Sikap Terhadap Pencela Allah, Pencela Nabi Atau Pencela Islam

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Hukum mencela Allah, mencela Rasulullah atau mencela Islam

Soal:

Apa hukum mencela Allah atau mencela Rasul-Nya, atau merendahkan keduanya? Dan apa hukum menentang satu saja dari perintah yang Allah wajibkan? Atau menghalalkan apa yang Allah haramkan? Mohon jelaskan kepada kami, karena banyak sekali hal ini terjadi di tengah masyarakat.

Syaikh menjawab:

Semua orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala, apapun bentuk celaannya, atau mencela Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, atau para Rasul yang lainnya, apapun bentuk celaannya, atau mencela Islam, atau merendahkan Allah atau Rasul-Nya, maka ia kafir dan murtad dari Islam. Walaupun orang tersebut mengaku Muslim. Ulama ijma’ (sepakat) akan hal ini. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ۝ لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Katakanlah: apakah dengan ayat-ayat Allah dan Rasul-Nya, kalian berolok-olok? Tidak perlu minta maaf, kalian telah kafir setelah sebelumnya beriman” (QS. At Taubah: 65-66).

Al Allamah Abul Abbas Ibn Taimiyyah rahimahullah telah berpanjang lebar membahas masalah ini dalam kitab beliau berjudul Ash Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul. Siapa yang ingin mempelajari masalah ini lebih banyak beserta dalil-dalilnya, silakan merujuk pada kitab tersebut. Karena kitab ini agung dan penulisnya juga mulia, serta sangat luas ilmunya, rahimahullah.

Demikian juga hukum bagi orang yang menentang satu saja dari perintah yang Allah wajibkan, atau menghalalkan apa yang Allah haramkan yang termasuk perkara ma’lum minad diin bid dharurah (perkara yang secara gamblang diketahui oleh orang Muslim). Seperti menentang wajibnya shalat, menentang wajibnya zakat, menentang wajibnya puasa Ramadhan, menentang wajibnya haji bagi orang yang mampu, menentang wajibnya berbakti kepada orang tua, dan semisalnya, atau menghalalkan minum khamr, menghalalkan durhaka kepada orang tua, menghalalkan harta dan darah orang lain tanpa hak, menghalalkan riba, dan semisalnya, yang termasuk perkara  ma’lum minad diin bid dharurah, berdasarkan ijma ulama ia kafir murtad dari Islam, walaupun mengaku Muslim.

Para ulama telah berpanjang lebar dalam pembatal-pembatal keislaman ini, khususnya dalam bab tentang murtad. Mereka telah menjelaskan dalil-dalilnya. Siapa yang ingin mempelajarinya lebih lanjut, silakan merujuk kepada kitab-kitab para ulama dalam bab ini. Baik ulama dari kalangan Hanabilah, Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah dan yang selain mereka. InsyaAllah akan didapatkan penjelasan yang memuaskan dari kitab-kitab mereka.

Dan tidak boleh memberikan udzur bil jahl kepada mereka. Karena ini perkara-perkara yang sudah gamblang diketahui oleh kaum Muslimin. Dan hukumnya sudah jelas dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.

Wallahu waliyyut taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa aalihi wasallam.

(Majmu Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah, 7/45).

Sikap terhadap pencela agama

Soal:

Ketika ada da’i yang mendakwahkan Islam dan mendakwahkan tentang shalat, lalu ketika itu ada orang yang mencela agama dan mencela Rasul serta mencela Allah, bagaimana sikap kita?

Syaikh bertanya: siapa yang mencela?

Penanya:  yang mencela adalah yang didakwahi

Syaikh menjawab: 

Pertama, hendaknya dia dinasehati dan dijelaskan bahwasanya itu perbuatan kufur dan sesat. Orang-orang yang hadir juga hendaknya menasehatinya, berbicara dengannya dan menjelaskan kekeliruannya. 

Jika ia bertaubat, alhamdulillah. Jika tidak, maka diangkat perkaranya kepada pemerintah. Jika pemerintahnya menerapkan syari’at Allah, maka diangkat perkaranya kepada pemerintah. Untuk kasus seperti ini, pelaku harus diberi hukuman, bahkan dipenjara.

Namun jangan langsung serahkan kepada pemerintah, namun nasehati terlebih dahulu. Ajak bicara ia dengan perkataan tegas jika ia terus-menerus melakukan perbuatan batil tersebut. Ancam dia bahwa ia akan dilaporkan kepada ulil amri. Mudah-mudahan ia mau kembali ke jalan yang benar.

Karena mencela agama itu perbuatan riddah (mengeluarkan pelakunya) dari Islam, na’udzubillah. Mencela Rasulullah juga perbuatan riddah dari Islam. Andaikan seseorang mengatakan: “Rasulullah tidak paham masalah seperti ini, tidak tahu masalah ini…”, atau mengatakan: “Rasulullah orang kampung, tidak paham masalah seperti ini dan itu…” ini adalah riddah dari Islam, dan merupakan kufur akbar,  na’udzubillah. 

Atau seseorang mengatakan: “Aturan syariat ini tidak benar…”, “Aturan syariat ini tidak cocok untuk zaman sekarang…”, “Syariat ini itu hanya cocok untuk zaman dulu…”, ini juga riddah,  na’udzubillah.

Sumber: https://bit.ly/2PJZ6YH 

Pencela agama, jika ia shalat apakah dianggap bertaubat?

Soal:

Bagaimana hukum orang yang pernah mencela agama atau mencela Allah? Namun ketika datang waktu shalat, ia pun berwudhu dan shalat wajib. Apakah dengan ia melaksanakan shalat wajib dapat dianggap bahwa ia telah mengumumkan taubatnya?

Syaikh menjawab: 

Mencela agama dan mencela Allah adalah kemurtadan yang besar. Sekali lagi saya katakan, ini kemurtadan yang besar dari Islam. Na’udzubillah.

Yang wajib dilakukan oleh pelakunya adalah bersegera untuk bertaubat, menyesal dan berhenti melakukan perbuatan tersebut. Tidak cukup dengan shalat. Karena shalat belum memenuhi (syarat taubat dari murtad). Namun wajib bertaubat dengan tulus atas perbuatan yang ia lakukan. Dan bertekad untuk tidak mengulang lagi perbuatan tersebut. Karena perbuatan jahat yang ia lakukan ini sangat fatal. Maka tidak boleh bermudah-mudahan dalam perkara ini. Wajib bagi dia untuk taubat dengan segera.

Dan hakikat dari taubat adalah menyesal atas perbuatan yang telah dilakukan, dengan penuh menyesal dan kesedihan yang mendalam karena telah melakukannya. Disertai tekad yang tulus untuk tidak mengulanginya lagi. Dan sebelum ia lakukan ini semua, shalatnya tidaklah sah. Karena shalatnya dianggap sebagai shalat orang yang kafir. Maka wajib untuk bertaubat sebelum ia shalat. 

Sumber: https://bit.ly/2XTfNFF 

***

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Serba-Serbi Bulan Haram (4)

Di antara keutamaan bulan haram ialah syariat berpuasa di bulan Allah, Muharam. Imam Muslim meriwayatkan hadis di dalam kitab Shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ

Puasa yang paling afdhal setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah Muharam.” (HR. Muslim no. 1163),

Di samping itu, dianjurkan pula berpuasa Asyura yang mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan bahwa puasa tersebut akan menghapus dosa setahun yang lalu. (Shahih Muslim no. 1162). Itulah hari dimana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya.

Imam al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan tafsiran mengenai firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Janganlah kalian menganiaya diri kalian di dalamnya”. Yakni dengan berbuat dosa. Sebab, apabila Allah Ta’ala mengagungkan sesuatu dari satu sisi, maka ia akan memiliki satu kehormatan.

Selanjutnya, jika Allah memuliakannya dari dua aspek atau lebih, maka ia akan mempunyai banyak keutamaan. Oleh karenanya, hukuman akan dilipatgandakan dengan sebab perbuatan buruk, sebagaimana pahala juga akan dilipatgandakan dengan sebab amal shalih.

1. Seseorang yang melakukan ketaatan kepada Allah pada bulan haram di tanah haram tidaklah sama pahalanya dengan orang yang berbuat kebajikan pada selain bulan haram di tanah haram.

2. Demikian pula, seseorang yang beramal shalih pada selain bulan haram di tanah haram tidaklah setara balasannya dengan orang yang mengerjakan kebaikan pada selain bulan haram di selain tanah haram.

Allah Ta’ala telah mengisyaratkan hal tersebut dengan firman-Nya,

يَانِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا

Wahai istri-istri Nabi, barangsiapa di antara kalian melakukan perbuatan keji yang terang-terangan, niscaya akan dilipatgandakan siksaannya 2 kali lipat. Yang demikian itu mudah bagi Allah. Barangsiapa di antara kalian taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengerjakan amal shalih, tentu Kami akan memberikan kepadanya pahala 2 kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia.” (QS. Al-Ahzab : 30-31)

Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya semuanya.
***
Penulis: Dr. Amin bin Abdillah Asy Syaqawi
Penerjemah: Ummu Fathimah
Diterjemahkan dari https://www.alukah.net/sharia/0/121267/

Artikel Muslimah.or.id

Serba-Serbi Bulan Haram (3)

Di antara keutamaan bulan haram ialah semua rangkaian ibadah haji dilaksanakan di bulan Dzulhijjah. Allah Ta’ala berfirman,

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ

Musim haji adalah beberapa bulan yang telah dikenal.” (QS. Al-Baqarah : 197)

Imam al-Bukhari mengatakan, “Ibnu ‘Umar menafsirkan ayat tersebut dengan bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan 10 hari pertama Dzulhijjah.” (Shahih al-Bukhari)

Nabi pun dahulu melakukan umrah sebanyak 4 kali di bulan haram. Sebagaimana ucapan Ibnul Qayyim rahimahullah yang memberikan komentar mengenai hal tersebut, “Tidaklah Allah memilihkan untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam umrahnya melainkan waktu yang paling utama dan mulia.” Beliau juga mengatakan, “Waktu terbaik untuk mengerjakan umrah adalah bulan-bulan haji dan pertengahan Dzulqa’dah. Inilah masa yang kita harapkan kebaikannya dari Allah. Barangsiapa memiliki kelebihan dalam ilmu, maka hendaknya ia berpedoman dengannya.” (Jami’ al-Fiqhi karya Ibnul Qayyim, dengan tahqiq dari Syaikh Yasri as-Sayyid Muhammad 3/467)

Demikian pula, di dalam bulan haram, terdapat 10 hari pertama Dzulhijjah yang mana Allah telah bersumpah dengannya di dalam kitab-Nya dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa 10 hari tersebut termasuk hari yang paling mulia. Bahkan, amal shalih yang dikerjakan di rentang waktu tersebut lebih agung pahalanya dibandingkan waktu selainnya.

Imam al-Bukhari dan Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ

Tiada hari dimana amal shalih yang dikerjakan di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada 10 hari ini.”
Kemudian para sabahat bertanya, “Wahai Rasulullah, walaupun jihad di jalan Allah?”
Nabi pun menjawab,

وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

Iya, meskipun jihad fi sabilillah. Kecuali seseorang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya, lantas ia tidak kembali pulang dengan membawa suatu apapun.” (HR. Al-Bukhari no. 969 dan Sunan at-Tirmidzi no. 757, dengan redaksi at-Tirmidzi)

Di bulan haram, juga terdapat hari ‘Arafah, hari Nahr (Idul Adha), dan hari Tasyriq yang semuanya termasuk hari yang paling utama di sisi Allah, sekaligus hari raya bagi umat Islam. Abu Dawud meriwayatkan hadis di dalam kitab Sunan dari ‘Abdullah bin Qurth bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَعْظَمَ الأَيَّامِ عِنْدَ اللهِ تَعَالى يَوْمُ النَّحْرِ، ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ

Sesungguhnya hari paling mulia di sisi Allah Ta’ala adalah hari Nahr (10 Dzulhijjah), kemudian hari Qarr (11 Dzulhijjah).” (Sunan at-Tirmidzi no. 1765 dan dinilai shahih oleh al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud 1/331 no. 1552)
***

Penulis: Dr. Amin bin Abdillah asy-Syaqawi
Penerjemah: Ummu Fathimah
Diterjemahkan dari https://www.alukah.net/sharia/0/121267/

Artikel Muslimah.or.id

Serba-Serbi Bulan Haram (2)

Apa saja keistimewaan, keutamaan, serta hukum yang berkaitan dengan bulan haram?

Di antara ciri khasnya adalah dosa yang dilakukan di bulan haram lebih besar dibandingkan dosa yang dikerjakan di bulan selainnya.

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan firman Allah Ta’ala, “Janganlah kalian menganiaya diri kalian di dalamnya” yakni di dalam bulan haram. Sebab, kezaliman di bulan haram lebih berat dan gawat dosanya daripada kezaliman di bulan yang lain. Sebagaimana maksiat yang dilanggar di tanah haram akan dilipatgandakan balasannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

Dan barangsiapa bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya, niscaya Kami akan membuatnya merasakan sebagian siksa yang pedih.” (QS. Al-Hajj : 25)

Demikian pula dosa akan semakin parah jika diterjang di bulan haram.

Qatadah menjelaskan firman Allah “Janganlah kalian menganiaya diri kalian di dalamnya”, yaitu bahwa kriminalitas di bulan haram lebih fatal dosanya dibandingkan kriminalitas di bulan selainnya. Meskipun demikian, kezaliman tetaplah dosa besar di setiap kondisi. Akan tetapi, Allah memuliakan semua yang Dia kehendaki. Allah menetapkan manusia pilihan di antara makhluk-Nya, mengangkat utusan dari kalangan malaikat dan manusia, menentukan dzikir di antara kalam-Nya, memilih masjid daripada permukaan bumi selainnya, menunjuk Ramadhan dan bulan haram di antara bulan yang lain, mengutamakan hari Jum’at di atas hari selainnya, dan memuliakan lailatul qadar dibandingkan malam yang lain. Oleh karena itu, agungkanlah semua yang Allah agungkan. Namun, pengagungan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang paham dan berakal. (Tafsir Ibnu Katsir 7/198 secara ringkas).

Imam al-Qurthubi rahimahullah menerangkan, “Allah Ta’ala menyebutkan 4 bulan haram secara spesifik dan melarang kejahatan di dalamnya karena kemuliaan bulan tersebut. Meskipun demikian, kezaliman tetaplah diharamkan di semua waktu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

Maka tidak boleh berkata keji, berbuat fasik, dan berdebat kusir ketika menunaikan haji.” (QS. Al-Baqarah : 197) (Tafsir al-Qurtubi 10/199-200)

Di antara keistimewaan bulan haram adalah larangan memulai perang di bulan tersebut, yakni melancarkan serangan kepada musuh, menurut pendapat yang lebih kuat. Hal ini berlandaskan pada firman Allah Ta’ala,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syiar-syiar Allah dan jangan pula menodai kehormatan bulan haram.” (QS. Al-Maidah : 2)

Demikian juga firman Allah Ta’ala,

فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ

Apabila bulan-bulan haram telah berlalu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu.” (QS. At-Taubah : 5)

Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan memulai pertempuran di bulan haram telah dihapus dengan ayat yang mengharamkan kezaliman di bulan haram sebagaimana di bulan yang lain.

Namun, pendapat yang lebih rajih (kuat) adalah memulai mengawali perang, kecuali jika orang kafir menyerang terlebih dahulu atau melanjutkan pertempuran sebelumnya. Jika demikian, hukumnya diperbolehkan. (Ahkam min Al-Qur’an al-Karim karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 2/21)
***

Penulis: Dr. Amin bin Abdillah asy-Syaqawi
Penerjemah: Ummu Fathimah
Diterjemahkan dari https://www.alukah.net/sharia/0/121267/

Artikel Muslimah.or.id

MUSLIMAHorid

Serba-Serbi Bulan Haram (1)

Segala puji hanya milik Allah. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Aku pun bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya. Wa ba’du.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu dalam kitab Shahih mereka, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبٌ شَهْرُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Sesungguhnya waktu itu berputar sebagaimana kondisinya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram. Tiga bulan terletak berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Yang terakhir adalah Rajab, bulan Mudhar yang terletak di antara Jumada dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 4406 dan Muslim no. 1679, dengan redaksi Muslim).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan rincian bulan haram yaitu Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Penyebutan bulan haram ini juga terdapat di dalam firman Allah Ta’ala,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya terdapat empat bulan haram. Itulah ketetapan agama yang lurus. Janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan haram itu dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya. Ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 36).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan firman Allah Ta’ala, “Di antaranya empat bulan haram” yaitu tiga bulan yang berturut-turut, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Yang keempat adalah Rajab Mudhar yang terletak di antara Jumada dan Sya’ban.

Bulan Rajab dinisbatkan kepada suku Mudhar untuk menerangkan benarnya ucapan mereka mengenai Rajab yaitu bulan yang terletak di antara Jumada dan Sya’ban. Bukan seperti sangkaan suku Rabi’ah yang mengatakan bahwa Rajab adalah bulan yang terletak di antara Sya’ban dan Syawwal. Itulah bulan Ramadhan yang kita kenal saat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa Rajab yang dimaksud adalah Rajab Mudhar dan bukan Rajab Rabi’ah.

Beliau juga menyampaikan bahwa bulan haram hanya ada empat, tiga bersambungan dan satu terpisah. Hal tersebut dalam rangka manasik haji dan umrah.

1. Allah menjadikan Dzulqa’dah sebagai bulan haram, karena ia adalah satu bulan sebelum bulan haji. Dan bangsa Arab tidak melakukan peperangan di bulan haram.
2. Allah menjadikan Dzulhijjah sebagai bulan haram, karena mereka ketika itu melaksanakan ibadah haji dan sibuk menunaikan rangkaian manasik di bulan tersebut.
3. Allah haramkan bulan sesudahnya, yaitu Muharram agar mereka dapat kembali ke negeri yang paling jauh dalam kondisi aman.
4. Allah haramkan Rajab di tengah-tengah tahun supaya memberikan kesempatan untuk berziarah ke Baitullah dan melakukan umrah bagi mereka yang datang menuju tanah haram dari Jazirah Arab yang terjauh. Mereka pun mengunjungi Baitullah dan kembali ke tanah kelahirannya dengan aman di bulan tersebut. (Tafsir Ibnu Katsir 7/197).

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Dr. Amin bin Abdillah Asy Syaqawi
Penerjemah: Ummu Fathimah
Diterjemahkan dari https://www.alukah.net/sharia/0/121267/

Artikel Muslimah.or.id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/12338-serba-serbi-bulan-haram-1.html

Inilah Sebab Munculnya Kerajaan Islam Usai Masa Majapahit

Munculnya kerajaan Islam setelah Majapahit.

Sebelum lahir Indonesia, Nusantara terdiri dari kerajaan-kerajaan yang mendiaminya dengan corak Hindu-Buddha. Namun demikian, kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha itu secara berangsur diganti sistem kekuasaan yang bercorak Islam.

Dalam buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan karya Buya Ahmad Syafii Maarif disebutkan mengenai suatu teori tentang peralihan corak kekuasaan tersebut. Teori itu berasal dari Coedes yang mengambil contoh dari Kerajaan Majapahit.

Disebutkan, ada beberapa sebab mengapa Majapahit sebagai kerajaan yang bercorak India kemudian mengalami keruntuhan dan peralihan corak kekuasaan. Pertama, penyebab utama kejatuhan imperium Majapahit adalah munculnya Malaka sebagai pusat komersial yang dikuasai oleh Muslim. Atau dalam isitilah masa kini terjadi perubahan politik global. Ini ditandai dengan pusat ekonomi yang beralih dan munculnya kekuasaan baru dunia secara bertahap, yakni zaman kolonialisme Eropa di Asia.

Islam yang semula bertapak di kawasan pantai, secara berangsur merayap ke pedalaman sejak permulaan abad ke-15. Kedua, Majapahit dilanda perang saudara dalam perebutan kekuasaan. Raja Majapahit Rajasanagara wafat pada 1389 dan digantikan oleh menantu dan keponakannya yakni Wikramawardhana.

Setelah beberapa tahun di atas takhta, Wikramawardhana pada 1401 mendapat perlawanan dari Wirabhumi atau putra Rajasanagara dari selirnya. Perang saudara ini berlangsung pada 1406 dengan berujung pada kematian Wirabhumi.

Namun demikian, meski Wikramawardhana menang, keruntuhan Majapahit sudah tak dapat dibendung lagi. Sejarah mencatat, Majapahit bertahan selama 236 tahun, yakni dari 1298-1528 Masehi.

Ketiga, gangguan dari China. China di bawah Kaisar Yung Lo memaksakan kehendaknya untuk menggantikan kuasa Jawa atas seluruh Nusantara dan Semenanjung Malaya. Laksamana Cheng Ho yang merupakan seorang Muslim ditugaskan untuk melaksanakan misi global China ini.

IHRAM

Tuhanku Pasti Akan Memberi Jalan!

Kali ini kita akan mengenang sebuah kalimat yang di ucapkan oleh Nabi Musa as dan di abadikan di dalam Al-Qur’an Al-Karim dalam Firman-Nya :

قَالَ كَلَّآۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهۡدِينِ

Dia (Musa) menjawab, “Sekali-kali tidak akan (tersusul); sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS.Asy-Syu’ara:62)

Kata-kata ini di ucapkan oleh Nabi Musa as ketika beliau bersama pengikutnya terjepit antara lautan yang ganas dihadapannya dan kejaran Fir’aun beserta pasukan dibelakangnya.

Kata-kata ini beliau ucapkan dalam keadaan sangat yakin dan percaya mutlak bahwa Allah Swt pasti akan membimbing beliau menuju jalan keselamatan.

Kata-kata ini terucap dari lisan Nabi Musa as sementara mata hati beliau memandang dengan gamblang janji Allah Swt tentang pertolongan dan kebersamaan Allah dengannya.

قَالَ لَا تَخَافَآۖ إِنَّنِي مَعَكُمَآ أَسۡمَعُ وَأَرَىٰ

Dia (Allah) berfirman, “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.” (QS.Tha-Ha:46)

Dan terbukti, janji Allah Swt datang saat itu juga dengan perantara satu pukulan tongkat Nabi Musa as yang membelah lautan dan menyelamatkan beliau beserta para pengikutnya dan menenggelamkan Fir’aun beserta seluruh bala tentaranya.

قَالَ كَلَّآۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهۡدِينِ

Dia (Musa) menjawab, “Sekali-kali tidak akan (tersusul); sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS.Asy-Syu’ara:62)

Katakan Tidak ! Selama ada Allah, maka tidak perlu lagi rasa takut, yang ada hanyalah ketenangan.

Katakan Tidak ! Tidak ada kata mundur, teruslah bergerak maju karena dihadapanmu hanya ada dua pilihan. Yaitu keselamatan dan kemenangan atau kemuliaan syahid di jalan Allah.

قَالَ كَلَّآۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهۡدِينِ

Dia (Musa) menjawab, “Sekali-kali tidak akan (tersusul); sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS.Asy-Syu’ara:62)

Nabi Musa as mengucapkan kalimat ini dengan keyakinan yang total dan kita pun harus selalu mengucapkan slogan ini dalam menghadapi situasi apapun !
Disaat masalah menghimpit dan kesedian memuncak…
Disaat musuh merongrong dan ketakutan meledak…
Disaat kemiskinan, rasa lapar dan rasa takut mendesak…
Disaat rasa sakit dan musibah menimpa…
Disaat rasa putus asa dan kegelisahan mulai tiba…
Disaat seakan engkau sudah tak memiliki kekuatan dan kesempatan untuk mencari jalan keluar…
Disaat hatimu merasa begitu sempit dan terasa sesak di dada…
Katakanlah dengan lantang !

قَالَ كَلَّآۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهۡدِينِ

Dia (Musa) menjawab, “Sekali-kali tidak akan (tersusul); sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS.Asy-Syu’ara:62)

Bukankah Allah Swt telah berjanji akan mendatangkan pertolongan dan jalan keluar bagi orang-orang yang beriman?

Tidakkah engkau percaya kepada Dzat yang telah menjagamu sejak engkau berada dalam perut ibumu dan engkau tak memiliki kemampuan apa-apa?

Angkat kepalamu, bunuh rasa putus asa di hatimu dan berjalan lah maju. Karena pertolongan Allah Swt telah menanti di depanmu !

Semoga bermanfaat..

KHAZANAH AL QURAN

Tetap Perhatikan Protokol Kesehatan Covid19

Wabah covid19 memang membuat beberapa pejabat pusing, memilih antara kesehatan atau ekonomi. Beberapa pejabat ada yang “defense mechanisms” nya dengan menolak fakta-fakta covid19, seperti presiden brazil yang tidak mau memakai masker, akhrinya presiden brazil positif covid19

Demikian juga keadaan rakyatnya sekarang yang angka kematian sudah di atas 100.000

Beberapa pejabat bisa berpikir jernih dan bijak, tetap menggerakkan ekonomi dengan memperhatikan protokol kesehatan

Silahkan anda beraktifitas terutama untuk mencari nafkah utama dan tetap memperhatikan protokol kesehatan

Jangan layani debat dan pedulikan pecinta konspriasi yang ujung-ujungnya meremehkan protokol kesehatan bahkan menghina dan menuduh tenaga kesehatan dengan tuduhan membisniskan covid19 dll

Fakta dan kenyataan covid19 semakin nyata dengan bertambahnya kasus, banyak korban meninggal dari pejabat, artis bahkan keluarga ustadz dll

Semoga Indonesia baik-baik saja. Aamiin

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen (Petugas Lab Covid19)

Artikel www.muslimafiyah.com

Mari Berlomba Meraih Shaf Pertama

Shalat berjamaah adalah ibadah yang sangat agung. Tentunya seseorang berharap akan mendapat pahala yang maksimal dalam melaksanakan ibadah ini. Salah satu yang penting untuk diperhatikan adalah berusaha untuk berada di shaf pertama. Terdapat keutamaan tersendiri bagi orang yang berada di barisan pertama dalam shalat berjamaah.

Keutamaan Shaf Pertama

Terdapat dalil-dali yang menunjukkan keutamaan shaf pertama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصُّفُوْفِ اْلأُوَلِ

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang yang shalat di shaf pertama.” (H.R Abu Dawud, shahih)
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ، ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إلاَّ أنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا

“Seandainya manusia mengetahui keutamaan yang terdapat pada adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidaklah akan medapatkannya kecuali dengan diundi, niscaya pasti mereka akan mengundinya.“ (H.R Muslim)

Hadits ini menunjukkan adanya keutamaan dan pahala khusus pada shaf pertama, dan bolehnya undian untuk mendapatkannya jika diperlukan. 

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

خيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا ، وَشَرُّهَا آخِرُهَا ، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا ، وَشَرُّهَا أوَّلُهَا

Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah yang paling depan, dan yang paling jelek adalah yang paling belakang. Sebaik-baik shaf bagi wanita adalah yang paling belakang, dan yang paling jelek adalah yang paling depan.“ (H.R Muslim)

Hadits ini menunjukkan keutamaan shaf pertama bagi laki-laki. Hal ini juga menunjukkan bahwa amal itu bertingkat-tingat yang sekaligus juga menunjukkan bahwa pelaku amal bertingkat-tingkat. 

Imam An Nawawi rahimahullah menjelasakan bahwa shaf yang jelek pada laki-laki maupun wanita artinya sedikit pahala dan keutamaanya, karena berada pada posisi yang semakin jauh dari yang diperintahkan syariat. Adapun yang dimaksud dimaksud shaf pertama adalah shaf yang berada di belakang imam, baik orang itu datang ke masjid di awal waktu maupun datang belakangan. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa patokan shaf pertama adalah ditinjau dari awal kedatangannya ke masjid meskipun dia shalat di barisan belakang, maka ini tidak tepat. (Lihat Syarh Shahih Muslim)

Catatan

Kondisi shaf wanita yang paling baik adalah di belakang, ini berlaku ketika para wanita shalat berjamaah bersama-sama di belakang shaf laki-laki. Adapun jika wanita shalat di belakang imam wanita, atau shalat di belakang imam laki-laki namun terpisah dari jamaah laki-laki di tempat tersendiri, maka yang terbaik adalah shaf yang terdepan. Hal ini berdasarkan keumuman hadits yang menunjukkan keutamaan shaf pertama. (Lihat Shahiih Fiqh Sunnah)

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan bahwa shaf terbaik bagi wanita adalah yang paling belakang. Hal ini disebabkan karena posisinya berada paling jauh dari barisan jamaah laki-laki. Berdasarkan alasan ini, maka seandainya para wanita shalat berjamaah di tempat khusus yang terpisah dari laki-laki, maka kita katakan bahwa sebaik-baik shaf wanita adalah yang di depan dan yang paling jelek adalah yang paling belakang. Demikian pula jika para wanita shalat bersama laki-laki namun terdapat pembatas yang memisahkan antara shaf wanita dan shaf laki-laki. (At Ta’liiq ‘alaa Shahih Muslim)     

Bahaya Kebiasaan Berada di Shaf Belakang 

Shaf laki-laki dalam shalat jamaah semakin di depan maka semakin baik dan utama. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda mengingatkan kepada salah seorang sahabat yang datang akhir dan berada di shaf belakang :

  لا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمْ اللَّهُ

“Orang-orang yang terbiasa mengakhirkan hadir ketika shalat jamaah, niscaya Allah akan mengakhirkan urusan mereka “ (H.R Muslim)

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan yang dimaksud dalam hadits ini adalah orang-orang yang datang akhir sehingga tidak mendapat shaf pertama maka Allah pun akan mengakhirkan bagi orang tersebut rahmat-Nya, kemuliaan dan keutamaan, ketinggian kedudukan, ilmu yang bermanfaat, dan kebaikan lainnya. (Lihat Syarh Shahih Muslim)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengingatkan bahwa dalam hadits ini terdapat ancaman dari Nabi tentang bahaya mengakhirkan datang ke masjid. Apabila seseorang mengakhirkan dari shaf pertama, kedua, dan ketiga, maka Allah pun akan menghukum hatinya dengan menyukai mengakhirkan amal-amal shalih yang lainnya –wal ‘iyadzubillah-. Maka berusahalah untuk berada di barisan shaf terdepan ketika shalat berjamaah. (Lihat Syarh Rhiyadis Shaalihiin)

Oleh karena itu tidak selayakanya seseorang mempunyai kebiasaan mengakhirkan datang ke masjid sehingga malas berusaha untuk mendapat shaf pertama dalam shalat berjamaah. 

Tambahan Berbagai Kebaikan 

Dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan shaf pertama berarti juga menunjukkan dianjurkannya untuk bersegara ke masjid agar bisa mendapat shaf pertama. Setiap amalan kebaikan akan berbuah amal kebaikan yang lain. Seseorang yang berusaha untuk mendapatkan shaf pertama tentu akan bersegera untuk menuju masjid. Dengan demikian menyebabkan dia akan berkesempatan untuk mendapatkan amalan kebaikan yang lain, di antaranya :

  1. Melaksanakan shalat sunnah baik shalat tahiyatul masjid atauapun shalat rawatib.
  2. Mendapat kesempatan waktu mustajab berdoa antara adzan dan iqomat
  3. Mendapat kesempatan takbiratul ihram bersama imam. 

Seseorang yang berusaha untuk mendapatkan shaf awal dengan bersegera menuju masjid, maka dirinya pun akan berkesempatan untuk mendapatkan pahala semisal amalan di atas atau amal-amal kebaikan yang lain. 

Dalam Urusan Kebaikan Harus Berlomba-Lomba

Berada dalam shaf pertama jelas merupakan kebaikan dan keutamaan. Setiap orang mempunyai kesempatan dan hak yang sama untuk mendapatkannya. Semestinya seseorang dalam hal ini berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Dia berusaha untuk datang awal di masjid agar bisa meraihnya. Inilah di antara bentuk bersegera dalam kebaikan. Allah Ta’ala berfirman :

فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ

“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.“ (Al Maidah :48)

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.“ (Al Imran : 133)

Sayangnya sebagain orang justru meremehkan kebaikan ini. Sebagian orang menunda-nuda untuk pergi ke masjid tanpa alasan yang dibenarkan. Ada pula yang  datang awal ke masjid, namun ia merasa cukup di barisan belakang shaf shalat dan merelakan orang lain untuk berada di shaf depan. Ini adalaha tindakan yang tidak tepat. Dalam perkara kebaikan akhirat, semestinya seseorang berusaha untuk bersegera mendapatkan yang terbaik. 

Semoga bermanfaat. Menjadi pengingat bagi kita dan memotivasi bagi kita untuk bersemangat dalam melaksanakan shalat berjamaah dan mendapat keutamaan shaf pertama.

Penulis : Adika Mianoki

Artikel: Muslim.or.id

Jangan Pernah Memastikan Apa yang Akan Kau Lakukan Besok!

Masih dalam seri 5 menit lebih dekat bersama Rasulullah saw di bulan kelahiran beliau.

Seri Kelima adalah jangan pernah memastikan bahwa “Besok aku akan melakukan ini dan itu…” tanpa menghubungkannya dengan Allah dengan ucapan “Insya Allah”.

Allah swt berfirman,

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا – إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ

Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi, kecuali (dengan mengatakan), “Insya Allah.” (QS.Al-Kahfi:23)

Inilah salah satu didikan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw.

Jangan pernah memastikan apa yang akan terjadi di hari esok. Karena manusia tidak mampu menentukan apa yang akan ia lakukan esok hari, bahkan seesaat setelah ini pun ia tak mampu memastikannya.

Hari esok adalah milik Allah. Kita hanya bisa merencanakan, namun ketentuan hanya di tangan Allah swt.

Bukankah Allah berfirman,

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا

“Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok.” (QS.Luqman:34)

Karenanya, ketika kita ingin berjanji atau berencana melakukan sesuatu di esok hari, jangan pernah lupa bahwa semua itu bergantung pada ketentuan dan kehendak-Nya. Jangan pernah lepas dari ucapan “Insya Allah”.

Apabila Allah tidak berkehendak, sematang apapun rencana kita, sebaik apapun kemampuan kita dan sekuat apapun persiapan yang telah dipersiapkan, semua tidak akan terjadi. Karena Allah swt berfirman,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS.At-Takwir:29)

Jangan pernah mengumbar janji dan jangan pernah memastikan apa yang akan terjadi besok, kecuali kembalikan semuanya kepada Allah.

Dengan ungkapan ini pula kita mengakui kelemahan diri kita dihadapan Allah swt yang menentukan segalanya. Dan kita tidak menjadi orang yang congkak dengan merasa bahwa segalanya berada ditangan kita.

KHAZANAH ALQURAN