Solusi Dari Berbagai Macam Fitnah (Bagian Kedua)

Hidup di dunia fana ini adalah ujian dan cobaan. Setiap likunya tidak mungkin bisa dipisahkan dalam hidup manusia. Setiap orang pasti mengalaminya. Fitnah berarti setiap ujian yang bisa mempengaruhi keutuhan iman seseorang.

Karena itulah, Nabi kita yang mulia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada umatnya untuk rajin-rajin memohon perlindungan dari bahaya fitnah. Beliau bersabda kepada para sahabat,

تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ

Berlindunglah kepada Allah dari setiap fitnah, yang nampak maupun yang tidak nampak.
(HR. Muslim, no. 7392)

Di antara solusi jitu dari berbagai macam fitnah di dunia ini adalah bersabar. Bersabar dan kuatkanlah lagi kesabaran itu dalam menghadapi aneka ujian kehidupan.
Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.
(QS. Ali Imran: 200).

1. Bersabar dalam menahan lisan

Petaka lisan pada masa berkobarnya fitnah sangat buruk. Wajib hukumnya bagi setiap muslim memperhatikan apa yang dikatakan oleh lisannya, karena bisa jadi seseorang menganggap suatu perkataan hanyalah kata-kata yang ringan dan sepele namun ternyata hal itu merupakan sesuatu yang mendatangkan murka Allah Ta’ala dan bahkan sampai pada tingkat membahayakan kehidupan umat manusia di atas muka bumi ini.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Wahai Rasulullah, apakah kita diazab karena apa yang kita ucapkan?” Muadz bin Jabal bertanya.
Maka Rasulullah bersabda, “Bagaimana engkau ini wahai Muadz, bukankah seorang tertelungkup dalam neraka di atas wajahnya tidak lain karena sebab lisannya?”

(HR. At-Tirmidzi, no. 2616)

Di zaman modern dan era digital ini, maka sebagian ahli ilmu memberikan 3 syarat minimal ketika seorang hendak bicara, membuat status atau berkomentar di dunia nyata maupun dunia maya;

Pertama:
Baiknya niat sebelum berbicara

Kedua:
Baiknya cara penyampaian semisal mengetahui hal-hal yang layak disampaikan di khalayak ramai dan hal yang hanya layak dibicarakan dalam forum khusus atau terbatas.

Ketiga:
Baiknya dampak dengan melihat maslahat dan mudharat dari apa yang keluar dari lisan. Kata-kata tersebut tidak berdampak kegaduhan, membuat keributan, permusuhan, dan sebagainya. (faedah dari ceramah Syaikh Prof. Dr. Sulaiman Ruhaily).

2. Bersabar dalam beribadah kepada Allah Ta’ala

Dalam sebuah hadits yang datang dari jalur sahabat Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

إِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ ..

“Sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Wajib bagi kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Al-Khulafa-ur-Rasyidîn yang telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dia dengan gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah oleh kalian hal-hal yang baru. Sesungguhnya hal-hal yang baru tersebut adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”
(HR. Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi, no. 2676, Ibnu Majah, no. 42. Syaikh Al-Albani menilai derajat haditsnya ‘shahih’ dalam kitab Shahih Sunan Abi Daud, no. 3851).

Ibadah di zaman fitnah memiliki keutamaan yang banyak karena rata-rata manusia lalai dari urusan ibadah dan sibuk dengan urusan yang lain. Hanya sedikit saja yang benar-benar mengisi waktunya dengan ibadah. Oleh karena itu terdapat sebuah riwayat dari sahabat mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا

“Bersegeralah melakukan amalan shalih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari berubah dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari ia berubah dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia”
(HR. Muslim no. 118).

Menjalankan perintah Allah setelah mendengar nasehat merupakan jalan-jalan ketegaran iman. Allah Ta’ala berfirman :

وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا

“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)”
(QS. An-Nisaa’: 66)Baca:  Bahaya Syirik (Bagian 2)

Sebaliknya meninggalkan amal setelah mengilmuinya dan setelah mendengar nasehat adalah sebab kehinaan dan kesesatan.

3. Bersabar dengan bersikap tenang dan tidak tergesa-gesa dalam setiap urusan

Orang yang tergesa-gesa, tidak bersikap tenang dan tidak berpikir matang dalam menangani urusan, maka dia akan membuka untuk dirinya dan orang lain suatu pintu keburukan dan mala petaka. Dia telah berbuat dosa dan akan mengakibatkan bahaya besar bagi masyarakat luas.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpesan dalam sabdanya yang mulia;

إِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ ، وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ ، فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ ، وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْه

“Sesungguhnya di antara manusia ada kunci-kunci (pembuka pintu) kebaikan dan gembok-gembok (penutup pintu) keburukan. Dan di antara manusia ada kunci-kunci (pembuka pintu) keburukan dan gembok-gembok (penutup pintu) kebaikan. Beruntunglah orang yang Allah jadikan kunci-kunci kebaikan tersebut di kedua tangannya. Dan celakalah orang yang Allah jadikan kunci-kunci keburukan di kedua tangannya.”
(HR. Ibnu Majah, no. 237. Syaikh Al-Albani menilai derajat haditsnya ‘hasan’ dalan kitab Shahih Sunan Ibnu Majah, no 193).

Tidaklah akan terkumpulkan antara ketergesaan dan kesabaran, karena kesabaran mewujudkan tujuan, sementara ketergesaan (sikap terburu-buru) mewujudkan kegagalan dan keterbalikan. Allah Yang Maha Bijaksana berfirman:

فاصبر كما صبر أولوا العزم من الرسل ولا تستعجل لهم

“Bersabarlah (wahai Nabi) sebagaimana kesabaran para rasul ulul azmi dan janganlah engkau tergesa-gesa/terburu-buru bagi mereka (kaum mu)”
(QS Al-Ahqof: 35).

Sampai sahabat mulia Abdullah Bin Mas’ud berkata:

إِنَّهَا سَتَكُوْنُ أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات فَعَلَيْكُمْ بِالتُّؤَدَةِ ، فَإنَّكَ أَنْ تَكُوْنَ تَابِعًا فِي الْخَيْرِ، خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَكُوْنَ رَأْسًا فِي الشَّرِّ

“Sesungguhnya akan ada hal-hal syubhat (samar). Wajib bagi kalian untuk berlahan-lahan. Sungguh, apabila engkau menjadi pengikut suatu kebaikan, itu lebih baik daripada engkau menjadi pemimpin suatu keburukan.”
(lihat makalah Dhawabit litajannubil fitan oleh Syaikh Prof. Dr. Abdurrazaq dalam situs www.al-badr.net).

4. Bersabar tidak berselisih dan selalu mengusahakan berjama’ah dengan kaum muslimin

Di antara pelajaran penting dari poin ini adalah menyerahkan urusan kepada ahlinya. Urusan ilmu serahkan kepada para ulama, urusan pemerintahan serahkan kepada pemerintah, jangan ikut campur dalam masalah yang bukan menjadi hakmu, jauhi perselisihan dan selalu menasehati untuk bersatu di atas agama Allah Ta’ala, niscaya akibatnya akan jauh lebih baik.

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalaulah mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil-amri (orang yang memegang urusan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil-amri). Kalaulah bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).”
(QS. An-Nisa’: 83).

Perpecahan adalah suatu keburukan, sedangkan persatuan adalah rahmat. Dengan berjamaah, maka akan menghasilkan kesatuan, kekuatan ikatan dan ketinggian wibawa kaum muslimin.

Dari sahabat mulia An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ ، وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ

“Jamaah adalah rahmat (kasih sayang), sedangkan perpecahan adalah azab.”
(HR. Ahmad, 4/278). Syaikh Al-Albani menilai derajat haditsnya ‘hasan’ dalam kitab Shahihul Al-Jami,’ no. 3109).

Hadits lain juga berasal dari sahabat mulia ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

لَا تَخْتَلِفُوا فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا

“Janganlah kalian berselisih pendapat. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah berselisih pendapat, sehingga mereka pun binasa.”
(HR. Al-Bukhari, no. 2410).

Wallahu Ta’ala A’lam.

Referensi Tambahan: ‘Dhawabithu Litajannubil-Fitan’ Oleh Prof. Abdurrazzaq Al Badr

Disusun oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Selasa, 23 Rabiul Akhir 1442 H / 08 Desember 2020 M

<a href="http://<!– wp:paragraph –> <p>Read more </p> BIMBINGAN ISLAM

Notifikasi Empat Puluh Tahun

Ada apa dengan usia empat puluh tahun?

Imam Malik Rahimahullah berkata, “Aku mendapati para ulama di berbagai negeri, mereka sibuk dengan aktivitas dunia dan pergaulan bersama manusia. Ketika mereka sampai usia 40 tahun, mereka menjauh dari manusia.” (Al-Jaami’ li Ahkaam Al-Qur’an, 14: 218)

Pengetahuan tentang pedoman agama dalam menjalani kehidupan ini merupakan hal yang amat penting bagi kita. Di antara pedoman tersebut adalah yang berkaitan dengan fase kehiduan di dunia yang mesti kita mengerti dan fahami. Bahwa ada sebuah masa di mana seorang manusia secara syariat dinilai telah sempurna dari sisi akal dan fikiran, yaitu saat berumur 40 tahun.

Banyak dalil yang menjelaskan tentang batasan usia 40 tahun sebagai titik tolak kesempurnaan akal ummat manusia.  Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ إِحۡسَٰنًاۖ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ كُرۡهٗا وَوَضَعَتۡهُ كُرۡهٗاۖ وَحَمۡلُهُۥ وَفِصَٰلُهُۥ ثَلَٰثُونَ شَهۡرًاۚ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرۡبَعِينَ سَنَةٗ قَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحٗا تَرۡضَىٰهُ وَأَصۡلِحۡ لِي فِي ذُرِّيَّتِيٓۖ إِنِّي تُبۡتُ إِلَيۡكَ وَإِنِّي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah  mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan. Sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai. Dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau. Dan sungguh aku termasuk orang muslim.” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Sebagaimana diterangkan oleh Imam Asy-Syaukani Rahimahullah, para ulama pakar tafsir menyatakan bahwa tidaklah seorang nabi diutus melainkan mereka telah berusia 40 tahun. Ayat ini menunjukkan bahwa jika seseorang mencapai usia 40 tahun, dia membaca doa seperti yang terdapat dalam ayat di atas (Fath Al-Qadir, 5:24).

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

…وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَىٰٓ أَرۡذَلِ ٱلۡعُمُرِ لِكَيۡلَا يَعۡلَمَ مِنۢ بَعۡدِ عِلۡمٖ شَيۡـٔٗاۚ

” … dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun). Sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya” (QS. Al-Haj: 5).

Maksud dari usia tua dalam potongan ayat (ثُمَّ لِتَكُونُواْ شُيُوخٗاۚ) menurut  Imam al-Qurthubi Rahimahullah adalah orang yang telah melewati usia 40 tahun (Al-Jami li Ahkamil Qur’an, 15: 330).

Kemudian Ibnu Katsir rahimahullah juga menyatakan bahwa ketika seseorang berada dalam usia 40 tahun, maka akal, pemahaman, dan kelemah lembutannya telah sempurna (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6: 623).

Berdasarkan hal ini, siapa saja yang telah melewati usia 40 tahun hingga akhir hayatnya, maka sesungguhnya dia telah berada dalam fase-fase terakhir kehidupan menuju sisa jatah usia yang tidak terlalu lama lagi. Sebagaimana kehidupan manusia yang umumnya akan berakhir pada kisaran usia 60 hingga 70 tahun. Sebagaimana hadis dari Abu Hurarirah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “أَعْمَارُ أُمَّتـِيْ مَا بَيــْنَ سِتِّيْنَ وَسَبْعِيْنَ. وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَلِكَ

“Usia umatku (umat Islam) antara 60 hingga 70 tahun. Dan sedikit dari mereka yang melewatinya” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Shahihul Jaami’ no. 1073).

Karena kita tidak akan pernah tahu

Secara sederhana, apabila dirunut dari hitungan umur baligh seorang manusia, yaitu usia 15 tahun, maka waktu 25 tahun -mencapai umur 40- merupakan masa-masa pembentukan kualitas diri seseorang. Apabila masa tersebut dia pergunakan untuk  melakukan ketaatan kepada Allah, tentu di usia 40 tahun tersebut –biidznillah– dia akan terus berbuat baik. Sebaliknya, apabila sebagian besar masa tersebut dia habiskan dalam kubangan maksiat, maka dia akan terbiasa pula melakukannya di usia 40 ke atas –wal iyadzu billah-.

Tidak ada seorang hamba pun yang mengetahui kapan ajal tiba. Semuanya dalam kekuasaan dan pengetahuan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala yang menentukan sampai kapan seorang manusia diberikan jatah usia. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam,

ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ

“Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat, lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara: menetapkan rizki, ajal, amal, dan celaka atau bahagia” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu).

Kita pun tidak akan pernah tahu, apakah akan diwafatkan oleh Allah Ta’ala di usia muda belia atau di usia tua renta. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

 وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَىٰٓ أَرۡذَلِ ٱلۡعُمُرِ لِكَيۡلَا يَعۡلَمَ مِنۢ بَعۡدِ عِلۡمٖ شَيۡـٔٗا

“Dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun) sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya”  (QS. An-Nahl: 70).

Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan bahwa maksud diwafatkan adalah ketika masih kuat di masa mudanya. Sedangkan diwafatkan di usia yang sangat tua yaitu di usia lanjut dan tua renta, ketika kekuatan akal, fikiran, pemahaman, dan keadaan dirinya semakin berkurang, menyusut serta lemah (Tafsir Ibnu Katsir, 6: 118, 832).

Oleh karena itu, selayaknya kita memanfaatkan sisa umur yang ada untuk senantiasa melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Mati adalah suatu keniscayaan. Ketidaktahuan akan waktu datangnya ajal pun merupakan ciri khas kita sebagai makhluk Tuhan.

Maka sungguh benar ucapan mulia Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang telah mengingatkan kita tentang hal ini, yaitu agar mengingat lima perkara sebelum datangnya lima perkara,

قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم لرجلٍ وهو يَعِظُه : اغتنِمْ خمسًا قبل خمسٍ : شبابَك قبل هَرَمِك، وصِحَّتَك قبل سَقَمِك، وغناك قبل فقرِك، وفراغَك قبل شُغلِك، وحياتَك قبل موتِك.

“Manfaatkanlah lima perkara sebelum (datangnya) lima perkara (yang lain), 

(1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,

(2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,

(3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,

(4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,

(5) Hidupmu sebelum datang kematianmu” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4: 34).

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah-Nya kepada kita agar kita selalu dapat mempersembahkan amal dan ibadah terbaik kepada Allah Ta’ala serta diwafatkan dalam keadaan husnul khatimah.

Penulis: Fauzan Hidayat

Artikel: www.muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/60076-notifikasi-empat-puluh-tahun.html

Mualaf I Gede Nyoman Wisnu, Surat Al-Ikhlas Getarkan Hati

Hati mualaf I Gede Nyoman Wisnu bergetar dengar surat Al-Ikhlas meski belum Islam.

Wisnu, pria berusia 34 tahun lahir di keluarga yang berbeda agama. Ibunya seorang Muslimah, sedangkan ayahnya penganut Hindu. Perjalanannya menemukan hidaya Islam pun cukup berliku.

Sejak kecil, pemilik nama lengkap I Gede Nyoman Wisnu Satyadharma ini diajarkan dua agama dari kedua orang tuanya. Kebiasaan ini berlangsung hingga kelas lima SD. Wisnu lahir dan besar di Bandung, ayahnya hanya setiap pekan datang.  

Sejak kelas lima SD inilah, ayahnya memutuskan agar anak-anaknya hanya mempelajari agama sang ayah saja dan berhenti belajar tentang Islam. 

Wisnu kemudian memeluk hindu hingga SMA. Namun hal itu hanya untuk memenuhi apa yang diperintahkan orang tuanya.  

“Saya tidak yakin dengan agama itu, sehingga saya sejak SMA tidak beribadah agama apapun meski KTP saya masih Hindu,”ujar dia kepada Republika.co.id beberapa waktu lalu.

Hingga suatu hari, dia memutuskan kembali mempelajari Islam bersama temannya, sesama penganut Hindu. Namun Wisnu terhalang karena ketakutannya sendiri terutama khawatir akan berkonflik dengan sang ayah. 

Akhirnya hanya temannya yang memutuskan mualaf pada saat itu, sedangkan Wisnu masih menunda dan memutuskan untuk tidak beragama.   

“Ada rasa takut mengutarakan pendapat untuk memeluk Islam, sehingga saya mengurungkan niat saya,” jelas dia. 

Kemudian ketika masuk perguruan tinggi, Wisnu memiliki pergaulan yang lebih luas. Apalagi mayoritas mahasiswa di kampusnya merupakan Muslim. 

Wisnu mengakui saat itu dia merasa iri dengan teman Muslimnya, karena bisa menjalankan ibadah secara rutin tanpa rasa khawatir. Apalagi ketika ada masalah, hanya dengan sholat seseorang terlihat lebih tenang dan damai. 

Karena kedekatan dengan teman Muslim, Setelah lulus kuliah, Wisnu dikenalkan dengan komunitas Muslim yang bergerak di bidang sosial oleh pendirinya. Komunitas yang dikenal sebagai komunitas sedekah ini merupakan bagian dari proses Wisnu untuk menguatkan keyakinannya untuk memeluk Islam. 

Meski awalnya komunitas ini tidak memploklamirkan diri sebagai komunitas Islam, belakangan nafas Islam dari para pengurus dan anggota lebih kental. Karena ketika bergabung di awal Wisnu bukan seorang Muslim. 

“Saya kemudian menemukan bahwa ajaran Islam saya dapatkan dari komunitas ini terutama tentang ilmu sedekah. Saya membuktikan sendiri bahwa dengan bersedekah, harta kita tidak akan berkurang sedikitpun dan bahkan ditambah berkali lipat,” ujar dia.   

Balasan dari Allah SWT dari sedekah itu sangat besar dan ada keberkahan didalamnya. Apalagi saat mengunjungi panti asuhan, ada banyak momen-momen yang membuatnya terharu.  

“Pernah komunitas kita membuat acara dan anak panto tampil, sederhana hanya membacakan surat al-Ikhlas, tapi saat mendengar seketika haru dan hati bergetar hingga saya meneteskan air mata,” ujar dia. 

Namun saat itu belum juga membuatnya untuk berani memeluk Islam. Hingga tiga tahun lalu, Wisnu memutuskan untuk memeluk Islam.

Saat itu dia berpikir bahwa usia 31 tahun bukanlah usia yang muda lagi. Dia harus mengambil keputusan besar untuk memilih ajaran agama yang akan dipegangnya hingga akhir hayat.   

Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Wisnu memutuskan memilih agama Islam. Bukan berarti agama sebelumnya tidak baik, hanya saja Wisnu lebih yakin dengan kebenaran yang ada pada Islam.  

Banyak jawaban dari pertanyaan tentang kehidupan yang hanya dia temukan pada agama Islam dan tidak ada pada agama lain. Namum dia masih khawatir jika ayahnya mendengar dia memeluk keyakinan lain.  

Bukan karena akan dilarang atau dimusuhi, tetapi khawatir dengan kesehatan ayah dan dikucilkan keluarga dari ayah. Sehingga sebelum benar-benar bersyahadat, Wisnu memutuskan untuk mencari bukti kebenaran dari Rasulullah  SAW adalah benar-benar utusan Allah SWT dan Islam adalah agama yang benar. 

Wisnu mulai mencari informasi dari berbagai sumber, mulai dari buku sirah nabi. Namun dia tidak selesai membaca hingga tamat dan memutuskan untuk mencari ustadz. 

Dia menghadiri kajian beberapa ustadz yang sedang populer seperti Evi Evendy dan Hanan Attaki. Namun karena waktu mereka yang sangat padat sehingga sulit untuk mengajak mereka berdiskusi. 

Kemudian dia bertemu ustadz senior yang sering mengisi acara di kampusnya dan mulai bertukar pikiran. Wisnu pun sembari belajar sholat dan bertanya tentang bukti kenabian.  

Ustadz tersebut mencontohkan tentang Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saat kondisi nabi yang buta huruf. Ketika dulu banyak orang yang mendustakan Alquran dan dikira buatan Nabi, tetapi mereka tidak bisa membuat ayat yang sama indahnya dengan Alquran.

Namun karena masih ada kekhawatiran, ustadz tersebut meminta Wisnu untuk berdoa dengan cara apapun. Saat itu ustadz tersebut belum mengetahui jika Wisnu sudah mulai melaksanakan sholat meski hanya Al-Fatihah dan gerakan saja. 

“Saya diminta berdoa, redaksinya kira-kira seperti ini, Ya Rabb yang menciptakan aku, tunjukkan aku jalan kebenaran dan jauhkan dari bisikan syetan,”ujar dia.

Wisnu terus berdoa setelah sholat meski belum rutin. Setelah sepekan mencoba, ada rasa malas untuk sholat tetapi gelisah muncul sehingga dia memutuskan untuk sholat.    

Terbukti setelah sholat hati terasa tenang. Usai sholat, dia merasa yakin tidak perlu lagi mencari bukti kebenaran tentang Islam ataupun Nabi Muhammad utusan Allah

“Saat menjalankan sholat merasa ada ketenangan yang luar biasa sedangkan meninggalkannya menjadi gelisah berarti ada yang benar dengan sholat ini dan tidak perlu lagi sebuah bukti,”ujar dia.   

Bagi Wisnu bahwa ketenangan dalam sholat adalah bukti itu sendiri adalah benar Nabi muhammad utusan Allah. Setelah itu pada Juli 2018, Wisnu memutuskan untuk bersyahadat di Masjid Istiqamah, Bandung dibantu oleh Mualaf Center Bandung.   

Setelah bersyahadat Wisnu memutuskan mengunjungi ayahnya di Serpong. Setelah memberitahu ayahnya, apa yang dikhawatirkan tidak terjadi.

Malah ayahnya menerima dengan terbuka keputusan anaknya. Dan sebenarnya sejak 2012, ayahnya sempat bertanya tentang keyakinannya, hanya saja Wisnu belum berani mengutarakannya. Jika Wisnu mau mengakui di tahun itu, sebenarnya ayahnya pun menerima keputusan dia. Keluarga besar juga tidak mempermasalahkan, karena keluarganya hidup dengan multiagama.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Habib Ahmad bin Jindan: Mencaci Maki Pemimpin Bukan Bagian dari Jihad

Mengkritik pemerintah memang bagian dari sistem demokrasi yang dilindungi Undang-undang di negara ini. Namun demikian, kritikan tersebut pun harus dilakukan dengan cara yang sesuai dengan Undang-undang, tidak dilakukan dengan kritik mencaci-maki atau kritik menjatuhkan. Seharusnya umat Islam bisa menahan diri untuk tidak mencaci maki siapa pun dalam kehidupan sehari-harinya. Benarkah perkataan hak pada pemimpin zalim itu jihad? Benarkah mencaci maki pemimpin bagian dari jihad?

Memang ada hadis Nabi Saw. yang menganjurkan kita mengkritik pada pemimpin yang zalim. Bahkan hal itu termasuk bagian dari jihad, sebagaimana hadis riwayat Abu Said al-Khudri. Rasulullah Saw. bersabda:

إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِر

Jihad yang paling besar pahalanya itu sungguh perkataan yang hak yang mengena untuk pemimpin yang zalim. (HR at-Tirmidzi).

Selain at-Tirmidzi, hadis ini juga diriwayatkan oleh beberapa imam ahli hadis dalam kitabnya, seperti Sunan Abi Daud, Sunan Ibn Majah, Sunan an-Nasai, Musnad Ahmad bin Hanbal, dan lain sebagainya. Menurut Imam at-Tirmidzi, kualitas hadis di atas adalah hasan, sehingga dapat diamalkan oleh umat Muslim.

Terkait hadis ini, Habib Ahmad bin Novel, cucu almarhum Habib Salim bin Jindan, pernah menyampaikan makna hadis di atas. Hadis tersebut bukanlah perintah mencaci maki pemimpin dengan cara membabi buta, apalagi sampai tidak berakhalak. Menurutnya, dalam hadis di atas terdapat partikel ‘inda yang dalam bahasa Arab memiliki makna kedekatan.

Dalam khazanah linguistik Arab, Ibnu Hisyam al-Anshari dalam Mughni al-Labib mengatakan demikian mengenai partikel ‘inda :

اسْم للحضور الْحسي والمعنوي وللقرب كَذَلِك

Partikel ‘inda biasa digunakan berdampingan dengan makhluk atau benda yang terlihat mata, tidak terlihat mata, dan juga untuk menunjukkan arti kedekatan.

Artinya, jika kita terapkan hadis di atas, menurut Habib Ahmad, mengkritik atau menasihati pemerintah itu perlu dilakukan dengan kedekatan. Apabila seorang ulama menasihati pemerintah dengan cara mencaci maki atau menghina pemerintah, bukankah hal tersebut justru menjauhkan simpati pemerintah padanya? Perkataan yang hak disampaikan kepada pemerintah pun perlu cara yang benar dan dibenarkan dalam Undang-undang.

Selain itu, Habib Ahmad juga mengutip cerita tentang Nabi Musa yang diperintah berdakwah oleh Allah kepada Firaun, penguasa yang zalim, dengan cara lemah lembut. Allah berfirman:

اذْهَبا إِلى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغى (43) فَقُولا لَهُ قَوْلاً لَيِّناً لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشى (44)

Pergilah kamu bersama saudaramu, Hârûn, kepada Fir’aun. Sesungguhnya ia adalah seorang kafir yang telah melampaui batas dalam kekufuran dan kezalimannya. (Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut) untuk menyadarkannya supaya jangan mengaku menjadi tuhan (mudah-mudahan ia ingat) yakni sadar dan mau menerimanya (atau takut”) kepada Allah lalu karenanya ia mau sadar (QS. Thaha (20); 43-44)

Menurut Syekh Thahir ibn ‘Asyur, sahabat Nabi, Muaz bin Jabal, yang diutus menjadi dai ke Yaman diperintah Nabi untuk lebih banyak mengajak pada kebaikan, daripada melarang kemunkaran yang dilakukan masyarakat Yaman. Memang betul, melarang seseorang melakukan perbuatan maksiat, termasuk di dalamnya kezaliman pemerintah, juga bagian dari dakwah. Namun, hal tersebut perlu disampaikan secara santun dan tidak anarkis. Sehingga, masyarakat merasa nyaman dengan dakwah yang kita lakukan, baik sifatnya mengajak kebaikan atau melarang kemungkaran. Namun demikian, mengkritik pemerintah bisa dilakukan dengan cara yang tidak melanggar Undang-undang.

Nabi Harun dan Nabi Musa yang diperintah berdakwah kepada Firaun yang sudah jelas-jelas kafir saja masih diminta untuk berkata lembut oleh Allah apalagi pemerintahan kita yang mana pemimpinnya adalah sesama Muslim bukan?! Kritiklah dengan kritik membangun, jangan kritik menjatuhkan!

BINCANG SYARIAH

Begini Seharusnya Kita Berpikir!

1.) Orang yang terasing bukanlah orang yang jauh dari tempat tinggal ataupun keluarganya. Atau dia sedang merantau di Negeri yang jauh disana. Tapi orang yang terasing adalah mereka yang terasing di dalam liang lahat dan berbalut kain kafan.

وَجَآءَتۡ سَكۡرَةُ ٱلۡمَوۡتِ بِٱلۡحَقِّۖ ذَٰلِكَ مَا كُنتَ مِنۡهُ تَحِيدُ

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang dahulu hendak kamu hindari.” (QS.Qaf:19)

كَلَّآ إِذَا بَلَغَتِ ٱلتَّرَاقِيَ – وَقِيلَ مَنۡۜ رَاقٖ – وَظَنَّ أَنَّهُ ٱلۡفِرَاقُ – وَٱلۡتَفَّتِ ٱلسَّاقُ بِٱلسَّاقِ – إِلَىٰ رَبِّكَ يَوۡمَئِذٍ ٱلۡمَسَاقُ

Tidak! Apabila (nyawa) telah sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya), “Siapa yang dapat menyembuhkan?” Dan dia yakin bahwa itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau.” (QS.Al-Qiyamah:26-30)

2.) Orang yang bernasib buruk bukanlah orang yang terhalangi dari harta, anak ataupun kekuasaan. Tapi orang yang bernasib buruk adalah ia yang terhalangi untuk bisa menangis karena takut kepada Allah. Disebabkan oleh hatinya yang keras dan jauh dari Allah Swt.

فَوَيۡلٌ لِّلۡقَٰسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ أُوْلَٰٓئِكَ فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ

“Maka celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS.Az-Zumar:22)

3.) Musibah di dunia bukanlah dengan kehilanvan harta atau kehilangan anak, namun musibah sebenarnya adalah disaat waktu kita telah habis di dunia ini dan kita harus pindah ke alam selanjutnya, sementara bekal kita masih sangat sedikit.

حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ ٱلۡمَوۡتُ قَالَ رَبِّ ٱرۡجِعُونِ – لَعَلِّيٓ أَعۡمَلُ صَٰلِحٗا فِيمَا تَرَكۡتُۚ كَلَّآۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَاۖ وَمِن وَرَآئِهِم بَرۡزَخٌ إِلَىٰ يَوۡمِ يُبۡعَثُونَ

Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, “Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat kebajikan yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu adalah dalih yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai pada hari mereka dibangkitkan. (QS.Al-Mu’minun:99-100)

4.) Dan tidak ada satupun yang bermanfaat bagi kita dari harta, anak dan keluarga kecuali amal sholeh yang telah kita persiapkan di dunia yang akan setia menemani kita di alam kubur hingga hari kebangkitan nanti.

وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ – وَأَنَّ سَعۡيَهُۥ سَوۡفَ يُرَىٰ

“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).” (QS.An-Najm:39)

يَوۡمَ لَا يَنفَعُ مَالٞ وَلَا بَنُونَ – إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبٖ سَلِيمٖ

“(yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS.Asy-Syu’ara:88-89)

Itulah beberapa hal yang sering dipikirkan oleh manusia dan seharusnya kita memiliki pola pikir semacam ini.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Cara Menasehati Orang Tua yang Sering Menyebar Hadits Palsu

Para pembaca yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang cara menasehati orang tua yang sering menyebar hadits palsu.
selamat membaca.

Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga ustadz selalu dalam lindungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Izin bertanya Ustadz. Bagaimana sikap yang harus kita ambil apabila kita mendapati orang tua kita terjatuh dalam dosa besar (sering menyebarkan hadist palsu),
beberapa kali sudah di ingatkan mengenai larangannya juga ancamannya disampaikan dengan dalil juga, tetapi qadarullah masih sering menyebarkan hadist2 palsu.

Sebagai bentuk rasa sayang dan tanggung jawab sebagai seorang anak, sudah berusaha sehikmah dan selembut mungkin dalam mendakwahi, namun sering di salah artikan dan malah tersinggung, di anggap mendikte orang tua sampai2 sang anak di anggap durhaka dan tidak di tegur sapa sampai beberapa waktu

Apakah bentuk akhlak yang buruk bila anak menyarankan untuk menghapus atau mengklarifikasi bahwa hadist yang telah terlanjur di sebarkan merupakan hadist palsu.
(anak sudah tabayyun dan memberitahu status hadist tersebut palsu)

Apakah ini bentuk kedurhakaan?
dan sikap apa yang harusnya di ambil dalam masalah ini?

(Disampaikan oleh Fulanah, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Alhamdulillāh wa shalātu wa salāmu ‘alā rasūlillāh.

Nasihat dan mengingkari kemungkaran yang dilakukan orang tua bukanlah bentuk kedurhakaan seorang anak kepada mereka, malahan hal tersebut merupakan bentuk kebaktian seorang anak dan ketaatan kepada Allah dan rasulNya.

Namun bentuk dakwah yang akan berkesan dari seorang anak kepada orang tuanya adalah dengan memperbaiki akhlak. Perbaiki akhlak, jika sudah baik tingkatkan lagi. karena sejatinya akhlak yang baik lebih mengena di hati orang tua daripada seribu dalil. Dan betapa banyak kita lihat bertambah jauhnya orang tua dari kebenaran karena akhlak yang buruk.

Sebesar apapun dosa orang tua, tidak akan merubah kedudukan seorang anak, anak tetaplah anak, kewajiban berbakti tetap ada. Allah berfirman:

وإنْ جاهَداكَ عَلى أنْ تُشْرِكَ بِي ما لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُما وصاحِبْهُما فِي الدُّنْيا مَعْرُوفًا

“Apabila mereka berdua menyuruhmu untuk menyekutukanku dengan sesuatu yang tidak engkau ilmui, maka jangan taati mereka berdua. Namun, pergaulilah mereka berdua di dunia dengan baik”
(QS. Lukman 15).

Kemudian, ingatlah kewajiban kita hanya menyampaikan, bahkan rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun hanya bisa sebatas menyampaikan dan mendakwahkan, adapun masalah hidayah adalah hak prerogatif Allah semata. Maka jangan sampai kita masuk kedalam wewenang Allah tersebut. Allah berfirman:

إنَّكَ لا تَهْدِي مَن أحْبَبْتَ ولَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَن يَشاءُ

“Sesungguhnya engkau ya rasulullah, tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada siapa yang Ia kehendaki.”
(Al-Qashash : 56).

Berdakwahlah dengan adab dan akhlak, sabar serta memperbanyak doa untuk mereka.

Wallahu a’lam

Dijawab oleh :
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله

BIMBINGAN ISLAM

Solusi Dari Berbagai Macam Fitnah (Bagian Pertama)

Jika ada orang yang tidak mengetahui fitnah dan dampak buruknya, maka sangat mungkin jatuh ke dalam suatu fitnah dan bahkan bergelimang dengannya. Hal ini sangat membahayakan hidupnya, namun ia tidak menyadarinya. Jika terus demikian maka dia akan menyesal. Tapi apalah daya, sesal kemudian tiada guna. Oleh karena itu, sebagai muslim yang baik, dia akan berusaha untuk mencari jalan keluar dari berbagai macam fitnah tersebut.

Sahabat mulia Al-Miqdad bin Al-Aswad radhiallahu ‘anhu meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda:

إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ

“Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah.”
(HR. Abu Daud, no. 4263. Ahli Hadits Syaikh Albani rahimahullah menilai derajat hadits ini ‘shahih’ dalam kitabnya Shahih Sunan Abi Daud).

1. Definisi Fitnah

Ulama ahli bahasa, Ibnu Faris rahimahullah pernah berkata,

الفاء والتاء والنون أصل صحيح يدل على الابتلاء والاختبار

“Huruf Fa`, Ta`, dan Nun adalah huruf dasar yang shahih menunjukkan kepada cobaan dan ujian”
(Maqayisul Lughah, 4/472).

Ahli bahasa lainnya, semisal Al-Azhari rahimahullah juga mengatakan, “Inti makna fitnah di dalam bahasa Arab terkumpul pada makna Cobaan dan ujian

الابتلاء، والامتحان

(lihat Tahdziibul Lughah, 14/296).

Adapun makna secara umumnya bermakna ujian atau musibah yang bisa merusak agama bahkan dunia seseorang.

Dan yang perlu kita ketahui, ada berbagai macam variasi dari makna fitnah.

قال ابن القيم رحمه الله : ” وأما الفتنة التي يضيفها الله سبحانه إلى نفسه أو يضيفها رسوله إليه كقوله: ( وكذلك فتنا بعضهم ببعض ) وقول موسى : ( إن هي إلا فتنتك تضل بها من تشاء وتهدي من تشاء ) فتلك بمعنى آخر وهي بمعنى الامتحان والاختبار والابتلاء من الله لعباده بالخير والشر بالنعم والمصائب فهذه لون وفتنة المشركين لون ، وفتنة المؤمن في ماله وولده وجاره لون آخر ، والفتنة التي يوقعها بين أهل الإسلام كالفتنة التي أوقعها بين أصحاب علي ومعاوية وبين أهل الجمل ، وبين المسلمين حتى يتقاتلوا و يتهاجروا لون آخر . زاد المعاد ج: 3 ص: 170

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Dan adapun kata fitnah yang Allah Subhanahu wa ta’ala sandarkan kepada diri-Nya atau Rasul-Nya sandarkan kepada-Nya, seperti firman Allah

وَكَذَٰلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ

“Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka dengan sebahagian mereka yang lain”
(QS. Al-An’aam: 53).

Dan perkataan Nabi Musa ‘alaihis salam,

إِنْ هِيَ إِلَّا فِتْنَتُكَ تُضِلُّ بِهَا مَنْ تَشَاءُ وَتَهْدِي مَنْ تَشَاءُ

“Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki”
(QS. Al-A’raaf: 155).

Maka (fitnah dalam konteks tersebut) berfaedah (bermakna) lain, yaitu bermakna ujian dan cobaan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya, baik berupa kebaikan maupun keburukan, dengan diberi kenikmatan ataupun ditimpa musibah, maka ini memiliki makna tersendiri.
Fitnah kaum musyrikin juga memiliki makna tersendiri, fitnah seorang mukmin pada hartanya, anaknya, dan tetangganya pun memiliki makna tersendiri. Fitnah yang Allah takdirkan terjadi diantara kaum muslimin, sepertti fitnah yang Dia takdirkan terjadi diantara pengikut Ali dan Mu’awiyah dengan Ahlul (pasukan perang) Jamal dan (fitnah yang terjadi) di antara kaum muslimin hingga saling memerangi dan saling memboikot, ini juga memiliki makna tersendiri
(lihat Zaadul Ma’aad, 3/170).

Kata ‘Fitnah’ Menurut KBBI

Berbeda dengan bahasa Indonesia, kata fitnah lebih sempit maknanya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fitnah adalah perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang), sikap ini adalah perbuatan yang tidak terpuji.
(lihat https://kbbi.web.id/fitnah).

Salah Paham Yang Harus Diluruskan

Di negeri kita, banyak yang salah paham, jika ada orang berkata seperti:

“Jangan asal fitnah ya, Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan”

Jika maksudnya potongan ayat Al-Quran, maka TIDAK tepat, ayatnya adalah:

ﻭَﺍﻟْﻔِﺘْﻨَﺔُ ﺃَﺷَﺪُّ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘَﺘْﻞِ ‏

“… dan fitnah (kesyirikan) itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan “.
(QS. Al-Baqarah: 191)

Karena fitnah yang dimaksud dalam ayat di atas adalah kesyirikan, sebagaimana penjelasan para ulama pakar tafsir.

Imam At-Thabari rahimahullah juga membawakan perkataan Abu Ja’far, bahwa makna Fitnah dalam ayat tersebut adalah kesyirikan.

ﻭﺍﻟﺸﺮﻙ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺃﺷﺪُّ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺘﻞ

”Syirik (menyekutukan) Allah lebih bahaya daripada pembunuhan” (lihat Tafsir At-Thabari tentang ayat ini). Hal yang sama juga ditafsirkan oleh ayat yang lain;

Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman:

ﻭَﻗَﺎﺗِﻠُﻮﻫُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﻟَﺎ ﺗَﻜُﻮﻥَ ﻓِﺘْﻨَﺔٌ ﻭَﻳَﻜُﻮﻥَ ﺍﻟﺪِّﻳﻦُ ﻟِﻠَّﻪِ ﻓَﺈِﻥِ ﺍﻧْﺘَﻬَﻮْﺍ ﻓَﻠَﺎ ﻋُﺪْﻭَﺍﻥَ ﺇِﻟَّﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ ‏

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah
(Syirik) lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”
(Q.S. Al- Baqarah: 193).

2. Jenis Fitnah Beserta Solusinya

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata,

وأصل كل فتنة إنما هو من تقديم الرأي على الشرع، والهوى على العقل

“Sumber segala fitnah (keburukan) adalah
a. mendahulukan akal pikiran daripada syariat,
b. mendahulukan hawa nafsu daripada akal sehat.

فالأول : أصل فتنة الشبهة، والثاني: أصل فتنة الشهوة

Adapun yang pertama adalah sumber fitnah syubhat (kerancuan berpikir dalam agama) dan yang kedua adalah sumber fitnah syahwat.

ففتنة الشبهات تدفع باليقين، وفتنة الشهوات تدفع بالصبر، ولذلك جعل سبحانه إمامة الدين منوطة بهذين الأمرين،

Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan (ilmu), sedangkan fitnah syahwat bisa ditepis dengan kesabaran. Oleh karena itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan kepemimpinan dalam agama ini di atas dua hal ini.

Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,

وجعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا لما صبروا وكانوا بآياتنا يوقنون

‘Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka sabar dan yakin dengan ayat-ayat Kami.’

فدل علي أنه بالصبر واليقين تنال الإمامة في الدين.

Ini menunjukkan bahwa dengan kesabaran dan keyakinan, akan diperoleh kepemimpinan dalam agama ini.”
(lihat Ighatsatu al-Lahafan, 1/167)

3. Membendung Dan Menghindar Dari Berbagai Macam Fitnah

– Dengan Keyakinan

Keyakinan itu dari ilmu, dan ilmu itu diambil dan bersumberkan dari wahyu Al-Qur’an dan As-Sunnah serta berpegang teguh dengan keduanya.

Sesungguhnya berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah jalan menuju kemuliaan, keselamatan dan keberuntungan hidup di dunia dan akhirat.

Imam Malik rahimahullah (Imam Daril-Hijrah di kota Madinah Nabawiyah) pernah berkata:

اَلسُّنَّةُ سَفِيْنَةُ نُوْحٍ, فَمَنْ رَكِبَهَا نَجَا وَمَنْ تَرَكَهَا هَلَكَ وَغَرِقَ

“As-Sunnah adalah perahu (Nabi) Nuh. Barang siapa yang menaikinya maka akan selamat. Barang siapa yang meninggalkannya, maka dia akan binasa dan tenggelam.”
(lihat Dzammu al-Kalam, oleh al-Harawy, 4/124).

Dan perlu kita ketahui bahwa ilmu itu diambil dari ahlinya, yaitu mengambil ilmu dari para ulama yang mendalam ilmunya dan para imam peneliti (pakar) serta tidak mengambil ilmu dari orang-orang muda yang baru belajar ilmu dan hanya sebentar mencarinya.

Dari sahabat mulia Abdullah Bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

“Keberkahan ada bersama orang-orang tua di antara kalian.”
(HR. Ibnu Hibban no. 559. Ahli hadits Syaikh Al-Albani menghukumi derajat hadits ini ‘shahih’ dalam kitabnya Ash-Shahihah, no. 1778).

Keberkahan ada bersama pada orang-orang tua di antara kalian yang “kaki-kaki” mereka telah “tertancap” pada ilmu, yang masa belajarnya sangat lama untuk mendapatkannya, sehingga mereka memiliki kedudukan tinggi di antara umat, atas apa-apa yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka berupa ilmu, hikmah, ketegaran, ketenangan dan kejelian dalam melihat akibat-akibat yang akan terjadi. Dan dari merekalah kita diperintahkan untuk mengambil ilmu.

Keyakinan ini juga disertai dengan doa penuh harap kepada Allah Yang Maha Kuasa, ditanganNya lah segala urusan para hamba. Doa yang dibarengi dengan rasa yakin adalah kunci dari setiap kebaikan di dunia dan akhirat. Terlebih lagi, permohonan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla agar kaum muslimin dijauhkan dari fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Berlindung kepada-Nya subhanahu wa ta’ala dari fitnah-fitnah yang menyesatkan.

Sesungguhnya, siapa saja yang meminta perlindungan kepada Allah Yang Maha Melindungi, maka Allah akan melindunginya. Siapa yang memohon kepada-Nya, maka Allah akan mengabulkannya. Sesungguhnya Allah Yang Maha Adil Dan Bijaksana tidak akan mengecewakan seorang hamba yang berdoa kepada-Nya dan tidak akan menolak seorang hamba yang memanggil-Nya. Dia Yang Maha Pemurah adalah yang berkata:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Oleh karena itu, hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
(QS. Al-Baqarah: 186).

Pada akhirnya, kita akan selalu butuh dan berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa,

رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Ya Tuhan kami, janganlah engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi kaum yang zalim.”
(QS. Yunus: 85).

رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami, ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al Mumtahanah: 5)

Wallahu Ta’ala A’lam.

Referensi Tambahan: ‘Dhawabithu Litajannubil-Fitan’ Oleh Prof. Abdurrazzaq Al Badr

Disusun oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Selasa, 23 Rabiul Akhir 1442 H / 08 Desember 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Sudahkah Sholat Kita Tegakkan Sebagaimana Perintah-Nya?

Sholat yang kita lakukan bisa jadi belum sepenuhnya tegak

Sholat yang merupakan kewajiban sejatinya bukanlah sekadar gerakan rutinitas yang tiada makna. Maka jika seseorang telah berbangga hati karena mampu menunaikan sholatnya, maka hendaknya dia merenungkan hal inti dari perintah sholat.

Ulama terkemuka, Abuya Arrazy Hasyim, hafizahullah, menjelaskan tidak seluruhnya orang yang menunaikan sholat telah menunaikan hak-hak sholat. Maka janganlah berbangga bagi orang yang baru mendirikan sholat beberapa hari saja.

“Bayangkan, kita baru sholat beberapa hari saja sudah bangga. Padahal itu baru wujud sholat, belum iqamatis-sholat,” kata Abuya Arrazy dalam kajian live streaming, di Ribath Nouraniyah, belum lama ini.

Beliau menjelaskan bahwa famaa kullu mushallin muqiim, yakni tidak seluruhnya orang yang sholat telah menunaikan hak-hak sholatnya. 

Padahal menurut beliau, terdapat salah satu ayat Alquran yang sudah dihafal  umat Muslim sedari dini, yakni Alquran surat Al-Maun ayat 4. Allah SWT berfirman: 

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ “Fawaylul lil-musholiin.” Yang artinya: “Celakalah bagi orang yang menunaikan sholat (yang hanya menunaikan utang),”.

Maka demikian, beliau menjelaskan, Nabi Ibrahim, Al-Khalil alaihissalam tidak memanjatkan doa dengan kalimat: 

اللهم اجعلنا من المصلين Allahummaj’alna minal mushollin/Ya Allah jadikanlah kami bagian dari orang-orang yang selalu menunaikan sholat. 

Melainkan Nabi Ibrahim berdoa sebagaimana tertuang dalam surat Ibrahim ayat ke-40: 

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ Rabbij’alnī muqīmaṣ-ṣalāti wa min żurriyyatī rabbanā wa taqabbal du’ā` 

Artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS Ibrahim: 40)

KHAZANAH REPUBLIKA

Sahabat yang Pertama Kali Mengucapkan Salam pada Rasulullah

Menurut para ulama, sahabat yang pertama kali mengucapkan salam dengan ucapan ‘Assalamu ‘alaika’ adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Ia mengucapkan salam tersebut kepada Rasulullah saat dia pertama kali bertemu beliau, dan sejak saat itu salam menjadi syariat Islam yang dianjurkan untuk seluruh kaum muslim.

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Abu Dzar Al-Ghifari mengatakan;

فوالله إنّي لأوَّل الناس حيّاه بتحية الإسلام فقلت: السلام عليك يا رسول الله. فقال: وَعَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللهِ

Maka demi Allah, aku adalah orang pertama yang mengucapkan salam penghormatan kepada Rasulullah dengan penghormatan Islam. Aku mengucapkan; Assalaamu ‘alaika yaa rosuulullah. Kemudian beliau menjawab; Wa ‘alaikas salam wa rohmatullah.

Dalam hadis riwayat Imam Muslim dikisahkan bahwa suatu hari, Abu Dzar mendengar kabar tentang kedatangan seorang Nabi baru. Nabi yang bernama Muhammad itu mengajak manusia untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Abu Dzar ingin sekali bertemu dengan orang tersebut.

Kemudian dia ke Mekkah. Tiba di Mekkah menyamar sebagai musafir. Dia menyamar agar terhindar dari kejahatan kaum Quraisy. Setelah malam tiba, Abu Dzar tidur di masjid. Saat itu, kebetulan Ali bin Abi Thalib lewat di dekatnya. Ali tahu bahwa Abu Dzar orang asing di Mekkah.

Ali kemudian mengajak Abu Dzar untuk menginap di rumahnya. Ia ikut bersama Ali ke rumahnya dan bermalam di sana. Pada pagi hari, Abu Dzar kembali ke masjid membawa kantong perbekalannya. Abu Dzar melalui hari kedua sama seperti hari pertama, belum mendapat berita tentang Nabi yang dicarinya.

Ali kembali mengajak Abu Dzar bermalam di rumahnya. Mereka masih diam dan tidak saling bertanya. Barulah pada malam ketiga Ali bertanya kepada Abu Dzar. Ali berkata; Semoga Anda tidak keberatan mengabarkan kepada saya maksud kedatangan Anda ke Mekkah.

Abu Dzar menjawab; Saya datang ke sini dari jauh. Saya sengaja hendak bertemu dengan Nabi Muhammad dan ingin mendengar apa yang dikatakannya.

Sambil bersumpah atas nama Allah, Ali mengatakan bahwa Nabi Muhammad ialah utusan Allah. Ali juga menceritakan bukti kerasulan Muhammad dan dakwah beliau. Keesokan harinya Ali dan Abu Dzar pergi ke rumah Rasulullah. Setibanya di rumah Rasulullah, Abu Dzar memberi salam; Assalamu alaika yaa rasuulullah.

Rasulullah pun menjawab salam Abu Dzar dengan ucapan; Wa ‘alaikas salam wa rohmatullah. Rasulullah kemudian mengajak Abu Dzar memeluk Islam. Beliau membacakan ayat-ayat suci Al-Quran kepadanya. Abu Dzar langsung mengucapkan kalimat syahadat di hadapan Rasulullah.

Setelah beberapa lama di Mekkah, Rasulullah menyuruh Abu Dzar pulang ke kampungnya. Dia kemudian mengajak keluarga dan kaumnya untuk masuk Islam dan beribadah kepada Allah.

BINCANG SYARIAH

Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 5)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 4).

Larangan berlebihan dalam memuji

Dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تُطروني كما أطرت النصارى ابن مريم؛ إنما أنا عبد، فقولوا: عبد الله ورسوله

“Janganlah kalian melampaui batas dalam menyanjungku, sebagaimana kaum Nasara melampaui batas dalam menyanjung Nabi ‘Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku adalah seorang hamba. Oleh karena itu, katakanlah (bahwa aku adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Al-Bukhari & Muslim).

Penjelasan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari berlebihan dalam memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal jelas beliau adalah utusan Allah Ta’ala yang paling mulia. Tentunya, ilmu dan amal ibadah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah paling bagus dan paling layak dipuji.

Kendati demikian, tetap saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari berlebihan dalam memujinya. Karena selain melanggar syariat, juga akan menjerumuskan kepada bahaya yang besar, bahkan bisa sampai menyeret pelakunya kepada menyembah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Nasara terhadap Nabi Isa Alaihis salam, sampai mereka mengklaim bahwa Nabi Isa Alaihis salam adalah tuhan (baca surat Al-Maidah: 72) dan anak tuhan (baca surat At-Taubah: 30).

Ghuluw adalah perkara yang membinasakan umat sebelum kita

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إياكم والغلو؛ فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو

“Awas, jauhilah sikap melampaui batas (ghuluw), karena sikap melampaui batas adalah perkara yang membinasakan umat sebelum kalian” (HR. An-Nasa’i dan selainnya, disahihkan oleh Al-Albani rahimahumallah).

Penjelasan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dan melarang kita dari berbuat ghuluw (melampui batas). Larangan dari ghuluw di sini bersifat umum, mencakup berlebihan dalam masalah keyakinan maupun perbuatan. Termasuk juga larangan dari berlebihan dalam bersikap terhadap orang-orang salih yang bisa menjerumuskan mereka dalam penyembahan terhadap orang-orang salih. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan sebab larangan tersebut, yaitu sikap ghuluw adalah penyebab kebinasaan umat sebelum kita.

Dengan demikian, dalam hadis ini hakikatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghindarkan umat ini dari kebinasaan dengan melarang penyebabnya, yaitu bersikap melampaui batas (ghuluw). Dan tentunya, ghuluw terhadap orang-orang salih termasuk ke dalam larangan tersebut. Hal ini disebabkan karena ghuluw terhadap orang-orang salih terbukti menyebabkan kesyirikan besar. Bahkan kesyirikan besar yang pertama kali terjadi di muka bumi adalah ghuluw terhadap orang-orang salih.

Binasalah orang-orang yang melampaui batas

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هلك المتنطعون، قالها ثلاثا

“Binasalah orang-orang yang melampaui batas (tanaththu’). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tiga kali.”

Penjelasan

Dalam hadis di atas, hakikatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang tanaththu’  itu binasa dan bahwa tanaththu’ itu sebab kebinasaan. Beliau ungkapkan makna itu dengan mengulangi sabdanya sampai 3 kali. Hal ini mengandung makna larangan yang tegas dari berbuat  tanaththu’.

Penjelasan maksud tanaththu’

Secara bahasa, tanaththu’ adalah berlebihan dalam berbicara dengan menfasih-fasihkan ucapan. Namun dalam hadis yang mulia ini, maksud tanaththu’ tidak terbatas pada berlebihan dalam berbicara, tetapi juga berlebihan dalam berdalil dan beralasan, serta berlebihan dalam beribadah. Intinya, tanaththu’ yang dimaksud dalam hadis yang mulia ini adalah berlebihan dalam ucapan maupun perbuatan [1].

Contoh bentuk tanaththu’ yang terlarang

1. Berlebihan dalam mengkritik sehingga sampai menjatuhkan kehormatan pihak yang dikritik, menghinanya dengan kata-kata kotor, tidak mengakui kebaikannya dan tidak adil terhadapnya sehingga berlaku zalim.

2. Berlebihan dalam memuji dengan meninggikan derajat seseorang yang sebenarnya belum sampai kepada kedudukan  dalam pujian tersebut, serta menggelari dengan gelar-gelar yang jauh dari fakta. Karena setiap gelar dan julukan, hakikatnya memiliki kriteria yang dipersyaratkan. Apalagi jika gelar tersebut adalah gelar ilmiah keagamaan.

3. Berlebihan dalam menuduh atau pun mengklaim sesuatu, tanpa bukti ilmiah yang mendasari. Karena sesungguhnya setiap kasus ada cara pembuktian secara ilmiah. Juga karena kehormatan seorang muslim demikian mahal, sehingga barangsiapa yang menuduh dengan sebuah tuduhan tanpa bukti ilmiah, akan berat pertanggungjawabannya di akhirat.

4. Berlebihan dalam berbicara dalam menanggapi peristiwa atau urusan tertentu. Apalagi jika terkait dengan urusan kemaslahatan kaum muslimin secara luas atau urusan yang berdampak membahayakan kaum muslimin seacara luas. Lebih-lebih lagi di masa fitnah yang penuh dengan ketidakjelasan, manakah yang benar dan manakah yang salah. Maka tentu tidak setiap orang berhak berbicara menilai, mengklaim, apalagi sampai menuduh dan memprovokasi. Hal ini karena tentunya hanya orang yang berkompeten dan memiliki kriteria khusus yang berhak menilainya.

Kesimpulan

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian)” (QS. An-Nisa: 83).

Terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim Rahimahumallah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَتَكُونُ فِتَنٌ ، الْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنْ الْقَائِمِ ، وَالْقَائِمُ فِيهَا خَيْرٌ مِنْ الْمَاشِي ، وَالْمَاشِي فِيهَا خَيْرٌ مِنْ السَّاعِي ، وَمَنْ يُشْرِفْ لَهَا تَسْتَشْرِفْهُ ، وَمَنْ وَجَدَ مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَعُذْ بِهِ

“Akan terjadi fitnah-fitnah, pada saat itu orang duduk lebih baik dari orang yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik dari orang yang berjalan, sedangkan orang yang berjalan lebih baik dari orang yang berbuat [2].

Dan barangsiapa yang mendekati fitnah [3], niscaya fitnah akan membinasakannya. Dan barangsiapa yang mendapatkan tempat membentengi diri atau tempat berlindung, maka hendaklah ia berlindung dengannya [4].”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis di atas menjelaskan bahwa kelak akan terjadi fitnah, yaitu keadaan yang samar diwarnai ketidakjelasan. Hal ini karena adanya kebodohan, tidak paham kebenaran, tidak berkompeten, dan tidak memiliki otoritas namun ikut campur di dalam masalah fitnah, sehingga fitnah itu pun membahayakan kaum muslimin.

[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

sumber Artikel: Muslim.or.id

Catatan Kaki:

[1] Lihat I’anatul Mustafid, Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, hal. 331 dan At-Tamhid, Syekh Shalih Alusy-Syaikh, hafizhahullah, hal. 217.

[2] Ikut andil dalam fitnah.

[3] Tidak menghindar dari fitnah.

[4] Maksudnya: menghindarlah agar selamat dari keburukan fitnah.