Apa yang Dimaksud dengan Tafarruq (Berpecah Belah)?

Persatuan yang dituntut oleh syariat adalah persatuan di atas agama yang benar, dengan kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih, yaitu pemahaman para sahabat Nabi, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan. Bukan sekedar persatuan badan!

Persatuan di atas al Qur’an dan as Sunnah

Dari Al Irbadh bin Sariyah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”).

Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة ، وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة ، قال من هي يا رسول الله ؟ قال : ما أنا عليه وأصحابي

“Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku” (HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Ihya Ulumiddin [3/284] Al’Iraqi berkata: “Semua sanadnya jayyid”. Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi mengatakan: “hasan”).

Maka jelaslah dari hadits-hadits di atas, solusi dari perpecahan umat, juga solusi dari keterpurukan umat bukanlah menyatukan umat secara fisik sambil mentoleransi kesyirikan, kebid’ahan dan maksiat yang mereka lakukan. Bukan itu! solusi dari perpecahan umat, juga solusi dari keterpurukan umat adalah mengajak mereka untuk kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih, menyebarkannya dan mengamalkannya.

Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan: “Wajib bagi kita semua untuk bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah. Perkara yang kita perselisihkan, kita kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul, bukan malah kita saling bertoleransi dan membiarkan tetap pada perbedaan. Bahkan yang benar adalah kita kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Pendapat yang bersesuaikan dengan kebenaran, kita ambil, pendapat yang salah maka kita tinggalkan. Itulah yang wajib bagi kita, bukan membiarkan umat tetap pada perselisihan” (Syarah Ushul As Sittah, 19).

Maka dakwah yang mengajak untuk membiarkan umat taqlid pada pendapat madzhab masing-masing, ormas masing-masing, partai masing-masing mempersilakan memilih pendapat mana saja, ini adalah dakwah yang keliru. Syaikh Shalih Al Fauzan melanjutkan lagi: “Adapun yang mengatakan: ‘biarkan mereka mengikuti pendapat madzhab masing-masing, biarkan mereka mengikuti akidah mereka masing-masing, setiap orang bebas berpendapat dan menuntut kebebasan berkeyakinan dan berpendapat’, ini adalah kekeliruan. Yang Allah larang dalam firman-Nya (yang artinya): ‘berpegang-teguhlah pada tali Allah kalian semuanya, dan janganlah berpecah-belah‘ (QS. Al Imran: 103). Maka wajib bagi kita untuk bersatu di atas Kitabullah dalam menyelesaikan perselisihan di antara kita” (Syarah Ushul As Sittah, 18).

Makna tafarruq

Selain itu, perlu juga dipahami apa sebenarnya makna dari tafarruq (berpecah-belah) yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

“Berpegang teguhlah pada tali Allah dan jangan berpecah-belah” (QS. Al-Imran: 103).

Imam Al Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi menjelaskan ayat ini:

قوله تعالى : ولا تفرقوا يعني في دينكم كما افترقت اليهود والنصارى في أديانهم ; عن ابن مسعود وغيره . ويجوز أن يكون معناه ولا تفرقوا متابعين للهوى والأغراض المختلفة

“Firman Allah ta’ala (yang artinya): “jangan berpecah belah” maksudnya: jangan berpecah belah dalam beragama sebagaimana berpecah belahnya orang Yahudi dan Nasrani dalam agama mereka. Tafsir yang disebutkan oleh Ibnu Mas’ud dan juga yang lainnya, bahwa makna “jangan berpecah belah” di sini adalah jangan kalian mengikuti hawa nafsu dan tujuan-tujuan (duniawi) yang berbeda-beda”.

Imam Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari ketika menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan:

ولا تفرقوا “، ولا تتفرقوا عن دين الله وعهده الذي عهد إليكم في كتابه، من الائتلاف والاجتماع على طاعته وطاعة رسوله صلى الله عليه وسلم، والانتهاء إلى أمره

“(jangan berpecah belah) maksudnya janganlah kalian berpecah belah dari agama Allah dan hukum Allah yang ditetapkan untuk kalian di dalam Kitab-Nya. Dan janganlah menjauh dari bersatu dan berkumpul di atas ketaatan kepada Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengembalikan semua urusan kepada tuntuan beliau”.

Maka makna dari tafarruq adalah meninggalkan ajaran agama dan meninggalkan tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta mengambil ajaran-ajaran dan tuntunan-tuntunan lain yang tidak ada dasarnya dalam syariat.

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka” (QS. Al An’am: 159).

Syaikh Shalih bin Abdillah Al Ushaimi ketika menjelaskan ayat ini beliau mengatakan:

و المراد بتفريق الدين: تعظيم بعضه و اتخاذه شعارا و هجر غيره من الأحكام الإسلام و عدم الانتهاض إليه

“Yang dimaksud dengan memecah belah agama adalah mengagungkan sebagian ajaran agama dan menjadikannya sebagai syiar sambil meninggalkan ajaran agama dan hukum Islam yang lainnya, serta tidak menegakkannya” (Syarah Fadhlul Islam, 41).

Maka dari beberapa penjelasan di atas, jelaslah bahwa makna tafarruq (berpecah belah) adalah:

  1. Mengikuti hawa nafsu dalam beragama, yaitu dengan berbuat bid’ah
  2. Meninggalkan tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
  3. Mengambil sebagian agama dan meninggalkan sebagian

Orang-orang yang melakukan hal-hal di atas maka ia telah memecah belah agama dan memecah belah umat.

Sedangkan orang-orang yang mengajak untuk kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah, mengajak untuk kembali pada tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak memisah-misahkan ajaran agama, maka mereka adalah orang-orang yang bersatu di atas kebenaran walaupun sedikit. Oleh karena itulah Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu mengatakan:

الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك

“Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau sendiri”

Dalam riwayat yang lain:

وَيحك أَن جُمْهُور النَّاس فارقوا الْجَمَاعَة وَأَن الْجَمَاعَة مَا وَافق طَاعَة الله تَعَالَى

“Ketahuilah, sesungguhnya kebanyakan manusia telah keluar dari Al Jama’ah. Dan Al Jama’ah itu adalah yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala” (Dinukil dari Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Asy Syaithan, 1/70).

Kesimpulan

Tafarruq atau perpecahan itu dilarang dalam agama. Persatuan umat itu diperintahkan dalam agama. Namun persatuan yang benar adalah persatuan di atas akidah yang benar berdasarkan al Qur’an dan as Sunnah. Orang yang mengajak untuk memurnikan akidah yang benar berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah, merekalah orang yang mempersatukan umat.

Dan tafarruq artinya adalah berbuat bid’ah dalam agama, meninggalkan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam serta mengambil sebagian agama dan meninggalkan sebagiannya. Inilah mereka yang memecah belah agama dan memecah belah umat.

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Inilah Nikmat Terbesar Manusia di Dunia

Nabi Muhammad SAW menempatkannya sebagai nikmat terbaik setelah nikmat keimanan.

Mintalah kesehatan kepada Allah, karena sesungguhnya tidak ada nikmat yang paling utama daripada nikmat kesehatan, selain keimanan (Nabi Muhammad SAW). Dengan kondisi sehat, seseorang dapat bekerja mencari nafkah, dapat beribadah, menikmati makanan, dan pergi berekreasi.

Pendek kata, orang yang sehat dapat melakukan apa saja yang disenanginya. Sebaliknya, bagi orang yang sakit, makanan yang enak pun menjadi pahit dan bahkan terkadang menjadi pantangan.

Kalau sudah demikian, uang jutaan rupiah yang dimilikinya seolah tak ada artinya. Dengan demikian, kesehatan merupakan nikmat terbesar bagi manusia. Nabi Muhammad SAW sendiri seperti dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah di atas, menempatkannya sebagai nikmat terbaik setelah nikmat keimanan.

Dalam konteks ini, amat menarik penafsiran ahli tafsir Ibn Katsir ketika membahas ayat: Rabbana atina fi al-dunya hasanah wafil akhirati hasanah… (QS: 2:201). Menurutnya, muatan ‘kebahagiaan dunia’ yang kita mohonkan kepada Allah dalam ayat itu terdiri dari 10 macam kebahagiaan. Demikian pula kebahagiaan akhirat, juga terdiri dari 10 macam.

Yang menarik dalam tataran ini adalah kebahagiaan dunia yang paling utama dan pertama, menurut Ibn Katsir, adalah nikmat kesehatan. Dalam ibadah sholat, permohonan agar diberi kesehatan menjadi bagian dari doa bacaan sholat, misalnya ketika duduk antara dua sujud dan bacaan qunut.

Doa duduk antara dua sujud adalah: Ya Tuhanku, ampunilah aku, rahmatilah aku, berilah aku rezeki, angkatkanlah derajat diriku, tunjukilah aku, sehatkanlah aku dan maafkanlah aku. Sedangkan doa qunut, di antaranya adalah: Ya Allah, tunjukilah aku dan sehatkanlah aku.

Jadi, Islam sangat mementingkan kesehatan dan menempatkannya sebagai nikmat teratas dan terbesar dalam urutan nikmat yang diterima manusia. Nikmat tersebut wajib kita syukuri, dengan cara menggunakannya untuk berbuat baik, seperti menolong orang kesusahan, memperbanyak ibadah, meningkatkan ilmu pengetahuan, bersilaturahmi, dan seluruh amal saleh yang mendatangkan manfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Namun sangat disayangkan banyak dari kita yang menyia-nyiakan nikmat kesehatan itu. Selain kurang menjaganya, juga menggunakannya untuk hal-hal yang mubazir, atau bahkan bertentangan dengan perintah agama.

Nabi Muhammad SAW menjelaskan, “Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu dalam menggunakannya, yaitu nikmat kesehatan dan nikmat kesempatan.” (HR Bukhari). Selanjutnya Nabi SAW juga bersabda, “Sesungguhnya nikmat pertama yang diminta pertanggungjawabannya pada hari kiamat adalah nikmat kesehatan.” (HR Tarmizi).

Oleh karena itu, kita harus memelihara dan menggunakan nikmat kesehatan itu sebelum kita jatuh sakit. Nabi Muhammad mengingatkan, “Jaga lima sebelum datang yang lima…”. Hal pertama adalah menggunakan kesehatan sebelum sakit.”

Oleh: Agustianto

KHAZANAH REPUBLIKA

Wakaf: Amalan Para Sahabat radhiyallahu’anhum (Bag. 1)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du

Definisi Wakaf

Makna bahasa

Ahli bahasa dan ulama rahimahumullah bersepakat bahwa kata “waqfun” (wakaf) secara bahasa merupakan kata benda dengan mengandung makna ismi maf’ul (objek), yaitu “mauquf” artinya sesuatu yang diwakafkan.

Makna istilah syar’i

Kata “wakaf” menurut mereka secara etimologi bermakna “menahan” dan “mencegah”.

Al-Munawi berkata dalam At-Tauqif ‘ala Muhimmatit Ta’arif,

Al-Waqfu secara bahasa bermakna menahan (mencegah). Dan secara syar’I bermakna,

حبس المملوك وتسبيل منفعته مع بقاء عينه ودوام الانتفاع به

“Menahan/mencegah aset kepemilikan dan membuka pemanfaatannnya (di jalan Allah), disertai tetapnya harta tersebut dan bisa dimanfaatkan secara terus menerus.”  [1]

Tentunya wakaf ini dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Dari penjelasan ini tampaklah hubungan antara makna bahasa dengan makna syar’i, bahwa wakaf adalah menahan aset yang diwakafkan dan mencegah aset tersebut dari dimiliki, diwariskan, dijual, diberikan, dan berlaku hukum selainnya dari hukum-hukum yang terkait dengannya. [2]

Seseorang yang merdeka, memiliki harta yang akan diwakafkan, berakal sehat, baligh, dan rasyid  (baik dalam membelanjakan hartanya, tidak boros) [3], apabila dia dengan sukarela telah mengucapkan ucapan wakaf atau melakukan sesuatu yang menunjukkan tindakan wakaf, maka berarti wakaf telah sah. Dan juga berlaku hukum-hukum wakaf dan hal itu tidak membutuhkan izin Hakim dan pernyataan menerima dari pihak yang berhak menerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih).

Apabila telah sah wakaf tersebut, maka pada obyek wakaf tersebut tidak boleh dilakukan segala bentuk muamalah yang dapat menghilangkan status wakafnya.

Wajib bagi waqif (orang yang berwakaf) untuk menunjuk nazhir (pengurus wakaf) agar wakaf tidak terlantar atau musnah. Namun apabila waqif tidak menunjuk nazhir, maka kepengurusan wakaf diserahkan kepada mauquf ‘alaih, jika mauquf ‘alaih adalah orang atau golongan tertentu (mu’ayyan). [4]

Rukun Wakaf

Ulama rahimahumullah menjelaskan bahwa rukun wakaf itu ada empat [5], yaitu:

Rukun pertamawaqif (orang yang berwakaf), yaitu seseorang yang merdeka, memiliki harta yang diwakafkan, berakal sehat, baligh, dan rasyid (baik dalam membelanjakan hartanya), dan sukarela (tidak dipaksa) dalam berwakaf.

Rukun keduaobyek yang yang diwakafkan (mauquf), yaitu harta tertentu (‘ain) yang mubah pemanfaatannya, dimiliki oleh waqif tatkala mewakafkan, diketahui dengan jelas ketika diwakafkan, pemanfaatannya tahan lama, tidak boleh dimiliki, tidak boleh diwariskan, tidak boleh dijual, dan tidak boleh diberikan, karena kepemilikannya telah kembali kepada Allah. [6]

Rukun ketigapihak yang berhak menerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih), yaitu:

  • Mu’ayyan (orang tertentu, seorang atau lebih, yaitu sekolompok tertentu yang masih bisa dibatasi). Contoh: untuk kemaslahatan anak-anak waqif dan kerabatnya [7]. Dan ini jenis wakafnya disebut wakaf ahli (dzurri) [8].
  • Ghairu mu’ayyan (untuk kemaslahatan umum yang tidak bisa dibatasi). Contoh mushaf Al-Qur’an Al-Karim untuk kaum muslimin, ulama, para ustadz, masjid, rumah sakit, sumur, sekolah, orang-orang faqir miskin [9]. Dan ini jenis wakafnya disebut wakaf khairi.

Rukun keempatsighot (ungkapan akad wakaf), yaitu sebuah ucapan atau perbuatan (yang sesuai dengan adat setempat), dengan itu waqif mewajibkan akad wakaf atas dirinya.

Jumhur ulama menyatakan bahwa sekedar ucapan mewakafkan sesuatu, atau tindakan mencegah suatu aset dari dimiliki yang diiringi dengan niat wakaf, maka ini menyebabkan wakaf berlaku seketika itu juga.

Sebagian ulama ada yang menambahkan rukun kelima, yaitu:

Rukun kelimanazhir (pengurus wakaf), disyaratkan nazhir seorang yang amanah, jujur, dan memiliki pengalaman serta kemampuan mengurus wakaf dan kemaslahatannya [10].

Hikmah Wakaf

Syariat wakaf mengandung hikmah yang demikian besar. Di antaranya adalah memperpanjang masa kebaikan, memperbanyak pahala, serta jaminan sosial bagi fakir miskin, ulama, dan para ustadz. Juga mempererat tali persaudaraan Islam antara orang kaya dan fakir miskin, faktor yang menyebabkan kaum muslimin saling berlomba dalam membuat program wakaf, serta menampakkan keindahan agama Islam. Hal ini karena wakaf adalah kekhususan Islam dan tidak ada di ajaran agama lainnya [11].

Disyariatkannya Wakaf dan Hukum Wakaf

Hukum wakaf menurut jumhur ulama adalah sunnah [12].

Seluruh dalil yang menunjukkan kepada keutamaan dan dorongan bersedekah, maka otomatis berkonsekuensi menunjukkan keutamaan wakaf. Karena wakaf termasuk bentuk sedekah yang paling bisa diharapkan pahala besarnya dan termasuk sedekah paling bermanfaat [13].

Di antara dalil-dalil tersebut adalah:

Dalil wakaf dari Al-Qur’an Al-Karim

Firman Allah Ta’ala,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali-‘Imran: 92)

Firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)

Firman Allah Ta’ala,

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nya-lah kalian dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. (QS. Al-Baqarah: 267)

[Bersambung]

***

Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah

Artikel: Muslim.or.id


Tertarik Wakaf Jam Masjid untuk masjid atau musholah di sekitar rumah Anda? Silakan dapatkan jam masjidnya di sini!

Ingin Hidup Kecukupan? Baca Dua Ayat Terakhir Ini!

SIAPA yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada waktu malam, maka ia akan diberi kecukupan. Sebagian ulama ada yang mengatakan, ia dijauhkan dari gangguan setan.
Ada juga yang mengatakan, ia dijauhkan dari penyakit. Ada juga ulama yang menyatakan bahwa dua ayat tersebut sudah mencukupi dari salat malam. Benarkah?

Dua ayat tersebut, Allah Taala berfirman,

“Rasul telah beriman kepada Alquran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 285-286)

Disebutkan dalam hadis dari Abu Masud Al-Badri radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka ia akan diberi kecukupan.” (HR. Bukhari no. 5009 dan Muslim no. 808)

Hadis di atas menunjukkan tentang keutamaan dua ayat terakhir surat Al-Baqarah.

Para ulama menyebutkan bahwa siapa yang membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah, maka Allah akan memberikan kecukupan baginya untuk urusan dunia dan akhiratnya, juga ia akan dijauhkan dari kejelekan. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa dengan membaca ayat tersebut imannya akan diperbaharui karena di dalam ayat tersebut ada sikap pasrah kepada Allah Taala. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa ayat tersebut bisa sebagai pengganti dari berbagai dzikir karena di dalamnya sudah terdapat doa untuk meminta kebaikan dunia dan akhirat. Lihat bahasan Prof. Dr. Musthafa Al-Bugha dalam Nuzhah Al-Muttaqin, hal. 400-401.

Al-Qadhi Iyadh menyatakan bahwa makna hadits bisa jadi dengan membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah akan mencukupkan dari shalat malam. Atau orang yang membacanya dinilai menggantungkan hatinya pada Alquran.

Atau bisa pula maknanya terlindungi dari gangguan setan dengan membaca ayat tersebut. Atau bisa jadi dengan membaca dua ayat tersebut akan mendapatkan pahala yang besar karena di dalamnya ada pelajaran tentang keimanan, kepasrahan diri, penghambaan pada Allah dan berisi pula doa kebaikan dunia dan akhirat. (Ikmal Al-Muallim, 3: 176, dinukil dari Kunuz Riyadhis Sholihin, 13: 83).

Imam Nawawi sendiri menyatakan bahwa maksud dari memberi kecukupan padanya menurut sebagian ulama- adalah ia sudah dicukupkan dari shalat malam. Maksudnya, itu sudah pengganti shalat malam. Ada juga ulama yang menyampaikan makna bahwa ia dijauhkan dari gangguan setan atau dijauhkan dari segala macam penyakit. Semua makna tersebut kata Imam Nawawi bisa memaknai maksud hadits. Lihat Syarh Shahih Muslim, 6: 83-84.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan tentang keutamaan dua ayat tersebut ketika dibaca di malam hari, “Ketahuilah para ikhwan sekalian, kedua ayat ini jika dibaca di malam hari, maka akan diberi kecukupan. Yang dimaksud diberi kecukupan di sini adalah dijaga dan diperintahkan oleh Allah, juga diperhatikan dalam doa karena dalam ayat tersebut terdapat doa untuk maslahat dunia dan akhirat.” (Ahkam Al-Quran Al-Karim, 2: 540-541).

Semoga bisa mengamalkan untuk membaca dua ayat terakhir Al-Baqarah ini mulai dari malam ini. Semoga kita meraih kebaikan dan keberkahan. Semoga Allah memberi taufik. [rumaysho]

INILAH MOZAIK

Makna Dan Pengertian Tentang Yaumul Mizan

Ikhwatal Iman Ahabbakumulloh, saudara saudariku sekalian yang mencintai Sunnah dan dicintai oleh Alloh ‘Azza wa Jalla.. Iman terhadap Mizan sejatinya termasuk diantara perkara penting dalam Aqidah, yakni meyakini bahwa Mizan adalah sesuatu yang Alloh letakkan dan tegakkan di Hari Kiamat, sebagaimana sabda Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam,

يُوْضَعُ الْمِيْزَانُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَلَوْ وُزِنَ فِيْهِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ لَوَسِعَتْ، فَتَقُوْلُ الْمَلاَئِكَةُ: يَا رَبِّ! لِمَنْ يَزِنُ هَذَا؟ فَيَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: لِمَنْ شِئْتُ مِنْ خَلْقِيْ، فَتَقُوْلُ الْمَلاَئِكَةُ: سُبْحَانَكَ مَا عَبَدْنَاكَ حَقَّ عِبَادَتِكَ.

“Pada hari Kiamat mizan akan ditegakkan. Seandainya ia (Mizan) digunakan untuk menimbang langit dan bumi, niscaya ia akan tetap lapang. Maka Malaikat pun berkata, “Wahai Robb-ku, untuk siapa timbangan ini?”
Alloh berfirman: “Untuk siapa saja dari hamba-hamba-Ku”
Maka Malaikat berkata, “Maha suci Engkau, tidaklah kami dapat beribadah kepada-Mu dengan sebenar-benarnya”
[HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok 8891, di-shohih-kan oleh Al-Albani dalam Silsilah As-Silsilah Ash-Shohihah 941]

Namun sayang banyak diantara kita yang belum memahami apa itu Mizan? Bagaimana bentuknya? Kapan waktunya? Apa dan siapa saja yang ditimbang?

Semoga tulisan ini dapat membantu untuk memberikan pemahaman, dengan izin Alloh Ta’ala.

Pengertian Mizan secara bahasa

ما تقدر به الأشياء خفة وثقلا

“Sesuatu yang digunakan untuk mengukur sebuah benda berdasarkan ringan dan berat”

Pengertian Mizan secara syar’i

ما يضعه الله يوم القيامة لوزن أعمال العباد، وقد دل عليه الكتاب والسنة وإجماع السلف

“Sesuatu yang Alloh letakkan pada hari Kiamat untuk menimbang segala amalan hamba-Nya”
(Syarah Lum’atul I’tiqod, Syeikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin, 120)

Ketika menjelaskan Kitab Lum’atul I’tiqod, Syeikh Kholid Muslih yang merupakan menantu dari Syeikh ‘Utsaimin rohimahulloh juga mengatakan

والميزان معروف في كلام العرب، وهو ما يوزن به الشيء، والوزن للأعمال هو الأصل، كما قال النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم: كلمتان خفيفتان على اللسان، ثقيلتان في الميزان: سبحان الله وبحمده سبحان الله العظيم
ولا تقل: كيف يوزن العمل؟ فيوم القيامة شأنه مختلف عن شأن الدنيا؛ فإن الأعمال يكون لها وزن عند الله عز وجل يزنها بها سبحانه وتعالى، فنحن نؤمن بالميزان، لكن لا ندرك كيفية الوزن؛ لأن حقائق ما أخبر الله به مما يكون في الآخرة أمر لا تتصوره العقول بل نؤمن بما أخبر الله به ورسوله على مراد الله وعلى مراد رسوله

“Mizan adalah hal yang lazim dalam perkataan arab, yakni sesuatu yang digunakan untuk menimbang, dan hukum asalnya adalah menimbang amalan. Sebagaimana sabda Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam; ‘2 kalimat yang ringan di lisan, berat di mizan: Subhanallohu wabihamdih, Subhanallohi ‘adzim’ [HR Bukhori 7563, Muslim 2694]”

“Dan jangan engkau katakan: ‘Bagaimana mungkin amalan atau perbuatan bisa ditimbang?’
Ketahuilah, sesungguhnya kejadian di Hari Kiamat berbeda dengan kejadian di Dunia. Semua amalan ada kadarnya disisi Alloh dan akan ditimbang olehNya. Maka hendaklah kita beriman dengan Mizan tanpa menanyakan bagaimana proses atau metodenya, karena hakikat dari apa yang Alloh kabarkan tentang kejadian di Akhirat adalah perkara yang tidak mampu dicerna oleh akal. Cukup kita yakini sebagaimana yang dikabarkan Alloh dan RosulNya, serta sesuai dengan kehendak Alloh dan RosulNya”
(Syarah Lum’atul I’tiqod, Syeikh Kholid Mushlih 13/6, Maktabah Syamilah)

Dan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah pun disebutkan

الميزان في الآخرة هو الميزان الذي ينصبه الله عز وجل يوم القيامة لإظهار مقادير أعمال الخلق، خيرها وشرها، والتي يحاسبهم الله عليها، وهو ميزان دقيق، لا يزيد ولا ينقص، ولا يَقْدِرُ قَدْرَ هذا الميزان إلا الله تعالى

“Mizan di Akhirat adalah timbangan yang Alloh sediakan di Hari Kiamat untuk menampakkan kadar amal seorang hamba, baik ataupun buruk. Mizan merupakan timbangan yang detail, tidak akan bertambah dan tidak akan berkurang. Serta tidak ada yang mampu mengetahui kadar timbangan ini selain Alloh”

Referensi: islamweb pembahasan الإيمان-بالميزان-يوم-القيامة

Kapan Yaumul Mizan itu terjadi?

Imam Qurthubi rohimahulloh mengakan;

إذا انقضى الحساب كان بعده وزن الأعمال

“Apabila hisab atau perhitungan amal telah selesai, maka setelahnya adalah timbangan amal”

Beliau juga menjelaskan alasannya

فإن المحاسبة لتقدير الأعمال، والوزن لإظهار مقاديرها؛ ليكون الجزاء بحسبها

“Hisab atau perhitungan sejatinya untuk mengetahui kadar amalan, sementara timbangan untuk menampakkan kadar amalan, serta menjadi balasan atas perhitungan amal tersebut”
(At-Tadzkiroh 309).

Apa yang ditimbang?

Syeikh Kholid Muslih telah menjelaskan diatas bahwa hukum asal Mizan adalah menimbang amalan, apakah ada yang ditimbang selain amalan? Ya ada.

Beliau melanjutkan perkataannya;

ذكرنا أن الأصل في الوزن أن يكون للأعمال، ولكن هل يوزن غير الأعمال؟ نعم يوزن العمال وتوزن الصحائف

“Telah kita sebutkan bahwa hukum asal Mizan adalah untuk amal, akan tetapi apakah juga akan ditimbang selain amalan? Ya, pelaku amal dan lembar catatan amal juga akan ditimbang”
(Syarah Lum’atul I’tiqod, Syeikh Kholid Mushlih 13/6, Maktabah Syamilah)

Ditempat yang lain beliau juga mengulang dan menjelaskan perkataan Ibnu Qudamah,

قال رحمه الله: (وتوزن به) أي بالميزان (الأعمال) وذكرنا أن الوزن يكون للعمل وللعامل وللصحائف

Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata: “(Dan ditimbang dengannya) yakni dengan Mizan, (Amalan-amalan) telah kita sebutkan bahwa Mizan digunakan untuk Amal, Pelaku Amal, dan Lembar Catatan Amal”
(Syarah Lum’atul I’tiqod, Syeikh Kholid Mushlih 13/8, Maktabah Syamilah)

Berikut dalil dan landasan tentang 3 hal yang akan ditimbang di Mizan kelak;

1. Amal

Tentang Mizan Amal telah kita nukilkan dalilnya diatas, yakni Hadist tentang 2 kalimat yang ringan di lisan namun berat di Mizan, Subhanallohu wabihamdih, Subhanallohi ‘adzim’.

Atau contoh yang lain, seperti Hadits tentang Akhlak Mulia dari Sahabat Abu Darda rodhiallohu ‘anhu,

مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ

“Tidak ada sesuatu yang lebih berat di Mizan selain akhlak mulia”
[HR Abu Daud 4799 dan Tirmidzi 2002]

Maksud Hadits ini tentu saja bukan membandingkan Akhlak dengan Tauhid, tapi yang dimaksud dari Hadits ini adalah

حسن خلق العبد المؤمن ، الموحد لرب العالمين

“Akhlak Mulia seorang yang beriman, yakni orang yang mentauhidkan Alloh Robb Penguasa Alam.”

2. Catatan Amal

Bagaimana dengan Mizan Lembar Catatan Amal, apa dalilnya? Dalilnya adalah Hadits tentang Kartu atau Bithoqoh, dari sahabat Abdulloh bin ‘Amr bin ‘Ash rodhiallohu ‘anhu

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ سَيُخَلِّصُ رَجُلًا مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ سِجِلًّا كُلُّ سِجِلٍّ مِثْلُ مَدِّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُولُ أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا أَظَلَمَكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ أَفَلَكَ عُذْرٌ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً فَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتَخْرُجُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فَيَقُولُ احْضُرْ وَزْنَكَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَقَالَ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ قَالَ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كَفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كَفَّةٍ فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ فَلَا يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَيْءٌ

Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sejatinya Alloh akan menyelamatkan seorang laki-laki dari umatku di hadapan manusia pada hari kiamat, dihamparkan kepadanya 99 catatan amal miliknya, setiap lembar catatan amal besarnya sejauh mata memandang.
Kemudian Alloh berfirman; ‘Apakah kamu mengingkari sesuatu dari catatan-catatan ini? Apakah para penulisku (Malaikat) yang bertugas menjaga atau mencatat (amal manusia) mendzolimimu?’dia menjawab; ‘Tidak wahai Robbku’,
Alloh bertanya; ‘Apakah kamu mempunyai udzur atau alasan (bagi amal burukmu)?’ dia menjawab; ‘Tidak wahai Robbku’,
Alloh berfirman; ‘Tidak demikian, sejatinya engkau mempunyai kebaikan di sisi Kami, karena itu tidak ada kedzoliman atasmu pada hari ini’. Lalu keluarlah kartu amal kebaikan, yang di dalamnya tercatat bahwa; saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Alloh, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan RosulNya’
Lalu Alloh berfirman; ‘Hadirkan amal timbanganmu!’ dia berkata; ‘Wahai Robbku, apa (artinya) satu kartu amal ini (bila) dibandingkan buku catatan besar ini?’ Alloh berfirman; ‘Sejatinya engkau tidak akan didzolimi’”
Nabi melanjutkan; ‘Lalu diletakkanlah lembar catatan amal pada satu sisi, dan kartu amal pada sisi lainnya, maka lembar catatan amal itu ringan (timbangannya) sedangkan kartu amal itu berat, tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dibandingkan nama Alloh”
[HR Tirmidzi 2563].

3. Pelaku Amal

Adapun Mizan Pelaku Amal atau ‘Aamil, dalil yang masyhur adalah kisah tentang betis milik Abdulloh Ibnu Ma’sud rodhiallohu ‘anhu, Imam Ahmad menyebutkan dalam musnadnya

أَنَّهُ كَانَ يَجْتَنِي سِوَاكًا مِنْ الْأَرَاكِ وَكَانَ دَقِيقَ السَّاقَيْنِ فَجَعَلَتْ الرِّيحُ تَكْفَؤُهُ فَضَحِكَ الْقَوْمُ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّ تَضْحَكُونَ قَالُوا يَا نَبِيَّ اللَّهِ مِنْ دِقَّةِ سَاقَيْهِ فَقَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُمَا أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ أُحُدٍ

Dari Ibnu Mas’ud bahwa ia memetik siwak dari pohon Arak dan ia memiliki betis yang kecil, tiba-tiba angin menyingkap kedua kakinya lalu orang-orang menertawakannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apa yang kalian tertawakan?” Mereka menjawab; Wahai Nabiyullah, kami menertawakan betisnya yang kecil.
Maka beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh kedua betisnya lebih berat timbangannya dari gunung Uhud”
[HR Ahmad 3792]

Dalam Hadits Muttafaqun ‘Alaihi juga disebutkan tentang seseorang yang timbangannya tidak lebih dari sayap seekor nyamuk. Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda

إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ وَقَالَ اقْرَءُوا
” فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا “

“Sungguh pada hari kiamat akan datang seseorang yang berbadan gemuk namun di sisi Allah timbangannya tidak dapat melebihi berat sayap seekor nyamuk. (Lalu Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam mengatakan) Bacalah ayat;

فَلَا نُقِيمُ لَهُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَزۡنٗا

‘Maka Kami tidak memberikan penimbangan terhadap (amal) mereka pada hari kiamat’ (QS Al-Kahfi 105)”
[HR Bukhori 4360, Muslim 4991]

Ikhwatal Iman Ahabbakumulloh, saudara saudariku sekalian yang mencintai Sunnah dan dicintai oleh Alloh ‘Azza wa Jalla.. Ada silang pendapat dikalangan para ‘Ulama tentang 3 hal yang akan ditimbang di Mizan kelak pada Hari Kiamat, apakah ketiga hal tersebut berlaku secara umum dan menyeluruh yakni kepada seluruh makhlukNya atau tidak?

Sebagian ‘Ulama berpendapat bahwa yang ditimbang adalah Amalnya saja, sebagian yang lain berpendapat Catatan Amalnya saja, dan sebagian yang lain berpendapat Orangnya saja, semua dengan dalil-dalil yang telah kita sebutkan diatas.

Mana yang benar? Syeikh ‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan,

لا شك أن الاستدلال بحديث ابن مسعود وحديث صاحب البطاقة لا يقاوم الأدلة الدالة من القرآن والسنة على أن الذي يوزن هو العمل، ولهذا صرح شيخ الإسلام ابن تيمية في العقيدة الواسطية فقال : تنصب الموازين فتوزن بها أعمال العباد ، وهذا هو الحق، لكن حديث البطاقة قد يقال : إن هذا خاص به وبأمثاله من أجل أن يتبين له فضل الله عز وجل عليه، وقد يقال : إنه لما وزنت الصحيفة وثقلت بحسب العمل، فإن الوزن حقيقة يكون للعمل

وأما حديث ابن مسعود والآية فلا تدل على ذلك؛ لأن معنى لا نقيم لهم وزناً يعني لا نقيم لهم قيمة، كما نقول: فلان ليس له عندي وزن؛ أي لا قيمة له ولا اعتبار، وأما حديث ابن مسعود رضي الله عنه فأراد النبي صلى الله عليه وسلم أن يبين أن خفة الجسم لا تدل على قلة العمل، أو على خفته، وليس بذاك الصريح. وعلى ذلك فالمعتمد أن الذي توزن هي الأعمال نفسها

“Tidak dipungkiri bahwa pendalilan dengan Hadits Ibnu Mas’ud (tentang betis beliau) dan Hadits Bithoqoh (tentang kartu) tidak kontradiksi dengan dalil-dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah bahwa yang ditimbang adalah Amal, karenanya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh mengatakan dalam Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah ; ‘Diletakkan timbangan-timbangan, dan ditimbang dengannya Amalan-amalan hamba’, ini adalah perkataan yang benar. Dan Hadits tentang Bithoqoh dapat dimaknai bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang Alloh khususkan kepada hambaNya sebagai Anugerah dariNya, juga dapat dimaknai bahwa ketika catatan amal ditimbang lalu berat karena amal, maka hakikat dari timbangan adalah amal itu sendiri.

Adapun Hadits Ibnu Mas’ud dan Ayat (tentang timbangan pelaku amal), tidaklah dimaknai demikian. Sebab makna (ayat) ‘Kami tidak memberikan penimbangan terhadap (amal)’ (QS Al-Kahfi 105) adalah tidak memberikan nilai, sebagaimana perkataan ‘Fulan tidak sebanding denganku’ bermakna ‘Fulan tidak ada nilainya, tidak jadi perhitungan’. Dan dalam Hadits Ibnu Mas’ud, Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam ingin menjelaskan bahwa ringannya jasad tidak berarti ringannya amal. Oleh karena itu, yang tepat (hukum asal) dari sesuatu yang ditimbang adalah amal itu sendiri”
(Syarah Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah 473)

Penjelasan ini sejatinya senada dengan apa yang disampaikan Syeikh Kholid Muslih pada pengertian mizan diatas, yakni hukum asal Mizan adalah untuk Amal. Penjelasan inilah yang Insya Alloh lebih menenangkan hati karena lebih mengumpulkan pendapat-pendapat yang ada dan tidak meniadakan pendapat lain, yakni menganggap bahwa mizan untuk catatan amal dan pelaku amal itu ada, namun khusus untuk sebagian orang saja.

Siapa saja yang ditimbang? Apakah amalan orang kafir juga ditimbang?

Syeikh Kholid Muslih menerangkan maksud dari Ibnu Qudamah rohimahulloh

فقوله رحمه الله: (وتنصب الموازين) ، المقصود فيه الموازين التي توزن بها الأعمال والعمال وسجلات العمل، وهذا كله في حق أهل الإيمان، أما الكفار فليس لهم حسنات توزن، بل كل ما قدموه من حسنات يذهب هباء منثوراً

“Perkataan Ibnu Qudamah rohimahulloh: (Diletakkan Timbangan) Maksudnya adalah timbangan-timbangan yang akan menimbang amalan, pelaku amal, serta catatan amal. Dan ini semua adalah hak dari orang-orang yang beriman. Adapun orang-orang kafir maka tidak ada pada mereka kebaikan yang ditimbang, sebab semua kebaikan yang telah mereka lakukan telah pergi seperti debu yang bertebangan”
(Syarah Lum’atul I’tiqod, Syeikh Kholid Mushlih 13/6, Maktabah Syamilah)

Semoga bermanfaat, Wallahu A’lam Bisshowab.

Ditulis oleh:
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله
Selasa, 25 Shafar 1441 H/ 13 Oktober 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

4 Adab Kepada Orang tua, Semasa Hidupnya dan Sepeninggalnya

Ikhwatal Iman Ahabbakumulloh, saudara saudariku sekalian yang mencintai Sunnah dan dicintai oleh Alloh ‘Azza wa Jalla.. Orangtua adalah Mutiara dalam kehidupan kita, banyak sekali ayat Al-Quran yang membahas tentang kewajban bakti pada orangtua. Dan dengan banyaknya dalil tersebut ada satu hal yang harus digarisbawahi, yakni adab kepada orangtua bukanlah hukum sebab akibat, tapi perintah langsung dari Alloh.
Tidak peduli bagaimana keadaan dan masa lalu orangtua kita, baik atau buruk, tanggung jawab atau tidak, peduli atau cuek, bakti kepada mereka tidak akan gugur. Jangan dianggap kita wajib berbakti ketika orangtua sayang saja, ketika orangtua sabar saja, atau ketika sering membelikan hadiah saja, karena memang berbakti pada orangtua bukanlah hukum sebab akibat. Bahkan Alloh telah mengaitkan kewajiban bakti kepada mereka setahap setelah kewajiban utama seorang hamba, yakni mentauhidkan Alloh ‘Azza wa Jalla

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا

“Sembahlah Alloh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah pada kedua orangtua”
(QS An-Nisaa 36]

قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ

“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, dan berbuat baiklah pada kedua orangtua”
(QS Al-An’am 151)

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan berbuat baiklah pada kedua orangtua”
(QS Al-Israa 23)

Dipenghujung surat Al-Israa ayat 23 diatas Alloh juga langsung memberikan contoh kasus perihal adab berbicara pada orangtua

إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا

“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka serta ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”
(QS Al-Isra 23)

Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat diatas mengatakan

أي لا تسمعهما قولا سيئا حتى ولا التأفيف الذي هو أدنى مراتب القول السيئ

“Maksudnya jangan memperdengarkan kepada orang tua perkataan yang buruk. Bahkan sekedar ‘Ah’ yang ini merupakan tingkatan terendah dari perkataan yang buruk”
(Tafsir Ibnu Katsir)

Lebih dari itu, perintah berbakti pada orangtua sejatinya bukan hanya ajaran Islam, Alloh pun telah mengambil perjanjian dengan Bani Isroil untuk berbuat baik pada orangtua, sayangnya sebagian besar dari mereka berpaling dan tidak memenuhi janji itu

وَإِذۡ أَخَذۡنَا مِيثَٰقَ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ لَا تَعۡبُدُونَ إِلَّا ٱللَّهَ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَانٗا وَذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسۡنٗا وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ ثُمَّ تَوَلَّيۡتُمۡ إِلَّا قَلِيلٗا مِّنكُمۡ وَأَنتُم مُّعۡرِضُونَ

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”
(QS Al-Baqoroh 83).

Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam juga mengabarkan bagaimana kedudukan orangtua dalam kehidupan kita di dunia maupun di akhirat,

الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوِ احْفَظْهُ

“Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu atau kalian bisa menjaganya”
[HR Tirmidzi 1822, Ibnu Majah 3563 dan Ahmad 26272]

Adapula Hadits yang membahas tentang komparasi dan tingkatan antara bakti pada orangtua dengan amal sholih lainnya, yakni Hadits Abdulloh bin Mas’ud rodhiallohu ‘anhu ketika beliau bertanya kepada Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam; Amalan apa yang paling dicintai Alloh? Lalu Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam mengatakan

قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Sholat tepat pada waktunya”,
Abdulloh bin Mas’ud bertanya lagi; “Kemudian apa?”
Beliau sholallohu ‘alaihi wasallam menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua”
Abdulloh bin Mas’ud bertanya; “Kemudian apa lagi?”,
Beliau sholallohu ‘alaihi wasallam menjawab: “Berjuang (Jihad) di jalan Alloh”
[HR Bukhori 5513]

Bakti pada orangtua atau Birrul Walidain yang disebutkan dalam Hadits diatas lebih tinggi kedudukannya dibanding Jihad, alias lebih didahulukan dibanding Jihad, padahal kita tahu bahwa Jihad adalah puncak perkara didalam Islam.

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ

“Pokok segala perkara adalah Islam, tiang-tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad”
[HR Tirmidzi 2616 dan Ibnu Majah 3973]

Bagaimana maksudnya? Apakah Jihad memang kedudukannya lebih rendah dibanding Birrul Walidain? Hal ini perlu dirinci, Jihad yang sifatnya Fardhu ‘Ain kedudukannya tetap lebih tinggi dibanding Birrul Walidain sebagaimana Hadits riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah diatas, adapun Jihad yang sifatnya Fardhu Kifayah maka Birrul Walidain-lah yang lebih tinggi kedudukannya.

Sama halnya dengan menuntut Ilmu, jika Ilmu itu tentang Mentauhidkan Alloh, tentang Fiqih Ibadah Tatacara Sholat, atau hal-hal lain yang sifatnya mendesak maka menuntut Ilmu yang demikian lebih didahulukan dibanding Birrul Walidain. Sementara menuntut Ilmu yang sifatnya tidak mendesak, seperti tentang Waris padahal dia tidak punya Waris, atau tentang Haji padahal dia belum mau Haji, maka yang demikian ini Birrul Walidain-lah yang harus lebih didahulukan

Sebagai penjabaran, Insya Alloh akan kita bagi adab kepada orangtua menjadi 2 bahasan, semasa hidupnya dan sepeninggalnya.

Adab kepada orangtua saat masih hidup

Banyak sekali macam dan contoh adab kepada orangtua semasa hidupnya, namun garis besarnya adalah 3 hal berikut ini

1. Ketaatan

Menaati keduanya baik dalam hal perintah ataupun larangan, selama tidak termasuk perbuatan maksiat kepada Alloh. Sebab tidak ada ketaatan kepada Makhluk dalam hal bermaksiat kepada Khloliq.

وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ

“Dan jika keduanya (orangtua) memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik”
(QS Luqman 15).

Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

”Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf”
[HR Bukhori 6716, Muslim 3424].

Perkara yang ma’ruf didefinisikan oleh Syeikh As-Sa’diy:

المعروف : الإحسان والطاعة وكل ما عرف في الشرع والعقل حسنه

“Al-Ma’ruf artinya perbuatan kebaikan dan perbuatan ketaatan dan semua yang diketahui baiknya oleh syariat dan oleh akal sehat”
(Tafsir As Sa’di, 1/194-196).

2. Penghormatan

Menghormati atau mengagungkan keduanya, memuliakan keduanya dengan perkataan maupun perbuatan, seperti tidak mengangkat suara (berbicara lebih keras) dari suara keduanya, mendahulukan keduanya (bagi laki-laki) daripada istri dan anaknya, tidak bepergian dari rumah kecuali dengan izin dan ridho dari keduanya. Diantara dalilnya adalah kebiasaan para sahabat,

وإذا تكَلَّمَ خَفَضُوا أصواتَهم عندَه وما يُحِدُّون إليه النظرَتعظيمًا له

“Jika para sahabat berbicara dengan Rosululloh, mereka merendahkan suara mereka dan mereka tidak memandang tajam sebagai bentuk pengagungan terhadap Beliau sholallohu ‘alaihi wasallam”
[HR Bukhori 2529].

Inilah yang dilakukan oleh para sahabat di hadapan Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam yang mereka hormati seperti orang tua mereka.

Juga apa yang dilakukan Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhuma dengan tidak mendahulukan perkataannya jika ada yang lebih tua umurnya dibanding dirinya ,

كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُتِيَ بِجُمَّارٍ فَقَالَ إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً مَثَلُهَا كَمَثَلِ الْمُسْلِمِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَقُولَ هِيَ النَّخْلَةُ فَإِذَا أَنَا أَصْغَرُ الْقَوْمِ فَسَكَتُّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هِيَ النَّخْلَةُ

‘Kami pernah bersama Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam, lalu Beliau dipertemukan dengan jama’ah (sekelompok orang). Kemudian Beliau bersabda: “Sesungguhnya diantara pohon ada suatu pohon yang merupakan perumpamaan bagi seorang muslim”,
Aku ingin mengatakan bahwa itu adalah pohon kurma namun karena aku yang termuda maka aku diam. Lalu Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itu adalah pohon kurma”

[HR Bukhori 70, Muslim 5027, Ahmad 4371]

Lihatlah bagaimana sikap Ibnu Umar rodhiallohu anhu yang menahan diri untuk tidak berbicara, padahal sebenarnya Ibnu ‘Umar mampu ketika itu, tidak diragukan lagi demikianlah seharusnya kita bersikap dihadapan orang tua.

3. Pelayanan

Berbakti pada keduanya dengan segala bentuk kebaikan yang bisa dilakukannya, baik itu pelayanan berupa pemenuhan kebutuhan makanan atau pakaian, juga perlindungan dari segala yang bisa membahayakan dunia akhiratnya.

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzhaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Siapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Alloh akan membantu kebutuhannya. Siapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Alloh menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari qiyamat. Dan siapa yang menutupi aib seorang muslim maka Alloh akan menutup aibnya pada hari qiyamat”
[HR Bukhori 2262].

Jika pemenuhan kebutuhan pada saudara saja memiliki ganjaran yang besar, apalagi jika pada orangtua. Karenanya ketika membahas tentang peruntukan harta, Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam mengatakan

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ

“Manfaatkanlah untuk dirimu sendiri, bila ada sisanya maka untuk keluargamu, jika masih tersisa, maka untuk kerabatmu, dan jika masih tersisa, maka untuk orang-orang di sekitarmu”
[HR Muslim 1663]

Sungguh, orangtua adalah orang yang paling berhak untuk dipenuhi kebutuhannya setelah diri sendiri dan keluarga, terlebih jika orangtua keadaannya tidak mampu dan anaknya mampu.

Adab kepada orangtua setelah meninggal

Adapun adab sepeninggal orangtua, rujukan dalilnya adalah Hadits dari Abu Usaid rodhiallohu ‘anhu, ketika menceritakan seorang laki-laki dari golongan Anshor yang datang dan bertanya; “Wahai Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam, apakah masih tersisa kewajiban atasku untuk berbuat baik kepada orang tuaku setelah kematian mereka berdua?”, Beliau sholallohu ‘alaihi wasallam menjawab;

نَعَمْ خِصَالٌ أَرْبَعَةٌ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا رَحِمَ لَكَ إِلَّا مِنْ قِبَلِهِمَا فَهُوَ الَّذِي بَقِيَ عَلَيْكَ مِنْ بِرِّهِمَا بَعْدَ مَوْتِهِمَا

“Ya, masih tersisa empat perkara yaitu: mendoakan untuk mereka berdua, meminta ampunan mereka, memenuhi janji mereka yang belum terselesaikan dan memuliakan teman teman mereka serta silaturrahim yang sebenarnya tidak berhubungan dengan kamu kecuali dari jalur mereka. Itulah semua yang tersisa dari kewajibanmu untuk berbuat kebaikan kepada orang tuamu setelah mereka meninggal”
[HR Ahmad 15479, Abu Daud 4476 dan Ibnu Majah 3654]

Dari 4 hal yang tersebut diatas,
1. Mendoakan orangtua
2. Meminta ampunan untuk orangtua
3. Memenuhi janji orangtua
4. Memuliakan teman-teman orangtua dengan bersilaturrohim kepada mereka

Poin terakhirlah yang paling sering dilewatkan, sementara 3 poin pertama biasanya menjadi kewajiban yang mudah diingat karena keluarga dan anak-anaknya akan saling mengingatkan satu sama lain.

Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam mengabarkan pada kita tentang keistimewaan poin terakhir agar tidak meremehkannya

إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ

“Sejatinya sebaik-baik bentuk bakti (berbuat baik) adalah seseorang menyambung hubungan dengan keluarga dari kenalan baik ayahnya”
[HR Muslim 2552]

Semoga kita semua tercatat sebagai anak yang beradab kepada orangtua, sehingga kelak anak-anak kita pun semakin beradab kepada kita

Semoga bermanfaat, Wallahu A’lam Bisshowab.

Ditulis oleh:
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله
Selasa, 25 Shafar 1441 H/ 13 Oktober 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Abdulfattah bin Sulaiman Terlibat dalam Aplikasi Eatmarna

Abdulfattah bin Sulaiman Mashat telah menjadi Wakil Menteri Haji dan Umrah Saudi sejak pengangkatannya pada Oktober 2017. Mashat sebelumnya menjabat peran kunci di beberapa universitas negeri. Dia adalah presiden Universitas Jeddah antara Juni 2016 dan Oktober 2017.

Sebelumnya, dia memegang beberapa posisi kunci di Universitas King Abdul Aziz (KAU) di Jeddah, di mana dia mengabdi selama 11 tahun. Tanggung jawabnya termasuk mengawasi perencanaan akademik dan strategis KAU, akreditasi internasional dan kelembagaan, penelitian kelembagaan dan jaminan kualitas. Dia juga wakil presiden departemen pengembangan di KAU antara 2013 dan 2016.


Dilansir dari Arab News, Kamis (8/10), Dr. Mashat juga dekan penerimaan dan pendaftaran dan direktur pusat teknologi informasi di KAU. Selama masa jabatannya, posisi KAU dalam tabel peringkat dunia universitas meningkat. Antara 2004 dan 2013, Dr. Mashat adalah konsultan paruh waktu untuk Presidensi Umum Dua Masjid Suci dan terlibat dalam pengembangan sistem e-government.

Mashat memiliki gelar sarjana dalam ilmu komputer dari KAU, serta gelar master dan Ph.D. dalam ilmu komputer dari University of Leeds di Inggris.

Dia mengunjungi paviliun Kementerian Dalam Negeri Saudi di GITEX Technology Week di Dubai pada hari Senin. Dia diterima oleh Mayor Jenderal Fahd bin Zarah, wakil menteri dalam negeri Saudi untuk Kemampuan Keamanan, dan diberi pengarahan tentang isi paviliun.

Mashat juga terlibat dalam aplikasi Eatmarna yang dikeluarkan oleh Kementerian Haji dan Umrah. Ini memungkinkan jamaah Umroh untuk meminta izin memasuki Dua Masjid Suci dan membatasi kapasitas sesuai dengan tindakan pencegahan kesehatan Kerajaan.

“Aplikasi Eatmarna berkontribusi pada proses penyelenggaraan masuk Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah, yang menandakan bahwa aplikasi tersebut akan terus berlanjut hingga setelah pandemi, karena kami mengharapkan hasil yang positif dari aplikasi tersebut,” ujar Dr. Mashat.

IHRAM



Sudahkah Anda mendownload dan menginstal Aplikasi Cek Porsi Haji terbitan Albani Studio di smartphone Android Anda? Silakan Download di sini!

Bolehkah Ngutang untuk Umroh dan Haji?

Sarat berangkat haji maupun umroh adalah istitha’ah atau adanya kemampuan untuk menunaikannya. Kemampuan tidak sebatas fisik, mampu secara finansial tanpa ngutang juga penting.

Banyaknya program dari lembaga jasa keuangan membuat masyarakat ketika berhaji atau umroh mengambil utang. Apakah dapat dikategorikan sebagai orang yang mampu jika seorang yang berhutang untuk berangkat haji atau umroh?

Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) KH Mahbub Maafi dalam bukunya “Tanya Jawab Fiqih Sehari-hari” menjawab dalam konteks pertanyaan ini. Menurutnya ada penjelasan menarik dari penulis kitab Mawahib Al Jalil Syarah Al Mukhtashar Al Khalil yang menurutnya dianggap cukup memadai untuk dijadikan acuan dalam menjawab pertanyaan di atas.

Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa jika ada seseorang tidak bisa sampai ke Makkah kecuali dengan cara berhutang, sedangkan ia sebenarnya tidak mampu membayarnya, maka dalam konteks ini ia tidak wajib haji. Ini adalah pandangan yang telah disepakati para ulama.

Berbeda ketika orang tersebut mampu membayar utangnya, maka ia dikategorikan sebagai orang yang mampu. Karenanya ia wajib melaksanakan haji meskipun dengan cara berhutang. Sebab, kemampuan dia untuk membayar hutang menyebabkan ia dianggap sebagai orang yang sudah istitha’ah memiliki kemampuan.

Menurutnya berpijak dari penjelasan di atas, berhutang untuk menjalankan umroh sebenarnya tidak ada persoalan sepanjang orang tersebut diyakini akan mampu membayarnya. Dan ia termasuk kategori sebagai orang yang istitha’ah, sedangkan istitha’ah itu sendiri adalah salah satu syarat dalam umroh sebagai jelaskan di awal.

“Lain halnya jika seorang berhutang untuk menunaikan ibadah umroh padahal Ia tidak memiliki kemampuan untuk melunasinya. Maka dalam hal ini jelas ia memaksakan diri padahal Ia bukan masuk kategori orang yang istitha’ah,” katanya.

Demikian menjadi pertimbangan bagi orang yang punya niat menunaikan ibadah Umroh. Kiai Mahbub menyarankan sebaiknya jangan dengan berhutang meskipun dia mampu membayar utangnya untuk umroh.

“Lebih baik kumpulkan biaya dulu dengan cara menabung. Sebab beresiko berutang ini sangat besar,” katanya.

IHRAM


Keadaanmu Tidak Akan Mengganggu Tujuan Hidupmu!

Allah Swt Berfirman :

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS.Adz-Dzariyat:56)

Seseorang yang memahami tujuan manusia diciptakan, ia tidak akan pernah menyalahkan keadaan.

Tujuan penciptaan manusia bukanlah agar mereka menjadi kaya, maka sedikit banyaknya hartamu tidak akan mempengaruhi tujuan hidupmu !

Tujuan penciptaan manusia bukanlah agar mereka menjadi ceria, maka sedikit banyaknya “musibah” yang menimpamu tidak akan mengganggu tujuanmu hidupmu !

Tujuan penciptaan manusia bukanlah agar mereka menjadi penguasa, maka apapun statusmu dalam hidup ini, apakah menjadi bos, karyawan, atasan, bawahan atau apapun itu tidak akan mempengaruhi tujuan hidupmu !

Tujuan penciptaan manusia bukanlah agar mereka menjadi populer, maka bentuk wajahmu dan bentuk tubuhmu tidak akan mempengaruhi tujuan hidupmu.

Tujuan penciptaan manusia bukanlah agar mereka memiliki banyak teman, maka sedikit banyaknya relasimu tidak mempengaruhi tujuan hidupmu.

Tujuan hidupmu bisa tercapai walau engkau dalam keadaan miskin, sedih, sendiri, terdzalimi, terusir, sakit ataupun di hinakan. Karena tujuan engkau di ciptakan bukan untuk meraih itu semua. Tapi tujuan engkau di beri kehidupan oleh Allah Swt agar menghamba kepada-Nya.

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS.Adz-Dzariyat:56)

Dan apapun kondisi dan keadaanmu tidak akan menghalangimu untuk menjadi hamba yang sebenarnya !

Dan renungkanlah, apabila engkau benar-benar menghamba kepada-Nya maka pasti engkau akan memperoleh ketentraman hidup.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Rezeki dari Tuhanmu Lebih Baik dan Lebih Kekal!

Allah Swt Berfirman :

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيۡنَيۡكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعۡنَا بِهِۦٓ أَزۡوَٰجٗا مِّنۡهُمۡ زَهۡرَةَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا لِنَفۡتِنَهُمۡ فِيهِۚ وَرِزۡقُ رَبِّكَ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰ

“Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS.Tha-Ha:131)

Ayat yang mulia ini mengandung sebuah larangan, alasan dan penyelesaian.

Di bagian pertama adalah larangan, yaitu :

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيۡنَيۡكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعۡنَا بِهِۦٓ أَزۡوَٰجٗا مِّنۡهُمۡ زَهۡرَةَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا

“Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia…”

Di bagian kedua adalah alasan dari pernyataan sebelumnya, yaitu :

لِنَفۡتِنَهُمۡ فِيهِۚ

“…agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu…”

Adapun di akhir ayat itu adalah solusi dan penyelesaiannya, yaitu :

وَرِزۡقُ رَبِّكَ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰ

“Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.”

Ayat ini melarang kita untuk sibuk dan silau dengan kekayaan para konglomerat yang tenggelam dalam berbagai kenikmatan dunia. Karena hal ini adalah sebab utama yang menjadikan manusia lupa dengan Allah dan selalu mengejar kenikmatan dunia dengan segala cara.

Kita harus menyadari bahwa kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba adalah ujian besar baginya. Dan setiap ujian memiliki konsekuensi bila ia tidak berhasil melaluinya.

Sebesar apapun kenikmatan yang di dapatkan oleh seseorang, sebanyak apapun harta yang di milikinya, semua itu hanya sementara dan akan hilang dalam sekejap mata. Bagaimana seseorang merasa bangga dengan semua yang ia miliki padahal ia tidak pernah tau kapan ajalnya akan tiba? Bisa malam ini. Bisa besok. Dan bisa kapan saja.

Karenanya ayat di atas memberikan sebuah perumpaan kenikmatan ini hanya sebagai “bunga kehidupan dunia”. Layaknya bunga ia hanya berfungsi sebagai hiasan yang dalam waktu singkat akan layu dan gugur.

Semua kenikmatan ini sungguh singkat masanya dan ajal manusia sangat sangat dekat. Bunga memang enak dipandang mata tapi masa segarnya hanyalah sesaat saja.

وَرِزۡقُ رَبِّكَ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰ

“Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.”

Inilah jawabannya ! Rezeki Allah jauh lebih baik dan lebih kekal baik rezeki kebaikan di dunia ataupun pahala di akhirat. Karena pahala itu tidak pernah terputus dan akan terus kekal menemani pemiliknya.

مَا عِندَكُمۡ يَنفَدُ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ بَاقٖۗ

“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS.An-Nahl:96)

Karenanya jangan pernah kita mengorbankan sesuatu yang kekal demi sesuatu yang singkat dan sementara !

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN