Sholat Sebagai Pokok Agama

SHOLAT wajib adalah amal shalih utama dalam agama kita. Dari Muadz bin Jabal radliyallahu anhu, Nabishallallahu alaihi wa sallambersabda, “Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa apabila penopang suatu bangunan runtuh, tentu bisa dipastikan bangunan tersebut pun ikut runtuh. Demikian pula keadaan sholat pada diri seseorang. Apabila ia mengabaikan sholat, pastilah agama baginya ikut runtuh.

Sholat pula amalan yang kelak pertamakali dihisab di akhirat. Apabila baik keadaan sholatnya, maka baiklan seluruh amalannya. Namun apabila rusak sholatnya, maka rusak pulalah keadaan amalan selain sholat. Bagaimana mungkin keadaan amal saleh seseorang akan baik sementara ia tidak menegakkan syariat berupa beribadah kepada Allah (sholat)?

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shalallaahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Taala berfirman, Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah. Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi dan An-Nasai).

Melaksanakannya dengan khusyu’ dan pada waktunya merupakan tanda keislaman dan keimanan seseorang. Apalagi bagi seorang laki-laki mukim yang sehat, melaksanakan shalat berjamaah di masjid atau musholla setempat adalah sebuah kewajiban agama. Hal ini karena sholat adalah ciri utama agama Islam. Maka pemeluk

Banyak keutamaan tentang shalat. Keutamaan tentang shalat dimulai sejak dari bersuci atau berwudhu di rumah, kemudian berjalan mendatangi masjid, berdoa saat keluar rumah dan saat masuk masjid, hingga keutamaan berdoa diantara adzan dan iqamat. Serta keutamaan shaff pertama.

Orang-orang yang telah meninggal mendahului kita, mereka menginginkan kembali hadir di dunia untuk melakukan amalan shaleh terutama bersujud (sholat) kepada Allah. Karena semasa hidupnya orang seperti ini telah meninggalkan sholat, atau pun meremehkan sholat dengan menunda-nunda pelaksanaannya. Kelak pun orang yang meninggalkan sholat akan ditempatkan di (neraka) Saqar.

Orang-orang di dalam surga saling menanyakan tentang keadaan orang-orang yang berdosa. Firman Allah, “Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?” Mereka menjawab, “Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat,” (QS. Al Mudatstsir: 42-43).

Mari, mulai saat ini, kita berazzam memperbaiki diri dengan memulainya dari shalat. Kita perbaiki shalat kita. Baik cara atau kaifiyahnya, maupun waktu pelaksanaannya. Jangan sampai kita menunda-nunda shalat sehingga di akhir waktu. [*]

INILAH MOZAIK

“Ya Rasulullah, Mengapa Engkau Berbicara dengan Tubuh yang tak Bernyawa Lagi?”

Perang ini terjadi karena Rasulullah SAW. mendengar ada kafilah dagang milik kaum kafir Quraisy yang baru saja kembali dari Syam di bawah pimpinan Abu Sufyan ibn Harb. Maka, Rasulullah SAW. pun mengerahkan pasukannya, dengan tujuan merampas barang perniagaan yang dibawa kafilah tersebut sebagai ganu’ dari harta benda umat Islam yang mereka tinggalkan di Mekah. Tetapi, rupanya sebagian Muslim merasa berat melakukan itu, meskipun ada juga sebagian lainnya yang merasa ringan. Sebab, mereka tidak pernah membayangkan umat Islam akan berperang untuk menuntut harta mereka yang ditinggalkan di Mekah.

Abu Sufyan yang masih berada di tengah perjalanan menuju Mekah ternyata mengetahui rencana pasukan Muslim. Maka, ia pun mengirim Dhamdham ibn Amr Al-Giffari ke Mekah untuk menyampaikan berita tersebut kepada orang-orang Quraisy, sekaligus meminta bantuan pasukan untuk menjaga barang pemiagaan mereka yang masih dalam perjalanan.

Mendengar berita itu, orang-orang Quraisy pun Iangsung menyiapkan pasukan. Hampir semua laki-laki Quraisy ikut angkat senjata menghadapi pasukan Muslim. Bahkan, tidak seorang pun tokoh Quraisy yang tidak ikut berangkat berperang pada saat itu, sehingga jumlah pasukan Quraisy hampir mencapai seribu orang.

Setelah beberapa malam berlalu di bulan Ramadhan tahun itu, Rasulullah SAW. keluar bersama para sahabat beliau yang jumlahnya, menurut Ibnu Ishaq, tiga ratus empat belas orang. Adapun jumlah unta yang dikerahkan mencapai tujuh puluh ekor. ltu berarti, setiap satu ekor unta digunakan oleh dua atau tiga orang sahabat Rasulullah SAW Uniknya, mereka sama sekaii tidak tahu kalau pasukan Quraisy sudah siap menghadapi mereka. Sementara itu, Abu Sufyan yang masih berusaha menjaga kafilah yang ia pimpin, terus melanjutkan perjalanannya ke Mekah dengan menyusuri daerah pesisir, mengitari kawasan sumur Badar dari sebelah kanan, dan terus bergerak cepat sampai akhirnya ia berhasil menyelamatkan kafilahnya.

Ketika Rasulullah SAW. dan para sahabat telah siap berperang, tiba-tiba terdengar berita kalau pasukan Quraisy dalam jumlah besar telah siaga untuk memerangi kaum muslimin. Rasulullah pun segera berembuk dengan para sahabat, tak terkecuali para sahabat dari kalangan Muhajirin, seperti Miqdad ibn Amr ra. Sahabat itu berkata, ”Wahai Rasulullah, lanjutkanlah apa yang telah Allah perintahkan padamu. Kami akan selalu bersamamu.”

Tetapi, rupanya Rasulullah SAW tetap ingin mengetahui pendapat para sahabat yang lain. Rasulullah SAW. bersabda, “Bagaimana pendapat kalian yang lain?”

Sa’ad ibn Mu’adz ra. berkata, ”Demi Allah, sepertinya engkau benar-benar menginginkan kami, wahai Rasulullah.”

Rasulullah menjawab, ”Tentu.”

Sa’ad berkata lagi, ”Sungguh kami telah beriman kepadamu, dan kami pun telah memercayaimu. Kami telah bersaksi bahwa apa yang engkau bawa adalah kebenaran. Atas dasar itu, kami telah berjanji dan bersumpah untuk selalu siap tunduk kepadamu. Maka, Iakukanlah apa pun yang kau inginkan, karena kami pasti akan tetap bersamamu. Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, andaikata di hadapan kami saat ini membentang lautan, lalu engkau menyelam, maka kami pasti akan ikut menyelam bersamamu.”

Bukan main senangnya hati Rasulullah SAW.

Rasulullah senang saat mendengar ucapan Sa’ad. Beliau bersabda, “Berjalanlah dan bergembiralah, karena Allah telah menjanjlkan padaku salah satu di antara dua kelompok. Demi Allah seakan-akan sekarang aku dapat melihat pertempuran mereka.”

Setelah itu, Rasulullah SAW. segera mencari tahu kekuatan pasukan Quraisy lewat mata-mata yang beliau kirimkan ke garis depan. Dalam tempo singkat, berita dari satuan intelijen yang menyusup ke garis depan telah menyebar ke seluruh anggota pasukan Muslim. Mereka pun mengetahul bahwa jumlah pasukan musyrik berkisar antara sembilan ratus sampai seribu orang, termasuk semua tokoh dan pembesar Quraisy yang ikut di dalamnya.

Sebenarnya, pada saat itu Abu Sufyan sempat mengirim utusan untuk meminta agar seluruh pasukan musyrik ditarik mundur, karena kafilah yang dipimpinnya sudah selamat tiba di Mekah. Tetapi, permintaan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Abu Jahal. la bersikeras memerangi pasukan Muslim. Konon, kala itu ia berkata, ”Demi Tuhan, kita tidak akan kembali sebelum tiba di Badar dan bermalam di tempat ‘itu selama tiga malam. Di situ kita akan menyembelih beberapa binatang, makan-makan, minum khamar, dan berpesta pora agar semua orang Arab tahu pergerakan pasukan kita sehingga mereka semua akan takut kepada kita.”

Pasukan musyrik kembali bergerak. Akhirnya, mereka tiba di sebuah lembah dekat Badar. Sementara itu, Rasulullah SAW. bersama pasukan Muslim juga telah tiba di dekat sumur Badar. Pada saat itu, Habab ibn Mundzir berkata kepada Rasulullah SAW., ”Wahai Rasulullah, apakah engkau memerhatikan tempat ini? Inikah tempat yang telah Allah tetapkan bagimu agar pasukan kita berada di sini, sehingga tidak ada pilihan untuk pindah ke tempat lain? Ataukah, kita berada di sini hanya berdasarkan pendapatmu, sebagaimana layaknya sebuah siasat perang?”

Rasulullah SAW. menjawab, ”Pllihan ini adalah pendapat sebagai bentuk siasat perang.”

Habab berkata, ”Kalau begitu, berarti ini bukanlah tempat yang tepat. Segeralah engkau gerakkan pasukan kita agar lebih mendekan‘ sumur. Selanjutnya, kita perdalam sumur itu, lalu kita tampung airnya di kolam. Jadi, ketika kita bertempur, pasukan kita memiliki persediaan air yang cukup, sedangkan musuh, tidak.”

Rasulullah SAW. setuju. Pasukan pun digerakkan menuju posisi yang diusulkan Habab ra.

Sementara itu, Sa’d ibn Mu’adz ra. mengusulkan agar Rasulullah SAW. dibuatkan, tempat berlindung. Tujuannya, supaya beliau dapat kembali ke Madinah dengan selamat, kembali berjumpa dengan umat Islam yang ada di kota itu. Meskipun Rasulullah SAW. setuju dengan usulan ini, beliau menenangkan dan meyakinkan para sahabat bahwa pertolongan Allah pasti datang. Rasulullah SAW. bersabda, ”lni adalah tempat matinya si Fulan, ini tempat matinya si Fulan (dari pihak musyrik,” sambil meletakkan tangannya di atas tanah, di sebelah sini dan di sebelah situ, dan seterusnya. Setelah Perang Badar usai, baru diketahui kalau tokoh-tokoh musyrik yang disebutkan Rasulullah SAW. ternyata benar-benar meregang nyawa di tempat seperti yang beliau sampalkan.

Malam Jumat tanggal tujuh belas Ramadhan, Rasulullah SAW. memanjatkan doa kepada Allah SWT. Dalam munajatnya beliau berseru, ”Ya Allah, orang~orang Quraisy telah datang dengan segala kecongkakan dan kesombongan mereka untuk menantang-Mu dan mendustai utusan-Mu. Ya Allah, Engkau telah berjanji padaku akan menolong kami. Ya Allah, binasakanlah musuh-musuh Mu besok.”

Rasulullah SAW. térus bermunajat kepada Allah sepenuh hati sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit. Melihat itu, Abu Bakar ra. terharu. Perlahan-lahan Abu Bakar ra. mendekati sahabatnya dan berkata, “Wahai Rasulullah, bergembiralah engkau. Demi Dzat yang nyawaku berada di tangan-Nya, Allah pasti akan memenuhi semua janji-Nya kepada-Mu.”

Sementara itu, seluruh pasukan muslim juga tiada henti berdoa kepada Allah, memohon pertolongan-Nya.

Pagi harinya, hari Jumat tanggal tujuh belas Ramadhan tahun kedua Hijriyah,
pertempuran antara pasukan Muslim melawan pasukan musyrik pun dlimulai. Rasulullah SAW. mengambil segenggam batu kerikil yang kecil-kecil, kemudian melemparkannya ke arah pasukan Quraisy sambil berseru, “Buruklah wajah-wajah itu.” Tidak lama kemudian, tak seorang pun dari pasukan Qumisy yang matanya luput dari lemparan Rasulullah SAW. Dalam Perang Badar, Allah juga menurunkan para malaikat untuk bertempur bersama pasukan Muslim.

Pertempuran berlangsung sangit. Tetapi, kemenangan berpihak pada pasukan Muslim. Dalam perang ini, tujuh puluh orang pembesar Quraisy tewas, dan tujuh puluh orang lainnya berhasil ditawan. Adapun dari pihak Muslim, jumlah pasukan yang syahid berjumlah empat belas orang.

Semua mayat pasukan musyrik yang terbunuh dalam pertempuran ini, termasuk tokoh mereka, dimasukkan ke dalam sebuah lubang di Badar. Rasulullah SAW. berdiri di bibir sumur Badar, menghadap ke arah mayat-mayat musuh yang bergelimpangan seraya berseru, memanggil nama mereka berikut orangtua masing-masing, ”Wahai Fulan, wahai Fulan ibn Fulan. Bukankah akan lebih menyenangkan jika kalian patuh kepada Allah dan Rasul-Nya? Sesungguhnya sekarang kami telah benar-benar menemukan apa yang dijanjikan Tuhan kami kepada kami. Sekarang sudahkah kalian menemukan apa yang dijanjikan Tuhan kalian?”

Tiba-tiba Umar menukas, ”Wahai Rasulullah, mengapa engkau berbicara dengan tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi?”

Rasulullah SAW. menjawab, ”Demi Dzat yang nyawa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh sebenarnya kalian tidak lebih jelas mendengar apa yang kukatakan ini dibandingkan mereka” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Setelah itu, Rasulullah SAW. bermusyawarah dengan para sahabat untuk membahas ihwal para tawanan perang. Pada saat itu, Abu Bakar ra. mengusulkan agar tawanan dapat ditebus dengan diyat demi memperkuat perekonomian umat lslam. Adapun urusan mereka setelah bebas nanti, sepenuhnya diserahkan kepada Allah SWT. dengan harapan semoga Dia berkenan memberi hidayah kepada mereka. Sementara itu Umar ibn Khaththab ra. mengusulkan agar semua tawanan perang Badar dijatuhi hukuman mati, karena mereka semua adalah antek-antek kekufuran yang harus ditumpas habis. Tetapi, Rasulullah SAW. lebih cenderung menerima usulan Abu Bakar ra. Menurut beliau, usulan tersebut lebih memenuhi rasa kasih sayang dengan memberi mereka peluang untuk ditebus dengan uang. Akhimya, Rasulullah SAW. menetapkan usulan itu sebagai keputusan.

Namun, beberapa saat setelah Rasulullah SAW. mengeluarkan keputusan, tiba-tiba turunlah ayat Al-Qur‘an yang justru mendukung pendapat Umar lbn Khaththab ra. Allah SWT. berfirman, “Tidaklah patut bagi seorang Nabi untuk mempunyai tawanan sebelum la dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana,” (QS Al-Anfal; 67).

 

BERSAMA DAKWAH

Ayo Tinggalkan! Dusta Mengantarkan Pada Kejahatan

AKHI Ukhti semoga selalu dalam lindungan Allah Ta’ala.

“Tinggalkanlah dusta, karena dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan kepada neraka”.

Kiranya seperti itulah makna salah satu pesan Nabi shallallahu alaihi wasallam, namun ternyata ada dusta yang boleh, bahkan itu adalah bumbu penyedap untuk kehidupan suami istri.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Tidak dibenarkan berdusta kecuali dalam tiga hal:”Seorang laki-laki yang berbicara kepada istrinya demi menyenangkan hatinya, dusta dalam peperangan dan dusta untuk memperbaiki hubungan manusia (yang sedang berseteru).”(HR. Tirmidzi no. 1939, dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami no. 2834)

Tapi perlu digaris bawahi, bahwa kebolehan ini bukan secara mutlak, yang diperbolehkan adalah dusta yang tujuannya memperbaiki hubungan dan menyenangkan hati, seperti seorang suami yang mengatakan kepada istrinya:

“Kau adalah perempuan terindah untukku
Rona wajahmu selalu membayangi jalan-jalanku
Aku tak kuasa bila tak melihat wajahmu
Aku akan selalu ada untukmu, sayang
Masakanmu tiada yang menandinginya”

Begitu pula sang istri kepada suaminya.

Inilah dusta yang seharusnya dipelajari oleh para pasutri, karena di dalamnya mengandung banyak hikmah, dan inilah gombal yang kadang kala sebagian suami sulit untuk mengungkapkannya, oleh karena itu harus ada latihan. [Ust. Dr. Syafiq Riza Basalamah]

INILAH MOZAIK

Ujian di Perang Tabuk dan Takutnya Romawi

Perang Tabuk merupakan salah satu perang besar yang dijalani oleh Rasulullah SAW. Nabi SAW sendiri mengambil peran sebagai panglima perangnya. Perang Tabuk juga dikenal sebagai perang terakhir Nabi sebelum meninggal. Perang ini terjadi sekitar bulan Rajab tahun 9 H. Rasul baru kembali dari perang pada 26 Ramadhan.

Perang berlokasi di sebuah kota yang terletak di antara lembah al-Qura dan Syam, jarak antara Tabuk dan Madinah mencapai 778 kilo meter. Ketika itu, kaum Muslimin melawan pasukan dari kaum Romawi. Sebagai perang besar yang dipimpin langsung oleh Rasul, perang ini memberikan pelajaran berharga bagi kaum Muslim saat itu. Perang Tabuk mengajarkan pentingnya kejujuran iman dan ber tahan dalam kesusahan yang ada.

Penyebab munculnya perang ini disebut ada banyak versi. Di antaranya karena Rasulullah SAW mengetahui Raja Romawi mempersiapkan pasukan yang besar untuk melawan umat, untuk membalas kematian Ja’far bin Abu Thalib, serta adanya tantangan dari orang Yahudi dengan tujuan ingin menipu kaum Muslimin agar celaka. Ketika kaum Muslimin sampai di daerah Tabuk, Allah menurunkan wahyu, “Dan sesungguhnya mereka hampir menjadikanmu gelisah di negeri (Makkah) untuk mengusirmu darinya,” (QS al- Isra ayat 76).

Perjalanan pasukan kaum Muslimin menuju Tabuk memakan waktu hingga 20 hari. Medan yang mereka tempuh sangat sulit. Selain keterbatasan bahan makanan, mereka harus menghadapi panasnya gurun pasir. Perang ini bahkan di juluki “Pasukan Jaisyul Usrah” yang artinya pasukan yang dalam keadaan sulit. Ke adaan para sahabat sedan susah membuat seekor unta harus dikendarai oleh sepuluh orang sahabat secara ber gantian.

Sesampainya di Tabuk, Rasulullah SAW berdiri di hadapan pasukan dan me nyampaikan pidato yang penuh sema ngat. Jihad prajurit semakin membara. Pada perang ini, sebelumnya Rasulullah telah menganjurkan para sahabat untuk berinfak karena jarak yang akan ditempuh agak jauh.

Dalam perang ini, Abu Bakar ra mengorbankan seluruh harta nya. Umar ra juga telah mengorbankan setengah hartanya. Begitu pun dengan Utsman ra yang mengorbankan perlengkapan perang untuk sepertiga pasukan. Beserta sahabat lainnya, menginfakkan lebih dari kemampuan mereka.

Kondisi saat itu sangat genting dan mencekam. Musim panas pun mendera. Kebun-kebun kurma di Madinah mulai ranum dan siap dipanen. Ujian keimanan bagi Nabi dan sahabat serta pengikutnya terjadi di sini. Di mana saat panen merupakan saat-saat yang nyaman untuk ber istirahat dan bersantai di rumah. Sebagi an besar mata pencaharian penduduk Madinah pun bergantung pada panen kurma ini.

Nabi menggerakkan seluruh kaum Muslimin untuk turut serta dalam perang besar melawan kaum kuffar. Sungguh men jadi perkara teramat berat bagi orang-orang yang di hatinya terdapat penyakit kemunafikan untuk turut serta dalam perang tersebut. Inilah ujian untuk menyeleksi siapakah yang betul-betul beriman dan siapakah yang “bermainmain” dengan keimanannya.

Saat itu, hanya kaum munafik, orang-orang uzur, perempuan, anak-anak, dan sebagian sahabat yang tidak memiliki kendaraan yang bisa ditunggangi yang tertinggal di Madinah. Padahal, mereka sangat ingin ikut dalam pasukan itu. Melihat hal ini, Allah pun mengabadikan hal itu dengan berfirman di QS at-Taubah ayat 92, “Mereka kembali, sedangkan mata mereka bercucuran air mata ka rena sedih tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan.”

Dalam tempo singkat, terkumpul 30 ribu pasukan kaum Muslimin. Mereka adalah para pejuang-pejuang Islam yang ingin menunjukkan kejujuran iman mereka. Bilangan tersebut adalah jumlah pasukan terbesar yang pernah ada da lam sejarah perjuangan Nabi. Sementara 40 ribu pasukan Romawi telah disiapkan dengan tambahan personel dari penguasa Bashroh Bani Ghassan. Mereka bergerak menuju perbatasan Syam dan jazirah.

Berbeda dengan perang-perang sebelumnya, Nabi SAW sengaja menampakkan rencana perang ini kepada kaum Muslimin. Padahal biasanya, apabila hendak berangkat berperang, beliau selalu menampakkan seolah-olah bukan untuk berperang. Bahkan, beliau mengajak kabilah-kabilah Arab dan orang-orang badui agar berangkat bersama beliau. Singkat cerita, Nabi dan para sahabat telah siap bertempur melawan musuh.

Namun, pasukan Romawi tak kunjung muncul. Ternyata, pasukan Romawi tidak berani berperang. Mereka berpencar di batas wilayah mereka masing-masing. Pasukan Romawi lebih senang tinggal di dalam wilayah Syam untuk berlindung di benteng-bentengnya ketika sampai kepada mereka berita tentang kekuatan pasukan Muslimin.

Rasulullah menetap di Tabuk selama 20 hari, dan mengirim beberapa pasukan kecil ke sekitar daerah Tabuk. Tindakan ini ternyata menambah kekuatan dan wibawa Islam di wilayah utara jazirah Arab serta membuka jalan ke arah penaklukan daerah Syam. Syekh Ibnul Qayyim al-Jauziy menuturkan, ketika sampai di Tabuk, Rasulullah didatangi penguasa Ailah yang menawarkan perdamaian dan jizyah. Dia juga didatangi penduduk Jarba dan Adzrah untuk memberikan jizyah.

Kepergian Rasulullah SAW dan para sahabatnya menuju Tabuk menyelipkan begitu banyak hikmah. Perang ini dianggap sebagai ajang latihan fisik kaum Muslimin, di mana membutuhkan waktu 50 hari; 30 hari perjalanan pulang pergi dan 20 hari masa menaklukkan musuh di sekitar Tabuk.

Tujuan dari perang ini pun untuk mempersiapkan mereka dalam memikul risalah demi melindungi penyebaran Islam di luar semenanjung jazirah Arab. Kabilah-kabilah Arab saat itu pun terpengaruh oleh Rasulullah SAW dan dakwah Islam.

 

REPUBLIKA

Surat Kiai Kharismatik Majalengka untuk Rasyid Ridha Mesir

Kontak antara ulama atau cendikiawan Muslim Indonesia dengan cendekiawan sudah berlangsung sejak lama. Komunikasi mereka seputar berbagai persoalan, tak terkecuali konsultasi agama.

Direktur Islam Nusantara Centre Ahmad Ginanjar Sya’ban, mengungkapkan sebuah surat dari KH Abdul Halim Majalengka tokoh utana Persatuan Umat Islam (PUI) untuk Sayyid Rasyid Ridha di Mesir (Majalah al-Manar) yang bertahun 1353 H (1934 M).

Sepucuk surat yang ditulis dan dikirim KH  Abdul Halim Majalengka (PUI, w 1962) untuk Sayyid Rasyid Ridha (w. 1935), salah satu tokoh pembaaru dunia Islam paling berpengaruh yang berbasis di Mesir sekaligus pemimpin Majalah al-Manar.

Ginanjar menjelaskan, surat tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan dimuat dalam Majalah al-Manar edisi 30 Sya’ban tahun 1353 Hijriyah (bertepatan dengan 7 Desember tahun 1934 Masehi). Berikut ini identitas surat yang ditulis Kiai Abdul Halim.

Tertulis pada bagian awal mula surat: (Surat dikirim dari penulisnya di kota Majalengka, Jawa). Identitas KH Abdul Halim Majalengka terlihat dari nama si pengirim surat, dengan keterangan sebagaimana di bawah ini:

(Abdul Halim, Kepala Dewan Pusat Syarikat Ulama). Apa gerangan isi surat yang ditulis oleh KH Abdul Halim Majalengka tersebut?

Rupanya, dalam surat itu, KH Abdul Halim Majalengka menanyakan hukum perempuan yang bergaul dan membuka wajah di hadapan para lelaki dalam kondisi-kondisi tertentu, semisal acara lamaran (khitbah) dan lain sebagainya. KH Abdul Halim menulis:

(Bismillâhirrahmânirrahîm. Kepada tuan panutan para ulama, guru pembaharu yang agung, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, pemilik Majalah al-Manar, semoga Allah memberikanku dan semua umat Muslim kemanfaatan dengan keberadaannya. Amin.

Assalamu’alaikum wr wb 

Wa ba’da. Apa pendapat Tuan tentang perempuan yang bergaul dan membuka wajah mereka di hadapan para lelaki ketika acara khitbah (tunangan). Apakah anda membolehkannya? Lalu apa maksud dari ayat […] dan ayat […] Mohon berilah kami jawaban fatwa dan keterangan yang melegakan. Terima kasih dari kami untuk Tuan, dan semoga Tuan mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala. Wassalam).

Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh KH Abdul Halim Majalengka di atas, Sayyid Rasyid Ridha pun mengatakan jika boleh hukumnya bagi perempuan bergaul dan membuka wajah mereka di hadapan para lelaki dalam kondisi aman, semisal belajar, mengajar, menghadiri majlis ilmu, kenduri, termasuk di dalamnya adalah acara lamaran.

Sayyid Rasyid Ridha juga menjelaskan lebih jauh tentang papakem (etika) yang harus dipegang teguh kaum hawa ketika mereka bergaul dan berinteraksi dengan dunia luar.

Beliau juga mengatakan telah menganggit sebuah kitab khusus terkait hal ini dan hak-hak perempuan secara gamblang, berjudul “Nida al-Jins al-Lathif fi Huquq al-Nisa fi al-Islam”.

Lebih lanjut, Ginanjar yang juga alumni Universitas al-Azhar, Kairo Mesir ini menjelaskan sosok KH Abdul Halim Majalengka. Di Majalengka terdapat dua orang ulama besar yang bernama KH Abdul Halim, dan dua-duanya hidup satu zaman.

Yang pertama adalah KH Abdul Halim pendiri PUI (Persatuan Umat Islam, bersama-sama dengan KH Ahmad Sanusi, Gunung Puyuh, Sukabumi) dan Pesantren Asromo, sementara yang kedua adalah KH Abdul Halim bin Kedung dari Leuwimunding yang merupakan pendiri NU (Nahdlatoel Oelama, bersama-sama KH Hasyim Asy’ari, KH A Wahhab Hasbullah, dll).

“Kiai Abdul Halim yang dimaksud dalam surat ini adalah pendiri PUI,” tutur dia.

 

REPUBLIKA

Jutaan Jamaah Umrah Nikmati Sejuknya Udara Tanah Suci

Bulan Desember menjadi bulan yang paling diminati para calon jamaah umrah untuk pergi ke Tanah Suci Makkah dan Madinah. Selain puncak akhir tahun, udara di awal bulan Desember juga masih bisa dinikmati jutaan jamaah umrah di seluruh dunia.

“Alhamdulilah sejuk,” kata Ustaz Samsuri MA selaku penanggungjawab jamaah Almagfirah Travel di Saudi saat berbincang dengan Republika.co.id melalui sambungan telepon, Jumat (7/12).

Ustaz Samsuri mengatakan cuaca di Tanah Suci saat ini tidak jauh berbeda dengan kondisi di Jakarta saat memasuki bulan Desember. “Kalau di saat tidak musim hujan suhu sekitar 25 sampai 32 derajat,” ujarnya.

Pada saat dihubungi, Samsuri sedang menunggu waktu Shalat Ashar. Dengan alasan ingin menikmati udara sejuk dan hembusan angin sepoi-sepoi, banyak jamaah umrah Almagfirah setelah Shalat Ashar langsung selonjoran di halaman Masjidil Haram.

Suasana sore di Kota Suci Makah semakin indah, ketika cahaya matahari sore dipantulkan gedung-gedung pencakar langit ke segala arah. Para jamaah terlihat berduyun-duyun keluar hotel menuju ke pelataran masjid untuk menikmati suasana sore di tanah kelahiran baginda Nabi Muhammad SAW.

Cuaca di bulan Desember sangat bisa dinikmati, tidak seperti bulan-bulan sebelumnya yang suhunya lebih tinggi dari suhu di bulan Desember. “Mungkin masuk bulan Januari akan lebih dingin karena sudah masuk musim dingin. Bulan Desember ini peralihan musim sehingga sangat nyaman cuacanya untuk bisa dinikamati,” katanya mengakhiri cerita bagaimana kondisi cuaca di kota Makkah al Mukarramah.

Maksud MALU Sebagian dari Iman

Alhamdulillah, pembahasan Hadits Shahih Bukhari kali ini memasuki hadits yang ke-24, biidznillah. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Sebagaimana judul yang bab yang diberikan oleh Imam Bukhari pada hadits ini ” باب الْحَيَاءُ مِنَ الإِيمَانِ ” pembahasan hadits ini juga diberikan judul yang sama dalam bahasa Indonesianya, yaitu “Malu adalah Sebagian dari Iman“

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-24:

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ

Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu. Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.’”

Penjelasan Hadits
Ayah dari Salim yang dimaksud dalam hadits ini tidak lain adalah Abdullah bin Umar bin Khattab.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ

Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu

Kata يَعِظُ berarti menasehati, menakut-nakuti, atau mengingatkan. Dalam hadits Shahih Bukhari yang lain (bab adab, yang insya Allah akan kita bahas nantinya jika sampai di sana) disebutkan dengan kalimat وَهْوَ يُعَاتَبُ فِى الْحَيَاءِ (ia mencela sifat malu saudaranya). Mungkin dalam bahasa kita, laki-laki ini mengatakan “Engkau sangat pemalu” atau “Sifat malu itu membahayakanmu.”

Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan kemungkinan bahwa laki-laki tersebut sangat pemalu hingga ia tidak ingin meminta haknya. Karena itu ia dicela oleh saudaranya.

Namun ternyata, sikap laki-laki yang mencela atau menasehati saudaranya dari rasa malu itu tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW yang saat itu lewat di depan mereka.

دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ

Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman

Inilah salah satu sifat Rasulullah. Bahwa beliau tidak membiarkan sesuatu yang salah di hadapannya. Beliau tidak mendiamkan sesuatu yang keliru, kecuali menegurnya. Sebaliknya, segala hal yang terjadi atau diucapkan di hadapan Rasulullah SAW, sedangkan beliau membiarkan atau mendiamkannya, maka itu dianggap sebagai persetujuan Rasulullah SAW yang memiliki legitimasi hukum di dalam Islam. Dalam istilah hadits yang demikian itu disebut “hadits taqriri” yakni persetujuan dari Rasulullah SAW.

Maka dalam hadits ini Rasulullah SAW mengingatkan bahwa yang benar justru adalah tidak menghilangkan rasa malu dalam diri saudaranya. Biarkan saja seseorang memiliki sifat malu. Ia adalah akhlak yang disunnahkan. Malu adalah sebagian dari iman.

“Kalaupun sifat malu itu menghalangi seseorang dari meminta haknya,” tulis Ibnu hajar dalam Fathul Bari, “maka dia akan diberi pahala sesuai dengan hak yang ditinggalkannya.”

Karena sifat malu itu, menurut Ibnu Qutaibah, “Dapat menghalangi seseorang untuk melakukan kemaksiatan sebagaimana iman.”

Malu didefinisikan sebagai sikap menahan diri dari perbuatan buruk atau hina. Sifat malu ini merupakan gabungan dari sifat takut dan iffah (menjaga kesucian diri).

Pendapat lain mengatakan bahwa malu adalah takut akan dosa karena melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Ada juga yang berpendapat bahwa malu berarti menahan diri karena takut melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal, maupun adat kebiasaan. Pengertian yang disebutkan terakhir ini lebih umum dan mencakup definisi yang cukup luas.

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Kaum muslimin hendaknya selalu memiliki semangat untuk menasehati saudaranya, mengingatkannya dengan penuh kasih sayang, dan tidak berdiam diri dari kesalahan;
2. Salah satu sifat Rasulullah adalah meluruskan ketika ada kekeliruan yang beliau ketahui, dan membetulkan kesalahan yang beliau dapati. Sehingga ketika Rasulullah diam terhadap sesuatu yang diketahui beliau, maka itu berarti taqrir (persetujuan) dari beliau;
3. Hendaklah seorang muslim memiliki rasa malu dan menjaga sifat itu tetap ada pada dirinya;
4. Malu adalah sebagian dari iman.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-24. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga kita bisa menjadi hamba-Nya yang senantiasa memiliki semangat berdakwah dan memiliki rasa malu. Allaahumma aamiin.

Wallaahu a’lam bish shawab.

 

PERCIKANIMAN.ORG

Tuntunan Islam Jika Menemukan Uang di Jalan

KITA mungkin pernah menemukan sesuatu barang di jalan dan mengambilnya. Bagi orang yang berbaik hati, mereka akan mencari tahu pemiliknya dan mengembalikannya.

Sebaliknya, bagi orang yang tidak bertanggung jawab, mereka akan mengambilnya untuk kepentingan pribadi mereka. Mereka tidak peduli kalau barang yang mereka temukan adalah hak dan milik orang lain, apalagi barang tersebut berupa uang yang tidak sedikit jumlahnya yang tergeletak begitu saja di jalan. Lantas bagaimanakah hukum menemukan uang atau barang di jalan?

Barang temuan dalam fiqih disebut dengan luqothoh. Luqothoh mempunyai empat bahasa, yaitu:

– Luqoothoh (huruf qof dibaca panjang)
– Luqthoh
– Luqothoh (huruf qof dibaca pendek)
– Laqotho

Luqothoh menurut syara adalah: “sesuatu yang berupa harta yang ditemukan di suatu tempat yang tempat itu tidak ada pemiliknya atau barang yang dikhususkan yang tersia-sia disebabkan jatuh atau lupa dan semisalnya”.

Apabila barang yang ditemukan berada di tanah orang lain, maka barang tersebut tidak dikatakan luqothoh (barang temuan), melainkan adalah milik orang yang memiliki tanah, ketika orang yang memiliki tanah tersebut berdakwa bahwa barang tersebut adalah barangnya. Apabila ia tidak berdakwa memiliki, maka barang tersebut adalah milik orang yang memiliki tanah tersebut sebelumnya dan seterusnya. Apabila tidak ada yang berdakwa memiliki, maka baru bisa dikatakan luqothoh.

Disunnahkan bagi orang yang merasa bisa menjaga amanahnya untuk mengambil barang temuan (Barang yang ditemukan adalah amanah bagi yang menemukannya). Dalam hadits disebutkan: “Allah selalu menaungi (menolong) abdinya selama abdi tersebut menaungi (menolong) saudaranya”. (HR. Muslim)

Sebab disunnahkannya karena memang itu adalah hanya sebuah amanah bagi yang menemukan. Namun, bagi orang yang merasa bisa menjaga amanah, apabila tidak mau mengambilnya, ia terkena hukum makruh seperti apa yang telah dikatakan oleh Imam Al-Mutawalliy dan Imam lainnya.

Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang merasa bisa menjaga amanah atas barang temuan tersebut wajib mengambilnya untuk kemudian dicari tahu pemiliknya (diumumkan) dengan cara yang telah di atur oleh syara. Adapun bagi orang yang fasiq, dimakruhkan untuk mengambil barang yang ia temukan.

NB: Maksud dari orang yang takut tidak bisa menjaga amanah adalah ia takut setelah mengambil barang temuan akan berkhianat nantinya.

Dari keterangan-keterangan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum menemukan uang atau barang di jalan adalah sunnah (pendapat lain wajib) apabila orang yang menemukan uang atau barang tersebut percaya bahwa dirinya bisa menjaga amanah.

Apabila merasa tidak bisa percaya akan bisa menjaga amanah (nanti setelah mengambilnya), maka tidak disunnahkan untuk mengambil barang temuan tersebut. Namun, menurut qoul (pendapat) yang lebih kuat, ia boleh mengambilnya, karena belum pasti ia akan khianat atau tidak nantinya. [Mughni Al-Muhtaaj]

 

INILAH MOZAIK

Haruskah Kita Ikuti Kisah Sukses Orang Lain?

BAHWA kisah sukses orang lain itu bisa menginspirasi dan memotivasi kita untuk lebih giat itu adalah hal yang lumrah. Bahwa kita harus mengikuti bidang usaha orang-orang sukses itu adalah hal yang perlu didiskusikan.

Setiap orang memiliki bakat dan passion pada bidangnya masing-masing. Memaksakan diri untuk aktif di bidang yang tidak diminati adalah salah satu bentuk pemenderitaan diri yang banyak tidak disadari.

Salah satu sahabat Kiai Liling Sibro Malisi, Ketua Syuriah PCINU Malaysia itu, bakat sekali di bidang kuliner. Toko makanan dan kedainya ramai serta menghasilkan untung. Sang sahabat itu berkonsultasi kepada Kiai Liling untuk memperluas usaha di bidang enterpreneurship, tepatnya sebagai Event Organizer. Kiai Liling melarangnya dan menyatakan bahwa bidang itu bukan bidangnya. Dia memaksakan diri, akhirnya bangkrut alias collaps. Istikharah Kiai Liling jitu.

Ada banyak kisah lain yang serupa. Sukses orang lain tak bisa ditiru begitu saja, apalagi didasari iri hati dan dengki. Cobalah mencari tahu bakat diri, lalu renungkan dan pilih bidang kerja yang akan ditekuni dan jangan lupa untuk mengetuk pintu langit.

Ada kalimat indah yang layak direnungkan: “Define success on your own terms, achieve it by your own rules, and build a life youre proud to live.” (Definisikan sukses menurut istilah anda sendiri, capailah dengan aturan anda sendiri, bangunlah kehidupan yang anda sendiri merasa senang atau bangga dengan model kehidupan itu). Nah, tidak perlu tiru-tiru persis kan?

Tangkap saja spiritnya, pahami prinsipnya, dan terapkan di bidang anda sendiri.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Bahaya Dosa Viral

Di era digital, apapun bisa disebar, baik melalui handphone, tablet, komputer, atau perangkat canggih lainnya. Cepat dan real time. Tiap detik, info-info anyar bisa dicari, dibagi, dan diterima. Mulai soal resep masakan hingga isu politik. 

Menjadi fenomena kekinian, setiap orang seakan ingin menjadi yang pertama bisa share informasi. Adakalanya info itu berbentuk berita (link), infografis, video pendek, atau gift. Ironisnya, banyak yang tidak peduli, apakah info itu benar atau salah. Fakta atau hoax. Ignorance, begitu orang bule bilang. Pokoknya, sekali klik, nyebar dan bangga. Meski akibatnya timbul pro-kontra sekalipun.

Dus, harus disadari, ini problem nyata kita.  Secara psikologis, orang yang suka membuat, mengkonsumsi dan menyebar hoax itu punya masalah. Ada yang bilang kena wabah gangguan ketahanan intelektual, meski dari kalangan berpendidikan sekalipun. Ada juga yang menganggap soal rendahnya “sense” sosial. Yang pasti, daya kritisnya berkurang dan empatinya rendah.

Demikian juga yang suka posting konten hate-speech (ujaran kebencian), ghibah (bicara keburukan orang), dan bullying. Mereka tidak sadar, apa yang dilakukan itu merugikan orang lain; minimal mengganggu. Apalagi dalam sebuah grup yang diikuti banyak orang. Belum lagi jika postingannya disebar ulang, dimodivikasi, dan ditambah-kurang oleh orang lain. Lalu, hebohlah jagad maya dan isunya jadi viral.

Kehebohan bisa bertambah, jika pihak-pihak yang berkepentingan mengelola hoax berulah. Hoax dijadikan komoditas ekonomi yang menguntungkan. Mereka tidak peduli menimbulkan kegaduhan. Yang jelas, semakin ribut di Medsos, semakin menjanjikan bertambahnya pundi-pundi penghasilan.

Pertanyaannya, apa manfaat semua itu bagi kehidupan? Jawabnya jelas, tidak ada sama sekali! Menyebar hoax, menggaungkan hate-speech dan bullying pada pihak tertentu hanya merugikan diri sendiri dan orang lain. Dalam terminologi agama itu masuk kategori perbuatan dosa adami. Dosanya akan termaafkan jika pihak yang disakiti memaafkan.

Jika dosa tersebut dilakukan dan disebarluaskan melalui Medsos, maka disebut dosa viral. Melalui dunia maya, dosa itu menyebar luas tanpa batas (borderless). Istilah bekennya “never ending sin”, entah kapan dosa itu akan berhenti. Bisa jadi, dosa model ini “tak terampuni”. Innalillah!

Efek Dosa Viral

Tahukah anda, bagaimana efek dosa viral itu? Perlu dicatat bahwa sifat dari kehidupan dunia maya (digital) itu “abadi”. Artinya, sekali kita menorehkan jejak digital, selamanya tersimpan dalam bigdata digital;  sebuah tempat penyimpanan di dunia maya yang tak terbatas. Bahkan, meski telah diremove berkali-kali, file-nya tetap ada.

Sebuah postingan di media sosial, meski sudah dihapus pemilik akun, suatu saat info tersebut bisa dimunculkan kembali. Postingan yang diunggah sangat mungkin sudah tersimpan di puluhan atau ratusan server. Bisa pula disimpan ratusan/jutaan komputer/HP. Ingat, kasus video porno artis kenamaan dalam negeri? Meski sudah dihapus pada situs penyebar, tapi banyak yang save di HP atau komputer pribadi. Nah, saat muncul kepentingan, sewaktu-waktu postingan tersebut bisa diunggah kembali. Bahkan, meski orang yang melakukan sudah tobat atau mati sekalipun, dosa digitalnya masih bisa muncul. Artinya, apa yang telah dibagikan atau tersebar di dunia maya,  bersifat “abadi” atau never ending.

Ada guyonan seperti ini. Sekali kita posting di dunia maya, maka akan dicatat oleh server maya yang super canggih. Karenanya, kerja malaikat pencatat amal menjadi ringan. Gak perlu “cape-cape” mencatat. Semua sudah ada di bigdata. Terekam rapi, lengkap dan jelas. Tinggal klik, buka, atau cetak.

Karena sifatnya yang “abadi” itulah, perilaku digital kita harus dikontrol. Harus pernuh pertimbangan. Hati-hati, begitu orang tua bilang. “Think before you write“. Pikir dulu sebelum menulis atau share sesuatu. Saring sebelum sharing. Sebelum sharing, dipikir dulu, bermanfaat tidak buat orang lain. Kalau tidak, buat apa?

Nah, jika postingan info itu ternyata hoax, mengandung unsur hate-speech dan bullying terkait seseorang, berarti masuk kategori “ghibah” atau menggunjing. Dalam ajaran agama, ghibah adalah perbuatan yang sangat tercela, termasuk dosa besar.

Dalam QS: Al-Hujurat: 12 menegaskan soal dosa ghibah. “Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Suka-kah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.”

Ayat di atas dengan tegas menuntut seorang beriman dilarang berprasangka buruk atau menuduh tanpa dasar terhadap sesama. Karena, itu dosa adami. Dosa yang timbul antar sesama. Allah juga mengingatkan agar jangan menggunjing kepada sesama. Diibaratkan, menggunjing itu sama seperti orang yang memakan daging saudaranya. Ngeri sekali!

Seorang mufassir berkata: “ghibah adalah jika engkau membicarakan sesuatu yang jelek tentang saudaranya. Jika yang dibicarakan  tidak benar, maka itu berarti menfitnah (menuduh tanpa bukti).” Demikian dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 167). Jadi, membicarakan yang buruk meski benar saja dilarang. Apalagi hal buruk dan tidak benar.

Nah, bentuk ghibah paling kecil itu berupa isyarat. Ada seorang wanita yang menemui ‘Aisyah RA. Tatkala wanita itu hendak keluar, ‘Aisyah berisyarat pada Nabi SAW dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa wanita tersebut pendek. Nabi lalu bersabda, “Engkau telah mengghibahnya.” (HR. Ahmad).

Ghibah juga rentan munculnya fitnah. Saat gunjingan muncul, pasti ada perkataan yang ditambah atau dikurangi. Karena memang ghibah itu masuk wilayah persepsi. Sementara setiap orang memiliki tingkat kecerdasan berbeda-beda. Otomatis, ketika ghibah sudah dimasuki fitnah, maka dosanya menjadi dua macam. Dosa berlipat. Keduanya masuk dosa besar yang sangat sulit dimaafkan.

Pertanggung jawaban dosa ghibah bukan hanya kepada Allah swt. Yang paling berat justru kepada orang yang digunjing. Akan sangat beruntung jika orang yang digunjing mau memaafkan. Namun jika tidak dimaafkan, dosa ghibah akan terus mengalir selama-lamanya. Mengalir hingga datangnya hari pembalasan. Naudzubillah!

Hujjatul Islam, Imam Ghazali, menyebut, dosa ghibah lebih keji dibanding melakukan zina sebanyak 30x. Sebuah metafora yang sangat mengerikan. Demikian juga At-Thabari menyebut ghibah diharamkan karena di dalamnya ada pertengkaran antara setan dan niat baik manusia. Anehnya, sebagian besar umat manusia membicarkan keburukan sesamanya. Ghibah begitu ringan dan dilakukan berulang.

Dus, di atas adalah uraian terhadap ghibah yang dilakukan secara off-air. Dilakukan antara dua pihak atau sekumpulan orang secara langsung (face to face).

Lain lagi jika ghibah dilakukan di media digital. Yang mendengar bukan hanya satu-dua orang. Yang menangkap pesan bukan hanya satu kelompok. Sekali postingan ghibah disebar, maka konten itu sampai kepada puluhan, ribuan, bahkan jutaan orang. Ghibah itu menyebar, bahkan dari satu generasi ke generasi. Konten itu juga akan tersimpan dan saat diperlukan dapat dimunculkan kembali.

Ghibah, hate-speech, bullying, dan postingan negatif lainnya itu lalu menjadi tabungan dosa di “bank jagad raya” yang harus dipertanggungjawabkan. Orang-orang yang tersakiti akan meminta amal baik pelaku ghibah hingga dia bangkrut oleh dosa digital yang dilakukannya. Dia bangkrut oleh kelakukan jari jemari yang asyik menari tanpa kendali, menyebar informasi yang penuh dengan unsur kebencian dan kebohongan.

Sebaliknya, postingan positif akan menjadi tabungan amal shaleh tak terhingga. Pahalanya akan mengalir bak air jernih yang tak berkesudahan sampai hari kiamat. Bisa jadi kelak sebagai penebus dosa-dosa lain yang akan menyelamatkan kita dari ancaman neraka. Wallahu a’lam.

Thobib Al-Asyhar
(Penulis buku, Dosen SKSG Universitas Indonesia)

KEMENAG RI