mendirikan tenda di luar kampung untuk bermalam.

Tiba-tiba kepala kampung disengat binatang, dan mereka berusaha untuk mengobatinya, namun tidak ada satu pun yang berhasil hingga ada yang mengusulkan untuk memanggil para sahabat, barangkali mereka mempunyai obat untuk menyembuhkannya. Utusan mereka kemudian mendatangi para sahabat, dan menyampaikan kondisi kepala suku.

Salah satu sahabat bersedia mengobati dengan sebuah syarat, apabila berhasil, penduduk kampung tersebut harus memberikan upah beberapa ekor kambing.

Lalu sahabat tersebut membacakan surat al-Fatihah sembari meniupkannya kepada kepala suku. Atas izin Allah Ta’ala, kepala suku sembuh dan sehat kembali.

Setelah itu para sahabat membawa kambing hasil upah kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan beliau mengizinkan perbuatan para sahabat tersebut.” (HR. Bukhari 2276)

Kisah yang disampaikan oleh Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu merupakan dalil yang kuat dibolehkannya seorang muslim mendoakan orang kafir, karena ruqyah merupakan bagian doa kepada Allah Azza wa Jalla. 

Perlu diketahui, orang yang sakit juga dianjurkan untuk membaca doa kesembuhan untuk dirinya sendiri. 

Berikut ini lafal doanya:

بِاسْمِ اللَّهِ (3x)

أَعُوذُ بِاللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ (7x)

Bismillah. (3x)

A’udzu billahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. (7x)

Artinya:

“Dengan menyebut nama Allah.” 

“Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari kejahatan sesuatu yang aku jumpai dan yang aku takuti.” (HR. Muslim)

Doa tersebut dibaca dengan meletakkan tangan di atas bagian tubuh yang sakit sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada sahabat ‘Utsman bin Abu Al-Asy’ash Ats-Tsaqafi.

Adab-adab Menjenguk Orang Sakit

Setelah mengetahui doa yang harus dibaca ketika menjenguk orang sakit, hal penting lain yang harus diketahui adalah adab-adab ketika menjenguk orang sakit.

Mengetahui adab menjenguk orang sakit ini penting sekali, karena di dalamnya juga terdapat ganjaran yang besar dari Allah Ta’ala. 

Berikut ini adab-adab ketika menjenguk orang sakit:

  • Ikhlas

Di dalam ajaran agama Islam menjenguk orang sakit termasuk ibadah yang agung, bahkan Allah Ta’ala mengganjarnya dengan pahala yang sangat besar, yaitu surga.

“Siapa yang mengunjungi orang sakit atau mengunjungi saudaranya karena Allah, maka akan ada yang menyeru kepadanya, ‘Engkau telah berbuat mulia dan mulia pula langkahmu, serta akan kau tempati rumah di Surga’.” (HR. Ibnu Majah no. 1433)

Mengingat ganjaran yang Allah Ta’ala berikan adalah surga, menjenguk orang sakit harus benar-benar diniatkan hanya untuk mencari ridho Allah Ta’ala.

  • Melihat sikon

Memperhatikan situasi dan kondisi merupakan hal penting yang harus diperhatikan ketika hendak menjenguk orang sakit.

Pastikan orang yang hendak dijenguk benar-benar dalam keadaan longgar, sehingga tidak mengganggu waktunya untuk beristirahat.

Selain itu, pastikan waktu menjenguk tidak terlalu lama, karena bisa jadi yang dijenguk merasa terganggu.

  • Mendoakan

Orang yang sakit pasti ingin segera sembuh. Oleh karena itu, setiap penjenguk harus memanjatkan doa kepada Allah Azza wa Jalla agar sakit tersebut segera diangkat.

Mendoakan saudara muslim yang sakit dianjurkan dalam Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

“Apabila beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam mengunjungi orang yang sakit, beliau mengucapkan, Laa ba’sa thohuurun insyaaAllah.” (HR. Bukhari no. 5656)

  • Memberikan nasihat

Ketika diuji oleh Allah Ta’ala dengan sakit, tidak semua orang bisa menerimanya dengan baik. 

Oleh karena itu, penjenguk harus memberikan beberapa nasihat agar orang yang sakit tersebut tidak berkeluh kesah, karena keluh kesah hanya akan mendatangkan dosa.

Sebaliknya, apabila orang yang sakit itu bersabar, maka Allah Azza wa Jalla akan memberikannya ganjaran yang besar dan segera mengangkat penyakitnya.

  • Memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala

Selain memanjatkan doa kesembuhan kepada orang yang sakit, penjenguk juga harus memohon perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla atas sakit yang diderita orang lain. 

Memohon perlindungan penting untuk dilakukan agar musibah orang yang dijenguk tidak menimpa diri Anda.  

Berikut ini lafal doanya:

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ عَافَانِيْ مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِيْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً

Alhamdulillahilladzii ‘aafaanii mimmab talaaka bihi, wa faddholanii ‘ala katsiirim mimman kholaqo tafdhilaa.

Artinya:

“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan diriku dari musibah yang menimpamu dan memberi keutamaan kepadaku atas banyak orang.”

Doa tersebut harus dihafalkan, karena penggunaannya tidak terbatas pada orang sakit saja, melainkan bisa diterapkan di semua keadaan. 

Itulah pembahasan terkait doa untuk orang sakit. Adapun untuk pembahasan doa-doa yang lain, silakan kunjungi website Hidayatullah.com 

Jangan Takut Miskin

Kebanyakan manusia tidak mau jatuh pada jurang kemiskinan.

Kebanyakan manusia tidak mau jatuh pada jurang kemiskinan. Tak heran jika banyak sebagian dari kita yang berusaha dengan berbagai cara untuk menghindarinya, bahkan sampai ada yang menukar agama hanya untuk mendapatkan sebagian harta benda duniawi. 

Bila ditelusuri, akar penyebab munculnya sikap takut miskin adalah kecintaan terhadap dunia. Orang yang mencintai dunia tentu saja khawatir dan ketakutan bila kehilangan kenikmatannya, salah satunya adalah nikmat harta.

Kategori semacam itu bukanlah sifat dan sikap mukmin sejati. Sebab, ia yakin bahwa Allah adalah Zat Mahakaya yang bisa memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Sebagaimana Allah berfirman: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.” (QS al-Isra [17]: 31).

Dalam Tafsir Ibn Katsir, ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah sangat sayang kepada hamba-hamba-Nya melebihi kasih sayang orang tua kepada anaknya. Allah mengedepankan perhatian terhadap rezeki anak-anak orang tua tersebut (hamba Allah) di saat orang tuanya hendak membunuh anaknya ketika tiada harta yang sanggup untuk diwariskan.

Kemiskinan bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan. Jangan sampai kita takut miskin atau tidak bisa makan. Jangan sampai selalu terbetik dalam hati kita, “Besok kita makan apa?” Jangan takut! Yang penting kita berusaha mencari rezeki dengan cara yang halal, berdoa dan bertawakal kepada Allah.

Karena sesungguhnya Allah SWT telah menjamin rezeki seluruh makhluk-Nya. “Dan tidak ada suatu yang melata pun (yakni manusia dan hewan) di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS Huud [11]: 6).

Bahkan sesuatu yang harus ditakutkan adalah ketika dibentangkan dunia kepada kita. Yakni ketika kita diuji dengan banyaknya harta benda. Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Akan tetapi aku khawatir akan dibentangkan dunia atas kalian sebagaimana telah dibentangkan atas orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian pun berlomba-lomba padanya sebagaimana mereka berlomba-lomba padanya. Kemudian dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka.” (HR Bukhari No 3.158, Muslim No 2.961).

Bagi siapapun yang tengah merasakan ketakutan akan jatuh miskin, sejenak menengok petuah hikmah dari Syekh Imam Ibn Rajab dalam Kitab Jami’ul Ulum wa Hikam: “Kau takut miskin? Abu Hazim menjawab, pelindungku adalah pemilik apa yang ada di bumi, apa yang ada di langit, dan apa yang ada di antara keduanya, serta apa yang ada di bawah tanah. Kenapa aku harus takut?”

Keterangan ini mengingatkan kita akan Mahabesarnya Allah. Allah sang pemiliki jagad raya ini. Allah yang punya. Jika benar kita merasa dan mengakui bahwa Allah adalah pelindung dalam kehidupan ini, mengapa masih merasa takut miskin?

Takut miskin sering mendorong seseorang menjadi pelit, curang, bahkan menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta.

Wallahu a’lam.

OLEH AHMAD AGUS FITRIAWAN

IHRAM