Penyakit Paling Berbahaya Menurut Ahnaf bin Qais

Ahnaf bin Qais adalah kalangan tabi’in yang lahir di Basrah pada tahun 3 hijriah. Nama lengkapnya Dhahhak bin Qais bin Muawiyah bin Hushain Al-Hurri As-Sa’di. Ia biasa dipanggil Abu Bahar namun populer dengan nama Ahnaf karena salah satu kakinya bengkok.

Ahnaf seorang pemimpin Bani Tamim. Kelahirannya yaitu pada saat Nabi Muhammad SAW masih hidup, tetapi ia tidak pernah bertemu beliau SAW. Ahnaf pernah bertemu dengan Umar bin Khattab saat Umar menjadi khalifah.

Ahnaf dikenal sebagai sosok pemimpin yang cerdik, memiliki kefasihan dalam bertutur, bijaksana dan pemberani. Ia gemar berpuasa, hingga suatu kali ada orang yang nyinyir kepada dirinya.

“Anda sudah tua, bukankah puasa akan membuat kondisimu semakin lemah.” Lalu dijawab oleh Ahnaf, “Aku menjadikannya sebagai bekal untuk menempuh perjalanan yang jauh.”

Dalam ‘Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah’ karya Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, terbitan Pustaka Al-Kautsar, juga dipaparkan, suatu hari juga ada yang pernah mengejek dengan menyampaikan, “Dengan apa kamu berkuasa?”

Dijawab oleh Ahnaf, “Dengan meninggalkan urusanmu yang tidak berguna bagiku, sebagaimana kamu meninggalkan urusanku yang tidak berguna bagimu.”

Di hadapan khalayak umum, dia pernah berkata, “Maukah kalian aku beritahu tentang penyakit yang paling berbahaya?” “Ya,” kata mereka. Lalu Ahnaf berkata, “Moralitas yang tercela dan tutur kata yang jorok.”

Ahnaf juga berpesan, “Tidak ada muru’ah bagi pendusta, tidak ada ketenangan bagi pendengki, tidak ada muslihat bagi orang yang kikir, tidak ada kemuliaan bagi orang tidak bermoral, dan tidak ada saudara bagi orang yang tidak sabar.” 

Ahnaf wafat pada 72 hijriah. Dan ia telah meriwayatkan hadits dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar Al-Ghifari, dan sahabat lainnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Penyakit Paling Berbahaya Bukan Cuma Fisik, Ini Penjelasan Generasi Tabiin

Penyakit paling berbahaya adalah moralitas yang rusak

Generasi salaf dikenal dengan ketakwaan dan kesalehan yang luar biasa. Beberapa di antaranya dikenal sebagai ulama dan para ahli riyadhah atau olah spiritual. 

Di antara nama tabiin yang terkemuka itu adalah Ahnaf bin Qais. Dalam ‘Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah’ karya Syekh Muhammad Sa’id Mursi, terbitan Pustaka Al-Kautsar, disebutkan bahwa Ahnaf yang lahir di Basrah pada tahun 3 hijriah itu pernah memberikan nasihat ihwal penyakit yang paling berbahaya.

Di hadapan khalayak umum, dia pernah berkata, “Maukah kalian aku beritahu tentang penyakit yang paling berbahaya?” “Ya,” kata mereka. Lalu Ahnaf berkata, “Moralitas yang tercela dan tutur kata yang jorok.” 

Ahnaf juga berpesan, “Tidak ada muru’ah bagi pendusta, tidak ada ketenangan bagi pendengki, tidak ada muslihat bagi orang yang kikir, tidak ada kemuliaan bagi orang tidak bermoral, dan tidak ada saudara bagi orang yang tidak sabar.”

Dalam buku yang sama juga dipaparkan, suatu hari juga ada yang pernah mengejek dengan menyampaikan, “Dengan apa kamu berkuasa?” Dijawab oleh Ahnaf, “Dengan meninggalkan urusanmu yang tidak berguna bagiku, sebagaimana kamu meninggalkan urusanku yang tidak berguna bagimu.”   

Siapa Ahnaf bin Qais? 

Nama lengkapnya Dhahhak bin Qais bin Muawiyah bin Hushain Al-Hurri As-Sa’di. Dia biasa dipanggil Abu Bahar namun populer dengan nama Ahnaf karena salah satu kakinya bengkok. 

Ahnaf seorang pemimpin Bani Tamim. Kelahirannya yaitu pada saat Nabi Muhammad ﷺ masih hidup, tetapi dia tidak pernah bertemu beliau SAW. Ahnaf pernah bertemu dengan Umar bin Khattab saat Umar menjadi khalifah.

Ahnaf dikenal sebagai sosok pemimpin yang cerdik, memiliki kefasihan dalam bertutur, bijaksana dan pemberani. Dia gemar berpuasa, hingga suatu kali ada orang yang nyinyir kepada dirinya. 

“Anda sudah tua, bukankah puasa akan membuat kondisimu semakin lemah.” Lalu dijawab oleh Ahnaf, “Aku menjadikannya sebagai bekal untuk menempuh perjalanan yang jauh.”  

Ahnaf wafat pada 72 Hijriyah. Dan dia telah meriwayatkan hadits dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar Al-Ghifari, dan sahabat lainnya. (Umar Mukhtar)      

KHAZANAH REPUBLIKA

Rasulullah Menjawab Suatu Permasalahan dengan Mengajarkan Logika

Penggunaan akal untuk memutuskan suatu hukum, bukanlah hal yang baru. Cara pandang dalam hal ini, sudah ada jauh disaat Nabi Muhammad Saw menyampaikan dakwahnya. 

Dalam Musnad Ahmad diceritakan kisah Sahabat Umar Bin Khattab sedang berpuasa dan mencium istrinya. Kemudian Umar Bin Khattab menceritakan prihal tersebut kepada Nabi Muhammad Saw.  

Sebagaimana disebutkan dalam kitab Sunanul kubra lil Baihaki [juz 4, halaman 218] berikut;

حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ حَدَّثَنَا لَيْثٌ حَدَّثَنِي بُكَيْرٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ فَقُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ

Umar Bin Khattab mengatakan, “Pada suatu hari hasratku (syahwatku) bergejolak, kemudian mencium (istri) padahal aku sedang berpuasa, maka aku datang menemui Rasulullah Saw. Aku mengatakan hari ini aku melakukan suatu perbuatan (kesalahan) yang besar, aku mencium (istri) padahal sedang berpuasa.” 

Rasulullah Saw menjawab, “Apa pendapatmu apabila kamu berkumur-kumur dengan air padahal kamu sedang berpuasa?” Umar Bin Khattab menjawab, “Hal itu tidak mengapa (tidak membatalkan puasa).” Kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Lalu di mana masalahnya?” 

Dalam hadis diatas, Rasulullah Saw menjawab dengan sekaligus mengajarkan logika. Mencium dianalogikan dengan kumur-kumur. Artinya, ketika berkumur-kumur tidak sampai meminum air, begitu pula dengan mencium tidak sama dengan menggauli istri. 

Nabi bisa saja menjawab dengan mengatakan, “Tidak apa-apa” secara tegas. Tapi, Rasulullah Saw dalam riwayat diatas, bukan hanya mengajarkan kita memahami persoalan secara logis tapi juga secara konteksual. 

Memahami Islam tidak cukup hanya lewat teks, tapi juga harus memahami konteks. Keduanya harus dipahami secara bersamaan dan tidak bisa ditinggalkan. (Baca: Biografi Imam Muslim Serta Kitabnya yang Monumental)

Namun demikian, penggunaan akal untuk memutuskan suatu hukum tidak berlaku secara mutlak. Ada rambu-rambu yang harus senantiasa diperhatikan. 

Syekh Yusuf al-Qardhawi, pemikir islam kontemporer berkebangsaan Mesir, dalam kitabnya Al-khasais al-Ammah lil Islam halaman 220-221 menyatakan bahwa sekitar sepuluh persen teks ajaran wahyu merupakan aturan baku yang bersifat qath’i tanpa memberikan peluang adanya penafsiran lain. 

Sementara itu, segmen yang sembilan puluh persen merupakan jenis ajaran yang bisa beradaptasi dan dapat disentuh oleh perubahan sesuai konteks ruang dan waktu. 

Segmen yang sepuluh persen ini, dapat terlihat dalam pokok-pokok akidah seperti Iman kepada Allah Swt, rukun Islam yang lima, perbuatan-perbuatan yang jelas dilarang oleh syariat seperti pembunuhan, berbuat zina, mencuri, dan ajaran-ajaran lain yang sifatnya dogmatis dan tidak menerima perubahan. 

Dengan demikian, dalam persoalan ibadah misalnya, kita tidak perlu melakukan kreativitas dan inovasi dalam bentuk amalan baru dengan memodivikasi ajaran yang sudah ditetapkan oleh teks-teks wahyu. 

Dalam sholat misalnya kita tidak perlu mengembangkan jumlah sholat wajib sehari semalam, jumlah rakaatnya, jumlah sujudnya, dan seterusnya. Begitu pula dalam soal amalan ritual lain lain seperti puasa, haji dan lain sebagainya. 

Sementara itu, segmen yang sembilan puluh persen, menyangkut persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan sehari-hari, Islam membuka lebar-lebar ruang nalar untuk mengembangkannya ke arah yang lebih dinamis. 

Oleh karena itu, dalam persoalan muamalah atau interaksi sosial sehari-hari kita bebas mengembangkannya sejauh tidak bertentangan dengan teks-teks umum yang telah menggariskan acuan dasar prinsip-prinsipnya. 

Selagi tidak terdapat teks yang yang mengharamkan, maka kita diberi kebebasan untuk berkreasi dan mengembangkannya sesuai konteks kemaslahatan. Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Kapankah Dimulai Perhitungan Masa Iddah?

Salah satu kewajiban seorang perempuan yang bercerai adalah harus menjalani masa iddah atau masa tunggu sampai pada batas waktu tertentu yang telah ditetapkan. Sehingga ketika ia sudah melewatinya ia boleh menikah lagi dengan orang lain.

Namun, terkadang timbul pertanyaan dari sebagian orang mengenai awal waktu dimulainya masa iddah apakah semenjak Jatuhnya talak oleh suami atau semenjak jatuhnya putusan di pengadilan. Lantas, kapankah dimulai perhitungan masa iddah? 

Dalam literatur kitab fikih fitemukan beberapa keterangan yang menjelaskan bahwa sesorang yang berhak menjatuhkan talak adalah suami. Hal ini terjadi apabila suami telah memenuhi syarat untuk menjatuhkan talak yakni ketika dia berusia baligh dan berakal.

Sementara isteri tidak memiliki hak talak kecuali dengan surat kuasa dari suami atau izin darinya. Hakim juga tidak memilikinya kecuali dalam kasus-kasus khusus karena adannya darurat.

Sebagaimana dalam keterangan kitab Al-Fikhul Islam Wa Adillatuhu [Juz 5, halaman 863] berikut;

مالك الطلاق يتبين مما سبق أن الذي يملك الطلاق إنما هو الزوج متى كان بالغا عاقلا ولاتملكه الزوجة إلا بتوكيل من الزوج أوتفويض منه ولايملكه القاضي إلا فى أحوال خاصة للضرورة

Artinya : Pemilik talak Jelaslah dari uraian di atas bahwa yang memiliki talak adalah suami, ketika ia sudah baligh dan berakal.

Sementara isteri tidak memiliki hak talak kecuali dengan surat kuasa dari suami atau izin darinya. Hakim juga tidak memilikinya kecuali dalam kasus-kasus khusus karena adannya darurat.

Keterangan diatas menyatakan bahwa dalam keadaan normal menjatuhkan talak adalah hak mutlak yang dimiliki oleh suami. Jatuhnya talak ini juga menyebabkan dimulainya hitungan masa iddah bagi perempuan yang dicerai.

Sementara bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya, hitungan iddahnya dimulai semenjak hari kematian. Sebagaimana dalam keterangan kitab Al-Fikhul Islam Wa Adillatuhu [Juz 7, halaman 856] berikut,

إن كان الزواج صحيحا : فمبداء العدة بعد الطلاق أو الفسخ أوالموت فابتداء العدة فى الطلاق ونحوه غقيب الطلاق ، وفى الوفاة عقيب الوفاة بالإتفاق بين الفقهاء وتنقضي العدة وإن جهلت المرأة بالطلاق أو الوفاة 

Artinya : Jika perkawinan itu sah, maka masa iddah dimulai setelah jatuhnya talak, fasakh, atau matinya suami. Bagi perempuan yang ditalak, awal masa iddah dihitung semenjak jatuhnya talak oleh suami.

Sementara bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya, hitungan iddahnya dimulai semenjak hari kematian. Hal ini berdasarkan kesepakatan diantara para ulama.

Iddah tersebut terus berjalan sampai selesai meskipun pihak istri tidak mengetahui adanya talak ataupun prihal kematian suami. 

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa masa iddah dimulai setelah jatuhnya talak, fasakh, atau matinya suami. Bagi perempuan yang ditalak, awal masa iddah dihitung semenjak jatuhnya talak oleh suami.

Sementara bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya, hitungan iddahnya dimulai semenjak hari kematian. Demikian penjelasan ini. Wallahu a’lam. (

BINCANG SYARIAH

Perbandingan Pahala Haji Berjalan Kaki dan Naik Kendaraan

Berangkat ibadah haji ke Baitullah dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau menaiki kendaraan dari tempat mulai keberangkatan.

Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi mengatakan, berangkat haji dengan berjalan kaki lebih utama dibandingkan menaiki kendaraan.   

Hal ini seperti dikatakan, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan secara marfu’ bahwa barangsiapa yang pergi berhaji ke Makkah dengan berjalan kaki hingga dia kembali, maka setiap langkah dituliskan baginya satu kebaikan dari kebaikan-kebaikan tanah Haram. Seseorang bertanya,“Apa itu kebaikan-kebaikan tanah Haram?” Rasulullah SAW menjawab, “Satu kebaikan menyamai seratus ribu kebaikan.” (HR Hakim) 

Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi menerangkan hadits di atas, menurutnya, berdasarkan perhitungan ini, tujuh ratus kebaikan menyamai tujuh puluh juta kebaikan. “Ini adalah pahala dari setiap langkah. Dengan demikian, bisakah pahala seluruh perjalanannya dihitung?” kata Syekh Maulana Muhammad Zakariyya dalam kitabnya Fadhila Haji. 

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika hendak meninggal dunia berwasiat kepada putra-putrinya supaya pergi berhaji dengan berjalan kaki. Kemudian dia menerangkan hadits di atas.  

Dalam beberapa riwayat dinukilkan dari Rasulullah ﷺ bahwa pahala satu shalat di Masjidil Haram menyamai seratus ribu sholat. Hasan Bashri berkata, “Pahala satu puasa di tanah Haram menyamai pahala puasa seratus ribu kali. Dan bersedekah satu dirham mendapat pahala bersedekah seratus ribu dirham. Begitu juga setiap kebaikan yang dikerjakan di tanah Haram menyamai seratus ribu kebaikan di luar tanah Haram.”  

Syekh Zakariyya mengingatkan, bahwa terdapat satu perkara yang sangat penting untuk diperhatikan, yaitu sebagaimana pahala satu kebaikan di tanah Haram sama dengan seratus ribu kebaikan, begitu juga adzab terhadap dosa yang dilakukan di sana juga sangat banyak.  

“Oleh karena itu, sebagian ulama menulis bahwa bermukim di tanah Haram hukumnya makruh, karena seseorang pasti melakukan kesalahan dan dosa,” katanya. 

Sedangkan melakukan dosa di sana sangat keras hukumannya. Ibnu Abbas berkata, “Jika aku melakukan 70 dosa di ruqyah (nama sebuah tempat di luar tanah Haram), maka itu lebih baik daripada aku melakukan satu dosa di Makkah-Mukarramah.”   

IHRAM

Kisah Tragis Penggila Harta

Harta adalah nikmat sekaligus fitnah (ujian) dan bencana ketika membuat seseorang jauh dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah (ujian), dan fitnah bagi umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi no. 2336, Ahmad [IV/160], Ibnu Hibban no. 2470)

Penggila harta dan pencinta dunia yang lebih mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat adalah orang yang merugi dan sengsara di dunia maupun di akhirat. Harta yang diburu dengan tamak dan melalaikan tujuan akhirat akan membuatnya meninggal dalam keadaan su`ul khotimah.

Al-Imam Ibnul Qayyim menceritakan sebuah kisah: “Sebagian saudagar bercerita kepadaku, ada salah seorang kerabatnya sedang sekarat. Waktu itu dia sedang berada di dekatnya. Lalu orang-orang mentalkinkan kepadanya kalimat tayibah, tapi dia malah berkata, Barang ini murah, pembeli ini baik, dan barang ini demikian … demikian.’ sampai meninggal.” (Al-Jawabul Kafi, hlm. 91)

Abdul Haq berkata: “Dikatakan pada seseorang yang aku kenal di saat dia hendak meninggal, ‘Katakan La Ilaha Illallah!’ Dia malah berkata, ‘Rumah anu perbaiki bagian ininya dan kebun anu kerjakan di sana.’ Demikian lalu meninggal.” (Al-Jawabul Kafi, hlm. 166)

Harta dan segala perhiasan dunia mampu menyihir hati manusia yang kosong dari keimanan pada kehidupan akhirat. Hingga menjelang ajal segala kenikmatan dunia masih menari-nari di pelupuk matanya. Orientasi obsesi dunia selalu memenuhi hatinya seolah dia hidup selamanya.
Tepatlah kondisi ini sebagaimana dikabarkan dalam sebuah hadits,

يَكْبَرُ ابْنُ آدَمَ وَيَكْبَرُ مَعَهُ اثْنَانِ حُبُّ الْمَالِ وَطُولُ الْعُمُرِ

Anak Adam (manusia) semakin tua dan menjadi besar juga bersamanya dua hal: cinta harta dan panjang umur.” (HR. Al Bukhari no. 6421 dan Muslim no. 1047 dari Anas bin Malik radhiyallahu’ ‘anhu).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَىٰ حُبِّ اثْنَتَيْنِ : طُوْلُ الْـحَيَاةِ وَحُبُّ الْمَالِ

Hati orang tua renta senantiasa muda dalam mencintai dua perkara, hidup yang panjang dan cinta terhadap harta.” (HR. Al-Bukhari no. 6420 dan Muslim no. 1046)

Mukmin cerdas hendaklah lebih fokus mengejar akhirat untuk membangun istana di surga dan tidak terlalu menyibukkan dirinya membangun kehidupan dunia, namun lupa mengumpulkan bekal untuk akhirat. Justru ketika ia cerdas memanfaatkan harta dunia dengan amal shalih maka inilah harta dunia yang diberkahi Allah Ta’ala. Merekalah mukmin yang cerdas dunia akhirat. Semakin usia tak muda lagi, justru kian bersemangat untuk mencintai kehidupan akhirat, terlebih lagi ketika diberikan harta dunia berlebih maka mereka akan antusias memanfaatkannya untuk bekal di akhirat. Hati dan pikiran tetap sibuk untuk mencari keselamatan akhirat.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ؟» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلَّا مَالُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ، قَالَ: «فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ، وَمَالُ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ»

Siapakah di antara kalian yang lebih mencintai harta ahli warisnya daripada hartanya sendiri?” Mereka menjawab, ‘Ya Rasulullah! Tidak ada seorangpun di antara kami melainkan lebih mencintai hartanya sendiri.’ Lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya hartanya sendiri itu apa yang telah dipergunakannya (disedekahkannya) dan harta ahli warisnya ialah apa yang ditinggalkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6442)

Semoga kita tidak tersihir hatinya dengan kenikmatan harta dari Allah ta’ala, menjadi ahli akhirat. Ibnu Taimiyah berkata: “Berhati-hatilah kalian dari dua golongan manusia, orang yang menuruti hawa nafsunya yang telah tertipu olehnya dan dan ahlul dunia yang telah di tenggelamkan oleh dunianya.” (Iqtidha’ush Shirathil Mustaqim hal. 5).

Ibnu Qayyim juga berkata: “Waspadalah kalian terhadap dua tipe manusia, pengikut hawa nafsu yang diperbudak oleh hawa nafsunya dan pemburu dunia yang telah dibutakan (hatinya) lantaran dunia (yang telah dicapainya)” (Ighatsatul Lahfan, II: 586).

Saatnya lebih dekat pada pencinta akhirat yang memburu kebahagiaan kekal daripada penggila dunia yang membuat hati sibuk memikirkan dunia dengan segala kelezatannya. Berdoa pada Allah ta’ala agar selamat dari jebakan fitnah harta sehingga mati dalam kondisi khusnul khotimah.
Wallahu a’lam.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:
1. Majalah Fatawa vol IV/ no. 02 1429H
2. Majalah As-Sunnah edisi 07/THN XX/1438H

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14251-kisah-tragis-penggila-harta.html

Mengambil Barang Temuan di Jalan Bisa Kualat?

Ada anggapan di masyarakat bahwa jika mengambil barang temuan di jalan, nanti akan kualat, yaitu akan tertimpa kesialan berupa hilangnya harta yang lebih besar. Ini keyakinan yang tidak benar dan termasuk khurafat.

Dalam Islam, dibolehkan mengambil barang temuan di jalan. Jika nilainya besar, wajib diumumkan selama 1 tahun. Berdasarkan hadis dari Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً، فإنْ لَمْ تَعْرِفْ فَاسْتَنْفِقْهَا

“… kemudian umumkanlah selama satu tahun. Lalu jika tidak ada yang mengakuinya, maka gunakanlah barang tersebut.”

Dalam riwayat lain,

فإنْ جَاءَ صَاحِبُهَا فَعَرَفَ عِفَاصَهَا، وَعَدَدَهَا وَوِكَاءَهَا، فأعْطِهَا إيَّاهُ وإلَّا فَهي لَكَ

“Jika datang orang yang mengakuinya, lalu ia bisa menyebutkan kulitnya, jumlahnya, dan bungkusnya, maka berikanlah kepadanya. Jika tidak demikian, maka barang tersebut jadi milikmu (setelah 1 tahun).” (HR. Muslim no. 1722)

Jika nilainya kecil, boleh langsung dimiliki dan dimanfaatkan. Berdasarkan hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menemukan kurma di jalan lalu beliau mengambilnya dan bersabda,

لَوْ لاَ أَنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الصَّدَقَةِ َلأَكَلْتُهَا

“Andai aku tidak khawatir ini adalah harta sedekah, niscaya aku akan memakannya.” (HR. Bukhari no.2431, Muslim no.1071)

Dikuatkan lagi dengan hadis lain dari Jabir radhiyallahu ‘anhu,

رخَّص لنا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في العصا والسَّوطِ والحبلِ وأشباهِه يلتقطْه الرجلُ ينتفعُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan kami untuk mengambil tongkat, cambuk, tali, dan semisalnya yang ditemukan seseorang di jalan, kemudian memanfaatkannya.”

(HR. Abu Daud no. 1717. Hadis ini dha’if karena terdapat perawi bernama Al-Mughirah bin Ziyad Al-Mushili yang dha’if. Hadis ini juga diperselisihkan apakah mauquf kepada Jabir ataukah marfu’. Namun, isi hadis ini diamalkan oleh para ulama karena bersesuaian dengan dalil-dalil lainnya.)

Maka, mengambil barang temuan di jalan tidaklah mengapa, selama memenuhi ketentuan di atas. Bukan suatu pelanggaran agama. Ini hukumnya boleh. Bahkan, jumhur ulama menganjurkan untuk mengambilnya.

Sehingga tidak boleh meyakini bahwa orang yang mengambil barang temuan akan kualat. Keyakinan ini bertentangan dengan syariat. Andaikan ada orang yang mengambil barang temuan lalu setelah itu Allah beri ia cobaan dengan hilangnya harta, maka itu takdir Allah yang harus diterima dengan rida, bukan karena ia mengambil barang temuan yang diizinkan oleh syari’at. Tidak boleh mengaitkan adanya musibah dengan mengambil barang temuan, padahal tidak ada korelasinya dan tidak ada dalil akan hal ini. Syaikh As-Sa’di mengatakan,

أن لا يجعل منها سببا إلا ما ثبت أنه سبب شرعا أو قدرا

“Tidak boleh menjadikan sesuatu sebagai sebab padahal tidak ada dalilnya dalam syariat atau tidak ada bukti kongkretnya.” (Al-Qaulus Sadid fi Maqashid At-Tauhid, hal. 37)

Namun, boleh saja seseorang tidak mengambil barang temuan, karena jumhur ulama tidak mewajibkan mengambil barang temuan.

Berbeda dengan pendapat Malikiyah yang mengatakan wajib, dengan syarat:

  1. Ada kekhawatiran akan diambil oleh orang jahat yang tidak amanah.
  2. Merasa aman dari keserakahan diri sendiri jika barang itu harus diumumkan dulu selama 1 tahun.

Sehingga, ketika tidak terpenuhi dua syarat ini, boleh untuk tidak mengambil barang temuan menurut ulama Malikiyah.

‘Ala kulli haal, dalam syariat Islam, barang temuan di jalan boleh diambil dengan ketentuan-ketentuan di atas, dan boleh juga tidak diambil. Dan ketika seseorang mengambil barang temuan di jalan, baik untuk dimanfaatkan atau untuk diumumkan, tidak boleh diyakini bahwa ia akan kualat dan tidak boleh mengait-ngaitkan musibah dengan ditemukannya barang tersebut. Ini keyakinan yang bertentangan dengan akidah Islam. Adapun mengenai fikih barang temuan secara mendetail, perlu dibahas dalam artikel tersendiri.

Wallahu a’lam.

Join channel telegram @fawaid_kangaswad

Penulis: Yulian Purnama, S.Kom

Sumber: https://muslim.or.id/71670-mengambil-barang-temuan-di-jalan-bisa-kuwalat.html

5 Hari Besar Keagamaan Islam Tahun 2022, Perayaan Apa yang Terdekat?

Hari besar keagamaan Islam merupakan perayaan tahunan yang selalu diperingati oleh umat muslim di seluruh dunia. Setidaknya, ada 5 peringatan tahunan yang selalu diramaikan oleh muslim di Indonesia.

Hari besar keagamaan sendiri merupakan sebuah hari yang diperingati atau diistimewakan berdasarkan keyakinan seseorang. Konteksnya bagi muslim, hari-hari itu mempunyai makna atau fungsi yang penting bagi kehidupan dan mendekatkan diri pada Allah SWT, seperti yang dilansir dari Repository Raden Intan.

Adapun daftar hari besar keagamaan Islam yang akan diperingati pada tahun 2022 adalah sebagai berikut,

5 Hari Besar Keagamaan Islam


1. Tahun Baru Hijriah

Hari besar keagamaan Islam yang pertama adalah Tahun Baru Hijriah. Sistem penanggalan Islam ini dibuat berdasarkan revolusi bulan terhadap bumi dan matahari. Sebab itu, kalender Hijriah juga kerap dikenal dengan nama kalender komariah atau kalender bulan.

Kalender ini menghitung durasi satu tahun berdasar 12 siklus sinodis bulan atau 12 fase ketika bulan menampakkan hilalnya. Sistemnya dimulai dari Ahad hingga Sabtu dan diawali dengan bulan Muharram hingga Zulhijah.

Melansir dari buku Di Balik 7 Hari Besar Islam oleh Muhammad Sholikhin, penetapan penanggalan Hijriah pertama kalinya dilakukan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Tepat 17 tahun setelah hijrahnya Rasulullah SAW dari kota Mekah ke Madinah.

Permulaan tahun didasarkan pada masa hijrahnya Rasulullah SAW, sementara permulaan bulannya memakai sistem yang dipakai oleh masyarakat Arab menurut perhitungan komariah yakni bulan Muharram.

Terhitung dari peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dari kota Mekkah ke Madinah itu sampai saat ini kalender Hijriah sudah memasuki tahun ke 1443. Untuk tahun 2022, Tahun Baru Hijriyah atau 1 Muharram 1444 akan jatuh pada tanggal 30 Juli 2022.

Tahun Hijriah merupakan momen yang perlu diperingati tiap tahunnya. Salah satunya untuk menjaga kepribadian sejarah umat Islam.


2. Isra Mi’raj

Selanjutnya adalah peristiwa Isra Mi’raj yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Isra Miraj ini sendiri merupakan perjalanan malam yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha yang ditemani dengan Malaikat Jibril.

Peristiwa ini dianggap sebagai salah satu mukjizat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang dijelaskan oleh Pakar Astronomis dan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof Thomas Djamaluddin melalui laman blog pribadinya,

Pasalnya, Isra Mi’raj tidak mungkin dapat dilakukan oleh manusia pada saat ini. Isra adalah perjalanan menembus ruang, sehingga Rasulullah bisa menempuh jarak Masjidil Haram di Makkah dan Masjidil Aqsa di Palestina dalam waktu singkat.

Sementara, Miraj adalah perjalanan menuju sidratul muntaha, tempat diterimanya perintah sholat.

“Isra Miraj bukan penerbangan biasa, antar negara, atau luar angkasa. Perjalanan Isra Miraj keluar dari dimensi ruang dan waktu yang biasa terjadi pada manusia,” ujar Prof Thomas.

Peristiwa ini juga disebut-sebut sebagai titik tolak diwajibkannya salat lima waktu bagi umat muslim.

Para ulama sepakat, Isra Mi’raj terjadi pada suatu malam 27 Rajab tahun kedelapan kenabian Nabi Muhammad SAW. Sebab itu, setiap 27 Rajab diperingati sebagai Hari Isra Mi’raj yang akan jatuh pada 28 Februari 2022.


3. Maulid Nabi Muhammad SAW

Maulid Nabi adalah peringatan hari kelahiran Rasulullah SAW yang bertepatan pada 12 Rabiul Awal Tahun Gajah dalam kalender Hijriah. Berikut hadits yang menjelaskan peristiwa tersebut diriwayatkan Imam Ibnu Ishaq dari Ibnu Abbas,

وُلِدَ رَسُولُ اللَّهِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ، لِاثْنَتَيْ عَشْرَةَ لَيْلَةً خَلَتْ مِنْ شَهْرِ رَبِيع الْأَوَّلِ، عَام الْفِيلِ

Artinya: “Rasulullah dilahirkan di hari Senin, tanggal dua belas di malam yang tenang pada bulan Rabiul Awwal, Tahun Gajah.”

Tahun Gajah terjadi 53 tahun sebelum Hijriah yang bisa ditulis sebagai -53 H. Jika dikonversi dalam penanggalan masehi, maka Nabi Muhammad SAW lahir pada 5 Mei 570.

Peristiwa ini selalu diperingati oleh umat muslim tiap tahunnya, semata-mata untuk menambah kecintaan pada Rasulullah SAW. Melalui kecintaan inilah nantinya yang bisa menjadi motivasi muslim untuk hidup sesuai sunnah dan ketentuan Al Quran.

Melansir laman resmi SMA Dwiwarna, peringatan Maulid Nabi Muhammad di tiap-tiap daerah di Indonesia dapat berbeda-beda, disesuaikan dengan tradisi masing-masing daerah. Maulid Nabi Muhammad tahun ini diperingati pada tanggal 8 Oktober 2022.


4. Idul Adha

Hari besar keagamaan Islam selanjutnya adalah Idul Adha. Idul Adha merupakan salah satu tanggal penting dalam kalender Islam yang ditandai dengan puncak ibadah Haji di Mekkah, Arab Saudi.

Perayaan ini ditujukan untuk memperingati kepatuhan Nabi Ibrahim AS terhadap perintah Allah SWT untuk mengorbankan anaknya disembelih, sebagai bukti ketaatannya pada Allah SWT. Namun, saat itu Allah menggantinya dengan seekor domba.

Sebab itulah, Allah SWT memerintahkan umat muslim untuk menyembelih hewan qurban setiap tahunnya, sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al Kautsar ayat 2,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Artinya: Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurban lah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).

Hari Raya Idul Adha setiap tahunnya diperingati pada tanggal 10 Dzulhijah atau bertepatan dengan 9 Juli 2022. Sebelum merayakan hari raya ini, umat muslim menjalankan ibadah puasa sunnah yang bernama Tarwiyah dan Arafah.

Pada perayaan hari besar ini pula, umat muslim menjalankan ibadah sunnah shalat Id. Kemudian dilanjutkan dengan penyembelihan hewan qurban seperti apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS.
Baca juga:
Sejarah Idul Adha, Tentang Pengorbanan Seorang Ayah dan Anaknya


5. Idul Fitri

Terakhir, ada Hari Raya Idul Fitri yang merupakan hari keagamaan Islam terbesar di Indonesia. Atau yang biasa disebut dengan Lebaran.

Idul Fitri disebut sebagai hari kemenangan bagi umat muslim dari seluruh dunia. Terutama bagi mereka yang telah menjalankan ibadah puasa satu bulan penuh pada bulan Ramadhan. Untuk itulah, hari raya ini biasanya dimaknai sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan melawan hawa nafsu satu bulan penuh.

Hari besar ini juga selalu disertai dengan amalan salat Id. Setelahnya, bisa dilanjutkan dengan menyambung silaturahmi dengan orang terkasih. Tahun ini, Hari Raya Idul Fitri pada 1 Syawal bertepatan dengan pada tanggal 2 Mei 2022 dari kalender Masehi.

Setiap tahunnya, masyarakat Indonesia biasanya mempunyai tradisi yang selalu dilakukan tiap tahunnya. Seperti, budaya sungkeman, halal bihalal, atau pun berkirim kartu lebaran.

Pada dasarnya, semua hari besar keagamaan Islam diperingati untuk mempertebal rasa keimanan muslim kepada Allah SWT. Sekaligus sebagai wujud menjalankan amalan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5892895/5-hari-besar-keagamaan-islam-tahun-2022-perayaan-apa-yang-terdekat.

Ringan di Lisan Berat di Timbangan

Sebuah dzikir yang mudah dirutinkan setiap saat, namun berat di timbangan amalan. Dzikir tersebut adalah bacaan “Subhanallah wa bi hamdih, subhanallahil ‘azhim”.

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ

Dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat ditimbangan, dan disukai Ar Rahman yaitu “Subhanallah wa bi hamdih, subhanallahil ‘azhim” (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Agung). (HR. Bukhari no. 6682 dan Muslim no. 2694)

Dalam Muqoddimah Al Fath (Fathul Bari), Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan keutamaan hadits tersebut sebagai berikut:

Maksud “dua kalimat” adalah untuk memotivasi berdzikir dengan kalimat yang ringan.

Maksud “dua kalimat yang dicintai” adalah untuk mendorong orang berdzikir karena kedua kalimat tersebut dicintai oleh Ar Rahman (Allah Yang Maha Pengasih).

Maksud “dua kalimat ringan” adalah untuk memotivasi untuk beramal (karena dua kalimat ini ringan dan mudah sekali diamalkan).

Maksud “dua kalimat yang berat di timbangan” adalah menunjukkan besarnya pahala.

Alur pembicaraan dalam hadits di atas sangat bagus sekali. Hadits tersebut  menunjukkan bahwa cinta Rabb mendahului hal itu, kemudian diikuti dengan dzikir dan ringannya dzikir pada lisan hamba. Setelah itu diikuti dengan balasan dua kalimat tadi pada hari kiamat. Makna dzikir tersebut disebutkan dalam akhir do’a penduduk surga yang disebutkan dalam firman Allah,

دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ وَآَخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Do’a mereka di dalamnya adalah: “Subhanakallahumma”, dan salam penghormatan mereka adalah: “Salam”. Dan penutup doa mereka adalah: “Alhamdulilaahi Rabbil ‘aalamin”.” (QS. Yunus: 10)

Sumber: Muqqodimah Al Fath, Ibnu Hajar Al Asqolani, hal. 474.

***

Sungguh sangat mengesankan, setiap kami berjalan di kampus KSU (King Saud University), baik di tangga, di lift, dan tempat lainnya terdapat stiker (tempelan) yang berisi motivasi untuk membaca dzikir tersebut. Sungguh faedahnya memang amat luar biasa. Tidak merugi untuk mengamalkannya, apalagi begitu ringan, disukai Ar Rahman dan berat di timbangan.

Semoga Allah mudahkan lisan kita ini mudah untuk mengamalkan dzikir yang sederhana ini.

(*) Dzikir “Subhanallah”, artinya Maha Suci Allah, maksudnya adalah mensucikan Allah dari berbagai macam kekurangan dan aib yang ada pada-NYa. Dzikir “wa bihamdihi”, artinya segala puji bagi Allah, artinya kita memuji Allah karena Dialah yang pantas mendapatkan pujian dan sanjungan disebabkan nama dan sifat-Nya yang sempurna. Dzikir “al ‘azhim”, maksudnya Yang Maha Agung.

Worth note while 3 days before Wuquf in Arofah, 6 Dzulhijjah 1431 H, KSU, Riyadh, KSA

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/1394-ringan-di-lisan-berat-di-timbangan.html

10 Kepribadian Muslim yang Perlu Kita Miliki

Kepribadian Muslim yang baik adalah sentiasa bertaqorrub (menjalin hubungan) dengan Allah SWT, ikhlas dalam setiap amal

KEBAIKAN  seorang Muslim itu terletak kepada kepribadiannya. Kepribadian Muslim dalam Islam diukur melalui akhlak seseorang, bukan jabatan atau gelar akademiknya.

Allah SWT mengutus Rasulullah ﷺ adalah untuk menyempurnakan akhlak dan pribadi manusia. Sebagai mana sabda Rasulullah ﷺ dalam satu riwayat hadis:

إنما بعثت ﻷتمم مكارم الأخلاق.“Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah SWT) untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR: Baihaqi).

Oleh karena  itu keselamatan manusia dalam hidupnya,  hendaklah berpandukan kepada jalan yang diajarkan dalam Islam itu sendiri.  Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an  Surah Al-Ana’am, ayat 153:

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan bahwa sesungguhnya inilah jalan-Ku (agama Islam) yang lurus, maka hendaklah kamu mengikutinya; dan janganlah kamu mengikuti  jalan-jalan (di luar Islam), karena  jalan-jalan (yang lain itu) mencerai-beraikan kamu dari jalan Allah SWT, Dengan yang demikian itulah Allah SWT perintahkan kamu, agar kamu bertakwa”.

Agar memiliki kepribadian Muslim yang sempurna,  seorang Muslim wajib memiliki ciri sebagai berikut:

  1. Salimul Aqidah (aqidahnya bersih)

Akidah adalah asas dari semua amal. Amal-amal yang baik dan diridhai Allah SWT lahir dari aqidah yang bersih. Dari sini akan lahir kepribadian muslim yang memiliki jiwa merdeka, keberanian yang tinggi, dan ketenangan. Sebab, tak ada ikatan dunia yang mampu membelenggunya, kecuali hanya ikatan kepada Allah SWT.

Seorang  muslim yang baik akan selalu menjaga kemurnian aqidahnya dengan memperhatikan amalan-amalan yang dapat menjauhkan keimanan dan mendatangkan kemusyrikan. Sebaliknya, selalu berusaha melakukan amalan-amalan yang senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Kepribadian Muslim yang baik adalah sentiasa bertaqorrub (menjalin hubungan) dengan Allah SWT, ikhlas dalam setiap amal, mengingat hari akhir dan bersiap diri menghadapinya. Dia juga melaksanakan ibadah wajib dan sunnah, dzikrullah di setiap waktu dan keadaan, menjauhi praktik yang membawa pada kemusyrikan.

  1. Shahihul Ibadah (Ibadah yang Benar)

Ibadah, wajib dan sunnah, merupakan sarana komunikasi seorang hamba dengan Allah SWT. Kedekatan seorang hamba ditentukan oleh pelaksanaan ibadahnya.

Ibadah menjadi salah satu pintu masuk kemenangan dakwah. Sebab, ibadah yang dilakukan dengan ihsan akan mendatangkan kecintaan Allah SWT. Dan kecintaan Allah SWT akan mendatangkan pertolongan dari Allah SWT.

Menjaga kesucian jiwa, berada dalam keadaan berwudhu di setiap keadaan, khusyu’ dalam shalat, menjaga waktu-waktu shalat, biasakan shalat berjamaah di masjid (bagi laki-laki), laksanakan shalat sunnah, tilawah al-Qur’an dengan bacaan yang baik, puasa Ramadhan, laksanakan haji jika ada kemampuan.

  1. Ahsanul Khuluq (akhlaqnya yang baik)

Seorang muslim wajib ber-iltizam dengan akhlaq Islam. Sekaligus memberikan gambaran yang benar dan menjadi qudwah (teladan) dalam berperilaku.

Kesalahan akhlak seorang muslim akan berakibat terhadap keberhasilan dakwah Islam itu sendiri. Tidak sedikit orang tertarik Islam karena kemuliaan dan melihat akhlak Muslim.

Sementara tidak sedikit pula orang kurang tertarik karena melihat buruknya akhlak dan pribadi Muslim. Muslim tapi berbohong, tidak amanah, mengurangi takaran/timbangan/korupsi/tidak bersih dll.

Akhlak yang baik itu dapat dilihat dari sikapnya. Dia senantiasa ramah, tidak takabur, tidak dusta, tidak menghina orang lain,  dan merendahkan orang lain, memenuhi janji menghindari hal yang sia-sia, pemberani, dan selalu memuliakan tetangga, tamu, bahkan orang tidak dikenal sekalipun.

Kepribadian Muslim yang diajakarkan Nabi adalah; Bersungguh-sungguh dalam bekerja, tidak curang, selalu memenuhi undang, ceprat menjenguk orang sakit atau meninggal, sedikit bercanda, tawadhu’ tanpa merendahkan diri dan lain.

  1. Qadirul ’Alal Kasb (mampu untuk berusaha)

Kita mengenal prinsip dalam bekerja yang berbunyi ”shunduquna juyubuna” (sumber keuangan kita, datang dari dompet kita sendiri). Yang berarti setiap muslim harus menyadari bahwa dalam hidup memerlukan pengorbanan harta.

Menjauhi sumber penghasilan haram, menjauhi riba, selalu membayar zakat, menyimpan meski sedikit, tidak menunda hak dalam melaksanakan hak orang lain, bekerja dan berpenghasilan, mengutamakan produk umat Islam dibanding produk orang kafir, tidak membelanjakan harta kepada perkara yang membazir juga ciri kepribadian Muslim.

  1. Mutsaqaful Fiqr (pola fikir yang intelek)

Intelektual seorang Muslim menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan dakwah dalam Islam.  Sejarah para nabi juga memperlihatkan kepribadian Muslim seperti ini.

Kita melihat bagaimana ketinggian intelektualitas Nabi Ibrahim, dengan bimbingan wahyu, mampu mematahkan hujjah Namrud. Begitu pula kecerdasan Rasulullah ﷺ dalam mengemban amanah dakwahnya, sehingga ia digelar sebagai insan yang fathonah (orang yang cerdas).

Intelektual yang dimaksudkan dalam hal ini adalah baik dalam membaca dan menulis. Semangat belajar dan terus berfikir, menambah ilmu, menguasai hal-hal tertentu dalam masalah fiqih, memahami Islam dengan mendalam, memahami dan mengetahui problem masyarakat.

Muslim tidak terus-menerus dirinya awam. Awam itu hanya orang yang baru masuk Islam beberapa bulan.

Sebaliknya jika sudah mengaku Muslim harus terus menambah ilmu, mengaji, ikut halaqah, di mana dan kapapun. Jangan sampai ketika ditanya anaknya, saudaranya, tetangganya, bahkan ditanya orang kafir pada urusan hokum Islam yang paling kecil tidak tahu jawabanya, dengan alasan masih awam. Padahal sejak lahir sudah Islam.

  1. Qawiyul Jism (fisik yang kuat).

Kekuatan ruhiyah dan fikriyah saja tidak cukup untuk mengemban amanah itu. Ciri kepribadian Muslim lainnya adalah kekuatan fisik yang sempurna.  Sebab Allah menyukai Muslim/muslimah yang kuat daripada yang lemah.

  1. Mujahidu Linafsihi (berusaha bersungguh-sungguh)

Bersungguh-sungguh adalah salah satu ciri orang mukmin dan kepribadian Muslim yang sesungguhnya. Tak ada keberhasilan yang diperoleh tanpa kesungguhan.

Kesadaran bahwa kehidupan manusia di dunia ini sangat singkat, dan kehidupan abadi adalah kehidupan akhirat, akan melahirkan kesungguhan dalam menjalani kehidupan. Menjauhi yang haram, menjauhi maksiat, dan berani menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

  1. Munazham Fi Syu’unihi (teratur dalam semua urusan)

Seorang muslim harus mampu membangun disiplin dalam kehidupan pribadi dan keluarga serta masyarakat agar mampu menghadapi persoalan umat yang rumit dan kompleks. Memperbaiki penampilan, jadikan shalat sebagai cara untuk mendisiplinkan waktu, teratur di dalam rumah dan tempat kerjanya.

Disiplin dalam bekerja, merancang dan mengatur semua urusan, berpikir secara ilmiah untuk memecahkan persoalan, tepat waktu dan teratur.

  1. Haritsun ’Ala Waqtihi (efisien menjaga waktu)

Ciri kepribadian muslim  lainya; ia harus mampu seefektif mungkin memanfaatkan waktu yang terus bergerak. Tak  ada waktu yang terbuang percuma.

  1. Nafi’un Lighairihi (berguna kepada orang lain)

Kehidupan seorang mukmin itu diibaratkan seperti lebah yang akan memberi manfaat pada lingkungan sekitarnya.   Ia memberi manfaat pada setiap ucapannya, dan pergerakannya akan menjadi teladan bagi sekitarnya.

Sebaik-baik mukmin itu yang bermanfaat bagi orang lain. Seburuk-buruk orang itu jika kehadiranya tidak memberi dampak kebaikan bagi lingkungan. Dengan kata lain, “Adanya dia, sama dengan tidak adanya.”

Muslim yang bermanfaat, dia dibutuhkan teman, dibutuhkan tetangganya, sahabat-sahabatnya, melaksanakan hak orang tua, dibutuhkan keluarganya dan lingkunganya, selalu memesona istri/suami serta anak-anaknya.*

HIDAYATULLAH