Alquran Buktikan Kuasa Allah SWT Bangkitkan Orang Mati

Kekuasaan Allah SWT tidak ada batasnya dan tidak ada bandingannya. 

Dalam Alquran diceritakan bahwa ada seseorang yang telah mati selama 100 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah SWT.

اَوْ كَالَّذِيْ مَرَّ عَلٰى قَرْيَةٍ وَّهِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَاۚ قَالَ اَنّٰى يُحْيٖ هٰذِهِ اللّٰهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ فَاَمَاتَهُ اللّٰهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهٗ ۗ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۗ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍۗ قَالَ بَلْ لَّبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ اِلٰى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۚ وَانْظُرْ اِلٰى حِمَارِكَۗ وَلِنَجْعَلَكَ اٰيَةً لِّلنَّاسِ وَانْظُرْ اِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوْهَا لَحْمًا ۗ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهٗ ۙ قَالَ اَعْلَمُ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Atau seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya, dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?”

Lalu Allah mematikannya (orang itu) selama 100 tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya) kembali. Dan (Allah) bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia (orang itu) menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.”

Allah berfirman, “Tidak, Engkau telah tinggal 100 tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, tetapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.”

Maka ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, “Saya mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al Baqarah 259). 

Tafsir Kementerian Agama menjelaskan, dalam ayat ini, Allah memberikan perumpamaan lain, yang juga bertujuan untuk membuktikan kekuasaan-Nya. 

Akan tetapi tokoh yang dikemukakan dalam perumpamaan ini bukanlah seorang yang ingkar dan tidak percaya kepada kekuasaan-Nya, melainkan seorang yang pada mulanya masih ragu tentang kekuasaan Allah, tetapi setelah melihat berbagai bukti yang nyata maka dia beriman dengan sepenuh hatinya dan mengakui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. 

Diceritakan, orang itu pada suatu ketika berjalan melalui suatu desa yang sudah berupa puing-puing. Bangunannya sudah roboh, sehingga atap-atap yang jatuh ke tanah sudah tertimbun oleh reruntuhan dindingnya.

Karena masih meragukan kekuasaan Allah, maka ketika dia menyaksikan puing-puing tersebut dia berkata, “Mungkinkah Allah menghidupkan kembali desa yang telah roboh ini, dan mengembalikannya kepada keadaan semula?”

Keraguannya tentang kekuasaan Allah untuk dapat mengembalikan desa itu kepada keadaan semula, dapat kita terapkan kepada sesuatu yang lebih besar dari itu. 

Yakni, “Kuasakah Allah untuk menghidupkan makhluk-Nya kembali pada Hari Kebangkitan, setelah mereka semua musnah pada hari kiamat?” 

Oleh karena orang tersebut bukan orang kafir, melainkan orang yang masih berada dalam tingkat keragu-raguan tentang kekuasaan Allah, dan dia memerlukan bukti dan keterangan. Maka Allah berbuat sesuatu yang akan memberikan keterangan dan bukti tersebut kepadanya.

Setelah orang yang ragu itu menemukan desa yang sunyi sepi dan bangunan-bangunannya sudah menjadi puing, dia masih menemukan pohon-pohon yang sedang berbuah. 

Lalu dia berhenti di suatu tempat, dan setelah menambatkan keledainya maka dia mengambil buah-buahan dan dimakannya.

Sesudah makan, dia tertidur. 

Pada saat itu Allah SWT mematikannya, yaitu dengan mengeluarkan ruhnya dari jasadnya. 100 tahun kemudian Allah SWT menghidupkan-Nya kembali, dengan mengembalikannya seperti keadaan semula, dan mengembalikan ruhnya ke tubuhnya. 

Proses menghidupkan kembali ini berlangsung dengan cepat dan mudah, tanpa melalui masa kanak-kanak dan sebagainya. Sisa makanan yang ditinggalkannya sebelum dia dimatikan, ternyata masih utuh dan tidak rusak, sedang keledainya sudah mati, tinggal tulang-belulang.

Setelah dia dihidupkan seperti semula, maka Allah mengajukan suatu pertanyaan kepadanya, “Sudah berapa lamakah kamu berada di tempat itu?” Allah SWT mengajukan pertanyaan itu untuk menunjukkan kepadanya bahwa dia tidak dapat mengetahui segala sesuatu, termasuk hal ihwal dirinya sendiri. Hal ini ternyata benar. Orang itu menyangka bahwa dia berada di tempat itu baru sebentar saja, yaitu sehari atau setengah hari.

Sebab itu dia menjawab, “Aku berada di tempat ini baru sehari atau setengah hari saja”. Lalu Allah menerangkan kepadanya bahwa dia telah berada di tempat itu 100 tahun lamanya. Kemudian Allah menyuruhnya untuk memperhatikan sisa-sisa makanan dan minuman yang ditinggalkannya seratus tahun yang lalu, yang masih utuh dan tidak rusak. Ini membuktikan kekuasaan Allah, sebab biasanya makanan menjadi rusak setelah dua atau tiga hari saja. Allah juga menyuruhnya untuk memperhatikan keledainya yang telah menjadi tulang-belulang di tempat itu.

Kemudian Allah memperlihatkan kepadanya bagaimana Dia menyusun tulang-tulang itu menjadi seperti semula. Sesudah itu diberi-Nya daging dan kulit serta alat tubuh lainnya, serta ditiupkan-Nya ruh ke tubuh keledai itu sehingga ia hidup kembali.

Setelah melihat berbagai kenyataan itu semua, maka orang tersebut menyatakan imannya dengan ucapan, “Sekarang aku yakin benar bahwa Allah Mahaluasa atas segala sesuatu, termasuk menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati.” Berdasarkan keyakinan itu hilanglah keragu-raguannya tentang hari kebangkitan. Dalam ayat ini Allah SWT tidak menjelaskan nama orang tersebut serta nama negeri yang dilaluinya. Yang penting dalam ayat ini adalah pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa itu.  

IHRAM

Husnudzon dan Hikmah Berbaik Sangka

Husnudzon atau lebih dipahami dengan arti berbaik sangka adalah amalan yang sudah mendarah daging dalam diri seorang muslim. Ketika kita mulai berpikir negatif, kita akan segera meminta maaf dan mengingatkan diri sendiri agar selalu husnudzon.

Lawan su’udzon adalah husnudzon. Para ahli psikologi mendefinisikan prasangka (su’udzon) sebagai suatu sikap negatif terhadap kelompok atau  anggota kelompok tertentu tanpa dasar alas an yang benar.

Namun, apa sebenarnya makna husnudzon dan sejauh mana kita didorong untuk tetap berbaik sangka?

Husnudzon dikutip dari ungkapan Husn al-Dhan Billah (berpandangan positif pada Allah SWT) merupakan kelanjutan dari pilar dasar yang membentuk iman seorang Muslim.  Ketika kita mengalami bencana, kita harus selalu bercermin pada diri sendiri dan percaya bahwa ada hikmah di balik bencana tersebut. Itulah amalan husnudzon yang sangat dituntut dalam Islam.

Menurut Saidina Umar bin Al-Khattab r.a: “Janganlah kamu membuat suatu sangkaan tentang suatu perkataan yang keluar dari sesama mukmin kecuali kebaikan, selama kamu masih punya cara untuk meletakkannya di tempat yang baik.”

Jenis husnudzon

Husnudzon terbagi menjadi tiga, yaitu husnudzon kepada Allah SWT, husnudzon kepada diri sendiri dan husnudzon kepada orang lain. Husnudzon terhadap Allah SWT berarti bersikap baik kepada Sang Pencipta Yang Maha Esa. Sebagai hamba, kita harus yakin dengan segala ketetapan-Nya.

Padahal, dalam setiap ujian yang diberikan, pasti ada hikmah di baliknya. Ingatlah bahwa Allah SWT tidak akan pernah menguji hambanya melebihi kemampuannya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى

“Aku sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku,” (Muttafaqun ‘alaih).

Husnudzon terhadap diri sendiri berarti berprasangka baik terhadap diri sendiri.  Misalnya, mereka yang merasa husnudzon terhadap diri sendiri akan berusaha sebaik mungkin, tetap positif dan tidak mudah menyalahkan takdir ketika terjadi kecelakaan.

Ketiga, husnudzon terhadap orang lain berarti tidak mudah berprasangka buruk terhadap orang lain, apalagi jika mereka tidak berbuat jahat kepada kita.  Sikap ini dapat mencegah kita dari rasa iri satu sama lain.

Curiga tetap Penting!

Namun, kecurigaan buruk ini tidak berarti kita harus menuduh. Tapi, kita harus mengambil tindakan pencegahan agar tidak ditimpa musibah. Misalnya, jika kita melihat orang yang mencurigakan di halaman, sebaiknya kita curiga dan lebih berhati-hati sebelum nasi menjadi bubur.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَنَافَسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

Artinya : Rasulullah ﷺ bersabda, “Jauhilah dari kalian prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta pembicaraan. Janganlah kalian saling memata-matai, saling mencari aib orang lain, saling berlomba-lomba mencari kemewahan dunia, saling dengki, saling memusuhi, dan saling memutuskan. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR: Bukhari)

Bagaimana dengan berprasangka buruk terhadap mereka yang melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama? Misalnya, kita berprasangka buruk terhadap mereka yang suka mencuri, penjahat atau khawatir keamanan diri kita?

Yang benar adalah, sebagai manusia, kita tidak boleh curiga terhadap sesuatu yang buruk sama sekali. Bahkan, ada kalanya kita dituntut untuk berprasangka buruk, apalagi jika menyangkut keselamatan diri.

Kejahatan perlu dicegah sedini mungkin. Jika memungkinkan, jangkau dan berikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan jika itu dapat mencegah kejahatan seperti itu terjadi.

Dampak Prasangka Buruk  

Terlalu larut berlebih pada prasangka buruk akan membuat kalian larut pada rasa cemas, gelisah dan hidup dalam suasana yang kurang tenang. Karena selalu memelihara emosi negatif dalam diri, hal ini akan membuat aura diri menjadi negatif dan berdampak kesehatan orang lain.

Misalnya, warga Muslim di Amerika Serikat (AS) –khususnya yang berkulit hitam– selalu menjadi korban diskriminasi, kekerasan akibat prasanka buruk. Prasangka rasial, menurut istilah psikologi, juga terjadi pada warga keturunan  Arab.

William Edward Burghardt Du Bois, pendukung gerakan Afrika Bersatu (Pan-Africa),seorang ahli sosiologi, ahli sejarah, penulis sekaligus editor berkebangsaan Amerika Serikat pernah meneliti kaum negro AS dan pengaruh psikologi dan kesehatan mereka akibat tindakan rasisme dari lingkungan sekitarnya.

Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa diskriminasi akibat ras, menghasilkan kesehatan yang buruk. Misalnya peradangan dan tidur yang lebih buruk; bayi lahir lebih kecil dan tingkat kematian bayi lebih tinggi; risiko kanker, depresi, dan penggunaan zat yang lebih besar.

Anggota kelompok minoritas yang sering mengalami diskriminasi ras dan sikap prasangka buruk (su’udzon) mengakibatkan stres kronis, dan hasil kesehatan lebih buruk bagi orang lain. Misalnya, di tengah peningkatan tajam sentimen anti-Arab setelah serangan 11 September, wanita dengan nama Arab—tetapi bukan wanita nama lain—memiliki peningkatan risiko kelahiran prematur dan bayi berat lahir rendah.

Penelitian juga menemukan,  pasien kulit hitam memiliki peningkatan tekanan darah lebih besar daripada pasien kulit putih. Mereka yang mengalami lebih banyak diskriminasi memiliki kenaikan terbesar dari semuanya.

Karenanya Islam menganjurkan berperasangka berprasangka baik (husnudzon), bukan berburuk sangka. (su’udzon) . Al-Quran mengatakan;

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اجۡتَنِبُوۡا كَثِيۡرًا مِّنَ الظَّنِّ اِنَّ بَعۡضَ الظَّنِّ اِثۡمٌ‌ۖ وَّلَا تَجَسَّسُوۡا وَلَا يَغۡتَبْ بَّعۡضُكُمۡ بَعۡضًا‌ ؕ اَ يُحِبُّ اَحَدُكُمۡ اَنۡ يَّاۡكُلَ لَحۡمَ اَخِيۡهِ مَيۡتًا فَكَرِهۡتُمُوۡهُ‌ ؕ وَاتَّقُوا اللّٰهَ‌ ؕ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيۡمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka buruk (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka buruk itu dosa. Dan janganlah sebagian kalian mencari-cari keburukan orang dan menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS: Al Hujurat :12)

Sebisa mungkin, berbuat baiklah kepada semua orang karena itu adalah amalan yang terpuji dan bermanfaat bagi semua pihak.  Dan selalu berprasangka baik kepada pencipta kita.

Jika kita diberkahi dengan rezeki yang melimpah, jangan lupa untuk mensyukuri nikmat-Nya. Jika kita sedang ditimpa musibah, kita sabar. Kita harus husnudzon disertai keikhlasan dan mentaati segala aturan Allah SWT.*

HIDAYATULLAH

Tata Cara Shalat Taubat, Ini Videonya

Setiap manusia, sadar atau tidak, pasti pernah melakukan dosa. Dalam Islam, bukan berarti orang yang berdosa adalah orang yang begitu hina dina sehingga tidak terbuka sama sekali jalan untuk memperbaiki diri. Justru, Allah membuka jalan selebar-lebarnya kepada makhluk-Nya untuk memperbaiki diri menjadi hamba yang lebih baik lagi di hadapan Tuhan. Dalam Islam, memperbaiki diri setelah berbuat dosa ini disebut dengan taubat.

Taubat, berasal dari dari kata bahasa Arab yang asal mulanya adalah kata taaba (Arab: ta-alif-ba’) yang memang artinya raja’ ‘an al-ma’shiyyah (kembali baik setelah sebelumnya berbuat dosa) atau nadima ‘ala maa shodaro ‘anhu (menyesal atas apa perilaku yang muncul dari dirinya). Ada banyak sekali kata taubat serta turunan katanya dalam Al-Qur’an dan hadis, yang seluruhnya berisi tentang anjuran untuk bertaubat, misalnya,

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ…

“… kecuali orang yang bertaubat, beriman, dan beramal shalih, maka mereka itulah orang-orang yang Allah ganti keburukan-keburukan mereka dengan kebaikan…”

Salah satu bentuk praktik kesunahan bertaubat adalah kesunahan melaksanakan shalat taubat. Nah, seperti apa tata cara shalat taubat tersebut? Apakah shalat taubat memiliki tata cara yang khusus dan berbeda dari shalat lainnya? Dan, ini biasanya pertanyaan favorit muslim beberapa dekade terakhir, apa dalil melaksanakan shalat taubat? Selengkapnya bisa ditonton di video Ustz. Yunal Isra berikut ini.

BINCANG SYARIAH

Buya Yahya: Kalau Hijrah Jangan Lebay

Tak ada manusia yang tak berdosa. Tak ada insan yang suci dari maksiat. Saban manusia, tentu pernah terjerumus dalam dosa. Setiap insan Tuhan, pernah tercemplung dalam kubangan dosa.  Namun, di balik itu semua, berbahagialah mereka yang sadar akan dosa, lantas taubat dan kembali pada Tuhan.

وَيٰقَوْمِ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ

Artinya; Mohon ampunlah pada Tuhan kalian dan bertobatlah kepada-Nya (Q.S al Hūd/11; 52)

Taubat merupakan pintu kembali manusia kepada Tuhan. Sejatinya, taubat  menurut Abdul Qadir Isa dalam kitab al Haqaiq at Tasawuf adalah kembali dari segala sesuatu yang tercela dalam pandangan syariat menuju sesuatu yang mulia. Taubat adalah kunci menggapai ridha Tuhan. Kunci utama untuk meniti jalan dalam syariat Allah.

Era sekarang, taubat ini kian populer di kalangan anak muda, tetapi dengan menggunakan istilah hijrah. Kata taubat pun, bertranformasi  menjadi hijrah. Meskipun  istilah antara keduanya—hijrah dan taubat—, masih menjadi perdebatan. Namun, mau tak mau, kata hijrah ini populer di kalangan anak muda. Tentu dengan nuansa taubat.

Kata hijrah ini, memainkan peran sentral di kalangan anak muda kota. Di pelbagai kota ada saja gerakan hijrah ini. Tergabung dalam pelbagai komunitas dan gerakan. Ada  gerakan hijrah di komunitas pecinta otomotif. Ada pemuda hijrah di kalangan pemain olahraga. Pun hijrah dari kalangan publik figur; artis, selebgram, aktor, dan penyanyi.

Gerakan  pemuda hijrah ini bak jamur di musim hujan. Dalam beberapa tahun belakangan muncul kepermukaan. Dengan pelbagai variannya. Meskipun terkadang ada sebagian gerakan ini terbilang kontroversial. Misalnya gerakan pemuda hijrah yang menganjurkan nikah muda. Anak muda dianjurkan menikah, meskipun pendidikan terkait rumah tangga nol besar. Yang penting nikah agar tak zina.

Ada juga gerakan hijrah lantas mengharamkan kerja di bank. Pasalnya kerja di bank itu riba. Dosa besar. Sebab adanya bunga bank. Kampanye ini massif. Bertaburan. Dan tak sedikit yang manusia yang terpengaruh. Alasan utama tadi, hijrah.

Belakangan juga, ada gerakan hijrah, boikot musik. Pasalnya, menganggap musik itu  haram. Profesi sebagai musisi terlarang dalam ajaran Islam. Musik itu pintu masuk maksiat. Gerakan ini ada saja yang meminatinya. Dan tergabung dalamnya.

Ada juga tersebar, anak muda yang baru hijrah lantas berangkat ke Suriah. Untuk berbait pada ISIS. Lantas menganggap Indonesia negara thagut. Pun di pelbagai aksi terorisme yang ada di Indonesia, pelakunya orang-orang yang memutuskan diri hijrah.

Inilah pelbagai corak gerakan hijrah yang ada di Indonesia. Tentu dengan pelbagai mode varian. Yang terkadang membuat kita heran. Pasalnya, membuat agama terlihat baku dan kaku. Cara hijrah gerakan ini membuat gambaran agama seram dan menakutkan.

Nasihat Bijak Buya Yahya terkait Hijrah  

Menurut Ustadz Yahya Zainul Maarif—yang lebih akrab disapa Buya Yahya—, banyak manusia yang ingin hijrah. Tentu itu merupakan sesuatu yang baik. Namun, pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah, Cirebon itu memberikan catatan penting bagi anak muda yang baru hijrah.

Menurut Buya Yahya, ketika seseorang ingin hijrah, ia harus menjadikan dirinya nyaman dan orang lain juga nyaman. Buya Yahya mencontohkan  bila seseorang yang menganggap dirinya hijrah,  lantas tidak mau bersalaman dengan seorang wanita, cukup menghindar dengan halus tanpa diketahui oleh wanita tersebut.

Tak perlu sampai  bilang “Astgfirullahal adzim, ini haram,”katanya. Pasalnya itu akan membuat orang lain merasa tidak nyaman. Pun merasa orang lain melakukan perbuatan dosa. Orang yang menganggap dirinya hijrah, cukup  menghindar dengan halus.

Pun ketika seseorang yang baru mengikrarkan diri hijrah, bila ingin memberikan menasehati pada orang lain, cukup dengan kata yang halus. Tak usah menggap diri paling benar. Tak perlu mengucapkan  “Ini loh kek saya ini syar’i, ahli surga”. Dengan begitu orang lain akan nyaman. Orang lain tidak merasa terganggu.

Hijrah itu kata Buya Yahya dengan ucapan yang lembut. Baik. Dengan akhlak mulia. Mengajak dengan lembut dan pesan indah. Demikianlah yang diperbuat Nabi Muhammad dalam dakwahnya. Rasulullah senantiasa berdakwah dan mengajak manusia dengan akhlak.

Terakhir, Buya Yahya juga berpesan,  bagi mereka yang baru hijrah, jangan terlalu lebay. “Jangan dikit-dikit qāla Rasulullah, malah enek nanti”. Seorang yang ingin mengajak manusia untuk hijrah harus memahami waktu dan tempat tepat. Pasalnya menyampaikan nasihat itu ada waktu.

Hal itu yang dipraktikkan Nabi selama 10 tahun di Mekah, dan 13 tahun di Madinah. Berdakwah dengan perlahan demi perlahan. Tidak dengan sekaligus. Pun tidak dengan kata-kata yang kasar dan memojokkan orang lain. Demikian nasihat Buya Yahya terhadap anak muda yang baru hijrah.

BINCANG SYARIAH

Benarkah Muharram Bulan Sial?

Alhamdulillâhi wahdah wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh…

Mitos Seputar Bulan Muharram

Sudah menjadi ‘keyakinan’ bagi sebagian masyarakat Indonesia –Jawa khususnya– bahwa bulan Muharram -atau bulan Suro dalam istilah Jawa- adalah bulan keramat. Pada tanggal-tanggal tertentu mereka menghentikan aktivitas–aktivitas yang bersifat hajatan besar, menghindari perjalanan jauh, sebab hari itu mereka anggap sebagai hari naas atau sial.

Bulan itu juga mereka takuti bagi pasangan yang hendak merencanakan pernikahan. Oleh karenanya mereka sangat menghindarinya dan memilih pernikahan dilaksanakan pada bulan-bulan lain. Pasalnya, -menurut klaim mereka- pernikahan yang dilangsungkan pada bulan Muharram kerap mendatangkan sial bagi pasangan, seperti perceraian, kematian, tidak harmonis, dililit utang, dsb. Budaya ini sudah mengakar sebagai warisan nenek moyang kita. Kami tidak tahu secara pasti ini dari mana sumbernya, tetapi mungkin saja sebagai pengaruh asimilasi budaya Hindu dan Islam yang ketika berbaur memunculkan isme baru yaitu paham kejawen.

Mitos Bulan Suro dalam Timbangan

Sejatinya, mitos tersebut di atas tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Batilnya mitos itu minimal bisa dipandang dari tiga tinjauan; tinjauan syariat Islam, sejarah dan sisi rasional.

1. Tinjauan Syariat

Dari segi syariat, bulan Muharram adalah bulan yang mulia dan termasuk dalam golongan 4 bulan istimewa yang diharamkan Allah.

Disunnahkan untuk memperbanyak puasa di bulan ini. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,

“أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ”.

Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah bulan Allah; Muharram. Dan shalat paling utama sesudah shalat fardhu adalah shalat malam”. HR. Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah.

Terlebih lagi berpuasa di tanggal sepuluh dari bulan ini, ditambah dengan tanggal sembilan atau sebelas. Rasulullah shallallahu’laihiwasallam bersabda,

”وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُوْرَاء أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ”.

“Aku berharap pada Allah agar puasa di hari ‘Asyura’ (tanggal sepuluh bulan Muharram) bisa menghapuskan dosa satu tahun lalu”. HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Qatadah.

Sedangkan yang dilarang oleh syariat di bulan ini adalah melakukan peperangan kecuali apabila umat Islam diperangi. Termasuk diharamkan pula perbuatan-perbuatan menzalimi diri sendiri. “Perbuatan maksiat di bulan ini dilipatgandakan dosanya”. Apalagi jika maksiat tersebut bernuansa syirik dan khurafat, seperti keyakinan bahwa bulan ini adalah bulan sial.

Meyakini adanya hari atau bulan sial merupakan bentuk celaan terhadap waktu yang Allah ciptakan, dan itu beresiko mencela Allah yang menciptakannya. Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ؛ فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ”.

“Janganlah kalian mencela dahr (waktu) karena Allah itu adalah dahr”. HR Muslim (XV/6 no. 5827) dari Abu Hurairah.

Maksudnya bahwa Allah adalah pencipta waktu, sebagaimana terdapat dalam riwayat lain yang menjadi penafsir hadits di atas. Dan mencela ciptaan Allah beresiko mencela Penciptanya. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: يُؤْذِيْنِيْ ابْنُ آدَمَ، يَسُبُّ الدَّهْرَ، وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِيَ الْأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ”.

“Allah ‘azza wa jalla berfirman, Anak Adam telah menyakiti-Ku; ia mencela dahr (waktu), padahal Aku adalah (pencipta) dahr. Di tangan-Ku segala perkara, Aku memutar malam dan siang. HR. Bukhari

(hal. 1034 no. 5827) dan Muslim (XV/5 no. 5824) dari Abu Hurairah.

Hari, bulan dan tahun yang Allah ciptakan semuanya baik, tidak ada yang sial atau naas. Sesungguhnya kesialan, kecelakaan adalah bagian dari takdir Allah, yang tidak diketahui hamba-Nya kecuali setelah terjadi. Allah bisa menimpakan kesialan atau kenaasan kepada siapapun, di manapun dan kapanpun, bila Allah menghendakinya. Dan hamba harus rela menerima takdir tersebut.

Perlu diketahui pula bahwa mengkambinghitamkan waktu sebagai penyebab kesialan suatu usaha, sejatinya merupakan mitos masyarakat Arab jahiliyah. Mereka sering berkumpul di berbagai kesempatan untuk berbincang-bincang tentang berbagai hal dan terkadang dalam perbincangan mereka terlontar ucapan-ucapan yang mempersalahkan waktu sebagai penyebab kesialan usaha mereka, atau manakala mereka ditimpa berbagai musibah lainnya.

Di samping itu, keyakinan adanya hari atau bulan sial merupakan bentuk thiyarah atau tasya’um (menganggap sial sesuatu) yang dilarang oleh Nabi shallallahu’alaihiwasallam, karena ia merupakan kesyirikan yang biasa dilakukan oleh kaum jahiliyah sebelum Islam. Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“الطِّيَرَةُ شِرْكٌ”.

Thiyarah adalah kesyirikan” (beliau mengulanginya 3x). HR. Ahmad dan dinyatakan sahih oleh al-Hakim, Ibn Hibban dan al-Albany.

Kemudian perlu diketahui juga bahwa tidak ada larangan melakukan aktifitas yang mubah di bulan Muharram, apalagi yang bernuansa ibadah, semisal pernikahan.

2. Tinjauan Sejarah

Pada bulan ini pula –tepatnya tanggal 10– Nabi Musa ‘alaihissalam selamat dari kejaran tentara Fir’aun. Ibnu ‘Abbas mengisahkan, “Ketika Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam kembali ke Madinah, beliau mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’. Maka beliau bertanya kepada mereka, “Hari apa ini yang kalian sekarang sedang berpuasa?” Maka mereka menjawab, “Hari ini adalah hari yang agung di mana Allah ta’ala menyelamatkan Nabi Musa bersama kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, maka Nabi Musa berpuasa pada hari itu untuk menyukurinya, kemudian kami mengikutinya”. Rasulullah pun bersabda, “Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa dari pada kalian”. Kemudian beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa pula”. HR. Bukhari dan Muslim.

Kisah ini menuturkan kejadian suka-cita, bukan duka cita, apalagi kisah kesialan. Jadi, menganggap bulan Muharram sebagai bulan naas tidak ada landasan sejarah yang membenarkannya. Karena pada bulan ini justru kita mendapatkan anugerah yang sangat tinggi, wajarlah jika kemudian kaum muslimin mensyukurinya dengan berpuasa tanggal 10 Muharram.

3. Tinjauan Produktifitas Amal

Secara rasional, tidak dipergunakannya sebuah hari –lebih-lebih sebulan– untuk melakukan aktivitas sebagaimana layaknya, tentu akan mengurangi produktifitas kerja atau amal. Ketika pada hari itu semestinya bisa dimanfaatkan misalnya untuk melakukan perjalanan pulang kampung, atau berangkat ke tempat kerja, pendidikan, silaturrahim atau hal-hal lain yang sangat bermanfaat, maka semuanya harus ditunda besok harinya atau harus buru-buru dilakukan sehari sebelumnya.

Masyarakat cenderung memahami naasnya suatu usaha hanya pada masalah-masalah duniawiyah. Takut kecelakaan, takut bangkrut, takut miskin dan takut mati. Ini menunjukkan bahwa orientasi kerja mereka hanya semata-mata hasil yang bagus, sementara mereka tidak siap untuk menerima kerugian, apalagi sampai pada tingkat kematian; karena mereka memang tidak cukup bekal amal untuk itu. Padahal semua manusia pasti mengalaminya. Dan yang jelas waktunya tidak mesti pada bulan Muharram, melainkan di semua bulan manusia bisa mendapatkan keberuntungan maupun kerugian. Tidak ada satu pun penelitian yang menghasilkan data bahwa pada bulan Muharram angka kecelakaan meningkat, ratio kematian paling tinggi, kasus perceraian paling banyak, dsb. Apakah dengan menghindari bulan ini dari melakukan aktivitas tertentu lantas dijamin bebas dari masalah? Tentu tidak jawabannya, sekali lagi semua tergantung dari usahanya dan taufiq dari Allah ta’ala, bukan waktu naas atau mujurnya.

Kita kan masyarakat Jawa?!

Manakala dipaparkan keterangan di atas, barangkali akan ada sebagian kalangan yang berdalih, “Walaupun beragama Islam, namun kita kan tinggal di tanah Jawa, jadi tidak etis jika kita tidak mengikuti atau menghormati adat istiadat masyarakat Jawa!”.

Jawabannya: Allah telah memerintahkan dalam al-Qur’an agar kita bertotalitas dalam berislam. Kata Allah,

“يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا ادْخُلُوْا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ”.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagi kalian”. QS. Al-Baqarah: 208.

Bukanlah merupakan sikap totalitas dalam beriman, manakala seseorang shalat, puasa dan zakat dengan cara Islam, namun berkeyakinan dengan sesuatu yang tidak selaras dengan ajaran Islam.

Islam bukanlah agama yang menolak mentah-mentah setiap adat istiadat, apalagi jika budaya tersebut selaras dengan ajaran Islam. Namun Islam akan memerangi budaya manakala bertabrakan dengan ajarannya, sebagai upaya agar para pengikutnya patuh dengan setiap aturan yang digariskan oleh Allah jalla wa ‘ala.

Renungan di awal tahun

Sebagai renungan dalam momen tahun baru ini marilah kita introspeksi kembali segala apa yang telah kita lakukan pada tahun kemarin, terutama jika pada tahun lalu kita masih memiliki mitos sebagaimana di atas, maka mulai tahun ini marilah kita buang jauh-jauh itu semua sebagai bentuk komitmen untuk selalu melakukan perbaikan demi perbaikan setiap saat, terutama terhadap keimanan dan amal kita. Tahun ini harus lebih baik dari tahun kemarin. Allah ta’ala berfirman,

“يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ”.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Hasyr (59): 18). Wallahu a’lam…

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Purbalingga, 9 Desember 2010

* Tulisan ini kami ringkas dari makalah di situs Musholla al-Barokah yang berjudul “Asyura dalam Perspektif Islam, Syi’ah dan Kejawen” dengan beberapa tambahan dari beberapa sumber, antara lain: makalah berjudul “Asyuro Hari Raya Anak Yatim?” yang dimuat dalam situs As-Sunnah.

Sebagaimana dalam QS. At-Taubah: 36. Lihat tafsir ayat tersebut dalam Tafsîr al-Qurthuby (X/197), Tafsîr Ibn Katsîr (IV/144-149), Jâmi’ al-Bayân karya al-Îjiy (hal. 378), Tafsîr al-Jalâlain karya as-Suyûthy dan al-Mahally (hal. 201) dan Tafsîr as-Sa’dy (hal. 296).

Tafsîr Ibn Katsîr (IV/148).

Lihat: Syarh Shahîh Muslim karya an-Nawawy (XV/5-6) dan Fath al-Bâry karya Ibn Hajar al-‘Asqalany (VIII/730-731).

Cermati: Ibid.

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, MA
Artikel tunasilmu.com, dipublish ulang oleh muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/7694-benarkah-muharram-bulan-sial.html

Inilah Rute Hijrah Nabi Muhammad SAW Dahulu

Nabi Muhammad menunjukkan kelasnya sebagai ahli strategi saat merencanakan hijrah

Ketika berbagai cobaan dan ujian silih berganti dialami umat Islam, Rasulullah SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk segera berhijrah ke Yatsrib. Perihal tempat untuk hijrah ini, Allah SWT telah memberitahukan Rasulullah.

Dalam buku berjudul Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Martin Lings mengungkapkan, Nabi SAW sudah mengetahui bahwa Yastrib adalah lahan subur di antara dua jalur batu-batu hitam yang beliau lihat dalam mimpinya. Beliau juga tahu bahwa tibalah waktunya untuk hijrah.

Sementara itu, Dr Ahzami Samiun Jazuli dalam bukunya mengenai Hijrah dalam Pandangan Al-Quran menuliskan, Imam Muslim mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Aku melihat dalam tidur bahwa aku berhijrah dari Makkah menuju suatu tempat yang banyak terdapat pohon kurma. Aku mencoba menebak apakah itu Yamamah atau Hajar? Namun, ternyata, itulah Kota Yatsrib.” (Shahih Muslim: 2272).

Rasul pun memerintahkan para sahabatnya untuk segera berhijrah, baik secara sendiri-sendiri maupun berkelompok. Adapun Rasul SAW, rencananya akan menyusul setelah semua umat Islam berhijrah ke Madinah. Sebab, Rasul mengetahui, yang dimusuhi oleh kaum kafir Quraisy adalah diri beliau, dan bukan kaum Muslimin.

Kaum Quraisy pun menyiapkan strategi untuk melakukan penangkapan terhadap Rasul SAW. Namun, rencana kaum Quraisy ini diketahui oleh Nabi SAW. Saat itu, Rasulullah sendiri memang masih tinggal di Makkah dan kaum Muslim sudah tidak ada lagi yang tinggal, kecuali sebagian kecil. Sambil menunggu perintah Allah SWT untuk berhijrah, Nabi SAW menemui Abu Bakar dan memberitahukannya untuk bersiap hijrah ke Madinah.

“Dan, katakanlah, Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.”(Al-Isra [17]: 80).

Di sinilah, sebagaimana dipaparkan Muhammad Husain Haekal dalam bukunya Hayatu Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), dimulainya kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya demi kebenaran, keyakinan, dan keimanan.

Untuk mengelabui kaum Quraisy, Rasulullah memutuskan akan menempuh jalan lain (rute yang berbeda) dari jalur yang biasa digunakan penduduk Makkah untuk menuju Madinah. Rasulullah SAW memutuskan akan berangkat bukan pada waktu yang biasa.

Padahal, Abu Bakar sudah menyiapkan dua ekor unta sebagai kendaraan yang akan dipergunakan Nabi SAW pada saat berhijrah. Hijrah ini dilakukan semata-mata untuk menyelamatkan dakwah dan akidah Islam serta kaum Muslimin.

Rute yang ditempuh Rasul itu adalah setelah keluar dari rumah beliau, jalan yang ditempuh adalah Gua Tsur, berjarak sekitar 6-7 kilometer di selatan Makkah. Sedangkan Madinah berada di sebelah utara Makkah. Langkah ini diambil untuk mengelabui kafir Quraisy. Di Gua Tsur ini, Rasulullah dan Abu Bakar tinggal selama kurang lebih tiga hari.

Selanjutnya, beliau mengambil jalur ke arah barat menuju Hudaibiyah, arah sebelah timur desa Sarat. Kemudian, menuju arah Madinah dan berhenti di sebuah kawasan di al-Jumum dekat wilayah Usfan. Lalu, bergerak ke arah barat dan memutar ke perkampungan Ummul Ma’bad dan berhenti di wilayah Al-Juhfah.

Selanjutnya, beliau menuju Thanniyat al-Murrah, Mulijah Laqaf, Muwijaj Hujaj, Bath Dzi Katsir, hingga tiba di Dzu Salam. Di sini, beliau memutar ke arah barat sebelum meneruskan ke arah Madinah dan berhenti di daerah Quba. Di sinilah beliau mendirikan Masjid Quba, yaitu Masjid pertama yang didirikan Rasul SAW.

Setelah dari Quba, atau sekitar satu kilometer dari Quba, beliau bersama umat Islam lainnya, melaksanakan shalat Jumat. Untuk memperingati peristiwa itu, dibangunlah masjid di lokasi ini dengan nama Masjid Jumat. Setelah itu, barulah Rasul SAW menuju Madinah.

KHAZANAH REPUBLIKA

8 Kunci Berbakti kepada Kedua Orangtua

MARI kita bertanya pada diri kita sendiri, sudah seberapa besar kasih sayang yang telah kita tunjukkan kepada kedua orangtua? Berapa banyak pengorbanan yang telah kita lakukan untuk mereka?

Jika boleh jujur, banyak dari kita yang masih belum mampu secara maksimal memuliakan keduanya, bahkan tidak pandai menjaga hati keduanya.

Berbakti kepada kedua orangtua (birrul walidain) merupakan naluri dan fitrah setiap manusia. Dalam jiwa setiap orang tertanam sifat cinta/hormat pada kedua orangtuanya.

Kita harus tahu bagaimana menjaga hati orangtua kita dan mengamalkannya sejak dini. Dengan membiasakan sifat ini, akan menjadi kebiasaan dan terbawa sampai suatu saat nanti.

Di bawah ini adalah kunci-kunci berbakti kepada orang tua (sekaligus meralat kesalahan)

  1. Bersikap Hormat dalam Keadaan Apapun

Bersikaplah hormat dalam situasi emosional apa pun. Mungkin kita pernah marah, pernah frustasi, tapi perasaan yang terbaik adalah tidak mengurangi rasa hormat kita kepada kedua orangtua kita. Tetaplah tenang dan bijaksana dalam menjaga emosi dengan baik.

Perintah untuk berbakti kepada orangtua sendiri telah dijelaskan dalam Al-Quran dan hadis. Dalam Al-Quran Surat Al Isra ayat 23, Allah memerintahkan kita untuk senantiasa menyembah kepada-Nya dan berbuat baik kepada orangtua, yakni ibu dan bapak.

وَقَضٰى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِالْوٰلِدَيْنِ إِحْسٰنًا   ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS: Al Isra: 23).

Abu ‘Amr Asy-Syaibani meriwayatkan, pemilik rumah ini (seraya menunjuk ke rumah Abdullah bin Mas’ud) menyampaikan kepadaku;

سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: «الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا» قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ» قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «ثُمَّ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ» قَالَ: حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي

“Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasul menjawab, “Shalat pada (awal) waktunya.” “Kemudian apa lagi?” Nabi Menjawab lagi, “Berbakti kepada kedua orangtua.”Aku bertanya kembali.” “Kemudian apa lagi?” “Kemudian jihad fi Sabilillah.”

Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda:

« رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ »

Artinya: “Sungguh terhina, sungguh terhina, sungguh terhina.” Ada yang bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Sungguh hina) seorang yang mendapati kedua orangtuanya yang masih hidup atau salah satu dari keduanya ketika mereka telah tua, namun justru ia tidak masuk Surga.” (HR: Muslim)

  1. Jangan Mendebat Meski Ada Perbedaan Pendapat

Pendapat harus disampaikan dengan cara yang halus dan sopan, tidak kasar. Beda generasi, beda usia, beda pengalaman membuat ruang perbedaan mungkin semakin lebar. Meski demikian, jangan mendebatnya (apalagi dengan mengucapkan kata-kata kasar) kepada mereka.

Dalam Tafsir Thobari disebutkan kisah dialog antara Nabi Ibrahim dan Ayahnya. Nabi Ibrahim menasehati orangtuanya dengan dialektika penuh hormat yang ia tunjukkan kepadanya, terkait keyakinan ayahnya dalam menyembah patung.  Nabi Ibrahim tidak pernah memaksakan kehendaknya, meski tahu sang Ayah salah.

  1. Jangan Penah Meninggikan Suaramu

Bagaimana pun perasaan kita saat itu, jangan pernah meninggian suara. Apalagi sampai berteriak, apalagi sampai membentak saat berbicara dengan orangtua. Tidak semua orang bisa mengontrol emosi saat marah, tapi cobalah berbicara dengan lembut kepada kedua orangtua.

Allah Swt memerintahkan kita untuk merendahkan suara , sebagaimana firman-Nya dalam dalam QS: 31 (Luqman) ayat 19:

وَٱقۡصِدۡ فِى مَشۡيِكَ وَٱغۡضُضۡ مِن صَوۡتِكَ‌ۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَٲتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِيرِ

Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” (QS: Luqman : 19).

Dalam QS al-Hujurat ayat 2 Allah melarang orang-orang yang beriman meninggikan suara melebihi suara Nabi Muhammad ﷺ. Berbicara cukuplah dengan suara yang bisa didengar dan dimengerti oleh teman bicara. Suara yang lunak dan lembut memberikan kesan adanya kasih sayang di dalamnya.

  1. Menjaga Hati Orangtua dengan Selalu Meminta Izinya

Rasulullah ࿟ menyebutkan bahwa ridha Allah Ta’ala bergantung pada ridha orangtua. Sama halnya dengan mencari ridha Allah yang merupakan suatu kewajiban, demikian pula dengan mencari ridha orangtua.

Minta izin dan cium tangan orangtua sebelum pergi atau setelah pulang. Kami menerapkan ini berdasarkan apa yang diajarkan orangtua kami ketika kami masih kecil.

Dari Abdullah bin ’Umar, ia berkata:

رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ وَ سَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ

Artinya: “Ridha Allah tergantung pada ridha orangtua dan murka Allah tergantung pada murka orangtua.” (HR:  Tirmidzi)

Abdullah bin ‘Amru radhiallahu ‘anhuma,  berkata;

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الجِهَادِ، فَقَالَ: «أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ

“Seorang pria mendatangi Nabi ࿟ untuk meminta izin beliau agar diberangkatkan berjihad. Maka beliau bertanya, ”Apakah kedua orangtua Anda masih hidup?”  Pria tersebut menjawab, ”Iya”.  Maka Nabi pun berkata, ”Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya.” (HR: Shahih, Bukhari, dan Muslim).

  1. Tidak Memarahi atau Mencela Orangtua

Jangan pernah memarahi orangtua meskipun kita merasa ada yang salah dengan mereka. Teguran harus disampaikan dengan sopan.  Karena sangat penting bagi kita menjaganya. Jangan pernah memarahi mereka bahkan jika mereka berada di pihak yang salah.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ ؟ قَالَ : نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ

Dari Abdullâh bin ‘Amr bin al-‘Ash, bahwa Rasûlullâh ﷺ bersabda, “Termasuk dosa besar, (yaitu) seseorang mencela dua orangtuanya,” mereka bertanya, “Wahai Rasûlullâh, adakah orang yang mencela dua orangtuanya ?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, seseorang mencela bapak orang lain, lalu orang lain itu mencela bapaknya. Seseorang mencela ibu orang lain, lalu orang lain itu mencela ibunya.” (HR: al-Bukhâri,  dan Muslim).

  1. Jangan Menasehati atau Berceramah pada Orangtua

Jangan mengajar, menasihati atau memberi ceramah pada orangtua. Hatta, ilmu kita sekelas doktor atau profesor sekalipun. Ketika ingin memberikan pendapat atau orangtua yang meminta pendapat kita, maka perlu memberi dengan sopan dan bijaksana.

Mendengarkan lawan bicara dengan sangat antusias adalah anjuran Islam. Bahkan meskipun kita pernah mendengar hal tersebut sebelumnya, hendaklah kita tetap mendengarkan dengan baik.

Adalah ulama dan perawi hadits dari golongan tabi’in, yang bertempat tinggal di Makkah, ‘Ataa’ bin Abi Rabah yang begitu bijak menghadapi lawan bicara, hatta, beliau sudah mengerti. Beliau berkata;

إن الرجل ليحدِّثني بالحديث فأنصت له كأني لم أسمعه وقد سمعته قبل أن يولد

“Ada seseorang laki-laki menceritakan kepadaku suatu cerita, maka aku diam untuk benar-benar mendengarnya, seolah-olah aku tidak pernah mendengar cerita itu, padahal sungguh aku pernah mendengar cerita itu sebelum ia dilahirkan.” (dalam Siyar A’laam An-Nubala 5/86).

Kemampuan mendengar dan mengamati dengan baik jarang dimiliki oleh kebanyakan orang. Sebagian besar hanya pandai dalam percakapan, tetapi cukup lancar dalam hal mendengarkan percakapan orang lain dengan baik.

Mungkin ada banyak perbedaan pandangan, pendapat, pengetahuan dalam banyak hal yang mungkin tidak akan pernah sama. Tapi mereka berhak mendapatkan cinta dan kasih sayang dari kita.

  1. Jangan pernah Menyela Pembicaraanya

Jangan sekali-kali menyela pembicaraan orangtua. Adab seorang Muslim adalah bersikap baik dan hormat kepada lawan bicara, apalagi terhadap orangtua.

Betapapun mereka keliru, sebaiknya, anak mendengarkan saja, kecuali ketika kita diminta pendapat.  Kita tahu kapan harus berbicara dan kapan harus mengamati dengan baik.

Kebiasaan memotong pembicaraan atau menyela pembicaraan orang lain adalah orang tindakan tidak sopan. Imam Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata;

إذا جالست فكن على أن تسمع أحرص منك على أن تقول , و تعلم حسن الاستماع كما تتعلم حسن القول , و لا تقطع على أحد حديثه

“Apabila engkau sedang duduk berbicara dengan orang lain, hendaknya engkau bersemangat mendengar melebihi semangat engkau berbicara. Belajarlah menjadi pendengar yang baik sebagaimana engkau belajar menjadi pembicara yang baik. Janganlah engkau memotong pembicaraan orang lain.” (dalam Al-Muntaqa hal. 72).

Bahkan Al-Quran sendiri yang melarang kita berbicara ‘AH’ kepada kedua orangtua. Berkata ‘ah’ saja dilarang, apalagi memotong pembicaraan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” (QS: Al-Israa’ : 23-24).

  1. Menjaga Hati dan Mengutamakan Keduanya

Tata cara lain berbakti kepada orangtua adalah sikap sehari-hari yang mengutamakan orangtua dalam segala kegiatan. Seperti menyediakan tempat duduk, mendahulukan makan, minum dan sebagainya.  Moralitas seperti ini sudah mulai jarang kita temukan dalam jiwa anak muda zaman sekarang.

Dalam Kitab Shahih Muslim hadits no 1603 disebutkan;

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ قَالَ قَالَ سَمُرَةُ بْنُ جُنْدُبٍ لَقَدْ كُنْتُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غُلَامًا فَكُنْتُ أَحْفَظُ عَنْهُ فَمَا يَمْنَعُنِي مِنْ الْقَوْلِ إِلَّا أَنَّ هَا هُنَا رِجَالًا هُمْ أَسَنُّ مِنِّي

Dari Abdullah bin Buraidah ia berkata, Samurah bin Jundub berkata; “Pada masa Rasulullah ﷺ aku masih kecil, dan telah menghafal (beberapa hadits) dari beliau, maka tidak ada yang menghalangiku untuk berbicara kecuali karena di sini terdapat orang-orang yang usia mereka lebih tua dariku.  (HR: Muslim).

Masih banyak hadits-hadits lain yang menuntunkan kita agar berbakti kepada orangtua dengan menghormati dan mendahulukan yang lebih tua.*

HIDAYATULLAH

Amalan Doa dari Tanggal 1 Hingga 10 Muharram

Dalam kitab Kanzun Najah Was Surur, Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali menyebutkan bahwa terdapat satu doa yang dianjurkan untuk dibaca setiap hari sejak tanggal 1 hingga 10 Muharram. Doa ini dibaca sebanyak 3 kali dalam sehari. Disebutkan bahwa siapa saja yang membaca doa ini, maka dia akan dilindungi keburukan setan selama setahun.

Doa yang dimaksud adalah sebagai berikut;

اللهم إِنَّكَ قَدِيْمٌ وَهٰذَا الْعَامُ جَدِيْدٌ قَدْ أَقْبَلَ، وَسَنَةٌ جَدِيْدَةٌ قَدْ أَقْبَلَتْ، نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا، وَنَسْتَكْفِيْكَ فَوَاتَهَا وَشُغْلَهَا، فَارْزُقْنَا الْعِصْمَةَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، اللهم إِنَّكَ سَلَطْتَ عَلَيْنَا عَدُوًّا بَصِيْرًا بِعُيُوْبِنَا، وَمُطَّلِعًا عَلَى عَوْرَاتِنَا، مِنْ بَيْنِ أَيْدِيْنَا وَمِنْ خَلْفِنَا، وَعَنْ أَيْمَانِنَا وَعَنْ شَمَائِلِنَا، يَرَانَا هُوَ وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا نَرَاهُمْ، اللهم آيِسْهُ مِنَّا كَمَا آيَسْتَهُ مِنْ رَحْمَتِكَ، وَقَنِّطْهُ مِنَّا كَمَا قَنَّطْتَهُ مِنْ عَفْوِكَ، وَبَاعِدْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ كَمَا حُلْتَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَغْفِرَتِكَ، إِنَّكَ قَادِرٌ عَلَى ذٰلِكَ، وَأَنْتَ الْفَعَّالُ لِمَا تُرِيْدُ، وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Ya Allah, Engkau Maha Qadim, dan ini adalah tahun baru, tahun baru telah menjelang, kami memohon segala kebaikan-kebaikan tahun ini, dan kami mohon perlindungan dari segala keburukan-keburukan tahun ini. Kami mencukupkan diri dengan Engkau atas kehilangan atau kesibukan tahun ini, maka berilah kami rizki penjagaan dari setan yang terkutuk. Ya Allah, Engkau menguasakan untuk kami setan sebagai musuh bagi kami. Mereka dapat melihat aib kami, dan menyaksikan aurat kami dari depan, belakang, kanan dan kiri, mereka dan golongannya dapat melihat kami sementara kami tidak dapat melihat mereka.

Ya Allah, putus asakan mereka atas kami sebagaimana Engkau putus asakan mereka dari rahmat-Mu. Ya Allah, cegahlah mereka dari kami sebagaimana Engkau mencegah mereka dari pengampunan-Mu. Jauhkan mereka dari kami sebagaimana Engkau menghalang-halangi mereka dari pengampunan-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang berkuasa untuk itu, Engkau Maha berbuat atas segala yang Engkau kehendaki. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat atas junjungan kami Nabi Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya, dan semoga Dia memberi keselamatan.

BINCANG SYARIAH

Mualaf Aziz, Akhir Perjalanan 3 Tahun Sembunyikan Islam

Mualaf Muhammad Abdul Aziz menyembunyikan keislamannya selama tiga tahun

 Dalam hidup, perkara yang sangat disyukurinya ialah berislam. Loe Kwang Ik, demikian nama aslinya, mulai mengenal agama ini dari seseorang yang dekat dengannya. Pada akhirnya, lelaki kelahiran Jakarta itu mantap mengimani tauhid. Sejak menjadi Muslim, dirinya memilih nama baru yaitu Muhammad Abdul Aziz.

Pria yang akrab disapa Koh Aziz itu kini mendedikasikan waktunya untuk syiar Islam. Menurut sosok berdarah Tionghoa tersebut, dakwah adalah jalan hidup yang ideal bagi seorang Muslim. 

Dengannya, pesan rahmat bagi semesta (rahmatan lil `alamin) yang juga merupakan karakteristik agama ini dapat disampaikan kepada seluas-luasnya khalayak.

Ketertarikannya pada Islam bermula dari keluarga. Memang, kedua orang tuanya adalah non-Muslim. Namun, kakaknya menjadi mualaf ketika Aziz masih berusia kanak-kanak. Kesan yang didapatnya terus membekas dalam benak pikiran.

Ayah dan bundanya sangat menentang keputusan abangnya itu. Alhasil, suasana di rumah sempat menjadi kurang harmonis. Apalagi, keduanya menganggap budaya mereka tidak akan sesuai dengan Islam. 

Kaum Muslimin dipandangnya sebelah mata. Kebanyakan orang Islam distigmakan sebagai bukan kaum kaya, berpakaian tidak bersih dan rapi, serta pelbagai perilaku negatif lainnya.

Saat itu, Aziz adalah bocah berumur 11 tahun. Namun, nalarnya sudah mencoba mengurai ketidakharmonisan dalam rumah. Ia tidak ikut-ikutan menghakimi kakaknya, sebagaimana yang ditunjukkan bapak dan ibunya. Yang di lakukannya ialah berdialog dengan abangnya itu.

Dari obrolan tersebut, Aziz kecil mulai mengenal sedikit tentang dasar-dasar Islam. Misalnya, bagaimana konsep ketuhanan menurut agama ini. Selain itu, diceritakan pula tentang Nabi Muhammad SAW, sosok yang menyebarkan risalah tersebut.

“Saya ditanya mengenai keyakinan akan Tuhan dan koko (kakak) saya menjelaskan tentang konsep ketuhanan dalam Islam. Itu dikaitkannya dengan fakta yang ada. Akhirnya, saya semakin ragu dengan konsep ketuhanan yang saya yakini selama itu (di agama lama),” ujar Muhammad Abdul Aziz mengenang.

Seharian itu, ia bertukar wawasan dengan kakaknya. Sang abang tiap memasuki waktu adzan, selalu pamit untuk mendirikan sholat. Begitu seterusnya hingga tak terasa, malam pun tiba. 

Keesokan harinya, Aziz menemui kakaknya. Dalam hatinya, tidak ada keraguan sama sekali. Ia meyakini bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Terlebih lagi, tauhid sangat mudah dipahami. Hanya ada satu Tuhan. Dialah Allah Yang Maha-Esa. Dia Yang tidak beranak, tidak pula diperanakkan. Bagi Aziz, dalil tersebut begitu masuk akal. 

Waktu itu, suatu hari pada 1991, ia pun menyatakan diri masuk Islam. Oleh abangnya, lelaki kelahiran 23 Agustus 1980 itu dibimbing untuk melafalkan dua kalimat syahadat. Pelan-pelan, meski terbata-bata, akhirnya meluncurlah ikrar ini dari lisannya: Asyhaduan Laa Ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah, `saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah. 

Sesudah itu, Aziz mulai merasakan kekhawatiran. Sebabnya, tidak ada selain bahwa kedua orang tuanya dapat mengetahui keislaman nya. Karena itu, ia memutuskan untuk menyembunyikan iman tersebut untuk sementara waktu. Perkara ibadah dan lain-lain tetap dijalaninya. Bahkan, kadang-kadang dirinya terpaksa sholat di tempat ibadah agama sebelumnya. 

Semua dijalaninya dengan penuh kesabaran. Syukurlah, kakaknya dengan setia membimbing dan mendampinginya. Abangnya itu pun membimbing dengan arahan seorang ustaz. Ada lagi mentornya, yakni seorang kawannya, mantan mahasiswa universitas Islam yang pernah kuliah kerja nyata (KKN) di kantor orang tuanya. 

Tahun demi tahun berganti. Aziz berhasil melalui satu per satu jenjang pendidikan.Setelah lulus SMP, ia berpisah dengan kedua orang tuanya. Mereka kembali ke Jakarta, sedangkan Aziz tetap di Jawa Timur, tepatnya Jember. Karena jauh dari keduanya, ia merasa lebih bebas untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya sekarang: Islam. 

“Tiga tahun saya menjadi Muslim dan beribadah secara sembunyi-sembunyi. Sejak hidup mandiri, saya bertekad untuk serius menjalani dan mendalami ajaran Islam,” katanya.

Dalam hal ini, tentu saja belajar agama tidak bisa sendirian. Ia pun mulai mencari seorang dai atau ustadz yang bersedia mengajarinya. Pemuda itu berkunjung dari satu masjid ke masjid lainnya. 

Bersyukur ke hadirat Allah Ta’ala. Saat itu, dirinya biasa mengadakan perjalanan hingga ke Yogyakarta. Di Kota Pelajar, baru lah ada seorang ahli agama Islam yang bisa membimbing kalangan mualaf, seperti dirinya.

Terlebih lagi, di sana cukup banyak mualaf yang berusia sebaya dengannya. Aziz pun kian bersemangat untuk mempelajari Islam, terutama mengaji Alquran dan melancarkan bacaan-bacaan sholat. Salah seorang pengajar yang cukup berkesan baginya kala itu ialah Ustadz Nuke Anugrah Lesmana. 

Banyak hal yang diajarkan Ustadz Nuke kepadanya. Tidak hanya ilmu-ilmu agama, motivasi pun kerap disampaikannya. Pesan yang berkali-kali ditekankannya: seorang Muslim harus terus istiqamah di jalan takwa. Sebagai seorang mualaf, Aziz mengenang, saat itu dirinya merasakan cobaan yang cukup berat. Tiga tahun lamanya sempat menyembunyikan keimanan. Rasanya, tidak mudah untuk menerapkan hidup islami dengan baik, semisal perkara makanan dan sebagainya. 

Karena itu, perantauannya selama di Jawa Timur dan juga Yogyakarta adalah blessing in disguise. Mulai saat itu, konsistensi bisa dipupuknya tahap demi tahap.

Pada akhirnya, Aziz mengungkapkan jati dirinya sebagai Muslim. Sebelum itu, ia terlebih dahulu curhatke Ustadz Nuke dan sahabat-sahabat terdekat. Semuanya mendukung keputusannya untuk mulai terbuka dengan kedua orang tuanya mengenai iman.Kalaupun nanti, umpamanya, Aziz diusir dari rumah, beberapa kawan bersedia memberikan tempat untuk bernaung.

Hari yang dinanti-nanti tiba. Tentu saja, ayah dan ibunya terkejut dengan pengakuan putranya itu. Dalam bayangan mereka, terulang lagi perkara yang pernah terjadi pada si sulung, kakaknya Aziz. Karena itu, diputuskanlah bahwa tidak ada pengusiran.

Menurut keduanya, percuma diusir karena nanti seisi rumah hanya menjadi sasaran cibiran tetangga. Belum lagi, di luar sana anaknya itu bisa saja mendapatkan lebih banyak dukungan. 

Alhasil, Aziz dibiarkan untuk tinggal di rumah. Namun, perlakuan terhadapnya kian terasa berubah. Sering kali ia dibujuk rayu atau disindir agar kembali ke agama lama. 

Sampai di sini, Aziz teringat pesan Ustaz Nuke: perlakukanlah kedua orang tua dengan penuh cinta, hormat, dan sopan santun. Sebab, itulah yang diajarkan Islam. Jangan sampai perbedaan iman menjadi penyebab kedurhakaan seorang anak terhadap ayah dan ibu. 

Maka, Aziz terus menunjukkan baktinya kepada mereka. Harapannya, Allah membukakan pintu hidayah bagi kedua orang tuanya. Atau, setidaknya, suasana harmonis dapat kembali hidup di dalam rumah. 

“Di keluarga, saya adalah anak paling muda. Sikap saya, ingin tetap takzim, menghormati mereka. Dengan begitu, harapannya, mereka menyadari bahwa akhlak seorang Muslim adalah (anak) tetap menghormati orang tua,” ucapnya.

Tibalah masanya Aziz lulus SMA. Dengan komitmen ingin hidup mandiri, yakni tidak terus-menerus membebani orang tua, ia memutuskan untuk menikah. Waktu itu, dirinya sudah memperoleh pekerjaan tetap walau dengan gaji tidak begitu banyak.

Ia pun melamar seorang perempuan Muslimah. Setelah lamaran, Aziz kemudian berbicara bahwa dia akan menikah. Tentu kedua orang tuanya terkejut. Sebab, semua itu seperti tanpa persiapan. Waktu akad hanya selang dua hari sejak lamaran.

Usai menikah, Aziz dan istrinya menyewa sebuah rumah. Pasangan ini beberapa tahun kemudian dikaruniai seorang anak. Meski dengan keterbatasan ekonomi, keluarga kecil ini tak patah semangat. Istri Aziz pun kerap menyemangatinya agar selalu memiliki waktu untuk terus belajar agama.

Pada 2000, Aziz mendaftar kuliah pada jurusan tarbiyah di sebuah kampus. Sembari itu, ia tetap meneruskan usahanya sendiri.Allah berkehendak, lambat laun usahanya itu membuahkan hasil. Keadaan ekonominya meningkat. Enam tahun kemudian, ia bisa membangun rumah sendiri.

Aziz kini memiliki lima orang anak. Sementara itu, usahanya kian maju walaupun sem pat terimbas pandemi akhir-akhir ini.Bis nisnya tidak menjadi alasan untuk berpaling dari dunia dakwah.

Pada 2014 lalu, ia membentuk komunitas Tionghoa Muslim Indonesia (TMI). Organisasi itu bertujuan mempererat silaturahim dan menyebarluaskan dakwah Islam, khu susnya di kalangan keturunan Tiongha. Si fatnya terbuka, baik untuk Muslimin, mualaf, atau siapa pun yang tertarik mengenal agama Islam.

Hingga saat ini, TMI terus berkembang. Di Semarang, Jawa Tengah, komunitas tersebut berhasil mendirikan sebuah sekolah mualaf. Pelbagai kajian keislaman digelar rutin di sana, dengan mengundang sejumlah mubaligh.

Ia dan keluarga berniat pula untuk membangun sebuah pondok pesantren khusus penghafal Alquran di Ibu Kota. Rencananya, para santri itu tak hanya dibekali pendidikan agama dan umum, tetapi juga keterampilan berkuda. “Masih proses. Nantinya santri, selain belajar agama, juga akan diberikan homeschooling dan fasilitas maksimal lainnya,” tutur Aziz.     

KHAZANAH REPUBLIKA

Belajar Agama demi Mendapatkan Ijazah?

Para ulama, yaitu orang-orang yang mempelajari dan mendalami ilmu agama, mereka adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah Ta’ala di antara manusia yang lainnyaSebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء

“Sesungguhnya (hanyalah) yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, adalah para ulama.” (QS. Faathir [35]: 28)

Inilah buah dari niat mereka yang ikhlas ketika mempelajari ilmu agama, yaitu menumbuhkan rasa takut kepada Allah Ta’ala. Ilmu agama yang dipelajari menumbuhkan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Berdasarkan ayat ini, dapat disimpulkan bahwa ciri khas ulama adalah takut kepada Allah Ta’ala.

Ancaman bagi orang-orang yang menuntut ilmu agama demi mendapatkan dunia

Terdapat hadis-hadis yang menunjukkan ancaman bagi orang-orang yang belajar ilmu agama hanya demi dunia. Di antaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa menuntut ilmu (agama) yang seharusnya untuk Allah, namun dia tidak menuntutnya kecuali untuk mencari dunia, maka pada hari kiamat dia tidak akan mendapatkan bau surga” (HR. Ibnu Majah no. 252, dinilai sahih oleh Al-Albani).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ، وَيُجَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، وَيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ جَهَنَّمَ

“Barang siapa mempelajari ilmu untuk mendebat ulama, merendahkan orang-orang bodoh, serta memalingkan perhatian manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka jahanam” (HR. Ibnu Majah no. 260, dinilai hasan oleh Al-Albani).

Menuntut ilmu agama demi mendapatkan ijazah?

Berhubungan dengan pembahasan di atas adalah pertanyaan (masalah), apabila seseorang menuntut ilmu agama di lembaga pendidikan formal, yang dengannya dia mendapatkan ijazah, apakah hal itu termasuk dalam larangan sebagaimana yang tercantum dalam hadis-hadis tersebut di atas?

Perlu diketahui bahwa ilmu yang dicari untuk mengharap wajah Allah Ta’ala adalah ilmu syariat, yaitu ilmu yang mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika niat seseorang ketika mempelajari ilmu tentang Al-Quran dan As-Sunnah adalah semata-mata untuk tujuan mendapatkan dunia (tidak ada niat untuk akhirat sedikit pun), dia tidak akan mencium bau surga. Padahal, bau surga itu bisa tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian. Makna dari “tidak dapat mencium bau surga” adalah haram (tidak boleh) masuk surga.

Adapun mempelajari ilmu duniawi, yang bukan mempelajari Al-Quran dan As-Sunnah, dengan tujuan mendapat harta, maka hukumnya diperbolehkan. Karena memang ilmu tersebut adalah ilmu duniawi, sehingga wajar jika tujuannya untuk meraih duniawi. Meskipun demikian, hendaknya seorang muslim meniatkan ketika mempelajari ilmu duniawi tersebut agar dia dapat memberikan manfaat kepada kaum muslimin, atau sebagai sarana menegakkan dan mempermudah pelaksanaan ibadah-ibadah, sehingga dengannya dia mendulang pahala akhirat sesuai dengan niatnya tersebut.

Terdapat rincian hukum tentang seseorang yang mempelajari Al-Quran dan As-Sunnah dengan tujuan mendapatkan ijazah. Hadis yang menjadi pokok pembahasan hal ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya seluruh amal perbuatan manusia tergantung dari niatnya” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).

Pertama, jika gelar atau ijazah yang dimaksudkan adalah semata-mata hanya untuk tujuan mendapat pekerjaan, tidak ada niat untuk mendapatkan pahala akhirat, maka orang tersebut dinilai belajar agama hanya untuk tujuan dunia.

Kedua, jika gelar atau ijazah yang didapat dia maksudkan untuk bisa menempati suatu kedudukan sehingga dengan kedudukan (posisi) tersebut dia bisa memberikan banyak manfaat kepada manusia secara luas dan didengarkan oleh mereka, misalnya menjadi pengajar di masjid yang bisa memberikan pengarahan kepada para jamaah ataupun menjadi pengelola lembaga pendidikan Islam, maka hukumnya tidak mengapa.

Hal ini karena pada zaman sekarang ini manusia bisa jadi tidak dinilai berdasarkan ilmunya, tetapi berdasarkan ijazah yang dimilikinya. Oleh karena itu, dia belajar dan mengambil ijazah agar bisa mengajar dan memberi manfaat kepada kaum muslimin secara umum. Untuk rincian kedua ini berarti niatnya baik dan hukumnya tidak mengapa (boleh).

***

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD.

Sumber: https://muslim.or.id/67892-belajar-agama-demi-mendapatkan-ijazah.html