Rabithah Alawiyah: Jangan Benturkan Alquran dan Pancasila

Ketua Umum Rabithah Alawiyah menyatakan Indonesia patut bersyukur punya Pancasila

Ketua Umum Rabithah Alawiyah Habib Zein Umar bin Smith menyatakan bangsa Indonesia patut bersyukur karena memiliki falsafah negara, Pancasila.  

“Pendiri negara ini telah membuat Pancasila sebagai falsafah negara dan dijadikan sebagai pedoman hidup bangsa Indonesia,”ujar dia kepada Republika.co.id, Selasa (1/6). 

Pancasila diawali dengan Ketuhanan yang Maha-Esa, sehingga sudah selayaknya bangsa ini didirikan untuk orang yang beragama apapun agamanya tidak hanya Islam saja. Sebagai umat Islam tentu Pancasila sudah sewajarnya dijadikan pedoman hidup (way of life) karena isi sila pertama itu sama dengan bunyi ayat pertama Al Ikhlas  قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha-Esa.

“Ketika orang itu hidup berdasarkan ajaran ketuhanan maka dia akan menjadi manusia yang adil dan beradab,”ujar dia.  

Mereka akan saling tolong-menolong karena memiliki sikap ikhwanul basyariyah. Disinilah persatuan bangsa Indonesia terbentuk. Demikian juga adanya musyawarah jika ada satu masalah, ini merupakan turunan dari sila pertama.  

Bangsa Indonesia harus memahami sila pertama ini dengan baik dan bukan sekadar dijadikan slogan semata, karena pendiri negara telah sepakat dan juga menjadi mukadimah UUD 1945. 

Hanya saja hal yang patuti diperhatikan adalah saat ini ada oknum elite politik yang alegi terhadap agama, tentu bukan mewakili rakyat. Mereka yang terkontaminasi bahaya sosialis berusaha untuk merubah Pancasila menjadi trisila bahkan ekasila.  

“Saya harap bangsa Indonesia jangan terpancing bahkan jika ada oknum yang membenturkan Alquran dengan Pancasila. Karena Alquran sudah sejalan dengan isi Pancasila, meski tetap berbeda asal muasalnya,”jelas dia. 

Habib Zein juga mengingatkan jangan pernah mempertanyakan rakyat untuk memilih antara kitab suci dan Pancasila. Karena mereka yang beragama apapun akan mendahulukan kitab sucinya karena kitab suci tidak hanya pedoman hidup di dunia, tetapi hingga akhirat. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Serial Doa: Do’a Menolak Firasat Buruk

اَللَّهُمَّ لَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ، وَلَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا إِلَـهَ غَيْرُكَ

ALLAAHUMMA LAA THOIRO ILLAA THOIRUKA
WA LAA KHOIRO ILLAA KHOIRUKA
WA LAA ILAAHA GHOIRUKA

“Ya Allah, Tidak ada kesialan kecuali kesialan yang Engkau tentukan, dan tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu, serta tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau.”

HR. Ahmad

Poster Do’a Menolak Firasat Buruk

Share this:

Read more https://yufidia.com/7154-serial-doa-doa-menolak-firasat-buruk.html

Hukum Tidur saat Khutbah Jumat

Ust, apakah tertidur saat khutbah hukumnya bisa batal wudhu?

Jawaban:

Bismillah walhamdulillah was sholaatu was salaam ‘ala Rasulillah.

Bismillahirrahmanirrahim.

Tidur merupakan kondisi yang berpotensi datangnya sebab keluarnya hadas, yang merupakan pembatal wudhu. Di dalam bahasa fikih diistilahkan “Madhinnah Lil Hadats”. Diungkapkan demikian karena sebenarnya tidur itu sendiri bukan pembatal wudhu. Wudhu orang yang tidur bisa batal jika memungkinkan keluarnya hadas, seperti tidur yang sangat nyenyak.

Dari sahabat Sofwan bin ‘Assal radhiyallahu’anhu beliau menceritakan,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ إِلا مِنْ جَنَابَةٍ ، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami agar tidak melepaskan khuf (kaos kaki kulit) kami selama tiga hari tiga malam jika kami dalam bepergian kecuali dari janabat. Akan tetapi (kami tidak perlu mencopot khuf) dari buang air besar, kencing, dan tidur.” (HR. Tirmizi, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Batasan Tidur yang Membatalkan Wudhu

Para ulama berbeda pendapat tentang tidur yang seperti apa, ada yang mengatakan:

Pertama, semua bentuk tidur membatalkan wudhu.

Kedua, tidak ada tidur yang membatalkan wudhu.

Ketiga, jika tidurnya sambil duduk maka wudhu tidak batal. Namun jika tidurnya tidak dalam posisi duduk, maka wudhu batal.

Keempat, semua tidur dapat membatalkan wudhu, kecuali tidur ringan, baik itu tidur dengan posisi duduk ataupun berdiri.

Batasan berat dan ringannya adalah selama seorang masih dapat merasakan jika ada hadas yang keluar, kentut misalnya, maka tidurnya disebut ringan. Namun jika tidak merasakan sama sekali, maka disebut tidur yang berat.

Pendapat yang Kuat (Rajih)

Pendapat yang kuat -wallahu a’lam- adalah pendapat keempat. Bahwa yang dapat membatalkan wudhu adalah tidur berat saja. Adapun tidur ringan, tidak.

Alasannya adalah:

Karena pendapat ini dapat mengkompromikan dalil-dalil yang ada, tentang tertidur setelah bersuci apakah membatalkan wudhu atau tidak.

Karena selain hadis dari sahabat Sofwan bin ‘Assal di atas, ada hadis lain dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang tampak berbeda. Beliau menceritakan,

أن الصَّحابة رضي الله عنهم كانوا ينتظرون العِشاء على عهد رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ حتى تخفِقَ رؤوسهم ثم يُصلُّون ولا يتوضؤون

“Para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah menunggu sholat jama’ah isya di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sampai kepala mereka mematuk-matuk (karena ngantuk). Lalu mereka sholat tanpa mengulang wudhu.” (HR. Muslim)

Sisi komprominya adalah:

Hadis ini dimaknai tidur yang ringan, tidak membatalkan wudhu.

Lalu hadis Sofwan bin ‘Assal dimaknai tidur yang berat, mengakibatkan wudhu batal.

Di antara ulama yang menguatkan kesimpulan ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumallah.

Pendapat ini dikuatkan oleh hadis,

العين وِكَاء السَّهِ ، فإذا نامت العينان استطلق الوكاء

“Mata adalah tutupnya dubur. Jika mata tertidur maka tutup dubur akan terlepas.” (HR. Ahmad, dinilai Hasan oleh Syaikh Al Albani)

Wallahu a’lam bis showab.

Dijawab oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc.

(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Quran Jogjakarta dan Pengasuh Thehumairo.com)

Referensi: https://konsultasisyariah.com/36915-hukum-tidur-saat-khutbah-jumat.html

Bagaimana Hukum Tenaga Dalam?

Bagaimana hukum tenaga dalam? Haram atau boleh?

Jawab:

Tenaga dalam yang dimaksudkan adalah suatu tenaga – yang konon katanya – tersimpan di dalam diri manusia. Jika dilatih atau dibuka, akan bermanfaat untuk berbagai keperluan. Misalnya, untuk penyembuhan penyakit tanpa obat – hanya dengan tenaga dalam –, pukulan jarak jauh, kekuatan yang lebih dari umumnya manusia, selamat dari serangan jahat orang lain, dan sebagainya.

Untuk mendapatkan tenaga dalam ini dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan metode yang diajarkan oleh perguruan-perguruan tenaga dalam. Ada yang didapatkan lewat kesyirikan yang benar-benar nyata, namuna tidak diketahui oleh orang awam dalam masalah agama. Seperti dengan berdoa dan meminta kepada selain Allah. Baik meminta kepada seorang nabi, wali, syaikh, atau lainnya. Atau dengan menyembelih binatang tertentu. Atau dengan mantra-mantra, jimat-jimat, atau lainnya. Atau dengan jurus-jurus tertentu, gerakan-gerakan tertentu, dan latihan-latihan tertentu.

Ada juga dengan bid’ah-bid’ah, yaitu segala perkara baru dalam agama. Orang awam banyak yang tidak mengetahui, bahwa seluruh bid’ah merupakan kesesatan dan jalan menuju neraka. Orang awam menyebut ilmu sihir jenis ini dengan ilmu putih.

Ada juga untuk memperolehnya dengan melakukan kemaksiatan yang terang-terangan, seperti membunuh, mencuri, memperkosa, dan lainnya. Orang awam menyebut ilmu sihir jenis ini dengan ilmu hitam.

Untuk mengetahui hukum agama tentang tenaga dalam, kita perlu mengingatkan beberapa hal penting, sehingga masalah ini bisa disikapi dengan tepat, insya Allah.

1) Allah menciptakan manusia untuk beribadah  kepada-Nya semata. Allah telah mengutus Rasul dan menurunkan kitab suci untuk petunjuk bagi manusia. Agama Allah telah sempurna, segala kebaikan telah dijelaskan dan segala keburukan telah diperingatkan. Allah berfirman, artinya:,”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah. Kuridhai Islam itu jadi agamamu.” (QS. Al Maidah: 3)

Dalam sebuah hadits diriwayatkan,

Dari Al Muthalib bin Hantab, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Tidaklah aku tinggalkan sesuatupun dari apa-apa yang telah Allah perintahkan kepada kalian, kecuali aku telah perintahkan kepada kalian. Dan tidaklah aku tinggalkan sesuatupun dari apa-apa yang telah Allah larang kepada kalian, kecuali aku telah melarang kalian darinya.” (HR. Asy Syafi’i secara mursal dalam Sunan-nya 1/14 dan di dalam Ar Risalah, hlm. 87-93, Syarh Ahmad Syakir; Al Baihaqi di dalam Sunan 7/76; Ath Thabrani; Syaikh Al Albani mengatakan,”Shahih dengan seluruh jalan-jalannya.” Lihat Bid’ah At Ta’ashub Al Madzhabi, hlm. 25, karya Syaikh Muhammad Id Al Abbasi)

Dengan demikian seorang mukmin tidak perlu mencari jalan kebaikan selain yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan tenaga dalam tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia paling mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, paling berilmu, dan paling takut kepada-Nya. Aisyah berkata,

Nabi mengerjakan sesuatu, yaitu Beliau memberikan keringanan pada suatu perkara, lalu sekelompok orang menjauhkan diri dari perkara tersebut, kemudian hal itu sampai kepada Nabi, maka Beliau berkhutbah, Beliau memuji Allah, lalu bersabda, “Ada apa gerangan orang-orang menjauhkan diri dari apa yang aku lakukan? Demi Allah, sesungguhnya aku orang yang paling mengenal tentang Allah, dan yang paling takut kepada-Nya.” (Hadits shahih Riwayat Bukhari, no. 6101; dll.)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah belajar dan mengajarkan ilmu tenaga dalam, maka kita pun jangan melakukannya. Bahkan dalam peperangan Uhud, wajah Beliau terluka. Ini menunjukkan bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki tenaga dalam.

3) Para Sahabat generasi terbaik manusia.
Mereka tidak pernah belajar dan mengajarkan Al Khaththab wafat dibunuh orang, demikian juga Khalifah bin Affan dan Khaliffah Ali bin Abi Thalib. Banyak para sahabat mendapatkan luka-luka gugur di medan jihad fii sabilillah, meraih keutamaan syahadah (mati syahid). Ini semua menunjukkan bahwa generasi terbaik umat ini tidak mengenal ilmu sihir tenaga dalam. Maka selayaknya generasi berikutnya juga menjauhi ilmu ini.

4) Para ulama membagi perkara-perkara luar biasa yang terjadi pada manusia menjadi tiga:

  • Mu’jizat, yaitu perkara luar biasa yang muncul dari seorang nabi.
  • Karomah, yaitu perkara luar biasa yang muncul dari wali Allah, tanpa dipelajari.
  • Sihir atau istidraj (Baca: Makna Istdiraj) atau ahwaal syaithaniyah (perkara-perkara yang datangnya dari setan), yaitu perkara luar biasa yang muncul dari wali setan dan dapat dipelajari.

Dari penjelasan pada point empat di atas, dapat diambil kesimpulan yang jelas, bahwa ilmu tenaga dalam merupakan perkara luar biasa yang dapat dipelajari, sehingga termasuk sebagai ilmu sihir. Pembahasan masalah ini pernah dimuat majalah As Sunnah, Tahun II, Edisi 20, Tahun 1417 H/ 1996 M. Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 2 Tahun IX 1426 H/2005M

www.yufidia.com

Read more https://yufidia.com/4300-bagaimana-hukum-tenaga-dalam.html

Berlapang Dada Sikapi Perbedaan

SELASA 10 Jumadats Tsaniyah 1436 (31 Maret 2015) lalu, masjid An-Nur Jagalan Malang kedatangan tamu istimewa, beliau adalah Fadhilausy Syaikh Abdul Karim Al Jarullah,  beliau adalah anggota Ad-Dakwah Wal Irsyad Kementerian Agama Kerajaan Saudi Arabia dan juga direktur Ma’had Tahfidhul Qur’an di kota Makkah.

Beliau memberikan taushiyah ba’da Maghrib dengan tema, “Dialah (Allah Ta’ala) Yang Mempersaukan Hati Kalian”  dan saya menjadi penterjemahnya.

Inti taushiyah adalah agar kaum Muslimin berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat dan tidak berpecah belah apalagi sampai berperang dan menumpahkan darah sesama Muslim.

Setelah adzan Isya’ taushiyah dilanjutkan sekitar 15 menit kemudian ditutup dengan doa indah dan mendalam, kemudian shalat Isya’ berjama’ah dan beliau menjadi imam shalat dengan bacaan Al-Qur’an yang indah dan menyentuh hati.

Setelah shalat Isya’ beliau menyampaikan sebuah pengumuman bahwa beliau mengelola “Daurah Internasional Tahfidh Al-Qur’an” yang berpusat di Makkah KSA, yaitu menghafal Al-Qur’an dalam jangka waktu 2 bulan dan menghafal satu halaman dalam 15 menit.

Daurah ini sudah berlangsung 14 tahun dan sudah berhasil melahirkan para penghafal Al-Qur’an laki dan perempuan yang berjumlah 1500 (seribu lima ratus) orang.

Beliau saat ini membuka cabang daurah ini di kota Malang dan membuka pendaftaran bagi yang berminat dan mempunyai kelebihan dalam hafalan dan kecerdasan.

Malamnya,  dilanjutkan makan malam di rumah seorang dermawan, jazahulloh khoir, yang dihadiri juga oleh Syeikh Sholeh bin Ali Az-Zumai’ hafidhahullah, salah seorang Direktur Ma’had Tahfidhul Qur’an di kota Makkah dan beberapa asatidz, diantaranya Syeikh Utsman Al-Makki Al-Hafidh dan Ustadz Farhan bin Thalib hafidhahumallah serta beberapa undangan lain.

Dalam kesempatan acara makan malam yang penuh manfaat, rahmat dan barokah ini beliau, Fadhilausy Syaikh Abdul Karim Al Jarullah hafidhahullah, memberikan wasiat.

Berikut ini 12 wasiat penting dari beliau;

Pertama, hendaklah kita berupaya maksimal untuk ikhlas dan bersungguh-sungguh dalam berdakwah karena pengaruh keikhlasan sangat menakjubkan.

Kedua, hendaklah para dai selalu menjaga dan istiqomah shalat tahajjud karena shalat malam menjadikan seseorang lebih tegar dan istiqomah dalam menghadapi segala kesulitan.

Ketiga, jangan menyibukkan diri dengan mencacat dan mencari kejelekan serta mengkotak-kotak umat Islam.

Keempat, jangan terpengaruh dan jangan melayani orang yang selalu menghujat dan memfitnah kita karena menyibukkan diri dengan melayani mereka hanya menghabiskan waktu dan tenaga serta pikiran dan akhirnya kita tidak bisa berbuat apapun.

Kelima, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam saja didustakan bahkan oleh pamannya sendiri, tapi beliau sabar dan terus berdakwah.

Keenam, hendaklah kita jadikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam sebagai suri tauladan kita.

Ketuju, hendaklah kita tingkatkan tawakkal kepada Allah dan kita perbaiki hubungan dengan Allah pasti akan datang berbagai macam kebaikan kepada kita.

Kedelapan, hendaklah kita selalu berusaha menyampaikan hidayah kepada manusia dan kita ingat selalu keutamaan-keutamaannya.

Kesembilan, terimalah kebenaran yang datang dari mana saja.

Sepuluh, terjun melayani manusia, menjenguk orang sakit, menguburkan jenazah, bersedekah dan kebaikan lainnya kepada manusia agar dakwah kita lebih mudah mereka terima.

Sebelas, kedepankan sikap tawadlu’ (rendah hati) setinggi apapun jabatan kita.

Dua belas, banyak berdoa kepada Allah sambil menangis terutama pada waktu-waktu dan keadaan-keadaan yang mustajab.

Demikian diantara ringkasan singkat wasiat agung beliau, semoga Allah mudahkan kita untuk mengamalkannya, aamiin.*/Malang, Rabu 11 Jumadats Tsaniyah 1436 / 01 April 2015

Akhukum Fillah

@AbdullahHadrami

HIDAYATULLAH

Kisah Inspiratif Kesabaran Suami Terhadap Isterinya

DITANYAKAN kepada Abu Utsman An-Naisaburi rahimahullah: “Apa amalan terbaik (yang pernah Anda lakukan) yang sangat Anda harapkan (pahalanya)?”

قيل لأبي عثمان النيسابوري رحمه الله: ما أرجى عملك عندك؟
قال: كنت في صبوتي يجتهد أهلي أن أتزوج فآبي

Beliau menjawab : “Pada masa mudaku, keluargaku berupaya keras agar aku menikah, tapi aku enggan.

فجاءتني امرأة، فقالت: يا أبا عثمان، إني قد هويتك، وأنا أسألك بالله أن تتزوجني!

Lalu datang kepadaku seorang perempuan seraya berkata : ‘Wahai Abu Utsman, aku sungguh menginginkan dirimu. Demi Allah, aku memintamu agar bersedia menikah denganku!’.

فأحضرت أباها – وكان فقيراً – فزوّجني منها وفرح بذلك.

Perempuan itupun mendatangkan ayahnya, seorang laki-laki fakir, lalu ayahnya menikahkan aku dengan anak gadisnya dan ia-pun sangat bergembira karenanya.

فلما دخلت إليّ رأيتها عوراء عرجاء مشوهة!!

Ketika ia masuk menemuiku, aku melihatnya, ternyata ia seorang perempuan juling, pincang dan buruk rupa!

وكانت لمحبّتها لي تمنعني من الخروج، فأقعد حِفظاً لقلبها، ولا أظهر لها من البغض شيئاً وكأنّي على جمر الغضا من بغضها.

Karena begitu cintanya kepadaku, ia melarangku untuk keluar rumah, maka aku-pun tetap tinggal di rumah demi untuk menjaga hatinya. Aku tidak menampakkan sedikitpun kebencian kepadanya, padahal seakan-akan aku berada diatas bara dari kebencian kepadanya.

فبقيت هكذا خمس عشرة سنة حتى ماتت، فما من عملي شيء هو أرجى عندي من حفظي قلبها.
[من كتاب صيد الخاطر لابن الجوزي رحمه الله]

Aku menjalani semua itu selama lima belas tahun, hingga akhirnya ia meninggal dunia. Tidak ada amalan yang lebih aku harapkan pahalanya selain perbuatanku untuk menjaga hatinya.”
[Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Kitab Shaidul Khathir]

***

Di antara sesuatu yang paling indah di dunia ini adalah ketika suami berdoa kebaikan untuk isterinya dengan menyebut namanya dalam doa. Juga ketika isteri berdoa kebaikan untuk suaminya dengan menyebut namanya dalam doa.

“Ya Allah ampuni dan sayangi isteri hamba …….”

oleh: Abdullah Soleh Hadrami

Akhukum Fillah
@AbdullahHadrami

HIDAYATULLAH

Pilar-pilar Muru’ah

Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang baik – dalam riwayat lain: yang mulia.” (Hadits shahih, riwayat Ahmad dan al-Hakim, dari Abu Hurairah)

ADA  banyak sekali akhlak mulia yang dianjurkan oleh Islam.  Karena macam akhlak mulia yang sangat banyak, maka simpul dan pengikat pun menjadi sangat penting, agar tidak lepas dan tercecer. Salah satu simpul pengikatnya disebut dengan muru’ah. Apakah itu?

Menurut Mausu’ah Fiqh al-QulubMuru’ah adalah: “Mengerjakan segenap akhlak baik dan menjauhi segenap akhlak buruk; menerapkan semua hal yang akan menghiasi dan memperindah kepribadian, serta meninggalkan semua yang akan mengotori dan menodainya.”

Definisi ini mengisyaratkan bahwa semua akhlak mulia bisa tertampung di dalamnya, sehingga cakupan muru’ah pun menjadi sangat luas. Sebagai ilustrasi, Imam Abu Bakr al-Khara’ithiy (w. 327 H) telah menyusun karya berjudul Makarimul Akhlaq (akhlak-akhlak mulia), yang terdiri dari 3 juz dan memuat 1.041 riwayat. Untuk tema sebaliknya, beliau menyusun kitab berjudul Masawi’ul Akhlaq (akhlak-akhlak buruk) setebal 5 juz kecil dan mengandung 872 riwayat.

Sebenarnya, ada beragam pandangan dalam masalah muru’ah ini. Para pakar hadits, fiqh, bahasa, dan sastrawan memiliki uraian tersendiri menurut sudut pandang masing-masing.

Meskipun demikian, umumnya mereka bersepakat bahwa inti muru’ah adalah akhlak mulia. Hanya saja, karena luasnya cakupan, sebagian ulama kemudian meneliti akhlak mana saja yang menjadi pilar tegaknya muru’ah ini.

Bagaimana hasilnya? Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata: saya mendengar Imam asy-Syafi’i berkata, “Muru’ah itu mempunyai empat pilar, yaitu berakhlak baik, dermawan, rendah hati, dan tekun beribadah.” (Sunan al-Baihaqi, no. 21333).

Bila kita renungkan, ternyata keempat pilar tersebut menopang banyak sekali akhlak-akhlak mulia yang lain, sekaligus menyingkirkan akhlak-akhlak buruk.

Pilar pertama,  kunci muru’ah adalah memiliki tindak-tanduk dan kebiasaan yang baik

Tanpanya seseorang tidak pantas menyandang sifat muru’ah, sebab seluruh bagian yang lain akan kehilangan induk. Sebab, kebaikan dan keburukan itu selalu menarik akhlak sejenisnya untuk datang, sebagaimana dikatakan ‘Urwah bin az-Zubair (ulama’ Tabi’in, w. 94 H), “Bila engkau melihat seseorang melakukan kebaikan, ketahuilah bahwa kebaikan itu memiliki saudara-saudara pada diri orang tersebut. Bila engkau melihat seseorang melakukan keburukan, ketahuilah bahwa keburukan itu mempunyai saudara-saudara pada diri orang tersebut. Karena sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan saudaranya, dan demikian pula keburukan itu menunjukkan saudaranya.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam al-Hilyah).

Pilar kedua, yaitu kedermawanan, sesungguhnya merupakan refleksi dari itsar (mengutamakan orang lain), futuwwah (murah hati), tidak cinta dunia, saling menolong dalam kebajikan dan takwa, mendatangkan kegembiraan kepada sesama, dsb. Menurut Al-Qur’an, manusia sebenarnya cenderung enggan melepaskan haknya kepada orang lain, pelit, dan lebih senang jika diberi.

Allah berfirman;

وَأُحْضِرَتِ ٱلْأَنفُسُ ٱلشُّحَّ

 “Dan manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir.” (QS. An-Nisa’: 128).

Maka, kedermawanan adalah tindakan melawan nafsu-nafsu serakah, egois, cinta dunia, dsb. Allah menyanjung orang-orang yang bisa melawan kecenderungan negatif tersebut dalam QS. Al-Hasyr: 9, ketika mengisahkan kedermawanan kaum Anshar kepada kaum Muhajirin.

Senada dengan ini Allah berfirman pula dalam QS: at-Taghabun: 16:

فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ وَاسۡمَعُوۡا وَاَطِيۡعُوۡا وَاَنۡفِقُوۡا خَيۡرًا لِّاَنۡفُسِكُمۡ‌ؕ وَمَنۡ يُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِهٖ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah serta taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk (kemanfaatan) dirimu (di dunia dan akhirat). Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Untuk pilar ketiga, yaitu rendah hati (tawadhu’), kita bisa memahami betapa hebatnya akhlak ini dengan merenungkan kisah Adam, Malaikat, dan Iblis sebagaimana disitir Al-Qur’an. Sungguh, kesombonganlah yang membuat Iblis menolak bersujud kepada Adam.

Iblis merasa lebih baik dan lebih mulia, sehingga tidak mau menghormati Adam. Allah pun murka kepada Iblis, melaknatnya, dan mengusirnya dari Surga.

Sebaliknya, dengan rendah hati para malaikat serta-merta bersujud. Qatadah berkata, “Iblis iri kepada Adam atas kemuliaan yang Allah berikan kepada Adam. Dia berkata: ‘Aku tercipta dari api, sedangkan dia ini dari tanah.’ Maka, awal mula dosa-dosa adalah kesombongan. Musuh Allah itu merasa dirinya lebih hebat sehingga tidak mau bersujud kepada Adam.” (Riwayat as-Suyuthi dalam Tafsir ad-Durrul Mantsur, pada QS:  al-Baqarah: 34).

Dengan kata lain, ketawadhuan akan menyemai amal-amal shalih, sebagaimana kesombongan pasti membuahkan aneka dosa dan maksiat. Di balik ketawadhuan seseorang, ketika sikapnya ini benar-benar tulus dan bukan topeng palsu, sebenarnya bersemayam banyak akhlak dan adab yang lain, seperti muhasabah (introspeksi diri), gemar berlomba dalam kebaikan, tidak mencari-cari aib orang lain, menghormati orang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dsb.

Pilar terakhir muru’ah adalah tekun beribadah

Bagian ini menyiratkan dua hal sekaligus. Pertama, tidak ada keshalihan hakiki yang tidak disertai dengan kedekatan kepada Allah, apalagi yang tanpa iman.

Walaupun seseorang telah menyempurnakan 3 pilar muru’ah yang lain, jika dia malas beribadah, maka kebaikan-kebaikannya rawan tercemari oleh motif-motif yang salah, sehingga sia-sia. Dengan ibadahlah maka hati seseorang akan lebih terjaga.

Kedua, ibadah akan mewariskan keteguhan hati dan kesabaran, sehingga mendatangkan istiqamah. Dengan istiqamah diatas kebaikan, maka kehormatan seseorang terjaga, dan inilah puncak Muru’ah. Wallahu a’lam.*

Penulis pengasuh PP Arrahmah Puteri Malang

HIDAYATULLAH

Ikhlas Kunci Utama Perbuatan Diterima Allah

Ikhlas; kata Imam Qusyairi, mengesakan Allah dalam mengerjakan ketaatan dengan sengaja. Ibadah yang dilaksanakan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa ada tendensi lain. Dalam Risalah al Qusyairiyah menyebutkan ibadah yang dikerjakan murni dari perbuatan dari pandangan makhluk.

الإخلاصُ إفرادُ الحقِ سبحانه في الطاعة بالقصدِ، وهو أن يريدَ بطاعته التقرّبَ إلى الله تعالى دون شيء آخرَ، مِن تَصنُّعٍ لمخلوق. وقال: ويصحُّ أن يقالَ: الإخلاصُ تصفيةُ الفعلِ عن ملاحظةِ المخلوقين.

Artinya; Ikhlas adalah engkau mengesakan Allah dalam mengerjakan ketaatan dengan sengaja. Melakukan pelbagai ketaatan semata untuk mendekatkan kepada Allah tidak ada tendensi lain,  misalnya karena berpura-pura kepada perbuatan makhluk. Dan ia berkata; Ikhlas adalah memurnikan diri kepada Allah dari pandangan makhluk.

Ada anekdot bersumber dari ahli hikmah; “Ikhlas itu seperti kotoran. Ia keluar dari dubul orang yang buang air besar,”.  Tak dapat dipungkiri, setelah buang hajat, tak pernah ada yang menoleh kebelakangan. Tak pernah terbesit dalam hati merasa iba kotorannya keluar. Tak juga ada rasa bangga terhadap tahinya.

Ia pasrah melepas “tahi” yang keluar. Ia bersyukur pencernaanya lancar. Tak ada rasa iba. Tak juga menyesal melihat kotorannya hanyut di bawa air. Nah, manusia ikhlas hendaknya begitu. Pasrah. Tak ada tendensi terhadap pujian makhluk. Tak ada juga rasa bangga akan perbuatan.

Ikhlas itu tersembunyi. Letaknya dalam hati. Tak perlu diumbar. Imam Junaid Bagdadi berkata, “Ikhlas adalah rahasia antara hamba dan Tuhan,”. Lebih lanjut, rahasia orang ikhlas harus dijaga betul. Tak boleh bocor. Sehingga malaikat pun tak perlu tahu—untuk mencatat kebaikan manusia.

Begitu pun iblis, tak perlu tahu tentang ibadah manusia ikhlas. Pasalnya, bila iblis tahu, ia akan berusah menggoda manusia. Nafsu pun juga tak perlu mengetahui ibadah manusia, agar ia tak memalingkan manusia dari keikhlasan. Ikhlas itu rahasia di atas rahasia.

الإخلاصُ سِرٌّ بينَ الله وبينَ العبدِ، لَا يَعْلَمُهُ مَلَكٌ فَيَكتُبَه، ولَا شَيْطَانٌ فَيُفْسِدَهُ ولَا هَوى فيميلَه

Artinya: Ikhlas itu rahasia antara Allah dan hamba. Tak perlu malaikat tahu untuk mencatatnya, tak perlu setan tahu, sehingga ia akan membinasakan (amal manusia, dan tak perlu pula diketahui hawa nafsu, sehingga ia memalingkan manusia.

Pandangan lain terkait ikhlas dituangkan oleh Zakaria al Anhsari, sebagaimana dicatat dalam buku Hakekat tasawuf,  Anshari berkata,”Seorang benar-benar disebut sebagai orang yang ikhlas apabilaia tidak melihat keikhlasannya dan tidak tenang terhadapnya. Jika ia menyalahi itu, maka ikhlasnya dianggap belum sempurna. Sebagian kalangan menyebutnya hal itu sebagai riya.

Pendek kata, ikhlas adalah perbuatan yang murni. Ia bermuara dalam satu tujuan, yakni hendaklah hawa nafsu tidak ada ambil bagian dalam amal ibadah. Antara amal dan hawa nafsu tak bisa digabungkan. Pasalnya, akan membawa pada kerusakan amal kebajikan.

Dalam Al-Qura’an dijelaskan amal ibadah merupakan kunci utama diterimanya ibadah seseorang. Amal seorang hamba itu tergantung keikhlasannya. Untuk itu, Allah memerintahkan Rasul dan para orang beriman untuk beribadah tanpa pamrih.  Allah berfirman dalam Al-Qur’an Q.S az Zumar ayat 11 dan 14;

قُلْ اِنِّيْٓ اُمِرْتُ اَنْ اَعْبُدَ اللّٰهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ

Artinya; Katakanlah; “Sesungguhnya aku diperintahkan agar menyembah Allah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”.

قُلِ اللّٰهَ اَعْبُدُ مُخْلِصًا لَّهٗ دِيْنِيْۚ

Artinya: Katakanlah, “Hanya Allah yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.”

Di samping itu, dalam Al-Qur’an juga Allah menjelaskan bahwa ikhlas adalah sarana untuk berjumpa Allah kelak di akhirat. Pasalnya, amal kebajikan yang dikerjakan tanpa pamrih, akan mendapatkan ridha dan rahmat Allah. Allah berfirman dalam Q.S Al Kahfi ayat 110;

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Artinya: Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.

Demikian penjelasan terkait ikhlas kunci utama perbuatan diterima Allah. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Mengenal Hadis Maqbul dan Mardud

Mahmud Thahan dalam Taisir Musthalah al-Hadits menjelaskan, jika ditinjau kuat dan lemahnya sanad, hadis ahad terbagi menjadi dua; maqbul dan mardud.

Hadis maqbul artinya hadis yang telah jelas kebenaran yang diriwayatkan perawi. Maqbul sendiri secara bahasa berarti yang diterima. Hukum hadis maqbul adalah wajib dijadikan landasan dalil hukum dan diamalkan.

Berdasarkan kualitasnya, hadis maqbul terbagi menjadi empat bagian;

  1. Shahih li dzatihi; Hadis yang sanadnya tersambung, dengan perantara perawi yang ‘adil dan kuat hafalannya, tanpa ada syadz dan illat.
  2. Shahih li lighairihi; Hadis hasan yang naik derajatnya menjadi shahih karena ada riwayat yang sama yang lebih kuat darinya.
  3. Hasan li dzatihi; hadis yang sanadnya tersambung dengan perantara perawi yang adil tapi terdapat kekurangan pada hafalannya, tidak ada syadz dan illat.
  4. Hasan di ghairihi; hadis dhaif yang naik dejaratnya menjadi hasan karena ada riwayat lain yang lebih kuat darinya.

Jika hadis maqbul adalah hadis yang memiliki syarat-syarat hadis maqbul seperti dijelaskan di atas, maka hadis mardud adalah hadis yang tidak mencukupi syarat hadis maqbul. Setiap hadis yang mardud atau ditolak hukumnya dhaif.

Menurut ulama mutaqaddimin, hadis dhaif ada yang matruk (ditinggal) dan ada yang tidak sampai matruk (ditinggal) ini merupakan penjelasan Ibnu Taimiyah. Sementara ulama muta’akhirin menyebutkan, hadis mardud adalah hadis yang tidak  memenuhi syarat hadis shahih dan tidak pula syarat hadis hasan.

Artinya hadis mardud adalah hadis yang tidak jelas kebenaran riwayat yang disampaikan  perawi. Secara bahasa, mardud artinya yang ditolak dan tidak diterima. Hukumnya, hadis mardud tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib mengamalkannya. Hadis tertolak terkadang karena sanadnya terputus atau  karena terdapat masalah pada diri perawi.

BINCANG SYARIAH