Melayani Makhluk Itu Melayani Allah

Dalam MatsnawiJalaluddin Rumi pernah menceritakan kisah menyentil tentang Nabi Musa. Suatu hari, Nabi Musa turun dari Gunung Sinai. Kemudian, ia bertemu dengan beberapa umatnya di sana.

Salah seorang dari umat tersebut bertanya kepada Nabi Musa, “Bisakah engkau mengundang Tuhan untuk makan malam?” Tentu saja sesaat setelah mendengar pertanyaan itu, Nabi Musa gusar, karena konsep tentang Tuhan yang dipikirkan oleh orang tersebut, menurut Nabi Musa, amat salah.

Nabi Musa pun menjawab, “Apa maksudmu? Tuhan tidak seperti yang kamu bayangkan. Dia tidak sebagaimana manusia yang memiliki mulut dan butuh makan. Tuhan itu tak terbatas, tak bisa dibayangkan, tidak makan atau minum, melampaui bentuk-bentuk fisik manusia. Dia tidak seperti kau dan aku, dia melampaui batas-batas ragawi.”

Orang tersebut pun tampak muram dan kecewa karena nyatanya harapannya untuk bisa makan malam dengan Tuhan tak terwujud. Kendati begitu, ia masih menegaskan pertanyaanya lagi, barangkali Nabi Musa berubah pikiran, “Jadi, kau yakin kalau Tuhan tidak bisa diundang untuk makan malam bersama kita?”

“Ya!” Nabi Musa menjawab dengan sungguh tegas.

Ketika Nabi Musa kembali ke Gunung Sinai, Tuhan bertanya tentang undangan makan malam dari salah seorang hamba tersebut. Tentu Nabi Musa lekas merespons, “Aku bilang kalau Engkau tidak makan dan tidak sebagaimana yang ia bayangkan.”

Tapi, nyatanya Allah malah menegur Nabi Musa dan berkata, “Kembalilah kepada mereka dan bilang pada mereka untuk menyiapkan pesta makan di sore hari untuk kedatanganku di pesta makan malam bersama mereka.”

Dapat dibayangkan dengan jelas bagaimana perasaan Nabi Musa ketika sebelumnya bilang kalau Tuhan tidak butuh makan, tetapi setelahnya ia ternyata keliru dan malah menyuruh mereka untuk menyiapkan pesta makan karena Tuhan akan datang.

Bagaimanapun, Nabi Musa tidak bisa menolak apa yang diperintahkan oleh Allah, sehingga ia pergi kembali kepada umatnya tersebut dan menyampaikan kekeliruannya—bahwa ia telah berkata Tuhan tidak butuh makan dan sebagainya—pada mereka, agar mereka menyiapkan pesta makan malam tersebut esok hari.

Akhirnya, semua orang senang mendengar kabar baik itu, bahwa Tuhan mau diundang untuk menghadiri pesta makan malam mereka. Oleh karenanya, setiap orang berantusias untuk gotong royong menyiapkan pesta makan malam tersebut.

Ketika semua orang sedang repot menyiapkan pesta makan tersebut, seorang lelaki tua yang datang dari gurun dan tampak sangat kelaparan sekonyong-konyong muncul. Ia menanyakan apakah ia boleh untuk turut serta menumpang makan dan minum di situ. Nabi Musa menjawab, “Tunggu dulu. Tuhan akan datang ke sini untuk makan malam. Tidak seorang pun boleh makan sebelum Tuhan datang. Jadi, tunggulah dulu.”

Alih-alih lekas diberi makan, orang tua yang tampak kelaparan itu malah disuruh para juru masak untuk membantu menyiapkan minuman-minumannya. Ketika semua sudah siap, orang tua yang sudah membantu menyiapkan pesta dan tampak kelaparan pun juga mesti menunggu kedatangan Tuhan.

Malam semakin suntuk, makanan-makanan menjadi dingin, tetapi Tuhan yang mereka sedang tunggu-tunggu tak kunjung-kunjung datang. Tentu saja orang-orang langsung mengeluh dan menegur Nabi Musa, “Pertama kau bilang kalau Tuhan tidak dapat diundang makan malam karena ia tidak makan, lalu kau bilang bahwa kau keliru dan Tuhan berkehendak untuk hadir pada makan malam kita, tapi nyatanya sampai sekarang Dia tak kunjung datang. Nabi macam apa kau ini?”

Keesokan harinya Nabi Musa ke Gunung Sinai dan mengaduh, “Wahai Tuhan, aku sudah berkata pada kaumku kalau Engkau tidak butuh makan, tetapi Engkau menuduhku keliru dan menyuruhku untuk bilang kepada mereka bahwa Engkau akan datang di perjamuan, tetapi malah Engkau tidak juga muncul.”

Allah pun membalas, “Aku sudah muncul. Aku datang ke sana dengan kelaparan dan kehausanku, tetapi tak seorang pun memberi-Ku makan dan minum, tak seorang pun mau melayani-Ku. Lelaki tua yang tampak kelaparan dan datang dari gurun itu adalah hamba-Ku, ketika kalian memberi makan hamba-Ku, kalian sama saja memberi-Ku makan, dan tatkala kalian melayani hamba-Ku, kalian sebenarnya melayani-Ku.”

Kisah ini membuat kita, yang selain hidup sebagai makhluk sosial, sadar bahwa sebagai makhluk spiritual ketika kita sedang memberi makan atau melayani orang lain, sebenarnya kita sedang melayani Allah. Tak diduga bahwa orang tua yang tampak kelaparan itu ternyata adalah salah satu pertanda kehadiran Tuhan, sebagai representasi atau wakil Allah yang mendatangi sebuah pesta kerena diundang.

Di tengah-tengah pagebluk yang kini masih menerpa kehidupan sosial kita, semestinya kita menyadari bahwa orang lain yang kurang mampu dari kita harus dibantu oleh kita yang lebih mampu. Hidup di era pandemi di mana kondisi ekonomi orang-orang menengah ke bawah sedang mengancam kehidupannya seharusnya membuat kita menjadi insaf bahwa mereka membutuhkan bantuan dan pelayanan kita yang lebih mampu.

Hal itu tidak sekadar muncul sebagai sebuah peristiwa moral antarmanusia, melainkan sebuah peristiwa spiritual di mana sewaktu kita membantu atau melayani orang lain, kita sesungguhnya sedang melayani Tuhan, yang artinya pelayanan itu merupakan ibadah kepada Allah. Menjadi sungguh berdosa malahan ketika melihat orang lain kesusahan, kita tidak melayaninya, lebih-lebih kalau kita malah mengambil sesuatu yang merupakan bagian dari hak dan miliknya.

Melayani Allah tidak melulu dengan beribadah yang sifatnya sangat individual seperti salat dan zikir, tetapi juga secara sosial, yaitu kita menjadi peka untuk terus ringan tangan kepada orang yang membutuhkan. Dengan demikian, sebagaimana kisah yang dituturkan Rumi, tatkala kita membantu dan melayani orang lain yang membutuhkan, hakikatnya kita sedang melayani Allah, dan tentu saja hal itu merupakan ibadah yang akhir-akhir ini tampak urgen dilakukan.

BINCANG SYARIAH

Menyempurnakan Wudhu dan Sholat

Ketika melaksanakan sholat, terlebih sholat maktubah, maka lakukanlah dengan sungguh-sungguh, tertib dan sempurna baik dalam gerakan, tuma’ninah an, hingga bacaan. Jangan sampai melaksanakan sholat dengan asal-asalan atau sekedar menggugurkan kewajiban. Sebab sholat yang dilakukan dengan asal-asalan tidak akan mendatangkan kebaikan.

Maka ketika hendak melaksanakan sholat yang perlu diperhatikan dulu adalah menyempurnakan wudhunya. Jangan sampai ada bagian tubuh yang masuk dalam rukun wudhu justru tidak terbasuh air. Selain itu perhatikan juga pakaian dan tempat, usahakan menggunakan yang pantas lagi bersih dan suci. Teliti dan tidak terburu-buru saat membaca surat, serta tidak terburu-buru saat melakukan gerakan sholat.  

Dalam kitab at Targib wat Tarhib  dituliskan sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Baihaqi:

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : مَنْ تَوَضَّأَفَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَثُمَّ قَامَ اِلَى الصَّلَاةِ فَأَتَمَّ رُكُوْعَهَاوَسُجُوْدَهَاوَالْقِرَاءَةَ فِيْهَاقَالَتِ الصَّلَاةُ حَفِظَكَ اللَّهُ كَمَاحَفِظْتَنِى ثُمَّ صُعِدَبِهَااِلَى السَّمَاءِ وَلَهَا ضَوْءٌ وَنُوْرٌ وَفُتِحَتْ لَهَاأَبْوَابُ السَّمَاءِ حَتَّى يُنْتَهَى بِهَا اِلَى اللَّهِ فَتَشءفَعُ لِصَاحِبِهَا وَاِذَالَمْ يُتِمَّ رُكُوْعَهَاوَلَاسُجُوْدَهَاوَلَا الْقِرَاءَةَ فِيْهَاقَالَتِ الصَّلَاةُ ضَيَّعَكَ اللَّهُ كَمَا ضَيَّعْتَنِى ثُمَّ صُعِدَبِهَا إِلَى السَّمَاءِ وَعَلَيْهَاظُلْمَةٌ فَاُغْلِقَتْ دُوْنَهَاأَبْوَابُ السَّمَاءِ ثُمَّ تُلَفُّ كَما يُلَفُّ الثَّوْبُ الْخَلَقَ فَيُضرَبُ بِهَا وَجْهُ صَاحِبِهَا.

Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa berwudhu dengan sebaik-baiknya, kemudian menunaikan sholat, kemudian dia sempurnakan rukuknya, dan juga menyempurnakan sujudnya, dan juga menyempurnakan bacaan dalam sholatnya, maka sholat yang dikerjakannya itu akan berkata: Semoga Allah memeliharamu sebagaimana kamu telah memeliharaku. Kemudian sholat yang dikerjakan itu dinaikan ke langit, sholat itu bercahaya, dan kemudian dibuka semua pintu-pintu langit sehingga sholat itu sampai diterima Allah, kemudian sholat yang sempurna itu mensyafaati orang yang mengerjakannya.

Sebaliknya jika seseorang tidak menyempurnakan rukuknya, juga tidak menyempurnakan sujudnya, dan tidak juga menyempurnakan bacaan sholatnya, maka sholat yang tidak sempurna itu berkata: Semoga Allah menyia-nyiakan kamu, sebagaimana kamu menyia-nyiakanku. Kemudian sholat yang tidak sempurna itu dinaikan ke langit, sholat itu gelap, lalu pintu-pintu langit dikunci, kemudian dilipat sebagaimana dilipatnya kain yang sudah rusak. Maka wajah orang itu dipukul dengan sholat yang tidak disempurnakan.

IHRAM

Bahaya Beragama tanpa Ilmu dan Berilmu tanpa Agama

Beragama tanpa ilmu hanya akan menggelincirkan seorang Muslim

Ulama Universitas Al Azhar Kairo Mesir, Syekh Dr Abdul Fatah Al Awari, menyampaikan ulasan tentang apa yang terjadi jika seorang Muslim beragama tanpa ilmu. 

Dia mengatakan bahwa hukum syariat Islam itu mendorong setiap Muslim untuk senantiasa menggali ilmu.

Dia juga menyampaikan, hukum-hukum Allah SWT di alam semesta ini tidak mengistimewakan suatu apapun. Karena itu, dalam beragama diperlukan ilmu. Sebab, beragama tanpa ilmu adalah suatu penyakit yang perlu disembuhkan.

Namun, Syekh Al Awari juga mengingatkan, budaya intelektual yang tidak terkendali tentu bisa merusak sendi-sendi negara sekaligus menghilangkan identitas. Karena itu, menurutnya, setiap ilmu dan pengetahuan yang diperoleh oleh setiap orang harus dilapisi syariat dan ketaatan dalam menjalankan perintah Allah SWT.

“Jika itu tidak lakukan, maka akan berbalik menjadi bencana bagi para pemilik dan penuntut ilmu,” kata Syekh Al Awari dalam khutbah sholat Jumat yang dia sampaikan pada Jumat (17/9) ini.

Dalam kesempatan itu, dia juga menyinggung soal negara-negara yang memiliki keunggulan sekaligus menguasai ilmu pengetahuan.

Namun, karena meninggalkan sendi-sendi agama dan syariat, ilmu-ilmu pengetahuan atau sains yang dikuasai negara tersebut hanya akan menghancurkan tatanan masyarakat. 

Juga merusak lingkungan dan bumi, serta mewariskan berbagai hal buruk dan kerusakan kepada anak-cucu nanti.

Syekh Al Awari juga mengungkapkan, ilmu-ilmu sains dalam syariat tentu termasuk yang harus dipelajari. Namun, tetap harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariat dan agama.

“Inilah yang diinginkan Islam dan dibawah oleh pendahulu kita, karena mereka unggul dalam sains dan mengekspornya ke Barat,” tutur Syekh Al Awari.

Sumber: elbalad 

KHAZANAH REPUBLIKA

Perusakan Masjid Ahmadiyah Tak Sesuai dengan Syariat Islam!

Miris memang menyimak berita terkini terkait sejumlah massa yang merusak masjid milik jamaah Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat. Sebagaimana dikutip dari Kompas (03/09/2021), Kepala Bidang Humas Polda Kalbar Kombes Pol Donny Charles Go mengatakan, bangunan masjid mengalami kerusakan karena dilempar dan bangunan belakang tempat ibadah dibakar massa.

Meskipun tidak ada korban jiwa, namun peristiwa itu sungguh mencoreng kedamaian dan kerukunan dalam beragama dan berbangsa. Bagaimana pun juga, langkah represif itu tidak hanya bertentangan dengan konstitusi republik Indonesia, melainkan juga tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Jujur harus diakui bahwa keberadaah Ahmadiyah yang telah mempunyai pengikut yang tidak sedikit—meskipun di Indonesia termasuk minoritas—dan telah turut berkontribusi positif untuk negeri ini, hanya saja mereka berbeda pandangan dan keyakinan, tidak boleh lagi mendapatkan perlakukan kasar dan tak manusiawi dari pihak mana pun juga.

Agama merupakan suatu keyakinan dan kebutuhan yang paling azasi dalam hidup manusia, keyakinan yang tidak mengenal kompromi (Suprayoga, 2001: 23). Perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan. Selama perbedaan itu tidak menyimpang dari kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh orang alim dan telah mapan, walaupun tidak sesuai dengan pendapat mayoritas, maka itu dapat ditoleransi.

Sedangkan jika suatu kelompok yang jelas-jelas menyimpang, maka ia harus ditolak dan dibuktikan kesalahannya, agar yang mengemukakannya menyadari kesalahannya dan yang terpengaruh dapat kembali kepada kebenaran (Quraish Shihab, 2011). Hal ini kiranya sangat gamblang bahwa penyelesaikan perbedaan sekalipun itu dipandang sebagai sesuatu yang benar-benar menyimpang, harus tetap ditempuh dengan jalan memberikan argumentasi, mendebat dengan baik, bukan meng-intimidasi, merusak dan sejenisnya. Di sinilah, dialog menjadi kata kunci dari persoalan yang selama ini terus terjadi. Dan cara inilah yang dibenarkan oleh Islam.

Alquran, sebagaimana ditekankan oleh Quraish Shihab dalam Muchlis Hanafi (2011: XIII), tidak segan-segan memaparkan argumentasi kaum musyrik, untuk dibantahnya dan dibuktikan kesalahannya. Bahkan Alquran menantang mereka untuk mendatangkan seluruh argumentasi yang dapat menguatkan dakwaan mereka sekiranya itu benar.

Argumentasi yang berdasarkan pengetahuan dan kesadaran mendalam yang dibungkus dalam sebuah dialog (hiwar) menjadi tuntutan Alquran ketika terdapat sebuah perbedaan antar kelompok. Jadi, sekali lagi, bukan paksaan, melainkan dialog. Tentu dialog di sini dilakukan dengan cara-cara yang bijak dan terpuji.

Saba’ [34]: 24 menjelaskan tentang kuasa-Nya di langit dan di bumi secara dialogis, kemudian Allah tidak lantas memerintahkan untuk bersikap keras, justru Alquran hendak menyentuh aspek hati dan pikiran mereka dengan ungkapan: “Dan sesungguhnya kami atau kalian yang mendapat petunjuk atau berada dalam kesesatan.”

Urgensi Dialog Kebangsaan dan Keagamaan

Penulis pernah bersinggungan langsung dengan anggota Ahmadiyah Indonesia karena pada saat itu penulis sedang mengerjakan tugas akhir di program magister UIN Jakarta, yang kebetulan tema tesis yang penulis ambil bersinggungan erat dengan Ahmadiyah.

Ketika penulis berdialog dengan salah satu pimpinan Jemaat Ahmadiyah Indonesia, ada hal yang menarik yang menurut saya sesuai dengan konteks pembahasan pada artikel ini, yakni tentang penilaian orang terhadap Ahmadiyah kebanyakan hanya sekedar pada apa yang dikatakan oleh orang lain. Artinya, tidak banyak orang yang menganggap sesat Ahmadiyah lalu memusuhinya lantaran termakan oleh isu liar di media sosial dan kanal-kanal lainnya.

Di sini semakin meneguhkan bahwa dialog kebangsaan dan keagamaan penting untuk digemakan agar pemahaman-pemahaman yang berasal dari sumber yang tidak bertanggung jawab dapat diminimalisir sehingga akan berdampak pada pola dan pandangan yang lebih dewasa lagi terhadap kelompok yang berbeda pandangan.

Bagaimapun juga, dialog kebangsaan dan keagamaan penting untuk digelar mengingat Indonesia merupakan negara yang komposisi penduduknya juga sangat beragam. Bagaimana keberagaman dalam keagamaan itu disinergikan menjadi sebuah kekuatan yang dapat membangun Indonesia ke arah yang lebih bagus. Hal ini bukan sesuatu yang mustahil, akan tetapi justru inilah peluang bagi segenap bangsa Indonesia untuk bagaimana terus membangun komunikasi antar anak bangsa untuk menjadikan perbedaan sebagai sebuah kekuatan yang luar biasa.

Dialog, baik secara sosiologis, filosofis maupun normatif, dapat meningkatkan tingkat kerukunan dan persaudaraan. Dua hal inilah modal besar Indonesia untuk menuju negara yang aman, adil dan sejahtera. Dalam konteks kontroversi afirmasi hak beragama Jemaat Ahmadiyah, dialog merupakan sesuatu yang menjadi keharusan. Tanpa itu, persoalan yang telah terjadi selama puluhan tahun silam, akan mudah terulang. Tentu kita kita menginginkan hal itu terjadi. Oleh karena itu, dialog kebangsaan dan keagamaan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika harus digencarkan di berbagai titik di seluruh penjuri negeri.

ISLAM KAFFAH

Inilah Doa Untuk Menghilangkan Penyakit dalam Makanan

Setiap orang yang makan berkeinginan makan tersebut menjadi sumber kesehatan. Dengan mengosumsi makanan tersebut ia akan tambah tenaga dan mampu menjalankan aktivitas sehari-hari. Asumsi dasar sederhanan, makanan adalah sumber protein dan vitamin bagi tubuh.

Namun bayangkan bila sebaliknya. Makanan yang dikonsumsi tubuh justru mengakibatkan penyakit. Atau makanan yang dimakan mengandung penyakit yang bisa menimbulkan bahaya bagi tubuh manusia. Tentu bila terjadi demikian, akan berakibat fatal bagi tubuh.

Solusi terbaik adalah menghindari  mengosumsi makanan tersebut. Pasalnya, bila terus menerus akan mengakibatkan penyakit bagi tubuh. Selain itu, dalam Islam sebaiknya mengucapkan doa agar makanan yang dikonsumsi tak mengandung penyakit dan hilang penyakit yang terkandung dalamnya.

Syekh Ihsan ibn Dahlan al Jamfasi al-Kadiri al-Jawi dalam kitab Sirajud Thalibin menerangkan bahwa seorang yang ingin makan  dianjurkan untuk berdoa terlebih dahulu. Tujuannya agar makanan yang dimakan hilang penyakitnya, dan makanan tersebut membuat hati condong untuk beribadah pada Allah.

Syekh Ihsan Dahlan berkata;

قال : ومما يذهب داء الطعام المغير لمزاج القلب أن يدعو فى أول الطعام ويسأل الله تعالى أن يجعله عونا على الطاعة ويكون من دعائه اللهم صل على محمد وآل محمد وما رزقتنا مما نحب واجعله عونا لنا إلى ماتحب وما زويت عنا مما نحب اجعله فراغا لنا فيما تحب . انتهى سياق صاحب العوارف كذا نقله العلامة الزبيد

Telah berkata ulama: sebagian daripada perkara yang dapat menghilangkan penyakit pada makanan yang kita makan beserta dapat membuat hati menjadi lebih baik ialah berdo’a pada Allah pertama kali hendak makan , dan meminta  kepada Allah swt agar makanan yang kita makan memberikan pertolongan untuk dapat melaksanakan ibadah ketaatan pada Allah.

Nah inilah doa yang dianjurkan untuk dibaca untuk menghilangkan penyakit dari makanan;

أَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمَا رَزَقْتَنَا مِمَّا نُحِبُّ وَاجْعَلْهُ عَوْنًا لَنَا إِلَى مَاتُحِبُّ وَمَا زَوَيْتَ عَنَّا مِمَّا نُحِبُّ اِجْعَلْهُ فَرَاغَا لَنَا فِيْمَا تُحِبُّ

Allohumma shalli ala Muhammadin wa Ala Ali muhammdin wa ma razaqtana mimma nu hibbu waj alhu aunan lana ila ma tuhibbu wa ma zawaita a’nna wa mimma nihubbu, ija’lhu faraghan lana fima tuhibbu,

Artinya: Ya Allah sampaikan shalawat dan salam kami kepada Nabi Muhammad dan juga keluarga Baginda Nabi,dan sampaikanlah apa yang telah Engkau berikan rizki kepada kami dari apa yang kami cintai.

Dan jadikanlah itu sebagai penolong bagi kami terhadap apa yang kamu cintai, dan apa yang telah Engkau berikan kepada kami untuk apa yang kami cintai itulah yang kami cintai. Dan jadikan itu sampai bagi kami dalam apa yang Engkau sukai.

BINCANG SYARIAH

Jangan Jadi Pengamuk dan Suka Teriak-Teriak

Seorang Muslim hendaknya menampilkan akhlak yang baik di manapun berada. Menghadirkan perangai yang santun, lembut, dan menghadirkan rasa aman, nyaman, dan kedamaian di tengah-tengah saudaranya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki hamba yang keras, pengamuk, atau sering marah-marah. Apalagi ditambah ucapan yang keluar dari mulutnya dengan teriak-teriak berisi kebencian, kata-kata kotor, menghina dan mencaci orang lain, menghasut dan lainnya. Lebih-lebih orang itu sombong dengan apa yang dimilikinya baik ilmu, pangkat, jabatan, harta kekayaan dan lainnya. Hal-hal demikian sama sekali tidak mencerminkan akhlak baik seorang Muslim.

Dalam kitab at Targib wat Tarhib menuliskan sebuah hadits yang diriwayatkan ibnu Hibban:

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  إِنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِىٍّ جَوَّاظٍ صَخَّابٍ فِى الءاَسْوَاقِ جِيْفَةٍ بِاللَّيْلِ حِمَارٍبِاالنَّهَارِعَالِمٍ بِاَمْرِالدُّنْيَاجَاهِلٍ بِأَمْرِالْاَخِرَةِ.

Rasulullah Saw bersabda: Sungguh Allah membenci setiap orang yang pengamuk, sombong dan suka teriak-teriak di pasar, menjadi seperti bangkai di waktu malam (tidur terus) dan seperti himar di waktu siang (malas), sangat alim terhadap urusan dunia dan bodoh sekali tentang urusan akhirat.

Keterangan hadits tersebut juga menjelaskan bahwa sebagai Muslim untuk mengupayakan diri qiyamullail atau melaksanakan sholat malam sehingga tidak tergolong orang yang menghabiskan setiap malam seperti bangkai. Serta bersungguh-sungguh bekerja, belajar pada siang hari dan jangan bermalas-malasan.

IHRAM

Calon Jamaah Haji Diminta Jaga Kesehatan, Meski Tertunda

Calon jamaah haji diminta optimis untuk menyiapkan kesehatannya sebelum keberangkatan.  Sudah dua tahun calon jamaah haji batal berangkat karena masih pandemi Covid-19. 

Permintaan itu disampaikan Kasub Koordinator Substansi Penyuluhan dan Pembimbingan Pusat Kesehatan Haji,  Imran Handani, saat menjadi pemateri dalam agenda sosialisasi Haji Sehat dan vaksinasi covid-19 kepada Jemaah haji di Kota Makassar pada hari Selasa, 14 September 2021. 

“Oleh karena itu jamaah haji harus menyiapkan kesehatannya sedini mungkin,” kata Imran seperti dikutip Republika.co.id dari situs Puskeshaji, Jumat (17/9). 

Imran, menyampaikan bahwa ibadah haji adalah ibadah fisik. Pada semua rangkaian proses ibadah haji thawaf dan sai sangat dibutuhkan keadaan fisik yang prima.  

Untuk itu sangat penting para calon jamaah haji menyiapkan kesehatannya jauh sebelum keberangkatannya. 

Salah satunya memeriksakan kesehatanya di daerah masing-masing. “Walaupun ibadah haji dan umroh sampai saat ini mengalami penundaan,” katanya. 

Imran memastikan Allah SWT sudah mencatat sebagai pahala ibadah haji bagi setiap jamaah haji yang gagal berangkat sampai dua kali ini. 

Seperti diketahui pemerintah membatalkan penyelenggaraan ibadah haji pada 2020 dan pada 2021 karena Arab Saudi masih belum bisa menyelenggaran haji internasional karena pandemi. “Niat kita semua yang akan berangkat ibadah sudah dicatat Allah SWT,” katanya.   

IHRAM

Bolehkah Menangguhkan Ibadah Haji?

Haji hanya diwajibkan bagi seorang Muslim yang mampu. Syariat ini menjadi dalil haji boleh ditangguh sampai seorang muslim memiliki kesanggupan yang sempurna.

“Seseorang yang merasa belum mampu mempunyai waktu yang sesuai untuk melaksanakan haji, maka ia boleh menangguhkan sampai keadaannya menjadi lebih sesuai,” tulis Prof Quraish Shihab dalam bukunya “Haji dan Umrah Bersama M.Quraish Shihab”

Meski demikian yang harus digarisbawahi bahwa seseorang tidak diperkenankan menunda-nunda tanpa alasan yang kuat. Karena jika dia melakukan penundaan itu dapat menyebabkan dirinya berdosa.

“Salah satu lain dari persyaratan ini adalah tersedianya kuota bagi yang bersangkutan,” katanya.

Menurutnya ada ulama yang menambahkan syarat lainnya bagi perempuan, yaitu adanya mahram atau yang mendampinginya dalam perjalanan itu. Mahram adalah suami seorang perempuan atau siapapun yang haram dikawininya, baik akibat keturunan, seperti ayah ke atas, anak kebawah Saudara sekandung atau tiri anak saudara lelaki dan perempuan, maupun periparan atau penyusuaan.

Tapi syarat ini tidak digariskan oleh ulama bermazhab Syafi’i atau paling sedikit dinilai sebagai syarat yang tidak ketat, yaitu bahwa perempuan dapat melaksanakan haji selama ada orang lain yang terpercaya yang mendampinginya dalam kelompok itu.

“Itu pun secara khusus bagi wanita-wanita yang dikawatirkan akan terjerumus dalam kesulitan,” katanya.

Kalau syarat-syarat diatas telah dipenuhi seseorang mantapkan niat untuk berkunjung ke rumah Allah, melakukan haji atau umroh sambil menziarahi tempat-tempat bersejarah.

IHRAM

Berinfak dengan Cerdas

Berinfak dengan ikhlas adalah ibadah yang sangat dicintai Allah Ta’ala . Bukti nyata seorang mukmin bertakwa yang mengeluarkan hartanya di jalan yang mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin.

Bahkan, dengan berinfak sebenarnya kebaikan atau pahalanya akan berfaedah untuk dirinya sendiri yang kelak di akhirat akan ditampakkan oleh Allah Ta’ala. Iya, hakikatnya nya tabungan atau investasi yang menolong kita di hadapan Sang Pencipta. Ketika berinfak tepat sasaran, niscaya kebaikan akan mampu diraih seorang mukmin.

Imam al-Ghazali rahimahullah berkata: “Sebaiknya orang yang hendak berinfak menyalurkan sedekahnya tepat sasaran, yaitu kepada ahli agama dan berusaha mengoreksi secara teliti kondisi orang-orang, baik yang hidup berpura-pura cukup yang menyembunyikan dan merahasiakan kekurangannya, tidak banyak berkeluh kesah dan tidak mengadukan kemiskinannya.

Atau dia termasuk orang yang sangat menjaga harga diri, sementara telah terkuras habis kekayaannya, namun ia masih berada pada kebiasaan semula, sehingga ia hidup menggunakan jilbab basa-basi. Maka menyalurkan infak kepada mereka akan mendapatkan balasan pahala berlipat ganda daripada diberikan kepada mereka yang terang-terangan meminta-minta.

Begitu juga seharusnya seorang hamba menyalurkan sedekahnya kepada orang-orang yang bisa memanfaatkan secara baik, misalnya para ahli ilmu. Sebab, hal ini bisa menjadi bantuan baginya dalam menuntut ilmu karena mencari ilmu merupakan ibadah yang paling mulia, asal niatnya benar.” Ibnu al-Mubarok senantiasa mengkhususkan infaknya kepada para ahli ilmu.

Ketika beliau ditanya, “Mengapa tidak engkau berikan kepada orang secara umum?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku tidak mengetahui kedudukan setelah kenabian yang lebih utama daripada kedudukan para ulama. Jika pikiran para ulama sibuk mencari kebutuhan (hidupnya) maka ia tidak bisa konsentrasi sepenuhnya kepada ilmu dan tidak fokus dalam belajar. Maka membuat mereka bisa mempelajari ilmu secara konsen lebih utama.” (Dinukil dari Tafsir al-Qasimi, 3/250)

Dari penjelasan di atas dapat diambil suatu faedah ilmu bahwa infak lebih bermanfaat ketika diberikan kepada orang miskin yang menjaga diri dari meminta-minta dan kepada penuntut ilmu syar’i.

Memberi infak pada penuntut ilmu

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata: “Dahulu ada dua orang saudara pada masa Rasulullah, salah seorang mendatangi Nabi (untuk belajar), sementara saudaranya bekerja.

Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu kepada Nabi, maka Nabi bersabda: “Mudah-mudahan engkau diberi rezeki dengan sebab dia.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya [2346] dan al-Hakim dalam Mustadrak-nya [320], shahih)

Al-Mubarakfury rahimahullah menjelaskan sabda Nabi, yaitu “Mudah-mudahan engkau diberi rezeki dengan sebab dia” yang menggunakan shigat majhul (kata kerja pasif) seolah ingin berkata, “Yakni, aku berharap atau aku takutkan bahwa engkau sebenarnya diberi rezeki karena sebab keberkahan saudaramu.

Namun, saudaramu itu diberi rezeki karena sebab usahamu. Maka hendaknya jangan kamu mengungkit-ungkit pemberianmu.” (lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7/8)

Orang yang menginfakkan hartanya untuk para penuntut ilmu, dia akan mendulang banyak pahala, amalnya akan memperberat timbangan nya di sisi Allah Ta’ala . Menfasilitasi para penuntut ilmu agar lebih konsentrasi belajar merupakan bentuk ta’awun dalam kebaikan.

Memberi infak kepada orang miskin yang menjaga diri dari meminta-minta

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang maknanya: “Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain agar diberikan sesuap atau dua suap makanan dan satu dua butir kurma.”

Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab, “Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan tidak ada yang menyadari (kemiskinannya) sehingga tidak ada yang memberinya sedekah (zakat), dan mereka tidak mau meminta-minta sesuatupun kepada orang lain.” (HR. Al-Bukhari [1479], Muslim [1039, 101])

Uang atau harta yang diinfakkan untuk orang mukmin sebagaimana hadis di atas insyaallah akan sangat membantu mereka untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala . Juga untuk membiayai hidup keluarganya sehingga mampu menjalani kehidupan dengan tercukupinya kebutuhan lahir dan batinnya. Allah Ta’ala berfirman:

لِلْفُقَرَاۤءِ الَّذِيْنَ اُحْصِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْبًا فِى الْاَرْضِۖ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ اَغْنِيَاۤءَ مِنَ التَّعَفُّفِۚ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمٰهُمْۚ لَا يَسْـَٔلُوْنَ النَّاسَ اِلْحَافًا ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ

“(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 273)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata: “Maksudnya, sudah selayaknya kalian mencari fakir miskin untuk kalian berikan sedekah kepadanya. mereka adalah orang-orang yang terhalang dirinya dari melakukan jihad di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala , dan senantiasa taat kepada-Nya, dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk bekerja, sedang mereka menahan/menjaga diri meminta-minta, yang bila mereka dilihat oleh orang-orang bodoh, maka pastilah mereka akan menduga (menyangka) bahwa mereka orang kaya, karena mereka tidak minta-minta secara umum, dan bila mereka harus meminta, mereka meminta karena sangat terpaksa, mereka tidak memaksa dalam memintanya.

Inilah golongan fakir miskin yang lebih afdal (utama). Kalian memberikan infak untuk memenuhi kebutuhan mereka, membantu mereka kepada maksud dan tujuan mereka dan kepada jalan kebaikan, dan sebagai rasa terima kasih kepada mereka atas sifat sabar yang mereka miliki, serta (kuatnya) harapan mereka hanya kepada Allah Maha Pencipta, bukan kepada makhluk.

Walaupun demikian, berinfak dalam segala jalan kebaikan dan menutupi semua kebutuhan di mana saja, maka semua itu adalah kebaikan, dan pahala serta ganjarannya ada di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” (Taisiiru al-Kariimi ar-Rahman fii Tafsiiri Kalaami al-Mannaan, hlm.116)

Semoga uraian di atas menyemangati kaum muslimin agar berinfak secara cerdas dan memperhatikan skala prioritas kebutuhan agar lebih bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:

1. Kiat-Kiat Islam Mengatasi Kemiskinan, Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka at-Taqwa, Bogor, 2015.

2. Mencari Kunci Rizki yang Hilang, Zainal Abidin Syamsudin, Pustaka Imam Abu Hanifah, Jakarta, 2008.

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14063-berinfak-dengan-cerdas.html

Pakaian yang Haram Dikenakan Wanita Saat Ihram

Berbeda dengan kaum laki-laki, perempuan dibolehkan mengenakan pakaian yang memenuhi aturan syariat. Pakaian tersebut adalah pakaian yang biasanya dipakai dalam keseharian.

Selain itu, pakaian yang diberi parfum, sarung tangan, dan cadar dilarang dikenakan pada saat ihram. “Sebab ketiga jenis pakaian ini haram dikenakan kaum wanita saat ihram,” tulis Muhammad Utsman Al Khasyt dalam bukunya Haji dan Umroh Wanita Seri Fiqih Wanita Empat Mazhab.

Imam Baihaqi dan Imam Hakim dengan Rizal Shahih telah meriwayatkan hadits yang berasal dari Ibnu Umar Komar di mana ia berkata:

Nabi SAW melarang kaum wanita yang sedang ihram mengenakan sarung tangan, cadar  dan kain yang diolesi wars dan jafaran. Adapun sesudah ihram mereka boleh mengenakan kain berwarna yang disukainya seperti kain yang dicelupkan ushfur, kain khaz, perhiasan, celana, gamis atau kauffman (selop).

“Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Hasan dan Imam Tirmidzi telah meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi SAW bersabda:

“Janganlah wanita yang sedang ihram mengenakan cadar dan jangan pula mengenakan sarung tangan.”

Sementara Imam Bukhari mengetengahkan hadits dari Aisyah, bahwasanya dia mengenakan pakaian yang dicelup ushfur saat sedang ihram dan dia berkata:

“Janganlah seorang wanita yang sedang ihram mengenakan cadar, jangan pula menggunakan sejenis cadar, jangan pula menggunakan kain yang dicelup atau jafaran.”

Semua nash yang telah dipaparkan di atas menunjukkan pakaian yang dikenakan seorang wanita di saat ihram adalah macam-macam pakaian yang dipakai dalam keseharian. Hanya saja tidak boleh baginya mengenakan kain yang diberi parfum dan hendaknya ia menampakkan kedua telapak tangan dan wajahnya. 

Bagi kaum wanita yang sedang ihram, wajah mereka tak ubahnya seperti kepala seorang lelaki, yakni harus dibuka. Ihramnya kaum wanita ada di membuka wajahnya yang sama, sebagaimana kesepakatan para ulama. 

“Nash di atas juga menunjukkan bolehnya bagi kaum wanita untuk mengenakan berbagai perhiasan seperti emas, perak dan segala perhiasan yang dibolehkan syariat. Namun, syaratnya tidak menarik perhatian dan tetap menjaga kesakralan ibadah yang tengah dikerjakan.

IHRAM