Ini Doa untuk Orangtua yang Telah Meninggal, Lengkap dengan Latin dan Terjemah

KITA diciptakan oleh Allah SWT untuk beribadah dan taat terhadap segala perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.

Salah satu perintah Allah adalah berbakti kepada orangtua. Saking pentingnya, Rasulullah menempatkan durhaka kepada orangtua urutan dosa besar setelah musyrik kepada Allah.

Oleh karena itu, seseorang dituntut untuk terus berbakti kepada kedua orang tua meskipun kedua orang tuanya telah tiada.

Ia dapat menghadiahkan berupa doa dan permohonan ampunan kepada Allah untuk kedua orang tuanya yang telah meninggal sebagaimana keterangan Syekh M Nawawi Banten berikut ini: “Hadiah orang-orang yang masih hidup kepada orang-orang yang telah meninggal dunia adalah doa dan permohonan ampunan kepada Allah (istighfar) untuk mereka,”

Berikut beberapa doa yang dapat dibaca seseorang untuk mendoakan kedua orang tuanya:

رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيْرَا

Rabbighfir lī, wa li wālidayya, warham humā kamā rabbayānī shaghīrā.

Artinya, “Tuhanku, ampunilah dosaku dan (dosa) kedua orang tuaku. Sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu aku kecil.” []

ISLAMPOS

Ketika Shalat, Wajib Tumaninah saat Rukuk, Ini Maksudnya

BELIAU Nabi Muhammad SAW dengan thumaninah (tenang) dan memerintahkan demikian kepada orang yang tidak benar sholatnya sebagaimana yang dijelaskan diatas. Sabda Beliau SAW, ”Sempurnakanlah ruku dan sujudmu. Demi jiwaku yang berada dalam genggamanNya, sesungguhnya aku benar-benar melihat kamu dari balik punggungku saat kamu ruku dan sujud.” (HR Bukhari & Muslim).

Dalam riwayat Ath-Thayalisi dan Ahmad, Abu Hurairah berkata ”Kekasihku Rasulullah SAW melarangku bersujud dengan cepat seperti halnya ayam yang mematuk makanan, menoleh-nolah seperti musang dan duduk sepeti kera.”

Rasulullah SAW juga bersabda ”Pencuri yang paling jahat adalah pencurian yang mencuri dalam sholatnya.”

Para sahabat bertanya ”Wahai Rasulullah bagaimana yang dimaksud dengan mencuri dalam sholat itu?” Rasulullah menjawab ”Yaitu orang yang tidak sempurna ruku dan sujudnya dalam sholat.” (HR Thabrani dan Hakim).

Ketika sedang sholat, Beliau SAW melirik orang yang sujud dan ruku dengan punggung tidak lurus. Usai sholat Beliau SAW bersabda ”Wahai kaum muslimin, sesungguhnya tidak sah sholat seseorang yang tidak meluruskan punggungnya dalam ruku dan sujud.” (HR Ibnu Majah & Ahmad). []

Sumber: Sifat Shalat Nabi, karya Nashirudin Al-Albani

ISLAMPOS


Perkara yang Pertama Kali Dihisab pada Hari Kiamat

Amal seorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Sedangkan yang pertama kali diputuskan berkaitan dengan perkara yang terjadi di antara sesama manusia adalah darah. Shalat adalah hubungan antara manusia dengan Rabb-nya. Sedangkan darah berkaitan dengan masalah yang terjadi antara sesama manusia.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan dua masalah ini dalam satu hadits. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ الصَّلَاةُ، وَأَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِي الدِّمَاءِ

Perkara yang pertama kali dihisab adalah shalat. Sedangkan yang diputuskan pertama kali di antara manusia adalah (yang berkaitan dengan) darah.” (HR. An-Nasa’i no. 3991. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala berkata,

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Yang diputuskan pertama kali di antara manusia adalah (yang berkaitan dengan) darah’ menunjukkan pentingnya masalah darah. Sehingga hal itu merupakan perkara yang diputuskan pertama kali di antara manusia pada hari kiamat.Hal ini disebabkan karena agungnya masalah ini dan besarnya bahayanya.

Hadits ini tidaklah bertentangan dengan hadits terkenal di dalam As-Sunan, ‘Perkara yang pertama kali dihisab adalah shalat’, karena hadits yang ke dua ini berkaitan dengan urusan yang terjadi antara seorang hamba dan Allah Ta’ala. Adapun hadits ini berkaitan dengan urusan yang terjadi di antara sesama manusia.” (Al-MInhaaj Syarh Shahih Muslim, 1/167).

Jika hisab telah selesai, setelah itu akan ada penimbangan amal (mizan). Hisab bertujuan agar seorang hamba mengakui amal baik dan amal buruk yang telah dia kerjakan di dunia serta menghitungnya. Sedangkan mizan bertujuan untuk menampakkan kadar atau ukurannya, kemudian memberikan balasan yang setimpal.

***

Disarikan dari kitab Al-Imaan bimaa Ba’dal Maut,karya Ahmad bin Muhammad bin Ash-Shadiq An-Najaar,hal. 193-194, cet. Daar An-Nashiihah tahun 1434.

Diselesaikan ba’da isya, Rotterdam NL, 21 Rabiul Akhir 1438/19 Januari 2017

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.or.id

Keyakinan Tentang Hari Pembalasan

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. 

Salah satu pokok aqidah Islam yang harus selalu ditanamkan dalam diri adalah keyakinan tentang hari pembalasan atau hari akhir. Sebagaimana dalam surat al-Fatihah yang di dalamnya terdapat ayat yang menjelaskan bahwa Allah menjadi penguasa hari pembalasan/maliki yaumid diin

Yang dimaksud “yaumud diin” adalah hari pembalasan dan hisab/penghitungan. Demikian keterangan dari Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah dalam kitabnya Min Kunuz al Qur’an al-Karim. (Lihat dalam Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/151)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa yang dimaksud yaumud diin adalah hari pembalasan yaitu hari kiamat. Ia disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itulah hamba dibalas atas segala amal perbuatan mereka. (Lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 51)

Syaikh Shalih bin Abdillah al-‘Ushaimi hafizhahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud dengan yaumud diin itu adalah hari penghisaban dan pembalasan atas amal-amal. (Lihat Ma’anil Fatihah wa Qisharil Mufashshal, hal. 9)

Kata ad-diin di dalam bahasa arab bisa bermakna al-jazaa’ wal hisaab; pembalasan dan penghitungan. (Lihat It-haf Dzawil ‘Uqul ar-Rasyidah, hal. 341)

Urgensi Iman kepada Hari Akhir

Di dalam ‘maaliki yaumid diin’ terkandung iman kepada hari akhir dan iman terhadap pembalasan atas amal-amal, dan bahwasanya yang akan memberikan balasan atas amal-amal itu adalah Allah ‘azza wa jalla. Oleh sebab itu, faidah yang bisa dipetik dari sini adalah dorongan untuk beramal dalam rangka menghadapi hari tersebut. (Lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 57)

Iman kepada hari akhir merupakan salah satu di antara keenam rukun iman. Sebagaimana kehidupan kita di alam dunia adalah benar maka demikian pula adanya hari akhir adalah benar dan pasti akan terjadi. Allah berfirman, 

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثاً وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

“Apakah kalian mengira bahwasanya Kami menciptakan kalian dengan sia-sia, dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami.” (al-Mu’minun : 115) (Lihat Ahkam minal Qur’anil Karim, 1/27-28 karya Syaikh Utsaimin)

Termasuk dalam iman kepada hari akhir adalah mengimani tentang azab kubur. Allah berfirman,

يُثَبِّتُ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ

“Allah akan memberikan keteguhan kepada orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh dalam kehidupan dunia dan di akhirat …” (Ibrahim : 27). 

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari al-Bara’ bin Azib radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ayat ini lalu beliau bersabda, “Ayat ini turun berkaitan dengan azab kubur.” (Lihat Ahwal al-Qubur, karya Ibnu Rajab hal. 47)

Di dalam hadits dikisahkan, bahwa ketika seorang mukmin berada di alam kubur maka dia pun didudukkan lalu dia pun didatangi oleh malaikat -yang bertanya kepadanya- kemudian dia pun bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Itulah maksud dari ayat,

يُثَبِّتُ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ

“Allah akan memberikan keteguhan kepada orang-orang yang beriman, dst.” (Ibrahim : 27) (Lihat Ahwal al-Qubur, hal. 48)

Dalam hadits lain diceritakan, bahwa ketika itu datanglah dua malaikat dan bertanya kepadanya, ‘Siapa Rabbmu?’ dia menjawab, “Rabbku adalah Allah.” Mereka juga bertanya, ‘Apa agamamu?’ dia menjawab, “Agamaku Islam.” Lalu mereka juga bertanya, ‘Siapakah lelaki yang diutus untuk kalian?’ maka dia menjawab, “Dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Mereka bertanya lagi, ‘Apa yang kamu ketahui?’ dia menjawab, “Aku membaca Kitabullah maka aku pun beriman kepadanya dan membenarkannya.” (Lihat Ahwal al-Qubur, hal. 49)

Keadaan Orang Kafir di Alam Kubur

Adapun orang kafir maka dua malaikat pun datang bertanya kepadanya, ‘Siapa Rabbmu?’ lalu dia menjawab, “Hah, hah. Aku tidak tahu.” Ketika dia ditanya, ‘Apa agamamu?’ dia menjawab, “Hah, hah. Aku tidak tahu.” Ketika ditanya, ‘Siapakah lelaki yang diutus kepada kalian?’ dia mengatakan, “Hah, hah. Aku tidak tahu.” Kemudian ada penyeru dari langit yang menyatakan, ‘Orang ini telah berdusta, maka gelarkanlah untuknya hamparan dari neraka dan sematkanlah untuknya ‘pakaian’ dari neraka, dan bukakanlah untuknya pintu menuju neraka’. Maka seketika itulah datang hawa panas yang membakar dari neraka dan disempitkanlah kuburnya sampai-sampai tulang-tulang rusuknya bergeser dari tempat-tempatnya. (Lihat Ahwal al-Qubur, hal. 49-50)  

Dalam riwayat lain dikisahkan, bahwa Allah menciptakan untuk orang kafir itu seorang yang buta, bisu dan tuli seraya membawa sebuah palu. Seandainya palu itu dipakai untuk memukul sebuah gunung niscaya ia akan hancur menjadi debu. Maka ‘orang’ itu memukulnya sehingga dia berubah menjadi debu. Kemudian Allah memulihkan keadaannya seperti semula. Kemudian dia dipukul lagi maka dia pun menjerit dengan sekeras-kerasnya sehingga bisa didengar oleh segala makhluk selain manusia dan jin. Kemudian dibukakanlah untuknya sebuah pintu menuju neraka dan dibentangkan untuknya hamparan dari neraka. (Lihat Ahwal al-Qubur, hal. 51)  

Dalam hadits lain riwayat Bukhari dan Muslim dikisahkan, bahwa orang kafir dan munafik ketika ditanyakan kepadanya, ‘Apa pendapatmu mengenai lelaki ini -Muhammad-?’ maka dia menjawab, “Aku tidak tahu. Aku sekedar mengucapkan apa yang telah diucapkan oleh orang-orang.” Maka dikatakanlah kepadanya, “Kamu tidaklah mengikuti orang-orang itu, walaupun kamu ikut mengucapkan apa yang mereka ucapkan.” (Lihat Ahwal al-Qubur, hal. 53)

Setiap orang kelak akan dibangkitkan sesuai dengan keadaannya ketika meninggal. Orang mukmin dibangkitkan di atas keimanan sedangkan orang munafik dibangkitkan di atas kemunafikannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir radhiyallahu’anhu. (Lihat Ahwal al-Qubur, hal. 58)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Termasuk bagian keimanan kepada hari akhir adalah mengimani segala berita yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai berbagai kejadian setelah kematian. Maka mereka mengimani fitnah kubur, azab kubur dan nikmat yang ada di dalamnya.” (Lihat Syarh al-Wasithiyah oleh Syaikh ar-Rajihi, hal. 101)

Yang dimaksud dengan fitnah/ujian di alam kubur itu adalah pertanyaan ‘Siapa Rabbmu? Apa agamamu? Dan siapa nabimu?’. Ketiga pokok inilah yang dibahas oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam risalahnya yang terkenal yaitu al-Ushul ats-Tsalatsah. Di dalamnya beliau menjelaskan tentang mengenal Allah, mengenal Islam dan mengenal nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Syarh al-Wasithiyah, hal. 102) 

Kaum Mu’tazilah telah mengingkari azab kubur dan nikmat kubur. Padahal, dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah telah membantah pemahaman mereka itu. Diantara dalil tentang azab kubur di dalam al-Qur’an adalah kisah diazabnya Fir’aun beserta para pengikutnya. Allah berfirman,

النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوّاً وَعَشِيّاً وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ

“Neraka itu ditampakkan kepada mereka setiap pagi dan petang. Dan pada hari kiamat nanti masukkanlah para pengikut Fir’aun itu ke dalam azab yang paling keras.” (Ghafir : 46). 

Selain itu masih ada banyak dalil yang lain. (Lihat Syarh al-Wasithiyah, hal. 102-103) 

Barangsiapa tidak mengimani dibangkitkannya jasad-jasad manusia kelak pada hari kiamat setelah kematian mereka maka dia telah kafir berdasarkan ijma’ para ulama. Allah berfirman,

زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَن لَّن يُبْعَثُوا قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Orang-orang kafir itu mengira bahwasanya mereka tidak akan dibangkitkan. Katakalah : Sekali-kali tidak, demi Rabbku. Benar-benar kalian akan dibangkitkan kemudian akan dikabarkan kepada kalian dengan apa-apa yang telah kalian kerjakan. Dan itu semuanya adalah sangat mudah bagi Allah.” (at-Taghabun : 7) (Lihat Syarh al-Wasithiyah, hal. 105)

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Artikel: Muslim.or.id

Menghafal 99 Nama Allah Akan Masuk Surga

ADA hadis sahih yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah itu memiliki 99 nama, barangsiapa yang menghafal nama-nama tersebut maka dia akan masuk surga.”

Kata para ulama yang dituntut dari kita itu (satu) menghafal, tapi ini tidak cukup sebenarnya kata para ulama. Ada kata-kata ahshoha di situ, barang siapa yang ahsho sebagian ulama seperti Imam Bukhori beliau di sini mengatakan ahsho maksudnya adalah menghafal.

Ulama yang lain mengatakan tidak cukup hanya menghafal tapi dia perlu menghafal kemudian juga berusaha untuk mengamalkannya. Contohnya dengan bertawassul. Sambil ditambah dengan memahami, memahami isi dari Asmaul Husna tersebut.

Ditambah lagi yang lebih sempurna adalah mengaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana Asmaul Husna diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari? Maksudnya adalah ketika kita mengetahui bahwasanya Allah Ta’ala itu memiliki nama Assami (Maha Mendengar).

Kalau kita mengetahui, memahami bahwasanya Allah Maha Mendengar aplikasinya adalah apa? Jika berbicara, berbicaralah yang baik-baik walaupun berbicaranya jeleknya itu lirih tapi jangan berbicara jelek karena walaupun lirih Allah Maha Mendengar.

Contoh:

Yang lain Allah memiliki nama Al-Bashir (yang Maha Melihat), kalau Allah Maha Melihat di mana pun kita berada maka jangan berbuat maksiat walaupun di dalam kamar mandi.

Pernah ada seorang ustaz, ada seorang preman yang dia tobat dari kepremanannya tapi dia belum bisa meninggalkan satu penyakit yang satu yaitu merokok, akhirnya suatu saat karena saking kebeletnya merokok dia minta izin sama ustaznya.

Ustaz saya minta izin merokok, kata ustaznya boleh-boleh ndak papa tapi ngerokoknya di tempat yang nggak di lihat sama Allah yah? Akhirnya dia cari di mana? Di kamar mandi, dia pikir kalau di kamar mandi tidak di lihat oleh Allah, padahal Allah punya nama Al-Bashir (yang Maha Melihat).

Jadi apakah hanya dengan membaca Asmaul Husna bisa masuk surga? Kalau hanya membaca saja tidak, tapi perlu apa? Perlu menghafal, kemudian dipahami, yang lebih tinggi yang lebih sulit yaitu adalah mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. [Ustaz Abdullah Zaen, M.A.]

INILAH MOZAIK

Lupa dalam Shalat, Lakukanlah Sujud Sahwi

ALLAH SWT selalu memberikan keringanan kepada hamba-Nya. Termasuk dalam hal melaksanakan kewajibannya sebagai seorang Muslim, yakni shalat. Allah mengetahui bahwa kita, manusia tidak akan pernah luput dari salah dan lupa. Maka, tak menutup kemungkinan bahwa kita pun bisa saja lupa dalam shalat. Lalu, bagaimana jika hal itu terjadi?

Barangsiapa lupa dalam shalatnya, kemudian menambah jumlah rakaat shalatnya, ia wajib sujud usai shalatnya kemudian salam. Begitu juga, barangsiapa meninggalkan sunnah muakkadah dalam shalat, ia wajib sujud sebelum salam.

Begitu juga, barangsiapa meninggalkan tasyahud pertengahan dan tidak ingat padanya, atau ingat padanya setelah ia berdiri maka ia tidak usah melakukan tasyahud. Dan sebagai gantinya ia wajib sujud sebelum salam. Begitu juga orang yang salam padahal shalatnya belum tuntas, ia wajib kembali dalam posisi shalat kemudian menyempurnakan shalatnya, dan sujud setelah salam.

Dasar sujud sahwi adalah sabda dan perbuatan Rasulullah ﷺ. Beliau pernah salam setelah shalat dua rakaat, kemudian diberi tahu tentang hal tersebut. Beliau pun kembali ke posisi shalat, menyempurnakan shalatnya, dan sujud setelah salam. (Diriwayatkan At-Tirmidzi)

Rasulullah ﷺ pernah berdiri dari rakaat kedua tanpa tasyahud. Kemudian beliau sujud sebelum salam, dan bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian ragu-ragu di shalatnya, ia tidak tahu sudah shalat tiga rakaat atau empat rakaat? Maka hendaklah ia membuang keragu-raguannya dan hendaklah ia membangun berdasarkan apa yang ia yakini, kemuidan sujudlah dua sujud sebelum salam. Jika ia telah shalat lima rakaat, ia menggenapkan shalatnya. Jika ia telah shalat empat rakaat, maka itu membuat marah syetan,” (Muttafaq alaih).

Adapun orang yang lupa di belakang imam dalam arti ia sebagai makmum, maka ia tidak wajib melakukan sujud sahwi menurut sebagian besar ulama. Terkecuali jika imamnya lupa, maka ia sujud bersamanya karena ia harus mengikuti imam, dan karena keterkaitan shalatnya dengan shalat imam. Para sahabat pernah sujud bersama Rasulullah ﷺ ketika beliau lupa dan sujud. (Diriwayatkan Muslim) []

Referensi: Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim/Karya: Abu Bakr Jabir Al-Jazairi/Penerbit: Darul Falah

ISLAMPOS



Ketika Islam, Kristen, dan Yahudi Kompak Haramkan Riba

Tiga agama samawi kompak mengharamkan praktik riba.

Sebenarnya, riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam. Berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba.

Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.

Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Hal ini secara tegas diungkapkan dalam Alquran Surat Al Baqarah ayat 275 : 

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ  “..padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”.

Sementara itu, agama Yahudi melarang praktek pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun undang-undang Talmud. Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan: Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya. Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan: Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.

Namun, Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Hanya saja, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan : Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu?

Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.

Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktikkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII – XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI – tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Nasihati Pemimpin? Perhatikan Saran Imam Ghazali Berikut

Imam Ghazali memberikan saran agar sukses menasihati pemimpin.

Mencegah kemungkaran mempunyai sejumlah tahapan. Aktivitas ini tidak boleh dilakukan secara serampangan begitu saja. 

Imam Al-Ghazali dalam Ikhtisar Ihya Ulumiddin mengatakan, mencegah kemungkaran memiliki empat tahapan. Mulai dari menegur, menasehati dengan lembut,  melayangkan perkataan keras dan melarang secara paksa. 

Namun, dari empat tahapan itu, tahapan ketiganya tidak boleh dilakukan kepada orang yang memiliki kekuasaan atau seorang pemimpin. Alasannya agar tidak timbul fitnah dan masalah pelik kepada orang yang menasihatinya alias kita yang menasihatinya jangan difitnah melakukan makar.  

Maka dari itu sampaikan, saran atas kemungkaran penguasa dengan lemah lembut. Sebagaimana Allah  SWT pernah memerintahkan Nabi Musa mendatangi Firaun dengan cara lemah lembut bukan dengan mengasarinya.

Perintah Allah kepada Nabi Musa untuk berdakwah kepada Firaun dengan lemah lembut ini diabadikan dalam surah Taha ayat 43-44;

اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut.”

Imam Al-Ghazali menyarankan, mencegah kemungkaran kepada pemimpin atau penguasa, menegur, dan menasihatinya harus dengan lembut.

Karena memperingati mereka dengan cara keras dan kasar dan melarang paksa justru dapat menyulut api fitnah. “Dan menimbulkan masalah pelik yang lebih buruk dari kemungkaran yang mereka perbuat,” katanya. 

Memang benar, kata-kata kasar akan memiliki sedikit efek jera. Jika tidak menimbulkan sesuatu yang berbahaya maka tidak ada masalah apabila dilakukan.  

Jangan sampai kita masuk kepada golongan dari sebagian orang yang tidak mempedulikan bagaimana menasihati pemimpin.  Mereka berpijak pada sabda hadist Rasulullah. 

“Sebaik-baiknya syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib lalu orang yang datang kepada seorang pemimpin, kemudian dia memerintah dan melarangnya karena Allah lalu dibunuh olehnya atas dasar larangan atau perintahnya itu.”

أفضلُ الجهادِ كلمةُ عدلٍ عند سُلطانٍ جائرٍ Nabi SAW juga bersabda “Jihad yang paling utama adalah berkata benar di dekat penguasa lalim. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Membuat Orang Lain Bahagia

Coba bayangkan jika kita bisa

mengangkat kesulitan orang yang kesusahan …

mengenyangkan yang lapar …

melepaskan orang yang terlilit utang …

membuat orang lain bahagia,

keutamaannya, itu lebih baik dari melakukan ibadah i’tikaf di Masjid Nabawi sebulan penuh.

Sungguh ini adalah amalan yang mulia.

Keutamaan orang yang beri kebahagiaan pada orang lain dan mengangkat kesulitan dari orang lain disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699).

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ

Siapa yang biasa membantu hajat saudaranya, maka Allah akan senantiasa menolongnya dalam hajatnya.” (HR. Bukhari no. 6951 dan Muslim no. 2580).

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا

Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani di dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al Jaami’ no. 176).

Lihatlah saudaraku, bagaimana sampai membahagiakan orang lain dan melepaskan kesulitan mereka lebih baik dari i’tikaf di Masjid Nabawi sebulan lamanya.

Al Hasan Al Bashri pernah mengutus sebagian muridnya untuk membantu orang lain yang sedang dalam kesulitan. Beliau mengatakan pada murid-muridnya tersebut, “Hampirilah Tsabit Al Banani, bawa dia bersama kalian.” Ketika Tsabit didatangi, ia berkata, “Maaf, aku sedang i’tikaf.” Murid-muridnya lantas kembali mendatangi Al Hasan Al Bashri, lantas mereka mengabarinya. Kemudian Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai A’masy, tahukah engkau bahwa bila engkau berjalan menolong saudaramu yang butuh pertolongan itu lebih baik daripada haji setelah haji?”

Lalu mereka pun kembali pada Tsabit dan berkata seperti itu. Tsabit pun meninggalkan i’tikaf dan mengikuti murid-murid Al Hasan Al Bashri untuk memberikan pertolongan pada orang lain.[1]

Rajinlah membuat orang lain bahagia dan bantulah kesusahan mereka. Hanya Allah yang memberi taufik.


Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Bersikap Sewajarnya dalam Membelanjakan Harta

Salah satu sifat terpuji yang dimiliki seorang hamba Allah adalah bersikap pertengahan dalam masalah membelanjakan harta. Mereka tidak berlebihan dan juga tidak pelit. Karena mereka mengetahui bahwa Allah Ta’ala akan memintai pertanggungjawaban mereka pada hari kiamat tentang nikmat yang Allah berikan padanya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ وَكَانَ بَيۡنَ ذَٰلِكَ قَوَاما 

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqon: 67)

Begitu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَومَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلمِهِ فيم فعل، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ، وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جَسْمِهِ فِيْمَ أَبْلاَهُ

“Tidak bergerak dua telapak kaki seseorang pada hari kiamat hingga dia ditanya tentang empat perkara, yaitu (1) tentang umurnya untuk apa dia habiskan, (2) tentang ilmunya untuk apa dia amalkan, (3) dan tetang hartanya dari mana dia mendapatkannya dan dalam hal apa dia belanjakan, (4) tentang badannya untuk apa dia rusakkan.” (HR. Tirmidzi dalam “Al Jaami’” no. 2316, dan di shahih-kan oleh Al-Albani dalam “Shahihul Jaami’” no. 7300)

Ayat dan hadits di atas mengisyaratkan kepada kita bahwasannya sifat pertengahan dalam menggunakan harta merupakan sifat yang mulia. Mereka tidak pelit dan juga tidak tabdzir (berlebihan), baik kebutuhan yang wajib maupun kebutuhan tambahan. Mereka meyakini bahwasannya harta yang dimilikinya akan dimintakan pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala di akhirat kelak.

Karakter seperti ini merupakan karakter ‘ibadurrahman. Mereka antusias dalam menggunakan hartanya dalam hal-hal yang wajib, karena itu menjadi kebutuhan bagi mereka. Itulah hal-hal yang menegakkan kehidupan mereka dan itulah hal-hal yang menjadi bekal dan penolong serta membantu mereka untuk baiknya kehidupan di akhirat.

Maka inilah kewajiban setiap muslim. Hendaknya mereka pertengahan dalam setiap perkara, tidak berlebihan dan tidak seenaknya. Baik dalam masalah ini atau permasaahan yang lain. Baik itu masalah agama atau masalah dunia.

Dari Ka’ab bin Farruh, dari Qotadah, dari Mutarrif bin Abdullah, dia mengatakan

خير هذه الأمور أوساطها، وألحسنه بين السيئتين

“(Umumnya) perkara yang terbaik adalah yang pertengahan, dan kebaikan itu di antara dua kejelekan.”

Ka’ab bin Farruh bertanya kepada Qotadah:

ما الحَسَنَةُ بينَ السيِّئَتَين؟

“Apa yang dimaksud kebaikan itu di antara dua kejelekan?”

Qotadah menjawab dengan membacakan dalil,

وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ

“Mereka yang membelanjakan harta dengan tidak berlebihan dan tidak kikir.” (Riwayat At-Thabari dalam tafsirnya juz 17 no. 500)

Penulis: Azka Haris Sartono, S.T.

Artikel: Muslim.or.id