4 Tips Menghidupkan Hati Ala Salafus Shalih

Berikut ini adalah kumpulan tips menghidupkan hati ala salafus shalih. Nasihat ini untuk membantu kita menghidupkan Kembali hati-hati yang layu. Hati adalah poros dari seluruh unsur tubuh setiap manusia, segala yang dilakukan oleh manusia akan tergantung pada sesuatu yang terbersit dari hati. Maka tak salah jika Rasulullah Saw bersabda;

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ.

Artinya; “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim).

Maka jika merenungi hadits di atas bahwa kita sebagai umat Rasulullah Saw senantiasa harus berupaya untuk selalu memperbagus pekerjaan hati. Karena perbuatan buruk yang kita lakukan bukan karena kita tidak melihat atau mengerti bahwa itu buruk, melainkan hal itu disebabkan oleh buta dan lumpuhnya hati kita.

Hal ini sejalan dengan firman Allah saw di dalam Al-Qur`an surat Al-Hajj ayat 46;

اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ.

Artinya; “Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj ayat 46).

Maka dari itu perlu bagi kita untuk mengupayakan beberapa hal yang bisa menghidupkan kembali hati hati kita yang sudah layu ini agar bisa semaksimal mungkin taqarrub ilallah mendekatkan diri kepada Allah.

4 Tips Menghidupkan Hati Ala Salafus Shalih

Pertama, membaca dan merenungi Al-Quran. Al-Quran adalah obat dari penyakit hati yang pertama dan yang utama. Hal ini sebagaimana firman Allah sendiri di dalam Al-Qur`an.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاۤءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِۙ

Artinya; “Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada.” (QS. Yunus ayat 57).

Tips pertama ini tidak hanya bisa dilakukan hanya dengan membaca saja namun juga bagaimana kita mentadabburi atau merenungi makna Al-Qur`an tersebut. hal ini dikuatkan dengan firman Allah Swt di dalam Q.S Muhammad ayat 24;

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا

Artinya; “Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci?.” (QS. Muhammad ayat 24).

Kedua, menerima nasihat. Salah satu keberuntungan yang disebutkan Al-Qur’an selain beriman dan beramal shaleh adalah saling saling memberikan dan menerima nasihat. Di sinilah pentingnya upaya pemeliharaan hati melalui saling menasihati antara sesama mukmin, karena menurut ulama bahwa penyakit hati itu dikarenakan oleh perkara syubhat dan syahwat. Namun, bila diberi hikmat dan nasihat maka hal itu adalah termasuk sebab-sebab yang akan memperbaiki dan menyembuhkan hati.

Ketiga, taubat dan istighfar. Dua hal ini perlu dilakukan sebagai Langkah upaya untuk menghidupkan dan membersihkan hati karena dosa-dosa yang kita lakukan akan meninggalkan bekas hitam di hati kita. sebagaimana sabda Rasulullah Saw;

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ).

Artinya; “Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. 

Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.” (HR. At-Tirmidzi).

Keempat, mengisi kegiatan dengan amal-amal shaleh. Tips keempat ini perlu adanya Latihan dengan melakukan pekerjaan yang menunjukkan ketaatan kita selaih kewajiban, seperti shadaqah, shalat sunnah, puasa sunnah serta amalan-amalan sunnah lainnya.

Demikian empat tips menghidupkan hati dari salafus shalih. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Tugas dan Peran Pemuda Muslim terhadap Diri, Agama, dan Masyarakat

Peran pemuda di era milenial adalah menjadi pemuda yang berilmu, mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta memahami batasan terhadap lawan jenis. Tidaklah seorang pemuda dikatakan berilmu, jika ia masih malas, nonproduktif, serta tidak memanfaatkan waktu mudanya dalam hal yang bermanfaat dan produktif. Maka, jadilah pemuda muslim milenial yang mampu memberi pengaruh yang baik pada umat dan masyarakat. Seperti Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wassallam setelah meninggal, beliau mewariskan banyak pengetahuan, terutama yang termaktub dalam wahyu Allah ‘Azza Wajalla, yakni Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai petunjuk akan kebesaran dan kemuliaan Allah dalam membimbing kita semua dalam menuju kebenaran dan kebaikan.

Perkataan Imam Asy-Syafi’i tentang pemuda

Imam Asy-Syafi’i berkata, “Demi Allah, hidupnya pemuda itu dengan ilmu dan takwa. Jika keduanya tidak ada, maka keberadaannya tidak dianggap ada.” Selain itu, ada banyak nasihat yang bisa kita ambil dari para ulama kita. Sebagai contoh nasihat dan fatwa dari Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid terkait nasihat untuk pemuda berikut.

Nasihat dan fatwa dari Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid tentang pemuda

Pertanyaan:

Apakah peran pemuda Islam dalam berkontribusi membangun masyarakat Islam?

Jawaban:

Kita perhatikan bahwa Al-Qur’an menyebutkan tentang “pemuda” di banyak tempat. Allah Ta’ala berfirman,

قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ

Mereka berkata, ’Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.’” (QS. Al-Anbiya’: 60)

Selain itu, banyak hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahih yang menerangkan mengenai nasihat khusus untuk pemuda muslim. Engkau habiskan untuk apa masa mudamu? Rasulullah bersabda, “(Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan rabb-Nya).” (HR. Tirmidzi no. 2340)

Fatwa Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz

Pertanyaan:

Apa fatwa mengenai nasihat untuk pemuda muslim di seluruh dunia, terhadap agama, masyarakat, dan umatnya? (Semoga Allah Ta’ala membalas Anda dengan kebaikan)

Jawaban:

Segala puji bagi Allah Ta’ala.

Pertama, pemuda di setiap umat adalah tulang punggung yang membentuk komponen pergerakan. Karena mereka memiliki kekuatan yang produktif dan kontribusi (peran) yang terus-menerus. Dan pada umumnya, tidaklah suatu umat akan runtuh, karena masih ada pundak para pemuda yang punya kepedulian dan semangat yang membara.

ولقد علم أعداء الإسلام هذه الحقيقة ، فسعوا إلى وضع العراقيل في طريقهم ، أو تغيير اتجاههم ، إما بفصلهم عن دينهم ، أو إيجاد هوة سحيقة بينهم وبين أولي العلم ، والرأي الصائب ، في أمتهم ، أو بإلصاق الألقاب المنفِّرة منهم ، أو وصفهم بصفات ونعوت ، غير صحيحة ، وتشويه سمعة من أنار الله بصائرهم في مجتمعاتهم ، أو بتأليب بعض الحكومات عليهم “

Musuh-musuh Islam telah mengetahui fakta ini. Mereka pun berusaha merintangi jalan para pemuda muslim, mengubah pandangan hidup mereka, baik dengan memisahkan mereka dari agama, menciptakan jurang antara mereka dengan ulama dan norma-norma yang baik di masyarakat. Mereka memberikan label yang buruk terhadap para ulama sehingga para pemuda menjauh, menggambarkan mereka dengan sifat dan karakter yang buruk, menjatuhkan reputasi para ulama yang dicintai masyarakat, atau memprovokasi penguasa untuk berseberangan dengan mereka.” (Fatwa Syekh Ibnu Baz, 2: 365)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka pemuda yang dijanjikan akan mendapatkan naungan dari Allah Ta’ala ialah yang memiliki peran penting dalam mengambil posisi strategis baik dalam hal keilmuan agama, disiplin ilmu, dan kebermanfaatan di lingkungan masyarakat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

«سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ … وَشَابٌّ نَشَأَ فِى عِبَادَةِ رَبِّهِ»

Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali), kecuali naungan-Nya: … Dan seorang pemuda yang tumbuh dalam ibadah (ketaatan) kepada Allah…” (HR. Bukhari no. 1357 dan Muslim no. 1031)

Hadis yang agung tersebut menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap hal-hal yang mampu mendatangkan kebaikan bagi seorang pemuda muslim sekaligus menerangkan keutamaan bagi seorang pemuda yang memiliki sifat yang telah dijelaskan di hadis tersebut.

Salah seorang ulama masyhur berkata, “(Hadis ini menunjukkan) keutamaan pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah, sehingga dia selalu menjauhi perbuatan maksiat dan keburukan.” (Bahjatun Nazhirin, 1: 445)

Abul ‘Ula Al-Mubarakfuri berkata, “(Dalam hadis ini), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan (penyebutan) ‘seorang pemuda’ karena (usia) muda adalah (masa yang) berpotensi besar untuk didominasi oleh nafsu syahwat, disebabkan kuatnya dorongan untuk mengikuti hawa nafsu pada diri seorang pemuda. Maka, dalam kondisi seperti ini, untuk berkomitmen dalam ibadah (ketaatan) kepada Allah (tentu) lebih sulit dan ini menunjukkan kuatnya (nilai) ketakwaan (dalam diri orang tersebut).” (Tuhfatul Ahwadzi, 7: 57)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

«إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَعْجَبُ مِنَ الشَّابِّ لَيْسَتْ لَهُ صَبْوَةٌ»

Sesungguhnya Allah Ta’ala benar-benar kagum terhadap seorang pemuda yang tidak memliki shabwah.” (HR Ahmad 2: 263; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir 17: 309; dan lain-lain. Dinilai sahih dengan berbagai jalurnya oleh Syekh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2843)

Inilah sosok pemuda muslim yang Allah Ta’ala cintai dan pemuda yang pandai dalam mensyukuri nikmat besar yang Allah Ta’ala anugrahkan kepadanya.

Penjelasan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sebab-sebab (yang mendukung terjadinya) penyimpangan dan (banyak) masalah (di kalangan) para pemuda sangat banyak dan bermacam-macam. Karena manusia di masa remaja akan mengalami pertumbuhan besar pada fisik, pikiran, dan akalnya. Karena masa remaja adalah masa pertumbuhan, sehingga timbullah perubahan yang sangat cepat (pada dirinya). Oleh karena itul, dalam masa ini sangat dibutuhkan tersedianya sarana-sarana untuk membatasi diri, mengekang nafsu, dan pengarahan yang bijaksana untuk menuntun ke jalan yang lurus.” (Min Musykilatisy Syabab, hal. 12)

Yang harus ditempuh untuk memperbaiki akhlak para pemuda

Kemudian Syekh Al-’Utsaimin menjelaskan sebab-sebab yang harus ditempuh untuk memperbaiki akhlak para pemuda berdasarkan petunjuk agama Islam dalam kitab beliau yang berjudul Kitab “Min Musykilatisy Syabab [1]. Di antaranya adalah:

Pertama: Memanfaatkan waktu luang secara maksimal

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

«نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ»

Ada dua nikmat (dari Allah Ta’ala) yang kurang diperhatikan oleh banyak manusia, (yaitu): kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari no. 6049)

Waktu luang bisa menjadi berkah bagi kita sekaligus bisa menjadi penyakit yang membinasakan diri, pikiran, akal, serta berpotensi merusak fisik manusia. Hal ini karena jika tidak beraktifitas, maka pikiran akan beku, akalnya akan buntu, dan aktifitasnya dirinya akan lemah. Sehingga hatinya akan dikuasai bisikan buruk, pemikiran buruk yang kerap terjadi sehingga mampu melahirkan keinginan buruk. Untuk mengatasi hal demikian, hendaknya seorang pemuda berupaya untuk mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang produktif serta bermanfaat yang sesuai dengan dirinya.

Kedua: Memilih lingkungan dan teman bergaul yang baik

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

المرء على دين خليله، فلينظر أحدكم من يخالل

Seorang manusia akan mengikuti agama teman dekatnya, maka hendaknya salah seorang darimu melihat siapa yang dijadikan teman dekatnya.” (HR. Abu Dawud no. 4833, At-Tirmidzi no. 2378, dan Al-Hakim 4: 189, dinyatakan sahih oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, serta dihasankan oleh Syekh Al-Albani)

Hal ini, sesuai dengan hadis di atas bahwa lingkungan dan siapa yang dijadikan sebagai teman kita dapat berpengaruh pada akal, pikiran, dan tingkah laku bagi seorang pemuda. Dalam hadis lain, beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

Perumpamaan teman duduk (bergaul) yang baik dan teman duduk (bergaul) yang buruk (adalah) seperti pembawa (penjual) minyak wangi dan peniup al-kiir (tempat menempa besi). Maka, penjual minyak wangi bisa jadi dia memberimu minyak wangi, atau kamu membeli (minyak wangi) darinya, atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup al-kiir (tempat menempa besi) bisa jadi (apinya) akan membakar pakaianmu atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang tidak sedap darinya.” (HR. Bukhari no. 5214 dan Muslim no. 2628)

Hadis yang mulia ini menunjukkan keutamaan duduk dan bergaul dengan orang-orang yang baik akhlak dan tingkah lakunya. Karena pengaruh baik yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. Hadis ini sekaligus menunjukkan larangan bergaul dengan orang-orang yang buruk akhlaknya dan pelaku maksiat karena pengaruh buruk yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. (Lihat kitab “Syarhu Shahih Muslim” 16: 178 dan “Faidhul Qadir” 3: 4)

Ketiga: Mendalami ilmu agama

Allah Ta’ala berfirman,

هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ

Katakanlah, ‘Apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَىْ كُلِّ مُسْلِمٍ

Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, hadis hasan)

Maka, ilmu syar’i wajib dipelajari oleh setiap muslim. Tidak mungkin orang bodoh dapat memahami agamanya dan membela (agamanya) di berbagai forum diskusi. Orang bodoh tidaklah bisa memberikan manfaat bagi masyarakat dan keluarganya. Oleh karena itu, hendaknya para pemuda Islam untuk bersegera (bersemangat) mendatangi majelis-majelis ilmu agama (pengajian), baik di masjid atau di pusat dakwah Islam. Dan juga memanfaatkan waktu mereka untuk menghafal Al-Qur’an dan membaca kitab-kitab (para ulama). Inilah nasihat untuk pemuda yang utama.

Keempat: Memilih sumber bacaan yang baik dan bermanfaat

Mengonsumsi sumber-sumber bacaan yang terpercaya akan kebenarannya dan menjauhi sumber-sumber bacaan yang dapat merusak, baik merusak pemikiran, cara pandang, dan akidah. Maka, carilah sumber bacaan yang membuat kita semakin produktif dan bermanfaat dan yang paling penting adalah membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir yang sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang tersebar di toko-toko buku yang sudah terpercaya, seperti halnya berisi riwayat-riwayat tafsir yang sahih dan penafsiran yang benar.

Kelima: Berusaha menaati perintah dan menjauhi larangan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لا ظِلَّ إِلا ظِلُّهُ : الإِمَامُ الْعَادِلُ ، وَشَابٌّ نَشَأ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ …

Tujuh (golongan) yang Allah naungi di hari yang tidak ada naungan melainkan naungan dari-Nya, (yaitu)… pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Tuhannya … ” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebagai seorang pemuda muslim, ia senantiasa berikhtiar dan berusaha taat kepada Allah Ta’ala. Tidaklah mereka mendengar perintah syariat, kecuali mereka akan menjadi yang terdepan dalam melaksanakannya. Tidaklah mereka mendengar suatu larangan, kecuali mereka akan menjadi yang terdepan dalam menjauhinya. Pemuda semacam ini berhak untuk mendapatkan pahala yang banyak pada hari kiamat, di bawah naungan ‘Arsy milik Allah Ta’ala, ketika panas matahari didekatkan di atas kepala manusia.

Keenam: Dakwah bilhikmah dan menjadi teladan yang baik di dalam masyarakat

Dakwah di dalam masyarakat mesti dengan pendekatan yang inklusif dan penuh dengan hikmah, seperti yang sudah diajarkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Yakni, di mana kondisi pemuda muslim yang memberikan pengajaran kepada masyarakat dan berdakwah kepada mereka, janganlah perbuatannya bertentangan dengan ucapannya, serta sampaikanlah dengan lemah lembut dan bersabar atasnya. Hendaklah dia berhias dengan akhlak-akhlak mulia yang dia sampaikan dan dakwahkan, melaksanakan ketaatan sebagaimana yang dia anjurkan kepada masyarakat. Dia menjadi teladan bagi masyarakat dalam (memegang) syariat, amanah, istikamah, kejujuran, menjaga kehormatan, dan akhlak-akhlak mulia.

Ketujuh: Berkumpul dengan orang saleh dan dekat dengan para ulama

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa’: 83)

Pemuda muslim hendaknya berjalan di atas jalan sunah yang meniti di setiap jalan hidayah, di atas kebenaran, dan di atas jalan yang hak atas bimbingan para ulama dan asatidzah terpercaya juga para pakar yang luas ilmunya dan memiliki banyak pengalaman yang bermanfaat baik dalam urusan din serta disiplin ilmu yang sesuai dengan profesinya (tanpa melanggar syariat).

Begitu juga para pemuda hendaknya mengikuti nasihat mereka dan bertindak berdasarkan musyawarah dan nasihat mereka. Sehingga setelah itu, diharapkan mereka lebih dapat bermanfaat dan mampu memberikan manfaat, bukan hanya pada dirinya saja, akan tetapi manfaat pada kepada umat dan agamanya serta masyarakat sekitar.

***

Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos.

Catatan kaki:

[1] Kitab “Min Musykilatisy Syabab” (hal. 12-16) dengan catatan ringkas dan tambahan dari penulis.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86696-peran-pemuda-muslim-terhadap-diri-agama-dan-masyarakat.html

Jalan Mencapai Kemenangan

SURAT ASH-SHAFF merupakan salah satu Surat dalam juz 28 yang memiliki beberapa nama. Ia dinamakan Surat Ash-Shaff karena di dalamnya terdapat kata Shaffan, dan memang biasanya suatu Surat dinamakan dengan sesuatu yang khsusus dalam surat tersebut yang tidak terdapat di Surat-Surat lainnya, karena itu surat ini disebut sebagai Surat Ash-Shaff.

Surat ini disebut juga Surat Al-Hawariyyin karena di dalamnya terdapat perkataan Nabi Isa kepada Hawariyyin (Al-Itqan fi Ulumil-Quran karya Imam As-Suyuthi). Surat Ash-Shaff adalah Surat Madaniyah, yakni Surat yang diturunkan kepada Nabi ﷺ setelah beliau hijrah ke Madinah.

Berkaitan dengan jalan untuk mencapai sebuah kemenangan dalam berbagai aspek, maka paling tidak ada tiga syarat utama yang hendaknya dipenuhi.

Pertama, konsekuen antara perkataan dan perbuatan. Surat Ash-Shaff ini dibuka dengan pemberitahuan bahwa semua makhluk yang ada di langit dan di bumi semuanya bertasbih kepada Allah SWT.

سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۖ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ

“Telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS: Ash-Shaff [61]: 1).

Kemudian pada ayat yang ke dua menjelaskan tentang celaan untuk orang-orang yang perkataannya tidak sesuai dengan tindakannya.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” (QS: Ash-Shaff [61]: 2).

Sebagian ulama Salaf berpendapat atas dalil ayat ini bahwa diwajibkan bagi seseorang menunaikan apa yang dijanjikannya secara mutlak tanpa memandang apakah yang dijanjikan itu berkaitan kewajiban ataukah tidak. Mereka beralasan pula dengan hadis Nabi ﷺ.

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاث إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Di antara tanda munafik ada tiga: jika berbicara, dusta; jika berjanji, tidak menepati; jika diberi amanat, ia khianat.” (HR: Muslim).

Di dalam hadis lain disebuntukan pula: “Ada empat tanda, jika seseorang memiliki empat tanda ini, maka ia disebut munafik tulen. Jika ia memiliki salah satu tandanya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu: jika diberi amanat, khianat; jika berbicara, dusta; jika membuat perjanjian, tidak dipenuhi; dan jika berselisih, dia akan berbuat dzalim.” (HR: Muslim).

Karena itu, maka Allah mengukuhkan pengingkaran-Nya terhadap sikap mereka yang demikian itu (tidak konsekuen antara ucapan dan perbuatan) melalui firman berikutnya:

كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS: Ash-Shaff [61]: 3).

Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan melalui Abdullah Ibnu Amir Ibnu Rabi’ah, yang telah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ datang kepada keluarganya yang saat itu ia masih anak-anak. Lalu ia pergi untuk bermain, tetapi ibunya memanggilnya, “Hai Abdullah, kemarilah, aku akan memberimu sesuatu.” Rasulullah bertanya kepada ibunya, “Apa yang hendak engkau berikan kepadanya?” Ibunya menjawab, “Kurma,” Rasulullah ﷺ bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya andaikata engkau tidak memberinya, tentulah akan dicatat atas dirimu sebagai suatu kedustaan.”

Sebagian kita memiliki sifat demikian, berkata dan mengajak orang lain melakukan kebaikan, namun diri sendiri enggan melakukannya. Melarang dari suatu kemungkaran, namun diri sendiri melakukannya.

Seorang muslim yang baik adalah yang menjadi pelopor dalam kebaikan dan terdepan dalam menjauhi kemungkaran sebelum mengajak atau mendakwahi orang lain.

Hal ini menegaskan bahwa syarat pertama untuk meraih kemenangan adalah komitmen terhadap apa yang telah disampaikan, diucapkan dan dijanjikan untuk direalisasikan.

Seorang pemenang sejati akan selalu komitmen terhadap janji yang disampaikan untuk diwujudkan. Ia akan komitmen dengan ucapannya.

Kedua, barisan yang solid. Syarat mencapai kemenangan harus solid dalam barisan yang teratur.

إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِهِۦ صَفًّا كَأَنَّهُم بُنْيَٰنٌ مَّرْصُوصٌ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS: Ash-Shaff [61]: 4).

Sesungguhnya Allah menyukai, artinya selalu menolong dan memuliakan orang-orang yang berperang di jalannya dalam barisan yang teratur. Lafadz shaffan merupakan hal atau kata keterangan keadaan, yakni dalam keadaan berbaris rapi, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh, yakni sebagian di antara mereka menempel rapat dengan sebagian yang lain lagi kokoh.

Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah: “Seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” Yakni, kokoh dan tidak rapuh, sebagiannya menempel ketat dengan sebagian yang lain dalam barisan shafnya.

Ibnu Qatadah mengatakan, tidakkah Anda melihat para pekerja bangunan. Mereka tidak suka apabila bangunan yang dikerjakannya tidak rapi (acak-acakan).

Demikian pula Allah tidak suka apabila perintah-Nya diacak-acak. Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukmin berbaris dengan rapi dalam peperangan dan dalam shalat.

Maka peganglah perintah Allah. Sesungguhnya perintah ini akan menjadi pemelihara diri bagi orang yang mengamalkannya.

Hal ini menegaskan bahwa syarat kedua untuk meraih kemenangan adalah tetap solid dalam satu barisan dan tidak mudah goyah meskipun dalam situasi yang sulit sekalipun.

Ketiga, taat terhadap arahan pimpinan. Di antara perkara yang mesti menjadi perhatian serius dalam upaya meraih sebuah kemenangan adalah selalu mengikuti arahan dari pimpinan.

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِۦ يَٰقَوْمِ لِمَ تُؤْذُونَنِى وَقَد تَّعْلَمُونَ أَنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيْكُمْ ۖ فَلَمَّا زَاغُوٓا۟ أَزَاغَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُمْ ۚ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu?” Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS: Ash-Shaf [61]: 5).

Ungkapan Musa kepada kaumnya atas gangguan yang mereka timpakan kepada-Nya dan Allah memalingkan hati mereka. Allah mengabarkan tentang hamba dan Rasul-Nya, yaitu Musa bin Imran AS, bahwa dia telah berkata kepada kaumnya.

“Mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu?” Yakni, mengapa kalian terus menyakitiku sedangkan kalian tahu kejujuran risalah yang kubawa.

Ayat ini merupakan hiburan bagi Rasulullah terhadap perilaku yang telah dilancarkan oleh orang-orang kafir kepadanya baik dari kalangan kaumnya sendiri (Quraisy), maupun dari pihak lain. Dengan ayat ini, Allah memerintahkan untuk bersabar. Karena itu, Rasulullah ﷺ bersabda: “Semoga Allah merahmati Musa karena dia telah disakiti lebih dari ini, dan dia tetap bersabar.”

Ayat ini juga berimplikasi bahwa kaum mukmin dilarang menyakiti hati Nabi ﷺ, sebagaimana firman-Nya;

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ ءَاذَوْا۟ مُوسَىٰ فَبَرَّأَهُ ٱللَّهُ مِمَّا قَالُوا۟ ۚ وَكَانَ عِندَ ٱللَّهِ وَجِيهًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.” (QS: Al-Ahzab [33]: 69).

وَإِذْ قَالَ عِيسَى ٱبْنُ مَرْيَمَ يَٰبَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ إِنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيْكُم مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَىَّ مِنَ ٱلتَّوْرَىٰةِ وَمُبَشِّرًۢا بِرَسُولٍ يَأْتِى مِنۢ بَعْدِى ٱسْمُهُۥٓ أَحْمَدُ ۖ فَلَمَّا جَآءَهُم بِٱلْبَيِّنَٰتِ قَالُوا۟ هَٰذَا سِحْرٌ مُّبِينٌ

“Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)”. Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata.” (QS: Ash-Shaf [61]: 6).

Ayat ini membicarakan umat Nabi Isa yang menolak beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ. Padahal Allah sudah memberitahukan tentang kelahiran beliau di dalam Kitab Injil. Dan ingatlah wahai Muhammad, ketika Isa putra Maryam berkata kepada kaumnya, ‘Wahai Bani Israil! sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu untuk mengajarkan prinsip tiada tuhan selain Allah, tiada ibadah kecuali kepada-Nya, dan tidak mempertuhankan sesama manusia yang membenarkan kitab yang turun sebelumku. Yaitu, Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa dan memberi kabar gembira kepada kamu dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang bernama ahmad dan/atau Muhammad yang merupakan nabi dan rasul terakhir.

Namun, ketika rasul itu datang kepada mereka, kaum nasrani, dengan membawa bukti-bukti nyata tentang kenabian dan kerasulan beliau di dalam Al-Quran, mereka berkata kepada sesama mereka, ‘Al-Quran ini adalah sihir yang nyata, bukan wahyu Allah, bukan kitab suci.

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ ٱفْتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ ٱلْكَذِبَ وَهُوَ يُدْعَىٰٓ إِلَى ٱلْإِسْلَٰمِ ۚ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang dzalim.” (QS: Ash-Shaff [61]: 7).

Maksudnya, tidak ada yang lebih berat kedzaliman dan pelanggarannya daripada siapa yang membuat kebohongan atas nama Allah dan mengangkat sekutu bagi-Nya dalam ibadah, padahal dia diajak kepada Islam dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata.

Allah tidak membimbing orang-orang yang mendzalimi diri mereka dengan kekafiran dan kesyirikan kepada apa yang mengandung kebahagiaan bagi mereka.

يُرِيدُونَ لِيُطْفِـُٔوا۟ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفْوَٰهِهِمْ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوْ كَرِهَ ٱلْكَٰفِرُونَ

“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (QS: Ash-Shaff [61]: 8).

Orang-orang dzalim itu ingin membantah kebenaran Al-Quran dengan menyebarkan berita bohong yang menentang Nabi ﷺ. Namun Allah akan memenangkan dan menolong agama-Nya, meskipun orang-orang yang mendustakan Allah dan rasul-Nya itu tidak menyukai.

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَرْسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلْهُدَىٰ وَدِينِ ٱلْحَقِّ لِيُظْهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ وَلَوْ كَرِهَ ٱلْمُشْرِكُونَ

“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (QS: Ash-Shaff [61]: 9).

Allah, Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan agama Islam, agama petunjuk dan tuntunan kebaikan, agama ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, agar Dia meninggikannya di atas seluruh agama, meskipun tidak disukai oleh orang-orang musyrik yang benci apabila Islam mengakar di bumi ini.

Jika ketiga syarat tersebut diikuti dengan semangat pengorbanan dengan jiwa dan harta dalam sebuah perjuangan maka akan dapat mengantarkan kepada kemenangan yang dijanjikan. Wallahu a’lam.*/ H. Imam Nur Suharno, pembina Majelis Taklim Ibu-Ibu di Kuningan, Jawa Barat

HIDAYATULLAH

Suhu Saudi Ekstrem, Ini Cara Agar Jamaah Umroh Tetap Terhidrasi

Musim ibadah umroh di Arab Saudi saat ini bertepatan dengan gelombang panas tinggi.

Musim ibadah umroh di Arab Saudi saat ini bertepatan dengan gelombang panas yang tinggi. Kondisi demikian menekankan betapa pentingnya agar setiap jamaah tetap terhidrasi saat melakukan ritual ibadah.

Untuk itu, Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi telah menawarkan serangkaian rekomendasi kepada jamaah umroh tentang cara menghindari dehidrasi dan kehilangan cairan selama melakukan ibadah di Tanah Suci, sebagaimana dilansir Gulf News, Kamis (10/8/2023).

Kementerian Saudi mengimbau para jamaah untuk minum cukup cairan, makan sayuran dan buah-buahan serta menghindari paparan sinar matahari yang lama. Selain itu, jamaah juga dianjurkan untuk mencari nasihat medis jika perlu.

Mereka pun harus beristirahat yang cukup antara kedatangan di kerajaan dan melakukan umrah di Masjidil Haram, situs paling suci Islam, di Makkah.

Untuk diketahui, suhu baru-baru ini berkisar sekitar 50 derajat Celcius di beberapa bagian Arab Saudi. Dalam beberapa bulan terakhir, Arab Saudi telah memperkenalkan sejumlah fasilitas bagi Muslim perantauan untuk datang ke negara itu untuk melakukan umrah.

Umat Muslim yang memegang berbagai jenis visa masuk seperti visa pribadi, kunjungan, dan turis diizinkan untuk melakukan umroh dan setelahnya mengunjungi Al Rawda Al Sharifa, di mana makam Nabi Muhammad SAW terletak di Masjid Nabawi di Madinah.

Otoritas Saudi telah memperpanjang visa umroh dari 30 hari menjadi 90 hari dan mengizinkan pemegangnya untuk memasuki kerajaan melalui semua outlet darat, udara dan laut dan berangkat dari bandara manapun.

Kerajaan juga mengatakan bahwa ekspatriat yang tinggal di negara-negara Dewan Kerjasama Teluk berhak untuk mengajukan visa turis, terlepas dari profesinya, dan dapat melakukan umroh.

Awal pekan ini, Arab Saudi mengumumkan penambahan delapan negara lagi ke sistem e-visa kunjungan, memungkinkan warga negara mereka datang ke kerajaan untuk Umrah dan pariwisata, meningkatkan jumlah negara yang warganya memiliki akses ke sistem ini menjadi 57.

Kementerian Haji dan Umroh Saudi telah berulang kali mendesak jamaah umroh untuk datang sesuai dengan janji yang ditetapkan dalam izin umroh mereka. Tetapi bagaimana jika seorang peziarah tidak datang tepat waktu karena alasan apa pun?

Kementerian Haji Saudi menjelaskan, dalam kasus seperti itu, izin umroh dapat dibatalkan dan penetapan tanggal baru untuk melakukan ritual umroh dicadangkan. Saat ini Arab Saudi mengharapkan sekitar 10 juta Muslim dari luar negeri untuk melakukan umroh selama musim ini.

IHRAM

Apakah Boleh Bersholawat Sambil Joget?

Apakah boleh bersholawat sambil joget? Belakangan ini marak fenomena joget saat sholawat, bahkan tidak sedikit dari mereka yang joget dengan gaya yang erotis. Jika pada umumnya hanya menggerakkan kepala, sekarang banyak jamaah yang menggerakkan badannya dengan gaya yang tidak pantas untuk ditarikan di majelis dzikir. 

Terkait pertanyaan apakah boleh bersholawat sambil joget? Jwaban atas fenomena ini, Ibnu Hajar Al-Haitami dalam salah satu kompilasi fatwanya pernah menjawab persoalan ini. Dituliskan;

(وَسُئِلَ) نفع الله بِهِ عَن رقص الصُّوفِيَّة عِنْد تواجدهم هَل لَهُ أصل (فَأجَاب) بقوله نعم لَهُ أصل فقد روى فِي الحَدِيث أَن جَعْفَر بن أبي طَالب رَضِي الله عَنهُ رقص بَين يَدي النَّبِي – صلى الله عليه وسلم – لما قَالَ لَهُ أشبهت خَلقي وخُلقي وَذَلِكَ من لَذَّة هَذَا الْخطاب وَلم يُنكر عَلَيْهِ – صلى الله عليه وسلم – وَقد صَحَّ الْقيام والرقص فِي مجَالِس الذّكر وَالسَّمَاع عَن جمَاعَة من كبار الْأَئِمَّة مِنْهُم عز الدّين شيخ الْإِسْلَام ابْن عبد السَّلَام

“Ibnu Hajar Al-Haitami ditanya terkait landasan dari tarian sufi, beliau menjawab bahwasanya tarian tersebut memiliki tendensi. Yaitu hadis yang meriwayatkan bahwasanya Ja’far bin Abi Thalib menari di hadapan Nabi Muhammad Saw. Ketika Nabi melihatnya, beliau menyatakan;

“Badan dan etikamu mirip denganku”. Beliau Saw tidak mengingkari hal ini, fenomena ini juga dilegitimasi oleh beberapa ulama’ semisal Izzuddin bin Abdis Salam”. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah,  H. 212) 

Demikian pula pandangan Al-Suyuthi, hadis tersebut menjadi tendensi atas fenomena gerakan sufi yang dihasilkan dari “mabuk cinta”. Dalam fatwanya beliau juga menyebutkan beberapa nama yang melegitimasinya, antara lain; 

Sirajuddin Al-Bulqini (namun beliau menghukum pengasingan bagi mereka yang berlebihan dalam menggerakkan badannya), Burhanuddin Al-Abnasi (yang mana beliau netral dalam hal ini, justru beliau menganjurkan untuk menyesuaikan konvensi setempat), dan kalangan Maliki serta Hanafi”. (Al-Hawi li Al-Fatawa, Juz 2 H. 282) 

Hanya saja meskipun diperbolehkan, terdapat catatan penting, yaitu gerakannya tidak boleh erotis, jika demikian, maka haram hukumnya. Dikatakan;

وقد استدل الاستاذ الغزالي على إباحة الرقص: برقص الحبشة والزنوج في المسجد النبوي يوم عيد حيث أقرهم رسول الله صلى الله عليه وسلم، وأباح لزوجه السيدة عائشة رضي الله عنه أن تتفرج عليهم وهي مستترة به صلى الله عليه وسلم، وهوكما تعلم لا يثير أي شهوة، فالنوع المباح من الرقص هو الذي لا يثير شهوة فاسدة. 

“Artinya; Al-Ustadz Al-Ghazali berpandangan boleh untuk  gerakan zikir dari kisah Habasyah dan Zunuj yang menari di Masjid Nabawi saat Idul Fitri yang dibiarkan oleh Nabi, dan diperkenankan bagi istrinya Aisyah untuk menjadikannya sebagai hiburan. Saat melihatnya Aisyah bersembunyi di belakang Nabi. Sebagaimana diketahui gerakan itu tidak menimbulkan syahwat apapun, sehingga jenis gerakan yang boleh adalah yang tidak menimbulkan syahwat.” (Al-Fikih Ala Madzahib Al-Arba’ah, Juz 2 H. 42)

Pandangan Al-Ghazali ini juga disitir oleh Syekh Khatib Al-Syirbini, dikatakan;

وَفِي الْإِحْيَاءِ: التَّفْرِقَةُ بَيْنَ أَرْبَابِ الْأَحْوَالِ الَّذِينَ يَقُومُونَ بِوَجْدٍ فَيَجُوزُ – أَيْ بِلَا كَرَاهَةٍ، وَيُكْرَهُ لِغَيْرِهِمْ. قَالَ الْبُلْقِينِيُّ: وَلَا حَاجَةَ لِاسْتِثْنَاءِ أَصْحَابِ الْأَحْوَالِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِاخْتِيَارٍ فَلَا يُوصَفُ بِإِبَاحَةٍ وَلَا غَيْرِهَا اهـ. 

“Dalam Ihya’ (Ulum Al-Din) dibedakan antara gerakan orang yang muncul sebab mabuk cinta (kepada Allah) dengan orang yang bergerak tanpa ada getaran cinta. Namun menurut Al-Bulqini yang demikian tidak perlu dibedakan, karena gerakan tersebut sifatnya reflektif, sehingga tidak bisa dihukumi boleh atau tidak”. (Mughni Al-Muhtaj, Juz 6 H. 350) 

Maka dari itu, hukum joget saat sholawat diperinci. Ketika muncul karena rasa cinta yang membara atau gerakan yang reflektif, maka diperbolehkan. Namun jika gerakannya bersifat erotis dan tidak elok, maka ini diharamkan.

Adapun terkait jogetnya seorang wanita, maka ini sudah jelas keharamannya. Maka seyogyanya menjaga adab ketika bersholawat, gerakan badan jangan sampai mengotori sucinya majlis dzikir. 

Demikian jawaban atas pertanyaan apakah boleh bersholawat sambil joget? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Doa Bersin Saat Sedang Sendirian

Berikut ini artikel tentang doa bersin saat sedang sendirian. Ketika kita bersin, adakalanya kita bersama orang lain dan adakalanya kita sedang sendirian. Ketika kita bersin dan kebetulan bersama dengan orang lain, maka kita dianjurkan untuk membaca hamdalah dengan suara keras dan orang yang berada di samping kita dianjurkan untuk menjawabnya dengan bacaan ‘yarhamukallah’.

Dan apabila kita bersin saat dalam keadaan sendirian, maka kita dianjurkan untuk membaca hamdalah sekaligus mendoakan rahmat untuk seluruh malaikat dan makhluk yang mungkin mendengar bersin kita. 

Adapun bacaan hamdalah dan doa saat bersin dalam keadaan sendirian adalah sebagai berikut;

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ  يَرْحَمُنَا اللهُ وَاِيَّاكُمْ

Alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin, yarhamunalloohu wa iyyaakum

Artinya; segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah merahmati kami dan kalian semua. 

Ketika kita membaca hamdalah dan doa ini saat kita bersin dalam keadaan sendirian, maka seluruh makhluk yang mendengar doa ini, terutama dari kalangan para malaikat, akan mendoakan balik kepada kita. Ini berdasarkan hadis yang disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf-nya berikut;

حدثنا ابو الاحوص عن حصين عن ابراهيم قال: اذا عطس وهو وحده فليقل: الحمد لله رب العالمين ثم ليقل يرحمنا الله واياكم فانه يشمته من سمعه من خلق الله 

Artinya; Abu Al-Ahwas menceritakan kepada kami, dari Hushain, dari Ibrahim, dia berkata; Apabila seseorang bersin saat sedang dalam keadaan sendirian, maka hendaknya dia mengucapkan; 

Alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin. Kemudian dia lanjut mengucapkan ‘Yarhamunalloohu wa iyyaakum. Sesungguhnya seluruh makhluk Allah yang mendengarnya mendoakannya.

Lebih lanjut,  dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, setelah bersin dianjurkan membaca doa;

مَنْ تَكَرَّرَ عُطَاسُهُ فَزَادَ عَلَى الثَّلاَثِ فَإِنَّهُ لاَ يُشَمَّتُ فِيمَا زَادَ عَنْهَا؛ إِذْ هُوَ بِمَا زَادَ عَنْهَامَزْكُومٌ. فَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأْكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: شَمَّتَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاً عَطَسَ مَرَّتَيْنِ بِقَوْلِهِ: يَرْحَمُكَ اللَّهُ ثُمَّ قَال عَنْهُ فِي الثَّالِثَةِ: هَذَا رَجُلٌ مَزْكُومٌ. وَذَكَرَ ابْنُ دَقِيقِ الْعِيدِ عَنْ بَعْضِ الشَّافِعِيَّةِ أَنَّهُ قَال: يُكَرَّرُ التَّشْمِيتُ إِذَا تَكَرَّرَ الْعُطَاسُ، إِلاَّ أَنْ يُعْرَفَ أَنَّهُ مَزْكُومٌ فَيَدْعُوَ لَهُ بِالشِّفَاءِ

Artinya; Barangsiapa bersin berungkali sampai lebih dari tiga kali, maka bersin yang lebih dari tiga kali tidak perlu ditasymit atau didoakan dengan ucapan yarhamukallah. Ini karena bersin yang lebih dari tiga kali disebut sakit flu atau demam.

Dari Salamah bin Al-Akwa’, dia berkata; Rasulullah Saw mendoakan orang yang bersin dua kali dengan doa ‘yarhamukallah’. Kemudian ketika dia bersin untuk ketiga kalinya, beliau berkata; Ini orang terkena flu. Imam Ibn Daqiq Al-‘Id menyebutkan dari sebagian ulama Syafiiyah mengatakan bahwa dianjurkan tasymit setiap kali bersin kecuali sudah diketahui terkena flu, maka didoakan agar sembuh.

Demikian doa bersin saat sedang sendirian. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Mereka adalah Orang-Orang yang Khusyuk dalam Salat (Bag. 2)

Renungan ketika rukuk dan iktidal

Zikir salat yang paling afdal adalah zikir-zikir yang dibaca ketika berdiri. Adapun posisi yang paling baik adalah ketika dalam posisi berdiri. Ketika berdiri tersebut, dikhususkan dengan membaca pujian, sanjungan untuk Allah Ta’ala, juga membaca kalam Allah Ta’ala (Al-Qur’an). Oleh karena itu, terlarang membaca Al-Qur’an ketika rukuk dan sujud. Karena dua posisi tersebut adalah posisi yang menunjukkan kehinaan, perendahan diri, dan ketundukan. Oleh karena itu, dalam rukuk dan sujud tersebut disyariatkan zikir yang selaras dengan posisi tersebut. Sehingga dalam posisi rukuk tersebut disyariatkan untuk menyebutkan keagungan Allah Ta’ala, bahwa Allah Ta’ala disifati dengan sifat-sifat yang menunjukkan keagungan dan kebesaran.

Zikir paling utama yang dibaca ketika rukuk adalah,

سبحان ربي العظيم

Mahasuci Allah, Zat Yang Mahaagung.”

Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk membaca zikir tersebut. Ketika turun ayat,

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ

“fasabbih bismirabbikal ‘adzim”

“(maka sucikanlah dengan nama Rabb-mu yang Mahaagung).” (QS. Al-Waqi’ah: 74)

Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اجْعَلُوهَا فِي رُكُوعِكُمْ

Jadikanlah sebagai bacaan rukuk kalian.” (HR. Ahmad no. 17414, Abu Dawud no. 869, dinilai dha’if oleh Al-Albani dalam Dha’if Abu Dawud no. 152)

Ringkasnya, rahasia rukuk adalah pengagungan Allah Ta’ala, baik dengan hati, ucapan, maupun perbuatan anggota badan. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ

Adapun ketika rukuk, agungkanlah Rabb kalian.” (HR. Muslim no. 479)

Kemudian dia mengangkat kepalanya untuk kembali ke posisi yang paling sempurna, yaitu posisi berdiri. Syiar dalam posisi ini (yaitu posisi iktidal) adalah pujian dan sanjungan untuk Allah Ta’ala. Syiar ini dimulai dengan ucapan,

سمِعَ اللهُ لِمَن حمِدَه

“sami’allahu liman hamidahu”

“(Allah mendengar orang yang memujinya.)”

Yaitu, “mendengar” dalam arti “mengabulkan permohonan (doa)”. Kemudian dia pun melengkapi bacaan tersebut dengan mengucapkan,

ربَّنا ولك الحمدُ، مِلْءَ السَّمواتِ، والأرضِ، ومِلْءَ ما بينهما، ومِلْءَ ما شِئتَ مِن شيءٍ بعدُ

“Rabbana wa lakal hamdu, mil’as samawati wal-ardhi, wa mil’a ma bainahuma, wa mil’a ma syi’ta min syai’in ba’du.”

“(Wahai Rabb kami dan segala puji bagi-Mu, pujian sepenuh langit dan bumi, sepenuh di antara langit dan bumi, dan sepenuh apa yang Engkau inginkan lebih dari itu semua.)”

Dan janganlah kita melalaikan untuk membaca huruf “و” ketika mengucapkan,

ربَّنا ولك الحمدُ

Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan hal tersebut dalam Ash-Shahihain. (HR. Bukhari no. 689 dan Muslim no. 411)

Huruf “و” tersebut menjadikan kalimat itu menjadi dua kalimat yang berdiri sendiri. Pada kalimat “ربَّنا” terkandung makna, “Engkaulah Rabbku, yang Maha berdiri sendiri, yang semua urusan berada di tangan-Nya, dan hanya kepada-Nyalah semua akan kembali.” Makna ini sesuai dengan kalimat selanjutnya, yaitu “ولك الحمدُ”.

Kemudian, kalimat zikir setelahnya menunjukkan bagaimanakah pujian dan keagungan Allah Ta’ala tersebut,

مِلْءَ السَّمواتِ، والأرضِ، ومِلْءَ ما بينهما، ومِلْءَ ما شِئتَ مِن شيءٍ بعدُ

… pujian sepenuh langit dan bumi, sepenuh di antara langit dan bumi, dan sepenuh apa yang Engkau inginkan lebih dari itu semua …

Yaitu, bahwa pujian tersebut sepenuh alam atas (langit), alam bawah (bumi), dan alam di antara langit dan bumi. Maka, pujian untuk Allah Ta’ala itu sepenuh makhluk yang ada, yaitu sepenuh makhluk yang telah Allah Ta’ala ciptakan dengan kehendak-Nya. Pujian untuk Allah Ta’ala itu memenuhi semua makhluk yang telah dan yang akan diciptakan.

Setelah zikir tersebut, terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menambahkan bacaan berikut ini,

أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Yang berhak atas segala pujian dan keagungan. Tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang dapat memberikan apa yang Engkau halangi. Dan tiada berguna kekuasaan bagi orang yang memilikinya atas siksa-Mu.” (HR. Muslim no. 471)

Pada kalimat “أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ” menunjukkan kembali permulaan rakaat salat, yaitu berupa pujian dan sanjungan untuk Allah Ta’ala.

Kemudian pada kalimat,

لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga membacanya ketika selesai salat. Sehingga pada dua kondisi (keadaan) ini, terkandung pengakuan terhadap tauhid, yaitu bahwa semua nikmat berada di tangan-Nya. Terdapat beberapa kandungan dari kalimat ini, yaitu:

Pertama, Allah Ta’ala adalah satu-satunya Zat yang memberi dan menahan nikmat.

Kedua, jika Allah Ta’ala ingin memberi, tidak ada satu pun makhluk yang mampu mencegahnya. Sebaliknya, jika Allah Ta’ala menahan (tidak memberikan) nikmat, tidak ada satu pun makhluk yang mampu memberinya.

Ketiga, kekuasaan, kepemimpinan, dan kekayaan seseorang tidaklah bermanfaat dan tidak mampu menyelamatkan seseorang dari azab Allah Ta’ala. Yang bermanfaat hanyalah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya.

Renungan ketika sujud

Kemudian kita bertakbir dan tersungkur di hadapan Allah Ta’ala dengan bersujud kepada-Nya. Disyariatkanlah sujud dalam kondisi yang paling sempurna, keadaan yang paling menunjukkan penghambaan diri kepada Allah Ta’ala, ketika setiap anggota badan memiliki porsi masing-masing dalam bentuk penghambaan diri (‘ubudiyyah) ini.

Sujud adalah rahasia salat, rukun salat yang paling agung, dan juga penutup setiap rakaat salat. Rukun-rukun salat sebelumnya seperti muqaddimah (pendahuluan) sebelum rukun yang paling agung ini. Oleh karena itu, keadaan yang paling mendekatkan seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika dia bersujud. Sehingga tidaklah mengherankan jika doa dalam kondisi tersebut memiliki peluang yang besar untuk dikabulkan oleh Allah Ta’ala.

Ketika Allah Ta’ala menciptakan manusia dari tanah, maka sudah selayaknya manusia kembali ke asal penciptaannya. Akan tetapi, tabiat manusia akan mengajak manusia tersebut untuk sombong dan tidak mau kembali ke asal usul penciptaannya. Oleh karena itu, manusia pun diperintahkan untuk bersujud kepada Allah Ta’ala dengan khusyuk, sebagai bentuk ketundukan, perendahan, dan penghinaan diri kepada Penciptanya. Kekhusyukan, ketundukan, dan perendahan diri ini telah mencakup semua makna ‘ubudiyyah (penghambaan diri kepada Allah Ta’ala), dan sebagai koreksi atas berbagai bentuk kelalaian dan berpalingnya seseorang dari asal usul penciptaannya.

Dia meletakkan bagian tubuhnya yang paling mulia, yaitu wajah, ke tanah yang dia diciptakan darinya. Sehingga jadilah bagian tubuhnya yang paling atas menjadi yang paling bawah, karena tunduk di hadapan Allah Ta’ala yang Mahaagung. Allah Ta’ala menciptakannya dari tanah yang merupakan tempat yang hina karena tempat berpijaknya telapak kaki. Dia pun akan kembali ke tanah, dan keluar darinya ketika hari kebangkitan.

Kesimpulannya, sujud adalah puncak kekhusyukan secara lahiriah. Juga mengumpulkan semua bentuk penghambaan (‘ubudiyyah) yang dilakukan oleh anggota badan.

Lanjut ke bagian 3: [Bersambung]

***

@Rumah Kasongan, 4 Muharram 1445/ 22 Juli 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Ta’zhim Ash-Shalaat hal. 94-98, karya Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434, penerbit Dar Al-Imam Muslim, Madinah KSA.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86601-mereka-adalah-orang-orang-yang-khusyuk-dalam-salat-bag-2.html

Mereka adalah Orang-Orang yang Khusyuk dalam Salat (Bag. 1)

Di antara petunjuk dari Allah Ta’ala adalah dengan menyebutkan hamba-hamba-Nya yang beriman, keberuntungan dan kebahagiaan mereka, dan juga sarana-sarana yang bisa mewujudkan hal tersebut. Terkandung dalam petunjuk itu adalah agar kita termotivasi untuk memiliki sifat (karakter) sebagaimana sifat yang mereka miliki. Sifat pertama dan utama dari sifat-sifat tersebut adalah khusyuk dalam salat.

Pengertian khusyuk

Khusyuk adalah menghadirkan hati ketika menghadap Allah Ta’ala dan mendekatkan diri kepada-Nya. Sehingga hati, jiwa, dan gerakan anggota badan pun menjadi tenang, tidak berpaling memikirkan hal-hal lainnya, dan menjaga adab ketika menghadap Rabb-Nya. Dia merenungi semua ucapan (zikir dan doa) dan juga gerakan dalam salat, sejak awal hingga akhir salat. Dengan sebab itu, hilanglah was-was dan pikiran-pikiran yang tidak berguna selama mendirikan salat. Inilah ruh dan inti salat, dan juga menjadi tujuan dari ibadah salat. Inilah salat yang dicatat pahala untuk orang yang mendirikannya. Salat yang tidak diiringi dengan khusyuk dan juga disertai dengan hati yang lalai itu bagaikan jasad yang tidak memiliki ruh.

Terdapat berbagai keajaiban dari nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala (yang diucapkan atau dibaca ketika salat) yang apabila direnungkan bisa mewujudkan khusyuk dalam salat. Namun hal itu tidaklah bisa terwujud, kecuali bagi orang-orang yang hatinya mengetahui makna-makna yang terkandung dalam Alquran dan hatinya tersebut juga telah merasakan manisnya keimanan. Sehingga dia pun benar-benar mengetahui bahwa setiap nama dan sifat Allah Ta’ala dalam setiap bacaan salat itu sesuai dengan tempatnya masing-masing.

Renungan ketika takbir dan membaca doa istiftah

Ketika seseorang berdiri menghadap Allah Ta’ala, dia hadirkan dalam hatinya bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat Yang Maha berdiri sendiri (al-qayyuum). Ketika dia mengucapkan takbir (Allahu akbar), dia mempersaksikan kebesaran dan keagungan Allah Ta’ala.

Kemudian dia membaca doa istiftah berikut ini,

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ تَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

“Maha suci Engkau, ya Allah. Aku sucikan nama-Mu dengan memuji-Mu. Nama-Mu penuh berkah. Maha tinggi Engkau. Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Engkau.”

Dia mempersaksikan dengan hatinya bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb (Tuhan) yang tersucikan dari semua aib dan tidak memiliki sifat-sifat kekurangan. Allah Ta’ala berhak dipuji dengan semua pujian yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Dalam pujian untuk Allah Ta’ala terkandung sifat kesempurnaan untuk Allah Ta’ala dari semua sisi. Konsekuensinya, Allah Ta’ala itu tersucikan dari semua sifat cela (aib) dan kekurangan.

Nama-Mu penuh keberkahan; tidaklah nama Allah Ta’ala disebut untuk sesuatu yang jumlahnya sedikit, kecuali Allah Ta’ala akan memperbanyak jumlahnya. Tidaklah nama Allah Ta’ala disebut untuk kebaikan, kecuali Allah Ta’ala akan menambah dan memberikan keberkahan pada perkara tersebut. Tidaklah nama Allah Ta’ala disebut untuk suatu penyakit, kecuali Allah Ta’ala akan menghilangkannya. Tidaklah nama Allah Ta’ala disebut kecuali setan akan terusir dengan hina dina.

Maha tinggi Engkau; Allah Maha tinggi dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Allah Maha tinggi sehingga tidak mungkin menerima sekutu dalam kerajaan-Nya, dalam rububiyyah, uluhiyyah, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya.

Renungan ketika membaca doa taawuz

Ketika seorang hamba mengucapkan,

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk”; dia memohon perlindungan dengan kekuatan Allah Ta’ala, dia bersandar dengan daya dan kekuatan Allah Ta’ala agar terhindar dari kejahatan musuh (setan) yang berusaha untuk mengganggu dan menjauhkan dirinya dari ibadah dan mendekatkan diri kepada Rabbnya.

Renungan ketika membaca surat Al-Fatihah

Ketika seorang hamba mengucapkan,

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam”; dia pun berdiri sejenak menunggu jawaban dari Rabbnya,

حَمِدَنِي عَبْدِي

“Hamba-Ku memujiku.”

Ketika seorang hamba mengucapkan,

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”; dia pun berdiri sejenak menunggu jawaban dari Rabbnya,

أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي

“Hamba-Ku menyanjungku.” (Sanjungan yaitu pujian yang berulang-ulang, pent.)

Ketika seorang hamba mengucapkan,

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

“Yang menguasai hari pembalasan”; dia pun berdiri sejenak menunggu jawaban dari Rabbnya,

مَجَّدَنِي عَبْدِي

Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memuliakanku.”

Betapa lezat kenikmatan yang dirasakan oleh hatinya, kesejukan (kedamaian) yang dirasakan oleh matanya, dan juga kebahagiaan yang dirasakan oleh jiwanya, dengan perkataan Rabbnya,

عَبْدِي

“Hamba-Ku”, sebanyak tiga kali (HR. Muslim no. 395).

Demi Allah, seandainya dalam hati manusia itu tidak ada kabut syahwat dan gelapnya jiwa, tentu hati tersebut akan terliputi dengan kebahagiaan dan kegembiraan ketika Rabbnya mengatakan kepadanya dengan perkataan-perkataan seperti tersebut dalam hadis di atas.

Kemudian hatinya pun berusaha untuk menghadirkan tiga nama Allah Ta’ala, yang merupakan inti dari asmaaul husnaa, yaitu nama “Allah” (الله); “Ar-Rabb” (الرب); dan nama “Ar-Rahman” (الرحمن).

Ketika menyebut nama “Allah” (الله), dia mempersaksikan bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang berhak untuk diibadahi. Ibadah tersebut tidaklah layak ditujukan kepada selain Allah Ta’ala. Semua makhluk tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ

Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka(QS. Al-Isra’ [17]: 44).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلٌّ لَّهُ قَانِتُونَ

Dan kepunyaan-Nyalah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Semuanya tunduk hanya kepada-Nya(QS. Ar-Ruum [30]: 26).

Ketika menyebut “Rabbul ‘alamiin” (رَبِّ الْعَالَمِينَ), dia mempersaksikan bahwa Allah adalah Dzat yang Maha berdiri sendiri, tidak membutuhkan satu pun makhluk, bahkan semua makhluk butuh kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala tinggi di atas ‘arsy-Nya. Allah Ta’ala satu-satunya Dzat yang mengurusi dan memelihara makhluk-Nya. Semua urusan ada di tangan-Nya. Semua pengaturan dan pemeliharaan tersebut berasal dari Allah Ta’ala, melalui perantaraan malaikat yang bertugas untuk memberi atau mencegah (rizki), menundukkan atau memuliakan, menghidupkan atau mematikan, memberikan kekuasaan atau menimpakan kehinaan, mengangkat semua kesulitan (musibah), dan mengabulkan doa orang-orang yang membutuhkan.

Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ

Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan(QS. Ar-Rahman [55]: 29).

Ketika menyebut nama “Ar-Rahman” (الرحمن), dia mempersaksikan bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang telah berbuat baik kepadanya dengan memberikan berbagai macam nikmat dan kebaikan. Ilmu dan rahmat-Nya meliputi semua makhluk-Nya. Nikmat-Nya meliputi semua makhluk-Nya. Allah Ta’ala meliputi makhluk dengan segala nikmat dan keutamaan-Nya. Allah Ta’ala istiwa’ di atas ‘arsy dengan rahmat-Nya, Allah Ta’ala menciptakan makhluk dengan rahmat-Nya, menurunkan kitab-kitab dengan rahmat-Nya, mengutus rasul dengan rahmat-Nya, membuat aturan syariat dengan rahmat-Nya, menciptakan surga dan neraka juga dengan rahmat-Nya.

Renungkanlah bahwa dalam perintah, larangan, dan wasiat-Nya terdapat kasih sayang yang sempurna dan kenikmatan yang banyak. Rahmat (kasih sayang) adalah sebab yang menghubungkan Allah Ta’ala dengan hamba-Nya. Sebaliknya, ‘ubudiyyah (ibadah) adalah sebab dan sarana yang mengantarkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala.

Dan termasuk rahmat-Nya yang bersifat khusus adalah rahmat-Nya sehingga dia bisa berdiri (salat) menghadap Rabbnya. Allah Ta’ala menjadikan dirinya sebagai hamba yang bisa mendekatkan diri dan bermunajat kepada-Nya. Allah Ta’ala memberikan nikmat tersebut kepada dirinya dan tidak kepada yang lainnya. Dia juga bisa menghadirkan hatinya untuk menghadap Allah Ta’ala dan berpaling dari selain Allah Ta’ala. Itu semua termasuk perwujudan kasih sayang Allah Ta’ala kepada dirinya.

Lalu dia pun membaca,

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

Yang menguasai hari pembalasan(QS. Al-Fatihah [1]: 4).

Ketika seseorang mengucapkan ayat tersebut, dia bersaksi tentang kemuliaan Allah Ta’ala sebagai Raja yang haq. Dia bersaksi bahwa Allah adalah Raja yang Maha kuasa. Makhluk benar-benar tunduk kepada-Nya dan segala macam kekuatan tunduk pula kepada keperkasaan-Nya. Dia bersaksi di dalam hatinya bahwa Allah adalah Raja yang Maha mengawasi yang ber-istiwa’ di atas ‘arsy.  Raja dan penguasa yang haq dan sempurna, pasti adalah Dzat yang maha hidup, maha berdiri sendiri, maha mendengar, maha melihat, dan maha memelihara.

Kemudian sampailah dia dengan ayat,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan(QS. Al-Fatihah [1]: 5).

Dalam ayat ini, terkandung tujuan yang paling utama dan juga sarana yang paling agung untuk meraih tujuan paling mulia tersebut. Tujuan paling utama dalam hidup ini adalah untuk menegakkan ‘ubudiyyah kepada Allah Ta’ala. Sedangkan sarana terbesar untuk bisa menegakkan ‘ubudiyyah tersebut adalah adanya pertolongan dari Allah Ta’ala. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Ta’ala semata. Tidak ada yang memberikan pertolongan untuk beribadah kepada-Nya kecuali Allah Ta’ala saja.

Kalimat ini mengandung dua macam tauhid, yaitu tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah. ‘Ubudiyyah tersebut dikandung oleh nama Allah Ta’alaAr-Rabb” dan “Allah”. Allah Ta’ala diibadahi karena memiliki hak uluhiyyah, dan Allah Ta’ala dimintai pertolongan karena sifat rububiyyah-Nya. Allah Ta’ala memberikan hidayah (petunjuk) ke jalan yang lurus dengan sebab rahmat-Nya. Oleh karena itu, di awal surat disebutkan nama “Allah”, “Ar-Rabb”, dan “Ar-Rahman” yang ini bersesuaian dengan permintaan untuk bisa beribadah kepada-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, dan meminta hidayah kepada-Nya.

Dia-lah satu-satunya Dzat yang memiliki kekuasaan untuk memberikan itu semuanya. Tidak ada yang bisa membantunya untuk beribadah kepada Allah kecuali Allah Ta’ala, dan tidak ada yang bisa memberikan hidayah kecuali Allah Ta’ala saja.

Kemudian seseorang mengucapkan,

اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus(QS. Al-Fatihah [1]: 6).

Hatinya hadir dan menunjukkan bahwa dia sangat butuh dan urgen (mendesak) untuk meminta hidayah tersebut. Seakan-akan tidak ada perkara lain yang lebih dia butuhkan melebihi permintaan hidayah tersebut. Hidayah itu dibutuhkan oleh setiap jiwa dalam setiap kesempatan. Apa yang kita minta dalam doa tersebut tidaklah terwujud kecuali kita mendapatkan hidayah untuk bisa meniti jalan yang lurus menuju Allah Ta’ala. Kita mendapatkan taufik untuk mewujudkan hidayah tersebut sesuai dengan yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala, dan juga menjaganya dari hal-hal yang bisa merusaknya.

Kemudian jelaslah bahwa orang-orang yang mendapatkan hidayah tersebut adalah orang-orang yang memang mendapatkan nikmat dan karunia dari Allah Ta’ala. Bukan orang-orang yang dimurkai (غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ), yaitu orang-orang yang mengetahui kebenaran (al-haq) namun tidak mau mengikuti kebenaran tersebut. Bukan pula orang-orang yang sesat (وَلاَ الضَّالِّينَ), yaitu orang-orang yang beribadah kepada Allah Ta’ala tanpa dasar ilmu. Dua kelompok tersebut sama-sama berserikat dalam hal berkata tentang Allah, tentang ciptaan, perintah, nama, dan sifat-Nya namun tanpa ilmu. Adapun jalan orang-orang yang mendapatkan nikmat tersebut berbeda dengan dua kelompok tersebut, baik dari sisi ilmu dan amal.

Ketika dia selesai dari pujian, doa, dan juga tauhid yang terkandung dalam surat Al-Fatihah, disyariatkan baginya untuk mengucapkan “aamiin”, sebagai penutup dan juga diiringi oleh malaikat yang ada di langit. Ucapan “aamiin” ini merupakan perhiasan salat, sebagaimana mengangkat dua tangan juga merupakan perhiasan salat, dan juga bentuk mengikuti sunah, mengagungkan perintah Allah, dan juga sebagai syiar berpindah dari satu rukun ke rukun yang lain.

***

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Ta’zhiim Ash-Shalaat hal. 89-94, karya Syekh  ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434, penerbit Daar Al-Imam Muslim, Madinah KSA.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/60553-mereka-adalah-orang-orang-yang-khusyuk-dalam-salat-bag-1.html

Allah Maha Menutupi Aib Hamba-Nya

Makna nama Allah As-Sittiir

Di antara nama Allah adalah As-Sittiir. Nama ini terdapat penetapannya dalam hadis yang shahih, dikisahkan oleh sahabat Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ رَأَى رَجُلاً يَغْتَسِلُ بِالْبَرَازِ بِلاَ إِزَارٍ فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ 

 إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِىٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ  

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seseorang mandi di tempat terbuka tanpa mengenakan kain  penutup. Beliau pun naik mimbar, lalu memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda, ‘Sesungguhnya Allah Hayiyun (Yang Mahamalu), Sittir (Yang Maha Menutupi). Allah mencintai sifat malu dan sifat menutupi. Jika seseorang di antara kalian mandi, maka hendaklah dia menutupi dirinya dari pandangan orang lain.“ (HR. Abu Dawud, shahih)

Kata  (سِتِّيرٌ) bisa dibaca dengan mengkasrah huruf sin dan huruf ta’ dikasrah dengan tasydid (As-Sittiir) atau bisa dibaca juga dengan  memfathah huruf sin dan mengkasrah huruf ta’ tanpa tasdid (As-Satiir).

Al-Baihaqi rahimahullah menjelaskan, “Allah As-Sittiir (سِتِّيرٌ) maksudnya adalah Dia banyak menutupi aib hamba-hamba-Nya dan tidak menampakkannya di hadapan manusia lain. Demikian pula, Allah Ta’ala menyukai para hamba yang menutup aib mereka sendiri dan meninggalkan hal-hal yang menghinakan dirinya sendiri. Allahu a’lam.“ (Dinukil dari An-Nahju Al-Asmaa’)

Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan makna nama Allah ini dalam bait-bait Nuniyyah-nya,

وَهُوَ الْحَيِيُّ فَلَيْسَ يَفْضَحُ عَبْدَهُ      عِنْدَ التَّجَاهُرِ مِنْهُ بِالْعِصْيَانِ

لَكِنَّهُ يُلْقِي عَلَيْهِ سِتْرَهُ       فَهُوَ السِّتِّيْرُ وَصَاحِبُ اْلغُفْرَانِ

“Dan Dialah Al-Hayiyyu (Yang Maha Pemalu), Dia tidak akan membuka aib hamba-Nya saat hamba tersebut terang-terangan dalam bermaksiat.

Namun, Dia justru melemparkan tirai penutupnya, dan Dialah As-Sittiir (Yang Maha Menutupi) dan mampu memberikan ampunan.” (Dinukil dari An-Nahju Al-Asmaa’)

Allah tidak menyukai orang yang menampakkan kemaksiatan

Allah menyukai menutup aib hamba-Nya apabila berbuat dosa dan Allah tidak suka dengan hamba yang membeberkan aibnya sendiri. Bahkan, Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang sengaja menampakkan dan terang-terangan dalam melakukan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

“Setiap ummatku dimaafkan, kecuali orang yang terang-terangan dalam bermaksiat. Sesungguhnya, termasuk menampakkan kemaksiatan adalah seseorang berbuat suatu perbuatan maksiat di malam hari kemudian di pagi harinya dia menceritakan perbuatannya tersebut, padahal Allah sendiri telah menutupinya. Dia mengatakan, ‘Hai Fulan! Tadi malam saya berbuat demikian dan demikian.’ Sepanjang malam Tuhannya telah menutupi aibnya, tetapi ketika pagi hari dia justru membuka penutup yang telah Allah tutupkan padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah Ta’ala juga berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ 

“Sesungguhnya, orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur: 19)

Allah menutup aib hamba di dunia dan di akhirat

Apabila seorang mukmin terjatuh dalam perbuatan dosa, hendaknya dia berusaha menutupinya dan tidak membeberkan aibnya. Allah Ta’ala akan menutupinya dengan sebab-sebab yang telah Dia siapkan. Setelah itu, Allah Ta’ala akan memaafkan dan mengampuninya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Ibnu ‘Umar radhiyalllahu ‘anhuma,

إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُوْلُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mendekatkan seorang mukmin kepada-Nya, lalu Allah menutupkan untuk hamba tersebut penutup-Nya. Allah bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu mengetahui dosa ini? Apakah kamu juga mengetahui dosa ini?’ Hamba itu pun mengatakan, ‘Ya, wahai Rabbku.’ Sampai kemudian ketika Allah Ta’ala meminta dia agar mengakui dosanya dan dia pun menyangka dirinya akan celaka, maka Allah Ta’ala mengatakan kepadanya, ‘Aku telah tutup dosa itu padamu di dunia, dan pada hari ini Aku ampuni dosamu.’” (HR. Bukhari)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  juga bersabda,

لاَ يَسْتُرُ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ فِى الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Jika Allah menutupi dosa seorang hamba di dunia, maka Allah akan menutupinya pula pada hari kiamat kelak.” (HR. Muslim)

Hal ini menunjukkan kabar gembira bagi orang beriman, bahwasanya barangsiapa yang Allah tutup aibnya di dunia, maka ini merupakan pertanda bahwa Dia pun akan menutup aibnya kelak di akhirat.

Jangan mengumbar aib orang lain

Selain menutup aib sendiri, hendaknya kita juga memiliki sifat agar tidak membuka dan membeberkan aib orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Tidaklah seorang hamba menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat nanti.” (HR. Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

“Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat.” (HR Muslim)

Bahkan, Nabi secara khusus melarang untuk mencari-cari dan membuka aib orang lain sebagaimana disebutkan dalam hadis,

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتاَبوُا الـْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تَتَّبِـعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَوْرَاتِهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya dan iman itu belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian berbuat ghibah kepada kaum muslimin dan janganlah mencari-cari aurat (aib) mereka! Karena siapa saja yang suka mencari-cari aib kaum muslimin, maka Allah pun akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang dicari-cari aibnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya di dalam rumahnya (walaupun ia tersembunyi dari manusia).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, hasan shahih)

Berdoa memohon agar Allah menutup aib kita 

Hendaknya kita pun banyak berdoa kepada Allah agar Allah menutup aib dan dosa kita. Di antara yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan adalah membaca doa berikut ini sekali setiap pagi dan setiap petang,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ الْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَتِي، وَآمِنْ رَوْعَاتِي…

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon maaf serta keselamatan di dunia dan di akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon maaf dan keselamatan dalam agama, dunia, keluarga, dan harta bendaku. Ya Allah, tutupilah auratku …” (HR. Abu Dawud, shahih)

Syekh ‘Abdurrozzaq hafidzahullah menjelaskan bahwa dalam doa di atas terdapat permohonan agar aurat kita senantiasa ditutupi Allah, baik aurat yang sifatnya fisik maupun non fisik. Aurat fisik adalah bagian tubuh yang tidak boleh ditampakkan kepada orang lain. Bagi kaum wanita adalah seluruh badannya, sedangkan aurat laki-laki adalah antara lutut hingga pusar. Adapun aurat non fisik adalah aib, kekurangan, dan setiap perbuatan yang jelek apabila ditampakkan. Kita memohon agar kedua jenis aurat tersebut selalu ditutupi Allah Ta’ala.

Kita berdoa semoga Allah Ta’ala senantiasa menutup aib-aib kita dan mengampuni dosa-dosa kita.

***

Penulis: Adika Mianoki

Referensi:

Fiqhu Al-Asmaai Al-Husna karya Syekh ‘Abdurrozzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr

An-Nahju Al-Asmaa’ fii Syarhi Asmaaillahi Al-Husna karya Syekh Muhmmad Al-Humuud An-Najdy

Syarhu Asmaaillahi Al-Husna fii Dhoui Al-Kitabi wa As-Sunnati karya Syekh Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahtany

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81266-allah-maha-menutupi-aib-hamba-nya.html

Kerugian Akibat Judi Slot Mencapai Rp27 Triliun, Korban Banyak Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menyebut, judi online bisa merugikan masyarakat hingga Rp27 triliun per tahun. Korban yang diincar adalah masyarakat berpenghasilan rendah hingga anak-anak.

“Jadi menurut laporan dan data yang kami dapat, satu situs namanya Higgs Domino Island itu bahkan perputaran uangnya bisa mencapai Rp2,2 triliun per bulan. Berarti setahun bisa sampai sekitar Rp27 triliun, itu untuk satu situs saja,” ungkap Budi Arie dalam Konferensi Pers ‘Update terkait Pemberantasan Judi Online’ di kantornya, Selasa (8/8/2023).

“Yang lebih menyedihkan itu yang menjadi korban adalah masyarakat kecil. Bayangin sehari Rp30 ribu judi slot, sebulan berapa? Rp900 ribu, dan korbannya juga sampai ke anak-anak kecil. Jadi rakyat sangat dirugikan, kasihan, lah,” ujarnya menambahkan.

Berkaca dari hal itu, Kementerian Kominfo saat ini fokus mencegah hingga memberantas konten judi slot pada situs web maupun aplikasi. Harapannya, jumlah korban bisa ditekan.

Budi mengungkapkan, dalam kurun waktu tiga minggu mengemban tugas sebagai Menteri Kominfo, pihaknya telah menutup akses 42.622 konten dan aplikasi judi online di ruang digital. Pihaknya juga akan berkoordinasi dengan kepolisian untuk mempersempit ruang gerak kegiatan judi online tersebut.

“Sebagai langkah konkret, saya juga akan segera secepat-cepatnya berkoordinasi dengan Bapak Kapolri untuk mendukung proses penindakan hukum pelaku perjudian online. Baik pengembang, bandar, sponsor, pihak yang mempromosikan maupun pihak-pihak belakang kegiatan perjudian online yang beroperasi di Indonesia,” ucapnya.*

HIDAYATULLAH