Yatim Piatu karena Orang Tuanya Sangat Sibuk, Tidak Peduli Anaknya

Selama ini kita mengetahui bahwa anak yatim-piatu adalah anak yang tidak memiliki ayah dan ibu lagi karena kedua orang tuanya sudah meninggal. Akan tetapi, ada juga anak yang menjadi yatim-piatu karena orang tuanya benar-benar tidak memperhatikan anak-anak mereka. Orang tua tidak terlalu peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan dalam sebuah syair disebutkan bahwa anak yatim bukanlah anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya. Akan tetapi, anak yatim adalah anak yang kedua orang tuanya sibuk dan tidak mengurusi anak-anaknnya.

Dalam sebuah syair Arab,

لَيْسَ الْيَتِيْمَ مَنِ انْتَهَى أَبَوَاهُ

مِنْ هَمِّ الْحَيَاةِ وَخَلَّفَاهُ ذَلِيلْاً

إِنّٓ الْيٓتِيْمٓ هُوٓ الَّذِي تَلْقٓى لٓهُ

أُمًّا تَخَلَّتْ أَوْ أَباً مَشْغُوْلاً

“Bukanlah anak yatim yang kedua orang tuanya telah tiada;

(Telah tiada) dari kehidupan dunia, lalu meninggalkan anak tersebut dalam keadaan hina;

Akan tetapi, anak yatim adalah anak yang kau dapati;

Ibunya tidak mempedulikannya atau ayahnya sibuk tidak mau mengurusnya” (Sya’ir Ahmad Syauqi).

Hendaknya orang tua tidak lalai mendidik dan memberikan perhatian kepada anak-anak mereka. Di zaman ini, kewajiban ini cukup banyak dilalaikan oleh orang tua. Karena di zaman ini, godaan sosial media, internet, dan gadget dapat melalaikan pendidikan orang tua terhadap anaknya. Misalnya, para ayah sibuk bermain gim, sedangkan para ibu sibuk nonton drama Korea, dan sibuk swafoto, serta belanja online. Semoga kita para orang tua dijauhkan dari hal semacam ini.

Anak adalah kewajiban dan amanah bagi orang tua. Orang tua, terutama ayah, memiliki tugas penting agar menjaga anak mereka dari api neraka; yaitu, dengan mengajarkan kebaikan, mendidik, dan memberikan perhatian kepada anak-anaknya.

Allah Ta’ala berfirman,

ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻗُﻮﺍ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻫْﻠِﻴﻜُﻢْ ﻧَﺎﺭًﺍ

“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At-Taahrim: 6).

Muqatil Rahimahullah menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah agar mendidik keluarga. Beliau Rahimahullah berkata,

ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻣُﻘَﺎﺗِﻞٌ : ﺃَﻥْ ﻳُﺆَﺩِّﺏَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢُ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻭَﺃَﻫْﻠَﻪُ، ﻓَﻴَﺄْﻣُﺮَﻫُﻢْ ﺑِﺎﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻳَﻨْﻬَﺎﻫُﻢْ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺸَّﺮِّ

“Seorang muslim mendidik dirinya dan keluarganya, memerintahkan mereka kebaikan dan melarang dari keburukan” (Mafaatihul Ghaib Tafsir Ar-Raziy, 30: 527).

Jangan sampai anak kita menjadi seperti anak yatim, bahkan lebih parah dari anak yatim yang sesungguhnya. Hal ini karena mereka tidak mendapat perhatian dan pendidikan. Akibatnya, anak-anak menjadi rusak dan nakal. Kerusakan anak-anak disebabkan oleh kelalaian orang tuanya, yaitu tidak mengajarkan agama dan tidak memperhatikan dengan siapa anak-anak mereka bergaul. Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah menjelaskan,

ﺍﻛﺜﺮ ﺍﻷﻭﻻﺩ ﺇﻧﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻓﺴﺎﺩﻫﻢ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺍﻵﺑﺎﺀ، ﻭﺇﻫﻤﺎﻟﻬﻢ، ﻭ ﺗﺮﻙ ﺗﻌﻠﻴﻤﻬﻢ ﻓﺮﺍﺋﺾ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﺳﻨﻨﻪ، ﻓﻀﺎﻋﻮﻫﻢ ﺻﻐﺎﺭﺍ

“Kebanyakan kerusakan anak disebabkan karena orangtua mereka. Mereka menelantarkannya dan tidak mengajarkan anak ilmu dasar-dasar wajib agama dan sunnah-sunnahnya. Mereka menyia-nyiakan anak-anak di masa kecil mereka” (Tuhfatul Maulud, hal. 387).

Jangan sampai kita menyesal kelak. Ketika anak-anak sudah dewasa, mereka tidak pernah merasakan kasih sayang dan memiliki kenangan indah dengan orang tuanya ketika kecil. Ketika-anak-anak sudah dewasa dan orang tua sudah mulai pikun serta tua renta, maka anak-anak tidak mau berbakti kepada orang tua mereka di masa tua.

Perhatikanlah syair berikut ini,

ﻳﺎﺃﺑﺖ، ﺇﻧﻚ ﻋﻘﻘﺘﻨﻲ ﺻﻐﻴﺮﺍ، ﻓﻌﻘﻘﺘﻚ ﻛﺒﻴﺮﺍ، ﻭﺃﺿﻌﺘﻨﻲ ﻭﻟﺪﺍ ﻓﺄﺿﻌﺘﻚ ﺷﻴﺨﺎ

“Wahai ayahku, sungguh engkau mendurhakaiku di waktu kecil. Maka aku pun mendurhakaimu di kala aku besar. Engkau menelantarkanku di waktu kecil, maka aku telantarkan Engkau di kala tua nanti” (Tuhfatul Maulud, hal. 387).

Semoga kita bisa menjadi orang tua saleh yang diberi taufik oleh Allah Ta’ala untuk mendidik anak-anak kita agar sukses di dunia dan di akhirat. Aamiin.

Penyusun: Raehanul Bahraen

MUSLIMorid

Hukum Minta Bantuan Kepada Jin

Semaraknya dunia perdukunan, dan larisnya penjaja kesyirikan telah menghipnotis manusia yang lemah imannya untuk mengikuti kesesatannya. Ingin usaha sukses, terbebas dari penyakit, mencari kesaktian dengan bantuan jin, dan berbagai perilaku menyimpang yang esensinya meminta bantuan jin atau melalui para dukun agar keinginannya terkabul. Banyak umat terkecoh ketika sang paranormal, ustadz, atau kyai mengklaim semua jimat, amalan dzikir dan praktek pengobatanya berasal dari Al Qur’an dan As-Sunnah. Ini tipu daya setan yang hendak menjerumuskan dalam kesyirikan.

Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu’anhu berkata: “Di dalam lautan ada setan-setan yang di penjara dan ditali oleh Nabi Sulaiman, hampir-hampir akan keluar dan akan membacakan Al Qur’an kepada umat manusia” (HR. Muslim dalam mukadimah Shahih-nya, no.7. Dan lihat juga kitab Al-Bida’ Wan Nahyu ‘annha, karya Ibnu Wadhdhah, hal.65).

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Setan-setan itu membacakan suatu yang bukan dari Al Qur’an. Namun mereka katakan berasal dari Al-Qur’an untuk mengecoh orang-orang awam, maka janganlah terkecoh oleh mereka” (Al Minhaj Syarah Shahih Muslim, I/40).

Bangsa jin juga hamba Allah yang juga terkena perintah dan larangan-Nya. Meminta bantuan kepada jin adalah fitnah besar karena orang akan bersandar atau tergantung kepada jin dan menghilangkan tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla. Dan realitanya para penyembah jin atau paranormal, dukun dan orang yang bergantung pada ‘kehebatan’ atau keluarbiasaan kyai tertentu seringkali terjerumus melakukan amalan syirik dan bid’ah yang tidak ada tuntunanya dari Al-Qur’an dan As Sunnah. Seperti dzikir-dzikir aneh, puasa 40 hari, puasa mutih, memindahkan penyakit kepada hewan, memberi rajah yang dimasukkan ke air lalu diminum, memberi jimat, transfer energi, dan lain-lain yang semua itu tidak terlepas dari campur tangan setan.

Dan Nabi shallallahu’alahi wa sallam pernah terkena sihir namun beliau tidak minta bantuan jin muslim untuk mengetahui letak sihirnya. Begitu pun para sahabat pun tak pernah minta tolong pada jin.

Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh hafizhahullah berkata: “Meminta bantuan kepada jin muslim adalah sarana yang menjerumuskan pada perbuatan syirik, dan tidak boleh berobat kepada salah seorang yang meminta bantuan kepada jin muslim. Jika pertolongan jin itu tidak melalui permintaan, maka segeralah meminta perlindungan kepada Allah dari kejahatan jin, karena hal ini dapat membahayakan dan menjadi sarana agar manusia membenarkan berita mereka, lalu bersandar kepada mereka sepenuhnya. Serta dapat pula sebagai umpan agar manusia meminta bantuan kepada mereka. Kita berlindung kepada Allah dari makarnya yang menipu” (At-Tamhid li Syarhi Kitab At-Tauhid hal.616).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang hukum meminta bantuan kepada jin muslim dalam rangka pengobatan. Beliau menjawab: “Tidak sepantasnya bagi seorang yang sakit meminta bantuan kepada jin, baik dalam rangka pengobatan, maupun selainnya. Hendaknya ia bertanya kepada dokter ahli sesuai dengan penyakit yang dideritanya. sedangkan meminta bantuan kepada jin adalah haram, karena hal ini bisa sebagai perantara menuju ibadah kepadanya dan berarti mempercayai mereka. Karena di kalangan jin ada yang kafir dan ada pula muslim, ada juga muslim tapi ahli bid’ah. Dan karena kita tidak bisa mengetahui keadaan mereka, maka tidak sepantasnya kita bersandar kepada mereka. Mestinya kita bertanya kepada ulama dan dokter dari kalangan manusia untuk mengetahui penyakit yang kita derita. Allah Azza wa Jalla mencela orang-orang musyrik sebagaimana firman-Nya :

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا

Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. Al-Jin: 6).

Seorang mukmin harus meyakini bahwa Allah lah yang Maha Mengetahui perkara gaib. Dan Dia lah yang dimintai pertolongan dari setiap kesulitan. Ini pokok aqidah yang harus diimani. Meminta bantuan jin, biasanya meminta timbal balik yang bertentangan dengan syariat. Khadam atau jin yang bekerjasama dengan paranormal dan dukun, saling berkolaborasi menyesatkan manusia. Allah ta’ala berfirman:

وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (QS. An Nisa’: 60).

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

***

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:

1. Membongkar Tipu Daya Dukun Sakti Berkedok Wali, Zainal Abidin binSyamsudin, Lc. Pustaka Imam Bonjol, Jakarta, 2014.
2. Berteman Dengan Jin (terjemah) Walid Kamal Syukur, Wafa’ press, Klaten 2008

Artikel Muslimah.or.id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/12782-hukum-minta-bantuan-kepada-jin.html

Siapakah Sahabat Setan itu?

 وَمَن يَعۡشُ عَن ذِكۡرِ ٱلرَّحۡمَٰنِ نُقَيِّضۡ لَهُۥ شَيۡطَٰنٗا فَهُوَ لَهُۥ قَرِين

Dan barangsiapa berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (Al-Qur’an), Kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadi teman karibnya.
(QS.Az-Zukhruf:36)

Allah Swt memberikan indera kepada kita agar digunakan untuk merenungkan keagungan penciptaan-Nya.

Allah Swt memberikan fitrah dalam diri kita agar kita cenderung untuk melakukan kebaikan dan berbagi kasih sayang serta rahmat.

Allah Swt memberikan akal agar kita mampu membedakan dan menyingkap berbagai hakikat dalam kehidupan.

Sayangnya, banyak sekali manusia yang mata hatinya buram dan fitrah sucinya terpendam. Hingga akhirnya ia hidup dibawah perintah hawa nafsunya, tidak mampu menahan diri untuk berbuat dzalim dan merampas hak sesama.

Dan Allah telah menjanjikan bagi manusia yang menjual dirinya untuk setan bahwa mereka akan selalu ditemani oleh setan sepanjang hidupnya. Akal dan pikirannya akan terus disertai dan dipengaruhi oleh setan setiap waktu. Dan semakin hari ia akan semakin terjerumus dalam kegelapan demi kegelapan hingga ia akam merugi di dunia dan akhirat.

Dalam kehidupan ini kita hanya memiliki dua pilihan, tidak ada pilihan ketiganya.

1. Apakah kita memilih bersama Allan dengan mengikuti jalan-Nya yang akan membawa kita menuju kesuksesan.

2. Atau kita lalai dan berpaling dari Allah sehingga kita keluar dari batas-Nya dan menjadi teman setan yang akan membawa kita pada penyesalan dan kerugian. Seperti yang diaebut dalam ayat berikutnya :

حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَنَا قَالَ يَٰلَيۡتَ بَيۡنِي وَبَيۡنَكَ بُعۡدَ ٱلۡمَشۡرِقَيۡنِ فَبِئۡسَ ٱلۡقَرِينُ

Sehingga apabila orang–orang yang berpaling itu datang kepada Kami (pada hari Kiamat) dia berkata, “Wahai! Sekiranya (jarak) antara aku dan kamu seperti jarak antara timur dan barat! Memang (setan itu) teman yang paling jahat (bagi manusia).” (QS.Az-Zukhruf:38)

Silahkan memilih !

khazanahalquran

Nabi Muhammad Ibaratkan Koruptor Seperti Mayat

Koruptor oleh Nabi Muhammad diibaratkan seperti mayat.

Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang sangat dibenci oleh Nabi Muhammad Saw. Bahkan, Rasulullah mengibaratkan koruptor seperti halnya mayat. Hal ini berdasarkan hadits nabi yang bersumber dari Abdullah bin Mughirah bin Abdi Burdah al-Kinani.

عن عبد الله المغيرة بن أبي بردة الكناني انه بلغه أن رسول الله صل الله عليه وسلم أتى الناس فى قبا ئلهم يدعولهم وانه ترك قبيلة من القبائل قال وان القبيلة وجدوافي بردعة رجل منهم عقد جزع غلولا فأتاهم رسول الله صل الله عليه وسلم فكبر عليهم كما يكبر على الميت (رواه مالك)

‘An ‘abdillahibnil mughiratibni ai burdatal kinaniyyi annahu balahahu anna rasulallahi shallallahu ‘alaihi wasallama atan nasa fi qaba’ilihim yad’u lahum wa annahu taraka qabilatanminal qabaili qala, wainnal qabilata wajadu fi barda’ati rajulin minhum iqdajaz’in ghululan fa atahum rasulullahi shallallahu ‘alaihi wasallama fakabbara ‘alaihim kama yukabbiru ‘alal mayyiti (rawahumaliku).

Artinya:

Bersumber dari Abdullah bin Mughirah bin Abdi Burdah al-Kinani. Ia menyampaikan bahwa Rasulullah Saw mendatangi orang-orang pada kabilah mereka. Rasul mendoakan mereka. Ketika tinggal satu kabilah yang tersisa, beliau berkata,

“Sesungguhnya kabilah ini terdapat ini terdapat ikatan batu akik (marjan) di pelana milik seseorang dari mereka yang merupakan hasil korupsi.” Kemudian Rasulullah Saw mendatangi kabilah ini dan bertakbir atas mereka sebagai mana takbir atas mayit. (HR. Malik).

Dikutip dari buku “Agar Anda Terhindar dari Jerat Korupsi”, Syarwani menjelaskan, dari hadits tersebut dapat diketahui betapa mengejutkannya perlakukan nabi pada seorang koruptor. Koruptor tidak dianggap nabi sebagai orang hidup, tapi disamakan dengan mayat.

Menurut  Syarwani, perlakuan nabi ini semakin menunjukkan kebencian beliau terhadap tindakan korupsi. Karena itu, umat Islam tidak memiliki jalan lain selain menjauhi serta memberantas korupsi, sesuai kemampuan yang dimiliki.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bener Gitu, Kalau HAM itu Bertentangan dengan Islam?

Pernahkah kamu mendengar ucapan dari sebagian saudara-saudara muslim kita juga, yang menyatakan kalau Hak Asasi Manusia/HAM itu bertentangan dengan Islam? Jika pernah, kamu mungkin pernah mendengar sejumlah alasan-alasan ketika mereka ditanya kenapa kok HAM bertentangan dalam Islam?

Ada yang mengatakan kalau HAM itu produk barat, sehingga kalau kita seorang muslim, maka tidak boleh menerimanya sama sekali. Ada lagi yang mengatakan kalau HAM itu nilai-nilainya bertentangan dengan ajaran Islam, karena dengan diterimanya HAM, berarti membuka jalan untuk menerima liberalisme. Dengan menerima liberalisme, berarti menerima juga sejumlah konsekuensi misalnya orang bisa berbuat apa saja yang mereka mau, termasuk menjadi atau membenarkan LGBT dengan dalih Hak Asasi Manusia.


Padahal, kalau mereka pernah membaca lebih jauh sebenarnya deklarasi HAM ini juga sudah diterima juga di negara-negara Islam atau negara yang penduduknya mayoritas muslim seperti Indonesia. Meski tidak bisa dinafikan kalau HAM memang dideklarasikan di Barat, yaitu di Sidang Umum PBB pada tahun 1948 (Lihat Disini isi Deklarasi HAM Universal (DUHAM)) Namun, negara-negara yang tergabung di Organisasi Konferensi Islam (OKI) sebenarnya juga membuat Deklarasi Hak Asasi Manusia dalam Islam di Kairo pada tahun 1990, yang kini disebut dengan Cairo Declaration on Human Rights in Islam. Secara substantif, isinya sebenarnya sama, diantaranya menjunjung tinggi hak hidup dan hak merdeka setiap manusia.


Lebih lanjut, kalau direfleksikan kepada kisah kehidupan Nabi Muhammad Saw., apa yang diperjuangkan di dalam Hak Asasi Manusia itu juga diperjuangkan oleh Nabi Muhammad Saw. di dalam ajaran Islam. Ada banyak ajaran-ajaran di dalam Islam, baik yang bersumber dari Al-Quran maupun hadis Nabi Saw., secara sistematis mengangkat martabat manusia diantaranya dengan menghapuskan perbudakan. Bahkan salah satu fakta menarik, setelah Nabi Saw., di masa kepemimpinan Khulafa ar-Rasyidin jumlah budak terus berkurang karena merdeka dan di masa Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, seluruh budak sudah merdeka.


Penasaran bukan kok bisa seperti itu? Bener gitu ajaran-ajaran Islam secara sistematis menghapus perbudakan manusia yang sudah begitu membudaya di seantero dunia saat itu? Langsung saja tonton video berikut ini untuk mendapatkan penjelasannya ! selamat menonton !

BINCANG SYARIAH


Islam dan Peradaban: Mengenang Kembali Kejayaan Islam yang Terbuka dan Toleran

Dalam catatan sejarah bahwa agama Islam pernah mengalami masa kejayaan. Pada saat itu, peradaban Islam begitu mapan. Demikian pula dengan orang-orang muslim, mereka telah banyak menorehkan tinta emas dengan melukiskan kesuksesan dalam membangun dan mengembangkan peradaban yang amat berharga tidak hanya bagi kaum muslimin saja, tetapi juga signifikansinya juga dirasakan oleh seluruh dunia.

Dalam catatan TGS. Prof. Dr. K. H. Saidurrahman dan Dr. Azhari Akmal yang mengutip catatan Raghib Sirjani menyampaikan bahwa kontribusi umat Islam seperti diabadikan dalam sejarah begitu banyak. Seperti adanya bukti beberapa karya tulis ilmiah beserta beberapa temuan menarik lainnya: semisal ilmu kedokteran, arsitektur, matematika dan ilmu-ilmu lainnya.

Konsistensi umat Islam untuk terus berkiprah dalam memberikan yang terbaik terhadap kebangkitan Islam itu sendiri harusnya terus dikembangkan agar kejayaan peradaban Islam yang pernah dimilikinya tersebut terus dikontekstualisasikan dalam kehidupan kekinian.

Namun demikian, kejaayaan peradaban Islam kini hanya menyisakan cerita. Agama Islam yang seharusnya sebagai agama yang memuat berbagai informasi penting, di samping itu juga ajaran-ajaran ideal tentang keyakinan dan moral dalam Islam seakan-akan dirubah fungsinya sebagai agama politik atau agama dibuat kepentingan politik tertentu. Ini yang mengakibatkan kemunduran agama Islam itu sendiri.

Menurut Gus Dur, penyebab dari kemunduran peradaban Islam itu adalah salah satunya dapat dipicu oleh watak (umum) pemahaman umat yang terlalu “mengidealkan” bentuk masyarakat Islam itu sendiri, sehingga susah untuk bisa berpijak dari kenyataan.

Berbeda halnya dengan orang Islam dulu yang memiliki cara serta fokus kajian yang berbeda dalam memandang Islam sesuai dengan kecenderungan masing-masing, kaum muslimin saat ini lebih sibuk dengan formalisme agama dari pada memikirkan bagaimana cara membenahi dan memperbaiki kembali kesalahan-kesalahan di internal kaum muslimin. Perubahan orientasi ini tentunya menjadi sebuah fenomena Islam kontemporer dan kecenderungan Islam masa kini.


Sementara kecenderungan melakukan pemaknaan teks agama yang otoriter tersebut adalah bagian dari sikap kesewenang-wenangan dalam memperlakukan teks-teks yang berwenang. Akibatnya pemaknaan Islam menjadi sempit. Sikap otoritarianisme ini dalam pandangan Khaled M. Abou El Fadl (2003) tidak bisa ditafsirkan lain sebagai salah satu bentuk pemerkosaan terhadap kesucian teks absolut. Sebagai konsekwensinya, manusia tidak lagi mampu menjaga amanah yang dititipkan Tuhan Yang Maha Pengasih agar melabuhkan nilai-nilai kearifan dan kebijaksanaan. Lantaran kecenderungan formalisme tersebut agama terpisah dari nilai-nilai Ketuhanan.

Kehidupan manusia pada abad pertengahan (sekitar abad ke 15) masih terlihat baik. Yang mana, manusia hidup dalam komunitas-komunitas kecil dan erat, yang didasarkan pada prinsip hidup bersama tanpa adanya perbedaan status sosial atau kelompok. Itu menunjukkan peradaban manusia masih aman-aman saja. Dalam artian bahwa ilmu abad pertengahan masih mencerminkan kemajuan.

Keilmuan di abad pertengahan tersebut digunakan atas dasar penalaran dan keimanan dan tujuan utamanya adalah memahami makna dan signifikansi segala sesuatu, dan bukan untuk tujuan peramalan dan pengendalian. Karena itu, Para ilmuwan abad pertengahan yang mencari-cari tujuan dasar yang mendasari berbagai fenomena, menganggap pertanyaan yang berhubungan dengan Tuhan, roh, manusia, dan etika sebagai pertanyaan-pertanyaan yang memiliki signifikansi tertinggi.

Akan tetapi manusia mulai menghadapi kemunduran akibat cara berfikir yang keliru karena mereka tidak lagi mampu menyeimbangkan nilai positif dan negatif baik dalam konteks populasi maupun konsumsi. Cara berfikir keliru ini dimulai sejak abad ke-16 dan ke-17 di mana terjadi revolusi ilmiah yang ditandai dengan pola pikir yang sangat menekankan rasionalitas semata tanpa memadukan antara yang disebut dengan rasionalitas, empiris, dan spiritualitas secara integratif. (TGS. Prof. Dr. K. H. Saidurrahman dan Dr. Azhari Akmal, 2019: 126-129).


Akibatnya kehidupan umat manusia menghadapi suatu tantangan yang dinamakan dengan krisis global. Hal itu dikarenakan adanya sebuah anggapan bahwa manusia adalah pusat segala sesuatu. Manusia dapat menentukan nasibnya sendiri, bukan Tuhan. Manusia bahkan dianggap sebagai penentu kebenaran.

Padahal dalam konsepsi Islam manusia adalah khalifah Allah di atas bumi-Nya, yang sangat dimuliakan oleh Allah bahkan oleh seluruh malaikat-Nya. Itu sebabnya, peradaban Barat cenderung otoriter dan tak manusiawi. Berbeda halnya dengan peradaban Islam yang begitu humanis dan memanusiakan manusia. Karena itu, seperti telah dijelaskan dalam (QS. Ali Imran [3]: 19, 85) bahwa agama Islam adalah satu-satunya agama yang benar, karena itulah ia sebaik-baiknya agama dan peradabannya.

BINCANG SYARIAH

Detik-Detik Sakaratul Maut

Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah menuturkan: “Ketika ayahku (Imam Ahmad bin Hambal) dihampiri kematian, aku duduk di sampingnya sambil memegang selembar kain untuk merapatkan kedua rahangnya, sedang dia dalam keadaan sakaratul maut. Beliau kehilangan kesadaran, hingga kami mengira beliau telah wafat. Kemudian ia sadar kembali sambil berkata, tidak…! belum…! tidak…! belum…! Ia mengucapkannya beberapa kali, pada ucapannya yang ketiga kali aku tanyakan kepadanya: “Wahai ayahku, apakah yang telah engkau ucapkan di saat-saat seperti ini?”. Ia menjawab: “Hai anakku, apakah engkau tidak mengetahui?”. “Tidak tukasku”. Maka ia berkata: “Iblis… terlaknat! Ia duduk dihadapanku sambil menggigit ujung-ujung jarinya seraya berkata: “Hai Ahmad! Engkau telah selamat dariku, dan aku menjawabnya, Tidak… belum… (Aku belum selamat darimu) hingga aku mati” (Siyar Alamin Nubalaa‘ XI/341).

Demikian kuat dan besar tekad iblis dalam menyesatkan manusia hingga detik akhir kehidupan manusia. Ia bangkitkan perasaan ujub terhadap amal shalihnya, bahwasanya manusia telah banyak beribadah sehingga timbul riya dan sum’ah terhadap semua kebajikan dan amal shalih yang pernah dilakukannya. Ini tipu muslihat iblis agar mampu menundukkan mukmin yang tekun beribadah pada Allah.

Al-Hafidz ‘Abdul Ghair Al-Farisi rahimahullah berkata, “Aku mendengar Abu Shalih berkata: ‘Aku datang kepada Abu Bakar Al-Labbad di saat beliau wafat, aku mendengarnya bertutur, sedang ia merelakan dirinya untuk menerima kematian:

الملك القدوس السلام المؤمن

Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Maha Mengaruniakan keamanan… (QS. Al-Hasyr: 23).

Beliau menyebut nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla hingga yang terakhir [Q.S Al Hasyr: 24]” (Madarijus Saalikin, III/443).

Hamba yang selalu mentauhidkan Allah, mengagungkan asma’ dan sifat-Nya, tidak mentakwilkan sifat-sifat-Nya, tidak mengingkari serta tidak menyerupakan/menyamakannya dengan sifat-sifat makhluk akan diwafatkan-Nya dalam keadaan bahagia dan selamat insyaallah.

Di ayat lain Allah Ta’ala mengabarkan kematian orang mukmin dalam keadaan baik. Allah Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلَامٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): ”salamun ‘alaikum (keselamatan dan kesejahteraan bagimu)” Masuklah ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. An-Nahl: 32).

Syaikh Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan: “Dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa orang yang bertaqwa, yang melaksanakan perintah Rabb mereka dan menjauhi larangan-Nya akan diwafatkan para malaikat dalam keadaan thayyibin (baik), yakni bersih dari syirik dan maksiat. (Demikian ini) menurut tafsiran yang paling shahih, (juga) memberi kabar gembira berupa surga dan menghampiri mereka dengan salam…” (Adhwaul Bayan, 3/266).

Dari dua kisah seputar kematian di atas, banyak pelajaran yang bisa membuat seorang mukmin segera mempersiapkan kematian yang datangnya tanpa kita sadari. Mati membuatnya takut berbuat dosa dan memotivasi beramal shalih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أكثروا ذكرَ هادمِ اللَّذَّاتِ يعني الموتَ فإنَّهُ ما كانَ في كثيرٍ إلَّا قلَّلَهُ ولا قليلٍ إلَّا جَزَلَهُ

Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian, karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya di waktu sempit kehidupannya, kecuali (mengingat kematian) itu melonggarkan kesempitan hidup atas orang itu. Dan tidaklah seseorang mengingatnya di waktu luas (kehidupannya), kecuali (mengingat kematian) itu menyempitkan keluasan hidup atas orang itu” (HR. Ath Thabarani [6/56], dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jamiush Shaghir no.1222).

Hikmah lainnya adalah perlunya bekal kehidupan setelah kematian di dunia. Iman dan amal shalih yang ikhlas dan sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bekal berharga dalam menuju perjalanan ke negeri akhirat. Tanpa bekal iman dan amal shalih seorang hamba akan menyesal sebagaimana penyesalan orang kafir. Allah Ta’ala berfirman:

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata: “Ya Rabbku… Kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal shalih terhadap yang telah aku tinggalkan. “sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka di bangkitkan” (QS. Al-Mukminun: 99-100).

Di akhir tulisan ini ada nasehat bagus dari Hamid Al-Qaishari: “Kita semua tidak melihat orang yang bersiap-siap menghadapinya. Kita semua telah meyakini adanya surga, tetapi kita tidak melihat orang yang beramal untuknya. Kita semua telah meyakini adanya neraka, tetapi kita tidak melihat orang yang takut terhadapnya. Maka terhadap apa kamu bergembira? Kemungkinan apakah yang kamu nantikan? Kematian! Itulah perkara pertama kali yang akan datang kepadamu dengan membawa kebaikan atau keburukan. Wahai saudara-saudaraku, berjalanlah menghadap penguasamu (Allah) dengan perjalanan yang bagus” (Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm.483, tahqiq Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi).

Wallahu a’lam.

***

Referensi:

  • 6 Pilar Utama dakwah Salafiyyah (terjemah) ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani, Pustaka Imam Syafi’i, Bogor, 2004.
  • Majalah As-Sunnah edisi 12/th VIII/1426 H.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Artikel Muslimah.or.id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/12752-detik-detik-sakaratul-maut.html

Mendakwahkan Akhlak dan Muamalah Saja, Lalu Melupakan Dakwah Tauhid

Salah satu yang perlu kita pahami dengan baik bahwa dakwah para Nabi dan Rasul itu ditolak karena mereka mendakwahkan tauhid dan juga mendakwahkan agar manusia menjauhi syirik. Hal ini sangat penting diketahui karena di zaman ini kaum muslimin mulai melupakan dan lalai akan dakwah tauhid. Manusia pun mulai lupa mempelajari tauhid. Manusia lebih tertarik dengan pembahasan akhlak, muamalah, jual beli saja, dan “melupakan” dakwah tauhid. Kami katakan bahwa belajar akhlak dan muamalah itu juga merupakan kebaikan. Akan tetapi, jangan sampai melalaikan mempelajari dan mendakwahkan tauhid.

Para Nabi dan Rasul adalah orang yang paling baik akhlak dan muamalah dengan sesama manusia. Bahkan musuh-musuh mereka pun mengakui baiknya akhlak dan muamalah para Nabi dan Rasul tersebut. Apabila dakwah kita hanya mengarah ke aspek akhlak, muamalah yang baik, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada sesama, maka para Nabi dan rasul sudah memenuhi itu semua. Sekali lagi, mereka adalah yang paling baik akhlak dan muamalahnya kepada sesama manusia. Akan tetapi, dakwah mereka tetap ditolak karena mereka mendakwahkan tauhid dan mendakwahkan agar manusia menjauhi syirik.

Tugas utama para Nabi dan Rasul adalah mendakwahkan tauhid dan menjauhi kesyirikan.

Allah Ta’ala berfirman,

ﻭَﻟَﻘَﺪْ ﺑَﻌَﺜْﻨَﺎ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﺃُﻣَّﺔٍ ﺭَﺳُﻮﻻً ﺃَﻥِ ﺍﻋْﺒُﺪُﻭﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺍﺟْﺘَﻨِﺒُﻮﺍ ﺍﻟﻄَّﺎﻏُﻮﺕَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut’” (QS. An-Nahl: 36).

Bahkan dakwah tauhid adalah dakwah prioritas yang pertama kali kita dakwahkan. Sehinga tidak layak kita berdakwah ke arah akhlak dan muamalah saja, lalu lupa dan lalai akan dakwah tauhid.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika berdakwah ke negeri Yaman agar mendakwahkan tauhid terlebih dahulu,

ِ فَلْتَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ.

“Hendaklah yang pertama kali engkau serukan adalah syahadat bahwa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Apabila mereka mentaatimu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka salat lima waktu dalam sehari semalam”  (HR. Muslim).

Mari kita tetap mendakwahkan tauhid dan terus memperbaiki akhlak dan muamalah kita. Jangan tinggalkan total dakwah tauhid karena khawatir ditinggalkan manusia atau ditinggalkan jamaah. Sering kali kita mengutip ayat ketika berdakwah hadzihi sabili (inilah jalanku)”. Tafsir dari ayat ini bahwa “jalan” tersebut adalah dakwah tauhid. Berikut ini ayat dan tafsirnya.

Allah Ta’ala berfirman,

ﻗُﻞْ ﻫَﺬِﻩِ ﺳَﺒِﻴﻠِﻲ ﺃَﺩْﻋُﻮ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﺼِﻴﺮَﺓٍ ﺃَﻧَﺎ ﻭَﻣَﻦِ ﺍﺗَّﺒَﻌَﻨِﻲ ﻭَﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﺃَﻧَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ

“Katakanlah, ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’” (QS. Yusuf: 108).

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini,

ﻭﻫﻲ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﺇﻟﻰ ﺷﻬﺎﺩﺓ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺣﺪﻩ ﻻ ﺷﺮﻳﻚ ﻟﻪ

“Yaitu berdakwah kepada syahadat ‘tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu baginya’” (Tafsir Ibnu Katsir).

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel: www.muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/59821-mendakwahkan-akhlak-dan-muamalah-saja.html

Kunci-Kunci Untuk Merenungkan Al-Qur’an

Al-Qur’an mengajarkan kepada kita untuk berlindung kepada Allah dari godaan setan sebelum kita membaca Al-Qur’an.

فَإِذَا قَرَأۡتَ ٱلۡقُرۡءَانَ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ

“Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur’an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS.An-Nahl:98)

Begitupula Allah Swt mengajarkan kita untuk membaca Al-Qur’an dengan tartil.

وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلًا

“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (QS.Al-Muzzammil:4)

Kemudian Allah memerintahkan kepada kita untuk merenungkan Al-Qur’an.

كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

“Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (QS.Shad:29)

Dan Allah Swt telah mengabarkan bahwa siapa yang tidak merenungkan kandungan Al-Qur’an hatinya telah tertutup.

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَآ

“Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci?” (QS.Muhammad:24)

Dari ayat-ayat di atas seharusnya menggugah hati kita untuk bertanya, “Lalu bagaimana cara kita merenungkan Al-Qur’an?”

Nah, disini kita akan membahas kunci-kunci untuk merenungkan Al-Qur’an.

Kunci Pertama

Hadirkan hatimu !

Al-Qur’an turun pertama kali ke dalam hati. Yaitu hati Baginda Nabi Muhammad Saw.

Ketika hati telah sadar dari kelalaiannya dan siap mendengar Firman-Nya maka setiap anggota tubuh lainnya akan ikut sadar dan siap menyerap pesan-pesan dari ayat suci Al-Qur’an.

Dan menjadi jelas disini bahwa Allah Swt mencela kaum mukminin yang hatinya tidak khusyuk ketika mendengar ayat Al-Qur’an.

أَلَمۡ يَأۡنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا يَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ وَكَثِيرٞ مِّنۡهُمۡ فَٰسِقُونَ

“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik.” (QS.Al-Hadid:16)

Kunci Kedua

Bersiaplah !

Setelah kita hadirkan hati maka bulatkan tekad kita untuk menjalankan perintah Allah dengan sebaik-baiknya dan menahan diri dari apa-apa yang dilarang Allah Swt. Konsistensi kita dalam menjaga diri serta agama akan membawa dampak kebaikan yang sangat besar dalam kehidupan kita di masa depan.

Ingatlah Firman Allah Swt :

فَلَوۡ صَدَقُواْ ٱللَّهَ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۡ

“Padahal jika mereka benar-benar (beriman) kepada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS.Muhammad:21)

Ingatlah pula bahwa apabila engkau melangkah untuk mendekat kepada Allah, maka Allah akan membimbingmu untuk semakin dekat dengan rahmat dan anugerah-Nya.

Kunci Ketiga

Sadarlah bahwa Allah Swt sedang berbicara denganmu !

Apabila setiap kali membaca Al-Qur’an kita selalu merasa bahwa kita sedang berdialog dengan Allah maka kualitas bacaan Al-Qur’an kita pasti akan berbeda. Kita bukan hanya melafadzkan bacaan tanpa makna, tapi kita sedang berbicara dengan Sang Pencipta.

Setiap ayat Al-Qur’an adalah surat yang Allah kirimkan untuk kita. Namun sayang kita tidak pernah merasa demikian.

Bila surat itu dari Allah, bukankah selayaknya kita berhubungan dengan Al-Qur’an dengan penuh penghormatan?

Inilah tiga kunci dalam merenungkan Al-Qur’an. Tentunya masih banyak lagi kunci-kunci lainnya yang belum kita sebutkan dalam kajian ini.

Semoga Bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Hukum Mewudhukan Jenazah

Salah satu kewajiban muslim terhadap sesama adalah mengurusi jenazahnya ketika meninggal. Mengurus sebuah jenazah meliputi empat hal yakni, memandikan, mengafani, menyalati dan menguburkan. Namun, di sebagian masyarakat, tak sedikit yang bertanya apakah jenazah yang dimandikan haruslah diwudhukan juga? Bagaimana hukum mewudhukan jenazah pada saat dimandikan?

Nah, untuk menjawab tersebut, mari simak ulasan berikut ini:

Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya Maushuat al-Fiqhi al-Islami wa al-Qadaya al-Mu‘ashirah menjelaskan bahwa para imam mazhab fikih sepakat perihal orang yang bertugas memandikan jenazah diperbolehkan mewudhukan jenazah itu manakala keluar sesuatu dari jenazah tersebut baik berupa najis ataupun kotoran yang lain. Ketentuan ini berlaku kepada jenazah yang bukan anak kecil.

Cara mewudhukan jenazah sama dengan wudhu seperti biasanya. Namun, terlebih dahulu kotoran yang ada pada jenazah dibersihkan menggunakan air campuran daun bidara atau menggunakan sabun.

Setelah itu, dua lubang kemaluan jenazah dibasuh (dilap) menggunakan secarik kain yang basah. Jenazah tidak perlu di kumur-kumurkan dan juga dikucurkan air ke lubang hidung menurut kalangan Hanafitah dan Hanabilah. Ini karena pada hal tersebut terdapat unsur menyulitkan (al-haraj) lantaran manakala air masuk ke pencernaannya maka dikhawatirkan membuat najis yang ada disana keluar lagi.

Namun, jika jenazah tersebut merupakan orang yang junub, haid ataupun nifas, maka kumur –kumur dan juga mengucurkan air ke hidung tetap dilakukan terhadap jenazah tersebut menurut kesepakatan ulama, alasannya untuk menyempurnakan bersesuci. (Wahbah az-Zuhaili, Maushūat al-Fiqhi al-Islamī wa al-Qadāyā al-Mu’āshirah, juz 2 hal 410-411)

Bahkan, Syekh Abdur Rahman al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah menerangkan bahwa hukum mewudhukan jenazah adalah sunah.

يندب أن يوضأ كما يتوضأ الحي عند الغسل من الجنابة إلا المضمضة والاستنشاق فإنهما لا يفعلان في وضوء الميت لئلا يدخل الماء إلى جوفه فيسرع فساده ولوجود مشقة في ذلك ولكن يستحب أن يلف الغاسل خرقة على سبابته وإبهامه ويبلها بالماء ثم يمسح بها سنان الميت ولثته ومنخريه فيقوم ذلك مقام المضمضة والاستنشاق وهذا متفق عليه بين الحنفية والحنابلة أما المالكية والشافعية فانظر مذهبيهما تحت الخط ( المالكية والشافعية قالوا : يوضأ يمضمضة واستنشاق وأن تنظيف أسنانه ومنخريه بالخرقة مستحب ولا يغني عن المضمضة والاستنشاق )

 “Disunahkan untuk mengambilkan wudhu bagi jenazah saat dimandikan sebagaimana berwudhunya orang yang hidup.  Namun, dalam pelaksanaannya tidak disunahkan untuk berkumur-kumur maupun istinsyaq (menghirup air ke hidung) terhadap jenazah, hal ini supaya air tidak masuk ke jauf (lubang tembus ke pencernaan) sehingga mempercepat jenazah rusak dan juga karena ada unsur masyaqqah (kesulitan) untuk melakukan hal itu.

Namun, orang yang bertugas memandikan jenazah disunahkan untuk  meletakkan kain yang sudah dibasahi pada jari telunjuk dan ibu jarinya kemudian mengusap gigi-gigi, gusi dan lubang hidung si jenazah menggunakan kain tersebut sebagai ganti dari kumur-kumur dan istinsyaq, ini merupakan kesepakatan ulama kalangan Hanafiyah dan Hanabilah. Sementara menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah tetap disunahkan melakukan kumur-kumur dan istinsyaq terhadap jenazah sebagaimana biasa, dimana membersihkan gigi-gigi dan lubang hidung jenazah tidak cukup sebagai ganti dari kumur-kumur dan istinsyaq.

Untuk niat mewudhukan jenazah, Anda bisa membaca di tulisan Niat Memandikan Jenazah.

Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH