Mengapa haram puasa di hari tasyrik? Hari Tasyrik mengacu pada periode tiga hari setelah Hari Raya Idul Adha. Idul Adha adalah salah satu perayaan Islam yang dirayakan setiap tahun pada tanggal 10 Dzulhijjah dalam kalender Hijriah. Tasyrik dimulai pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Hari Tasyrik memiliki makna penting bagi umat Muslim yang telah melaksanakan ibadah haji di Makkah. Selama tiga hari tersebut, mereka melakukan ritus pelemparan jumrah di Mina, dekat Makkah. Jumrah adalah tindakan melempar tujuh kerikil ke tiga tiang yang melambangkan Iblis. Ritual ini mengingat perjuangan Nabi Ibrahim ketika dia ditantang oleh Iblis untuk tidak mengorbankan putranya atas perintah Allah.
Di hari tasyrik diharamkan untuk melaksanakan puasa. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah;
Artinya, “(Demikian juga hari tasyrik), yaitu tiga hari setelah Idhul Adha karena larangan puasa pada hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad sahih dan pada hadits riwayat Muslim, ‘Bahwa itu semua adalah hari makan, minum, dan zikir kepada Allah swt,’” (Syekh Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz V, halaman 314).
Mengapa Haram Puasa di Hari Tasyrik?
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa puasa di hari Tasyrik diharamkan. Pertama, hari-hari Tasyrik adalah waktu yang disyukuri oleh umat Muslim atas kesuksesan menunaikan ibadah haji. Selama tiga hari ini, umat Muslim di Mekah dan sekitarnya melakukan ritual penyembelihan hewan kurban sebagai bagian dari perayaan Iduladha.
Ritual ini merupakan salah satu rukun haji dan memiliki makna penting dalam meningkatkan kesadaran akan pengorbanan dan ketaatan kepada Allah. Dalam konteks ini, puasa di hari Tasyrik dianggap mengurangi nilai perayaan dan kesyukuran yang seharusnya dirasakan oleh umat Muslim.
Kedua, puasa di hari Tasyrik juga diharamkan untuk memberikan kesempatan kepada umat Muslim untuk merasakan kenikmatan dan rezeki dari hasil penyembelihan hewan kurban. Dalam Islam, dianjurkan bagi umat Muslim yang mampu untuk berbagi daging kurban kepada orang-orang yang membutuhkan.
Dengan mengonsumsi daging kurban, umat Muslim berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan menguatkan tali persaudaraan antara sesama Muslim. Dengan tidak berpuasa di hari Tasyrik, umat Muslim diberikan kesempatan untuk menikmati dan membagikan rezeki yang Allah berikan kepada mereka.
Hal ini sebagaimana dijelaskan Syekh Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz V, halaman 314 bahwa hari tasyrik adalah hari makan, minum, dan zikir pada Allah. Ia berkata;
Artinya, “(Demikian juga hari tasyrik), yaitu tiga hari setelah Idhul Adha karena larangan puasa pada hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad sahih dan pada hadits riwayat Muslim, ‘Bahwa itu semua adalah hari makan, minum, dan zikir kepada Allah swt,”
Demikian penjelasan mengapa haram puasa di hari tasyrik? Semoga bermanfaat.
PPIH Arab Saudi bersiap untuk menyambut puncak haji
Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Daerah Kerja (Daker) Makkah menggelar istighosah di Mushola Daker Makkah pada Sabtu (24/6/2023) malam. Istighasah digelar menjelang puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armuzna).
Kepala Daker Makkah, Khalilurrahman mengatakan, PPIH Daker Makkah telah melaksanakan istighasah dengan harapan dan tujuan agar para pelayan tamu-tamu Allah yakni para petugas haji diberikan kekuatan lahir dan batin. Supaya para petugas haji mampu memberikan pelayanan yang maksimal kepada jamaah haji atau para tamu Allah.
“Berharap dengan istighasah ini agar Allah memberikan kesehatan dan keselamatan kepada jamaah haji Indonesia,” kata Khalilurrahman saat diwawancarai Republika.co.id di Kantor Daker Makkah, Sabtu (24/6/2023).
Ia menyampaikan, tahun ini jumlah jamaah haji lanjut usia (lansia) dan berisiko tinggi (risi) luar biasa banyak. Karena itu PPIH berharap agar Allah memberikan kekuatan kepada jamaah haji Indonesia. Supaya jamaah haji mampu memaksimalkan pelaksanaan haji dengan sempurna.
Jamaah haji akan digerakan dari hotel di Makkah menuju padang Arafah, kemudian ke Muzdalifah, selanjutnya ke Mina. Mabit atau bermalam di Mina dan melaksanakan lempar jumrah pada 11, 12, dan 13 Dzulhijah 1444 Hijriyah. Setelah itu semua, jamaah haji akan melaksanakan tawaf ifadah dan tahalul.
“Semoga semua proses itu dapat dilaksanakan dengan sempurna, semoga semua rangkaian ibadah haji dapat dilaksanakan oleh jamaah haji Indonesia dengan jumlah jamaah haji terbanyak di dunia,” ujar Khalilurrahman.
Khalilurrahman mengatakan, lewat istighasah juga PPIH memohon kepada Allah. Semoga Allah memberikan kesejahteraan dan kemakmuran kepada bangsa dan negara Indonesia. Semoga Allah menjadikan rakyat Indonesia selamat dari musibah dan bencana.
“Kita ingin Allah menjadikan negeri kita aman, adil, makmur, sejahtera, mendapatkan rahmat Allah,” jelas Khalilurrahman.
Untuk diketahui, jamaah haji dari berbagai negara di dunia akan melaksanakan wukuf di padang Arafah pada 9 Dzulhijah 1444 Hijriyah yang bertepatan dengan 27 Juni 2023. Jamaah haji Indonesia akan bergerak ke padang Arafah sejak 8 Dzulhijjah 1444 Hijriyah.
Selanjutnya jamaah haji akan ke Muzdalifah dan Mina. Bermalam di Mina dan melempar jumrah. Setelah itu akan melaksanakan tawaf ifadah dan tahalul.
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauhulmahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka, janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu). Dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 36)
Bahkan, secara khusus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama menyebutkan keutamaan hari-hari pertama bulan Zulhijah dalam hadisnya,
ما من أيامٍ العملُ الصالح فيها أحبُّ إلى الله عز وجل من هذه الأيام؛ يعني أيام العشر
“Tidak ada amalan yang lebih Allah cintai dibandingkan amalan yang dikerjakan di hari-hari ini, yakni 10 hari pertama Zulhijah.” (HR. Abu Dawud no. 2438)
Para ulama menyimpulkan beberapa keutamaan 10 hari pertama bulan Zulhijah, yaitu:
Pertama: Di dalamnya disyariatkan untuk berzikir kepada Allah Ta’ala.
Kedua: Allah ‘Azza Wajalla bersumpah dengan 10 hari pertama bulan Zulhijah dalam firman-Nya di surah Al-Fajr ayat 2. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullahu.
Ketiga: Di 10 hari pertama terdapat hari Arafah yang di dalamnya terdapat salah satu rukun haji yang paling penting diselenggarakan, yaitu wukuf di Arafah.
Keempat: Di dalam bulan ini terdapat syariat berkurban.
Kelima: Amalan kebaikan di bulan yang Allah muliakan akan dilipatgandakan dibanding di bulan-bulan yang lain.
Sejarah Islam mencatat banyak peristiwa penting yang terjadi di bulan Zulhijah, baik peristiwa yang telah terjadi, maupun yang sedang dan akan terjadi. Di antara peristiwa-peristiwa penting tersebut adalah:
Wukuf di Arafah
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,
الحج عرفة
“Inti ibadah haji adalah Arafah.” (HR. An-Nasa’i no. 3016)
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjelaskan,
أنه لا بد في الحج من الوقوف بعرفة ، فمن لم يقف بعرفة فقد فاته الحج ، وليس معناه أن من وقف بعرفة لم يبق عليه شيء من أعمال الحج بالإجماع ، فإن الإنسان إذا وقف بعرفة بقي عليه من أعمال الحج كالمبيت بمزدلفة ، وطواف الإفاضة ، والسعي بين الصفا والمروة ، ورمي الجمار ، والمبيت في منى ، ولكن المعنى : أن الوقوف بعرفة لابد منه في الحج ، وإن لم يقف بعرفة فلا حج له ، ولهذا قال أهل العلم : من فاته الوقوف فاته الحج
“Bahwa wukuf di Arafah adalah sebuah keharusan. Bagi mereka yang tidak mengerjakannya, maka sama halnya tidak mengerjakan ibadah haji. Namun, bukan berarti seorang yang sudah mengerjakan wukuf lantas tidak ada lagi prosesi ibadah haji secara ijma’. Masih ada ibadah lain seperti mabit di Muzdalifah, tawaf ifadhah, sa’i, melempar jamrah, dan mabit di Mina. Maksud dari hadis nabi adalah bahwa wukuf di Arafah adalah keharusan. Barang siapa yang tidak melaksanakan wukuf, maka hajinya tidak sah. Demikianlah maksud perkataan para ulama bahwa siapa saja yang meninggalkan wukuf, maka sama halnya meninggalkan ibadah haji.” (Majmu Fataawa Ibn Utsaimin, 24: 23)
Perayaan Iduladha
Iduladha merupakan salah satu dari dua hari raya yang diakui di dalam Islam. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,
يا أَبَا بَكْرٍ إنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا، وَهذا عِيدُنَا.
“Wahai Abu Bakr, setiap umat memiliki hari raya sendiri dan ini adalah hari raya kita.” (HR. Muslim no. 892)
Di antara peristiwa besar yang menunjukkan pengagungan terhadap syiar Islam adalah menyembelih hewan kurban. Dan ini terjadi setelah salat Iduladha. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama,
“Barangsiapa yang menyembelih kurban sebelum salat Iduladha, maka hendaknya mengulang penyembelihannya di waktunya. Dan barangsiapa yang belum sempat menyembelih, maka sembelihlah sembari mengucap ‘bismillah’.” (HR. Bukhari no. 985)
Puasa hari Arafah
Puasa di tanggal 9 Zulhijah memiliki faedah yang begitu besar. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama,
يكفر السنة الماضية والباقية
“Ia menghapuskan dosa yang telah lalu maupun yang akan datang.” (HR. Muslim no. 1162)
Imam An-Nawawirahimahullahu mengatakan, “Disunahkannya berpuasa Arafah adalah bagi mereka yang tidak sedang berada di Arafah. Adapun jemaah haji, maka menurut Imam Asy-Syafi’i dan pembesar mazhab syafi’i lain, dianjurkan untuk berbuka di hari itu berdasar hadis dari Ummul Fadhl. Bahkan dimakruhkan (berpuasa), sebagaimana terang disebutkan oleh Ad-Darimy, Al-Bandanijy, Al-Mahamily, penulis kitab Al-Muhaddzab, dan selain mereka.” (Al-Majmu’, 6: 428)
Demikian peristiwa-peristiwa penting di bulan Zulhijah yang semoga kita diberikan limpahan karunia untuk mengamalkan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama. Amin
Oleh: Siti Nur Alvianda Mahasiswi Universitas Indraprasta PGRI snalvianda@gmail.com
SAAT ada seseorang yang mengalami kesulitan atau meminta bantuan kita sebisa mungkin kita bantu, tidak tega untuk menolak atau membiarkannya begitu saja. Terutama kesulitan itu sedang dialami oleh teman dekat atau keluarga yang sangat kita kenal dengan baik. Normal saja kalau kita memiliki rasa ingin membantu semampu diri kita.
Naah setelah kita meminjamkaan terkadang terjadi masalah pada si penghutang yang malah tidak tau diri ini, saat ingin meminjam kata-katanya sangat manis, tapi saat ingin ditagih malah sikapnya berubah seenaknya rasanya kesal hingga kesabaran ini memiliki batas rasanya. Sampai saat di mana kita sudah kehilangan kesabaran untuk menagihnya, bukannya dapat jawaban atau penjelasan baik-baik malah diomeli denan kata-kata tidak enak di hati.
Kalau sudah gitu muncul-lah perasaan dilema mau mengikhlaskan, tapi nominal yang dipinjamkan lumayan apa lagi buat mahasiswa yang belum bekerja. Mau diberi kesabaran sampai penghutang mau membayarnyaa, malah “makan hati”. Kalau sudah gini gimana dong?
Perlu segera kita cari solusi untuk keduanya, masalah perhutangan bukan suatu hal yang gampang, melainkan amat sangat pelik. Sebaiknya, untuk kamu yang ingin memberi hutang harus berpikir dua bahkan hingga tiga kali, jika memang ingin memberi pinjaman tidak ada salahnya untuk membuat perjanjian resmi di atas kertas terutama pada nominal yang cukup besar, tidak ada yang tau akan resiko ke depannya bukan.
Untuk kamu yang ingin berhutang, bayarlah sesuai dengan perjanjian yang sudah kamu janjikan jangan jadikan ucapanmu di awal sebuah kebohongan, bisa jadi itu awal dari orang-orang tidak ingin membantu kembali.
Jikalau memang belum bisa membayar pada saat itu, buat lah perpanjangan perjanjian dengan memberi kabar kepada orang yang kamu hutangi seperti: “Maaf yah, saya belum bisa membayar, namun akan saya usahakan secepatnya.”
Dengan begitu si pemberi pinjaman juga bisa dengan legowo memberi kelonggaran, jangan malah kamu yang lebih galak dari si pemberi hutang. Gunakan etika dan attitude yang baik, terutama pada persoalan pelik seperti hutang ini.
Semoga kita terhindar dan dijauhkan dari tipe penghutang yang lebih galak di saat ditagih hutangnya, jangan sampai juga kita ikutan menjadi penyulit atau beban di hidup orang lain. Jangan sampai kita ikutan berantakan di saat penghutang lebih galak di saat ingin meminjam uang. []
BAGI orang yang berqurban, memakan daging qurban yang disembelihnya justru dianjurkan. Hal ini sebagimana di anjurkan oleh Rasulullah dalam hadis berikut:
عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” إذا ضحى أحدكم فليأكل من أضحيته (رواه أحمد)
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kamu berqurban, maka hendaklah dia memakan sebagian dari daging qurbannya.” (HR. Ahmad-Musnad Imam Ahmad no: 9078)
Berdasarkan hadis ini, dianjurkan bagi mereka yang berqurban untuk memakan sebagian dari daging qurbannya. Selama hal ini memungkinkan, seandainya tidak memungkinkan maka tidak menjadi masalah. Seperti mereka yang berqurban di daerah terpencil sementara dia tinggal di kota.
Berapa besar orang yang berqurban boleh memakan daging qurbannya?
Secara umum tidak ada batasan khusus. Ada ulama yang mengatakan dia boleh makan sepertiganya dan ada juga yang mengatakan setengahnya.
Intinya dia boleh memakan sebagian daging qurbannya dan sebagian lagi dibagikan pada orang lain, baik kepada fakir miskin ataupun kepada orang kaya.
Fakir miskin menerima daging qurban sebagai sedekah dan menjadi hak milik. Hak milik maksudnya adalah fakir miskin boleh memakan jatah daging qurbannya atau boleh juga menjual jatahnya (kalau jatah yang dia dapat kebanyakan)
Sementara orang kaya boleh menerima daging qurban sebagai hadiah. Jatah daging qurbannya menjadi hak guna, dia hanya boleh memakan daging qurbannya tapi tidak boleh menjualnya.
Intinya orang yang berqurban, kalau memungkinkan, dia dianjurkan untuk memakan sebagian daging qurbannya. []
Berikut ini adalah doa Rasulullah di 10 hari pertama Dzulhijjah. Doa ini bisa dipanjatkan selama bulan Dzulhijjah. Dalam Islam, bulan Dzulhijjah termasuk salah satu dari empat bulan yang disebut asyhurul hurum [bulan haram]—Muharram, Dzulhijjah, Rajab, dan Dzulqaedah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda;
“Artinya; Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat di antara bulan Jumada Akhirah dan Sya’ban.”
Untuk itu, di bulan Dzulhijjah seorang muslim dianjurkan untuk memperbanyak amalan-amalan, dzikir dan berdoa. Pasalnya, di bulan ini terdapat pelbagai kemuliaan dan keberkahan, bahkan Allah akan mengabulkan doa orang yang memohon kepadanya.
Di antara doa yang bisa dipanjatkan di bulan Dzulhijjah ialah doa yang dibaca Rasulullah. Doa ini tercantumkan dalam kitab Almu’jamul Kabir, karya Imam Ath-Thabrani. Doa ini dibaca sebanyak 10x kali saban hari, hingga 10 hari Dzulhijjah. Faedah doa ini, bagi orang yang membacanya akan mendapatkan ampunan dan rahmat dari Allah.
Simak doa Rasulullah di 10 Hari Pertama Dzulhijjah;
Artinya: “Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebanyak hitungan masa, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebanyak hitungan ombak lautan, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebanyak hitungan tumbuhan dan pohon, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebanyak tetesan dan air hujan.
Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebanyak kedipan mata, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah mulai hari ini sampai hari ditiupkannya terompet hari kiamat.”
Demikian penjelasan doa Rasulullah di 10 hari pertama Dzulhijjah. Semoga bermanfaat.
Mina Jadid diqiyaskan dengan halaman atau bagian luar masjid.
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi memperluas wilayah Mina dengan harapan menjadi solusi dari kepadatan Mina selama musim haji. Jumlah jamaah haji yang semakin banyak melalui banyak pertimbangan keselamatan jamaah tidak mungkin disatukan dalam satu wilayah.
Di padang Mina yang seluas 600 hektare, jamaah akan menginap tiga hari untuk melakukan ritual lempar jumroh. Sehingga perluasan menjadi kebutuhan tak terelakan. Saudi Gazette melaporkan, sejumlah ahli telah direkrut untuk mengkaji kekurangan layanan bagi tamu Allah. Salah satu kajiannya adalah perluasan ini.
Kasi Bimbingan Ibadah Daerah Kerja (Daker Madinah) Yendra Al Hamidy menjelaskan lokasi perluasan Mina biasa disebut di Arab Saudi dengan istilah tausi’ul Mina, disebabkan karena lokasi Mina yang aslinya sudah penuh ditempati jamaah haji dari berbagai negara di dunia.
“Meskipun demikian, lokasi Mina Jadid itu masih berurutan, masih menyambung dengan jamaah haji lainnya yang berada di lokasi Mina awal,” kata dia, Sabtu (24/6/2023).
Ihwal keabsahan jamaah haji mabit di wilayah perluasan Mina atau Mina Jadid. Menurutnya, itu merupakan pendapat ulama.
“Terkait keabsahan mabit di Mina Jadid itu sudah merupakan pendapat ulama Saudi, Syaikh Muhammad bin Baz,” kata Yendra, sapaan Yendra Al Hamidy.
“Itu yang sampai kita survei kemarin itu, di bidayatul Mina sampai Mina sudah penuh kondisinya. Kemudian (wilayah Mina) disambungkan di belakangnya,” kata Yendra.
Dari aspek fikihnya, ia menqiyaskan Mina Jadid dengan halaman atau bagian luar masjid yang dipergunakan untuk sholat jamaah ketika bagian dalam masjid sudah penuh oleh jamaah lain.
“Kemudian diqiyaskan (oleh ulama Saudi) bahwa apabila seseorang berjamaah di masjid kemudian penuh, maka boleh seseorang itu menyambung shafnya di halaman masjid, bahkan keluar masjid, yang penting jamaah itu menyambung dengan jamaah yang ada di dalam masjid,” ujar Yendra.
Qiyas sendiri yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu yang belum ada ketentuannya dan didasarkan pada sesuatu yang sudah ada ketentuannya. Dalam konteks ini, ketetapan dan dasar hukum Mina Jadid sama dengan halaman atau bagian luar masjid.
Bermalam di Muzdalifah merupakan salah satu wajib haji.
Salah satu di antara kewajiban haji bagi para jamaah yakni bermalam di Muzdalifah.
Dikutip dari buku Keutamaan Negeri Al-Haram oleh Prof. DR. Mahmud Al-Dausary, Muzdalifah terletak di antara Arafah dan Mina, terpisah antara Mina oleh Lembah Muhassir, berjarak sekitar enam kilometer dari Arafah, dan sekitar delapan kilometer dari Mesjidil Haram dari arah Tenggara. Diperkirakan luasnya sekitar 9,36 meter persegi.
Muzdalifah sendiri berasal dari al-Tazalluf dan al-Izdilaf yang bermakna mendekat. Itu disebabkan karena para jamaah haji saat mereka meninggalkan Arafah, mereka mengunjungi dan mendekatinya (Muzdalifah). Ada pula yang mengatakan bahwa ia dinamakan demikian karena orang-orang mendatanginya di waktu malam.
Ia juga dinamai Jam\’a dikarenakan orang-orang berkumpul di sana, atau karena shalat Maghrib dan Isya dijamak di situ. Tempat ini juga dinamakan al-Masy’ar al-Haram, yang bermakna tanda atau syiar negeri al-Haram, karena ia menjadi salah satu bagian syiar penting haji dan keterkaitannya dengan beberapa amalan yang wajib dalam haji, seperti bermalam, menjamak shalat Maghrib dan Isya. Ia disifati sebagai (kawasan) al-Haram, disebabkan kehormatannya dan karena ia termasuk dalam batasan al-Haram.
Allah Ta’ala sendiri telah menyebutkan Muzdalifah di dalam firmanNya:
“Maka apabila kalian bertolak meninggalkan Arafah, maka sebutlah nama Allah di al-Masy’ar al-Haram (Muzdalifah),
dan ingatlah Ia sebagaimana Ia telah memberikan kalian petunjuk meskipun sebelumnya kalian sungguh termasuk orang-orang yang sesat.” (al-Baqarah ayat 197).
Bermalam di Muzdalifah pada malam 10 Dzulhijjah termasuk salah satu kewajiban dalam ibadah haji. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu tentang sifat haji Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
“Hingga beliau mendatangi Muzdalifah, lalu menunaikan shalat Maghrib dan Isya di sana dengan satu adzan dan dua iqamah. Beliau tidak bertasbih di antara keduanya sedikit pun. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berbaring hingga fajar terbit. Lalu beliau shalat subuh hingga
fajar menjadi jelas, dengan satu adzan dan satu iqamah.
Kemudian beliau menaiki (untanya) al-Qashwa, hingga beliau sampai di al-Masyar al-Haram, beliau kemudian menghadap kiblat, beliau berdoa, bertakbir, bertahlil dan mentauhidkan Allah. Beliau terus berdiri hingga (matahari) sangat menguning, lalu beliau bergerak maju sebelum matahari terbit.” (HR Muslim)
Saya adalah seorang laki-laki berusia 25 tahun. Baru-baru ini saya menemukan bahwa orang-orang yang saya tinggal bersama mereka bukanlah wali sebenarnya bagi saya. Ibu kandung sebenarnya adalah orang yang saya anggap sebagai bibi saya (yaitu, saudara perempuan wanita yang mengasuh saya). Di mana beliau terlibat dalam zina mahram dengan saudara laki-lakinya ketika dia berada di negara kafir –wallahu musta’an-. Lalu beliau hamil darinya dan tidak menikahinya, bahkan tetap melajang. Ketika beliau melahirkan saya, beliau pindah ke Aljazair. Dan beliau ingin meletakkan saya di panti asuhan, tetapi putri bibi saya melarangnya dan membawaku ke ibunya yang kemudian mengasuh saya. Dia memalsukan dokumen administrasi agar saya ber-intisab kepada mereka dan ber-laqab dengan nama suaminya. Karena suami bibi saya juga berzina dengan ibu kandung saya dan dia takut bahwa saya adalah anaknya, maka dia segera mengadopsi saya.
Pertanyaan saya adalah:
Apa yang harus saya lakukan untuk memperbaiki status dan nasab saya? Ibunda kandung saya sekarang sudah menikah, apakah saya harus berbakti kepadanya? Dan apakah saya berhak mewarisinya jika dia meninggal, atau beliau berhak mewarisi saya jika saya meninggal? Saat ini, saya sedang mencari seorang istri, apakah saya dituntut mengungkapkan keadaan saya kepada calon wali? Mohon berikan fatwa kepada kami. Somoga Allah memberikan pahala.
Jawaban:
Puji syukur kepada Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada hamba yang Allah utus sebagai rahmat bagi semesta alam, serta kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du,
Tidak ada dosa bagi orang yang bertanya dari segi syariat karena apa yang disebutkan adalah akibat dari perbuatan orang lain. Anak yang lahir (dari zina) tidak berdosa akibat yang dilakukan oleh pelaku zina. Bagi orang yang berzina dengan mahramnya, wajib mendapatkan hukuman had dengan kesepakatan para ulama, dengan adanya perbedaan pendapat mengenai sifat hukuman tersebut.
Hukumannya menurut syariat (menurut pendapat yang rajih) adalah dihukum mati dalam semua kondisi, baik ia sudah menikah atau belum menikah. Ini adalah mazhab Ahmad dan selain beliau dari kalangan ahli hadis. Mereka berdalil dengan hadis Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
“Pamanku, Harits bin Amr melewati saya dengan membawa sebuah bendera yang diberikan kepadanya oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Saya bertanya kepadanya, ‘Wahai pamanku, ke mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusmu?’ Dia berkata, ‘Dia mengutus saya kepada seorang pria yang menikahi istri ayahnya, dan dia memerintahkan saya untuk memenggal lehernya (dan mengambil hartanya).’”[1]
(Pendapat tersebut) berbeda dengan ulama yang berpendapat bahwa hukumannya tidak berbeda dengan hukuman bagi orang yang berzina dengan bukan mahramnya, dan ini adalah mazhab mayoritas ulama[2]. Namun, ketika sistem pengadilan saat ini tidak berhukum berdasarkan syariat dan batas-batasnya, maka kewajiban bagi keduanya adalah bertobat yang tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan (melakukan) semua syaratnya.
Adapun anak hasil zina, ia dinasabkan kepada ibunya, bukan bibinya. Bahkan, meskipun suaminya mengklaimnya sebagai anak secara tidak syar’i, kecuali jika yang bersangkutan adalah ayah biologisnya yang telah terperinci dalam fatwa lain[3].
Dan dia diperbolehkan untuk menikah seperti individu lainnya karena itu bukanlah dosa yang ia lakukan dan bukan aib yang ia lakukan. Tetapi dia harus memberitahukan wali-wali wanita tentang kondisinya, karena mereka mungkin tidak menyukai perkawinan putri mereka dengan seseorang yang memiliki keturunan yang tidak jelas. Dan hukumnya menyesuaikan dengan kondisi wanita yang ingin dinikahi[4]. Jika menerima, maka pernikahannya sah. Dan jika mereka tidak menerima, dia bisa mencari yang lain.
Untuk memperbaiki nasab kekerabatannya dalam dokumen resmi, ia harus berkonsultasi dengan seorang ahli hukum atau pengacara untuk membimbingnya mengenai prosedur hukum dan kemungkinan memperbaiki dokumen tanpa merugikan keluarga yang mengadopsinya karena tidak tahu. Jika ada konsekuensi yang merugikan mereka, seperti penjara atau hal lainnya, maka biarkan dokumen tersebut tetap dalam keadaan semula dan dia tetap bernasab ke ibunya. Dan dia tidak boleh mewarisi apa pun dari keluarga yang mengadopsinya, kecuali melalui pemberian atau wasiat: sepertiga atau lebih rendah dari harta, dan dia tidak akan memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka. Jika bibinya yang membesarkannya tidak memberinya ASI selama dua tahun berturut-turut, maka anak-anaknya dari bibi tersebut akan dianggap sebagai ajnabiyah (orang asing) baginya, dan dia tidak boleh bercampur baur dan berduaan dengan mereka[5].
Untuk suami bibinya, jika dia tidak yakin bahwa anak ini berasal darinya, maka dia dapat meminta bantuan (setelah Allah) dengan melakukan tes DNA.[6] Orang yang meminta itu harus mendapat izin dari pengadilan. Jika terbukti bahwa dia adalah ayah kandung, dia telah mengadopsinya. Jika bukan ayah kandung, maka anak bernasab kepada ibunya yang melahirkannya (seperti yang telah disebutkan sebelumnya) dan akan mewarisi jika ibu tersebut meninggal dalam kedua keadaan, tes DNA tersebut benar atau tidak. Dan dia akan mewarisinya jika ibu meninggal karena dia adalah ibu kandung.
Demikian penjelasanya dan perlu diperhatikan bahwa ibu sebagai pelaku tetaplah ibu dan kewajiban untuk berbuat baik kepadanya tetap berlaku, meskipun dosanya besar. Terutama jika dia telah bertobat dengan tulus. Sebab seorang ibu pantas mendapatkan bakti dan perlakuan yang baik, meskipun dia berbuat kesyirikan. Dan tidak diragukan bahwa kesyirikan lebih besar dosanya daripada perzinaan. Oleh karena itu, Allah berfirman,
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)
Dan pengetahuan hanya ada pada Allah Yang Mahatinggi. Wa akhiru da’wana, anilhamdulillahi rabbil ‘alamin. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari pembalasan, serta memberikan selawat dan salam dengan sempurna.
[1] “Abu Dawud meriwayatkan dalam kitab ‘Al-Hudud‘ sebuah bab tentang laki-laki yang berzina dengan istri-istrinya (4456, 4457), dan Tirmidzi dalam kitab ‘Al-Ahkam‘ sebuah bab tentang orang yang menikahi istri ayahnya (1362), dan Nasa’i dalam kitab ‘An-Nikah‘ sebuah bab tentang pernikahan apa yang dilakukan oleh para ayah (3331, 3332), dan Ibnu Majah dalam kitab ‘Al-Hudud‘ sebuah bab tentang orang yang menikahi istri ayahnya setelahnya (2607), dan Ahmad dalam ‘Musnad‘ (18557, 18578, 18579). Dan Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih dalam ‘Irwa Al-Ghalil‘ (2351).
[2] Lihat ‘Al-Mughni‘ oleh Ibnu Qudamah (8/182), ‘At-Tafri‘ oleh Ibnu Al-Jallab (2/224), ‘Al-Muhalla‘ oleh Ibnu Hazm (11/252).
[3] Lihat fatwa nomor: (464) yang berjudul “Tentang hukum pernikahan pelaku zina dan hak anak dari pernikahan tersebut,” dan fatwa nomor: (1221) yang berjudul “Tentang keberatan terhadap hukum memberikan hak anak hasil zina kepada ayahnya” di situs resmi: https://ferkous.com/.
[4] Lihat fatwa nomor: (659) berjudul “Tentang hukum tanggung jawab terhadap anak terlantar dan sejauh mana kesetaraannya dengan anak yatim dalam hal imbalan“, dan fatwa nomor: (918) berjudul “Tentang hukum adopsi dan konsekuensinya” di situs resmi: https://ferkous.com/.
[5] Lihat fatwa nomor: (1242) yang berjudul “Tentang hukum memberikan gelar penjamin kepada yang dijamin tanpa mengadopsinya” di situs resmi: https://ferkous.com/.
[6] Lihat fatwa nomor (463) berjudul “Keabsahan Penggunaan Sidik Jari Genetik dalam Bidang Investigasi Kriminal dan Hubungan Kekerabatan” di situs resmi: https://ferkous.com/.
Mengapa Idul Adha Indonesia beda dengan Saudi? Sering kali berbeda penyelenggaraannya di berbagai negara, ada yang lebih cepat dan ada yang lebih lambat. Namun kesemuanya tetap melaksanakan hari raya pada tanggal 10 Dzulhijjah dan 1 Syawal.
Lalu apa alasannya kenapa Idul Adha di Indonesia beda dengan Arab Saudi? Pasalnya, belakangan ribut masalah ini, dan tak sedikit orang-orang yang komplain dan akibat perbedaan tersebut. di Arab Saudi puncak haji, sekaligus Idul Adha terjadi di hari Rabu tanggal 28 Juni, sementara di Indonesia Kamis tanggal 29 Juni.
Kenapa Idul Adha Indonesia Beda dengan Saudi?
Menurut pakar falaq dan astronomi, perbedaan ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan matla’ (tempat munculnya hilal), yakni sebab jauhnya jarak di antara keduanya. Sehingga meskipun sama-sama menggunakan metode rukyatul hilal, tetap saja terjadi perbedaan terkait tanggal pelaksanaannya Idul Adha. Rasulullah Saw bersabda;
“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Namun jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari”. (HR. Muslim, No. 1081)
Dari hadis ini, Imam Al-Nawawi menjelaskan bahwasanya Ibnu Suraij, Mutharrif bin Abdillah, dan Ibnu Quthaibah menggunakan metode Hisab. Adapun Imam Malik, Imam Syafii, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah dikira-kirakan dengan menyempurnakan puasa sampai tanggal 30.
Dan menurut Imam Al-Marizi, Sabda Nabi Saw yang berbunyi Faqdiru lahu itu dimaksudkan pada penyempurnaan puasa sampai tanggal 30, yang demikian adalah interpretasi dari mayoritas ahli fikih dan yang demikian tidak bisa dianotasi dengan perkiraannya ahli hisab.” (Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim, Juz 7 H. 189)
Karena perintahnya adalah untuk rukyatul hilal, maka Indonesia dan Arab Saudi sama-sama melaksanakannya. Namun kadang bisa terlihat dan tidak, sehingga menyebabkan adanya perbedaan terkait tanggal Hari Raya.
Al-Habib Abdurrahman Al-Masyhur menjelaskan terkait batasan mathla’, dalam bukunya beliau menyatakan;
“(مسألة : ب) : مطلع تريم ودوعن واحد بالنسبة للأهلة والقبلة إلا بتفاوت يسير لا بأس به ، وقال أبو مخرمة : إذا كان بين غروبي الشمس بمحلين قدر ثمان درج فأقل فمطلعهما متفق بالنسبة لرؤية الأهلة ، وإن كان أكثر ولو في بعض الفصول فمختلف أو مشكوك فيه فهو كالمختلف ، كما نص عليه النووي ، فعدن وزيلع وبربرة وميط وما قاربها مطلع ، وعدن وتعز وصنعاء وزبيد إلى أبيات حسين وإلى حلى مطلع وزيلع وواسة وهرورة وبر سعد الدين وغالب بر السومال فيما أظن إلى بربرة وما هناك مطلع ، ومكة والمدينة وجدة والطائف وما والاها مطلع ، وصنعاء وتعز وعدن وأحور وحبان وجردان والشحر وحضرموت إلى المشقاص مطلع ، ولا يتوهم من قولنا الشحر وعدن مطلع مع قولنا عدن وزيلع مطلع أن تكون الشحر وزيلع مطلعاً ، بل إن عدن وسط ، فإذا رؤي فيها لزم أهل البلدين ، أو في أحدهما لزم أهل عدن.
“Mathla’nya kota Tarim dan Dawan ini sama, ini dinisbatkan kepada tempat rukyatul hilal dan arah kiblatnya. Hanya saja ada keterpautan yang sedikit, namun masih bisa ditolerir.
Menurut Abu Makhromah, jika di antara 2 tempat terbenamnya Matahari itu sekadar 8 derajat atau kurang, maka mathla’nya dihitung sama ketika dipakai untuk melihat hilal. Adapun jika derajatnya melebihi 8, maka sudah dianggap berbeda mathla’nya. Atau jika mathla’nya diperselisihkan, maka diarahkan pada perbedaan mathla’, sebagaimana yang diutarakan oleh Imam al-Nawawi.
Maka Adn, Zayla’, Barirah, Maydh dan daerah terdekatnya ini mathla’nya sama. Adn, Taiz, Shun’a, Zabid, ke Abyat Husain dan daerah Haly ini satu mathla’. Zayla’, Wasah, Harurah, daratan Sa’duddin, mayoritas daerah Somal, sampai Barirah dan daerah sekitarnya -menurutku- satu mathla’ Mekkah, Madinah, Jeddah, Toif dan sekitarnya ini satu mathla’.
Sedangkan Kota Shun’a, Taiz, Adn, Ahwar, Habban, Garden, Syahr, Hadhramaut, sampai daerah Misyqash ini satu mathla’. Dari pernyataan Syahr dan Adn satu mathla’, Adn dan Zayla’ satu mathla’, maka tidak bisa dipahami bahwasanya Syahr dan Zayla’ ini satu mathla’.
Sebab Adn berada di tengah-tengah, maka jika di sana hilal sudah terlihat, wajib bagi dua daerah untuk berpuasa (penanda pergantian bulan) atau jika di salah satunya maka hanya wajib bagi Adn saja”. (Bughyah al-Mustarsyidin, Juz 1 226)
Dengan demikian bisa diketahui jawaban dari pertanyaan kenapa terjadi perbedaan pelaksanaan Idul Adha antara Indonesia dan Arab Saudi, yakni karena sudah melebihi 8 derajat sehingga sudah beda mathla’nya. Wallahu a’lam bi al-shawab.