Inilah Manfaat Dzikir yang Luar Biasa

Inilah manfaat dzikir yang luar biasa. Coba deh kaji keutamaannya dari hadits jaami’ al-‘ulum wa al-hikam ini.

Hadits Ke-50 dari Jamiul Ulum wal Hikam Ibnu Rajab

الحَدِيْثُ الخَمْسُوْنَ

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ قَالَ : أَتَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رَجُلٌ ، فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيْنَا ، فَبَابٌ نَتَمَسَّكُ بِهِ جاَمِعٌ ؟ قال : (( لاَ يَزالُ لِسَانُكَ رَطْباً مِنْ ذِكْرِ اللهِ – عَزَّ وَجَلَّ – )) خَرَّجَهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ بِهَذَا اللَّفْظِ .

Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam (amalan sunnah) itu amat banyak yang mesti kami jalankan. Maka mana yang mesti kami pegang (setelah menunaikan yang wajib, pen.)?” Beliau menjawab, “Hendaklah lisanmu selalu basah dengan berdzikir kepada Allah (maksudnya: terus meneruslah berdzikir kepada Allah, pen).” (HR. Ahmad dengan lafazh seperti ini) [HR. Ahmad, 4:188; Tirmidzi, no. 3375; Ibnu Majah, no. 3793; Ibnu Hibban, no. 2317; Al-Hakim, 1:495. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat pula penjelasan hadits ini dalam Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh At-Tirmidzi, 9:305].

Faedah hadits

Pertama: Para sahabat begitu bersemangat dalam bertanya berkaitan dengan urusan agama mereka.

Kedua: Allah memerintahkan kita untuk banyak berdzikir. Allah juga memuji orang yang banyak berdzikir tersebut.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا , وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42)

وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berdzikir (mengingat) Allah pada setiap waktunya.” (HR. Bukhari, no. 19 dan Muslim, no. 737)

Yang dimaksud banyak berdzikir di sini adalah berdzikir ketika berdiri, berjalan, duduk, berbaring, termasuk pula dalam keadaan suci dan berhadats.

Ketiga: Para ulama menghitung dzikir dengan jarinya.

Khalid bin Ma’dan bertasbih setiap hari 40.000 kali. Ini selain Al-Qur’an yang beliau baca. Ketika ia meninggal dunia, ia diletakkan di atas ranjangnya untuk dimandikan, maka isyarat jari yang ia gunakan untuk menghitung dzikir masih terlihat.

Ada yang bertanya pada ‘Umair bin Hani, bahwa ia tak pernah kelihatan lelah untuk berdzikir. Ketika ditanya berapa jumlah bacaan tasbih beliau, ia jawab bahwa 100.000 kali tasbih dan itu dihitung dengan jari jemari.

Dari Yusairah seorang wanita Muhajirah, dia berkata:

قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَة

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kami, ‘Hendaknya kalian bertasbih (ucapkan subhanallah), bertahlil (ucapkan laa ilaha illallah), dan bertaqdis (mensucikan Allah), dan himpunkanlah (hitunglah) dengan ujung jari jemari kalian karena itu semua akan ditanya dan diajak bicara, janganlah kalian lalai yang membuat kalian lupa dengan rahmat Allah.’” (HR. Tirmidzi, no. 3583; Abu Daud, no. 1501 dari hadits Hani bin ‘Utsman dan disahihkan oleh Adz-Dzahabi. Sanad hadits ini dikatakan hasan oleh Al-Hafizh Abu Thahir).

Keempat: Jika seseorang telah benar-benar mengenal Allah, ia akan berdzikir tanpa ada beban sama sekali.

Kelima: Berdzikir adalah kelezatan bagi orang-orang benar-benar mengenal Allah. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28)

Keenam: Ada keutamaan berdzikir saat orang-orang itu lalai.

Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika hati seseorang terus berdzikir pada Allah maka ia seperti berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar lalu ia menggerakkan kedua bibirnya untuk berdzikir, maka itu lebih baik.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 524). Di sini dinyatakan lebih baik karena orang yang berdzikir di pasar berarti berdzikir di kala orang-orang lalai. Para pedagang dan konsumen tentu lebih sibuk dengan tawar menawar mereka dan jarang yang ambil peduli untuk sedikit mengingat Allah barang sejenak.

Lihatlah contoh ulama salaf. Kata Ibnu Rajab Al-Hambali setelah membawahkan perkataan Abu ‘Ubaidah di atas, beliau mengatakan bahwa sebagian salaf ada yang bersengaja ke pasar hanya untuk berdzikir di sekitar orang-orang yang lalai dari mengingat Allah. Ibnu Rajab pun menceritakan bahwa ada dua orang yang sempat berjumpa di pasar. Lalu salah satu dari mereka berkata, “Mari sini, mari kita mengingat Allah di saat orang-orang pada lalai dari-Nya.” Mereka pun menepi dan menjauh dari keramaian, lantas mereka pun mengingat Allah. Lalu mereka berpisah dan salah satu dari mereka meninggal dunia. Dalam mimpi, salah satunya bertemu lagi temannya. Di mimpi tersebut, temannya berkata, “Aku merasakan bahwa Allah mengampuni dosa kita di sore itu dikarenakan kita berjumpa di pasar (dan lantas mengingat Allah).” Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:524.

Ketujuh: Allah telah mewajibkan pada kaum muslimin untuk berdzikir kepada Allah pada siang dan malam dengan mengerjakan shalat lima waktu pada waktunya. Dari shalat lima waktu itu ada shalat rawatib (qabliyah dan bakdiyah), di mana shalat rawatib itu berfungsi sebagai penutup kekurangan atau sebagai tambahan dari yang wajib.

Kedelapan: Antara shalat Isya dan shalat Shubuh ada shalat malam dan shalat witir. Antara shalat Shubuh dan shalat Zhuhur ada shalat Dhuha.

Kesembilan: Dzikir dengan lisan disunnahkan setiap waktu dan ada yang dianjurkan pada waktu tertentu seperti:

  • Dzikir bakda shalat wajib.
  • Dzikir pagi dan petang pada bakda shubuh dan bakda ashar (yang tidak ada shalat sunnah setelah dua shalat tersebut).
  • Dzikir sebelum tidur, dianjurkan berwudhu sebelumnya.
  • Dzikir setelah bangun tidur.
  • Beristighfar pada waktu sahur.
  • Dzikir ketika makan, minum, dan mengambil pakaian.
  • Dzikir ketika bersin.
  • Dzikir ketika melihat yang lain terkena musibah.
  • Dzikir ketika masuk pasar.
  • Dzikir ketika mendengar suara ayam berkokok pada malam hari.
  • Dzikir ketika mendengar petir.
  • Dzikir ketika turun hujan.
  • Dzikir ketika turun musibah.
  • Dzikir ketika safar.
  • Dzikir ketika meminta perlindungan saat marah.
  • Doa istikharah kepada Allah ketika memilih sesuatu yang belum nampak kebaikannya.
  • Taubat dan istighfar atas dosa kecil dan dosa besar.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Siapa yang menjaga dzikir pada waktu-waktu tadi, dialah yang disebut orang yang rajin berdzikir kepada Allah pada setiap waktunya.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:529)

Mayoritas bahasan di atas diambil dari Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam pada bahasan hadits ke-50.

Tulisan ini jadi bahasan terakhir kajian Hadits Arbain dan Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam.

Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. 

Referensi:

  1. Fath Al-Qawi Al-Matin fii Syarh Al-Arba’in wa Tatimmah Al-Khamsiin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-‘Abbad Al-Badr.
  2. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  3. Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh At-Tirmidzi. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Al-Imam Al-Hafizh Abul ‘Ula Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al-Mubarakfuri. Penerbit Darul Fayhan & Darus Salam.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Kekuatan Doa yang Mengantarkan Erick Yusuf Berhaji

Ustaz Erick Yusuf memiliki kisah menarik ketika berhaji maupun umroh. Erick sebenarnya ingin umroh dan berhaji sejak muda, namun dia bingung karena tidak memiliki cukup uang untuk umroh apalagi berhaji.

Berhaji membutuhkan biaya yang sangat besar, karena benar Allah memerintahkan haji itu untuk yang mampu. Namun kemampuan ini tak lantas berhenti dari tidak memiliki uang semata.

Allah akan memampukan hamba-Nya dari arah yang tidak disangka-sangka. Untuk itu Erick terus memantaskan diri dengan menguatkan niat. “Saya akhirnya berusaha untuk memantaskan diri, dengan menguatkan niat dan berazam dengan cara lain memasang gambar poster Baitullah di depan kamar, di depan tempat tidur sehingga sebelum tidur dan bangun tidur tekad kuat terus terasa,” ujar dia kepada Republika.co.id, Selasa (4/8).

Erick terus memohon kepada Allah setiap bangun tidur dan di setiap shalatnya agar diizinkan pergi ke Baitullah. Setiap hari Erick memantaskan diri dengan mempelajari tata cara berhaji dan terkait tentang permasalahan selama berhaji.

Setelah membaca buku-buku tentang haji, dia merasa seakan-akan besok akan pergi ke Baitullah. Alhamdulillah, tidak berapa lama dia memantaskan diri Allah memenuhi doa-doanya.

Di lingkungan tempat tinggalnya, saat itu ada yang mengadakan manasik haji. Namun ustaz pembimbingnya berhalangan hadir, sehingga dia diminta untuk menggantikannya.

Meski hanya memberikan materi manasik, dia merasa doanya telah diijabah oleh Allah SWT. Dia optimistis, ketika diminta untuk membimbing manasik, Allah pasti akan memberikan hal yang lebih besar untuk dia.

Benar saja, tidak beberapa lama dia pun diajak untuk umroh tanpa biaya. Saat umroh, dia pun terus berdoa agar bisa kembali ke tanah suci untuk berhaji. Tidak berapa lama, dia pun mendapatkan panggilan Allah untuk berhaji dan tanpa biaya juga.

“Saya ingin berbagai bahwa kekuatan keistiqamahan dengan doa yang berulang itu, insya Allah akan di dengar Allah SWT. Karena tak hanya berdoa, saya juga dahulu berusaha untuk menyisihkan penghasilan untuk menabung dan digunakan untuk berhaji,” ujar dia.

Dengan berniat dan mencintai amalan ini, bahwa berhaji hanya karena Allah, maka kita meyakini bahwa Allah akan mengabulkannya. Allah akan membuka pintu langitnya dan kemudian akan turun pertolongan dari pintu langit tersebut.

Selama berhaji, ada dua pengalaman menarik yang meninggalkan kesan hingga saat ini. Saat itu adalah waktunya bermalam di Mina dan cuaca terasa panas.

Sehingga dia bersama beberapa orang memilih untuk duduk-duduk di luar sembari berzikir. Ketika sedang membaca Alquran, dia bertemu jamaah haji lain, berkenalan kemudian berbincang hingga curhat.

“Dia cerita kalau di masa lalu dia adalah seorang perampok dan sering merampok truk pembawa barang, meski telah haji berkali-kali dan bertaubat tetapi hatinya tidak tenang dan merasa khawatir hingga saat itu,” jelas dia.

Subhanallah, ada seorang jamaah yang juga mendengar kisahnya, dan ternyata mengenal pria mantan perampok ini. Dia pun memastikan nama mantan perampok itu dan kejahatan yang dilakukannya.

Ternyata jamaah yang bertanya itu adalah salah seorang korban perampokannya di masa lalu. Dia masih ingat betul tentang peristiwa perampokan tersebut, dia yang sedang mengemudi truk penuh dengan barang.

Sejak keduanya saling mengenali, mereka saling berpelukan dan meminta maaf satu dengan lainnya. Mantan perampok ini kini bisa berlega hati karena bisa mendapatkan maaf dari korbannya.

Kisah lainnya adalah ketika Erick wukuf di Arafah. Saat itu dia sedang khataman Alquran dan berzikir. Ustaz Erick kemudian bermunajat kepada Allah hingga rasanya tak berjarak dengan Allah.

“Saat itu rasanya saya telah siap untuk meninggal dunia, bahkan saya meminta dimatikan saat itu juga, namun tetiba terlintas di benak saya, istri dan anak-anak saya, kemudian saya langsung beristighfar,”ujar dia.

Bahwa tidak boleh seorang Muslim untuk meminta kematian, Erick segera merubah doa dan niatnya bahwa untuk diberikan kebaikan. Sebagai Muslim tidak boleh egois apalagi jika telah diamanahkan tanggung jawab untuk menjaga istri dan anak. Hal ini menjadikan dia lebih dekat dengan Allah SWT.

IHRAM

Sebab Hasad (Dengki) dan Cara Menghadapi Orang yang Hasad

Apa itu hasad? Apa saja sebab-sebab terjadinya hasad (iri hati, dengki)? Lalu bagaimana cara menghadapi orang yang hasad?

Kalau kita melihat dari sisi pengertian hasad sebenarnya lebih dari sekadar iri hati dan dengki. Baiknya bahasan ini dikaji lebih mendalam.

PENGERTIAN HASAD

Menurut jumhur ulama, hasad adalah berharap hilangnya nikmat Allah pada orang lain. Nikmat ini bisa berupa nikmat harta, kedudukan, ilmu, dan lainnya. Demikian penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 368.

Perkataan jumhur ulama di atas diungkapkan oleh Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafizhahullah,

الحَسَدُ هُوَ تَمَنَّى زَوَالَ النِّعْمَةِ عَنْ صَاحِبِهَا

“Hasad adalah menginginkan hilangnya nikmat yang ada pada orang lain.” (At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 720)

Hasad menurut Ibnu Taimiyah adalah,

الْحَسَدَ هُوَ الْبُغْضُ وَالْكَرَاهَةُ لِمَا يَرَاهُ مِنْ حُسْنِ حَالِ الْمَحْسُودِ

“Hasad adalah membenci dan tidak suka terhadap keadaan baik yang ada pada orang yang dihasad.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:111).

LARANGAN HASAD

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«لاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَتَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخوَاناً. المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَاهُنَا -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ- بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسْلِمَ. كُلُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ».

Janganlah kalian saling hasad (mendengki), janganlah saling tanajusy (menyakiti dalam jual beli), janganlah saling benci, janganlah saling membelakangi (mendiamkan), dan janganlah menjual di atas jualan saudaranya. Jadilah hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain. Takwa itu di sini–beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali–. Cukuplah seseorang berdosa jika ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.’” (HR. Muslim, no. 2564)

SIFAT MANUSIA SAAT HASAD

Hasad itu sifatnya manusiawi. Setiap orang pasti punya rasa tidak suka jika ada orang yang setipe dengannya melebihi dirinya dari sisi keutamaan.

Manusia dalam hal hasad ada empat keadaan yaitu:

Pertama: Ada yang berusaha menghilangkan nikmat pada orang yang ia hasad. Ia berbuat melampaui batas dengan perkataan ataupun perbuatan. Inilah hasad yang tercela.

Kedua: Ada yang hasad pada orang lain. Namun, ia tidak menjalankan konsekuensi dari hasad tersebut di mana ia tidak bersikap melampaui batas dengan ucapan dan perbuatannya. Al-Hasan Al-Bashri berpandangan bahwa hal ini tidaklah berdosa.

Ketiga: Ada yang hasad dan tidak menginginkan nikmat orang lain hilang. Bahkan ia berusaha agar memperoleh kemuliaan semisal. Ia berharap bisa sama dengan yang punya nikmat tersebut. Hal ini dirinci menjadi dua, yaitu dalam urusan dunia dan urusan agama.

Jika kemuliaan yang dimaksud hanyalah urusan dunia, tidak ada kebaikan di dalamnya. Contohnya adalah keadaan seseorang yang ingin seperti Qarun.

يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ

Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun.” (QS. Al-Qasas: 79)

Jika kemuliaan yang dimaksud adalah urusan agama, inilah yang baik.  Inilah yang disebut ghib-thah.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

لا حَسَدَ إلَّا على اثنتَينِ: رجُلٌ آتاهُ اللهُ مالًا، فهو يُنْفِقُ مِنهُ آناءَ اللَّيلِ وآناءَ النَّهارِ، ورجُلٌ آتاهُ اللهُ القُرآنَ، فهو يَقومُ به آناءَ اللَّيلِ وآناءَ النَّهارِ.

Tidak boleh ada hasad kecuali pada dua perkara: ada seseorang yang dianugerahi harta lalu ia gunakan untuk berinfak pada malam dan siang, juga ada orang yang dianugerahi Al-Qur’an, lantas ia berdiri dengan membacanya malam dan siang.” (HR. Bukhari, no. 5025, 7529 dan Muslim, no. 815)

Keempat: Jika dapati diri hasad, ia berusaha untuk menghapusnya. Bahkan ia ingin berbuat baik pada orang yang ia hasad. Ia mendoakan kebaikan untuknya. Ia pun menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Ia ganti sifat hasad itu dengan rasa cinta. Ia katakan bahwa saudaranya itu lebih baik dan lebih mulia.

Bentuk keempat inilah tingkatan paling tinggi dalam iman. Yang memilikinya itulah yang memiliki iman yang sempurna, di mana ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.

Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:260-263.

TINGKATAN HASAD

1- Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang meski tidak berpindah padanya. Orang yang hasad lebih punya keinginan besar nikmat orang lain itu hilang, bukan bermaksud nikmat tersebut berpindah padanya.

Seharusnya setiap orang memperhatikan bahwa setiap nikmat sudah pas diberikan oleh Allah pada setiap makhluknya sehingga tak perlu iri dan hasad. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisaa’: 32)

2- Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang, lalu berkeinginan nikmat tersebut berpindah padanya. Misalnya, ada wanita cantik yang sudah menjadi istri orang lain, ia punya hasad seandainya suaminya mati atau ia ditalak, lalu ingin menikahinya. Atau bisa jadi pula ada yang punya kekuasaan atau pemerintahan yang besar, ia sangat berharap seandainya raja atau penguasa tersebut mati saja biar kekuasaan tersebut berpindah padanya.

Tingkatan hasad kedua ini sama haramnya, tetapi lebih ringan dari yang pertama.

3- Tidak punya maksud pada nikmat orang lain, tetapi ia ingin orang lain tetap dalam keadaannya yang miskin dan bodoh. Hasad seperti ini membuat seseorang akan mudah merendahkan dan meremehkan orang lain.

4- Tidak menginginkan nikmat orang lain hilang, tetap ia ingin orang lain tetap sama dengannya. Jika keadaan orang lain lebih dari dirinya, barulah ia hasad dengan menginginkan nikmat orang lain hilang sehingga tetap sama dengannya. Yang tercela adalah keadaan kedua ketika menginginkan nikmat saudaranya itu hilang.

5- Menginginkan sama dengan orang lain tanpa menginginkan nikmat orang lain hilang. Inilah yang disebut dengan ghib-thah sebagaimana terdapat dalam hadits berikut.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al-Qur’an dan As-Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari, no. 73 dan Muslim, no. 816)

Inilah maksud berlomba-lomba dalam kebaikan,

وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffifin: 26)

Ini adalah ringkasan dari Fiqh Al-Hasad karya Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafizhahullah.

CARA MENGHADAPI DAMPAK JELEK ORANG YANG HASAD

Pertama: Bertawakal kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)

Kedua: Bertakwa kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ

Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sediki tpun tidak mendatangkan kemudaratan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran: 120)

Ketiga: Meminta perlindungan kepada Allah dari kejahatan orang yang hasad.

Dari hadits Mu’adz bin ‘Abdillah bin Khubaib dari bapaknya, ia berkata, “Kami pernah keluar pada malam yang hujan dan sangat gelap. Kami meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mau mendoakan kebaikan untuk kami. Kami pun mendapati beliau. Beliau berkata, ‘Ucapkanlah’. Aku tidak mengucapkan apa pun. Beliau berkata lagi, ‘Ucapkanlah’. Aku pun tidak mengucapkan apa pun. Beliau berkata lagi, ‘Ucapkanlah’. Aku lantas bertanya, “Apa yang mesti aku ucapkan?’ Beliau menjawab,

قُلْ (هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ حِينَ تُمْسِى وَتُصْبِحُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ تَكْفِيكَ مِنْ كُلِّ شَىْءٍ

Bacalah: surah Al-Ikhlas, lalu surah al-mu’awwidzatain (surah Al-Falaq dan An-Naas) ketika petang dan pagi sebanyak tiga kali, maka itu akan mencukupimu dari segala sesuatu.’” (HR. Tirmidzi, no. 3575. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafizhahullah mengatakan, “Benteng yang paling kuat untuk melindungi diri dari kejahatan orang yang hasad adalah dengan berpegang pada Al-Qur’an dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu meminta perlindungan kepada Allah Rabb semesta alam.” (At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 726)

Keempat: Jangan beritahu orang yang hasad tentang nikmatmu.

Coba ambil pelajaran dari apa yang dikatakan oleh Nabi Ya’qub pada putranya Nabi Yusuf ‘alaihimas salam,

قَالَ يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَىٰ إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”.” (QS. Yusuf: 5)

Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang mimpi baik dan mimpi buruk,

« الرُّؤْيَا الْحَسَنَةُ مِنَ اللَّهِ ، فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يُحِبُّ فَلاَ يُحَدِّثْ بِهِ إِلاَّ مَنْ يُحِبُّ ، وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ شَرِّهَا ، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَلْيَتْفُلْ ثَلاَثًا وَلاَ يُحَدِّثْ بِهَا أَحَدًا فَإِنَّهَا لَنْ تَضُرَّهُ »

Mimpi yang baik itu dari Allah. Jika salah seorang di antara kalian bermimpi sesuatu yang disenangi, janganlah menceritakannya selain pada orang yang menyukai saja. Namun, jika bermimpi yang tidak disukai, mintalah perlindungan kepada Allah dari keburukan mimpi tersebut dan juga dari kejahatan setan. Kemudian, meludahlah sebanyak tiga kali dan jangan menceritakan hal tadi kepada seorang pun. Karena mimpi tersebut tidak akan memudaratkan orang yang bermimpi tadi.” (HR. Bukhari, no. 7044 dan Muslim, no. 2261, dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu)

Kelima: Jangan ambil peduli dengan orang yang hasad, sibukkan diri dan tidak banyak memikirkan dia.

Ibnul Qayyim rahimahullah secara ringkas mengatakan bahwa jika ada yang hasad pada kita, tidak usah dipedulikan, tidak perlu takut, dan hati kita tidak usah memikirkan dia. Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi, hlm. 727-728.

Keenam: Menghadap dan ikhlas kepada Allah, dengan menyibukkan hati untuk mencintai, rida, dan bertaubat kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ , إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ

Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.” (QS. An-Nahl: 99-100)

Ketujuh: Tabah (sabar) dalam menghadapi orang yang hasad.

Allah Ta’ala berfirman,

۞ ذَٰلِكَ وَمَنْ عَاقَبَ بِمِثْلِ مَا عُوقِبَ بِهِ ثُمَّ بُغِيَ عَلَيْهِ لَيَنْصُرَنَّهُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ

Demikianlah, dan barangsiapa membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah ia derita kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Hajj: 60). Jika Allah benar-benar memberikan jaminan, padahal ia telah membalas sesuai dengan haknya. Bagaimana lagi jika seseorang yang tidak membalas sama sekali, berarti ia bersabar, ia terus dizalimi dan ia mau bersabar. Bukankah kita tahu sendiri bahwa hukuman bagi orang yang bertindak zalim dan memutus silaturahim itu lebih cepat mendapatkan hukuman. Ingatlah bahwa sudah jadi sunnatullah:

لَوْ بَغَى جَبَلٌ عَلَى جَبَلٍ جَعَل َالبَاغِي مِنْهُمَا دَكًّا

Jika satu gunung menzalimi gunung yang lain, salah satu yang zalim nantinya akan rata dengan tanah. Ini yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Badai’ Al-Fawaid.

Kedelapan: Berbuat baik pada orang yang hasad.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ, وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ , وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fussilat: 34-36).

Juga dalam ayat,

أُولَٰئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ بِمَا صَبَرُوا وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan.” (QS. Al-Qasas: 54)

Lihat pula bagaimana sikap para nabi ketika mereka disakiti dan dizalimi oleh kaumnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri saat perang Uhud malah berdoa,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِى فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ

Ya Allah ampunilah kaumku karena mereka sejatinya tidak mengetahui.” (HR. Bukhari, no. 3477 dan Muslim, no. 1792). Doa ini mengandung pelajaran bagaimanakah keburukan dibalas dengan kebaikan dalam empat bentuk:

أَحَدُهَا عَفْوُهُ عَنْهُمْ وَالثَّانِي اِسْتِغْفَارُهُ لَهُمْ الثَّالِثُ اِعْتِذَارُهُ عَنْهُمْ بِأَنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ الرَّابِعُ اِسْتِعْطَافُهُ لَهُمْ بِإِضَافَتِهِمْ إِلَيْهِ

  1. Memaafkan.
  2. Memintakan ampun untuk yang berbuat zalim.
  3. Memberikan uzur pada mereka karena mereka tidak tahu.
  4. Para nabi itu begitu sayang dan simpati pada kaumnya sendiri karena mereka tetap menyatakan itu kaumnya.

Empat hal di atas disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam Badai’ Al-Fawaid.

Kesembilan: Segera bertaubat atas dosa.

Kesepuluh: Orang yang hasad itu mandi dan airnya disiramkan pada orang yang kena hasad.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

الْعَيْنُ حَقٌّ وَلَوْ كَانَ شَىْءٌ سَابَقَ الْقَدَرَ سَبَقَتْهُ الْعَيْنُ وَإِذَا اسْتُغْسِلْتُمْ فَاغْسِلُوا

“‘Ain itu benar adanya. Segala sesuatu terjadi dengan takdir, termasuk pula ‘ain terjadi dengan takdir. Apabila kalian diminta untuk mandi (karena memberi dampak ‘ain), maka mandilah.” (HR. Muslim, no. 2188. Lihat Syarh Shahih Muslim tentang hadits ini).

Kesebelas: Lakukan ruqyah syariyyah.

Kedua belas: Memiliki iman dan tauhid yang kuat.

Cara menghadapi hasad ini diringkas dari kitab karya Syaikh Musthafa Al-‘Adawi yaitu At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 723-740.

SEBAB TERJADINYA HASAD

  1. Permusuhan dan kebencian.
  2. Cinta dunia terutama terkait dengan kekuasaan dan kepemimpinan.
  3. Pelit membagi kebaikan pada orang lain.
  4. Lemahnya iman.
  5. Kesombongan.
  6. Tidak ingin dikalahkan yang lain.
  7. Takut disaingi.
  8. Takut diejek orang lain.

Sebab-sebab di atas disebutkan oleh Syaikh Musthafa Al-‘Adawi di kitab At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 752-753.

Semoga bahasan hasad ini bermanfaat. Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat hasad.

Oleh: Al-Faqir Ilallah, Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Bersedekah Melalui Salat Dhuha

SALAT dhuha mempunyai keutamaan yang sangat banyak sekali. Di antaranya terdapat dalam hadis riwayat Abu Dzar, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, yang artinya,

“Pada setiap pagi hari wajib atas setiap ruas salah seorang di antara kalian dikeluarkan sedekahnya, maka setiap bacaan tasbih adalah sedekah, tahmid sedekah, tahlil sedekah, takbir sedekah, amar makruf sedekah, nahi mungkar sedekah, dan sesuatu yang mencukupi itu semua adalah dua rekaat yang dia kerjakan pada waktu dhuha.” (Hr. Muslim: 720).

Setahu kami pula, tidak ada bacaan tertentu yang wajib dibaca saat salat tersebut, kecuali bacaan yang dibaca seperti salat lainnya. Wallahu alam.

[Ustaz Abu Ibrohim Muhammad Ali pada Majalah Al-Furqon, edisi 12, tahun ke-7, 1430 H]

INILAH MOZAIK

Buah Manis Menjaga Lisan

Nikmat Allah kepada para hamba-Nya sangatlah banyak tidak terhingga. Allah Ta’ala berfirman :

وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَةَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.“  (An Nahl : 18)

وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ

Dan apa saja nk’mat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (An Nahl : 53)

Nikmat Allah Berupa Lisan Kepada Hamba-Nya

Nikmat Allah kepada kita sangat banyak dan tidak terhingga. Di antara nikmat yang hendaknya kita renungkan adalah nikmat yang Allah sebutkan dalam firman-Nya :

أَلَمْ نَجْعَل لَّهُ عَيْنَيْنِ وَلِسَاناً وَشَفَتَيْنِ

Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lisan, dan dua buah bibir.” (Al Balad : 8-9 )

Allah menganugerahkan kepada kita dua nikmat yang agung ini, yaitu nikmat kedua mata sehingga kita bisa melihat dan nikmat lisan sehingga kita bisa berbicara. Allah juga menciptakan dua bibir sebagai penutup lisan sebagaimana Allah menciptakan kelopak mata sebagai pelindung mata. Sungguh betapa agung nikmat Allah ini. Semoga kita bisa mensyukurinya dan menggunakan nikmat ini dalam ketaatan dan hal-hal yang diridhoi-Nya.

Di antara bentuk mensyukuri nikmat lisan dan kedua mata adalah senantiasa menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah dan menjaganya dari perkara-perkara yang Allah murkai. Barangsiapa yang Allah muliakan dengan penjagaan lisan dan pandangannya maka dia akan mendapat faidah dan buah manis berupa banyaknya kebaikan yang akan dia dapatkan di dunia dan di akhirat. Pada kesempatan ini kita akan membahas tentang faidah dan buah manis dari menjaga lisan yang akan didapatkan oleh pelakunya di dunia dan akhirat.

Buah Manis Menjaga Lisan

(1). Menjaga lisan adalah sebab diampuniya dosa-dosa dan sekaligus akan memperbaiki amal. Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً

“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. “ (Al Ahzab : 70-71)

(2). Menjaga lisan merupakan jaminan bagi hamba untuk masuk surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ 

“ Barangsiapa yang menjamin untukku sesuatu yang berada di antara jenggotnya (mulut) dan di antara kedua kakinya (kemaluan), maka aku akan menjamin baginya surga.” (H.R Bukhari)

Pemberi jaminan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jaminannya adalah masuk surga. Cara untuk mendapatkannya yaitu seorang hamba menjaga kemaluannya dan lisannya. 

(3). Menjaga lisan menyebabkan keselamatan di dunia dan di akhirat. Diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Aamir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “ Wahai Rasulullah, apakah keselematan itu ? “. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ ، وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ ، وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ 

“ Jaga lisanmun, tetaplah tinggal di rumahmu, dan tangisilah dosa-dosamu. “ (H.R Tirmidzi, shahih)

Dari sahabat ‘Abdullah bin Amru, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

مَنْ صَمَتَ نَجَا

“ Barangsiapa yang diam niscaya ia akan selamat. “ (H.R Tirmidzi, shahih)

(4). Seluruh anggota badan akan lurus dan istiqomah dengan lurusnya lisan, sebagaimana anggota badan akan menyimpang karena penyimpangan lisan. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ : اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ ؛ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا ، وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

“ Jika manusia berada di waktu pagi, maka semua anggota badannya menyalahkan lisan. Mereka berkata, “ Wahai lisan, bertakwalah kepada Allah dalam urusan kami karena sesungguhnya kami tergantung pada dirimu, Jika kamu bersikap lurus, maka kami pun akan lurus. Namun jika engkau menyimpang, maka kamipun akan menyimpang. “ (H.R Tirmidzi, shahih

(5). Menjaga lisan akan mengangkat derajat seorang hamba sehingga menjadi tinggi kedudukannya dan mendapatkan kebahagian berupa keridhoaan Allah. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ

“ Sungguh seorang hmba mengucapakan sebuah kalimat yang Allah ridhoi, yang dia tidak memperhatikannya, namun dengan sebab itu Allah mengangkatnya beberapa derajat. “ (H.R Bukhari)

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ فَيَكْتُبُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ 

“ Sungguh seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat yang mengandung keridhoan Allah, dia tidak menyangka ucapannya begitu tinggi nilainya, maka Allah ‘Azzza wa Jalla akan menuliskan keridhoan baginya sampai hari kiamat.“ (H.R Tirmidzi, shahih)

(6). Menjaga lisan adalah pokok dari segala kebaikan. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memberi wasiat kepada Muadz bin Jabal radhiyalllahu ‘anhu. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَلَا أُخْبِرُكَ بِمَلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ

“ Maukah Engkau aku kabarkan dengan sesuatu yang menjadi kunci itu semua? ” 

Aku menjawab, “Ya, wahai Nabi Allah.” 

Lalu beliau memegang lisannya dan bersabda, 

كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا

Tahanlah lisanmu ini.” 

Aku bertanya, “Wahai Nabi Allah, apakah sungguh kita akan diadzab disebabkan oleh perkataan yang kita ucapkan?” 

Beliau menjawab, 

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“ Celakalah engkau Wahai Muadz !Tidaklah manusia itu disungkurkan ke dalam neraka di atas muka dan hidung mereka, melainkan disebabkan ucapan lisan mereka.” (H.R Tirmidzi, shahih)

Senada dengan makna hadis di atas, Yunus bin ‘Ubaid rahimahullah berkata : 

ما رأيت أحداً لسانه منه على بال إلا رأيت ذلك صلاحاً في سائر عمله

“ Tidaklah aku menjumpai seseorang yang memperhatikan lisannya, melainkan hal tersebut berpengaruh baik terhadap seluruh aktivitasnya.” (Jaami’ul ‘Uluw wal Hikam)

Yahya bin Abi Katsiir rahimahullah berkata :

ما صلَحَ منطقُ رجل إلاَّ عرفتَ ذلك في سائر عمله ، ولا فسدَ منطقُ رجلٍ قطُّ إلاَّ عرفتَ ذلك في سائر عمله 

“ Tidaklah seseorang ucapannya baik, kecuali akan tampak pada semua aktifitasnya. Dan tidaklah jelek ucapannya, kecuali akan tampak pula pada semua aktifitasnya.“ (Hilyatul Auliyaa’)

(7). Menjaga lisan merupakan tanda keimanan dan ciri kebaikan agama seseorang yang menunjukkan kuatnya iman dan hubungannya dengan Allah Ta’ala. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ 

“ Barangispa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia berkata yang baik atau diam. “ (H.R Bukhari dan Muslim)

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ ، وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ

“ Tidak akan lurus di atas jalan istiqomah iman seorang hamba sebelum istiqomah hatinya, dan tidak akan istiqomah hatinya sebelum istiqomah lisannnya”. (H.R Ahmad, shahih)

Penutup

Inilah di antara beberapa pengaruh dan buah manis dari menjaga lisan. Seorang hamba yang beriman wajib untuk senantiasa mengingat nikmat lisan ini. Allah ‘Azza wa Jalla memberikan anugerah dan kemuliaan dengan nikmat ini. Maka ingatlah dan syukurilah nikmat ini dan semangatlah untuk menjaga lisan dari berbagai dosa-dosa lisan yang menyebabkan seorang hamba celaka di dunia dan akhirat. Sedangkan orang yang Allah beri anugerah untuk menjaga lisan dan ucapannya maka dia kan mendapat keberuntungan yang banyak dan buah manis di dunia dan di akhirat.

Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita semua untuk menjaga lisan-lisan kita.

Sumber : Fawaaidu Shiyaanati al Lisaan karya Syaikh ‘Abdurrozzaq bin ‘Abdil Muhsin al Badr hafidzahullah 

Download link sumber bacaan : https://www.al-badr.net/ebook/180

Penyusun : Adika Mianoki

MUSLIMorid

Doa Minta Rezeki dan Ilmu dari Rasulullah

KITA mungkin pernah mendengar pepatah dari politikus terkenal yang juga mantan perdana menteri Inggris, Winston Churchill, berikut: success always demands a great effort (sukses selalu meminta usaha yang lebih kuat). Namun, sebagai muslim, ada hal lain yang akan menguatkan usaha kita dalam mencapai kesuksesan, yaitu doa.

Sebagai muslim yang taat sudah sepatutnya kita meyakini kekuatan sebuah doa. Doa adalah wujud pengharapan kita sebagai hamba kepada Sang Pencipta dan Sang Pemilik Kehidupan. Termasuk dalam usaha kita meraih kesuksesan, rezeki, kecerdasan, atau lainnya.

Rasulullah Shalallahualaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita semua berbagai macam doa. Pun diriwayatkan dalam sebuah hadis sebuah doa yang indah untuk kita dalam memohon rezeki dan ilmu yang lurus.

“Allahumma inni asaluka ilman naafian wa rizqan thayyiban wa amalan
mutaqabbalan.”

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik,
dan amalan yang diterima.” (HR Ahmad & Ibnu Majah)

Beliau menganjurkan agar kita membacanya pagi hari setelah melakukan salat
Subuh. Sungguh doa yang tidak hanya indah tapi juga begitu penting untuk
dilantunkan. Karena kehidupan akan semakin bermakna dengan memiliki ilmu yang bermanfaat, rezeki yang berkah, serta amalan-amalan yang kita lakukan pun diterima. Allahualam bi shawwab. [An Nisaa Gettar]

INILAH MOZAIK

Apa yang Dimaksud Haji Mabrur?

Haji mabrur menurut  bahasa,  berarti haji yang baik  atau  yang  diterima oleh Allah  SWT.  Menurut istilah, haji mabrur adalah haji yang      mendorong pelakunya menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Sedangkan menurut  syar’iy, haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan sesuai dengan   petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Dengan memperhatikan berbagai syarat, rukun, wajib  dan  adabnya, serta menghindari hal-hal yang dilarang dengan penuh konsentrasi  dan  penghayatan  semata-mata atas dorongan iman dan mengharap ridha Allah SWT.

Sumber: Tuntunan Manasik Haji dan Umrah 2020 Kemenag 

IHRAM

Detik-Detik Digantinya Ismail dengan Kambing dari Surga

Allah SWT mengganti Ismail dengan kambing untuk disembelih.

Menyembelih hewan qurban setelah sholat Idul Adha selain sesuai perintah Allah SWT juga sebagai memperingati bagaimana kesabar Ibrahim dan kepasrahan Ismail mejalankan perintah Allah SWT dalam penyembelihan. 

Bagaimana kisah ibrahim menyembelih Ismal lalu diganti seekor hewan sembelihan diabadikan surat Ash-Shaffat Ayat 107 yang artinya: وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” 

Mengutip terjemah Kementerian Agama, ditegaskan bahwa apa yang dialami Ibrahim dan putranya itu merupakan batu ujian yang amat berat.  

Memang hak Allah untuk menguji hamba yang dikehendaki-Nya dengan bentuk ujian yang dipilih-Nya berupa beban dan kewajiban yang berat. Bila ujian itu telah ditetapkan, tidak seorang pun yang dapat menolak dan menghindarinya. 

“Di balik cobaan-cobaan yang berat itu, tentu terdapat hikmah dan rahasia yang tidak terjangkau oleh pikiran manusia,” bagitu tafsir ayat 107 versi Kemenag  

Ismail yang semula dijadikan qurban untuk menguji ketaatan Ibrahim, diganti Allah dengan seekor domba besar yang putih bersih dan tidak ada cacatnya.

Peristiwa penyembelihan kambing oleh Nabi Ibrahim ini yang menjadi dasar ibadah qurban untuk mendekatkan diri kepada Allah, dilanjutkan oleh syariat Nabi Muhammad SAW.  

Menurut Ibnu Abbas bahwa seekor sembelihan itu adalah kibas atau kambing yang menurut sejumlah riwayat disebut berasal dari surga. Ibnu Abbas berkata, “Kibas itu adalah dipersembahkan oleh Habil untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang dipelihara di surga sehingga dipakai menebus Ismail.”  

Pada tafsir lain dijelaskan bahwa setelah Allah memanggil Ibrahim memberitahukan bahwa bunyi perintah Allah dalam mimpi telah dilaksanakannya dan tangannya telah ditahan Jibril sehinga pisau yang tajam itu tidak sampai tercecah keatas leher Ismail, maka didatangkanlah seekor domba besar, sebagai ganti dari anak yang nyaris disembelih itu.  

Menurut riwayat Ibnu Abbas, yang dikuatkan dengan sumpah “Demi Allah yang menguasaiaku dalam genggaman tangan-Nya.”  Sampai kehadiran Islam, masih didapati tanduk domba tebusan Ismail itu digantungkan oleh orang Quraisy di dinding Ka’bah, sebagai suatu barang yang bernilai sejarah. 

Setelah pada satu waktu terjadi kebakaran pada Ka’bah, barulah tanduk yang telah digantungkan beratus-ratus tahun itu turut hangus karena kebakaran itu. 

KHAZANAH REPUBLIKA


Jumlah Haji yang Pernah Dilaksanakan Nabi Muhammad

Berapa kali Nabi Muhammad SAW  berhaji dalam hidupnya? Diriwayatkan dari Abu Ishaq, ia berkata, Aku pernah bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Berapa kali kamu berperang menyertai Rasulullah SAW?” Dia menjawab, “Tujuh belas kali.” Kata Abu Ishaq, “Kemudian Zaid bin Arqam bercerita kepadaku bahwa Rasulullah SAW

pernah berperang sembilan belas kali, dan beliau berhaji sekali setelah beliau berhijrah, yaitu haji wada’.” (Muslim bab Haji Nabi SAW).

Sementara itu Jabir bin Abdullah ra. meriwayatkan, “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah tinggal di Madinah selama sembilan tahun namun beliau belum berhaji. Kemudian pada tahun kesepuluh beliau mengumumkan bahwa beliau akan berhaji, sehingga banyak orang yang hadir ke Madinah yang kesemuanya ingin turut serta bersama Rasulullah SAW dan melakukan amal ibadah seperti beliau.” (Muslim bab haji Nabi SAW)

Inilah haji Wada’ atau haji perpisahan. Beliau melakukannya di akhir hayatnya seolah-olah menjadi isyarat bahwa tugas beliau menemani dan membimbing umat akan segera selesai. Rasul yang penuh kasih akan segera bertemu Sang Kekasih. Dengan diikuti kurang lebih 90.000 orang, Rasulullah SAW berangkat dari Madinah pada lima atau empat hari terakhir dari bulan Dzulqa’dah.

Haji Wada’ merupakan kesempatan yang penting bagi Rasulullah SAW untuk mengajarkan manasik haji kepada umatnya. Kaum muslimin telah belajar tata cara shalat, puasa, zakat dan segala hal yang berkaitan dengan ibadah, hak dan kewajiban. Kini saatnya bagi beliau untuk menjelaskan kepada mereka tata cara pelaksanaan ibadah haji. Mulai dari apa itu haji tamattu, qiran dan ifrad. Menjelaskan mana yang rukun, wajib dan sunah haji. Mana larangan dan apa saja hukumannya.

Penjelasan tentang hal ini bisa kita lihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah RA yang terdapat dalam Shahih Muslim. Haji Wada’ memiliki nilai yang agung berkaitan dengan dakwah Islam dan nilai-nilai hidup bagi seorang muslim. Hal ini bisa kita simak dalam khutbah yang beliau sampaikan ketika wukuf di Arafah. Di antara nilai-nilai penting tersebut adalah: Pertama, Terjaganya darah, nyawa, harta dan kehormatan manusia. Kedua, Dihapusnya segala macam bentuk riba dan tingkah laku jahiliyah.

Ketiga, Peringatan agar waspada terhadap bujuk rayu setan. Keempat, Perintah berbuat baik kepada wanita. Kelima, Perintah berpegang kepada Al-Qurían dan Sunnah. Keenam, Hubungan penguasa dan rakyat. Keagungan yang lain dari haji Wada’ ini adalah dengan turunnya ayat 3 Surat Al-Maidah, “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Ayat yang menjelaskan tentang paripurnanya risalah Islam?

Oleh Ustaz H Bobby Herwibowo, Lc

IHRAM

Masa tak Lagi Peduli Halal Haram dan Kisah Salman Al-Farisi

Halal dan haram tak lagi menjadi perhatian umat Islam era sekarang.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ ، أَمِنَ الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ

“Bakal datang kepada manusia suatu masa, di mana orang tiada peduli akan apa yang diambilnya; apakah dari yang halal ataukah dari yang haram. (HR Bukhari Muslim dari Abu Hurairah RA). 

Maraknya perilaku yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan dewasa ini apakah merupakan pertanda bahwa zaman yang diisyaratkan Nabi SAW itu sudah datang? Para ustadz, guru, dan cendekiawan sudah mensinyalir hadirnya zaman itu dalam khutbah-khutbahnya. Di masjid, di pengajian, di kantor, di sekolah, di ruang diskusi, semua orang membicarakan tentang penghalalan segala cara dalam mencapai cita-cita. 

Jika memang benar, alangkah berbahayanya zaman ini. Suatu zaman yang tak menentu, yang selalu goyah seperti sedang ditimpa gempa. Kita yang hidup di zaman seperti ini menjadi penuh tanda tanya. Apakah sepak-terjang kita dalam mencari nafkah sehari-harinya sudah terimbas oleh zaman itu pula?

Hadits riwayat Bukhari di atas memperingatkan kita betapa tata nilai telah bergeser sangat cepat yang mengakibatkan kita merespon zaman dengan persepsi yang sangat berbeda. Ketika tangan kita melindungi harta kita sendiri, bisa jadi tangan kita itu tiba-tiba ditepiskan tangan orang lain yang ingin merebut kekayaan kita itu. 

Rupanya batas-batas kekayaan kita dengan kekayaan orang lain sudah dianggap kabur. Jika kita tak mampu membedakan lagi barang halal dengan barang haram, sesungguhnya dunia kita sudah ”kiamat”. Lalu kepada siapa masyarakat mengadu untuk menuntut keadilan, kemakmuran, kebenaran? Mampukah masyarakat menolong dirinya sendiri untuk melindungi kekayaannya?

Agaknya perjuangan para ustadz, guru, dan cendekiawan dewasa ini sudah bergeser ke arah penegakan akhlak. Tegaknya akhlak yang baik mampu menerbitkan keadilan, kemakmuran, dan kebenaran. Ketiga martabat kearifan yang diperjuangkan manusia berabad-abad lamanya atas sesamanya itu sungguh selaras dengan kehendak Tuhan.

Sebuah kisah diceritakan dalam buku Kasyful Mahjub karya Ali ibn Utsman Al-Hujwiri tentang Abu Halim Habib bin Salim Al-Ra’i, seorang sufi sahabat Salman Al-Farisi. Ia bisa menjinakkan segerombolan serigala yang sebenarnya meneteskan air liur ketika melihat biri-birinya yang ia gembalakan di tepi Sungai Eufrat. 

Ia juga mampu memancurkan air susu dan air madu dari sebongkah batu yang ia suguhkan bagi tamunya. Menurut sang sufi, hal itu mampu dikerjakannya karena hasratnya selaras dengan kehendak Allah dan taat kepada Rasulullah Muhammad SAW. Ketika seorang syekh memintanya memberi wejangan, Al-Ra’i berkata: ”Jangan jadikan hatimu keranjang keinginan hawa nafsu dan perutmu periuk barang-barang haram.

KHAZANAH REPUBLIKA