Keistimewaan para Rasul (Bag. 1)

Sesungguhnya para Rasul itu diberikan beberapa keistimewaan dari Allah Ta’ala sehingga membedakannya dari manusia yang lain. Beberapa keistimewaan tersebut antara lain:

Pertama, wahyu.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً

“Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal yang salih dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 110)

Yang dimaksud dengan wahyu secara syar’i adalah informasi atau kabar berkaitan dengan syari’at. (Fathul Baari, 1: 12)

Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,

“Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ayat yang mulia ini untuk mengatakan kepada manusia, “Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia semisal dengan kalian.” Maksudnya, aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa aku ini malaikat atau bukan jenis manusia. Bahkan, aku ini manusia semisal kalian. Maksudnya, sama-sama berasal dari jenis manusia. Akan tetapi, Allah Ta’ala memberikan aku kelebihan dan keistimewaan dengan memberikan wahyu kepadaku berupa tauhid dan syariat.” (Adhwaa’ul Bayaan, 3: 355)

Kedua, al-‘ishmah.

Yang dimaksud dengan al-‘ishmah (ke-ma’shum-an) adalah terjaga dari kesalahan dalam menyampaikan perkara agama.

Allah Ta’ala berfirman,

قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Katakanlah (hai orang-orang mu’min), “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 136)

Allah Ta’ala mewajibkan iman kepada ajaran yang dibawa oleh para Rasul. Seandainya mereka tidak ma’shum, niscaya Allah Ta’ala tidak akan mewajibkan hal tersebut. Tidak ada satu pun kaum muslimin yang memperdebatkan tentang kema’shuman para Rasul dalam menyampaikan wahyu yang berasal dari Allah Ta’ala.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Para Nabi -semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada mereka- itu ma’shum dalam perkara yang mereka beritakan dari Allah Ta’ala, juga dalam menyampaikan risalahnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al-Fataawa, 10: 289)

Ketiga, matanya tertidur, namun hatinya tetap terjaga.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya mataku tertidur, namun hatiku tidaklah tidur.” (HR. Bukhari no. 1147)

Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita tentang perjalanan malam isra’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari masjid Ka’bah (Masjidil Haram). Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

جَاءَهُ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ قَبْلَ أَنْ يُوحَى إِلَيْهِ وَهُوَ نَائِمٌ فِي مَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ أَوَّلُهُمْ أَيُّهُمْ هُوَ فَقَالَ أَوْسَطُهُمْ هُوَ خَيْرُهُمْ وَقَالَ آخِرُهُمْ خُذُوا خَيْرَهُمْ فَكَانَتْ تِلْكَ فَلَمْ يَرَهُمْ حَتَّى جَاءُوا لَيْلَةً أُخْرَى فِيمَا يَرَى قَلْبُهُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَائِمَةٌ عَيْنَاهُ وَلَا يَنَامُ قَلْبُهُ وَكَذَلِكَ الْأَنْبِيَاءُ تَنَامُ أَعْيُنُهُمْ وَلَا تَنَامُ قُلُوبُهُمْ

“Ketika itu, beliau didatangi oleh tiga orang (malaikat) sebelum beliau diberi wahyu, saat sedang tertidur di Masjidil Haram. Malaikat pertama berkata, “Siapa orang ini di antara kaumnya?” Malaikat yang di tengah berkata, “Dia adalah orang yang terbaik di kalangan mereka.” Lalu malaikat yang ketiga berkata, “Ambillah yang terbaik dari mereka.” Dan beliau tidak pernah melihat mereka lagi hingga akhirnya mereka datang di malam yang lain berdasarkan penglihatan hati beliau. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam matanya tertidur, namun hatinya tidaklah tidur. Demikian pula para nabi (yang lain), mata mereka tidur namun hati mereka tidaklah tidur.” (HR. Bukhari no. 3570)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata,

“Para Nabi ‘alaihis salaam itu mata mereka tidur, namun hati mereka tidaklah tidur. Oleh karena itu, mimpi para Nabi termasuk wahyu.” (Al-Istidzkaar, 1: 75)

Beliau rahimahullah juga berkata,

“Oleh karena itu, wallahu a’lam, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa mimpi para Nabi itu wahyu. Karena para Nabi itu terbedakan dari manusia lain yang hati mereka tidur, dan sama dengan manusia yang lain dalam hal mata yang tertidur. Seandainya tidur itu menguasai hati para Nabi, sebagaimana manusia yang lain, maka mimpi para Nabi akan sama statusnya dengan mimpi manusia yang lain. Allah Ta’ala memberikan kekhususan dengan keutamaan dari-Nya berupa keistimewaan (apa saja) yang Allah Ta’ala kehendaki.” (Al-Istidzkaar, 2: 101)

Keempat, para Nabi itu dimakamkan di tempat mereka meninggal.

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَلَفُوا فِي دَفْنِهِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مَا نَسِيتُهُ قَالَ مَا قَبَضَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُدْفَنَ فِيهِ ادْفِنُوهُ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِهِ

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, para sahabat berselisih pendapat di mana akan memakamkan beliau. Abu Bakar berkata, “Aku telah mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuatu yang tidak aku lupakan, yaitu beliau bersabda, “Allah tidak mewafatkan seorang Nabi kecuali di tempat yang mana dia suka untuk dikubur pada tempat itu. Kuburkanlah beliau di tempat tidurnya.” (HR. Tirmidzi no. 1018, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Ini adalah kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para Nabi yang lain. Oleh karena itu, para shahabat tidaklah memakamkan orang meninggal di antara mereka di rumahnya, akan tetapi mereka makamkan di pemakaman Baqi’. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memakamkan satu orang pun di rumahnya. Hal ini merupakan dalil bahwa memakamkan di rumah itu tidak diperbolehkan.

Kelima, Nabi diberikan pilihan antara dunia dan akhirat ketika sakit.

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ نَبِيٍّ يَمْرَضُ إِلَّا خُيِّرَ بَيْنَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

“Tidaklah seorang nabi sakit kecuali akan diberi pilihan antara dunia dan akhirat.” (HR. Bukhari no. 4586)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Jangan Sibuk dengan Aib Manusia!

Setiap manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas dirinya masing-masing. Allah Swt Berfirman :

كُلُّ نَفۡسِۭ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِينَة

“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.” (QS.Al-Muddatstsir:38)

مَّنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا

“Barangsiapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka sesungguhnya itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa tersesat maka sesungguhnya (kerugian) itu bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS.Al-Isra’:15)

وَلَا تَكۡسِبُ كُلُّ نَفۡسٍ إِلَّا عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ

“Setiap perbuatan dosa seseorang, dirinya sendiri yang bertanggung jawab. Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain.” (QS.Al-An’am:164)

Bila seseorang selalu memperhatikan aib pada dirinya maka ia tidak akan sibuk dengan aib orang lain. Ia akan lebih dicintai oleh orang-orang sekitarnya karena tidak pernah mengurusi aib-aib mereka. Bahkan Allah pun senang melihat hamba yang sibuk dengan aibnya sendiri dan menjaga lisannya dari membicarakan aib orang lain.

Selain dicintai orang lain, orang yang tidak suka membicarakan aib orang lain juga akan lebih aman dari mulut-mulut manusia. Sementara orang yabg suka mencari tau aib orang akan dipantau aib-aibnya oleh orang lain.

Sibuk mengurusi aib orang akan membawa pada permusuhan dan dendam. Orang yang suka mengumbar aib orang lain pasti suatu saat aib-aibnya akan terbuka oleh Allah Swt, walaupun ia bersembunyi di rumahnya.

Maka berhati-hatilah, karena biasanya manusia sangat mudah melihat aib orang lain walaupun kecil dan sulit melihat aib dalam dirinya walaupun jelas dan besar.

Rasulullah Saw bersabda :

“Tampak bagi kalian kotoran kecil di mata saudaranya dan lupa terhadap sebuah batang di matanya sendiri.”

Semoga bermanfaat.

KHAZANAHALQURAN

Amalan yang Ringankan Siksa Kubur Orang Tua

Hal penting yang harus dilakukan anak yakni jangan lupa selalu mendoakan orang tua

Salah satu amalan yang harus dilakukan  anak adalah mendoakan orang tuanya. Terlebih, jika orang tuanya telah meninggal. Ulama fikih, Imam Abdullah al-Hadad mengatakan dalam bukunya, Sabilul Iddikar, salah satu hal penting yang harus diperhatikan seorang anak adalah jangan lupa selalu mendoakan orang tua, baik orang tua yang masih hidup maupun meninggal.

“Ada yang dinukil riwayat dari Sayyidina Ali. Ada seorang anak muda yang hidupnya ibarat rezekinya seret, tidak lancar, dia lapor ke Ali, ”Ya Amiral Mu’minin, saya ini kok hidupnya rezekinya seret?,” kata KH Arja Imroni, Katib PWNU Jawa Tengah dalam video bertajuk Amalan agar Meringankan Siksa Kubur Orang Tua yang Sudah Meninggal di kanal Youtube NU Online.

Lalu Ali bertanya dalam riwayat itu, “Apakah kamu suka mendoakan orang tuamu?”. Anak muda itu menjawab, “sama sekali tidak.” Kemudian Ali menjawab, “Itu penyebab rezekimu tidak lancar, tidak pernah mendoakan orang tua.”

“Penting diingat, bagi anak-anak muda, kalau mau hidup baik, doakan orang tua, paling tidak singkatnya rabbighfirli liwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shagiiraa. Apalagi kalau orang tuanya sudah wafat,” ujar dia.

Arja menjelaskan, ada sebuah nasihat dari Sayid Abdullah al-Hadad. Dia pernah mengatakan, “Jika Anda tidak sempat membaca Alquran utuh, tidak sempat membaca ayat-ayat panjang, kalau bisa membaca surat al-Ikhlas 11 kali setiap hari. Kalau tidak bisa setiap hari, sepekan sekali setiap malam Jumat. Jika masih tidak bisa juga, sebulan sekali agar pahalanya dikirimkan ke orang tua.

Paling tidak, ini yang bisa dilakukan oleh seroang anak dengan membaca surat al-Ikhlas 11 kali tidak memakan waktu banyak. Selain itu, amalan tersebut juga terbukti dalam mukasyafah atau penyingkapan hal ghaib al-Hadad sangat menyenangkan bagi ahli kubur.

“Ilmu, insya Allah bermanfaat, hidup insya Allah dilapangkan rezekinya. Amalan sederhana tapi manfaatnya banyak untuk kita atau orang yang sudah wafat,” ucap dia.

KHAZANAH REPUBLIKA

Apakah Waroqoh bin Naufal, Muslim?

assalamualaykum warahmatullahi wabarakatuh

ustadz afwan ana mau bertanya, waraqah ibn naufal pamannya ibunda Khadijah radiallahuanha apakah seorang muslim, karena dia membenarkan bahwa Rasulullah didatangi oleh Namus ( malaikat jibril ‘alaihissalam) seperti nabi Musa’ alaihissalam

jazakumullah khairan ustadzy wa barakallahu fiikum

Akbar, di Malang.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Bismillah wal hamdulillah wash sholaatu was salaamu ala rasulillah wa ba’du.

Sebelumnya mohon maaf kami sedikit meluruskan bahwa Waroqoh bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushoi Al-Qurosyi Al-Asadi bukan paman Ibunda Khadijah, sebagaimana ini yang populer di masyarakat. Namun yang tepat beliau adalah anak pamannya Ibunda Khadijah atau disebut sepupu.

Kemudian tentang status Waroqoh bin Naufal apakah muslim maka beliau adalah seorang muslim. Dalil yang kesimpulan ini adalah hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dari Ibunda Aisyah radhiyallahu’anha, beliau mengatakan,

لا تسبوا ورقة فإني رأيت له الجنة ، أو جنتين

“Jangan kalian mencela Waroqoh, karena sungguh saya melihat beliau mendapat satu atau dua surga.” (HR. Al-Hakim, dinilai Shahih oleh beliau, Imam Dzahabi dan Al-Albani. Islamqa.info)

Nabi mengabarkan surga untuk Waroqoh bin Naufal menunjukkan bahwa beliau adalah muslim.

Bahkan ada ulama yang menilai beliau sebagai orang yang pertama memeluk Islam dari kalangan laki-laki. Sebagaimana keterangan Syaikh Sholih Al Utsaimin rahimahullah,

ولهذا نقول: أول من آمن به من النساء خديجة ، ومن الرجال ورقة بن نوفل

“Oleh karenanya kita katakan bahwa orang yang pertama memeluk Islam dari kalangan perempuan adalah Khadijah. Dan dari kalangan laki-laki adalah Waroqoh bin Naufal.” (Lihat: Majmu’ Fatawa Wa Rosa-il Ibni ‘Utsaimin 8/613)

Meskipun yang tepat beliau tidak termasuk sahabat. Karena beliau meninggal di masa fatroh (masa antara dua Nabi), sebelum Nabi shallallahu alaihi wa sallam diangkat menjadi Rasul. Sebagaimana diterangkan Ibnu Katsir rahimahullah,

وتقدم الكلام على إيمان ورقة بن نوفل بما وجد من الوحي ، ومات في الفترة رضي الله عنه

“Penjelasan tentang berimannya Waroqoh bin Naufal kepada wahyu telah disinggung sebelumnya. Beliau meninggal di masa fatroh, semoga Allah meridhoi beliau.” (Al-Bidayah wan Nihayah 2/19)

Wallahua’lam bis showab.

***

Dijawab oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc.

(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Quran Jogjakarta dan Pengasuh Thehumairo.com)

KONSULTASI SYARIAH

Ini Alasan Keharaman Jual Beli Poin Fiktif dan Transaksi Fiktif

Setelah kita mengkaji mengenai kedudukan harta POIN Telkomsel yang kedudukannya adalah sah sebagai harta, disebabkan adanya pola penukaran yang disampaikan oleh Telkomsel, maka sekarang, mari kita mengkaji mengenai adanya kemungkinan poin fiktif.

Kita sebelumnya sudah memetakan bahwa POIN yang sah sebagai harta, adalah POIN yang memiliki ciri sebagai berikut:

  1. Bisa ditukar dengan barang, yang mana barang daya tukarnya dijamin keberadaannya oleh perusahaan itu sendiri, yaitu Telkomsel. Untuk Telkomsel, sebenarnya hanya menghargai 1 POIN Telkomsel sebagai 100 rupiah. Harta POIN yang semacam ini lahir dari buah relasi akad dlaman.
  2. Bisa dijadikan bukti transaksi oleh pihak lain (Mitra Telkomsel) untuk menagih kepada Telkomsel bahwa telah terjadi penukaran POIN oleh konsumen kepada diri Mitra. Harta POIN semacam ini adalah lahir dari akad bai’ ma fi al–dzimmah bi ma fi al-dzimmah, atau bai’ al-dain bi al-dain, yaitu seolah utangnya Telkomsel dibeli oleh Mitra sehingga penagihan utang konsumen kepada Telkomsel beralih menjadi penagihan Mitra kepada Tekomsel. Akad semacam ini merupakan buah dari relasi akad hiwalah.

Syarat sah terjadinya akad hiwalah, adalah apabila besaran utang Telkomsel kepada Konsumen adalah sama besar dengan utangnya Konsumen kepada Mitra Telkomsel. Alhasil, akad hiwalah terjadi karena pengalihan tanggungan penagihan terhadap utang tersebut.

Bagaimana dengan POIN Fiktif?

Berbekal rincin analisis di atas, maka yang dimaksud dengan poin fiktif, adalah:

  1. POIN yang diterbitkan itu tidak memiliki jaminan nilai tukar terhadap barang. Pihak penerbit POIN tidak mencantumkan skema penukarannya sama sekali. Alhasil, keberadaannya tidak memenuhi relasi akad dlaman (penjaminan).
  2. POIN yang diterbitkan tidak memenuhi unsur sebagai bukti penagihan utang disebabkan karena suatu pekerjaan atau jasa yang dijanjikan.
  3. Maksud dari bukti penagihan utang adalah bukti karena pihak konsumen telah melakukan pekerjaan tertentu sehingga ia berhak atas ujrah (upah) yang dijanjikan oleh perusahaan penerbit POIN. Misalnya, karena saya sudah membeli pulsa, maka saya berhak atas 2 POIN. 1 POIN bisa digunakan untuk membeli pulsa dengan dskon 2.500 rupiah ke Aplikasi Hotel Murah (Mitra Telkomsel). Alhasil, dengan skema ini, saya berhak menagih uang sebesar 2.500 rupiah tersebut ke Telkomsel, yang mana saluran penagihannya bisa dilakukan lewat Mitra. Sementara itu, karena pihak Mitra sudah menalangi utangnya Telkomsel ke pemilik POIN, maka Mitra berhak menagih ke Telkomsel. Jadilah kemudian POIN adalah bukti transaksi yang meniscayakan Mitra menagih Telkomsel.
  4. Karena tidak menyatakan bukti penagihan / pekerjaan apapun, maka POIN tidak bisa disebut memiliki nilai (qimah). Sebagaimana kasus di atas, apabila pihak Telkomsel tidak menjalin akad kemitraan dengan Mitra Telkomsel, maka bagaimana pihak Mitra mahu menagih ke Telkomsel? Sudah pasti tidak bisa dilakukan.

Akad sebagaimana tergambar dalam ilustrasi di atas, merupakan  contoh gambaran sederhana dari keberadaan POIN fiktif. Oleh karenanya, pengalihan tanggungan penagihannya kepada pihak Mitra, adalah seolah-olah berlaku akad bai’ al-dain bi al-ma’dum, yaitu jual beli utang dengan sesuatu yang fiktif.

Bagaimana hukum menjualbelikan POIN tak berjamin utang atau bukti penagihan seperti ini? Sudah pasti jawabannya adalah hukumnya haram, sebab sama saja dengan telah melakukan praktik jual beli barang tidak ada (fiktif). Dalam istilah modern, transaksi seperti ini dikenal sebagai transaksi mondial (transaksi fiktif).

Di mana Praktik Transaksi POIN Fiktif ini kita temukan?

Dunia online merupakan dunia yang serba kompleks. Transaksi jual beli secara online, masuk rumpun transaksi syaiin mauhuf fi al-dzimmah, yaitu transaksi jual beli sesuatu yang bisa disifati dan bisa dijamin pengadaannya.

Karena obyeknya yang hanya terdiri dari sesuatu yang bisa disifati ini, maka seringkali terjadi penyalahgunaan oleh para developer Platform. Beberapa aplikasi seperti Alimama ApkVtube, Memiles, Share4Pay, Goins, Cashzine, adalah contoh-contoh dari aplikasi yang menjanjikan adanya POIN, namun tidak memiliki underlying asset (aset penjamin).

Dalam ranah cryptocurrency, ada PT Rechain Vidycoin Indonesia yang juga menerbitkan produk yang kurang lebih serupa. Mereka menawarkan harta dengan berbekal menonton Video iklan, atau menshare iklan, lalu memberikan poin kepada membernya berbekal menonton itu, namun POIN itu tidak memiliki nilai penukar atau bukti penagihan kepada perusahaan sama sekali.

Nah, POIN-POIN yang didapatkan dari mereka inilah, yang memenuhi syarat sebagai POIN Fiktif. Alhasil, mentraksasikannya adalah haram karena sama saja dengan jual beli barang ma’dum (barang tidak ada) namun dianggap ada sehingga seolah layak untuk dijualbelikan. Wallahu a’lam bi al-shawab

BINCANG SYARIAH

3 Penyakit Utama Hati yang Kerap Menyerang Muslim

Terdapat 3 penyakit hati yang rentan menyerang Muslim

Memiliki hati yang bersih merupakan kunci bagi seorang hamba meraih keselamatan di dunia dan akhirat. Sebab akan datang satu masa di mana harta, anak tidak berguna.

Yakni tidak mampu memberikan pertolongan kepada seorang hamba. kecuali orang tersebut menghadap kepada Allah dengan qalbul salim. Keterangan ini dapat ditemukan dalam Alquran surat Asy-Syu’ara ayat 88-89:    

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”

Menurut Habib Umar Ibrahim Assegaf yang dimaksud qolbun salim atau hati yang selamat pada penghujung ayat itu yakni salamatus sudur atau selamatnya badan  seorang hamba dari penyakit-penyakit hari yang pokok. 

Pertama yakni al-kibru atau kesombongan. Menurut Habib Umar, kesombongan merupakan penyakit hati yang pokok yang bisa menghapus nilai pahala segala bentuk amal soleh yang dilakukan seorang hamba. Habib Umar menjelaskan orang yang sombong sejatinya dalam hatinya telah merasa menjadi Tuhan. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’uad RA: 

  عن عبدالله بن مسعودٍ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ : …إن الله جميلٌ يحب الجمال، الكِبْرُ: بطَر الحق، وغمط الناس 

“Allah itu indah menyukai sikap berhias. Sombong itu menolak kebenaran dengan takabur dan merendahkan orang lain.” (HR Muslim 275). 

Menurut Habib Umar, kesombongan merupakan pokok penyakit hati yang tak nampak, namun akibat bahayanya kesombongan memunculkan penyakit hati lainnya yakni takabur sehingga merendahkan orang lain dan merasa diri paling besar. 

“Kesombongan itu tidak kelihatan ada dalam diri kita tapi kalau sudah kelihatan itu takabur. Orang yang sombong dia merasa mutakabir, besar. Tuhan tak akan memberikan pahala pada orang yang sombong,” kata Habib Umar saat mengisi kajian di Masjid Raya Bintaro Jaya beberapa hari lalu, sebagaimana dikutip dari dokumentasi Harian Republika.

Pokok penyakit hati yang kedua yakni riya. Habib Umar menjelaskan riya yakni seorang hamba yang berbuat amal soleh tetapi berharap mendapatkan pujian dari orang lain.

Penyakit ini sangat dahsyat dampaknya dalam merusak iman dan kehidupan seorang hamba. Sebab penyakit riya berujung pada tujuan untuk memperoleh apresiasi dari makhluk dan mengesampingkan Allah sebagai tujuan dari tiap amal soleh yang dilakukan. 

Alhasil, riya tergolong syirik kecil sebab menjadikan selain Allah tujuan. Menurut Habib Umar, orang yang riya dalam hidupnya akan senantiasa kelelahan karena terus mencari dunia agar dirinya bisa diagungkan orang lain. Dalam hadits Rasulullah SAW riwayat Mahmud bin Labid RA dijelaskan:

 عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً 

“Sesungguhnya yang paling kukhawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik ashgor.  Para sahabat bertanya, apa itu syirik ashgor wahai Rasulullah? Beliau bersabda, Syirik ashgor adalah riya. Allah berkata pada mereka yang berbuat riya pada hari kiamat ketika manusia mendapat balasan atas amalan mereka. Pergilah kalian pada orang yang kalian tujukan perbuatan riya di dunia. Lalu lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka?” (HR Ahmad).

Pokok penyakit hati yang ketiga yakni al-hasad. Menurut Habib Umar hasad yakni penyakit yang bila ada pada seorang hamba maka hamba tersebut tak menyukai kebaikan yang diperoleh orang lain. Sehingga dari sifat hasad menimbulkan penyakit lainnya termasuk salah satunya yakni gibah bahkan fitnah.

Orang yang hasad, menurut Habib Umar akan dimulai dengan membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain yang tidak disukainya karena memperoleh kebaikan atau kebahagiaan maupun penghargaan yang tidak diperoleh dirinya. Ia akan merasa hanya dirinya lebih pantas memperoleh segala bentuk kebaikan dibanding dengan saudaranya itu. Pada akhirnya, orang yang hasad akan melakukn gibah hingga fitnah untuk menjatuhkan saudaranya. 

“Yang lebih jahat lagi dari yang ditimbulkan hasad kalau dia kemudian memprotes takdir Allah yang memberikan kebaikan kepada orang lain. Ya Allah aku ini lebih hebat, kenapa dia yang dia yang diberikan lebih,” kata Habib Umar.

Akibat penyakit hati ini, menurut habib Umar segala pahala amal soleh bisa terhapus. Sebagaimana dalam keterangan sebuah hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ أَوْ قَالَ الْعُشْبَ

“Hati-hatilah kalian dari hasad, karena sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar atau semak belukar (rumput kering).” ( HR Abu Dawud dari Abu Hurairah). 

Karenanya Habib Umar pun mengajak jamaah untuk berhati-hati terhadap hasad. Sebab menurutnya hasad ibarat virus yang mematikan dan dapat menyerang siapa saja termasuk orang berilmu. Sebab itu, untuk menangkal hasad seorang hamba harus pandai bersyukur dan senang ketika melihat adanya kebaikan yang dilakukan atau didapat oleh orang lain. 

“Kalau kita berniat berbuat baik lalu didahului orang lain, ya sudah alhamdulillah. dengan niatnya pun kita sudah memperoleh pahala,” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bagaimana Bermuamalah Dengan Orang-Orang Yang Menyimpang?

Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Aku menjadi imam dan khatib di suatu daerah terpencil. Aku mendakwahkan sunnah dan tauhid. Tiba-tiba saya menyadari bahwa sebagian penuntut ilmu berpaling dari khutbah dan halaqah yang aku ampu. Bahkan mereka tidak mau menuntut ilmu di masjid tempatku mengajar.

Kemudian aku mulai mengerti sebab berpalingnya mereka dari majelisku, yaitu karena pertemuanku dengan masyayikh yang menyimpang di suatu jamuan makan malam yang diadakan salah seorang penuntut ilmu, di kota Madinah an Nabawiyyah ketika aku umrah. Sedangkan aku tidak mengetahui keadaan para masyaikh yang di-jarh tersebut pada saat itu. Aku bahkan baru mengetahuinya setelah kejadian itu.

Maka yang menjadi pertanyaanku, apakah hanya karena pertemuan sesaat itu layak menjadi sebab mereka berpaling dari majelisku dan menjadi penghalang mereka mendapatkan ilmu serta faedah dariku? Bagaimana seharusnya bermuamalah dengan orang yang menyimpang? Mohon beri kami faedah semoga Allah ta’ala membalas anda dengan pahala dan kebaikan.

Jawaban:

الحمد لله ربِّ العالمين، والصلاةُ والسلام على مَنْ أرسله الله رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبِه وإخوانِه إلى يوم الدِّين، أمَّا بعد

Seharusnya seorang Muslim tidak mudah terpancing untuk mudah menuduh Muslim lainnya. Akan tetapi, mestinya ia lebih mudah untuk berbuat baik dan berprasangka baik kepada saudaranya. Terlebih apabila saudaranya tersebut adalah seorang imam, seorang salafi yang jujur, penyeru kepada tauhid dan sunnah, teguh menjalankan agama serta menghiasi akhlaknya dengan Al-Qur’an. Maka amalan dan perbuatannya yang dianggap terdapat syubhat, semestinya dibawa kepada kemungkinan yang baik, selama ada celah kemungkinan yang baik dalam memahami perbuatan yang terkesan buruk tersebut, dan tidak ada bukti tentang penyimpangannya. Selama sang imam tersebut selama ini memiliki jasa yang baik dalam menegakkan sunnah, dan ia punya kepekaan untuk kembali kepada al haq dan mengamalkannya, apabila melakukan suatu kekeliruan. Karena sesungguhnya ketika kebenaran datang kepada pemilik hati yang baik dan ia mengetahuinya, tentu ia akan menerimanya. Kemudian hati itu akan tumbuh -sesuai dengan isi dan niat asal dari hatinya- serta membuahkan amalan shalih. Sebagaimana firman Allah :

وَٱلۡبَلَدُ ٱلطَّیِّبُ یَخۡرُجُ نَبَاتُهُۥ بِإِذۡنِ رَبِّهِۦۖ

Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya akan tumbuh subur dengan izin Rabbnya“. (QS. Al-A’raf Ayat 58).

Namun, apabila imam tersebut dengan sengaja berkumpul dengan orang-orang menyimpang dan berdiskusi (karena suatu sebab tertentu) namun si imam ini mengetahui keadaan mereka (hakikat pemahaman mereka -pen.), dan tujuannya karena ada suatu kebutuhan atau untuk mendakwahi mereka, maka ini diperbolehkan dan ia tidak tercela. Selama ia tetap tidak ridha terhadap penyimpangan dan kebid’ahan yang mereka lakukan. Dan ia tidak suka untuk banyak bergaul dengan mereka. Namun hendaknya ini dilakukan sebatas kebutuhan saja. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam :

إِذَا عُمِلَتِ الْخَطِيئَة فِي الْأَرْضِ كَانَ مَنْ شَهِدَهَا فَكَرِهَهَا ـ وَقَالَ مَرَّةً: أَنْكَرَهَا ـ كَانَ كَمَنْ غَابَ عَنْهَا وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا

Barang siapa yang melihat suatu kemungkaran di muka bumi kemudian ia membenci (dalam riwayat lain: mengingkarinya), maka ia seakan-akan seperti orang yang tidak berada di sana. Dan barangsiapa yang meridhai suatu kemungkaran, maka ia seperti orang yang hadir (di tempat tersebut), meskipun ia tidak hadir di sana”[1]

Dengan syarat, ia tidak menjadikan mereka sebagai teman dekat atau bersafar dengan mereka. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam:

لَا تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ

Janganlah engkau berteman kecuali dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertaqwa” [2]

Jangan pula ia meminta mereka menginap sebagai tamu atau melindungi mereka di rumahnya. Sebagaimana Sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam :

لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا

” … Allah melaknat orang yang melindungi pelaku bid’ah..” [3]

Adapun bagi yang belum mengetahui keadaan ahlul bid’ah tersebut, maka ia diberi udzur.

Namun seseorang yang mengetahui keadaan ahlul bi’dah tersebut, dan mengetahui bahwa mereka sulit dinasehati, maka hendaknya ia tetap menampakkan sikap sebagai seorang Ahlussunnah tanpa kendor sedikit pun. Ia tetap membela akidah Ahlussunnah yang haq dan tidak boleh luntur dalam perkara beragama. Sehingga ia tidak menampakkan sikap yang syubhat, bias dan meragukan di depan masyarakat.

Maka sikap yang paling baik dalam menyikapi keadaan seperti ini adalah, apabila seorang Ahlussunnah yang melakukan suatu kesalahan tanpa disengaja, maka hendaknya ia diberi udzur dan diperlakukan baik. Karena ketika orang yang demikian diberi udzur, ia akan tetap menjadi orang yang baik. Sehingga setelah dinasehati, ia pun kembali kepada keadaan awalnya dan kembali bersama orang-orang yang baik.

Sebaliknya, apabila Ahlussunnah yang demikian disikapi dengan permusuhan dan kesombongan, enggan menerima kebenaran, merendahkan orang lain, dan menganggap orang lain jahil, menganggap dirinya sebagai orang paling memerangi kebatilan, dan paling membela kebenaran, sebagaimana kelakukan sebagian mukhalif di zaman ini, maka sikap yang seperti ini dipastikan akan membawa kepada perkara-perkara yang tidak terpuji akibatnya. Demikian juga akan memecah belah shaf Ahlussunnah, menimbulkan kerusakan dan perselisihan, membuat orang enggan menuntut ilmu, juga membuat (orang Ahlussunnah yang dianggap keliru tadi) terus menerus dalam kebatilan, dan juga membuat musuh-musuh Islam dan musuh-musuh dakhwa sunnah akan berkuasa.

Dosanya dan akibat buruknya kelak akan kembali orang-orang yang senang memunculkan fitnah (kerusakan) yang demikian, serta menghabiskan umurnya dengan fitnah yang demikian.

Aku memohon kepada Allah untuk saya dan kita semua, agar dianugerahi taufiq dan kebaikan dalam tutur kata dan amalan. Demikian juga memohon keistiqamahan dalam berpegang teguh kepada manhaj salafy yang shahih, kokoh berpegang padanya, serta berpegang teguh kepada hukum-hukum syar’i, serta adab dan akhlak yang sesuai tuntunan syari’at. Semoga Allah juga menambahkan ilmu dan pengetahuan yang membantu kita semakin bertaqwa kepada Allah. Semoga Allah memberikan taufik kepada anda sekalian agar bisa memberi manfaat negeri dan juga kepada sesama manusia.

والعلم عند الله تعالى، وآخِرُ دعوانا أنِ الحمدُ لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على نبيِّنا محمَّدٍ وعلى آله وصحبِه وإخوانِه إلى يوم الدِّين، وسلَّم تسليمًا.

***

Penerjemah: Fauzan Hidayat, STP., MPA

Artikel: Muslim.or.id

Catatan Kaki:

[1] Riwayat Abu Dawud dalam kitab “Al-Malahim” Bab ‘al-Amru wa an-Nahyu’ (43345) dari hadits al-‘Urs bin Abirah al-Kindiy -Radhiallahu ‘anhu-. Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab “Shahih al-Jami’” (689)

[2] Riwayat Abu Dawud dalam kitab “al-Adab” dalam Bab  ‘Man Yu’mar an Yujalis” (4832), dan at-Tirmidzi dalam kitab “az-Zuhdu” Bab “Maa jaa di Suhbatil Mu’min” (2395), dari hadits Abi Sa’id al-Khudri -Radhiallahu’anhu-dan dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab”Shohih al-Jami’” (7341)

[3] Riwayat Muslim dalam kitab “al-Adhohi” dari Hadits Ali bin Abi Thalib-Radhiallahu’anhu-

Referensi:

http://ferkous.com/home/?q=fatwa-1228

Kedudukan Iman kepada Para Rasul

Iman kepada para Rasul merupakan rukun keempat dari rukun iman. Iman seorang hamba tidaklah sah kecuali dengan beriman kepada para Rasul. Siapa saja yang mengingkari Rasul, dia telah tersesat dengan kesesatan yang sangat jauh. Dia juga tidak berhak disebut sebagai orang mukmin.

Allah Ta’ala berfirman,

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka mengatakan, “Kami dengar dan kami ta’at.” (Mereka berdoa), “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah [2]: 285)

وَمَن يَكْفُرْ بِاللّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيداً

“Barangsiapa yang kafir (ingkar) kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian (hari akhir), maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 136)

لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّآئِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُواْ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاء والضَّرَّاء وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَـئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 177)

Allah Ta’ala mengabarkan dalam ayat-ayat tersebut bahwa para Rasul dan orang-orang yang memiliki sifat keimanan, mereka beriman kepada para Rasul. Dan Allah Ta’ala juga menyebut tidak adanya iman kepada para Rasul dan rukun iman yang lain dengan kekafiran dan kesesatan yang sangat jauh. Tercakup dalam makna iman kepada para Rasul adalah iman kepada semua Rasul yang pernah Allah Ta’ala utus.

Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah berkata,

“Allah Ta’ala menjadikan iman sebagai iman dengan semua hal (yaitu: rukun iman) di atas. Allah Ta’ala menyebut orang-orang yang beriman dengan semua hal di atas sebagai orang mukmin. Sebagaimana Allah Ta’ala menyebut orang kafir adalah orang yang ingkar (tidak beriman) kepada semua perkara di atas.” (Syarh Ath-Thahawiyyah, hal. 297)

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

“Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan diri (muncul) di hadapan manusia. Kemudian Jibril mendatangi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata, “Apa itu iman?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ

“Iman adalah Engkau beriman kepada Allah Ta’ala, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab, perjumpaan dengan-Nya, para Rasul-Nya, dan beriman dengan hari kebangkitan.” (HR. Bukhari no. 50)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits tersebut bahwa iman itu dibangun di atas rukun-rukun tersebut. Jika salah satu rukun iman tidak ada, maka iman secara keseluruhan juga tidak ada dengan sendirinya.

Ingkar (kafir) dengan salah satu rukun iman di atas, berkonsekuensi kafir dengan rukun iman yang lainnya. Siapa saja yang kafir kepada Allah Ta’ala, maka konsekuensinya, dia juga kafir dengan rukun iman yang lain. Siapa saja yang kafir dengan malaikat, konsekuensinya dia juga kafir dengan kitab dan para Rasul. Bahkan dia juga kafir kepada Allah Ta’ala karena telah mendustakan utusan (Rasul) dan kitab-Nya. Demikian pula jika dia kafir kepada hari akhir, artinya dia telah mendustakan kitab-kitab dan para Rasul.

Mendustakan salah satu Rasul, sama artinya dengan mendustakan semua Rasul

Perlu diketahui bahwa siapa saja yang mengingkari salah satu Nabi, dia berarti ingkar dengan semua Nabi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوحٍ الْمُرْسَلِينَ

“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.” (QS. Asy-Syu’araa’ [26]: 105)

كَذَّبَتْ عَادٌ الْمُرْسَلِينَ

“Kaum ‘Aad telah mendustakan para rasul.” (QS. Asy-Syu’araa’ [26]: 123)

وَقَوْمَ نُوحٍ لَّمَّا كَذَّبُوا الرُّسُلَ أَغْرَقْنَاهُمْ وَجَعَلْنَاهُمْ لِلنَّاسِ آيَةً وَأَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ عَذَاباً أَلِيماً

“Dan (telah Kami binasakan) kaum Nuh ketika mereka mendustakan rasul-rasul. Kami tenggelamkan mereka dan kami jadikan (cerita) mereka itu pelajaran bagi manusia. Dan Kami telah menyediakan bagi orang-orang zalim azab yang pedih.” (QS. Al-Furqan [25]: 37)

Dalam ayat-ayat tersebut di atas, ketika kaum tersebut mendustakan satu Rasul yang diutus khusus kepada mereka, Allah Ta’ala menyebut mereka dengan telah mendustakan semua Rasul yang Allah utus.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Penyesalan yang Terlambat!

Al-Qur’an sering menceritakan bagaimana penyesalan-penyesalan manusia di Hari Kiamat. Bagaimana orang-orang yang keji dan bergelimang dosa melewatkan kesempatan taubat selama puluhan tahun di dunia, sementara kini semua pintu itu telah tertutup.

Apa yang bisa mereka lakukan sekarang? Mereka hanya bisa menyesal tanpa mampu berbuat apa-apa.

أَن تَقُولَ نَفۡسٌ يَٰحَسۡرَتَىٰ عَلَىٰ مَا فَرَّطتُ فِي جَنۢبِ ٱللَّهِ وَإِن كُنتُ لَمِنَ ٱلسَّٰخِرِينَ

“agar jangan ada orang yang mengatakan, ‘Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah).” (QS.Az-Zumar:56)

Kemudian mereka mulai mencari pembenaran atas berbagai kesalahan yang mereka lakukan di dunia dengan berkata :

أَوۡ تَقُولَ لَوۡ أَنَّ ٱللَّهَ هَدَىٰنِي لَكُنتُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ

Atau (agar jangan) ada yang berkata, “Sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa.” (QS.Az-Zumar:57)

Namun tak ada celah bagi mereka untuk mencari alasan. Allah swt telah mengutus para Nabi dan memberi semua petunjuk dalam Kitab Suci, namun mereka tetap memilih untuk lari dari semua hidayah ini.

وَلَقَدۡ ضَرَبۡنَا لِلنَّاسِ فِي هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ مِن كُلِّ مَثَلٖ

“Dan sesungguhnya telah Kami jelaskan kepada manusia segala macam perumpamaan dalam Al-Qur’an ini.” (QS.Ar-Rum:58)

Setelah semua alasan tak bisa menyelamatkan, maka harapan terakhir mereka akan diberi kesempatan kedua untuk kembali ke dunia.

أَوۡ تَقُولَ حِينَ تَرَى ٱلۡعَذَابَ لَوۡ أَنَّ لِي كَرَّةٗ فَأَكُونَ مِنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

Atau (agar jangan) ada yang berkata ketika melihat azab, ‘Sekiranya aku dapat kembali (ke dunia), tentu aku termasuk orang-orang yang berbuat baik.’ (QS.Az-Zumar:58)

Mereka berandai-andai sekiranya Allah swt memberi kesempatan kedua untuk hidup di dunia, maka mereka berjanji untuk berbuat baik dan meninggalkan semua keburukan yang mereka lakukan selama ini.

وَلَوۡ تَرَىٰٓ إِذۡ وُقِفُواْ عَلَى ٱلنَّارِ فَقَالُواْ يَٰلَيۡتَنَا نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ بِـَٔايَٰتِ رَبِّنَا وَنَكُونَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ

Dan seandainya engkau (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, mereka berkata, “Seandainya kami dikembalikan (ke dunia), tentu kami tidak akan mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman.” (QS.Al-An’am:27)

Namun Allah swt mengetahui, andai mereka dikembalikan ke dunia maka dalam waktu yang singkat mereka telah lupa dengan dahsyatnya api neraka dan akan mengulang kembali kekejian yang dulu mereka lakukan.

بَلۡ بَدَا لَهُم مَّا كَانُواْ يُخۡفُونَ مِن قَبۡلُۖ وَلَوۡ رُدُّواْ لَعَادُواْ لِمَا نُهُواْ عَنۡهُ وَإِنَّهُمۡ لَكَٰذِبُونَ

“Tetapi (sebenarnya) bagi mereka telah nyata kejahatan yang mereka sembunyikan dahulu. Seandainya mereka dikembalikan ke dunia, tentu mereka akan mengulang kembali apa yang telah dilarang mengerjakannya. Mereka itu sungguh pendusta.” (QS.Al-An’am:28)

Allah telah memberi kesempatan bagi para pendosa untuk bertaubat hingga ajalnya tiba. Sebesar apapun dosa yang dilakukan seseorang akan diampuni bila ia bertaubat dengan sungguh-sungguh. Namun mereka tak kunjung sadar. Dan ketika ajal telah didepan mata, baru mereka terpikir untuk bertaubat. Tapi semua sudah terlambat !

Bukankah kisah Fir’aun di akhir hayatnya memberi pelajaran luar biasa kepada kita. Disaat nyawa telah sampai pada kerongkongan, ia pun berkata :

ءَامَنتُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱلَّذِيٓ ءَامَنَتۡ بِهِۦ بَنُوٓاْ إِسۡرَٰٓءِيلَ وَأَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ

“Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang Muslim (berserah diri).” (QS.Yunus:90)

Tapi apa jawaban Allah swt?

ءَآلۡـَٰٔنَ وَقَدۡ عَصَيۡتَ قَبۡلُ وَكُنتَ مِنَ ٱلۡمُفۡسِدِينَ

“Mengapa baru sekarang (kamu beriman), padahal sesungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk orang yang berbuat kerusakan.” (QS.Yunus:91)

Karena itu mari kita manfaatkan kesempatan yang masih tersisa untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Ajal bisa kapanpun datang, bila semua pintu penyesalan telah tertutup? Kemana kita akan bersembunyi dari siksa-Nya?

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Optimisme pada 2021

Semangat optimisme tinggi inilah yang semestinya saat ini ada dalam setiap sanubari umat Islam.

Tahun 2020 telah berlalu dari kita semua. Saat ini, kita memasuki 2021. Banyak hal bisa kita rasakan, alami, dan lakukan di 2020. Virus korona yang mulai masuk di akhir Januari 2020 dan merebak di pertengahan Maret memberikan banyak hikmah dan pelajaran berharga.

Bahwa, ketika manusia bersalah, abai, bahkan teledor akan kebersihan dan kesehatan, maka ia akan dihajar oleh alam. Kita bisa baca substansi hal itu dalam Firman-Nya. (QS ar-Rum: 41)

Selain itu, pandemi yang telah mengubah dunia yang fana ini juga memberikan pesan bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Semuanya serba mungkin atas izin Allah.

Orang yang sebelumnya kaya raya, tiba-tiba jatuh miskin. Pekerja yang selama ini menikmati gaji setiap bulan, tiba-tiba berhenti. Perusahaan besar ternama yang biasanga diagung-agungkan, tiba-tiba mengumumkan kebangkrutannya.

Sebagai Muslim, apakah kita tetap pesimistis pada 2021 ataukah ada optimisme baru memasuki 2021? Inilah yang membedakan kita umat Islam.

Sejak lahir kita diajarkan bahwa “Al-islamu ya’lu wala yu’la ‘alaih: Islam itu senantiasa unggul, dan ia tidak akan ada yang mengunggulinya”. Semangat optimisme tinggi inilah yang semestinya saat ini ada dalam setiap sanubari umat Islam. Sehingga, perubahan lebih baik di 2021 tetap bisa diharapkan terwujud.

Optimisme atau sikap optimistis merupakan keyakinan dalam diri dan salah satu sikap unggul yang dianjurkan dalam Islam. Allah SWT berfirman: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali-Imran: 139).

Dari sinilah, sikap optimistis harus dimiliki oleh setiap manusia dalam memasuki 2021, khususnya seorang Muslimah. Karena dengan optimistis, seorang Muslimah akan selalu senantiasa berusaha semaksimal mungkin mencapai cita-cita dan harapan dengan penuh keikhlasan karena Allah.

Sekali lagi atas izin Allah. Karena tanpa izin-Nya mustahil harapan dan optimisme itu bisa mewujud menjadi kenyataan. Rencana demi rencana bisa kita tulis di 2021. Namun, keputusan dan hasilnya mutlak milik-Nya. Tugas kita hanya meluruskan niat, memaksimalkan ikhtiar dan tetap optimistis di jalan-Nya.

Rasulullah SAW pernah bersabda: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada Mukmin yang lemah. Pada diri masing-masing memang terdapat kebaikan. Capailah dengan sungguh-sungguh apa yang berguna bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu menjadi orang yang lemah.

Apabila kamu tertimpa suatu kemalangan, maka janganlah kamu mengatakan: ‘Seandainya tadi saya berbuat begini dan begitu, niscaya tidak akan menjadi begini dan begitu’. Tetapi katakanlah: ‘lni sudah takdir Allah dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan dilaksanakan-Nya. Karena sesungguhnya ungkapan kata ‘lau’ (seandainya) akan membukakan jalan bagi godaan setan’.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Karena itu, kita harus menyakini, ketika yang kita perjuangkan dalam hidup itu baik dan benar, maka kita tidak boleh surut mundur ke belakang. Optimisme adalah nyawa. Jika itu tiada, harapan di 2021 pun akan sirna (QS al-Baqarah: 147). Wallahu a’lam.

OLEH ABDUL MUID BADRUN

KHAZANAH REPUBLIKA