Cerita Mualaf Filipina Pertama Kali Puasa

Ninamhel Marquez (28 tahun) adalah seorang wanita asal Filipina yang menikah dengan seorang pria asal Uni Emirat Arab (UEA). Dia dibesarkan sebagai seorang Kristen dan baru menjadi  Mualaf – agama suaminya – pada November 2014.

Tahun ini merupakan pertama kalinya Ninamhel melaksanakan puasa. Awalnya, dia khawatir bagaimana bisa menahan lapar dan haus di siang hari. Alhamdulillah, Ninamhel mengaku sepekan pertama puasanya berlangsung lancar.

“Aku lumayan khawatir sebelumnya, apalagi suasana hatiku sering berubah ketika perut kosong. Alhamdulillah, ketika berpuasa, rasa itu tidak ada sebab aku mencoba melakukannya seperti yang diperintahkan Allah. Allah pasti membantu dan mempermudah kita melakukannya,” kata Ninamhel, dilansir dari the National, Rabu (24/6).

Ninamhel menyadari bahwa Allah memerintahkan Muslim berpuasa supaya ikut merasakan penderitaan orang miskin yang tetap bertahan hidup berhari-hari tanpa makanan. Puasa juga mengajarkan seseorang bagaimana mengendalikan emosi, saling membantu sesama, hingga akhirnya mendapatkan berkah dari Allah.

Wanita cantik ini merasa memeluk Islam membuatnya merasa seperti bayi yang baru saja lahir. Setelah berpuasa selama beberapa hari ini, Ninamhel merasa tubuhnya semakin sehat, ringan, dan semakin dekat kepada Allah.

“Setelah aku berdoa dan meminta kepada Allah, mengejutkan, permintaan itu akhirnya dikabulkan cepat atau lambat karena Allah Maha Pemurah. Tidak ada batas kemurahan hati-Nya,” kata Ninamhel.

sumber: Republika Online

Begini Awal Mula Bangsa Arab Mengenal Puasa 30 Hari

Puasa 30 hari sebulan penuh sebelumnya tidak populer di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah. Menurut al-Qalaqasyandi dalam Nihayat al-Irb fi Ma’rifat Ansab al-Arab, penduduk jazirah Arab mengenal tradisi berpuasa sebulan penuh itu selama penjajahan Nabonidus penguasa Babilon (berkuasa selama 556-539 sebelum Masehi) terhadap wilayah Taima, yang merupakan kawasan di Jazirah Arab.

Lambat laun, ritual berpuasa menjadi bagian tak terlepaskan dari kebiasaan arab jahiliyah, meski dengan istilah yang tak sama. Arab jahiliyah menyebut Ramadhan dengan sebutan natiq yang berarti puasa. Ada juga yang mengistilahkan Ramadhan dengan Ramdha’ akibat cuaca panas yang berlangsung selama puasa tersebut.

Imam at-Thabari dalam tafsirnya, menggambarkan bagaimana masyarakat Arab penyembah berhala malaksanakan puasa. Lazimnya puasa pada umumnya, mereka juga menahan makan dan minum serta berhubungan intim, termasuk juga berpuasa dari berbicara apapun. Al-Maqdisi dalam al-Bud’u wa at-Ta’rikh menambahkan, sebelum Islam datang, selama berpuasa Suku Quraisy juga kerap ‘bersemedi’ (tahannuts) selama berpuasa.

Ibn an-Dadim dalam al-Fihrist menyatakan tradisi berpuasa Ramadhan konon telah populer di kalangan Kaum Sabian yang tinggal di utara Irak. Mereka berpuasa sebulan penuh tiap tahun sebagai bentuk penghormatan terhadap dewa bulan yang mereka sebut dengan Sin. Tidak hanya berpuasa mereka juga mempersembahkan hewan kurban kepada Sin.

Menurut Abu al-Fida Ibnu Katsir dalam al-Mukhtashar fi Tarikh al-Basyar, Kaum Sabian berpuasa selama 30 hari, jika berdasarkan penanggalan bulan, hari tersebut tidak penuh 30, maka mereka akan berpuasa 29 hari. Puasa mereka bermula dari seperempat malam terakhir hingga terbenamnya matahari.

Selain puasa mereka, ungkap Ibnu Katsir, juga memiliki ritual shalat jenazah tanpa sujud dan ruku’. Pada pengujung berakhirnya puasa mereka selama sebulan, imbuh Ibn al-Jauzi dalam Talbis al-Iblis, Sabian menghadiahkan sembelihan kurban untuk dewa mereka. Dalam istilah Ibnu Nadim, perayaan mereka setelah menunaikan puasa sebulan penuh itu disebut dengan Id al-Fithr.

 

 

sumber: Republika Online

Dhaif, Tidurnya Orang Berpuasa Adalah Ibadah

MUNGKIN karena kurang tidur atau memang doyan, puasa sering kali diisi oleh aktivitas tidur bagi sebagian besar orang Islam yang sedang menjalankan ibadah satu bulan ini. Alasannya, ada hadist-nya lho. Benarkah?

“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).

Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).

Terdapat juga riwayat yang lain: “Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).

Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.

Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan Ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

sumber: IslamPos

 

Keutamaan Shalat Shubuh

Shubuh adalah salah satu waktu di antara beberapa waktu, di mana Allah Ta’ala memerintahkan umat Islam untuk mengerjakan shalat kala itu. Allah Ta’ala berfirman,

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh tu disaksikan (oleh malaikat).” (Qs. Al-Isra’: 78)

Betapa banyak kaum muslimin yang lalai dalam mengerjakan shalat shubuh. Mereka lebih memilih melanjutkan tidurnya ketimbang bangun untuk melaksanakan shalat.  Jika kita melihat jumlah jama’ah yang shalat shubuh di masjid, akan terasa berbeda dibandingkan dengan jumlah jama’ah pada waktu shalat lainnya.

Keutamaan Shalat Shubuh

Apabila seseorang mengerjakan shalat shubuh, niscaya ia akan dapati banyak keutamaan. Di antara keutamaannya adalah

(1) Salah satu penyebab masuk surga

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ دَخَلَ الْجَنَّة

Barangsiapa yang mengerjakan shalat bardain (yaitu shalat shubuh dan ashar) maka dia akan masuk surga.” (HR. Bukhari no. 574 dan Muslim no. 635)

(2) Salah satu penghalang masuk neraka

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَنْ يَلِجَ النَّارَ أَحَدٌ صَلَّى قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا

Tidaklah akan masuk neraka orang yang melaksanakan shalat sebelum terbitnya matahari (yaitu shalat shubuh) dan shalat sebelum tenggelamnya matahari (yaitu shalat ashar).” (HR. Muslim no. 634)

(3) Berada di dalam jaminan Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمْ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ مَنْ يَطْلُبْهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يُدْرِكْهُ ثُمَّ يَكُبَّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ

Barangsiapa yang shalat subuh maka dia berada dalam jaminan Allah. Oleh karena itu jangan sampai Allah menuntut sesuatu kepada kalian dari jaminan-Nya. Karena siapa yang Allah menuntutnya dengan sesuatu dari jaminan-Nya, maka Allah pasti akan menemukannya, dan akan menelungkupkannya di atas wajahnya dalam neraka jahannam.” (HR. Muslim no. 163)

(4) Dihitung seperti shalat semalam penuh

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ وَمَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا صَلَّى اللَّيْلَ كُلَّهُ

Barangsiapa yang shalat isya` berjama’ah maka seolah-olah dia telah shalat malam selama separuh malam. Dan barangsiapa yang shalat shubuh berjamaah maka seolah-olah dia telah shalat seluruh malamnya.” (HR. Muslim no. 656)

(5) Disaksikan para malaikat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَتَجْتَمِعُ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلَائِكَةُ النَّهَارِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ

 “Dan para malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada shalat fajar (subuh).” (HR. Bukhari no. 137 dan Muslim no.632)

Ancaman bagi yang Meninggalkan Shalat Shubuh

Padahal banyak keutamaan yang bisa didapat apabila seseorang mengerjakan shalat shubuh. Tidakkah kita takut dikatakan sebagai orang yang munafiq karena meninggalakan shalat shubuh? Dan kebanyakan orang meninggalkan shalat shubuh karena aktivitas tidur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

Sesungguhnya shalat yang paling berat dilaksanakan oleh orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)

Cukuplah ancaman dikatakan sebagai orang munafiq membuat kita selalu memperhatikan ibadah yang satu ini.

Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kita semua, terkhusus bagi para laki-laki untuk dapat melaksanakan shalat berjama’ah di masjid.

Penulis: Wiwit Hardi Priyanto

sumber: Muslim.or.id

Rasul Suka Basahi Kepala saat Puasa

Apa hukumnya bagi orang berpuasa yang mandi demi mendinginkan badan? Seperti diriwayatkan dari kitab Hadist Shahih Al Bukhari bab ‘Mandinya Orang Puasa’, Ibnu Umar pernah membasahi kain lalu ditutupkan ke tubuhnya dalam keadaan puasa.

Sementara, Asy Sya’bi masuk kolam (kamar mandi) dalam keadaan puasa. Al Hasan berkata boleh berkumur dan berdingin-dingin bagi orang puasa. Semua teladan baik itu dibenarkan oleh Al Hafizh dalam ‘Al Fatah’ (4/153-154).

Sementara, dalam kitab shahih yang dikeluarkan oleh Abu Daud (2365), Rasulullah malah suka menyirami kepalanya dalam keadaan puasa dari haus atau panas. (Sumber: Berpuasa seperti Rasulullah terbitan Gema Insani)

sumber: Republika Online

Hikmah Larangan Jual Beli Saat Shalat Jumat

Apa ada hikmah dari larangan jual beli saat shalat Jumat?

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Jumu’ah: 9).

Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa larangan di sini adalah untuk jual beli padahal hati begitu tertarik sekali untuk melakukannya. Untuk pekerjaan lainnya yang juga melalaikan hati dari ibadah, itu pun diperintahkan untuk ditinggalkan.

Hikmah dari meninggalkan larangan jual beli disebutkan dalam ayat di atas,

ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Jumu’ah: 9).

Syaikh As Sa’di menerangkan mengenai ayat di atas, “Ayat tersebut menunjukkan akan hikmah besar dari meninggalkan larangan. Kebaikan yang diperoleh karena menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya dengan menyibukkan diri dengan aktivitas ibadah shalat Jumat. Shalat Jumat ini adalah kewajiban yang sangat penting. Kita diperintahkan untuk meraih kebaikan dan pahala di dalamnya. …. Di antara hikmah penting dari menghadiri shalat Jumat adalah kita diperintahkan untuk mendahulukan urusan akhirat dibandingkan dengan urusan dunia.”

Beliau rahimahullah juga menerangkan, “Di antara bentuk kebaikan yang diraih dari menghadiri shalat Jumat dan meninggalkan jual beli kala itu, di situ ada bentuk mendahulukan perintah Allah daripada hawa nafsu kita. Dengan demikian, itu tanda benarnya iman orang tersebut. Tanda bahwa orang tersebut benar-benar ingin kembali pada Rabbnya. Dan tentu saja siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka akan diganti dengan yang lebih baik. Sedangkan, siapa yang mendahulukan hawa nafsunya dari ketaatan pada Allah, sungguh ia benar-benar rugi dalam urusan akhiratnya. Ditambah, ia pun akan merasakan rugi di dunia. Nah itulah yang menjadi keutamaan yang besar bagi siapa saja yang meninggalkan urusan dunia hingga shalat Jumat selesai.” (Taisirul Lathifil Mannan, hal. 139).

Syaikh As Sa’di di kitab lain menuturkan, “Sesuatu di sisi Allah tentu lebih baik dan lebih kekal. Karenanya jika seseorang mendahulukan urusan dunia daripada urusan ibadahnya, tentu ia benar-benar merugi. Jika ada yang melanjutkan jual beli saat shalat Jumat, ia sangka akan raih keuntungan, namun sebenarnya yang ada adalah kerugian yang nyata.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 863).

Baca Larangan Jual Beli Saat Shalat Jumat.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

 

Referensi:

Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.

Taisir Al Lathifil Mannan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama, tahun 1430 H.

Selesai disusun di hari Jumat penuh berkah, 5 Safar 1436 H di Darush Sholihin

Yang senantiasa mengharapkan bimbingan Rabbnya: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

Artikel Rumaysho.Com

Keutamaan Sedekah Hari Jumat

Hari Jum’at merupakan hari yang paling utama dari semua hari dalam sepekan. Dia adalah hari yang penuh barakah. Bagi ummat muslim, hari Jumat merupakan hari yang mulia.

Karena memang pada hari itu terdapat banyak manfaat yang akan didapat oleh kaum muslimin apabila melakukan amalan kebajikan pada hari tersebut.

Dan hari Jum’at juga termasuk penghulu semua hari, di dalamnya Allah azza wa jalla melipatgandakan kebaikan, menghapus keburukan, mengangkat derajat, mengijabah doa, menghilangkan duka, dan menunaikan hajat-hajat yang besar.

Betapa mulianya hari Jumat, sehingga Allah Ta’ala memuliakan orang yang beramal sholih pada hari tersebut; termasuk sedekah. Sedekah hari apa pun sangat utama. Namun, khusus hari Jumat, Allah memberinya pahala “lebih”. Pasalnya, hari Jumat merupakan hari yang utama dalam Islam hari raya mingguan umat Islam.

“Sesungguhnya sedekah pada hari Jum’at itu memiliki kelebihan dari hari-hari lainnya. Sedek
ah pada hari itu dibandingkan dengan hari-hari lainnya dalam sepekan, seperti sedekah pada bulan
Ramadhan jika dibandingkan dengan seluruh bulan lainnya.” (Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad).

“Dan sedekah pada hari itu (Jumat) lebih mulia dibanding hari-hari selainnya”. (HR Ibnu Khuzaimah).

Sekian sedikit keutamaan sedekah di hari Jumat. Semoga kita di kuatkan untuk selalu bersemangat dalam melakukan amalan-amalan kebaikan dan InsyaAllah menjadi amalan yang Gusti Allah muliakan dan dikekalkan pahalanya. Allahu’alam.

 

sumber: BMH Jogja

Begini Cara Pemerintah Kolonial Belanda Diskreditkan Sejarah Islam

Oleh Wilda Fizriyani/Wartawan Republika

Agus Sunyoto mencatat adanya peristiwa yang luput dari catatan sejarah, yaitu peristiwa hijrahnya para pengikut Pangeran Diponegoro setelah Diponegoro ditangkap Belanda. “Ratusan ribu pengikut Diponegoro, sebagian besar adalah ulama pesantren dan guru tarekat, meninggalkan pusat kekuasaan kemudian menyebar di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa,” ujar Agus, dari Padepokan Dakwah Kalijaga.

Mereka kemudian mendirikan pesantren-pesantren dan meneruskan perlawanan secara pasif kepada Belanda. Perlawanan yang disebut Sunyoto sebagai perlawanan pasif yang masif itu dilakukan dengan cara perang opini lewat penciptaan cerita tutur, tembang, si’iran, tafsir agama, ramalan, dan sebagainya. Perang opini ini ditujukan untuk memunculkan sikap benci terhadap Belanda.

Makin menguatnya perlawanan lewat lisan ini mendorong Belanda mengutus jaksa di Kediri untuk menyusun sejarah Kediri. Tugas itu diberikan dua tahun setelah Diponegoro ditangkap. Jaksa Mas Ngabehi Poerbawidjaja lantas meminta bantuan dalang wayang krucil Ki Dhermakonda.

Namun. Ki Dhermakonda mengaku tak mengetahui secara pasti sejarah Kediri sehingga ia meminta bantuan jin bernama Buto Locaya. Untuk mendengarkan cerita Buto Locaya, diperlukan tubuh yang bisa dirasuki, yaitu tubuh Ki Sondong. Jadilah Babad Kediri.

“Maka isi sejarah versi jin itu adalah pendiskreditan terhadap ajaran Islam, terutama menyangkut para penyebar Islam,” ujar Agus.

Tokoh Islam yang didiskreditkan adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri. Dua wali ini digambarkan berdakwah dengan jalan intoleransi. Penginjil Ki Tunggul Wulung lantas mengadaptasi Babad Kediri dalam bukunya, Serat Darmogandul. Tunggul Wulung yang berguru pada Jellesma, di kemudian hari menjadi guru Kiai Sadrach.

Inilah sastra dekaden yang memunculkan konflik sosial. Setelah Darmogandul kemudian muncul Serat Gatoloco. Gatoloco dipakai untuk menyerang ulama pengikut Diponegoro. Tunggul Wulung menampilkan debat fiktif antara Gatoloco dan Kiai Kasan Besari, pendiri Pesantren Tegalsari, Ponorogo. Kiai Kasan Besari ditampilkan sebagai sosok yang tak berkutik dalam debat tentang Islam itu.

Selaku santri Kiai Kasan Besari, RNg Ronggowarsito tahu bagaimana Darmogandul dan Gatoloco dibuat. Karena itu, ia mendatangi Tunggul Wulung dan meminta kepadanya agar mau menerima dirinya sebagai muridnya. Namun, Tunggul Wulung menolaknya.

Usaha mendegradasi nilai-nilai Islam oleh Belanda tak berhenti di situ. Serat Syekh Siti Jenar juga dibuat untuk memecah umat Islam. Di serat itu dikisahkan Syekh Siti Jenar dibunuh oleh Sunan Kalijaga.

“Padahal, dalam tradisi lisan di kalangan pengikut Syekh Siti Jenar yang diwariskan turun-temurun dalam tarikat Akmaliyah, tokoh Syekh Siti Jenar dikisahkan tidak dibunuh oleh Wali Songo, melainkan wafat dengan cara selayaknya orang meninggal,” jelas Agus.

Sebagian ahli sejarah menilai isi dari Babad Kediri merupakan tindakan pendiskreditan terhadap ajaran Islam. Terutama, ungkap Agus, menyangkut para penyebar Islam seperti Sunan Giri dan Sunan Bonang. Di babad ini, kedua sunan tersebut digambarkan telah melakukan tindakan-tindakan intoleran dan merusak tatanan dalam berdakwah menyebarkan Islam.

Selain Babad Kediri, adapula sebuah karya sastra yang diberi judul Serat Darmogandul yang berbahasa Jawa. Pada sastra ini, penulis karya ini telah menampilkan kata dan kalimat sarkastis dan bernuansa porno dengan memasukkan istilah-istilah Belanda.

Agus juga mencurigai munculnya catatan tentang penemuan kronik Cina di Kelenteng Sam Po Kong, Semarang, sebagai upaya pengaburan sejarah Islam. Kronik yang ditemukan—dinyatakan ada tiga cikar—menyebut para wali berasal dari Cina, yang ditugasi untuk menjatuhkan Majapahit. Kronik yang dinyatakan dibawa Residen Poortman itu dianggap Agus sebagai cerita fiktif. ”Tidak pernah ada fakta materialnya kecuali pernyataan bohong bahwa naskah kronik itu disimpan di museum di Den Haag,” ujar Agus.

Menurut Agus, Serat Syekh Siti Jenar juga merupakan hasil karya yang diperintahkan Belanda untuk memperburuk citra Islam. Karya dari Raden Panji Natarata ini memunculkan isi cerita dan pandangan negatif terhadap para Wali Songo. Di karya itu, Wali Songo digambarkan sebagai penyebar Islam yang licik dan curang karena telah membunuh Syekh Siti Jenar.

Bahkan, Wali Songo dijelaskan telah mengganti jenazah Jenar secara sengaja dengan bangkai anjing. Dalam tradisi lisan, tokoh Syekh Siti Jenar dikisahkan tidak dibunuh oleh Wali Songo. Ia wafat dengan cara selayaknya seperti masyarakat Muslim pada umumnya.

Naskah berbahasa Sunda ada pula yang merupakan hasil manipulasi. Agus menyebut nakah Kidung Sunda yang dimunculkan pada 1860 sebagai karya sastra yang sengaja dibuat untuk memecah-belah bangsa Indonesia. Kidung Sunda yang mendiskreditkan Gajah Mada mendapat dukungan dari naskah Pararaton, yang diterbitkan Belanda pada 1920.

“Di balik Pararaton, kolonial Belanda ingin membangun citra buruk bahwa leluhur raja-raja Jawa, termasuk leluhur Diponegoro, adalah anak haram hasil zina, penjudi, pencuri, pemerkosa, penjahat licik, yang menghalalkan segala cara untuk berkuasa,” ujar Agus.

Agus menilai banyaknya karya kolonial Belanda yang telah merugikan umat Islam Indonesia ditujukan untuk mendiskreditkan tokoh-tokoh penyebar Islam. Tujuannya hanya satu, yakni memecah-belah umat Islam sehingga menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan.

Belanda, kata Agus, membantah lewat opini mengenai penyebab krisis bahasa dan sastra Jawa akibat kehancuran tradisi sastra kuno yang disebabkan jatuhnya Majapahit. Kejatuhan Majapahit pun diklaim akibat datangnya islam. “Dengan kata lain, Islam dijadikan kambing hitam dalam krisis bahasa dan Jawa di masa itu,” ujar Agus

Agus mengatakan, kemerdekaan yang diperoleh Indonesia tidak terlepas dari peran Muslim. Begitu banyak raja-raja Muslim yang telah didukung oleh guru tarekat dan ulama dari pesantren. Mereka bersatu untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah, baik Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, maupun Jepang.

Mereka dengan tegas menyebut para penjajah sebagai ‘orang kafir’ yang tidak pantas menginjakkan kakinya di tanah Nusantara. Terutama, lanjutnya, bagi mereka yang memiliki misi untuk memurtadkan rakyat Indonesia yang beragama Islam.

Masyarakat Jawa pada umumnya memang menolak tegas penjajahan yang dilakukan Belanda. Mereka tidak menyukai Belanda bukan hanya karena tindakan yang mereka lakukan. Menurut Agus, ada struktur sosial atau konsep hidup yang membuat mereka tidak menyukai kehadiran orang asing, seperti Belanda.

Agus menyebutkan, ada tujuh lapisan yang dipegang oleh masyarakat Jawa. Strata ini bukan kasta. Lapisan masyarakat ini dilihat dari kuat atau tidaknya seseorang terhadap pengaruh dunia. Sehingga, struktur sosial ini dianggap menjadi penilaian utama atas ketepatan dalam memilih dan memercayai seorang pemimpin di suatu wilayah.

Lapisan pertama dipegang oleh kaum yang memiliki nafsu atau pengaruh dunia yang lemah. Misalnya, ulama, wali, atau kaum Brahmana. “Lapisan kedua dimiliki oleh kaum yang tidak terlalu mencintai dunia dan hidupnya dijamin oleh negara, seperti para ksatria dan pertapa,” jelas Agus.

Lapisan selanjutnya dimiliki oleh kaum waisya, seperti petani. Setelah itu, kaum saudagar memegang lapisan selanjutnya. Dalam lapisan ini semisal saudagar, rentenir, kaum konglomerat, dan tuan tanah.

Untuk lapisan kelima dimiliki oleh kaum yang hidup dari membunuh binatang, seperti jagal, pemburu, dan algojo. Lapisan keenam dipegang oleh orang asing seperti Belanda. Lapisan terakhir dimiliki oleh orang-orang yang hidupnya hanya merugikan masyarakat, seperti perampok, pembegal, pencuri, dan lainnya.

Maka, alasan masyarakat Jawa menolak penguasaan Belanda menjadi jelas. Dalam struktur sosial, para penjajah itu itu tidak bisa menjadi pemimpin atau penguasa di tempat mereka. “Menurut mereka, penjajah itu tidak pantas menjadi juragan tetapi harus menjadi pelayan di tanah mereka,” ujar Agus

Dengan struktur sosial semacam itu, maka agus meragukan penyebaran Islam di nusantara dilakukan oleh para saudagar. Dengan posisinya di lapisan keempat, saudagar akan mengalami kesulitan menyebarkan agama di dalam struktur sosial masyarakat Jawa ini. “Mereka pasti tak akan dianggap,” ujar Agus.

Dengan pemahaman ini, Agus menduga, sejarah yang menyebut para saudagar sebagai penyebar Islam di nusantara adalah bagian dari upaya pengaburan sejarah Islam di Indonesia. Menurut Agus, akan lebih masuk akal jika sejarah menyebut penyebaran Islam dilakukan oleh para kaum kelas brahmana, yaitu para wali yang selama ini dikenal dengan sebutan Wali Songo.

Dengan posisi wali yang berada di lapisan pertama, jelas akan mudah bagi mereka untuk menjadi panutan masyarakat di masa itu. Posisi itu memudahkan mereka mengajarkan ajaran Islam di bumi pertiwi ini, terutama di Pulau Jawa.

Kalau sekarang, apakah Indonesia menggunakan sistem ini? Sekarang asing dipuja-puja di sini. “Sepengetahuan saya, hanya Brunei Darussalam lah yang saat ini menerapkan sistem lapisan masyarakat Jawa itu,” ungkap Agus.

Menurut Agus, munculnya perlawanan pasif lewat lisan yang dilakukan para pengikut Diponegoro setelah Perang Jawa semata karena adanya struktur sosial ini. Mereka melawan dengan memunculkan fenomena pertempuran baru dengan menggunakan opini.

Sejarah Islam Indonesia, kata Ahmad Mansur Suryanegara, adalah sejarah telur mata sapi. “Ayam yang bertelur, tetapi sapi yang punya nama,” ujar sejarawan Universitas Padjadjaran itu. Mansur menegaskan, tak bisa dibantah bahwa pelaku sejarah Islam di Indonesia adalah para ulama atau umat Islam. Namun, yang ditulis adalah mereka yang menentang ajaran Islam.

Mansur merasakan betapa ‘Sumpah Syahadah’ yang menjadi landasan melawan kolonialis-imperalis tidak dinilai sebagai perekat dan pembangkit kesatuan-persatuan bangsa Indonesia. Sumpah Syahadah kalah dengan Sumpah Palapa.

Padahal, dalam wayang, pemegang kalimasada adalah Pandawa. “Yang diletakkan di sebelah kanan dalang dan selalu sebagai pemegang kemenangan, mengalahkan Kurawa yang diposisikan di sebelah kiri dalang,” ujar Mansur.

sumber: Republika Online

Puasa dari Bicara Jorok

Puasa tidak sekadar menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh. Tapi, puasa adalah menahan godaan dari perbuatan maksiat dan dosa.

Rasulullah SAW menganjurkan kepada kaum Muslimin yang berpuasa, supaya menghindari diri dari perkataan dan cerita jorok.
Seperti diriwayatkan Abu Hurairah Ra yang dikabarkan Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Habban, Rasulullah SAW bersabda: ‘’Puasa itu bukan dari makan dan minum saja, akan tetapi puasa dari bicara sia-sia dan jorok.’’

‘’Dan, kalau ada orang yang memaki-maki atau memperbodoh kalian, maka katakanlah: saya sedang berpuasa, saya sedang berpuasa.’’

Dalam bagian lain, Rasul mengancam keras orang-orang yang berpuasa tapi melanggar perintah agama dan melakukan larangan agama. Seperti disabdakan Rasul,’’Ibarat seorang yang berpuasa, keuntungannya dari puasanya hanyalah lapar dan haus.’’ (Sumber: ‘Berpuasa seperti Rasulullah’ terbitan Gema Insani)

sumber: Republika Online