Bulan Shafar Bulan Kesialan dan Bala’, benarkah?

Dikenal di dalam tradisi kejawen, dan juga tradisi beberapa daerah diluar Jawa, sebuah mitos tentang bulan Shafar (bahasa Jawa-Sapar). Bahwasanya bulan Shafar adalah lanjutan dari bulan Muharram (bahasa Jawa-Suro), yang mana anggapan beberapa masyarakat awam, keduanya erat dengan kesialan dan bala’.

Dikenal di dalam keyakinan orang awam ada istilah Arba’ Mustakmir atau Rebo Wekasan, di beberapa daerah, sebut saja di Jogjakarta, disebut Rabu Pungkasan, atau di daerah Banten sebagai Rebo Kasandan, dianjurkan untuk melakukan amalan shalat sunah tolak bala, yaitu salat sunnah (menurut mereka), yang dilaksanakan setelah terbitnya matahari, atau di waktu shalat Dhuha.

Pelaksanaan sholat sunnah tolak Bala ini diambil dari keterangan yang tercantum dalam kitab al-Jawahir al-Khomsi halaman 51-52, dilaksanakan pada pagi hari Rabu terakhir bulan Shofar, sebanyak 4 rakaat 2 kali salam.

Dengan niat

اُصَلِّي سُنَّةً لِدَفْعِ الْبَلاَءِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى

“Saya sholat sunnah untuk tolak bala dua rakaat karna allah“.

Setiap rakaat ba’da fatihah membaca :
– Surat al-Kaustar 17 kali,
– Surat al-Ikhlash 5 kali,
– Surat al-Falaq dan an-Nas masing-masing 1 kali

Bagaimana pandangan Islam terhadap keyakinan masyarakat awam ini?

Anggapan adanya waktu sial di Bulan Shafar ini dibantah langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ

“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada tiyaroh (mengkaitkan nasib buruk dengan apa yang dilihat atau didengar), tidak ada burung yang menunjukkan akan ada anggota keluarga yang mati, dan tidak ada kesialan di bulan shofar”
(HR Al-Bukhari dan Muslim). (1)

Syaikh bin Baz, memberikan penjelasan kata-kata (وَلاَ صَفَرَ) pada hadits di atas

وأما قوله ﷺ: ولا صفر فهو الشهر المعروف وكان بعض أهل الجاهلية يتشاءمون به. فأبطل النبي ﷺ ذلك، وأوضح ﷺ أنه كسائر الشهور ليس فيه ما يوجب التشاؤم

“Adapun perkataan Rasulullah ﷺ, tidak ada Shafar, maksudnya nama bulan yang kita kenal, dan dahulu orang-orang jahiliyah menganggapnya sial. Maka nabi menepis anggapan tersebut, dan menjelaskan bahwasanya bulan Shafar sebagaimana bulan lainnya, tidak ada di dalamnya sesuatu yang mengjadikanya sial.” (2)

Begitu juga dengan shalat sunnah tolak bala’ ini. Lajnah Daimah pernah ditanya,

إن بعض العلماء في بلادنا يزعمون أن في دين الإسلام نافلة يصليها يوم الأربعاء، آخر شهر صفر وقت صلاة الضحى أربع ركعات، بتسليمة واحدة تقرأ في كل ركعة: فاتحة الكتاب وسورة الكوثر سبع عشرة مرة، وسورة الإخلاص خمسين مرة، والمعوذتين مرةً مرةً، تفعل ذلك في كل ركعة، وتسلم، وحين تسلم تشرع في قراءة: (وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ) ثلاثمائة وستين مرة، وجوهر الكمال ثلاث مرات، واختتم بسبحان ربك ربِّ العزة عما يصفون، وسلام على المرسلين، والحمد لله رب العالمين
وتصدق بشيء من الخبز إلى الفقراء، وخاصية هذه الآية لدفع البلاء الذي ينزل في الأربعاء الأخير من شهر صفر
وقولهم إنه ينزل في كل سنة ثلاثمائة وعشرون ألفًا من البليات، وكل ذلك يوم الأربعاء الأخير من شهر صفر، فيكون ذلك اليوم أصعب الأيام في السنة كلها، فمن صلَّى هذه الصلاة بالكيفية المذكورة: حفظه الله بكرمه من جميع البلايا التي تنزل في ذلك اليوم!!

“Beberapa ulama di negeri kami beranggapan bahwasanya di dalam agama Islam, ada shalat sunnah yang dikerjakan di hari Rabu akhir bulan Shafar, dikerjakan di waktu shalat Dhuha sebanyak empat raka’at, sekali salam, dan membaca di setiap raka’at, Al Fatihah, Surat Al Kautsar 17 kali, dan Surat Al Ikhlas sebanyak 50 kali, Al Falaq dan An Nas dibaca sekali-sekali, dilakukan seperti itu di setiap raka’atnya. Lalu Salam, dan ketika salam disyariatkan membaca

وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Allah berkuasa atas urusanNya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (3)
Dibaca sebanyak 370 kali.

Dan Jauhar Kamal 3 kali, ditutup dengan bacaan, “Subhana rabbika’ ‘Izzati ‘Amma Yasifuun, wa salamun ‘alal mursaliin, wal hamdu lillahi rabbil ‘alamin.”

Lalu bersedekah dengan beberapa roti kepada faqir miskin, dan kekhususan ayat ini untuk menangkal bala’ yang akan turun di Rabu Akhir dari bulan Shafar.

Perkataan mereka, sesungguhnya bala’ tersebut akan turun di setiap tahunnya, 320.000 bala'(musibah). Dan hal tersebut terjadi pada hari Rabu akhir bulan Shafar. Maka hari itu menjadi hari terberat selama setahun. Barangsiapa yang mengamalkan shalat sunnah tersebut dengan tatacara yang sudah disebutkan diatas, maka dengan kemurahanNya, Allah menjaganya dari semua musibah yang akan turun pada hari tersebut.

فأجابت اللجنة بما يلي
الحمد لله والصلاة والسلام على رسوله وآله وصحبه، وبعد:
هذه النافلة المذكورة في السؤال لا نعلم لها أصلًا في الكتاب ولا من السنَّة، ولم يثبت لدينا أنَّ أحدًا من سلف هذه الأمة وصالحي خلفها عمل بهذه النافلة، بل هي بدعة منكرة
وقد ثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: «من عمل عملًا ليس عليه أمرنا فهو رد»، وقال: «من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد»
ومن نسب هذه الصلاة وما ذُكر معها إلى النبي صلى الله عليه وسلم أو إلى أحدٍ من الصحابة رضي الله عنه: فقد أعظم الفرية، وعليه من الله ما يستحق من عقوبة الكذَّابين

Maka Lajnah Daimah menjawabnya
Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan atas rasulNya, keluarga Rasulullah dan sahabatnya. Wa ba’du

Amalan sunnah yang disebutkan tersebut di dalam pertanyaan, kami tidak mengetahui asal usulnya dari Al Qur’an maupun sunnah, dan tidak pula ada keterangan menurut sepengetahuan kami, bahwasanya salah seorang dari generasi salaf ummat ini, dan juga orang-orang shalih setelahnya, mengamalkan amalan yang dianggap sunnah ini. Bahkan ia termasuk bid’ah munkarah.

Telah datang perkataan dari Rasulullah, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari kami maka amalanya tertolak.”(4)
Dan beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam perkara kami (agama Islam) yang sejatinya ia bukan berasal darinya, maka ia tertolak.”
Barangsiapa yang menisbatkan kepada Rasulullah, shalat ini dan apa-apa yang disebutkan dari amalan-amalan yang menyertainya atau menisbatkanya kepada perbuatan salah seorang sahabat Radhiallahu ‘anhu, maka sungguh besar kedustaanya, dan baginya layak mendapatkan hukuman dari Allah bagi para pendusta. (5)

Tidak ada waktu sial di dalam islam. Kesialan, bala’ dan musibah yang menimpa seseorang adalah karena ulahnya sendiri, dan itu sudah Allah taqdirkan, dan Allah lah yang menghendakinya, tanpa disangkutpautkan dengan waktu-waktu tertentu, bahkan dengan sesuatu apapun.

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (الأعراف: 131)

“jika datang kepada mereka kebaikan mereka berkata, itu adalah karena usaha kami, dan apabila mereka ditimpa keburukan (kesialan), mereka menyangkutpautkan kesialan itu pada Musa dan orang-orang yang bersama mereka. Ketahuilah sesungguhnya kesialan itu adalah ketetapan Allah akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya.” (6)

Waspadalah kepada perbuatan menganggap sial waktu-waktu tertentu yang tidak ada tuntunannya di dalam Al Qur’an maupun Sunnah, karena dikhawatirkan terjatuh ke dalam perbuatan mencela waktu.

Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺbersabda

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ:، وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِي الأَمْرُ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Berkata Allah Ta’ala, keturunan Adam mencelaku, ia mencela waktu, dan akulah (pencipta) waktu, di tanganku lah urusan tersebut, aku membolak-balikan malam dan siang.” (7)

Referensi

1.Hadits Bukhary (no. 5757) dan Muslim (no. 2220), riwayat Abu Hurairah. Di riwayat Jabir bin Abdillah dengan penambahan lafadz “Laa Ghoula”, dishahihkan oleh Al Labany di dalam Shahih Al Jami’ (no. 7531) .
2.www.binbaz.org.sa
3.Surat Yusuf ayat 21
4.Hadits riwayat Bukhary (no. 2550) dan Muslim (no. 1718)
5.Fatwa lajnah Daimah (2/354) no. 1619
6.Surat Al A’raf ayat 131
7.Hadits riwayat Bukhary (no. 7491), Muslim (no. 2246)

Wallahu ‘alam.

Ditulis Oleh:
Ustadz Kukuh Budi Setiawan, S.S., S.H., حفظه الله
(Kontributor bimbinganislam.com)

BIMBINGAN ISLAM

Sikap Pertengahan terhadap Ibnu Sina

Abu Ali Al Husain bin Abdillah al-Balkhi (wafat 427H), lebih dikenal dengan nama Ibnu Sina, adalah seorang ilmuwan ahli di bidang kedokteran, bidang filsafat, kimia dan berbagai macam ilmu lainnya. Beliau terkenal cerdas dan menguasai cukup banyak bidang ilmu. Beliau juga belajar agama, akan tetapi pelajaran agama beliau banyak terpengaruh oleh ilmu filsafat Yunani dan terpengaruh ajaran-ajaran yang menyimpang akidah Islam. Bahkan penyimpangan-penyimpangan yang ia lakukan sampai pada level mengeluarkan pelakunya dari Islam. Beliaupun ikut mendakwahkan akidah menyimpang ini, dan menulis beberapa kitab filsafat diantaranya “asy-Syifa”, “al-Isyarat”, “al-Qanun”, dan yang lainnya.

Inti dari tulisan kami adalah sikap pertengahan terhadap Ibnu Sina terkait status beliau sebagai ilmuwan dan akidah beliau yang sangat jauh keluar dari Islam. Ada beberapa poin yang perlu kita perhatikan:

Pertama: Banyak ulama yang sudah menganggap beliau keluar dari Islam karena akidah yang sangat melenceng dari Islam. Mungkin ini hal ini membuat “kaget” sebagian kaum muslimin di Indonesia karena selama ini mereka mengira bahwa Ibnu Sina adalah Islam dan ilmuwan Islam. Kami akan nukilkan perkataan-perkataan ulama yang menyatakan hal ini, terutama ulama yang terkenal dari mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab mayoritas di Indonesia semisal Az-Dzahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Ibnu Katsir. Masih banyak penjelasan ulama lainnya terkait akidah Ibnu Sina ini.

Kedua: Status beliau sebagai seorang ilmuwan, maka kita pun memperlakukan beliau sebagaimana ilmuwan non-muslim lainnya. Tidak haram mengambil ilmu dunia bermanfaat dari beliau, selama hal itu tidak ada kaitannya dengan agama.

Ketiga: Ada pendapat yang lemah (karena kebenarannya belum bisa dipastikan) bahwa beliau telah bertaubat dari akidah yang menyimpang tersebut ketika akan meninggal. Tentu kita sangat berharap ini benar. Namun demikian pendapat ini lemah, dan yang terpenting bagi kita adalah tetap berlepas diri dan mengingatkan umat dari akidahnya yang sangat melenceng dari akidah Islam.

Keempat: Tidak selayaknya kaum muslimin menamakan masjid dan sarana Islami dengan nama Ibnu Sina. Masih banyak nama-nama ilmuwan lainnya di bidang kedokteran seperti Abu Qasim Az-Zahrawi dan Ibnu An-Nafis.

Mari kita bahas poin-poin ini satu-per-satu.

Para Ulama Mengkafirkan Ibnu Sina

Banyak ulama yang sudah menganggap beliau keluar dari Islam karena akidah yang sangat melenceng dari Islam.

Kami nukilkan beberapa penjelasan ulama terkait akidah Ibnu Sina yang sangat jauh keluar dari Islam.

Adz-Dzahabi setuju dengan perkataan Imam Al-Ghazali yang telah menyatakan Ibnu Sina keluar dari Islam,

“وقد كفره الغزالي في كتاب “المنقذ من الضلال

“Sungguh Al-Ghazali telah menyatakan Ibnu Sina keluar dari Islam dalam buku beliau yaitu Al-Munqiz Wad-Dhalal” (Siyar Al-A’lam An-Nubala’, 17/535).

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan beberapa akidah Ibnu Sina yang sangat melenceng dari akidah Islam, beliau berkata:

قال ابن أَبِي الدم الحموي الفقيه الشافعي، شارح الوسيط في كتابه الملل والنحل: قد اتفق العلماء على أن ابن سينا كان يقول بقدم العالم، ونفي المعاد الجسماني، ولا ينكر المعاد النفساني. ونقل عنه أنه قال: إن الله لا يعلم الجزئيات بعلم جزئي، بل بعلم كلي.

“Ibnu Abi ad-Dam Al-Hamawi, pensyarah kitab Al-Wasith dalam kitab beliau Al-Milal wan Nahl telah mengatakan: para ulama telah BERSEPAKAT bahwa Ibnu Sina memiliki pendapat bahwa alam semesta ini qadim (yaitu, bahwa alam semesta tidak diciptakan, namun sudah ada sejak dahulu, pent.), menafikan adanya kebangkitan jasad manusia (di hari akhir), walaupun beliau tidak mengingkari kebangkitan ruh di hari akhir. Juga dinukilkan dari beliau bahwa beliau berpendapat Allah itu tidak mengetahui hal-hal yang juz’iyyat (spesifik), Allah hanya tahu kejadian-kejadian secara global saja” (Lisanul Mizan 2/293).

Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan pemikiran Ibnu Sina yang jauh keluar dari Islam dan ada tiga pembahasan yang yang sangat fatal dari pemikiran Ibnu Sina, yaitu:

قوله بقدم العالم وعدم المعاد الجسماني وأن الله لا يعلم الجزئيات

“Dia berpendapat bahwa alam ini qadim, tidak adanya hari pembangkitan jasmani (hanya ruh), dan Allah tidak mengetahui hal-hal yang juz’iyyah (spesifik)” (Al-Bidayah Wan-Nihayah, 15/668).

Demikian juga ulama lainnya menjelaskan, seperti Ibnul Qayyim yang menjelaskan bahwa Ibnu Sina ini adalah mulhid. Sebutan mulhid biasanya disematkan kepada orang yang tidak beriman kepada Allah atau memiliki keyakinan yang menyimpang tentang Allah. Ibnul Qayyim berkata,

الملحد، بل رأس ملاحدة الملة

“Ibnu Sina adalah mulhid. Bahkan beliau adalah pemimpinnya orang-orang mulhid” (As-Shawaiqul Mursalah, 2/1031).

Dalam kitab yang lain, Ibnul Qayyim juga menjelaskan:

وكان ابن سينا كما أخبر عن نفسه قال: أنا وأبي من أهل دعوة الحاكم فكان من القرامطة الباطنية الذين لا يؤمنون بمبدأ ولا معاد ولا رب خالق ولا رسول مبعوث جاء من عند الله تعالى

“Ibnu Sina, sebagaimana ia ceritakan tentang dirinya sendiri, ia berkata: Saya adalah seorang juru dakwah, seorang hakim, bagian dari sekte Qaramithah Bathiniyyah (salah satu sekte Syi’ah) yang tidak beriman terhadap penciptaan alam semesta, tidak beriman tentang adanya Rabb yang menciptakan alam semesta, tidak mengimani adanya Rasul yang diutus oleh Allah Ta’ala” (Ighatsatul Lahafan, 2/266).

Dan beberapa akidah menyimpang lainnya yang disebutkan para ulama. Jika kita perhatikan beberapa akidah menyimpang yang telah disebutkan di atas, membuat kita tidak heran jika para ulama menganggapnya keluar dari Islam. Nas’alullah as salamah wal ‘afiyah.

Ibnu Sina sebagai ilmuwan

Adapun status beliau sebagai seorang ilmuwan, kita terapkan perlakuan yang sama sebagaimana ilmuwan non-Muslim lainnya. Tidak mengapa mengambil ilmu duniawi yang bermanfaat dari beliau, selama hal itu tidak ada kaitannya dengan agama. Karena hukum asal muamalah duniawi itu mubah dan halal.

Para ulama menjelaskan, boleh bermuamalah dengan orang kafir, termasuk mengambil ilmu duniawi yang bermanfaat dari mereka. Selama tidak mempengaruhi agama kita dan tidak menimbulkan wala’ (loyalitas) kepada mereka. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam pun bermuamalah duniawi dengan orang non Muslim. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

تُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ وَدِرْعُهُ مَرْهُوْنَةً عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ فِي ثَلاَثِيْنَ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ

“Rasulullah wafat dalam keadaan baju besi beliau masih tergadai pada seorang Yahudi karena beliau mengambil 30 sha’ gandum” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan mengatakan,

وفي الحديث جواز معاملة الكفار فيما لم يتحقق تحريم عين المتعامل فيه

“Hadits ini merupakan dalil bolehnya bermuamalah dengan orang kafir selama belum terbukti keharamannya” (Fathul Bari, 5/14).

Sebagian ulama menyatakan Ibnu Sina sudah bertaubat

Ada pendapat yang lemah, karena kebenarannya belum bisa dipastikan, bahwa Ibnu Sina telah bertaubat dari akidah yang menyimpang di akhir hayatnya. Tentu kita sangat berharap ini benar terjadi. Kita bergembira ketika mendengar seseorang itu di atas iman, dari pada mengetahui bahwa ia keluar dari keimanan.

Namun demikian pendapat ini banyak disebutkan oleh para ulama sebagai pendapat yang lemah. Dan yang terpenting kita tetap berlepas diri dan tetap mengingatkan umat dari akidahnya yang sangat melenceng dari akidah Islam. Ketika Ibnu Katsir menyebutkan tentang Ibnu Sina dan pendapat para ulama tentang beliau, Ibnu Katsir menukil satu pendapat:

ويقال: إنه تاب عند الموت, فالله سبحانه وتعالى أعلم

“Terdapat pendapat bahwa beliau bertaubat di akhir hayatnya, sungguh Allah Ta’ala yang lebih mengetahui” (Al-Bidayah Wan-Nihayah, 15/668).

Di sini Ibnu Katsir menggunakan lafadz “yuqaalu”, yang termasuk shighah tamridh. Yaitu lafadz yang mengisyaratkan kelemahan riwayat atau pendapat. Tentang taubatnya Ibnu Sina juga disebutkan oleh Ibnu Khallikan dalam Wafayat al A’yaan (2/160).

Namun keterangan ini bertentangan dengan keterangan banyak ulama besar yang juga pakar dalam bidang tarikh (sejarah), seperti Adz-Dzahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyah dan lainnya. Selain itu, Ibnu Sina banyak memiliki penyimpangan fatal dalam masalah akidah, sebagaimana sudah disebutkan. Sedangkan keterangan yang menyebutkan Ibnu Sina telah bertaubat, tidak menyebutkan ia bertaubat dari penyimpangan yang mana. Ini semakin melemahkan pendapat tersebut. Wallahu a’lam.

Penggunaan Nama Ibnu Sina oleh Kaum Muslimin

Setelah kita ketahui sikap para ulama terhadap Ibnu Sina. Bahwa mereka menganggap Ibnu Sina keluar dari Islam. Maka tidak selayaknya kaum Muslimin memberi nama masjid, sarana dakwah, aset-aset dan syiar kaum Muslimin, dengan nama Ibnu Sina. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, beliau berkata,

” لا ينبغي للمسلمين أن يسموا محلاً بأسماء “ابن سينا

“Tidak selayaknya kaum muslimin menamakan tempat dengan nama Ibnu Sina” (Al-Fawaid Al-Jaliyyah, hal. 37).

Karena melakukan hal tersebut, berarti secara tidak langsung juga memuliakan orang kafir dan merekomendasikan akidah kufurnya. Serta tidak adanya bara’ah (sikap berlepas diri) terhadap akidah-akidah yang kufur dan menyimpang. Padahal Allah Ta’ala berfirman:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja’” (QS. Al Mumtahanah: 4).

Terlebih, masih banyak nama-nama ilmuwan lainnya di bidang kedokteran seperti Abu Qasim Az-Zahrawi dan Ibnu An-Nafis. Wallahu a’lam.

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK

Artikel Muslim.or.id

Apa Sih Beda Pacaran dan Ta’aruf? Kamu Harus Tahu Ini

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki adab dan akhlak yang luhur berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang apa sih beda pacaran dan ta’aruf? kamu harus tahu…
Silahkan membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

Ustadz, saya mau bertanya, apa beda pacaran dan ta’aruf? mohon penjelasannya Ustadz, Syukron Ustadz.

(Disampaikan oleh Fulan, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Pacaran jelas dilarang dalam Islam, dimana dalam interaksi pacaran ini bagi yang belum menikah telah melanggar batasan syariat. Ciri-ciri pacaran bisa bermacam-macam; mulai dari melalaikan kewajiban (lalai dari mengingat Allah Ta’ala), melihat yang bukan haknya (wanita asing) dengan pandangan yang tidak halal, berdua-duaan (khalwat), pegang-pegangan (menyentuh yang tidak halal), serta ada yang sampai melakukan zina.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan jauh-jauh hari kepada umatnya akan bahaya yang sangat besar, fitnah wanita bagi lelaki, beliau bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku meninggalkan setelahku nanti, sebuah bencana yang lebih berbahaya bagi laki-laki melebihi godaan wanita.”
(HR. Bukhari, no. 5096 dan Muslim, no. 2740).

Hukum Asal Ta’aruf

Adapun Ta’aruf berasal dari bahasa Arab, asal katanya berarti perkenalan, jika yang dimaksud adalah melamar calon pasangan dengan perkenalan, caranya dengan berkunjung ke rumah wali calon pasangan, berbicara dengan orang tua tentang niat melamar, maka hal ini disyariatkan.
Atau melalui wali utusan, karena ingin perkenalan, kata populernya melalui jalan ‘mak comlang’ atau biro jodoh maka hal ini boleh dengan tetap menjaga adab-adab Islam.

Ta’aruf Mengalami Perluasan Makna

Akan tetapi jika yang dimaksud Ta’aruf adalah sama dengan pacaran pada zaman sekarang ini atau menyerupai salah satu cirinya, seperti berhubungan melalui jaringan medsos, tidak pernah ketemu tapi saling calling-callingan, bercanda ria bahkan terkesan gombal menggoda, memperkenalkan diri secara lebih mendalam dan mendetail bahkan sampai membongkar rahasia kecil, maka semua perbuatan ini telah menerjang batasan agama, melanggar koridor syariat, sehingga dihukumi terlarang dalam ajaran Islam yang mulia, karena melihat keumuman hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, ia pasti mendapatkannya tidak bisa tidak. Maka zina mata adalah dengan pandangan, zina lisan adalah dengan ucapan, sedangkan jiwa menginginkannya dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan hal itu atau mendustakannya.”
(HR. Bukhari, no. 6243 dan Muslim, no. 2657).

Kapan Pacaran Dibolehkan?

Pacaran dibolehkan ketika anda dan pasangan anda telah sah melalui sebuah akad pernikahan.

Ketika ayah atau wali calon istri telah mengatakan;
“saya nikahkan putri saya yang bernama “fulanah binti fulan” dengan mas kawin “emas 100 gr” dibayar tunai !”

Kemudian Anda (calon suami) menjawab : “Saya terima nikahnya “Fulanah binti fulan” dengan mas kawin yang tersebut dibayar tunai ”

Setelah itu, Anda boleh berpacaran dengan istri Anda, dan tidak ada lagi larangan pacaran. Ta’aruf sangat dianjurkan, bahkan bisa menjadi wajib guna mengenali pasangan masing-masing, untuk sebuah komunikasi terbaik di antara keduanya. Semoga Allah Ta’ala Memberkahi…

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Kamis, 05 Shafar 1442 H / 24 September 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Bagaimana Kita Memilih Jalan Hidup?

 Allah Swt Berfirman ;

فَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا وَمَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنۡ خَلَٰقٖ – وَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ – أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ نَصِيبٞ مِّمَّا كَسَبُواْۚ وَٱللَّهُ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ

Maka di antara manusia ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,” dan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apa pun.

Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.”

Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan, dan Allah Mahacepat perhitungan-Nya.

(QS.Al-Baqarah:200-203)

Ayat ini menggambarkan kepada kita tentang bermacam kondisi manusia dalam kehidupan ini.

(1). Ada yang memiliki pandangan yang sangat dangkal, sehingga ia hanya memikirkan urusannya di dunia dan melupakan akhirat.

فَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا

“Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,”

Ambisinya hanya meraih dunia dan menjadikannya sebagai tujuan akhir dalam hidupnya. Mungkin ia akan meraihnya, namun semua itu fana dan hanya sementara.

Setelah meraih dunia lalu apa? Di akhir ayat tersebut di jawab :

وَمَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنۡ خَلَٰقٖ

“Dan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apa pun.”

Dia tidak mendapatkan bagian apapun di akhirat karena memang dia tidak pernah memikirkan dan mempersiapkannya. Maka pada akhirnya mereka termasuk dalam golongan yang disebutkan dalam Firman-Nya :

خَسِرَ ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةَۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡخُسۡرَانُ ٱلۡمُبِينُ

“Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.” (QS.Al-Hajj:11)

(2). Di sisi lain ada manusia-manusia yang memiliki pandangan yang jauh. Mereka berusaha meraih kehidupan dunia dan menikmati apa yang telah diberikan Allah kepadanya, namun mereka juga selalu mengingat akhirat sebagai rumah abadinya, tempat ia kembali nanti. Dunia bagi mereka hanya rumah singgah dan akhirat adalah tujuan utama yang sebenarnya.

وَمِنهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.”

Mereka berjuang meraih dunia, namun hanya sebagai kendaraan untuk meraih tujuan yang lebih besar yaitu akhirat. Mereka selalu khawatir dengan siksaan akhirat sehingga berhati-hati dalam setiap langkahnya.

Mereka lah orang-orang yang bahagia di dunia dan lebih berbahagia lagi kelak di akhirat.

أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ نَصِيبٞ مِّمَّا كَسَبُواْۚ وَٱللَّهُ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ

Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan, dan Allah Mahacepat perhitungan-Nya.

Maka lihatlah kepada diri kita, berada di posisi mana kita sekarang?

KHAZANAH ALQURAN

Agar Bertahan Diatas Sirothol Mustaqim

Allah Swt Berfirman :

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS.Al-An’am:153)

Ayat ini ingin menjelaskan bahwa manusia diperintahkan oleh Allah Swt untuk selalu berada dalam Sirothol Mustaqim (jalan yang lurus). Dan hendaknya ia menjauhi semua jalan yang tidak akan mengantarkannya menuju kepada Allah.

Kemudian setelah seseorang menemukan Sirothol Mustaqim dan berjalan di atasnya, maka ia masih diperintahkan untuk menjaga diri sepanjang hidupnya agar tidak terlepas dan tidak berpaling dari jalan tersebut.

Karena itu kemudian Allah mewajibkan pada setiap kali kita Sholat untuk mengucapkan :

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS.Al-Fatihah:6)

Kalimat yang kita ulangi di setiap Sholat ini menunjukkan bahwa bertahan di atas Sirothol Mustaqim adalah sebuah masalah prinsip yang harus di raih dan di jaga oleh setiap manusia.

Karena disana banyak setan jin dan manusia yang dengan segala upayanya ingin menarik kita agar keluar dari Sirothol Mustaqim sebagaimana dalam Al-A’raf ayat ke-16.

Lalu pertanyaannya, bagaimana cara agar kita mampu terus berada dalam Sirothol Mustaqim ?

Jawabannya adalah dengan Istiqomah yang membuat kita bertahan di atas jalan yang lurus. Istiqomah artinya selalu mengikuti ketentuan-ketentuan Allah.

Kata Istiqomah adalah kata yang simpel dan penuh makna yang digunakan oleh Rasulullah Saw ketika ingin menerjemahkan arti Islam.

Bukankah dalam suatu riwayat diceritakan bahwa seorang sahabat datang kepada Rasulullah Saw dan berkata :

“Katakanlah kepadaku suatu ungkapan dalam Islam yang aku tidak akan tanyakan kepada siapapun selainmu.”

Rasulullah Saw menjawab :

“Katakanlah aku beriman kepada Allah lalu beristiqomah-lah !”

Karenanya salah satu perintah dalam Al-Qur’an kepada Nabi Saw adalah :

فَٱسۡتَقِمۡ كَمَآ أُمِرۡتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطۡغَوۡاْۚ إِنَّهُۥ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِير

“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS.Hud:112)

Istiqomah memang sulit tapi hanya dengan beristiqomah kita akan mampu bertahan di atas Sirothol Mustaqim.

Mengapa orang yang istiqomah akan selalu berada di atas Sirothol Mustaqim ?

Mungkin disana kita akan menemukan banyak jawaban, tapi salah satunya adalah karena orang yang beristiqomah akan selalu di dampingi oleh Malaikat. Bukankah Allah Berfirman :

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (QS.Fushilat:30)

Orang yang Istiqomah selalu didampingi Malaikat dan orang yang selalu didampingi Malaikat akan selalu dibimbing agar tidak keluar dari Sirothol Mustaqim.

Bagaimana cara agar bisa terus berada di atas Sirothol Mustaqim ?

Beristiqomah lah dalam memegang Syariat!

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Fenomena Non-Muslim Belanja di Toko Halal Mulai Terjadi

 Direktur Halal Center Fakultas Peternakan UGM Nanung Danar Dono terkejut dengan fenomena konsumsi produk halal di luar negeri. Ia mendapati warga non-Muslim justru belanja di toko daging halal.

Nanung menyebut warga non-Muslim menganggap daging di toko halal punya kualitas lebih baik. Metode penyembelihan yang digunakan dianggap bisa membuat daging terasa lebih nikmat.

“Di luar negeri sudah ada yang beli dari halal bucher (toko daging) padahal mereka non-Islam, mereka lihat halal bucher pemotongannya sampai keluar maksimal darahnya. Ini berpengaruh ke rasa, aroma, ketahanan daging,” kata Nanung dalam seminar virtual bertema Indonesia Pusat Halal Dunia: Potensi Domestik dan Tantangan Global yang diadakan Universitas Maarif Hasyim Latif (Umaha) pada Selasa, (16/6).

Nanung mengatakan hampir semua negara maju punya lembaga pemberi label halal. Di antaranya Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Jerman, Prancis, Australia.

Ia kemudian heran mengapa potensi pasar ekspor ini tak dimanfaatkan maksimal di Indonesia. Padahal peluangnya terbuka lebar hingga segmen ini diisi oleh Malaysia, Thailand atau Vietnam.

“Yang kejar makanan halal banyak di luar negeri, kenapa di sini Muslim populasi terbesar malah bukan pemain utama? padahal LPPOM MUI jadi leader di internasional, tapi yang jualan produk kok bukan kita,” ujar Nanung.

“Di wilayah Eropa dan Amerika Utara kebutuhan produk halal tinggi, apalagi tengok ke bandara-bandara internasional ada restoran halal. Semua bisa di-search di internet, biasanya ada, jangan malas mencari,” tambah Nanung.

Nanung mencontohkan Jepang punya kemajuan pesat di industri halal seiring tanggungjawabnya menjadi tuan rumah Olimpiade. Pemerintah Jepang, kata Nanung, tak mau menerima komplain dari Muslim yang kesulitan menemukan makanan halal ketika berkunjung kesana.

“Empat tahun terakhir mereka siapkan resto-resto halal agar tak ada lagi orang batal ke Jepang karena enggak ada resto halal, tempat-tempat Shalat juga disediakan,” ucap Nanung. 

IHRAM

Jatuh Cinta dengan Non-Muslim? Ini Cara Menyikapinya

Tidak ada keberkahan dalam hubungan pra-nikah dengan non-Muslim.

Menjadi mahasiswa baru, berkenalan dengan teman-teman baru adalah hal-hal yang menyenangkan. Di antara teman-teman baru itu, ada sosok yang sangat hangat, baik hati, cerdas, dan sangat menarik, sayangnya dia non muslim.

Dilansir dari About Islam, Rabu (23/9), seseorang harus mengakui perasaan tertarik tersebut. Terimalah perasaan itu dan jangan pernah mencoba untuk menyangkalnya.

Beri ruang untuk perasaan ini tapi jangan bertindak berdasarkan perasaan ketertarikan itu, tetap dalam kesadaran dan mengingat Allah Swt. Selanjutnya buatlah keputusan dan orientas dengan selalu berbuat baik dan hal-hal yang Allah suka.

Meski terus tergoda, pikirkanlah bahwa tidak ada keberkahan dalam hubungan pra-nikah dengan non-Muslim. Jalan ini hanya akan memberi patah hati dan membuat jarak dengan Allah.

“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah SAW ditanya tentang orang mana yang akan masuk surga, inilah yang dia katakan. Dan dia ditanya tentang hal itu yang paling membuat orang masuk ke dalam Api, dan dia berkata: “Mulut dan bagian pribadi.” (Tirmidzi)

Selain itu, berpikirlah tentang nilai-nilai yang paling penting dalam hidup Anda. Apakah Islam sangat berarti bagi hidup Anda dan ingin membesarkan anak-anak sebagai muslim, serta memiliki pendamping hidup yang seiman.

Jika hidup menurut Islam adalah prioritas Anda, maka penting bagi untuk jujur ​​pada diri sendiri dan pikirkan rencana jangka panjang untuk kehidupan di dunia dan di akhirat.

“Hai orang-orang yang beriman, selamatkan dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu-batu, dan penjaganya adalah para malaikat yang tegas dan kejam, yang tidak membangkang kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka, dan melakukan apapun yang diperintahkan.” ( At-Tahrim 66: 6).

Jangan sampai tergoda, jika mampu maka ajaklah seseorang tersebut untuk memeluk Islam. Banyak orang masuk Islam melalui pernikahan dan telah membuktikan, berulang kali, begitu tulus keislaman mereka dalam beribadah kepada Allah.

Sahl bin Sa’d RA, meriwayatkan Nabi Saw berkata kepada ‘Ali RA , “Demi Allah, jika satu orang dibimbing oleh Allah melalui Anda, itu akan menjadi lebih baik untuk Anda daripada banyak unta merah.” (ukhari dan Muslim).

Hanya saja jika tidak memungkinkan untuk mengajaknya memeluk Islam, maka ingatlah bahwa segala petunjuk dan hidayah hanya datang atas izin Allah swt. Tidak mungkin seseorang bisa memaksakan keyakinan ke dalam hati orang lain tanpa seizin Allah. Bahkan paman Nabi Saw sendiri meninggal dalam keadaan belum memeluk Islam.

Jika orang yang Anda sukai tidak tertarik memeluk Islam, maka hubungan Anda tidak memiliki masa depan. Lebih baik bagi Anda untuk berpisah lebih cepat . Semakin lama bertahan, maka akan semakin sulit  untuk melepaskannya.

Sumber: https://aboutislam.net/family-life/youth-4-the-future/how-to-deal-with-attraction-to-non-muslims/2/

KHAZANAH REPUBLIKA

Pondasi Tegaknya Ibadah

Sesungguhnya ilmu yang terpuji di dalam al-Kitab dan as-Sunnah dan terpuji juga bagi pemiliknya adalah ilmu syari’at. Ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap pujian yang disebutkan di dalam al-Kitab dan as-Sunnah terhadap “ilmu” dan para pengembannya, maka yang dimaksud adalah “ilmu syari’at”, yaitu ilmu al-Kitab dan as-Sunnah serta fikih (pemahaman) terhadap agama ini.

Kedudukan Ilmu

Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah menjelaskan bahwa ilmu itu pondasi dalam hal ibadah. Karena sesungguhnya tidak ada ibadah dan amal yang benar kecuali dengan dasar ilmu. Ilmu lebih didahulukan sebelum segala sesuatu. Karena ibadah tidak akan menjadi benar dan diterima kecuali apabila sesuai dengan tuntunan. Dan tidak ada jalan untuk mengenali tuntunan kecuali dengan ilmu, yaitu ilmu yang benar. Dan apabila istilah ilmu disebutkan secara mutlak (tanpa batasan atau embel-embel tertentu, pent.) di dalam kalam Allah dan kalam Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian juga dalam ucapan para ulama, maka sesungguhnya yang dimaksud ialah “ilmu syari’at”.

Oleh sebab itu, para ulama mengatakan bahwa semua dalil yang berisi keutamaan ilmu maka yang dimaksudkan adalah ilmu syari’at. Seperti dalam hadits,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا

“Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu …”

Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syari’at. [2]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Ilmu tentang Allah adalah pokok dari segala ilmu. Bahkan ia menjadi pondasi ilmu setiap hamba guna menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan diri, bekal untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sementara bodoh tentang ilmu ini menyebabkan ia bodoh tentang dirinya sendiri dan tidak mengetahui kemaslahatan dan kesempurnaan yang harus dicapainya, sehingga dia tidak mengerti apa saja yang bisa membuat jiwanya suci dan beruntung. Oleh karena itu, ilmu tentang Allah adalah jalan kebahagiaan hamba, sedangkan tidak mengetahui ilmu ini adalah sumber kebinasaan dirinya.” [3]

Ilmu Tentang Allah

Suatu ketika ada lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu. Dia berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?”

Beliau menjawab, “Ilmu.”

Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?”

Beliau menjawab, “Ilmu.”

Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!”

Ibnu Mas’ud pun menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amalmu yang sedikit atau yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” [4]

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Seorang insan selalu membutuhkan Allah ‘azza wa jalla dalam bentuk ibadah dan isti’anah/permintaan pertolongan. Adapun kebutuhan dirinya kepada Allah dalam bentuk ibadah, karena sesungguhnya ibadah itulah bahan baku (sumber) kebahagiaan dirinya. Adapun isti’anah, karena sesungguhnya apabila Allah tidak memberikan bantuan dan pertolongan kepadanya, maka Allah akan menyandarkan dia (urusannya) kepada dirinya sendiri. Sehingga itu artinya Allah menyerahkan dirinya kepada sifat ketidakmampuan, kelemahan, dan aurat/aib. Sementara tidak mungkin tegak urusan seorang insan melainkan dengan bantuan dan pertolongan dari Allah ‘azza wa jalla.” [5]

Buah Ilmu

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuahkan amalan. Kalau seorang hamba memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya, maka dia telah mengikuti jalannya orang-orang yang dimurkai –al-maghdhubi ‘alaihim-. Adapun apabila dia beramal namun tanpa landasan ilmu, maka dia telah mengikuti jalannya orang-orang yang sesat –adh-dhaallin-. Apabila ilmu dan amal itu berjalan beriringan pada diri seorang hamba maka dia telah berjalan di atas jalannya orang-orang yang diberi karunia oleh Allah; yaitu jalannya para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih. [6]

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الحِمَارُ بِرَحَاهُ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ: أَيْ فُلاَنُ مَا شَأْنُكَ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ المُنْكَرِ؟ قَالَ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ المُنْكَرِ وَآتِيهِ

“Kelak pada hari kiamat didatangkan seorang lelaki, lalu dia dilemparkan ke dalam neraka. Usus perutnya pun terburai. Dia berputar-putar seperti seekor keledai mengelilingi alat penggilingan. Para penduduk neraka berkumpul mengerumuninya. Mereka pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apa yang terjadi padamu. Bukankah dulu kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar?”. Dia menjawab, “Benar. Aku dulu memang memerintahkan yang ma’ruf tapi aku tidak melaksanakannya. Aku juga melarang yang mungkar tetapi aku justru melakukannya.” [7]

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Artikel: Muslim.or.id

Mengapa Wanita Tidak Wajib Shalat Jumat?

SELAMA ini kita di Indonesia, utamanya, shalat Jumat itu kewajiban laki-laki. Bagaimana dengan wanita?

Seorang wanita pada dasarnya tidak diwajibkan untuk menghadiri shalat Jumat. Yang wajib bagi mereka untuk dikerjakan adalah shalat Dzhuhur.

Pernyataan seperti ini langsung disebutkan oleh Rasulullah SAWpada salah satu hadits beliau: Dari Thariq bin Syihab ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit.” (HR Abu Daud)

Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa isnad hadits inishahih sesuai dengan syarat dari Bukhari. Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang menshahihkan hadits itu bukan hanya satu orang.

Namun apabila seorang wanita tetap ikut melakukan shalat Jumat, maka shalatnya itu telah menggugurkan kewajiban shalat Jumat atasnya. Sehingga dia tidak perlu lagi mengulanginya dengan shalat Jumat.

Adapun adanya dalil yang Al-Quran di dalam surat Al-Jumu’ah tentang khitab kepada orang-orang beriman yang mencakup laki-laki dan perempuan, memang ayat itu tidak salah. Pada dasarnya memang kalau Allah SWT memanggil dengan panggilan “Wahai orang-orang yang beriman”, memang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Namun karena ada hadits di atas yang menjadi muqarin (pembanding) dari keumuman ayat Al-Quran itu, maka kita harus menggabungkannya. Sehingga menjadi pengertian bahwa shalat Jumat itu tidak wajib bagi wanita, hanya wajib bagi laki-laki.

Namun bila seorang wanita ikut shalat Jumat, maka tetap sah dan cukup baginya shalat Jumat itu tanpa perlu lagi melakukan shalat Dzhuhur.

Dalam metologi fiqih, bila ada dua dalil yang sama-sama shahih, harus dicarikan titik temu antara keduanya. Bukan dengan sistem gugur, di mana salah satunya harus kalah.

Ayat Al-Quran tidak boleh ditabrakkan begitu saja dengan hadits nabawi. Tidak dibenarkan menggugurkan sebuah hadits nabawi yang shahih dan menganggapnya tidak berlaku, hanya karena alasan ada ayat Quran yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan ketika memerintahkan shalat Jumat. []

ISLAM POS



Jangan Sia-Siakan Waktu Shalat!

Shalat merupakan salah satu tanda iman. Sesuai dengan level keimanan seorang hamba, dia akan menyempurnakan dan memperhatikan shalatnya. Salah satu bukti dia memperhatikan shalat adalah menunaikan shalat tersebut sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Allah Ta’ala mengatakan,

إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’ [4]: 103)

Dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا

“Shalatlah sesuai dengan waktunya.” (HR. Muslim no. 648)

Masuknya waktu shalat merupakan syarat wajib dan syarat sah ibadah shalat

Masuknya waktu shalat merupakan syarat wajib dan sekaligus syarat sah ibadah shalat. Tidak ada kewajiban shalat wajib tertentu, kecuali setelah masuk waktu. Dan juga, shalat tidaklah sah kecuali jika dikerjakan sesuai dengan waktunya. 

Waktu-waktu shalat adalah waktu yang agung, waktu yang penuh keberkahan, yang diisyaratkan di berbagai ayat dalam Al-Qur’an. Waktu-waktu shalat juga telah dijelaskan secara gamblang dan mencukupi dalam sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik melalui ucapan ataupun perbuatan beliau (sunnah qauliyyah dan sunnah fi’liyyah). 

Allah Ta’ala berfirman,

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوداً

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam, dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra’ [17]: 78)

Allah Ta’ala juga mengatakan,

وَلَهُ الْحَمْدُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَعَشِيّاً وَحِينَ تُظْهِرُونَ

“Dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi dan di waktu kamu berada pada petang hari dan di waktu kamu berada di waktu zuhur.” (QS. Ar-Ruum [30]: 18)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

أَمَّنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، فَصَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِينَ زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَتْ قَدْرَ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ يَعْنِي الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِينَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِي الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ

“Jibril ‘alaihis salam telah mengimamiku di sisi Baitullah dua kali. Dia shalat zuhur bersamaku ketika matahari tergelincir (condong) ke barat sepanjang tali sandal, kemudian shalat ashar denganku ketika panjang bayangan suatu benda sama dengannya, lalu shalat maghrib bersamaku ketika orang yang berpuasa berbuka, kemudian shalat isya’ bersamaku ketika awan merah telah hilang, dan shalat subuh bersamaku tatkala orang yang berpuasa dilarang makan dan minum. 

Besok harinya, dia shalat zuhur bersamaku ketika bayangan suatu benda sama dengannya, lalu shalat ashar bersamaku ketika bayangan suatu benda sepanjang dua kali benda itu, kemudian shalat maghrib bersamaku ketika orang yang berpuasa berbuka, lalu shalat isya’ bersamaku hingga sepertiga malam, dan shalat subuh bersamaku ketika waktu pagi mulai bercahaya.”

Kemudian Jibril menoleh kapadaku seraya berkata, 

يَا مُحَمَّدُ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ، وَالْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ

“Wahai Muhammad, inilah waktu shalat para Nabi sebelum kamu, dan jarak waktu untuk shalat adalah antara dua waktu ini.” (HR. Abu Dawud no. 393, At-Tirmidzi no. 149, dan Ahmad no. 3322. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no. 1402)

Inilah waktu-waktu awal dan akhir masing-masing shalat, yang sudah dijelaskan sedemikian gamblang bagi siapa saja yang mau memperhatikannya. 

Renungkanlah perkataan Jibril ‘alaihis salaam, 

يَا مُحَمَّدُ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ

“Wahai Muhammad, inilah waktu shalat para Nabi sebelum kamu”, yang menunjukkan bahwa waktu shalat lima waktu ini adalah waktu shalat bagi para Nabi sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini menunjukkan agung dan mulianya waktu-waktu tersebut. Inilah waktu yang membangunkan orang-orang yang sedang tidur, waktu yang menghentikan aktivitas para pegawai, waktu yang mengingatkan orang-orang yang sedang lalai, dan waktu yang menggerakkan semua orang menuju masjid Allah Ta’ala untuk mendirikan shalat.

Jangan sia-siakan waktu shalat!

Salah satu bentuk menyia-nyiakan shalat adalah melewatkan waktu shalat dan mendirikan shalat di luar waktu yang sudah ditetapkan. Allah Ta’ala berfirman,

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam [19]: 59)

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah membaca ayat ini kemudian mengatakan,

“Menyia-nyiakan shalat di sini bukanlah dengan meninggalkan shalat (tidak mendirikan shalat). Akan tetapi, mereka menyia-nyiakan waktu shalat (yaitu, mendirikan shalat di luar waktunya).” (Tafsir Ath-Thabari, 18: 216)

Allah Ta’ala berfirman,

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Maa’uun [107]: 4-5)

Oleh karena itu, menyia-nyiakan waktu shalat adalah perkara yang sangat berbahaya, yang menunjukkan bahwa orang tersebut meremehkan dan tidak memiliki perhatian terhadap agamanya. Terdapat banyak sekali hadits yang memperingatkan perbuatan semacam ini. Namun dalam kesempatan ini, cukuplah kami sebutkan ancaman bagi orang yang menunda-nunda shalat ashar sampai dia dirikan menjelang waktunya hampir habis. 

Disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ، يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ، قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا، لَا يَذْكُرُ اللهَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا

“Itulah shalatnya orang munafik, (yaitu) duduk mengamati matahari. Hingga ketika matahari berada di antara dua tanduk setan (yaitu ketika hampir tenggelam, pent.), dia pun berdiri (untuk mengerjakan shalat ashar) empat raka’at (secara cepat) seperti patukan ayam. Dia tidak berdzikir untuk mengingat Allah, kecuali hanya sedikit saja.” (HR. Muslim no. 622)

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Masjid dan Musholah di sekitar Anda belum memiliki Jam Waktu Sholat? Miliki segera di Toko Albani, dan wakafkan ke masjid dan musholah tersebut! silahkan kunjungi link ini!