Belajar Agama demi Mendapatkan Ijazah?

Para ulama, yaitu orang-orang yang mempelajari dan mendalami ilmu agama, mereka adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah Ta’ala di antara manusia yang lainnyaSebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء

“Sesungguhnya (hanyalah) yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, adalah para ulama.” (QS. Faathir [35]: 28)

Inilah buah dari niat mereka yang ikhlas ketika mempelajari ilmu agama, yaitu menumbuhkan rasa takut kepada Allah Ta’ala. Ilmu agama yang dipelajari menumbuhkan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Berdasarkan ayat ini, dapat disimpulkan bahwa ciri khas ulama adalah takut kepada Allah Ta’ala.

Ancaman bagi orang-orang yang menuntut ilmu agama demi mendapatkan dunia

Terdapat hadis-hadis yang menunjukkan ancaman bagi orang-orang yang belajar ilmu agama hanya demi dunia. Di antaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa menuntut ilmu (agama) yang seharusnya untuk Allah, namun dia tidak menuntutnya kecuali untuk mencari dunia, maka pada hari kiamat dia tidak akan mendapatkan bau surga” (HR. Ibnu Majah no. 252, dinilai sahih oleh Al-Albani).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ، وَيُجَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، وَيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ جَهَنَّمَ

“Barang siapa mempelajari ilmu untuk mendebat ulama, merendahkan orang-orang bodoh, serta memalingkan perhatian manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka jahanam” (HR. Ibnu Majah no. 260, dinilai hasan oleh Al-Albani).

Menuntut ilmu agama demi mendapatkan ijazah?

Berhubungan dengan pembahasan di atas adalah pertanyaan (masalah), apabila seseorang menuntut ilmu agama di lembaga pendidikan formal, yang dengannya dia mendapatkan ijazah, apakah hal itu termasuk dalam larangan sebagaimana yang tercantum dalam hadis-hadis tersebut di atas?

Perlu diketahui bahwa ilmu yang dicari untuk mengharap wajah Allah Ta’ala adalah ilmu syariat, yaitu ilmu yang mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika niat seseorang ketika mempelajari ilmu tentang Al-Quran dan As-Sunnah adalah semata-mata untuk tujuan mendapatkan dunia (tidak ada niat untuk akhirat sedikit pun), dia tidak akan mencium bau surga. Padahal, bau surga itu bisa tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian. Makna dari “tidak dapat mencium bau surga” adalah haram (tidak boleh) masuk surga.

Adapun mempelajari ilmu duniawi, yang bukan mempelajari Al-Quran dan As-Sunnah, dengan tujuan mendapat harta, maka hukumnya diperbolehkan. Karena memang ilmu tersebut adalah ilmu duniawi, sehingga wajar jika tujuannya untuk meraih duniawi. Meskipun demikian, hendaknya seorang muslim meniatkan ketika mempelajari ilmu duniawi tersebut agar dia dapat memberikan manfaat kepada kaum muslimin, atau sebagai sarana menegakkan dan mempermudah pelaksanaan ibadah-ibadah, sehingga dengannya dia mendulang pahala akhirat sesuai dengan niatnya tersebut.

Terdapat rincian hukum tentang seseorang yang mempelajari Al-Quran dan As-Sunnah dengan tujuan mendapatkan ijazah. Hadis yang menjadi pokok pembahasan hal ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya seluruh amal perbuatan manusia tergantung dari niatnya” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).

Pertama, jika gelar atau ijazah yang dimaksudkan adalah semata-mata hanya untuk tujuan mendapat pekerjaan, tidak ada niat untuk mendapatkan pahala akhirat, maka orang tersebut dinilai belajar agama hanya untuk tujuan dunia.

Kedua, jika gelar atau ijazah yang didapat dia maksudkan untuk bisa menempati suatu kedudukan sehingga dengan kedudukan (posisi) tersebut dia bisa memberikan banyak manfaat kepada manusia secara luas dan didengarkan oleh mereka, misalnya menjadi pengajar di masjid yang bisa memberikan pengarahan kepada para jamaah ataupun menjadi pengelola lembaga pendidikan Islam, maka hukumnya tidak mengapa.

Hal ini karena pada zaman sekarang ini manusia bisa jadi tidak dinilai berdasarkan ilmunya, tetapi berdasarkan ijazah yang dimilikinya. Oleh karena itu, dia belajar dan mengambil ijazah agar bisa mengajar dan memberi manfaat kepada kaum muslimin secara umum. Untuk rincian kedua ini berarti niatnya baik dan hukumnya tidak mengapa (boleh).

***

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD.

Sumber: https://muslim.or.id/67892-belajar-agama-demi-mendapatkan-ijazah.html

Spirit Hijrah

Setidaknya ada tiga spirit yang memotivasi Nabi Muhammad dan para sahabat hijrah.

Hijrah bukan hanya perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Namun, sebuah aksi yang memiliki spirit dan tujuan tersendiri.

Ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya berhijrah dari Makkah menuju Madinah juga tidak lepas dari spirit dan tujuan khusus tersebut. Setidaknya ada tiga spirit yang memotivasi mereka hijrah.

Pertama, untuk menyelamatkan akidah atau keyakinan. Selama tinggal di Makkah, Nabi Muhammad selalu diusik, dizalimi, dihalang-halangi, diburu, bahkan pada puncaknya hendak dibunuh.

Dalam rangka menyelamatkan akidahnya ini, beliau rela meninggalkan tempat yang senyatanya sangat dicintai. Rasa cinta itu beliau ekspresikan dalam sebuah ungkapan, “Demi Allah! Wahai Kota Makkah, sesungguhnya engkau adalah tempat yang paling aku cintai. Kalau bukan karena pendudukmu mengusirku, aku tidak akan meninggalkanmu.” (HR Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad).

Namun, kondisi Kota Makkah ketika itu belum bersahabat dengan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Sehingga, mau tidak mau beliau harus membawa risalah itu hijrah ke tempat lain sementara waktu, untuk kemudian kembali lagi dengan kondisi yang lebih baik dan lebih memungkinkan.

Kedua, kerelaan berkorban demi mempertahankan keyakinan. Hijrah bukan perkara yang mudah. Banyak pengorbanan yang harus direlakan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat demi mempertahankan akidah tersebut.

Misalnya, yang harus dialami Abu Salamah dan keluarganya. Mereka harus berpisah karena ketika hendak berangkat diketahui oleh kabilahnya sehingga Abu Salamah terpaksa berangkat sendiri ke Madinah. Sedangkan istrinya, Ummu Salamah, dipaksa tinggal di Makkah.

Setiap hari Ummu Salamah berjalan ke dataran tinggi menangisi kepergian suaminya dari pagi hari sampai sore hari. Hal ini terjadi selama satu tahun. Akhirnya salah seorang dari kabilahnya merasa kasihan dan meminta pimpinan kabilah untuk melepaskannya agar bisa kumpul bersama suaminya.

Setelah dilepas, Ummu Salamah harus berangkat sendirian ke Madinah yang jaraknya sekitar 500 kilometer dengan medan yang sangat terjal. Ummu Salamah harus melewati pengunungan dan lembah tanpa ditemani seorang pun.

Beruntung ketika ia sampai di Tan’im bertemu dengan Usman bin Mazh’un yang ketika mendengar kisahnya langsung mengantarkannya sampai ke Quba’, setelah itu ia kembali lagi ke Makkah.

Begitu pun yang dialami Suhaib bin Sinan al-Rumi. Beliau harus rela menyerahkan semua kekayaannya kepada orang-orang kafir Quraisy agar bisa hijrah ke Madinah. Ketika Rasulullah mendengar kisahnya, beliau bersabda, “Beruntunglah Suhaib, beruntunglah Suhaib!”

Ketiga, untuk merawat dan meruwat kebaikan harus mencari lingkungan yang baik. Sesampainya di Madinah, Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya diterima dengan baik oleh orang-orang Anshar. Mereka diperlakukan seperti saudara sendiri sehingga orang-orang Makkah (Muhajirin) tidak canggung tinggal di Madinah, bahkan mereka merasa Madinah ibarat tanah kelahirannya sendiri.

Alhasil, mereka tidak hanya bisa mempertahankan keyakinannya, tetapi juga bisa melaksanakan semua ajaran agamanya dengan aman dan tenang. Demikian semestinya yang akan didapat orang-orang yang berhijrah.

Wallahu a’lam.

OLEH ABDUL SYUKKUR

KHAZANAH REPUBLIKA

Anjuran dan Manfaat Membaca Surah Al-Mulk di Awal Tahun Hijriah

Ketika memasuki awal bulan hijriah, yaitu tanggal 1 Muharram, selain dianjurkan untuk membaca doa awal tahun, kita juga dianjurkan untuk membaca surah Al-Mulk atau surah Tabarak. Menurut para ulama, membaca surah Al-Mulk di awal tahun hijriah hukumnya adalah mustahab atau dianjurkan.

Terdapat beberapa alasan yang dikemukakan para ulama mengenai anjuran dan manfaat membaca surah Al-Mulk di awal tahun hijriah. Di antaranya adalah karena surah Al-Mulk disebut sebagai surah Al-Munjiyah dan Al-Waqiyah, atau surah penyelamat dan pencegah. Dengan membaca surah Al-Mulk di awal tahun hijriah, diharapkan pembacanya bisa selamat dari semua bentuk fitnah, bencana dan keburukan selama setahun, sebagaimana nanti ia diharapkan selamat dan tercegah dari siksa kubur.

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Tirmidzi berikut;

عن ابن عباس في تسمية سورة الملك بالواقية والمنجية قال رسول اللّه صلّى اللّه عليه وسلّم : هي المانعة هي المنجية تنجيه من عذاب القبر

Dari Ibnu Abbas tentang penamaan surah Al-Mulk dengan nama Al-Waqiyah dan Al-Munjiyah. Rasulullah Saw bersabda; Surah Al-Mulk adalah surah pencegah, ia adalah surah penyelamat yang dapat menyelamatkan (pembacanya) dari siksa kubur.

Selain itu, menurut sebagian ulama, surah Al-Mulk tidak hanya dianjurkan dibaca setiap awal tahun hijrah atau awal bulan Muharram, melainkan juga dianjurkan dibaca setiap awal bulan. Ini karena jumlah ayat surah Al-Mulk sama dengan jumlah hari dalam sebulan, yaitu 30 ayat. Karena kesamaan ini, maka hendaknya setiap awal bulan hendaknya membaca surah Al-Mulk, terutama awal bulan Muharram. Harapannya agar selama satu bulan pembacanya bisa mendapat ampunan dan pertolongan dari Allah.

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Ahmad, dari Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda;

إِنَّ سُوْرَةً فِى الْقُرْآنِ ثَلاَثِيْنَ آيَةً شَفَعَتْ لِصَاحِبِهَا غُفِرَ لَهُ تَبَارَكَ الَّذِيْ بِيَدِهِ الْمُلْكُ

Sesungguhnya terdapat satu surah dalam Al-Quran yang memiliki 30 ayat, yang memberikan syafaat pada pembacanya, ia diampuni, yaitu surah Tabaarokal ladzii biyadihil mulk.

BINCANG SYARIAH

Bagaimana Sholat Bersihkan Hati? Ini Kata Ibnu Athaillah

Sholat bisa menjadi sarana untuk membersihkan hati bagi Muslim.

Sholat merupakan ibadah yang diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan umat Islam. 

Sholat sendiri memiliki banyak manfaatnya, diantaranya adalah bisa membersihkan hati yang dikotori oleh dosa-dosa. Seperti diterangkan Ibnu Athaillah As Sakandari dalam kitab al-Hikam: 

الصلاة طهرة للقلوب من أدناس الذنوب واستفتاح لباب الغيوب Dalam syarah Al-Hikam, Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa sholat sesungguhnya ialah menjadi pembersih hati dari pengaruh dan kotoran duniawi dan dosa, serta sifat-sifat lain yang menjauhkan pelakunya dari pandangan kepada Tuhan Yang Mahaperkasa.

Lebih jauh, dia juga memberikan komentar bahwa sholat sejatinya merupakan pembuka pintu sesuatu yang tak pernah engkau miliki, yaitu berupa makrifat dan rahasia-rahasia Ilahi. Menurut Syekh Abdullah, makrifat dan rahasia ilahi ini diumpamakan dengan harta karun yang tertutup rapat.

“Jika hati sudah dibersihkan, tutupnya akan diangkat sehingga dia bisa melihat rahasia-rahasia gaib yang tak bisa dilihatnya,” kata Syekh Abdullah dikutip dalam syarah kitab Al-Hikam terbitan TuRos.

Dalam kitab Al-Hikam, Ibnu Athaillah juga mengungkapkan bahwa sholat adalah tempat munajat dan kerinduan. Di dalamnya ruang rahasia meluas dan cahaya-cahaya bersinar. 

Menurut Syekh Abdullah, munajat yang disebut Ibnu Athaillah tersebut bermakna keintiman dan percakapan lembut seorang hamba dengan Tuhannya.

Syekh Abdullah menuturkan, sholat adalah media munajat hamba kepada Tuhan-Nya. Dengan munajat itu, Allah menampakkan sifat-sifat-Nya yang indah sebagai rahmat-Nya kepada para hamba dan seluruh alam semesta. Dengan munajat itu pula, Allah memasukkan ke dalam batin hamba ilmu-ilmu laduni dan rahasia-rahasia pengetahuan.

KHAZANAH REPUBLIKA

5 Amalan Penolak Petaka yang Dianjurkan Selain Sedekah

Terdapat lima amalan yang bisa dijadikan untuk menolak petaka

Rasulullah SAW menganjurkan umatnya agar terhindar dari bencana maka dapat melakukan beberapa amalan. 

Salah satu penolak petaka adalah sedekah, selain sedekah ada amalan lain yang bermanfaat untuk mencegah petaka, di antaranya, 

Pertama, memperbanyak sholat sunnah dapat mencegah petaka. Selama gerhana dianjurkan untuk menyegerakan sholat. Karena hal itu dapat membebaskan dari bencana. 

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ خَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ فَأَطَالَ الْقِرَاءَةَ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَأَطَالَ الْقِرَاءَةَ وَهِيَ دُونَ قِرَاءَتِهِ الْأُولَى ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وَهُوَ دُونَ رُكُوعِهِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ قَامَ فَصَنَعَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ انْصَرَفَ فَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا لِلصَّلَاةِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ قَالَ وَأَخْبَرَنِي هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ مِثْلَ هَذَا وَزَادَ قَالَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَتَصَدَّقُوا وَصَلُّوا

Dari Aisyah RA, dia berkata, “Telah terjadi gerhana matahari pada masa Nabi SAW, maka Rasulullah bangkit lalu sholat bersama manusia. Beliau memanjangkan bacaan kemudian melakukan rukuk yang panjang, kemudian beliau mengangkat kepalanya lalu memanjangkan bacaan tidak seperti bacaan beliau yang pertama, kemudian rukuk dengan memanjangkan rukuk dan tidak seperti rukuknya yang pertama, kemudian beliau mengangkat kepala lalu sujud dua kali kemudian beliau berdiri dan beliau melakukan pada rakaat kedua seperti yang beliau lakukan pada rakaat pertama. 

Beliau lalu menyudahi dan bersabda, “Matahari dan bulan tidak gerhana dikarenakan kematian seseorang dan tidak pula dikarenakan kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya merupakan tanda dari tanda-tanda keagungan Allah SWT, maka jika kalian melihat hal itu (gerhana), bersegeralah mendirikan sholat.”

Telah menceritakan kepada kami Ma’mar dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah seperti ini dan menambahkan beliau bersabda, “Apabila kalian melihat hal itu, bersedekahlah dan sholatlah.” 

Kedua, beristighfar untuk memohon ampun.

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ “Tetapi Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan.” (QS Al Anfal 33)

Dalam riwayat dari Fadhalah bin Ubaid RA, Nabi Muhammad SAW bersabda:  

عن فَضالةَ بن عُبَيد رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: العبدُ آمنٌ من عذاب الله ما استغفر الله “Seorang hamba akan aman dari azab Allah SWT selama dia (masih) beristighar, meminta ampun kepada Allah.” 

Ketiga, berdzikir mengingat Allah SWT. Petir menyambar siapa pun, tetapi petir tidak akan menyambar orang yang sedang berdzikir.

عن ابن عباس رضي الله عنه قال: انخسَفَتِ الشمسُ على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، فصلَّى رسول الله صلى الله عليه وسلم، ثم انصرف وقد تجلَّتِ الشمسُ، فقال صلى الله عليه وسلم: ((إن الشمس والقمر آيتانِ مِن آيات الله لا يخسفان لموتِ أحدٍ ولا لحياته، فإذا رأيتُم ذلك فاذكروا الله))؛ [متفق عليه].

Dari Ibnu Abbas RA, dia berkata, terjadi gernaha matahari pada masa Rasulullah SAW, lalu Rasulullah sholat, dan beranjak pergi saat matahari kembali terang,  Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan dua tanda dari sekian tanda (kekuasaan) Allah, dia tidak akan gergana akibat kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihatnya, maka ingatlah (dzikir) kepada Allah.” (muttafaq alaih). Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: 

وفي الحديث مِن الفوائد… استدفاع البلاء بذكر الله وأنواع طاعته  “Dalam hadits terdapat beberapa faidah… menahan musibah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah Taala, dan juga mengerjakan beberapa macam ketaatan.”

Keempat, berdoa. Doa merupakan salah satu Amalan paling ampuh untuk menolak petaka. Hal ini sebagaimana disampaikan Ibnu Al Qayyim berikut ini:

 الدعاء من أنفع الأدوية، وهو عدوُّ البلاء، يدافعه ويعالجه، ويمنعُ نزولَه “Doa adalah termasuk obat yang paling bermanfaat, ia adalah musuh musibah, menahan dan mengangkatnya serta menahan turunnya.”  

Kelima, berakhlak baik. Kisah Nabi Muhammad SAW saat mendapat wahyu pertama kali, dan pulang dalam keadaan gemetar, karena khawatir itu bukan Jibril, Rasulullah meminta istrinya tersebut untuk menyelimutinya.

“Selimuti aku, selimut aku.” Maka Khadijah RA kemudian mengatakan, “Demi Allah, Allah tidak akan pernah menghinakanmu selamanya.” Kemudian Khadijah menyebutkan beberapa akhlak baik yang telah dilakukan Rasulullah SAW di antaranya menyambung tali silaturahim, memberi bekal kepada orang yang tidak memiliki apa-apa, memuliakan tamu, menolong orang memperjuangkan kebenaran.” (HR Bukhari). Imam Al Kirmani mengatakan demikian: 

“وفيه أن خصال الخير سببٌ للسلامة من مَصارِع السوء، والمكارم سببٌ لدفع المكاره” “Dalam hadits ini terdapat pelajaran bahwa perbuatan-perbuatan baik adalah penyebab keselamatan dari musibah-musibah buruk, akhlak-akhlak mulia penyebab untuk menahan musibah yang buruk.”

Sumber: alukah 

KHAZANAH REPUBLIKA

Hanya Meminta Hak, namun Melupakan Kewajiban

Ancaman Allah Ta’ala kepada Al-Muthaffifin

Allah Ta’ala berfirman,

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ , الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُواْ عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ, وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ, أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ, لِيَوْمٍ عَظِيمٍ

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,  (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar.” (QS. Al-Muthafifin: 1-5)

Orang yang berbuat curang dalam takaran dan timbangan itu sejenis dengan orang yang mencuri dan berkhianat. Semuanya termasuk dalam memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

Ayat di atas menjelaskan pengertian al-muthaffifin. Al-Muthaffifin adalah orang yang jika meminta takaran atau timbangan dari orang lain, mereka minta dipenuhi takaran atau timbangannnya secara utuh, tidak boleh kurang sedikit pun. Akan tetapi, jika mereka menimbang atau menakar untuk orang lain, mereka mengurangi takaran atau timbangan untuk orang lain tersebut.

Sehingga dari sini kita mengetahui bahwa pada hakikatnya, al-muthaffifin itu mengumpulkan dua perbuatan sekaligus. Yaitu, dia meminta haknya dipenuhi secara utuh, tidak boleh dan tidak rela dikurangi sedikit pun (sifat sukh). Akan tetapi, dia tidak mau menunaikan apa yang menjadi kewajibannya dengan baik (sifat bukhl). Dengan kata lain, muthaffif mengumpulkan dua sifat, yaitu sifat sukh dan bukhl.

Contoh lain Al-Muthaffifin

Pengertian al-muthaffif dalam surat di atas adalah dengan menyebutkan salah satu contoh saja. Dan dengan mengetahui pengertian dari al-muthaffif, kita bisa membuat contoh-contoh (analogi) yang lain, yaitu semua perbuatan seseorang yang meminta haknya dipenuhi secara utuh, namun enggan menunaikan kewajiban, atau enggan memenuhi hak-hak orang lain.

Dalam rumah tangga, kita jumpai seorang suami yang meminta istrinya untuk menunaikan haknya secara penuh. Suami meminta sang istri untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang istri dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, dia enggan untuk memenuhi hak istrinya, dia tidak memperhatikan kebutuhan-kebutuhan istrinya. Inilah di antara bentuk kezaliman seorang suami kepada istri. Dan fenomena semacam mungkin sering kita jumpai.

Kepada para suami yang meremehkan hak-hak istrinya, hendaknya mereka bertakwa kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam berpesan kepada para suami pada saat haji wada di hari Arafah,

اتَّقُوا اللهَ فِـي النِّسَـاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَـانَةِ اللهِ، وَاسْـتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُـمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

Hendaklah kalian (para suami) bertakwa kepada Allah dalam (bersikap) kepada istri-istri kalian. Sesungguhnya, kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan kalian halalkan kemaluan-kemaluan istri kalian dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim no. 1218)

Bisa jadi yang menjadi al-muthaffif adalah seorang istri. Yaitu seorang  istri yang menuntut kepada suaminya untuk menunaikan hak-hak dirinya secara sempurna. Akan tetapi, sang istri tidak mau menunaikan hak suami dengan baik.

Contoh al-muthaffif yang lain adalah seorang karyawan (pekerja) yang menuntut agar gaji dan hak-haknya yang lain dibayar (ditunaikan) oleh pengusaha secara penuh. Akan tetapi, dirinya tidak melakukan kewajiban sebagai seorang karyawan dengan baik. Misalnya, sering terlambat ketika masuk jam kerja dan pulang ke rumah sebelum jam kerja selesai.

Dalam kehidupan keluarga, ada seorang ayah yang menginginkan anak-anaknya menunaikan haknya sebagai ayah secara sempurna. Namun dirinya meremehkan dan tidak memperhatikan apa yang menjadi hak-hak anaknya. Sang ayah ingin agar anak-anaknya bisa berbakti dengan harta, tenaga, dan segala sesuatu yang bisa digunakan untuk berbakti kepada orang tua dengan sempurna. Namun, sang ayah tersebut menyia-nyiakan hak anak-anaknya dan tidak menunaikan kewajibannya sebagai orang tua dengan baik.

Hendaknya kita bertakwa kepada Allah Ta’ala dan menjauhi perbuatan al-muthaffif.

***

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD.

Sumber: https://muslim.or.id/67866-hanya-meminta-hak-namun-melupakan-kewajiban.html

Status Harta Wasiat untuk Ahli Waris

Bismillahirrahmanirrahim

Keluarga yang menjadi ahli waris, yang tidak ada penghalang yang menggugurkan keberhakan mendapatkan warisan, maka tidak boleh mendapatkan warisan. Seluruh ulama empat mazhab yang masyhur (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) sepakat tidak boleh memberikan wasiat kepada ahli waris. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

إن الله قد أعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث

“Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada setiap pemilik hak. Maka tidak ada wasiat untuk ahli waris” (HR. Ahmad dan Ashab Sunan dan Nasa-i).

Namun, wasiat kepada ahli waris bisa menjadi halal atau boleh, jika ahli waris yang lain merelakan. Seluruh imam empat mazhab sependapat demikian, namun sebagian ahli fikih menambahkan dua syarat:

Pertama, ahli waris lain merelakan pada saat mereka layak memberikan kerelaan.

Maksudnya layak merelakan, ketika merelakan dia sebagai orang yang berakal, tidak terbelenggu oleh kondisi sakit yang menyebabkan kematiannya, tidak sebagai orang yang safih (kurang akalnya dalam bersikap dan berinteraksi dengan harta) dan dia tahu dengan harta apa yang diwasiatkan.

Kedua, perelaan tersebut terjadi setelah wafatnya pemberi wasiat (bisa orang tua atau yang lainnya).

Dalil kesimpulan ini adalah, hadis dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayah, lalu dari kakaknya, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا وصية لوارث إلا أن يجيز الورثة

“Tidak boleh ada wasiat kepada ahli waris kecuali ahli waris yang lain membolehkan (merelakan)” (HR. Daruqutni).

Hadis ini dikuatkan oleh pernyataan sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma,

لا تجوز وصية لوارث إلا أن يشاء الورثة

“Tidak boleh wasiat diberikan kepada ahli waris kecuali ahli waris yang lain merelakannya.”

Kerelaan terjadi dari sebagian ahli waris saja?

Jika kerelaan terjadi dari sebagian ahli waris saja, maka penerima wasiat mendapatkan bagian sesuai bagian yang direlakan. Sebagaimana keterangan Ibnu Qudamah Rahimahullah dalam kitab Al-Mughni,

وإن وصى لوارث فأجاز بعض باقي الورثة الوصية دون البعض‏,‏ نفذ في نصيب من أجاز دون من لم يجز

“Jika seorang pemberi waris mewasiatkan harta kepada ahli warisnya, lalu disetujui oleh sebagian ahli waris saja, maka wasiat sah pada bagian yang mendapat persetujuan tersebut, dan bagian yang tidak mendapatkan persetujuan dari ahli waris yang lain, menjadi tidak sah” (Al-Mughni, 6: 500).

Ibnu Qudamah Rahimahullah melanjutkan,

فإن أجاز بعضهم بعض الوصية‏,‏ وأجاز بعضهم جميعها أو ردها فهو على ما فعلوا من ذلك

“Jika sebagian ahli waris membolehkan sebagian wasiat, namun yang lain menyetujui semua wasiat atau menolak semua, maka jatah wasiat yang didapat penerima wasiat (dari ahli waris itu) adalah sesuai bagian yang disetujui” (Al-Mughni, 6: 500).

Kami perjelas dengan contoh berikut ini:

Orang tua sebelum meninggal mewasiatkan sebidang sawah untuk anak terakhir. Setelah orang tua meninggal dunia, ada beberapa kemungkinan tanggapan ahli waris yang lain terhadap wasiat ini:

– Jika seluruh ahli waris merelakan, maka sawah itu menjadi halal dan hak anak penerima wasiat.

– Jika yang setuju sebagian ahli waris saja, yang lain tidak, maka anak terakhir yang menerima wasiat mendapatkan bagian dari wasiat sesuai bagian yang disetujui.

Misal orang tua meninggalkan 5 orang anak. Yang merelakan wasiat itu hanya 2 saudara/i-nya, yang 2 sisanya tidak, maka anak yang mendapat wasiat sawah hanya berhak mendapatkan sawah 3/5 nya saja, 2/5 nya dikembalikan kepada 2 saudara/i-nya yang tidak setuju. Karena pada asalnya, harta wasiat itu menjadi hak semua anaknya, sehingga jatah masing-masing anak adalah 1/5. Namun, di saat 2 saudara/i-nya setuju, jatah 2 saudara/i-nya tersebut menjadi halal untuk si anak penerima wasiat. Yang tadinya dia mendapatkan 1/5, dia mendapatkan tambahan jatah dari 2 saudara/i-nya itu 2 bagian. Sehingga jatahnya yang tadinya 1/5 bertambah dua bagian menjadi 3/5.

– Jika sebagian saudara/i-nya setuju seluruh sawah wasiat untuk anak terakhir, namun sebagian yang lain tidak setuju, maka jatah wasiat untuk anak terakhir hanya bertambah dua bagian saja. Sama dengan teknis pembagian pada poin di atas.

Jadi begini, 2 saudara/i-nya merelakan adiknya mendapat semua wasiat yakni sawah. Namun 2 saudara/i-nya lainnya menolak seluruhnya, maka si adik tetap hanya berhak mendapatkan 3/5 sawah saja, karena mendapat tambahan jatah dari 2 saudara/i-nya yang setuju.

Demikian, semoga dapat mencerahkan.

Wallahua’lam bis showab.

Penulis: Ahmad Anshori, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/67879-status-harta-wasiat-untuk-ahli-waris.html

Putus Asa dari Rahmat Allah

Allah Ta’ala berfirman,

يَا بَنِيَّ اذْهَبُواْ فَتَحَسَّسُواْ مِن يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلاَ تَيْأَسُواْ مِن رَّوْحِ اللّهِ إِنَّهُ لاَ يَيْأَسُ مِن رَّوْحِ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

“Wahai anak-anakku, pergilah kamu, carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya. Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf [12]: 87)

Ayat ini menunjukkan bahwa berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala adalah di antara ciri khas orang-orang kafir.

Allah Ta’ala berfirman,

وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِن بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ

”Dan Dialah yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dia-lah yang Maha Melindungi lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy-Syuura [42]: 28)

Berangan-angat cepat mati ketika mendapatkan musibah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Janganlah salah seorang dari kalian meninggal kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Muslim no. 5125)

Hadis di atas menunjukkan bahwa seseorang yang sedang mendapatkan musibah dilarang  untuk memiliki angan-angan agar cepat mati karena dia merasa tidak sanggup lagi menanggung dan menjalani musibah tersebut. Jika ada yang memiliki angan-angan tersebut, pada hakikatnya merupakan suatu kebodohan menurut logika (akal sehat) dan merupakan suatu kesesatan menurut ajaran agama yang mulia ini.

Mengapa disebut sebagai sebuah kebodohan menurut logika (akal sehat)? Hal ini karena jika dia tetap hidup, dia bisa menambah lagi kebaikan-kebaikannya, jika dia selama ini memang orang yang terbiasa berbuat baik. Sebaliknya, jika dia selama ini termasuk orang yang sering dan gemar berbuat maksiat, maka dia bisa meperbanyak taubat kepada Allah Ta’ala selama masih diberikan kehidupan. Jika setelah bertaubat dari maksiat dan keburukannya tersebut, dia mati, maka hal itu merupakan satu akhir kehidupan yang sangat baik.

Lalu, mengapa disebut sebagai kesesatan menurut ajaran agama? Hal ini karena orang tersebut telah menerjang larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang disebutkan dalam hadis di atas, Janganlah kalian berharap untuk mati.”

Kalimat larangan pada hadis ini menunjukkan hukum haram. Di sisi lain, orang yang memiliki angan-angan dan harapan agar cepat mati menunjukkan bahwa dirinya tidak sabar dengan takdir Allah Ta’ala. Padahal, bersabar ketika mendapatkan dan menghadapi musibah merupakan salah satu kewajiban seorang mukmin.

Dua pahala ketika bersikap sabar dalam menghadapi ujian dan musibah

Jika seseorang bisa bersikap sabar ketika menghadapi kesulitan, dia akan mendapatkan dua pahala dan kebaikan.

Pertama, dosa-dosanya yang telah berlalu akan dihapus oleh Allah Ta’ala. Sekecil apapun setiap musibah yang menimpa manusia, semua itu akan menjadi sebab terhapusnya dosa.

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu keletihan dan penyakit (yang terus menimpa), kekhawatiran, dan kesedihan, tidak juga gangguan dan kesusahan, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya. (HR. Bukhari no. 5641)

Kedua, jika seseorang diberi taufik dan hidayah untuk bersabar dan berharap pahala, dia akan mendapatkan pahala sabar. Padahal, pahala sabar adalah pahala yang tidak ternilai dan tanpa batas. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar [39]: 10)

Ayat ini merupakan dalil bahwa sabar itu tidak berbatas, sebagaimana pahala yang didapatkan oleh orang yang bersabar juga tidak ada batasnya. Hal ini sesuai dengan kaidah aljaza’ min jinsil ‘amal, bahwa balasan (pahala) itu senilai dengan amal perbuatan yang dilakukan. Ketika balasan pahala sabar itu tanpa ada batas, maka hal ini adalah isyarat bahwa sabar itu juga tidak mempunyai batas. Sehingga ungkapan sebagian orang, “Sabarku ada batasnya”, itu adalah ungkapan yang kurang tepat.

Oleh karena itu, sikap yang benar dari seorang muslim ketika sedang ditimpa ujian dan musibah adalah bersabar dan mengharap pahala. Hal ini karena sesungguhnya setelah adanya kesulitan, pasti akan datang berbagai macam kemudahan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ؛ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. AlInsyirah [94]: 5 – 6)

***

@Rumah Kasongan, 25 Dzulhijah 1442/4 Agustus 2021

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD.

Sumber: https://muslim.or.id/67886-putus-asa-dari-rahmat-allah.html

Muharram Menjadi Semangat Hijrah di Tengah Pandemi

Peristiwa hijrah beriringan dengan Muharram.

Perjalanan Hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa penting dalam mengawali dakwahnya untuk menegakan Tauhid. Banyak pelajaran yang bisa diambil oleh umat Islam  bagaimana peristiwa ini senantiasa berproses ke arah lebih baik. 

“Bagaimana peristiwa ini menjadi mukmin dan muslim sejati, menjadi penolong agama Allah dan berjuang untuk keluar dari kondisi sulit, yaitu berjuang mengalahkan pandemi Covid-19 ini,” tutur Ustaz Muhammad Nasril Lc.MA saat menyampaikan tausiyah daringnya dengan tema “Hijrah Zaman Now, Out Of Pandemic”, Jumat (7/8) sore.

Ustaz Muhammad Nasril yang juga Penghulu Muda KUA Kuta Malaka ini menerangkan, karena hijrah itu bergerak sepanjang hayat, berhijrah juga meninggalkan segala hal yang buruk baik, negatif, maksiat, kondisi yang tidak kondusif di rumah, kampung dan tempat kerja menuju keadaan yang lebih baik, positif. Sehingga kita dapat mendapati kondisi yang menguntungkan serta menata diri melawan semua penyakit hati.

Ustaz Nasril mengatakan saat ini negara masih dalam kondisi sibuk menghadapi Pandemi Covid-19. Sungguh, wabah Covid-19 ini telah menyita perhatian semua pihak di seluruh dunia.

“Pemangku jabatan di negara kita masih terus berjuang untuk bisa keluar dari keadaan sulit ini,” katanya.

Kondisi hari ini telah mempengaruhi psikologi masyarakat, rasa khawatir, cemas dan rasa was-was terhadap penyebaran penyakit tersebut. Sehingga saat ini mereka lebih fokus ke Covid-19.

Berbagai kebijakan pemerintah terus dilakukan sebagai bentuk ikhtiar melawan pandemi ini. Pemerintah masih terus mencari cara dan solusi terbaik untuk menghentikan ganasnya Covid-19 ini.

“Seperti pemberlakuan PPKM, vaksinasi, menerapkan  protokol kesehatan dan berbagai kebijakan lainnya sehingga kita dapat keluar dalam kondisi seperti ini,” katanya.

Ustaz Muhammad Nasril berharap sejatinya, kondisi hari ini mampu menyatukan kita, bersama-sama hijrah, dengan meninggalkan perbedaan warna politik. Dan sama-sama sepakat berhijrah untuk keadaan lebih baik, sabar dan ikhlas meninggalkan banyak hal yang biasa dilakukan dalam keadaan normal demi mewujudkan keadaan lebih baik.

“Kita harus hijrah untuk berjuang melawan ini, dari normal menjadi new normal, berhenti dan menghentikan hoax dan provokatif, mengambil peran masing-masing untuk bersama sama berjuang, sampai akhirnya kita menikmati kemenangan bersama, menang melawan pandemi,” katanya.

Ustaz Muhammad Nasril menegaskan, Hijrah di tengah pandemi ini bukan berarti lari dari daerah atau negara kita, akan tetapi ikhtiar untuk mewujudkan kondisi lebih baik, menjalani anjuran medis dan kebijakan pemerintah dalam melawan Covid-19. Tentunya umat harus terus bergerak ke arah lebih baik dengan komitmen dan konsekuensi yang harus dilakukan.

“Karena berpindah dari keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik, dari kondisi yang sudah baik menjadi kondisi yang lebih baik, itulah hijrah di tengah pandemi,” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Ayat-Ayat Alquran yang Menjelaskan Akhlak Rasulullah

Rasulullah ﷺ memiliki akhlak agung yang ada dalam Alquran. 

Dikutip dari buku Jangan Takut Hadapi Hidup karya Dr Aidh Abdullah Al-Qarny, Sa’id bin Hisyam bin Amir bertanya kepada Sayyidah Aisyah radhiyallahu anha tentang akhlak Rasulullah ﷺ.  Sayyidah Aisyah berkata “Akhlak Rasulullah ﷺ adalah Alquran”. Untuk itulah pada saat kamu membaca dan merenungkan Alquran, maka seakan-akan kamu sedang melihat kehidupan Rasulullah secara langsung.

Ada beberapa ayat Alquran yang menjelaskan tentang akhlak Rasulullah ﷺ, di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS Al-Qalam ayat empat).

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal,” (QS Ali Imran ayat 159).

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman” (QS At-Taubah ayat 128).

Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada para sahabat bagaimana hidup di bawah naungan Alquran dan As-sunnah beliau, yang darinya akan terpantul cahaya sebagai penerang hati. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim disebutkan Rasulullah ﷺ bersabda,  القُرْآنَ فإنَّه يَأْتي يَومَ القِيامَةِ شَفِيعًا لأَصْحابِهِ “Bacalah Alquran karena hal itu akan menjadi syafaat pada Hari Kiamat kelak”.

Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan Imam Bukhari dari Anas Radhiyallahu Anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya”.

Maksudnya, demi Allah, bahwa orang yang terbaik, termulia dan teragung di antara kalian adalah mereka yang hidup dengan bimbingan Alquran. Inilah mahkota yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi ini. Mahkota yang tidak akan dimiliki orang-orang yang hidup dengan kekayaan yang melimpah dan jabatan yang tinggi yang sering kali manusia mengelu-elukan kehidupan mereka karena kekayaan, jabatan, keturunan dan pangkat yang disandangnya.

Tidak, namun yang terbaik dari kalian adalah orang yang memelajari dan mengaji kandungan Alquran lalu mengajarkannya kepada orang lain. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ menempatkan mereka (para sahabat) sesuai dengan kualitas interaksi mereka dengan Alquran. 

IHRAM