Rahasia Shalat Menurut Syekh Abdul Karim Al-Jili

Syekh Abdul Karim Al-Jili dalam karyanya  Al-Insan Al-Kamil Fi Ma’rifati Awakhir Wal Awail (Juz, 2, halaman 336-337) mengulas tentang hakikat dan rahasia dalam shalat.

Menurut penuturan Syekh Abdul Karim Al-Jili, shalat adalah isyarat untuk mengesakan Allah SWT. Dan tujuan mendirikan shalat adalah untuk menjalankan syariat Allah yang dibebankan kepada manusia.

Bersuci sebagai isyarat untuk membersihkan diri dari segala kekurangan. Bersuci disyaratkan memakai air sebagai isyarat tidak akan hilang kekurangan seorang hamba, kecuali dengan tampaknya bekas-bekas yang bersifat ketuhanan, karena sifat ketuhanan adalah sumber hidupnya segala sesuatu yang ada, dan air adalah sumber dari kehidupan.

Tayamum sebagai pengganti dari bersuci dengan air sebagai isyarat penyucian dari perkara yang menyimpang. Menghadap kiblat sebagai isyarat menghadap kepada Allah secara totalitas dan untuk mengenal Allah.

Niat sebagai isyarat pengikat hati di saat menghadap kepada Allah. Takbiratul ihram sebagai isyarat betapa luas dan besarnya surga Allah. Membaca fatihah sebagai isyarat kesempurnaan manusia karena manusia adalah pembuka sesuatu yang ada. Dengan adanya manusia Allah membuka atau memberi tau segala yang ada. 

Rukuk sebagai isyarat menyaksikan yang tiada kepada yang diadakan. Berdiri dari rukuk sebagai isyarat langgengnya atau kekalnya Allah. Oleh karena itu, ketika berdiri dari rukuk mengucapkan, “samiallahu liman hamidah”. Kalimat tersebut tidak ditujukan kepada hamba karena kalimat tersebut memberi kabar tentang hal yang bersifat ketuhanan. 

Sujud sebagai isyarat terhapusnya bekas-bekas kemanusian dengan tetapnya dzat Allah yang disucikan. Duduk diantara dua sujud sebagai isyarat pernyataan hamba pada hakikat Al-Asma Wa Al-Sifat (nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah). Sujud yang kedua sebagai isyarat maqam-maqam ibadah, dan isyarat kembalinya makhluk (yang diciptakan) kepada khalik (yang menciptakan).

Tahiyat akhir sebagai isyarat sempurnanya Allah dan segala ciptaannya, karena dalam tahiyat akhir ada pujian-pujian kepada Allah dan Rasulnya dan juga pujian-pujian kepada hamba-hamba Allah yang shalih. 

Para Nabi dan hamba-hamba Allah yang saleh berada di maqam atau derajat yang paling sempurna. Seorang waliyullah (kekasih Allah) tidak akan sempurna derajatnya kecuali memahami hakikat ketuhanan dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW. 

Demikian penjelasan terkait rahasia Shalat menurut Syekh Abdul Karim Al-Jili. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi? (Antara Dalil Dan Perasaan)

Pro kontra masalah status kedua orang tua Nabi akhir-akhir ini menjadi buah bibir media sosial. Sebagai seorang muslim, mari kita semua menimbangnya dengan dalil bukan dengan perasaan semata. Mari cermati dua hadits yang merupakan landasan dasar masalah ini:

Dalil pertama:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِيْ؟ قَالَ: فِي النَّارِ. فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ

Dari Anas, bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, di manakah tempat ayahku (yang telah meninggal) sekarang berada?” Beliau menjawab, “Di neraka.” Ketika orang tersebut menyingkir, maka beliau memanggilnya lalu berkata, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka” (HR. Imam Muslim dalam Shahîh-nya (203).

Dalil Kedua:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ a قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ n قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِيْ أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِيْ أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِيْ فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ

Dari Abu Hurairah berkata, “Nabi pernah menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis dan membuat orang yang berada di sampingnya juga turut menangis kemudian beliau bersabda, ‘Saya tadi meminta izin kepada Rabbku untuk memohon ampun baginya (ibunya) tetapi saya tidak diberi izin, dan saya meminta izin kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya (ibunya) kemudian Allah memberiku izin. Berziarahlah karena (ziarah kubur) dapat mengingatkan kematian.’” (HR. Imam Muslim dalam Shahîh-nya (976–977).

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata mengomentari hadits ini:

“Ketahuilah wahai saudaraku seislam bahwa sebagian manusia sekarang dan sebelumnya juga, mereka tidak siap menerima hadits shahih ini dan tidak mengimani kandungannya yang menegaskan kufurnya kedua orangtua Nabi. Bahkan sebagian kalangan yang dianggap sebagai tokoh Islam mengingkari hadits ini berikut kandungannya yang sangat jelas.

Menurut saya, pengingkaran seperti ini pada hakikatnya juga tertuju kepada Rasulullah yang telah mengabarkan demikian, atau minimal kepada para imam yang meriwayatkan hadits tersebut dan menshahihkannya. Dan ini merupakan pintu kefasikan dan kekufuran yang nyata karena berkonsekuensi meragukan kaum muslimin terhadap agama mereka, sebab tidak ada jalan untuk mengenal dan memahami agama ini kecuali dari jalur Nabi sebagaimana tidak samar bagi setiap muslim.

Jika mereka sudah tidak mempercayainya hanya karena tidak sesuai dengan perasaan dan hawa nafsu mereka maka ini merupakan pintu yang lebar untuk menolak hadits-hadits shahih dari Nabi. Sebagaimana hal ini terbukti nyata pada kebanyakan penulis yang buku-buku mereka tersebar di tengah kaum muslimin seperti al-Ghazali, al-Huwaidi, Bulaiq, Ibnu Abdil Mannan, dan sejenisnya yang tidak memiliki pedoman dalam menshahihkan dan melemahkan hadits kecuali hawa nafsu mereka semata.

Dan ketahuilah wahai saudaraku muslim yang sayang terhadap agamanya bahwa hadits-hadits ini yang mengabarkan tentang keimanan dan kekufuran seseorang adalah termasuk perkara ghoib yang wajib untuk diimani dan diterima dengan bulat. Allah berfirman:

الٓمٓ ﴿١﴾ ذَ‌ٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَـٰهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣﴾

Alif lâm mîm. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka” (QS. al-Baqarah [2]: 1–3)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍۢ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـٰلًۭا مُّبِينًۭا ﴿٣٦﴾

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. al-Ahzâb [33]: 36)

Maka berpaling darinya dan tidak mengimaninya berkonsekuensi dua hal yang sama-sama pahit rasanya. Pertama: Mendustakan Nabi. Kedua: Mendustakan para perawi hadits yang terpercaya.

Dan tatkala menulis ini, saya tahu betul bahwa sebagian orang yang mengingkari hadits ini atau memalingkan maknanya dengan maka yang batil seperti as-Suyuthi—semoga Allah mengampuninya—adalah karena terbawa oleh sikap berlebih-lebihan dalam mengagungkan dan mencintai Nabi, sehingga mereka tidak terima bila kedua orangtua Nabi seperti yang dikabarkan oleh Nabi, seakan-akan mereka lebih sayang kepada orangtua Nabi daripada Nabi sendiri!!!” (Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah no. 2592)

Sebenarnya ucapan para ulama salaf tentang aqidah ini banyak sekali. Namun, cukuplah kami nukil di sini ucapan al-Allamah Ali bin Sulthan Ali al-Qari,

“Telah bersepakat para ulama salaf dan khalaf dari kalangan sahabat, tabi’in, imam empat, dan seluruh ahli ijtihaj akan hal itu (kedua orangtua Nabi di neraka) tanpa ada perselisihan orang setelah mereka. Adapun perselisihan orang setelah mereka tidaklah mengubah kesepakatan ulama salaf.” (Adillah Mu’taqad Abi Hanifah fi Abawai Rasul, hlm. 84).

Kalau ada yang mengatakan bahwa keyakinan/aqidah bahwa kedua orangtua Nabi di neraka termasuk kurang adab terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Kita jawab:

Beradab terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang sebenarnya adalah mengikuti perintahnya dan membenarkan haditsnya, sedang kurang adab terhadap Rasulullah adalah apabila menyelisihi petunjuknya dan menentang haditsnya. Allah berfirman:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُقَدِّمُوا۟ بَيْنَ يَدَىِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌۭ ﴿١﴾

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Hujurât: 1)

Alangkah bagusnya perkataan Syaikh Abdurrahman al-Yamani tatkala mengomentari hadits ini, “Seringkali kecintaan seseorang tak dapat dikendalikan sehingga dia menerjang hujjah serta memeranginya. Padahal orang yang diberi taufik mengetahui bahwa hal itu berlawanan dengan mahabbah (cinta) yang disyari’atkan. Wallahul Musta’an”.

Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini berkata, “Termasuk kegilaan, bila orang yang berpegang teguh dengan hadits-hadits shahih disifati dengan kurang adab. Demi Allah, seandainya hadits tentang Islamnya kedua orangtua Nabi shahih, maka kami adalah orang yang paling berbahagia dengannya. Bagaimana tidak, sedangkan mereka adalah orang yang paling dekat dengan Nabi yang lebih saya cintai daripada diriku ini. Allah menjadi saksi atas apa yang saya ucapkan. Tetapi kita tidaklah membangun suatu ucapan yang tidak ada dalilnya yang shahih. Sayangnya, banyak manusia yang melangkahi dalil shahih dan menerjang hujjah. Wallahul Musta’an” (Lihat Majalah at-Tauhîd, Mesir, edisi 3/Rabi’ul Awal 1421 hlm. 37).

***

Penulis: Ust. Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/28443-kafirkah-kedua-orang-tua-nabi-antara-dalil-dan-perasaan.html

Hadis: Larangan Mencela Orang yang Sudah Meninggal Dunia

Teks hadis

Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا

Janganlah kalian mencela (menyebutkan kejelekan atau keburukan) orang yang sudah meninggal dunia, karena mereka telah mendapatkan apa yang telah mereka kerjakan.” (HR. Bukhari no. 1393)

Diriwayatkan dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَتُؤْذُوا الْأَحْيَاءَ

Janganlah kalian menghina mereka yang sudah mati, sehingga kalian menyakiti mereka yang masih hidup.” (HR. Tirmizi no. 1982, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Terdapat beberapa faedah yang bisa diambil dari dua hadis di atas, di antaranya:

Faedah pertama

Hadis di atas berisi larangan mencela orang yang sudah meninggal dunia atau merendahkan kehormatannya. Hal ini karena kalimat larangan dalam hadis di atas, yaitu لَا تَسُبُّوا (Janganlah kalian mencela), menunjukkan hukum haram. Sebagaimana hal itu adalah hukum asal yang ditunjukkan oleh kalimat larangan. Sebagian ulama berdalil dengan hadis tersebut untuk melarang mencela orang yang sudah meninggal secara mutlak, baik muslim atau kafir, orang saleh maupun fasik, berdasarkan makna umum yang ditunjukkan oleh hadis, yaitu (الْأَمْوَات) (semua orang yang sudah meninggal dunia, siapapun mereka).

Sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa hadis tersebut bersifat khusus berkaitan dengan orang yang sudah meninggal dunia dari kalangan kaum muslimin. Karena termasuk dalam ibadah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala adalah dengan mencela orang-orang kafir. Alasan yang lain, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “karena mereka telah sampai (mendapatkan) apa yang telah mereka kerjakan.” Hal ini adalah isyarat bahwa yang Rasulullah maksudkan adalah orang yang sudah meninggal dunia dari kalangan kaum muslimin.

Terdapat pendapat ketiga yang memberikan rincian dalam masalah ini. Yaitu, boleh menyebutkan kejelekan dan keburukan orang kafir yang sudah meninggal dunia, apabila hal itu tidak menyakiti kerabatnya yang muslim. Jika tidak ada kerabatnya yang muslim yang tersakiti, atau memang ketika di masa hidupnya orang kafir tersebut menyakiti kaum muslimin, maka tidak mengapa menyebutkan kejelekan-kejelekannya.

Adapun jika orang yang sudah meninggal tersebut adalah muslim, maka tidak boleh mencela atau menjatuhkan kehormatannya. Perbuatan ini termasuk dalam ghibah. Kecuali jika orang tersebut adalah orang fasik yang terdapat maslahat dengan menyebutkan kejelekannya. Dalam hal ini, diperbolehkan menyebutkan kejelekannya untuk memperingatkan kaum muslimin darinya. Bukan dengan maksud untuk mencela, akan tetapi agar kaum muslimin yang masih hidup mendapatkan peringatan tentang orang tersebut. Misalnya, para ulama sepakat tentang bolehnya mencela atau menyebutkan kejelekan perawi (misalnya perawi tersebut adalah seorang pendusta atau buruk hapalannya), baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia. Hal ini karena adanya maslahat untuk menjaga As-Sunnah. Jika tidak terdapat maslahat, maka wajib menjaga diri dari perbuatan tersebut.

Faedah kedua

Hadis di atas mengisyaratkan hikmah mengapa mencela orang yang sudah meninggal dunia itu terlarang, yaitu:

Hikmah pertama, karena mereka telah mendapatkan balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan, baik berupa kebaikan ataupun keburukan. Sehingga tidak ada lagi manfaat mencela mereka. Tidak sebagaimana jika mereka masih hidup di dunia, bisa saja mereka mendapatkan manfaat. Hal ini karena bisa jadi mereka sadar atau introspeksi diri ketika mendapatkan kritikan atau celaan.

Hikmah kedua, karena mencela orang yang sudah meninggal dunia bisa menyakiti kerabatnya yang masih hidup, sebagaimana disebutkan dalam hadis Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi, tidak boleh dipahami bahwa boleh mencela apabila tidak ada kerabat yang tersakiti. Misalnya, ketika jenazah tersebut memang tidak memiliki kerabat atau ketika kerabatnya tidak mengetahui hal itu. Hal ini karena mencela orang yang sudah meninggal dunia itu karena adanya hikmah yang pertama. Apabila muncul efek kedua (menyakiti kerabat), maka perbuatan itu menjadi terlarang karena dua sisi.

Hikmah ketiga, bahwa mencela orang yang sudah meninggal dunia itu termasuk dalam ghibah yang terlarang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang ghibah,

ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

Ghibah adalah kamu menyebutkan kejelekan saudaramu mengenai yang dia tidak sukai (untuk didengarkan orang lain).” (HR. Muslim no. 2589)

Termasuk dalam hadis di atas adalah jika orang yang di-ghibah itu masih hidup atau sudah meninggal dunia. Imam Bukhari rahimahullah membuat satu judul bab dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad (2: 202), “Melakukan ghibah terhadap orang yang sudah meninggal dunia.”

Ibnu Bathal rahimahullah berkata, “Mencela orang yang sudah meninggal dunia itu seperti melakukan ghibah terhadap orang yang masih hidup.” (Syarh Ibnu Bathal ‘ala Shahih Al-Bukhari, 3: 354)

Faedah ketiga

Terdapat dalam Shahih Bukhari, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

مَرُّوا بِجَنَازَةٍ، فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا خَيْرًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَجَبَتْ. ثُمَّ مَرُّوا بِأُخْرَى فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا شَرًّا، فَقَالَ: وَجَبَتْ. فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا وَجَبَتْ؟ قَالَ: هَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا، فَوَجَبَتْ لَهُ الجَنَّةُ، وَهَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا، فَوَجَبَتْ لَهُ النَّارُ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الأَرْضِ

Mereka (para sahabat) pernah melewati satu jenazah lalu mereka menyanjungnya dengan kebaikan. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Pasti baginya.’ Kemudian mereka melewati jenazah yang lain, lalu mereka menyebutnya dengan keburukan, maka beliau pun bersabda, ‘Pasti baginya.’

Kemudian Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertanya, ‘Apa yang dimaksud dengan pasti baginya?’

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Jenazah pertama kalian sanjung dengan kebaikan, maka pasti baginya masuk surga. Sedangkan jenazah kedua kalian menyebutnya dengan keburukan, berarti dia masuk neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi.’” (HR. Bukhari no. 1367)

Dalam hadis ini terdapat dalil bolehnya menyebutkan kebaikan ataupun keburukan orang yang sudah meninggal dunia ketika ada hajat (kebutuhan). Dan hal itu tidak termasuk dalam ghibah. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari perbuatan tersebut. Atau bisa jadi orang yang mereka cela tersebut sudah terkenal dengan kefasikan atau kejelekannya sehingga dikhawatirkan ada kaum muslimin yang ikut-ikutan mencontohnya. Sehingga celaan tersebut termasuk dalam peringatan kepada kaum muslimin yang masih hidup. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Rumah Kasongan, 28 Ramadan 1444/ 19 April 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 385-387).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84518-hadis-larangan-mencela-orang-yang-sudah-meninggal-dunia.html

Pecinta Seni asal Inggris Masuk Islam karena Al-Quran

Sebastian Van’t Hoff adalah seorang dosen. Dia saat ini tinggal di Oxford, Inggris. Dirinya mempelajari sejarah seni dan merupakan pecinta seni.

Menurut situs volzin.nu, Van’t Hoff aktif dalam gerakan antaragama dan menjadi manajer pusat retret multiagama Loudwater Farm. Van ‘t Hoff seringkali menulis tentang perjumpaan dengan sesama manusia, Islam, seni dan budaya.

Di Facebook, pria yang juga pemilik galeri itu menceritakan bagaimana pertemuannya dengan Islam dan alasan sehingga akhirnya memilih untuk menjadi masuk Islam dan menjadi mualaf.

“Saya masuk Islam sekitar empat puluh tahun yang lalu. Alasannya, saya terharu sampai menitikkan air mata membaca Al-Qur’an dan Sirah; Saya tahu saya sedang membaca kebenaran,” tulisnya.

Van’t Hoff mengaku pada saat itu ia memiliki beberapa kenalan Muslim dan merasakan bahwa mereka “memiliki sesuatu”.

“Pada masa itu saya juga memiliki beberapa rekan dan teman Muslim. Saya sangat menyukai mereka dan merasakan bahwa mereka ‘memiliki sesuatu’. Saya sangat merasakannya di rumah mereka. Ada kemurnian dan kedamaian di rumah-rumah ini di mana orang mengarahkan diri mereka kepada Tuhan lima kali sehari,” imbuh Van’t Hoff. Selain itu, ia menyukai kebersihan yang diajarkan oleh Islam.

“(Saya juga menyukai kebersihan saat melepas sepatu saat memasuki rumah.) Belakangan saya menyadari perasaan yang sama di masjid yang seringkali seperti oasis di kota yang sibuk. Saya menyukai “perasaan Muslim” yang bersih ini,” ujarnya kagum.

Menariknya, meski memiliki beberapa teman Muslim, Van’t Hoff mengungkapkan bahwa mereka tidak pernah berbicara tentang Islam dengannya dan dirinya pun tak pernah bertanya kepada mereka.

“Perilaku merekalah yang menyentuh saya dan membuat saya merasakan cinta kepada mereka,” aku Van’t Hoff.

Ketertarikannya kepada Islam terutama adalah karena Al-Quran, kitab yang diturunkan Allah untuk umat manusia. Hal tersebut tidak lepas dari kesukaan Van’t Hoff dalam membaca.

“Saya seseorang yang mengambil pengetahuan melalui membaca, saya selalu suka membaca. Itulah mengapa membaca Al-Qur’an adalah alasan utama saya tertarik pada Islam. Saya tidak suka ceramah dan khotbah dan tentunya bukan seseorang yang mencoba meyakinkan saya tentang sesuatu. Salah satu keajaiban Al-Qur’an adalah bahwa bahkan dengan terjemahan yang buruk (jelas, tidak ada yang bisa melampaui bahasa Arab yang luar biasa yang terkandung di dalamnya) Al-Qur’an masih dapat menggerakkan orang dan membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan,” ungkap Van’t Hoff.*

HIDAYATULLAH

Bolehkah Qadha Puasa Ramadhan di Hari Jum’at?

Seringkali kita mendengar mengenai kemakruhan untuk melaksanakan puasa di hari jum’at. Hal ini menyebabkan beberapa orang tidak mengqadha puasanya yang tertinggal di bulan Ramadhan pada hari Jum’at dan memilih untuk puasa di hari berikutnya. Lantas, bolehkah qadha puasa ramadhan di hari jum’at?

Dalam literatur kitab fikih, dijumpai beberapa keterangan yang menjelaskan mengenai kewajiban untuk menyegerakan qadha puasa Ramadhan yang tertinggal. Kewajiban ini harus didahulukan dari pelaksanaan puasa sunnah, karena merupakan perintah yang wajib dikerjakan.

Sebagaimana dalam kitab I’anah at-Thalibiin, juz 4, halaman 294 berikut,

وعبارة الزواجر الحادي عشر أي من شروط التوبة التدارك فيما إذا كانت المعصية بترك عبادة ففي ترك نحو الصلاة والصوم تتوقف صحة توبته على قضائها لوجوبها عليه فورا وفسقه بتركه كما مر فإن لم يعرف مقدار ما عليه من الصلوات مثلا  قال الغزالي تحرى وقضى ما تحقق أنه تركه من حين بلوغه

Artinya : “Redaksi dalam kitab az-Zawaajir, mengenai urutan yang ke sebelas dari syarat-syaratnya taubat adalah mengqadha ibadah, yakni apabila maksiat yang dilakukan akibat meninggalkan ibadah di masa silam, maka dalam meninggalkan shalat dan puasa misalnya, untuk dapat mengabsahkan taubatnya, dia harus mengqadha terlebih dahulu karena mengqadhanya diwajibkan sesegera mungkin dan dihukumi fasik bila ditinggalkan seperti keterangan yang telah lewat.

Bila tidak diketahui jumlah yang wajib ia qadha seperti dalam kasus shalat misalnya, maka menurut al-Ghazali wajib baginya meneliti dan mengqadha yang telah nyata ia tinggalkan mulai masa balighnya.”

Seseorang yang melakukan qadha puasa Ramadhan di hari jum’at juga dihukumi sah dan terbebas dari kewajiban. Tetapi, menurut pendapat yang sohih apabila seseorang mengqadha puasanya di hari jum’at saja, tanpa melakukan puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, maka dihukumi makruh. 

Sebagaimana dalam kitab Nurul Lum’ah fi Khashaishil Jum’ah berikut,

الصحيح من مذهبنا وبه قطع الجمهور كراهة صوم الجمعة منفردا، وفي وجه أنه لا يكره إلا لمن لو صامه منعه من العبادة وأضعفه 

Artinya, “Pendapat yang shahih dari mazhab kita, yakni Syafi’i dan ini merupakan pendapat jumhur ulama bahwa puasa hari Jumat saja dihukumi makruh apabila tidak diikuti dengan puasa sebelum dan sesudahnya. Menurut sebagian ulama puasa di hari jum’at saja tidak makruh kecuali bagi orang yang terhalang ibadahnya lantaran puasa dan dapat melemahkan tubuhnya.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa seseorang yang melakukan qadha puasa Ramadhan di hari jum’at dihukumi sah dan terbebas dari kewajiban. Tetapi, apabila seseorang mengqadha puasanya di hari jum’at saja, tanpa melakukan puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, maka dihukumi makruh. 

Demikian penjelasan mengenai bolehkah qadha puasa ramadhan di hari jum’at. Semoga bermanfaat. Waallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Kapan Waktu yang Tepat untuk Puasa Syawal?

Puasa Syawal adalah puasa sunnah yang dilakukan pada bulan Syawal, yaitu bulan setelah Ramadlan. Lantas kapan waktu yang tepat untuk puasa Syawal?

Tak bisa dipungkiri, puasa Syawal merupakan puasa sunnah yang banyak digemari oleh umat muslim, dikarenakan mereka sudah terbiasa berpuasa di bulan sebelumnya. Hingga menganggap puasa ini sebagai puasa lanjutan dari puasa Ramadlan.

 عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا رواه ابن ماجه والنسائي ولفظه :

Dari Tsauban maula (pembantu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang melakukan puasa enam hari setelah hari raya ‘Idul Fithri, maka, itu menjadi penyempurna puasa satu tahun. [Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya].

Pelaksanaan bisa dimulai dari setelah hari raya Idul Fitri, yaitu 2 Syawal. Dan berakhir pada akhir bulan Syawal. Berdasarkan hadits tersebut, puasa Syawal dilakukan selama enam hari. Enam hari tersebut dilakukan selama bulan Syawal, tidak berlaku pada bulan setelah Syawal.

Imam Nawawi rahimahullah memberikan keterangan dalam Syarh Shahih Muslim, bahwa para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhal (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut sehari setelah Idul Fitri.

Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan. Karena seperti itu pun disebut menjalankan puasa enam hari Syawal setelah Ramadhan.

Begitupun dengan Syaikh Muhammad bin rasyid Al-Ghafily yang menyebutkan senada dengan keterangan di atas. Beliau menyebutkan bahwa yang lebih utama adalah memulai puasa Syawal sehari setelah Idul Fithri.

Ini demi kesempurnaan dan menggapai keutamaan. Hal ini supaya mendapatkan keutamaan puasa segera mungkin sebagaimana disebutkan dalam dalil sebelumnya. Namun, sah-sah saja puasa Syawal tidak dilakukan di awal-awal bulan Syawal karena menimbang mashalat yang lebih besar.

Allah Ta’ala pun berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqarah: 286)

Dari berbagai keterangan di atas, para ulama sepakat dan tidak ada perbedaan jika permulaan waktu untuk puasa Syawal adalah pada tanggal 2 Syawal, yaitu hari setelah perayaan Idul Fitri. Tidak harus di tanggal 2 Syawal, melainkan ini merupakan hari pertama diperbolehkannya melaksanakan puasa sunnah Syawal.

Adapun batas akhirnya adalah pada akhir bulan Syawal. Jadi bagi siapa yang belum bisa melakukan lansung dari setelah hari raya Idu Fitri, ia masih ada kesempatan berpuasa hingga akhir bulan Syawal.

Demikian penjelasan kapan waktu yang tepat untuk puasa Syawal? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Jamaah Umroh Harus Penuhi 4 Syarat Ini untuk Bawa Zamzam

Jamaah tidak boleh memasukkan botol Zamzam ke dalam bagasi.

Bandara Internasional King Abdulaziz (KAIA) di Jeddah, Arab Saudi telah menetapkan empat syarat yang harus dipatuhi jamaah umroh jika mereka ingin membawa air Zamzam bersama mereka.

KAIA mengatakan dalam infografik bahwa jamaah haji dan umroh yang kembali ke negaranya tidak boleh memasukkan botol Zamzam ke dalam bagasi yang dikirim. Mereka harus membawanya ke dalam pesawat yang mereka tumpangi.

Dilansir di Saudi Gazette, Jumat (28/4/2023), diberitakan operasi pengiriman membutuhkan pembelian Zamzam dari titik penjualan utama dan hanya botol lima liter yang diperbolehkan. Setiap jamaah umroh yang berangkat dengan penerbangan internasional diperbolehkan membawa satu botol Zamzam, dengan syarat menunjukkan bukti pendaftaran umroh melalui aplikasi Nusuk.

Sebelumnya, Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi telah menegaskan bahwa syarat mendapatkan izin untuk melakukan umroh tetap wajib bagi para peziarah setelah Ramadhan. Mereka yang ingin melakukan umroh harus mendaftar melalui aplikasi Nusuk atau aplikasi Tawakkalna.

Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi juga tetap memberlakukan persyaratan bebas Covid-19. Selain itu, menyatakan peziarah umroh akan dapat berpindah antara Makkah dan Madinah dan di seluruh kota Arab Saudi setelah mereka tinggal.

Perlu disebutkan Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi sebelumnya telah menetapkan tanggal 10 Syawal sebagai tanggal terakhir bagi peziarah domestik untuk membayar angsuran ketiga dan terakhir dari reservasi haji mereka.

Angsuran akhir berjumlah 40 persen dari biaya yang ditentukan untuk paket yang disetujui selama musim haji ini. Kementerian mengatakan status reservasi akan dikonfirmasi saat menyelesaikan semua cicilan pada waktu yang ditentukan.

Tercatat reservasi akan dibatalkan jika cicilan tidak selesai. Penerbitan izin resmi akan dimulai pada tanggal 15 Syawal, sesuai dengan 5 Mei.

IHRAM

Didiklah Anak Seperti Ini Agar tak Dzalim

Cara Mendidik Anak dalam Islam agar tak dzalim

Islam bukan saja agama yang identik dengan ibadah individual antara sang hamba dengan Allah saja, lebih dari itu umat Islam juga diajarkan mengenai menjalin hubungan terhadap manusia dan alam semesta. Untuk itu dibutuhkan pendidikan yang baik dalam upaya menjalin hubungan tersebut agar tidak menzhalimi orang lain dan alam.

Syekh Aidh Al-Qarni dalam kitab Sentuhan Spiritual menjelaskan, Allah telah memberikan amanah berupa anak-anak kepada orang tua. Untuk kebaikan anak-anak itu, Allah telah menyerukan beberapa hal dan salah satu penekanannya adalah dengan menuntut ilmu. 

Syekh Aidh mengatakan, sebelum seseorang memulai perjalanan dakwah, kehidupan, dan lika-liku perjalanan maka dia diwajibkan untuk menuntut ilmu. Dia mengajak umat Islam untuk memenuhi hati dengan iman, memenuhi anggota badan dengan keyakinan, dan memenuhi otak dan pikiran dengan ilmu dan buahnya adalah akhlak.

Allah SWT menyifati pari penuntut ilmu bahwa mreka takut kepada-Nya, berhenti dari batasan-batasan-Nya, dan merekalah yang mengawasi-Nya dalam kesunyian dan keramaian. Sehingga orang yang tidak mengawasi Allah, tidak takut kepada-Nya, dan tidak bertakwa kepada-Nya, bukanlah penuntut ilmu. 

Dalam Alquran Surah Faathir ayat 28, Allah berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama,”. 

Dijelaskan bahwa Allah juga menyifati para penuntut ilmu bahwa mereka memiliki pemahaman dalam berdakwah, pemahaman dalam agama dan berdalih dengan nash-nash seraya berfirman dalam Surah Al-Ankabut ayat 43, “Dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu,”. 

Bahkan Allah SWT tidak memerintahkan kepada para Rasul-Nya untuk berbekal kecuali dengan ilmu. Allah berfirman dalam Surah Thaahaa ayat 114, “Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan,”. 

Syekh Aidh menekankan bahwa umat Islam yang menuntut ilmu agar senantiasa menyandingkan ilmu tersebut dengan akhlak dan berharap kemanfaatan atas ridha Allah SWT. Sebab, kata beliau, seorang hamba yang berilmu tanpa dihiasi akhlak dan juga keridhaan Allah akan menyesal. 

Ilmu yang tidak membuatmu menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah bukanlah ilmu. Ilmu yang tidak membuatmu patuh terhadap kedua orang tua, menyambung silaturrahim, jujur dan bertanggung jawab, sesungguhnya hatinya tidak mengetahui Allah. Ilmu yang tidak diiringi dengan keadilan dan justru berlaku zhalim, sesungguhnya itu bukanlah ilmu Allah.

IHRAM

Beramal Tanpa Panduan

Bismillah.

Di antara bentuk kesalahpahaman yang tersebar di tengah masyarakat muslim adalah melandaskan amal kepada niat semata. Yang penting ikhlas, atau yang penting niatnya baik, dan sebagainya. Kerancuan berpikir seperti ini telah dijawab oleh Imam Bukhari rahimahullah. Di dalam Kitabul Ilmi dari Shahih Bukhari beliau membuat bab dengan judul ‘Bab Ilmu sebelum ucapan dan amalan.’

Para ulama menjelaskan bahwa amal saleh harus memenuhi 2 kriteria: 1) ikhlas karena Allah dan 2) mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kehilangan syarat pertama membuat pelakunya terjerumus ke dalam syirik. Kehilangan syarat kedua membuatnya jatuh ke dalam bid’ah.

Contoh orang yang beramal tanpa ikhlas adalah tiga orang yang pertama kali diadili dan menjadi bahan bakar neraka: 1) orang yang berjihad untuk mencari pujian, 2) orang yang membaca Al-Qur’an dan mencari ilmu untuk mencari sanjungan, dan 3) orang yang berinfak supaya dikenal sebagai dermawan. Allah berfirman,

وَقَدِمۡنَاۤ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنۡ عَمَلࣲ فَجَعَلۡنَـٰهُ هَبَاۤءࣰ مَّنثُورًا

Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka lakukan, kemudian Kami jadikan ia bagi debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tentang ikhlas sangat penting dalam menjaga amal dari kerusakan. Para ulama memiliki perhatian yang sangat besar untuk memahamkan kaum muslimin tentang makna ikhlas. Sebagaimana menjaga amal agar sesuai dengan tuntunan dibutuhkan ilmu, maka menjaga amal agar ikhlas juga perlu bekal ilmu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kebaikan seorang muslim sangat erat kaitannya dengan ilmu dan pemahamannya dalam agama. Tidak cukup bermodal semangat. Karena orang yang beramal tanpa ilmu akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.

Karena itulah setiap kali salat kita berdoa kepada Allah meminta petunjuk jalan yang lurus. Hakikat jalan lurus atau shirathal mustaqim adalah mengenali kebenaran dan beramal dengannya. Dengan demikian, untuk bisa mendapatkan ilmu seorang muslim membutuhkan pertolongan Allah dan petunjuk dari-Nya.

Malik bin Dinar berkata, “Barangsiapa menimba ilmu untuk beramal, maka Allah akan memberikan taufik kepadanya. Dan barangsiapa menimba ilmu bukan untuk beramal, maka semakin banyak ilmu akan justru membuatnya semakin bertambah congkak.” (lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 575-576)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Orang yang diberikan kenikmatan adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal, namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 25)

Oleh sebab itu, kita dapati para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang-orang yang bersemangat untuk menimba ilmu sekaligus mengamalkannya. Tidaklah mereka melewati sekitar sepuluh ayat, melainkan mereka berusaha memahami maknanya dan mengamalkannya. Mereka berkata, “Maka kami mempelajari ilmu dan amal secara bersama-sama.” (lihat Al-‘Ilmu, Wasa’iluhu wa Tsimaaruhu oleh Syekh Sulaiman Ar-Ruhaili, hal. 19)

Amal itu mencakup iman kepada Allah, menunaikan ketaatan kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Tercakup dalam amal ini berbagai bentuk ibadah khusus yang bersifat pribadi maupun ibadah-ibadah yang memberikan faedah luas kepada orang lain. Ibadah khusus misalnya salat, puasa, haji. Adapun ibadah yang meluas faedahnya antara lain amar makruf nahi mungkar, jihad di jalan Allah, dsb. Amal inilah yang menjadi buah dari ilmu. Barangsiapa beramal tanpa ilmu, menyerupai kaum nasrani. Dan barangsiapa berilmu tetapi tidak beramal dengannya, menyerupai kaum Yahudi. (lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 22)

Allah berfirman,

 أَلَمۡ یَأۡنِ لِلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا یَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ أُوتُوا۟ ٱلۡكِتَـٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَیۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ وَكَثِیرࣱ مِّنۡهُمۡ فَـٰسِقُونَ

ٱعۡلَمُوۤا۟ أَنَّ ٱللَّهَ یُحۡیِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَاۚ قَدۡ بَیَّنَّا لَكُمُ ٱلۡـَٔایَـٰتِ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ

Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk/khusyuk hati mereka karena mengingat Allah dan kebenaran yang turun, dan janganlah mereka itu menjadi seperti orang-orang yang diberikan kitab sebelumnya. Masa yang panjang berlalu, maka hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. Ketahuilah bahwasanya Allah menghidupkan bumi setelah kematiannya. Sungguh Kami telah menerangkan kepada kalian ayat-ayat, mudah-mudahan kalian mau memikirkan.” (QS. Al-Hadid: 16-17)

Sebagaimana bumi yang mati menjadi hidup kembali dengan siraman air hujan dari langit, maka demikian pula hati yang mati dan keras akan menjadi hidup dan bercahaya dengan siraman petunjuk dan taufik dari Rabb penguasa langit dan bumi. Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah berkata, “Maka, demikian pula hati, tidak akan mungkin dia menjadi hidup dan merasakan kelezatan hidup serta menikmatan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, kecuali dengan Al-Qur’an ini. Tanpa Al-Qur’an dan tanpa beramal dengannya seorang insan hanya akan menjalani kehidupan ini seperti kehidupan binatang, bukan kehidupan yang hakiki.” (lihat Hablullah Al-Mamdud, hlm. 9)

Dalam kitabnya Miftah Daris Sa’adah, Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, “Iman itu memiliki dua pilar. Yang pertama adalah mengenali ajaran yang dibawa oleh Rasul dan mengilmuinya. Yang kedua adalah membenarkan ajaran itu dalam bentuk ucapan dan amalan. Pembenaran tanpa landasan ilmu dan pemahaman adalah mustahil. Karena pembenaran merupakan cabang dan konsekuensi dari keberadaan sesuatu yang diyakini kebenarannya. Kalau begitu maka kedudukan ilmu dalam keimanan seperti peranan ruh di dalam jasad.” (lihat nukilan ini dalam kitab ‘Ibadatul ‘Umri karya Syekh Abdurrahman as-Sanad hafizhahullah, hal. 10)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84470-beramal-tanpa-panduan.html

4 Amalan Sunah di Bulan Syawal

BULAN Syawal diperingati sebagai salah satu momen besar umat Islam yaitu pada tanggal 1-nya kita merayakan Hari Raya Idul Fitri. Nah, selain itu, ada juga beberapa amalan sunnah di bulan Syawal ini.

Hari kemenangan umat Muslim di seluruh dunia karena berhasil menjalankan ibadab puasa di bulan Ramadhan selama sebulan penuh. Syawal juga menjadi bulan pembuktian hasil ‘penggodokan’ di bulan Ramadhan, jadi ibadah sudah seharusnya terus berkelanjutan dan ditingkatkan pada bulan syawal.

Keistimewaan bulan Syawal dapat kita dapatkan dengan melakukan beberapa ibadah sunnah, bukan hanya puasa 6 hari saja yang telah dikenal mayoritas umat Muslim.

Berikut amalan-amalan sunah yang akan membuat Syawal menjadi bulan istimewa:

1 Amalan Sunah di Bulan Syawal: Puasa enam hari

Setelah menjalani puasa selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan, puasa enam hari di bulan syawal menjadi pelengkap atau penyempurna amalan pada bulan Ramadhan. Bahkan pahala puasa enam di bulan Syawal hari seusai puasa Ramadhan sama dengan puasa satu tahun penuh.

Larangan bagi Perempuan Haid atau Nifas, Manfaat Puasa Senin Kamis, Hukum Menunda-nunda Qadha Puasa Ramadhan, Puasa Senin Kamis, Manfaat Puasa Sunnah Senin dan Kamis, qadha puasa, Puasa Qadha, Waktu Membayar Utang Puasa Ramadhan, Ketentuan Qadha Puasa, Utang Puasa Ramadhan, Niat Puasa Senin-Kamis, keutamaan puasa daud, Puasa Qadha, Manfaat Puasa, Qadha Puasa Ramadhan, Hukum Berpuasa Sunnah Seminggu sebelum Ramadhan, puasa, Hadist tentang Bulan Syawal
Foto: Pinterest

Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi SAW bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).

Untuk pelaksanaan puasa sunah Syawal sebaiknya dilakukan di awal bulan Syawal. Namun tidak di awal Syawal pun tak mengapa.

Imam Nawawi ra berkata, “Menurut ulama Syafi’iyah, puasa enam hari di bulan Syawal disunnahkan berdasarkan hadits di atas. Disunnahkan melakukannya secara berturut-turut di awal Syawal. Jika tidak berturut-turut atau tidak dilakukan di awal Syawal, maka itu boleh. Seperti itu sudah dinamakan melakukan puasa Syawal sesuai yang dianjurkan dalam hadits. Sunnah ini tidak diperselisihkan di antara ulama Syafi’iyah, begitu pula hal ini menjadi pendapat Imam Ahmad dan Daud.” (Al Majmu’, 6: 276).

2 Melakukan i’tikaf

Melakukan i’tikaf atau berdiam diri di dalam masjid merupakan salah satu amalan yang sangat istimewa di bulan syawal.

Maksud berdiam diri ini tentunya bukan hanya berdiam diri saja di dalam masjid tanpa melakukan apa-apa. Berbagai amalan dan ibadah dapat dilakukan selama melaksanakan I’tikaf.

Agar Ibadah Diterima, Syarat Imam Shalat Berjamaah, Keutamaan bulan Muharram, Pahala Shalat di Masjid, Keutamaan Shalat Awal Waktu, Kriteria Masjid untuk Itikaf
Foto: Unsplash

I’tikaf merupakan cara seorang hamba lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan berzikir, melaksanakan shalat lima waktu dan shalat sunah, serta membaca Al-Quran. Biasanya I’tikaf bisa dilaksanakan pada 1 minggu terakhir di bulan Ramadhan.

Pelaksanaan I’tikaf banyak yang dilakukan saat malam hari saja, namun ada juga yang benar-benar melaksanakannya seharian penuh tanpa keluar dari masjid, kecuali untuk makan.

Selain itu, i’tikaf ternyata juga bisa dilakukan di bulan syawal apabila di bulan Ramadan Anda tidak sempat melaksanakannya.

Jadi keistimewaan bulan syawal ini juga dapat sebagai waktu untuk mengganti ibadah I’tikaf yang terlewat atau tidak sempat dilaksanakan saat bulan Ramadan.

Bulan syawal hadir sebagai penyempurna dan penambal amalan-amalan yang tidak dapat dilaksanakan saat bulan Ramadhan.

3 Amalan Sunah di Bulan Syawal: Bersilaturahmi

Amalan bulan syawal yang baik dilakukan selanjutnya adalah bersilaturahmi. Bersilaturahmi merupakan salah satu ibadah yang tidak asing lagi di bulan syawal.

Salah satu keistimewaan bulan syawal ini biasanya dilakukan dengan berbagai kegiatan seperti mudik ke kampung halaman dan saling bermaafan dengan keluarga, tetangga, dan teman-teman.

Jadi tidak heran apabila pada bulan syawal begitu istimewa dengan menjadi salah satu bulan di mana kebanyakan umat muslim bersilaturahmi.

4 Amalan Sunah di Bulan Syawal: Menikah

Suami Susah Beribadah, Hukum Menikahi Wanita yang Sudah tak Perawan, Hukum Menikah dalam Kondisi Hamil, Hukum Pernikahan Anak Hasil Zina, Keutamaan Puasa 6 Hari di Bulan Syawal, Amalan Sunah di Bulan Syawal
Foto: Unsplashkurma

Syawal merupakan bulan istimewa karena hari pertamanya (1 Syawal) merupakan hari raya umat Islam (Idul Fitri). Selain itu, Syawal juga istimewa karena terdapat perintah puasa enam hari di dalamnya yang mengandung keutamaan yang besar.

Disamping dua hal yang disebutkan di atas, Syawal juga istimewa karena identik dengan tradisi menikah. Menikah di bulan Syawal ternyata bukan hanya sekedar tradisi, tapi memang ada tuntunannya dalam Islam.

‘Aisyah ra istri Nabi SAW menceritakan, “Rasulullah SAW menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan syawal pula. Maka isteri-isteri Rasulullah SAW yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (Perawi) berkata, “Aisyah ra dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal” (HR. Muslim).

Selain, anjuran menikah, dalil di atas sekaligus menepis anggapan bahwa menikah di bulan Syawwal adalah kesialan dan tidak membawa berkah. Anggapan tersebut merupakan keyakinan bangsa Arab Jahiliyah pada saat itu. []

ISLAMPOS