Mengambil Dalil Setengah-Setengah adalah Sebab Ketergelinciran dan Kesalahan dalam Beragama

Di antara prinsip ahlus-sunnah yang wajib untuk kita pahami dalam beragama adalah menggabungkan terlebih dahulu semua dalil dalam suatu permasalahan sebelum mengambil kesimpulan. Ahlus-sunnah tidak mengambil dalil setengah-setengah ketika hendak menyimpulkan hukum, sehingga hanya al-Qur’an saja yang diambil tetapi tidak dengan as-Sunnah, atau hanya sebagian ayat atau hadits saja yang diambil tetapi tidak dengan ayat atau hadits lainnya.

Sesungguhnya jika kita merenungkan kaidah ini, maka terdapat sebuah faidah yang sangat agung di baliknya. Perhatikan bahwa berapapun banyaknya dalil yang kita kaji, maka kita tidak akan menemukan sama sekali kontradiksi dalam dalil-dalil tersebut, selama pemahaman kita itu benar, ditopang oleh kaidah-kaidah yang baku dan ilmiah dalam memahami dalil. Ini karena dalil wahyu, baik itu ayat al-Qur’an ataupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah saling menguatkan dan saling menjelaskan satu sama lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang tidak adanya kontradiksi atau pertentangan di dalam al-Qur’an,

أَفَلا يَتَدَبَّرونَ القُرءانَ ۚ وَلَو كانَ مِن عِندِ غَيرِ اللَّـهِ لَوَجَدوا فيهِ اختِلـٰفًا كَثيرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari Sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”[1]

Demikian pula dengan as-Sunnah, juga tidak ada pertentangan di dalamnya, karena hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga adalah wahyu dari Allah, sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala,

وَما يَنطِقُ عَنِ الهَوىٰ * إِن هُوَ إِلّا وَحىٌ يوحىٰ

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”[2]

Jika kita telah memahami hal ini, maka ketahuilah bahwa di antara sebab ketergelinciran dan kesalahan kelompok-kelompok yang menyimpang adalah karena mereka mengambil dalil hanya setengah-setengah.

Orang-orang yang memiliki pemahaman Khawarij hanya mengambil kesimpulan dari ayat-ayat wa’id (ancaman), misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut,

وَمَن يَعصِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدودَهُ يُدخِلهُ نارًا خـٰلِدًا فيها وَلَهُ عَذابٌ مُهينٌ

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.”[3]

وَمَن يَعصِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ فَإِنَّ لَهُ نارَ جَهَنَّمَ خـٰلِدينَ فيها أَبَدًا

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.”[4]

بَلىٰ مَن كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحـٰطَت بِهِ خَطيـَٔتُهُ فَأُولـٰئِكَ أَصحـٰبُ النّارِ ۖ هُم فيها خـٰلِدونَ

“Barangsiapa berbuat dosa dan dia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”[5]

Dengan berbekal ayat-ayat ini, Khawarij menghakimi kafirnya para pelaku dosa besar, sebuah kesimpulan prematur yang bersumber dari mengambil dalil setengah-setengah dan berujung pada penghalalan darah kaum muslimin dan pemberontakan kepada ulil-amri.

Adapun orang-orang yang memiliki pemahaman Murji’ah, maka mereka hanya mengambil kesimpulan dari ayat-ayat wa’d (janji), misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut,

وَمَن يُطِعِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ يُدخِلهُ جَنّـٰتٍ تَجرى مِن تَحتِهَا الأَنهـٰرُ خـٰلِدينَ فيها

“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya.”[6]

وَمَن يُطِعِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ فَقَد فازَ فَوزًا عَظيمًا

“Barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah mendapat kemenangan yang besar.”[7]

Dari ayat-ayat di atas, Murji’ah menyimpulkan bahwa selama seseorang itu beriman kepada Allah, yaitu dengan memiliki tashdiq (membenarkan) tentang Allah dan Rasul-Nya di dalam hatinya, maka kemaksiatan yang dia lakukan ketika dia dalam kondisi beriman tersebut tidak akan mempengaruhinya sebagaimana ketaatan yang dia lakukan jika dia dalam kondisi kafir itu tidak akan mempengaruhinya.

Ini adalah pemahaman yang menyelisihi apa yang diyakini oleh ahlus-sunnah wal-jama’ah. Mereka meyakini bahwa iman itu tidak hanya sekedar tashdiq di dalam hati saja, akan tetapi juga mencakup ucapan lisan dan perbuatan atau amalan anggota tubuh.

Pemahaman ahlus-sunnah berada di tengah-tengah antara dua pemahaman menyimpang Khawarij dan Murji’ah. Ahlus-sunnah meyakini bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang; bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Ahlus-sunnah juga meyakini bahwa di antara dosa dan kemaksiatan ada yang namanya nawaqidhul-Islam (pembatal-pembatal keislaman), yaitu syirik akbar, kufur akbar, dan nifaq akbar, di mana jika seseorang melakukan salah satu saja di antara dosa pembatal keislaman ini, maka dia keluar dari Islam. Ahlus-sunnah meyakini bahwa pelaku dosa besar, selama dosa tersebut bukan termasuk pembatal-pembatal keislaman, maka dia tidak keluar dari Islam, seperti misalnya dosa membunuh dan melakukan zina. Orang yang melakukan dosa seperti ini maka perkaranya diserahkan kepada Allah; jika Dia berkehendak maka Dia akan menghukumnya, dan jika Dia berkehendak maka Dia akan mengampuninya.

Akidah yang lurus dan shahihah ini tidak akan bisa didapat kecuali setelah kita menggabungkan berbagai dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah untuk mendapatkan kesimpulan yang benar sesuai yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata,

لا ريب أن الكتاب والسنة فيهما وعد ووعيد.

ثم قال: ومثل هذا كثير في الكتاب والسنة، والعبد عليه أن يصدق بهذا وبهذا، لا يؤمن ببعض ويكفر ببعض، فهؤلاء المشركون أرادوا أن يصدقوا بالوعد، وكذبوا بالوعيد. والحرورية والمعتزلة أرادوا أن يصدقوا بالوعيد دون الوعد، وكلاهما أخطأ، والذي عليه أهل السنة والجماعة الإيمان بالوعد والوعيد.

ثم قال: فلا بد من الإيمان بكل ما جاء به الرسول، ثم إن كان من أهل الكبائر فأمره إلى الله، إن شاء عذبه، وإن شاء غفر له، فإن ارتد عن الإسلام ومات مرتدا، كان في النار، فالسيئات تحبطها التوبة، والحسنات تحبطها الردة، ومن كان له حسنات وسيئات، فإن الله لا يظلمه، بل من يعمل مثقال ذرة خيرا يره، ومن يعمل مثقال ذرة شرا يره، والله تعالى قد يتفضل عليه، ويحسن إليه بمغفرته ورحمته.

“Tidak diragukan lagi bahwa di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terdapat dalil wa’d (janji) dan wa’id (ancaman).

Kemudian beliau berkata: Dan yang semisal ini banyak di al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan seorang hamba wajib untuk membenarkan dalil yang ini dan dalil yang itu, tidak boleh baginya untuk beriman kepada sebagiannya tetapi kufur terhadap sebagian yang lainnya. Mereka kaum musyrikin ingin membenarkan dalil-dalil wa’d saja dan mengingkari dalil-dalil wa’id. Sedangkan Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah ingin membenarkan dalil-dalil wa’id saja tetapi tidak untuk dalil-dalil wa’d. Maka keduanya telah salah. Yang diyakini oleh ahlus-sunnah wal-jama’ah adalah beriman kepada dalil wa’d dan wa’id.

Kemudian beliau berkata: Tidak boleh tidak untuk beriman kepada semua yang datang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian jika dia termasuk pelaku dosa besar, maka perkaranya diserahkan kepada Allah. Jika Dia berkehendak maka Dia akan menghukumnya, dan jika Dia berkehendak maka Dia akan mengampuninya. Jika orang tersebut keluar dari Islam kemudian dia mati dalam keadaan murtad, maka tempatnya di neraka. Maka, keburukan dihapuskan dengan taubat, dan kebaikan dihapuskan dengan riddah (murtad, keluar dari Islam). Dan bagi orang yang memiliki kebaikan dan keburukan, maka sesungguhnya Allah tidak menzhaliminya. Akan tetapi, barangsiapa yang melakukan kebaikan walaupun hanya sebesar dzarrah, maka dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa yang melakukan keburukan walau hanya sebesar dzarrah, maka dia juga akan melihat (balasan)nya. Dan Allah Ta’ala telah memberikan karunia-Nya dan berbuat baik kepadanya dengan memberikan ampunan-Nya dan rahmat-Nya.”[8]

Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

MUSLIM

3 Adab Berbicara

Al-Hasan al-Bashri mengatakan, 

إِذَا جَالَسْتَ فَكُنْ عَلَى أَنْ تَسْمَعَ أَحْرَصَ مِنْكَ عَلَى أَنْ تَقُولَ ، وَتَعَلَّمْ حُسْنَ الِاسْتِمَاعِ ، كَمَا تَعَلَّمُ حُسْنَ الْقَوْلِ ، وَلَا تَقْطَعْ عَلَى أَحَدٍ حَدِيثَهُ

“Jika engkau duduk bersama kawan, jadilah orang yang lebih bersemangat untuk menjadi pendengar dibandingkan menjadi pembicara. Belajarlah menjadi pendengar yang baik sebagaimana belajar bertutur kata yang baik. Jangan putus/hentikan perkataan siapapun.” (Makarim al-Akhlaq karya al-Khara’ithi nomor 687)

Ada tiga adab berbicara yang penting kita ketahui dan kita praktekkan. 

PERTAMA:

Lebih banyak mendengar dan menyimak dari pada berbicara.

Allah ciptakan untuk kita dua telinga dan satu lidah agar kita lebih sering menjadi penyimak dibandingkan menjadi pembicara. 

Seringkali pendapat yang paling berkualitas adalah pendapat pembicara terakhir setelah menyimak pendapat semua orang yang berbicara sebelum dirinya.

KEDUA:

Menjadi pendengar yang baik.

Itulah orang yang menyimak perkataan lawan bicara dengan baik tanpa sibuk dengan medsos dan gadgetnya. 

Pendengar yang baik merespon dengan gembira ketika lawan bicara menyampaikan hal-hal yang menurutnya menggembirakan.

Demikian pula ketika lawan bicara menyampaikan hal-hal yang menyedihkan, pendengar yang baik akan menampakkan respon dan ekspresi ikut bersedih. 

Untuk bisa memiliki kemampuan menjadi pendengar yang baik perlu kesungguhan dan keseriusan untuk selalu belajar, berbenah serta memperbaiki diri.

KETIGA:

Tidak memotong pembicaraan.

Diantara bentuk menghormati lawan bicara adalah membiarkannya menuntaskan pembicaraan baru direspon dan dikomentari. 

Di sisi lain, tidak mendominasi pembicaraan adalah juga bentuk menghormati lawan berbicara. 

Semoga Allah mudahkan penulis dan semua pembaca tulisan ini memiliki adab-adab Islam yang luhur. Aamiin. 

Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I.

YUFIDIA 

Inilah Singa Allah, Penghulunya Para Syuhada

SEBAGAIMANA biasanya, setiap sore para pemuka Quraisy berkumpul hanya untuk bersenang-senang, menikmati makanan dan minuman yang diiringi nyanyian dan juga wanita-wanita penari. Sore itu wajah mereka dipenuhi dengan kemarahan, ternyata mereka sedang membicarakan perihal nabi Muhammad ﷺ dan juga para sahabatnya serta tentang risalah yang belum tersampaikan dengan baik.

Tiba-tiba mereka mendengar suara kaki yang mulai mendekat, mata mereka pun langsung berpindah arah ke suara tersebut. Ternyata dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi, tegap dan penuh wibawa sehingga disegani banyak kalangan terutama kalangan Quraisy. Dia adalah paman nabi ﷺ Hamzah bin Abdul Muthalib.

Hamzah bertanya kepada mereka, “Apa yang membuat kalian begitu marah? Apa yang terjadi?” Salah satu tokoh mereka, Abu Jahal  menjawab dengan kesal,  “Ini semua karena Muhammad ﷺ.”

Dengan kaget Hamzah berkata “keponakanku?”. “Betul sekali, karena dia telah memengaruhi banyak orang untuk mengikuti ajaran yang ia bawa, seolah-olah keponakanmu itu adalah seorang penyihir, bahkan sebagian besar dari kami telah kehilangan martabat dan jabatan di kalangan kaum Quraisy,” jawab Abu Jahal dengan tegas.

Hamzah tertawa mendengar perkataan Abu jahal seraya berkata,  “Ucapan kalian terrlalu berlebihan.” Semua terdiam ketika mendengar perkataan Hamzah bin Abdul Muthalib, dan tidak ada yang berani menyebutkan keburukan Muhammad ﷺ di depan pamannya itu meskipun ketika itu agama yang dianut oleh Hamzah sama dengan agama mereka, itu semua karena besarnya cinta dan kasih sayang Hamzah kepada keponakannya Muhammad ﷺ.

Untuk menghindari perbincangan yang hanya dipenuhi senda gurau dan juga lahwu (kesia-siaan, Red), Hamzah radhiallahu ‘anhu segera meninggalkan majelis itu dan pulang ke rumahnya. Akan tetapi  pikirannya masih terngiang-ngiang perkataan pemuka Quraisy tentang keponakan tercinta ﷺ. Sehingga mata yang seharusnya sudah terpejam harus rela terbuka karena pikirannya yang masih sibuk memikirkan tentang kebenaran risalah yang dibawa Muhammad ﷺ.

Di sisi Hamzah, Muhammad ﷺ tidak hanya sekedar keponakan, beliau adalah teman kecilnya, itu karena selisih umur mereka yang cukup dekat. Sehingga Hamzah sangat mengenal bagaimana perilaku atau akhlak mulia yang dimiliki Muhammad ﷺ. Inilah yang membuat Hamzah semakin bimbang dalam mempertahankan agama nenek moyangnya yang penuh dengan lahwu dan kesenangan dunia semata, karena ia berpikir bahwa Muhammad ﷺ tidak mungkin berniat menyesatkan manusia, sementara selama ini ia sangat dikenal dengan  kejujuran, keadilan, kehormatan  dll.

Spontan Hamzah memukul kepalanya sendiri lalu berkata, “Tidak… aku tidak akan pernah meninggalkan agama nenek moyangku selama-lamanya.” Hamzah mencoba untuk memjamkan matanya meski sangat sulit.

Hingga pada suatu hari Hamzah berniat untuk berburu di padang pasir. Ketika itu Nabi Muhammad ﷺ berada di bukit Safa. Abu Jahal melewati bukit itu dan ia melihatnya lalu menghampiri Muhammad  ﷺ kemudian berbicara dengan perkataan yang kasar. Ia meminta Nabi Muhammad ﷺ berhenti dalam memengaruhi masyarakat Makkah dengan dakwahnya. Namun, Nabi ﷺ  hanya diam  dan tidak peduli akan cacian dan penghinaan yang dilontarkan oleh  pamannya itu, sehingga perbuatan Nabi ﷺ tersebut membuat Abu Jahal semakin benci dan tidak sabar ingin memukulnya.

Keinginan itupun terwujud ketika Abu Jahal melihat batu yang tak jauh berada didekatnya, maka dengan tidak menunggu waktu lama dan rasa bencinya yang bergelora. Ia pun mengambil batu itu lalu memukulkannya di kepala Muhammad  ﷺ hingga darah dari tempat lukanya pun mengalir dengan cukup banyak.

Kejadian ini diketahui oleh Hamzah hingga menjadi salah satu sebab lisannya tanpa ragu mengucapkan dua kalimat syahadat setelah cahaya kebenaran Allah Ta’ala letakkan di dalam hatinya. Karena sebelum itu ia selalu berpikir tentang ajaran yang dibawa oleh keponakannya itu, namun nalurinya selalu berkata bahwa Nabi Muhammad ﷺ yang sangat ia kenal sejak kecil dengan budi pekerti yang baik lagi terpuji, tidak pernah berdusta.

Bahkan seluruh penduduk Makkah pun mengenalnya dengan  sebutan Al Amin (yang dipercaya). Karena itu tidak mungkin Muhammad secara tiba-tiba berbohong atas ajaran yang ia bawa (Islam) walaupun yang beliau bawa adalah perihal kerasulan yang menjadi penyempurna dan penutup risalah sebelumnya.

“Apakah kalian sedang memaki Muhammad? Sedangkan saya satu keyakinan (agama) dengannya.” Perkataan ini dilontarkan dengan suara yang begitu keras, hingga membuat kaget setiap orang yang mendengar ucapannya itu.

Kaum Quraisy yang berada di tempat itu pun bertanya-tanya bahkan tidak percaya ketika mendengar kalimat yang diutarakan seorang laki-laki yang disegani setiap kalangan. Ia ditakuti setiap musuh dan yang menjadi harapan kaum kafir Quraisy dalam menjaga dan mempertahankan agama nenek moyang mereka.

Dialah Hamzah bin Abdul Muthalib yang telah mengabarkan kepada  kaum Suku Quraisy akan keislamannya. Islamnya Hamzah mengokohkan setiap hati yang hendak goyah, menggigihkan setiap tekad yang hendak lemah.

Islamnya Hamzah menenangkan setiap jiwa yang dihantui rasa takut karena ancaman selalu datang menimpa bahkan menyemangatkan diri untuk tetap istiqamah. Islamnya Hamzah juga membawa berkah dan kebanggaan khususnya bagi umat islam ketika itu.

Setelah beriman dan bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Allah ﷻ dan sesungguhnya Muhammad ﷺ adalah utusan Allah ﷻ, detik itu juga ia menyerahkan segala kekuatannya, keberaniannya bahkan hidupnya untuk membela agama islam. Dan dia berjanji akan selalu menjaga umat islam meski setiap tetesan darahnya harus ia korbankan. Sehingga ia mendapatkan gelar dari Rasulullah ﷺ sebagai “asadullah” yang berarti singanya Allah.

Gelar mulia dari Rasulullah ﷺ ini tidak hanya kalimah balighah. Itu semua dapat kita lihat  ketika peperangan antara kaum muslimin dan kafir quraisy mulai terjadi setelah Rasululllah ﷺ dan kaum muslimin hijrah ke Madinah. Di antaranya adalah Perang Badar dan Uhud.

Seluruh kekuatan dan tenaga bahkan nyawa sekalipun ia hadiakan di jalan Allah ﷻ. Hingga datang suatu hari dimana  darah menjadi saksi, pintu langit dan penghuninya tidak sabar menanti kedatangan ruh pejuang islam, singanya Allah ﷻ , penghulu para syuhada’. Hamzah bin Abdul Muthalib radhiallahu  ‘anhu yang gugur di Medan perang demi membela agama yang mulia, agama islam.

Ketika perang uhud berakhir, sebagian para pejuang panji Islam gugur di medan perang, meski demikian gelar syahid lah yang mengokohkan kaki mereka dan meringankan  tangan dalam mengayunkan pedang kepada musuh-musuh islam. Kini, impian untuk menjadi para syuhada’ telah mereka raih.

Ketenangan, kebahagiaan, keindahan yang diimpikan setiap umat juga telah mereka genggam. Itulah janji Allah ﷻ untuk orang-orang yang beriman dengan apa yang telah Allah ﷻ sampaikan di dalam Al-Quran dan sunnah Rasulullah ﷺ.  Sebagaimana firman Allah ﷻ di dalam surah At-Taubah ayat 20-21:

الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَهَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِى سَبِيْلِ لِلَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُوْنَ * يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُمْ بِرَحْمَةٍ مِّنْهُ وَرِضْوَانٍ وَجَنّاتٍ لّهُمْ فِيْهَا نَعِيْمٌ مُقِيْمٌ *

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berhjihad dijalan Allah ﷻ dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya disisi Allah ﷻ. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan. Allah, Rabb meraka menyampaikan kabar gembira kepada mereka dengan memberikan rahmat, keridhaan, dan surga, mereka memperoleh kesenangan yang kekal di dalamnya.”

Gugur di Medan Jihad

Ketika itu juga Jabir bin Abdullah kehilangan Hamzah. Bahkan Rasulullah ﷺ terlihat cemas dan sibuk  mencari pamannya tercinta itu, hingga seorang laki-laki pun membawa berita bahwa ia melihat jasad Hamzah di bawah pohon yang rindang. Mendengar demikian Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya segera menghampiri dan mendekati tempat itu. Tetesan air mata pun mulai jatuh ke pipi  Rasulullah ﷺ paman yang selama ini menjaga dan membelanya dari berbagai caci maki kafir Quraisy bahkan meninggalkan agama nenek moyang dan memilih agama yang mulia atas dasar kepercayaan risalah yang beliau bawa.

Kini, pembela Islam itu telah terbujur kaku di depannya, diselimuti darah bahkan terlihat bekas sayatan di dadanya yang cukup besar. Beliau disayat Hindun, yang telah dihiasi rasa dendam dan benci karena Hamzah telah menewaskan nyawa ayah dan suaminya di medan perang.

Sejak megetahui kejadian itu Rasulullah ﷺ tidak sanggup melihat bahkan bertemu dengan Hindun karena rasa kecewa atas apa yang telah ia perbuat terhadap jasad pamannya tercinta.  Bahkan setelah masuk Islam pun, Hindun tidak berani untuk bertemu dengan Rasulullah ﷺ meskipun raganya tidak sabar ingin bertatap muka dengan kekasih Allah ﷻ Muhammad ﷺ.

Di hadapan jenazah Hamzah, Rasulullah ﷺ berkata :

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَمْزَة

“Penghulu para syuhada’ di hadapan Allah ﷻ pada hari kiamat adalah Hamzah.”

Semoga kisah singkat islamnya Hamzah bin Abdul Muthalib dan juga semangat jihadnya di jalan Allah ﷻ dapat membangunkan karakter umat di era milenial ini untuk menjadi umat yang memiliki iman yang kuat karena fitnah yang semakin berat, dan semangat istiqamah dalam membela agama yang mulia. Karena Rasululah ﷺ pernah bersabda:

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي ﷺ أنّه قال: بدأ الإسلام غريبا وسيعود غريبا كما بدأ فطوبى للغرباء

“Islam itu bermula asing  dan akan kembali asing seperti awalnya. Karena itu kegembiraan dan kebaikanlah untuk orang-orang yang terasing.”

Di dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang terasing itu adalah orang-orang yang memperbaiki sunnah Rasul ﷺ yang telah dirusak dan istiqamah dalam pengamalannya. Itu semua dapat kita lihat pada saat sekarang ini, dimana aliran-aliran sesat sudah banyak bermunculan, maksiat semakin merajalela, perselisihan kerap terjadi bahkan diantara kaum cendikiawan.

Maka dari itu, kita sebagai umat Islam menjaga syariatnya adalah kewajiban kita bersama, seyogyanya rasa cinta membaca dan mempelajari lebih dalam akan al-Quran dan sunnah adalah hal penting yang harus kita tanamkan didalam diri masing-masing agar tidak ada yang berani merubah bahkan merusaknya.*/

 Nurul Syuhada,  diterjemahkan dari Qasim Jamal , “رجال و نساء حول الرسول صلى الله عليه و سلم ” , Kairo: Darul Jauzi

HIDAYATULLAH


Setan Punya Sifat Khannas dan Waswas (Tafsir Surat An-Naas)

Setan punya dua sifat yaitu khannas dan waswas. Apa itu?

Allah Ta’ala berfirman,

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ

Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi.” (QS. An-Naas: 4)

WASWAS DAN KHANNAS

Asalnya waswas itu berarti gerakan atau suara yang samar sehingga kita menjaga diri darinya. Waswas adalah suatu godaan (gangguan) yang masuk dalam jiwa, bisa jadi dengan suara yang samar yang hanya didengar oleh orang yang digoda, bisa jadi pula tanpa suara seperti saat setan menggoda manusia. Waswas ini perbuatan yang terus terjadi berulang dan begitu dekat dengan yang menggoda. Misalnya, waswas itu terjadi karena begitu dekat dengan telinga manusia yang menggoda.

Sedangkan khannas adalah sifat dari setan yang sering bersembunyi ketika kita mengingat Allah (berdzikir kepada-Nya). Khannas dengan makna bersembunyi (ikhtifaa’) seperti dalam ayat,

فَلَآ أُقْسِمُ بِٱلْخُنَّسِ

Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang.” (QS. At-Takwir: 15). Al-khunnas adalah bintang. Bintang disebut dengan khunnas (artinya: bersembunyi) karena bintang itu tampak setelah bersembunyi (tidak terlihat).

Pendapat lainnya menyatakan bahwa al-khannas dan al-waswas sama-sama termasuk nama Iblis.

Lihat penjelasan Syaikh Musthafa Al-‘Adawi dalam At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 771-773.

Dalam Al-Kalim Ath-Thayyib, Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk berdzikir. Fungsi dzikir adalah seperti seseorang yang mengusir musuhnya dengan cepat. Sampai-sampai jika musuh itu datang pada benteng, ia akan terlindungi. Demikianlah fungsi dzikir bagi diri. Diri seseorang akan semakin terlindungi dari setan hanyalah dengan dzikir pada Allah.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika keutamaan dzikir hanyalah ini, tentu seorang hamba akan terus membasahi lisannya dengan dzikir pada Allah Ta’aladan terus teguh dengan dzikir tersebut. Karena yang dapat melindunginya dari musuh (yaitu setan, pen.) hanyalah dengan dzikir. Musuhnya pun baru bisa menyerang ketika ia lalai dari dzikir. Musuh tersebut baru akan menangkap dan memburunya ketika ia lalai dari dzikir. Namun, jika dirinya disibukkan dengan dzikir pada Allah, musuh tersebut akan bersembunyi, menjadi kerdil dan hina. Sampai-sampai ia seperti burung pipit atau seperti lalat (binatang kecil yang tak lagi menakutkan, pen.). Karenanya setan memiliki sifat waswasil khannas. Maksudnya, menggoda hati manusia ketika manusia itu lalai. Namun, ketika manusia mengingat Allah, setan mengerut (mengecil).” (Al-Wabil Ash-Shayyib, hlm. 83)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

الشَّيْطَانُ جَاثَمَ عَلَى قَلْبِ اِبْنِ آدَمَ فَإِذَا سَهَا وَغَفَلَ وَسْوَسَ فَإِذَا ذَكَرَ اللهَ تَعَالَى خَنَّسَ

Setan itu mendekam pada hati manusia. Jika ia luput dan lalai, setan menggodanya. Jika ia mengingat Allah, setan akan bersembunyi.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 13:469-470, Adh-Dhiya’ dalam Al-Mukhtar 10: 367 dengan sanad yang sahih).

Referensi:

  1. At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
  2. Al-Wabil Ash-Shayyib wa Rafi’ Al-Kalim Ath-Thayyib. Cetakan ketiga, tahun 1433 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Dar ‘Alam Al-Fawaid.

Disusun di Darush Sholihin, Senin siang, 27 Dzulhijjah 1441 H (17 Agustus 2020)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumasyho.Com

Penting! Ini 3 Makna Tahun Baru Islam 1 Muharram 1442 H

Tahun baru Islam yang diperingati setiap tanggal 1 Muharram tentu terasa spesial bagi para umat Islam di seluruh dunia. Perlu diketahui, setidaknya ada 3 makna Tahun Baru Islam.

Jika pada umumnya, masyarakat merayakan tahun baru berdasarkan penanggalan masehi, Islam memperingati tahun baru berdasarkan penanggalan Hijriyah yang sudah diterapkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW.

Pada tahun 2020, Tahun baru Islam atau 1 Muharram 1442 H akan jatuh pada Kamis (20/8/2020). Mengutip dari laman resmi NU, Islam memiliki 12 bulan dalam satu tahun yang empat bulan di antaranya adalah bulan yang paling dimuliakan oleh Allah SWT atau yang kerap disebut bulan haram.

Keempat bulan haram tersebut ialah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

Para ahli tafsir menjelaskan bahwa amalan ibadah selama bulan haram, pahalanya akan dilipatgandakan. Hal ini berlaku untuk amalan buruk di empat bulan haram tersebut juga akan dilipatgandakan.

Hal tersebut dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir yang menjelaskan, “Allah SWT mengkhususkan empat bulan haram dari 12 bulan yang ada, bahkan menjadikannya mulia dan istimewa, juga melipatgandakan perbuatan dosa di samping melipatgandakan perbuatan baik.”

Selain itu, tahun baru Islam juga memiliki makna mendalam dan spesial bagi umat muslim. Berikut tiga makna Tahun Baru Islam.

1. Hijrahnya Nabi Muhammad

1 Muharram juga diperingati sebagai pengingat peristiwa penting saat Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah yang kemudian melahirkan agama Islam. Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah, Islam mengalami perkembangan pesat dan semakin menyebar hingga ke Mekkah dan wilayah sekitarnya.

Nabi Muhammad SAW memutuskan hijrah setelah memperoleh wahyu dan perintah dari Allah untuk menyebarkan ajaran Islam ke masyarakat.

2. Bentuk Perjuangan Nabi Muhammad dan Para Sahabat

Tahun baru Islam juga dimaknai sebagai semangat perjuangan yang tak kenal lelah dan putus asa dalam menyebarkan agama Islam oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.

Meskipun banyak tantangan dan rintangan, Nabi Muhammad SAW dan sahabat tak pernah menyerah atau pesimis. Bahkan Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah meninggalkan tempat kelahirannya, saudara, dan harta bendanya hanya agar bisa memenuhi perintah dan wahyu yang diberikan Allah SWT.

3. Intropeksi diri

Pergantian tahun baru Islam juga dimaknai sebagai momen untuk intropeksi diri atau muhasabah. Seiring waktu yang terus berjalan dan berlalu, dengan adanya tahun baru Islam, diharapkan umat muslim lebih mawas diri, introspeksi dan bermuhasabah atas segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan selama 12 bulan.

Sekaligus memikirkan apa yang harus diperbaiki dan amalan apa yang harus ditinggalkan di tahun mendatang.

Itulah makna-makna Tahun Baru Islam yang perlu kalian ketahui.

SUARA


Muharram 1442: Spirit Hijrah di Masa Pandemi

Memasuki tahun 1442 Hijriyah, yang sarat dengan spirit hijrah tetaplah terus diingat meskipun saat ini kita berada di masa pandemi. Jadikan Muharram kali ini sebagai Spirit Hijrah di Masa Pandemi.

Marilah kita terus berupaya meningkatkan syukur dan taqwa kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sungguh di seluruh satuan waktu dan di setiap kesempatan, nikmat Allah selalu membersamai kita. Dalam kondisi saat ini, dipanjangkan-Nya usia kita adalah nikmat besar. Disehatkan-Nya fisik kita adalah nikmat besar. Dan yang paling besar di antara nikmat-nikmat besar adalah ketika Dia menjaga kita sehingga iman tetap bersemayam dalam jiwa kita.

Spirit Hijrah dalam Kalender Hijriyah

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Awalnya umat Islam tidak memiliki angka tahun. Di masa Rasulullah, tahun-tahun dinamakan sesuai peristiwa besar yang terjadi di dalamnya. Misalnya tahun gajah, karena di tahun itu ada pasukan gajah pimpinan Abrahah yang hendak menghancurkan Ka’bah. Ada yang disebut tahun fijar karena di dalamnya terjadi Perang Fijar. Ada tahun nubuwah karena di tahun itu Rasulullah menerima wahyu.

Tidak adanya bilangan tahun memunculkan masalah baru, khususnya dalam administrasi pemerintahan Islam yang semakin maju. Maka Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengumpulkan para sahabat lainnya untuk menetapkan tahun penanggalan Islam.

Ada yang mengusulkan mengikuti tahun Romawi, tetapi usulan ini ditolak mentah-mentah. Para sahabat kemudian mengusulkan empat peristiwa sebagai tahun pertama dalam kalender Islam. Pertama, kalender Islam dimulai dari tahun kelahiran Rasulullah. Kedua, kalender Islam dimulai dari tahun nubuwwah. Ketiga, kalender Islam dimulai dari tahun hijrah. Dan keempat, kalender Islam dimulai dari tahun wafatnya Rasulullah.

Usulan pertama dan ketiga tidak diambil. Alasan terbesarnya, baik kelahiran maupun tahun nubuwah, keduanya adalah semata-mata anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tak ada upaya atau perjuangan manusia (juhud basyari) sama sekali. Usulan keempat juga tidak diambil. Sebab dikhawatirkan mengulang suasana duka jika wafatnya Rasulullah dijadikan tahun pertama kalender Islam.

Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu mengusulkan kalender Islam dimulai dari tahun hijrah ke Madinah. Banyak alasannya. Hijrah adalah dimulainya peradaban baru Islam. Hijrah adalah perubahan umat Islam dari yang semula tertindas di Makkah menjadi kekuatan di Madinah. Dan berbeda dengan kelahiran dan nubuwah Rasulullah yang sama sekali tak ada upaya manusiawi, hijrah merupakan perjuangan besar umat Islam yang dipenuhi dengan banyak sejarah pengorbanan (tadhiyah).

Maka ditetapkanlah tahun hijrah sebagai tahun pertama kalender Islam. Dan karenanya, penanggalan ini disebut sebagai kalender hijriyah. Spiritnya adalah spirit hijrah.

Makna Hijrah

Ma’asyiral muslimin hafidhakumullah,
Secara khusus, hijrah yang menjadi dasar penentuan tahun pertama kalender hijriyah adalah perpindahan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Perpindahan tempat dalam rangka menyelamatkan dan memperjuangkan agama. Hijrah makaniyah.

Namun hakikat hijrah jauh lebih luas dari itu. Ia bisa dilakukan oleh siapapun dan di manapun. Hijrah maknawiyah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

الْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

“Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah.” (HR. Bukhari)

Hijrah maknawiyah inilah yang harus menjadi spirit dalam momentum tahun baru hijriyah. Kita meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hijrah dari syirik menuju tauhid. Hijrah dari kebathilan menuju kebenaran. Hijrah dari kemaksiatan menuju ketaatan. Hijrah dari kezaliman menuju keadilan. Hijrah dari yang haram menuju yang halal. Hijrah dari keburukan menuju kebaikan.

Spirit Hijrah di Masa Pandemi

Ma’asyiral muslimin haadakumullah,
Spirit hijrah tak pernah lekang di makan waktu. Ia senantiasa relevan di setiap masa. Termasuk di masa pandemi seperti saat ini. Justru ketika begitu banyak kematian datang tiba-tiba, saatnya bagi kita untuk hijrah dengan segera. Hijrah dalam makna yang seluas-luasnya. Sehingga kita berubah dari buruk menjadi baik dan dari baik menjadi lebih baik.

Spirit hijrah harus ada mulai dari hal yang paling fundamental dalam diri kita. Yakni keyakinan, keimanan. Jika selama ini masih ada keraguan dalam keimanan kita, maka kita harus memiliki spirit hijrah sehingga iman kita kepada Allah benar-benar iman yang kuat. Iman yang menancap di hati. Dibuktikan dalam sikap dan perbuatan. Mewujud dalam perjuangan dan pengorbanan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. Al Hujurat: 15)

Keyakinan kita terhadap akhirat harus semakin kuat. Apalagi di masa pandemi kita dihadapkan pada fakta banyaknya teman dan tetangga yang tiba-tiba meninggal dunia. Baik terpapar virus corona maupun sakit lainnya. Keyakinan kita lantas membuahkan spirit hijrah berikutnya. Yakni kita berusaha semakin mendekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka kita pun memperbaiki shalat kita. Memperbaiki dzikir dan doa-doa kita. Memperbaiki tilawah kita. Memperbaiki puasa dan infaq kita. Pendek kata, spirit hijrah harus membuat ibadah kita lebih baik, lebih khusyu’ lebih taqarrub ilallah.

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah… (QS. Al Hadid: 16)

Spirit hijrah juga harus mewarnai akhlak kita. Di masa pandemi seperti ini, alangkah banyaknya orang yang tiba-tiba berpisah dengan keluarganya. Berpisah dengan kerabatnya. Berpisah dengan tetangganya. Berpisah dengan teman-temannya. Karena meninggal dunia.

Maka selagi kesempatan masih ada, perbaiki hubungan kita dengan keluarga. Perbaiki hubungan dengan kerabat dan handai taulan. Perbaiki hubungan dengan tetangga dan teman.

Spirit hijrah juga harus mewarnai semangat dan gaya hidup kita. Pandemi ini membawa dampak yang luas. Tak hanya kesehatan, tetapi juga ekonomi, sosial dan pendidikan. Maka spirit hijrah membuat kita lebih menjaga kebersihan dan kesehatan. Spirit hijrah mewujud dalam gaya hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Spirit hijrah mewujud dalam semangat pantang menyerah. Spirit hijrah mewujud dalam menyempurnakan ikhtiar demi mencapai karunia dan barokah-Nya.

Kita yakin, dengan menyempurnakan ikhtiar dan senantiasa bertawakal, pandemi akan segera berlalu. Kesulitan akan berganti dengan kemudahan.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا . إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS. Al Insyirah: 5-6)

أَقُوْلُ قَوْلِ هَذَا وَاسْتَغْفِرُوْاللَّهَ الْعَظِيْمِ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ


Meskipun kita tidak mendapat kesempatan hijrah makaniyah sebagaimana para sahabat yang hijrah dari Makkah ke Madinah, semoga dengan hijrah maknawiyah kita mendapat keutamaan yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 218)

الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS. Surat At-Taubah: 20)

Sumber: BERSAMADAKWAH

Doa Awal Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1442 H

Menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharram 1442 H yang jatuh pada hari Kamis (20/8/2020), umat muslim dianjurkan untuk membaca doa awal tahun. Berikut ini bacaan doa awal Tahun Baru Islam yang dapat kalian amalkan.

Sebelum membaca doa awal tahun ini kalian perlu memperhatikan waktu yang tepat untuk melafalkannya.

Tahun Baru Islam 1 Muharram 1442 H memang jatuh pada hari Kamis (20/8). Tapi doa awal dan akhir tahun akan tepat dibaca saat hari terakhir pergantian tahun dalam kalender Hijriah.

Artinya, pada Rabu, 19 Agustus 2020 setelah memasuki waktu maghrib, umat Islam dianjurkan untuk membaca doa pada awal tahun.

Doa awal tahun ini dibaca sebanyak tiga kali setelah melakukan salat Maghrib pada malam 1 Muharram.

Intinya, doa awal tahun hijriah mengandung harapan yang akan dicapai atau diinginkan untuk satu tahun ke depan. Selain itu, doa tersebut juga berisi permohonan perlindungan dari Allah SWT.

Berikut bacaan doa awal tahun untuk menyambut Tahun Baru Islam:

Bismillaahir-rahmaanir-rahiim.

Wa shallallaahu ‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa ‘aalihi wa shahbihii wa sallam.

Allaahumma antal-abadiyyul-qadiimul- awwalu, wa ‘alaa fadhlikal-’azhimi wujuudikal-mu’awwali, wa haadza ‘aamun jadidun qad aqbala ilaina nas’alukal ‘ishmata fiihi minasy-syaithaani wa auliyaa’ihi wa junuudihi wal’auna ‘alaa haadzihin-nafsil-ammaarati bis-suu’i wal-isytighaala bimaa yuqarribuni ilaika zulfa yaa dzal-jalaali wal-ikram yaa arhamar-raahimin, wa sallallaahu ‘alaa sayyidina Muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aalihi wa shahbihii wa sallam

Artinya:

Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Semoga Allah tetap melimpahkan rahmat dan salam (belas kasihan dan kesejahteraan) kepada junjungan dan penghulu kita Muhammad beserta keluarga dan sahabat Beliau.

Ya Allah! Engkau Dzat Yang Kekal, yang tanpa Permulaan, Yang Awal (Pertama) dan atas kemurahan-Mu yang agung dan kedermawanan-Mu yang selalu berlebih, ini adalah tahun baru telah tiba: kami mohon kepada-Mu pada tahun ini agar terhindar (terjaga) dari godaan syetan dan semua temannya serta bala tentara (pasukannya), dan (kami mohon) pertolongan dari godaan nafsu yang selalu memerintahkan (mendorong) berbuat kejahatan, serta (kami mohon) agar kami disibukkan dengan segala yang mendekatkan diriku kepada-Mu dengan sedekat-dekatnya.

Wahai Dzat Yang Maha Luhur lagi Mulia, wahai Dzat Yang Maha Belas Kasih!

Kontributor : Muhammad Zuhdi Hidayat

SUARA


Kencenderungan Melebih-lebihkan Sesuatu

SUATU saat di sebuah kesempatan, Socrates sang filosof kenamaan itu berkata: “Manusia itu memiliki kecenderungan melebih-lebihkan sesuatu, kecuali kesalahan-kesalahan mereka. Mereka memandang kesalahan-kesalahan dirinya sebagai sesuatu yang tak boleh diuji dan dikritik.” Tentu, kalimat itu tidak dimaksudkan meliputi semua manusia. Ada eksepsi, pengecualian, yakni manusia-manusia istimewa.

Kecenderungan melebih-lebihkan sesuatu itu bisa jadi karena ada kekaguman, kejengkelan, cinta, kebencian, dan penghormatan atau penjelekan. Namun juga bisa jadi karena motif-motif tertentu yang bersifat personal. Lalu, bagaimanakah sikap terbaik menurut Islam dalam menyikapi dan menghadapi sesuatu itu? Jawabnya adalah yang fair saja, yang adil, yang moderat.

Melebih-lebihkan sesuatu itu sesungguhnya bermakna menempatkan sesuatu tidak pada tempat yang sesungguhnya, yang sewajarnya. Dalam bahasa agama ini disebut dengan DZALIM. Kedzaliman adalah kegelapan. Gelap efeknya di dunia dan terlebih nanti di akhirat. Pasti ada ketaknyamanan di belakang hari dari aksi melebih-lebihkan itu. Ketaknyamanan itu ada berbagai bentuk. Tinggal menunggu waktu saja.

Inilah alasan mengapa ajaran tengah-tengah, tawassuth, itu penting. Jangan terlalu ke kanan, jangan terlalu ke kiri. Sabda Nabi yag sangat terkenal adalah: “Cintailah kekasihmu dengan sederhana saja, siapa tahu nanti suatu saat berubah menjadi musuhmu. Bencilah musuhmu juga dengan sederhana saja, siapa tahu nanti suatu saat menjadi kekasihmu.” Ada banyak dalil dan maqalah yang mendukung sifat adil, fair, apa adanya. Salam AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK


Keutamaan Bulan Muharram

Bulan Muharram memiliki keutamaan.

Umat Islam sebentar lagi akan memasuki tahun baru 1 Muharram 1442 Hijriah yang jatuh pada 20 Agustus 2020. Biasanya Muslim melakukan introspeksi dan evaluasi diri di momen pergantian tahun, meskipun introspeksi dan evaluasi sebaiknya dilakukan setiap hari.

Di dalam agama Islam ada yang disebut dengan istilah bulan-bulan haram, yakni bulan-bulan mulia yang memang dimuliakan oleh Allah SWT dalam wahyu-Nya. Rajab adalah salah satu bulan dari empat bulan yang disebut dengan bulan haram.

Ustaz Ahmad Zarkasih Lc dalam buku Muharram Bukan Bulan Hijrahnya Nabi terbitan Rumah Fiqih Publishing menjelaskan empat bulan yang dimuliakan Allah SWT. Di antaranya bulan Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” ( QS At-Taubah: 36 ).

Empat bulan yang disebutkan oleh Allah SWT dalam ayat tersebut dijelaskan dan dirincikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya.

“Dari Abu Bakrah r.a., Nabi Muhammad SAW bersabda: Setahun itu ada 12 bulan, dan di antaranya ada empat bulan mulia, tiga berurutan Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab Mudhar yang ia itu berada antara jumada dan sya’ban.” (Muttafaq ‘alaiyh).

Pemuliaan yang diberikan syariat ini tentunya membuat empat bulan haram menjadi berbeda dengan bulan-bulan lainnya, termasuk dalam hal adab dan hukumnya. Jadi bulan-bulan haram adalah Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

Disebutkannya Rajab Mudhar dalam hadis itu, bukan berarti Rajab ada banyak jenisnya. Rajab hanya satu, disebutkan demikian karena dahulu ada dua suku yakni Mudhar dan Rabi’ah yang masing-masing sangat memuliakan beberapa bulan Hijriyah.

“Kaum Rabi’ah sangat menyukai dan mengagungkan bulan Ramadhan, sedangkan kaum Mudhar sangat menaruh cinta yang dalam kepada Rajab. Sehingga Rajab menjadi bulan yang sangat dimuliakan oleh kaum ini. Karena itulah, orang-orang dahulu, menyebut Rajab dengan sebutan Rajab Mudhar.” (Syarhu Muslim li an-Nawawi 11/168).

Imam al-Thabari dalam tafsirnya menukil perkataan sahabat Ibnu Abbas r.a. perihal kemuliaan yang Allah SWT berikan untuk bulan-bulan haram ini. Di bulan haram ini menurutnya dosa yang diperbuat akan semakin besar ganjaran dosanya, sebaliknya amal ibadah yang diperbuat akan semakin besar ganjaran pahalanya.

“Allah SWT memberikan keistimewaan untuk empat bulan haram di antara bulan-bulan yang ada, dan diagungkan kemuliaannya bulan itu, dan menjadikan dosa yang terbuat serta amal ibadah yang dilaksanakan menjadi lebih besar ganjaran dosa dan pahalanya.” (Tafsir al-Thabari 14/238).

KHAZANAH REPUBLIKA

5 Koin Era Awal Islam Dilelang Rp 14 M, Apa Istimewanya?

5 koin era awal Islam berasal dari sejumlah dinasti Islam.

Lima koin Islami yang sangat penting yang berasal dari abad ke-7 M menjadi salah satu sorotan dari penjualan Koin Penting Dunia Islam Morton dan Eden berikutnya di London pada 22 Oktober 2020 mendatang.

Secara kolektif, lima koin ini memberikan bukti sejarah penting untuk kelahiran mata uang murni Islam dan diperkirakan bernilai sekitar 700 ribu poundsterling atau sekitar Rp 14 miliar.

Spesialis koin Islam Morton & Eden, Stephen Lloyd, menjelaskan bahwa koin langka yang sangat dicari ini, dua di antaranya emas dan tiga perak, menceritakan kisah dekade pertama Islam dengan cara yang unik.

“Mereka menunjukkan bagaimana kekaisaran Islam berkembang ke arah timur dan barat pada abad ke-7 M, tidak hanya tanah yang ditaklukkan disatukan melalui aturan dan budaya Islam, sistem koin pan-Islam memberikan kohesi tambahan,” kata Lloyd dilansir di Art Daily, Selasa (18/8).

Lloyd menjelaskan, pada tahun-tahun awal penaklukan besar Muslim tidak ada tradisi pembuatan koin sehingga para penguasa hanya mengadaptasi atau mengambil inspirasi dari apa yang digunakan koin untuk tujuan mereka sendiri.  Namun setelah tiga dekade berbagai bentuk koin hibrida, pada 77 jam dinar emas Umayyah pertama dihujani dan menandai lahirnya mata uang baru yang murni Islam.

“Morton & Eden dengan senang hati mempersembahkan lima koin yang luar biasa ini, yang dengan jelas menunjukkan bagaimana koin-koin Islam berevolusi,” katanya.

Pasar saat ini untuk koin-koin Islam yang sangat langka, sangat melambung seperti yang dibuktikan dengan rekor harga yang luar biasa sebesar 3,72 juta pound yang dibayarkan untuk sebuah koin emas Islam dari ‘Tambang Panglima Umat Beriman di Hijaz’, yang mana dijual dalam lelang koin Islam pada bulan Oktober tahun lalu.

“Hal ini didukung hasil yang kuat dalam penjualan Eropa baru-baru ini.  Demikian pula pameran bertajuk “Koin Islam: Sejarah Terungkap”, yang dipamerkan di Abu Dhabi awal tahun ini semakin menarik minat.” jelasnya.

Koin pertama adalah solidus emas, kemungkinan dibuat pada tahun 680-an / 60-an. Ini adalah koin emas pertama yang dikeluarkan oleh Muslim, yang telah merebut sebagian besar Kekaisaran Bizantium termasuk Suriah, Yordania, Lebanon, dan Mesir. 

Lloyd menjelaskan, orang-orang yang tinggal di provinsi-provinsi ini telah menggunakan koin emas seperti ini selama berabad-abad dan kaum Muslim yang menang menunjukkan sedikit kecenderungan untuk membuat perubahan yang signifikan.

“Ketika sampai pada koin emas baru yang mencolok, prototipe Bizantium yang ada digunakan tetapi simbolisme Kristen yang terbuka seperti salib dihapus begitu saja,” jelas Stephen Lloyd. 

Sangat sedikit contoh solidi ‘salib yang dimodifikasi’ seperti kelangkaan ini yang masih bertahan. Signifikansinya melampaui statusnya sebagai salah satu koin emas pertama yang dipukul oleh umat Islam, jenisnya berfungsi sebagai asal mula dan pendahulu untuk koin emas epigrafi, ‘murni Islam’ yang direformasi yang datang setelahnya.  (Lot 1 – perkiraan harga 60 ribu-80 ribu pound). 

Kedua, berikutnya dalam urutan kronologis adalah drachm perak Arab-Sasanian ‘Khalifah Berdiri’. Disebut demikian karena sebaliknya menunjukkan sosok Khalifah yang berdiri dengan pedang di tangan menghadirkan ekspresi yang mencolok dari kekuatan Islam, meskipun ada  adalah kesamaan yang jelas dalam citra antara penggambaran kontemporer Kaisar Bizantium.  

Bagian depan, dengan patung Sasanian King Khusraw II yang memakai mahkota, terlihat drachm perak yang ada, yang beredar di timur. Pada saat ini penaklukan Muslim telah menyatukan tanah dari Bizantium di Barat dengan bekas Kekaisaran Sasan di Timur, kedua wilayah tersebut sudah memiliki mata uang yang berbeda dan sangat berbeda. 

Koin yang sangat langka ini kemungkinan besar ditemukan di Damaskus pada masa pemerintahan Khalifah Abd al-Malik sekitar 75 jam.  Damaskus, ibu kota Umayyah, terletak di perbatasan kedua wilayah ini. Jadi, koin perak Damaskus yang baru, tidak mengherankan, menunjukkan dirinya sebagai hibrida, mengambil inspirasi dari koin tradisional Kerajaan Sasan dan Bizantium. (Lot 2 perkiraan harga 150 ribu-200 ribu pound).

Ketiga, contoh luar biasa lain dari seri Arab-Sasanian ini adalah drachm ‘Mihrab dan’ Anaza ‘. Koin perak yang signifikan ini anehnya kurang mengacu pada tanggal, meskipun kemungkinan berasal dari sekitar 75 jam dan telah dibuat di Damaskus. Bagian depan menggambarkan patung lapis baja, pedang bersarung di tangan kanannya.  Prasasti yang ditulis dalam Pahlawi menyatakan patung tersebut adalah penguasa Sasanian Khusraw. Gambar sebaliknya menunjukkan sebuah lengkungan yang ditopang pada tiang (mihrab) di tengahnya adalah tongkat tombak, yang sejak itu telah diidentifikasi sebagai ‘anaza’ Nabi sendiri. Ini dipuji sebagai penggambaran paling awal dari fitur arsitektur Islam yang penting ini.

Para ahli juga berpendapat bahwa koin itu mungkin telah berperan dalam apa yang disebut perang gambar antara Muslim dan Kristen, atau teori lain adalah bahwa patung itu mengenakan baju besi adalah fakta bahwa citra tersebut secara terang-terangan bersifat militer, koin-koin ini mungkin telah memainkan peran praktis sebagai mata uang militer.

Sementara itu terus menarik para sarjana dan sejarawan koin Islam, namun semua sepakat bahwa ini adalah salah satu kelangkaan terbesar dan paling dicari dari jenisnya. (Lot 3 perkiraan harga 100 ribu-120 ribu).

Keempat, ikonografi militer bahkan lebih menonjol dalam drachm perak ini, salah satu drachm Arab-Sasanian terakhir yang dikeluarkan. Dipukul di Anbir pada 84h selama kekhalifahan Yazid B. Al-Muhallab, bagian depan menunjukkan patung Sasanian mengenakan helm sebagai lawan dari mahkota yang lebih biasa. Kebalikannya menunjukkan penyimpangan yang lebih jelas dari prototipe sebelumnya karena menggambarkan seorang pejuang yang mengancam. 

Prajurit itu memakai baju besi berantai dan dipersenjatai dengan pedang dan tombak. Sedangkan pendekar tidak secara eksplisit diidentifikasi; dia mungkin Khalifah atau mungkin gambaran ideal seorang pejuang Muslim, ini menunjukkan bahwa koin ini bukan hanya benda praktis, dipukul dari perak yang diambil selama kampanye di Timur, itu dapat dianggap sebagai tanda yang sangat simbolis dari superioritas militer Muslim. Dari perspektif sejarah, ini juga memberikan kesan akurat dan naturalistik dari senjata dan perlengkapan abad pertama Hijriah.  (Lot 4 perkiraan harga120 ribu -150 ribu pound).

Koin kelima dan terakhir dalam kelompok ini adalah dinar emas yang sangat langka dari 77h, tahun pertama di mana koin murni Islami dibuat.

“Pengenalan mata uang emas Islam yang tunggal, terpadu, dan khas oleh Abd al-Malik b Marwan telah benar dilihat sebagai tengara dalam sejarah awal Islam. Dinar emas itu indah dalam kesederhanaannya yang mencolok dan jelas dan tanpa kompromi Islami.” jelas Lloyd. 

Koin Islam baru membuat terobosan bersih dengan segala sesuatu yang telah digunakan sebelumnya. Hilang sudah salib yang dimodifikasi dan gambar figural kekaisaran Bizantium dan Kerajaan Sasanian, dinar emas baru murni dalam desain, membawa kutipan dari Alquran, yang menekankan keesaan Tuhan berbeda dengan doktrin Kristen tentang Tritunggal.  

Dinar ini menjadi dasar dari mata uang emas stabil yang diproduksi sesuai dengan ajaran Alquran. Jenis ini tidak berubah sampai jatuhnya Kekhalifahan Umayyah di 132h. Merupakan penghormatan penting bagi kekuatan abadi rancangan Abd al-Malik bahwa tiga dari empat prasasti yang digunakan pada dinar Islam pertama ini juga ditemukan pada koin terakhir Abbasiyah yang dikeluarkan hampir enam abad kemudian. (Perkiraan Lot 5 harga 180 ribu- 220 ribu pound). 

Lelang Morton & Eden pada 22 Oktober juga akan menampilkan banyak barang langka dan berharga lainnya, termasuk pilihan koin yang bagus dari Kota Suci Makkah dan Madinah.

Sumber: https://artdaily.cc/index.asp?int_sec=11&int_new=127427#.XztZv2kxcwA 

KHAZANAH REPUBLIKA