Ramadhan Sebentar Lagi, Ini Keutamaan Sahur

Sahur hukumnya sunnah.

Bulan Ramadhan 1441 Hijriyah akan segera tiba dalam hitungan hari. Umat Islam di seluruh dunia akan kembali melaksanakan puasa Ramadhan yang telah dirindukan selama 11 bulan terakhir.

Salah satu ibadah yang dianjurkan adalah melaksanakan sahur. Aktivitas makan sebelum menjalankan ibadah puasa itu memang diutamakan sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadits.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari sahabat Anas bin Malik, baginda Rasulullah SAW mengatakan, di dalam sahur itu terdapat keberkahan. “Makan sahurlah kalian, sesungguhnya di dalam, sahur itu terdapat berkah,” (HR ‘Al-Bukhari dan Muslim).

Sahur dianjurkan bukan hanya karena terdapat berkah, tapi juga “karena kekuatan fisik akan terbantu selama menjalankan puasa (di siang hari),” tulis Akhyar A-Shiddiq Mushin dan Dahlan Harnawisatra dalam Kumpulan dan Khasiat Shaum Sunah (2006, hlm. 5)

Tak sampai di situ, sahur, meski hukumnya sunnah, tapi sangat dianjurkan oleh Nabi SAW. Terlebih, sahur adalah salah satu pembeda antara puasa umat Islam dan puasa umat agama lainnya.

“Dalam sahih Muslim disebutkan, “Perbedaan antara puasa kita dan puasa ahli kitab adalah hidangan sahur,” tulis Yusuf Qardhawi dalam Mukjizat Puasa – Resep Ilahi Agar Sehat Ruhani Jasmani (2008, hlm. 157)

Selain memberikan asupan materi, sahur juga memberikan asupan rohani dengan cara melaksanakan amalan zikir, istighfar, dan doa pada waktu penuh berkah itu. “Waktu sahur adalah saat rahmat diturunkan. Harapannya, semoga dia termasuk orang-orang yang senang memohon ampun pada waktu sahur,” ujar Yusuf.

KHAZANAH REPUBLIKA

Punya 3 Anak Wanita Penghalang dari Siksa Neraka

RASULULLAH shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang memiliki tiga anak perempuan, lalu ia bersabar membesarkan mereka, memberi makan, minum, dan pakaian kepada mereka, niscaya anak-anak itu akan menjadi hijab/penghalang baginya dari api neraka.”

Menurut Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, hadis tersebut berlaku umum untuk ayah dan ibu dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

“Siapa yang memiliki 2 anak perempuan lantas ia berbuat baik kepada keduanya, niscaya mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.” [1]

Demikian pula apabila seseorang memiliki saudara perempuan, bibi dari pihak ayah (ammah) atau pihak ibu (khalah), atau semisal mereka, lantas berbuat baik kepada mereka, ia pantas beroleh pahala yang besar, terhalangi dari api neraka dan dijauhkan dari neraka karena amalnya yang baik.

Keutamaan ini khusus diberikan kepada kaum muslimin. Apabila seorang muslim mengamalkan kebaikan-kebaikan ini demi mengharap wajah Allah Subhanahu wa Taala, niscaya bisa menjadi sebab keselamatannya dari api neraka.

Memang ada banyak sebab untuk selamat dari neraka dan masuk ke dalam surga. Di antaranya adalah orang yang diberi rezeki anak-anak perempuan atau saudara perempuan, lantas berbuat baik kepada mereka. Mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.

Demikian pula orang yang tiga anaknya meninggal sebelum berusia baligh, niscaya anak-anak tersebut akan menjadi penghalang baginya dari neraka.

Ketika ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana apabila dua anak?” Beliau menjawab, “Dua juga.”

Mereka tidak bertanya tentang satu anak, namun ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda,

“Allah Subhanahu wa Taala berfirman, ‘Tidak ada balasan bagi hamba-Ku yang beriman, saat Aku ambil penduduk dunia kesayangannya, lantas ia mengharapkan pahala dengannya, kecuali balasannya adalah surga.” [2]

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menerangkan bahwa tidak ada balasan bagi orang mukmin yang kehilangan orang yang dikasihinya dari penduduk dunia, lantas ia bersabar dan mengharapkan pahala, selain surga.

Jadi, seorang anak yang meninggal termasuk dalam hadis ini. Apabila ayah, ibu, atau kedua-duanya mau bersabar mengharap pahala Allah Subhanahu wa Taala atas musibah kehilangannya, niscaya keduanya akan beroleh surga. Ini adalah keutamaan yang agung dari Allah Subhanahu wa Taala.

Demikian pula seorang suami, istri, seluruh kerabat dan sahabat, apabila mereka bersabar dan mengharapkan pahala atas musibah tersebut, mereka pun termasuk dalam hadits ini (beroleh surga). Tentu saja dengan memerhatikan pula apakah mereka terbebas dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan keutamaan tersebut, yaitu meninggal dalam keadaan berbuat dosa besar. Nasalullaha as-salamah.”

(Fatawa al-Marah al-Muslimah, hlm. 565)

Catatan Kaki:
[1] HR. Al-Bukhari dan Muslim.
[2] HR. Al-Bukhari.

Sumber: Majalah Asy Syariah no. 91/VII/1434 H/2013, hal. 104-105.

INILAH MOZAIK

Sudahkah Menjadi Orang Tua Terbaik?

BERLOMBA-LOMBA dalam kebaikan yang diperintahkan Allah dalam al-Qur’an itu bisa dimakna sebagai perintah agar kita menampilkan perbuatan yang terbaik dari apa yang kita bisa. Menjadi guru terbaik, murid terbaik, pengusaha terbaik, petani terbaik, orang tua terbaik, anak terbaik dan seterusnya adalah sebagai contoh.

Kali ini saya akan berbicara tentang menjadi orang tua terbaik. Secara umum orang tua terbaik didefinisikan sebagai orang tua yang peduli kepada anak-anaknya. Apa yang disebut dengan peduli? Di sini definisi dan prakteknya bisa beragam, bermacam-macam. Ijinkan saya saat ini menyampaikan satu poin saja sebagai berikut ini yang berasal dari nasehat tulus para guru.

“Berikanlah nasehat tentang keutamaan kepada anak-anakmu, itulah yang akan menjadikan mereka manusia bahagia suatu waktu kelak. Uang dan emas yang engkau siapkan untuk mereka lebih berfungsi hanya untuk tubuh mereka, bukan untuk hati mereka.” Demikian petuah kiai kampung yang mata hatinya belum terkotori oleh ulah mata kepalanya.

Membiasakan anak bekerja sejak kecil bukanlah sebuah kesalahan, namun menanamkan keyakinan kepada anak bahwa bekerja dan mencari uang adalah yang paling utama dalam hidup merupakan sesuatu yang membahayakan. Yang paling penting ditanamkan kepada anak adalah keyakinan bahwa Allah senantiasa bersama dengan orang yang lurus, sabar dan senantiasa mempersembahkan yang terbaik dalam kehidupan. Di atas dasar keyakinan seperti inilah semangat kerja anak seharusnya dibangun.

Orang-orang tua terpilih sepanjang sejarah adalah orang tua yang peduli pada perkembangan jiwa anak. Sempatkan lihat wajah anak-anak kita ketika tidur, eluslah ubun-ubunnya lalu ucapkan doa semoga mereka bisa menggantikan kehidupan kita dengan kualitas hidup yang lebih baik, lebih mudah dan lebih membahagiakan.

Orang tua semacam ini akan mendapatkan balasa baik dari anak-anaknya kelak ketika sudah betul menua; sang anak akan melihat orang tuanya yang sedang tertidur, memasangkan selimut untuk badannya yang sudah lemah dengan kulit mengkeriput, lalu mengelus dahi dan ujung depan rambutnya, dengan tetesan air matanya sang anak berdoa “Yaa Allah, panjangkan umur ayah ibuku, bahagiakan dan sehatkan mereka, mereka adalah pahlawan sejati dalam hidupku.” Saudara dan sahabatku, jdilah orang tua yang baik. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INIL:AH MOZAIK

Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah

Hendaknya kaum Muslimin memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan bersama pemerintah. Sehingga tercapai persatuan dan kebersamaan dalam melaksanakan ibadah yang agung ini.

Dalam sebuah hadits,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih‘” (HR. Tirmidzi 632, Ad Daruquthni 385).

Dalam lafadz yang lain:

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ , وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ

Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka” (HR Ad Daruquthni 385, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya 238).

Derajat Hadits

At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan gharib”. An Nawawi berkata: “Sanad hadits ini hasan” (Al Majmu’, 6/283). Syaikh Al Albani berkata: “Sanad hadits ini jayyid” (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/440).

Faidah Hadits

Pertama: Puasa dan lebaran bersama pemerintah dan mayoritas orang setempat

At Tirmidzi setelah membawakan hadits ini ia berkata: “Hadits ini hasan gharib, sebagian ulama menafsirkan hadits ini, mereka berkata bahwa maknanya adalah puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia”.

Ash Shan’ani berkata: “Hadits ini dalil bahwa penetapan lebaran itu mengikuti mayoritas manusia. Orang yang melihat ru’yah sendirian wajib mengikuti orang lain dan mengikuti penetapan mereka dalam shalat Ied, lebaran dan idul adha” (Subulus Salam 2/72, dinukil dari Silsilah Ash Shahihah 1/443)

Al Munawi mengatakan: “Makna hadits ini, puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia” (At Taisiir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 2/106)

Syaikh Al Albani menjelaskan, bahwa makna ini juga dikuatkan oleh hadits ‘Aisyah, ketika Masruq (seorang tabi’in) menyarankan beliau untuk tidak berpuasa ‘Arafah tanggal 9 Dzulhijjah karena khawatir hari tersebut adalah tanggal 10 Dzulhijjah yang terlarang untuk berpuasa. Lalu ‘Aisyah menjelaskan kepada Masruq bahwa yang benar adalah mengikuti Al Jama’ah. ‘Aisyah radhiallahu’anha berdalil dengan hadits:

النحر يوم ينحر الناس، والفطر يوم يفطر الناس

An Nahr (Idul Adha) adalah hari ketika orang-orang menyembelih dan Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berlebaran” (Lihat Silsilah Ahadits Shahihah 1/444)

Perlu diketahui, bahwa istilah Al Jama’ah maknanya adalah umat Islam yang berkumpul bersama ulama dan penguasa muslim yang sah, mereka yang senantiasa meneladani ajaran Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi. Mengenai istilah ini silakan baca artikel Makna Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham. Maka mengikuti Al Jama’ah dalam hal penentuan Ramadhan dan hari raya adalah mengikuti keputusan pemerintah muslim yang sah yang berkumpul bersama para ulamanya yang diputuskan melalui metode-metode yang sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Hal ini juga dalam rangka mengikuti firman Allah Ta’ala :

أطِيعُوا الله وأطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولى الأمْرِ مِنْكُمْ

Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian” (QS. An Nisa: 59)

Memang bisa jadi imam atau pemerintah berbuat kesalahan dalam penetapan waktu puasa, semisal melihat hilal yang salah, atau menolak persaksian yang adil dan banyak, atau juga menerima persaksian yang sebenarnya salah, atau kesalahan-kesalahan lain yang mungkin terjadi. Namun yang dibebankan kepada kita sebagai rakyat adalah hal ini adalah sekedar ta’at dan menasehati dengan baik jika ada kesalahan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

اسمعوا وأطيعوا فإنما عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا

Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846)

Kedua: Urusan penetapan waktu puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah

As Sindi menjelaskan, “Nampak dari hadits ini bahwa urusan waktu puasa, lebaran dan idul adha, bukanlah urusan masing-masing individu, dan tidak boleh bersendiri dalam hal ini. Namun ini adalah urusan imam (pemerintah) dan al jama’ah. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk tunduk kepada imam dan al jama’ah dalam urusan ini. Dari hadits ini juga, jika seseorang melihat hilal namun imam menolak persaksiannya, maka hendaknya orang itu tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sendiri, melainkan ia hendaknya mengikuti al jama’ah” (Hasyiah As Sindi, 1/509).

Hal ini juga didukung oleh dalil yang lain yang menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah. Sebagaimana yang dipraktekan di zaman Nabi. Sahabat Ibnu Umar berkata:

«تَرَائِى النَّاسُ الْهِلَالَ،» فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa” (HR. Abu Daud no. 2342, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا، وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ

Ada seorang sambil menunggang kendaraan datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ia bersaksi bahwa telah melihat hilal di sore hari. Lalu Nabi memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan memerintahkan besok paginya berangkat ke lapangan” (HR. At Tirmidzi no.1557, Abi Daud no.1157 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Hadits Ibnu Umar di atas menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa diserahkan kepada pemerintah bukan diserahkan kepada masing-masing individu atau kelompok masyarakat.

Ketiga: Persatuan umat lebih diutamakan daripada pendapat individu atau kelompok

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menuturkan:

Ketentuan seperti inilah yang layak bagi syariat yang samahah ini yang salah satu tujuannya adalah persatuan ummat dan bersatunya mereka dalam satu barisan, serta menjauhkan segala usaha untuk memecah belah umat dengan adanya pendapat-pendapat individu. Pendapat-pendapat individu (walaupun dianggap benar), dalam perkara ibadah jama’iyyah seperti puasa, shalat jama’ah, pendapat-pendapat itu tidak teranggap dalam syariat.

Tidakkah anda lihat para sahabat Nabi bermakmum kepada sahabat yang lain? Padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, keluar darah adalah pembatal wudhu sedangkan sebagiannya tidak berpendapat demikian. Sebagian mereka ada yang shalat dengan rakaat sempurna ketika safar, dan ada yang meng-qashar. Namun ikhtilaf ini tidak membuat mereka enggan bersatu dalam satu shaf shalat dan menjadi makmum bagi yang lain dan tetap menganggap shalatnya sah. Itu karena mereka mengetahui bahwa berpecah-belah dalam masalah agama itu lebih buruk daripada kita menyelisihi sebagian pendapat.

Pernah terjadi di antara mereka, sebuah kasus adanya sahabat yang enggan mengikuti pendapat imam yang berkuasa dalam sebuah masyarakat yang besar di Mina. Bahkan sampai ia enggan beramal dengan pendapat sang imam secara mutlak karena khawatir terjadi keburukan jika beramal sesuai dengan pendapat sang imam. Abu Daud (1/307) meriwayatkan

أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه: صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين، ومع أبي بكر ركعتين، ومع عمر ركعتين، ومع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا! فقيل له: عبت على عثمان ثم صليت أربعا؟ ! قال: الخلاف شر

Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu shalat di Mina empat raka’at. Maka Ibnu Mas’ud pun mengingkari hal ini dan berkata: “Aku pernah shalat bersama Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dua raka’at (diqashar), bersama Abu Bakar dua raka’at, bersama Umar dua rakaat, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at, tidak diqashar). Setelah itu berbagai jalan (manhaj) telah memecah belah kamu semua. Dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at. Namun setelah itu Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Ada yang bertanya: ‘Ibnu Mas’ud, engkau mengkritik Utsman namun tetap shalat empat raka’at?’. Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Perselisihan itu buruk’

Sanad hadits ini shahih, diriwayatkan juga oleh Ahmad (5/155) semisal ini dari sahabat Abu Dzar radhiallahu’anhu.

Renungkanlah hadits ini dan juga atsar yang kami sebutkan, khususnya bagi orang-orang yang selalu saja berselisih dalam shalat mereka, tidak mengikuti para imam masjid. Terutama dalam shalat witir di bulan Ramadhan, dengan alasan beda madzhab. Sebagian mereka juga ada yang menyerukan ilmu falak, lalu mereka berlebaran sendiri lebih dahulu atau lebih akhir daripada mayoritas kaum muslimin, karena menggunakan pendapat dan ilmu falak mereka. Dengan sikap acuh-tak-acuh mereka menyelisihi kaum muslimin. Hendaknya mereka ini merenungkan ilmu yang kami sampaikan, mudah-mudahan mereka bisa memahaminya. Sebagai obat dari kejahilan dan ketertipuan mereka. Sehingga akhirnya mereka bisa bersatu dalam barisan bersama kaum muslimin yang lain, karena tangan Allah bersama Al Jama’ah (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/445)

Keempat: Isyarat tentang adanya perselisihan umat dalam masalah penetapan puasa

Hadits di atas juga merupakan isyarat dari Nabi bahwa akan ada orang dan kelompok-kelompok yang menyelisihi petunjuk Nabawi dalam penentuan waktu puasa. Al Mubarakfuri berkata: “Sebagian ulama menafsirkan hadits ini, maknanya adalah kabar bahwa manusia akan terpecah menjadi kelompok-kelompok dan menyelisihi petunjuk Nabawi. Ada kelompok yang menggunakan hisab, ada kelompok yang berpuasa atau berwukuf lebih dulu bahkan mereka menjadikan hal itu syi’ar kelompok mereka, merekalah bathiniyyah. Namun yang selain mereka adalah mengikuti petunjuk Nabawi, yaitu golongan orang-orang yang zhahir ‘alal haq, merekalah yang didalam hadits di atas disebut an naas, merekalah as sawaadul a’zham, walaupun jumlah mereka sedikit”. (Tuhfatul Ahwazi, 3/313)

Jika Pemerintah Menggunakan Metode Hisab?

Syaikh Dr. Saad asy Syatsri, mantan anggota Lajnah Daimah dan Haiah Kibar Ulama KSA, mengatakan, “Seandainya penguasa di sebuah negara menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka apa yang seharusnya dilakukan oleh rakyat ketika itu?” Hal ini diperselisihkan oleh para ulama.

Mayoritas ulama mengatakan hendaknya rakyat mengikuti keputusan pemerintah. Dosa ditanggung pemerintah sedangkan rakyat bebas dari tanggung jawab terkait hal ini.

Alasan mayoritas ulama adalah karena dalil-dalil syariat memerintahkan dan mewajibkan rakyat untuk mentaati pemerintah. Dengan demikian, gugurlah kewajiban rakyat dengan mentaati keputusan pemerintah dan tanggung jawab di akhirat tentang hal ini dipikul oleh pemerintah.

Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa jika pemerintah menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka keputusannya tidak ditaati sehingga rakyat berhari raya sebagaimana hasil rukyah yang benar. Rakyat tidak boleh beramal berdasarkan keputusan pemerintah tersebut.

Imam Malik mengatakan bahwa alasannya adalah adanya ijma ulama yang mengatakan bahwa hisab tidak boleh menjadi dasar dalam penetapan hari raya dan dalil-dalil syariat pun menunjukkan benarnya hal tersebut.

Dalam kondisi tidak taat kepada pemerintah tidaklah bertentangan dengan berbagai dalil yang memerintahkan rakyat untuk mentaati pemerintah dalam kebaikan semisal hadits

إنما الطاعة في المعروف

Ketaatan kepada makhluk itu hanya berlaku dalam kebaikan

dan hadits:

لا طاعة لمخلوق في معصية الله

Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika untuk durhaka kepada Allah

Kesimpulannya, yang tepat pendapat mayoritas ulama dalam masalah ini itu lebih kuat dari pada pendapat Imam Malik. Sehingga wajib bagi rakyat untuk mengikuti keputusan pemerintah terkait penetapan hari raya sedangkan dosa menjadikan hisab sebagai landasan penetapan hari raya itu ditanggung oleh pemerintah yang memutuskan hari raya berdasarkan hisab” (Di kutip dari blog ustadz aris munandar)

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/9675-puasa-dan-berhari-raya-bersama-pemerintah.html

Umroh Saat Ramadhan Sangat Utama, tapi Ini Catatannya

Keistimewaan umroh saat Ramadhan menjadi hal yang diketahui hampir semua umat Muslim di seluruh dunia. 

Salah satu keutamaan yang membuat ibadah ini sangat dinantikan adalah karena Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa pahala orang-orang yang melaksanakannya dapat menyamai orang yang menjalankan ibadah haji. 

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia,  Ustaz Ahmad Sarwat, menjelaskan sabda Rasulullah SAW yang tertuang dalam hadits shahih muttafaqun ‘alahi:

“Bila datang Ramadhan, maka lakukanlah umroh. Karena umroh ketika Ramadhan itu (pahalanya) menyamai haji.” (HR Bukhari no. 1782 dan Muslim no. 1256). 

Bahkan, umroh pada Ramadhan sangat istimewa karena senilai dengan haji bersama Nabi Muhammad SAW seperti yang dituangkan dalam lafal Bukhari lainnya yaitu : Sesungguhnya umrah ketika Ramadhan seperti berhaji bersamaku” (HR Bukhari no 1863).

Meski demikian, ustaz Ahmad mengatakan ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait umroh Ramadhan dan haji. Di antaranya adalah umroh saat Ramadhan tetap bukanlah haji. 

Dia meningatkan untuk jangan keliru menggantikan kedudukan ibadah ini dengan haji.  “Itu tidak benar dan perlu diluruskan, yang setara itu hanya pahalanya, sedangkan kedudukannya tetap sekadar umroh. Kalau mau kita breakdown lagi, maka antara umroh Ramadhan dan Haji itu punya beberapa perbedaan,” ujar ustaz Ahmad kepada Republika.co.id pada Selasa (13/4). 

Ustaz Ahmad menjelaskan perbedaan itu pertama adalah bahwa umrah saat Ramadhan bukan bagian dari rukun Islam, sedangkan haji adalah rukun Islam yang kelima. 

Selanjutnya, dari  segi hukum, umrah Ramadhan itu hukumnya tetap sunnah dan tidak wajib. Sedangkan ibadah haji hukumnya wajib untuk yang pertama kali sebagai Muslim. 

“Ketiga orang yang  sudah umroh pada Ramadhan, belum gugur kewajiban hajinya. Apabila dia mampu, maka di pundaknya masih ada beban kewajiban mengerjakan ibadan haji,” jelas ustaz Ahmad. 

Lebih lanjut, ustaz Ahmad menggarisbawahi tentang umroh pada Ramadhan yang cenderung padat dengan jamaah, bahkan membuat orang-orang melakukan ibadah dengan berdesakan, menyaingi musim haji. Bahkan, biaya yang dikeluarkan umat Muslim untuk menunaikan ibadah ini menjadi tinggi. 

“Maka  kalau kita mendambakan umroh yang tenang dan khusyu’ dalam Masjid Al Haram Makkah, mungkin agak sulit. Tidak seperti yang banyak dibayangkan,” kata ustaz Ahmad menambahkan. 

Ustadz Ahmad juga mengatakan bahwa hal ini juga bisa membuat banyak jamaah yang lupa dengan jam istirahat. 

Dia mengatakan pengalaman banyak jamaah kesulitan untuk keluar masuk masjid.  “Kalau sudah dalam masjid, sulit keluar. Sedangkan kalau sudah di luar, akan kesulitan masuk lagi ke dalam. Oleh karena itu jamaah jadi serba salah,” jelas ustadz Ahmad. 

Ustadz Ahmad mengungkapkan sebagian temannya yang sejak awal ingin menginap di masjid sepanjang berad di tanah suci untuk i’tikaf. Mereka bahkan sudah mengatur untuk tidak menyewa penginapan secara khusus dengan kamar per orang, melainkan secara berkelompok yang nantinya hanya akan digunakan secara bergantian untuk sekian banyak jamaah.

“Masuk kamar hanya untuk sekadar mandi dan ganti baju, lalu segera pergi lagi masuk ke masjid, Hanya saja kadang lupa dengan jam istirahat, juga lupa mandi bersih-bersih, bahkan lupa juga dengan kondisi cuacara dan kesehatan,” ujar dia.

Akibatnya, menurut dia, iktikaf belum selesai, tapi sudah dalam keadaan lemah dan sakit. Apalagi mereka yang sudah uzur dan usia lanjut, tentu harus memperhatikan hal-hal semacam ini. 

Sementara itu, terkait dengan larangan umroh akibat pandemi virus corona jenis baru (Covid-19), tidak ada satupun umat Muslim yang dapat melaksanakan ibadah ini saat Ramadhan tahun ini. 

Masjid Al Haram di Makkah, Arab Saudi sudah sejak Maret ditutup untuk semua kegiatan apapun. Ka’bah kini berdiri sendirian, tak ada lagi jamaah yang berkerumun bertawaf atau sekedar mencium Hajar Aswad.

Bahkan besar kemungkinan, menurut dia, kegiatan haji pada 2020 pun akan ditiadakan. Oleh karena itu maka niat kita yang ingin menjalankan ibadah umroh Ramadhan atau ibadah haji di tahun ini, sementara waktu harus ditangguhkan.

“Setidaknya sampai keadaan menjadi kondusif kembali. Kita berdoa kepada Allah SWT agar virus ini bisa segera diatasi,” ujar ustaz Ahmad.

IHRAM


Pelunasan BPIH Jamaah Haji Didominasi Setor Bank Langsung

Pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) 1441H/2020M terus berlangsung. Hingga 9 April 2020, tercatat lebih dari 70 persen jamaah haji Indonesia yang berhak melunasi biaya haji, baik reguler maupun khusus, sudah melakukan pelunasan. 

Kuota haji Indonesia tahun ini berjumlah 221 ribu jamaah. Jumlah ini terdiri atas 203.320 jamaah haji reguler dan 17.680 jamaah haji khusus.

Tahun ini, dari 203.320 kuota haji reguler, 1 persen di antaranya atau 2.040 orang dikhususkan untuk jamaah lanjut usia (lansia)

“Sampai 9 April 2020, sebanyak 142.883 jamaah atau 70,27persen sudah melunasi BPIH Reguler. Dari jumlah itu, ada 580 lansia yang sudah melakukan pelunasan,” ujar Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri, Muhajirin Yanis, dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Senin (13/4). 

Menurutnya, pelunasan BPIH Reguler dilakukan melalui dua skema yaitu sebanyak 122.967 jamaah melakukan pelunasan secara langsung dengan datang ke kantor bank penerima setoran (BPS) BPIH. Sedangkan sisanya, 19.916 jamaah melunasi secara non teller dengan memanfaatkan internet banking dan anjungan tunai mandiri (ATM). 

“Pelunasan tahap satu berlangsung hingga 30 April. Jika masih ada sisa kuota, dibuka tahap kedua, 12-20 Mei 2020,” kata dia.

Untuk pelunasan BPIH Khusus, Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus, Arfi Hatim mengatakan, sampai 9 April, sudah ada 12.539 jamaah atau 76,90persen yang melakukan pelunasan.  

Menurut Arfi, pihaknya juga membuka pelunasan kepada calon jamaah haji khusus dengan status cadangan. 

“Sampai hari ini tercatat  ada 2.016 calon jamaah yang sudah melunasi dengan status cadangan. Pelunasan BPIH Khusus akan berlangsung hingga 30 April 2020,” kata dia. 

IHRAM

Atasi Corona dengan Bertauhid yang Sempurna (Bag. 1)

Wabah pandemi virus corona telah meluas ke berbagai penjuru dunia, berbagai upaya diusahakan untuk mengatasi musibah ini, lalu bagaimana seorang muslim menghadapinya? tentu selain menempuh upaya-upaya pencegahan sesuai intruksi dari tenaga medis kita hendaknya juga melakukan pencegahan dengan melakukan perbaikan hubungan kita dengan Allah Ta’ala

Kedudukan tauhid dalam bangunan agama Islam

Tauhid adalah inti dan dasar agama Islam. Tauhid adalah tujuan pengutusan para rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا ٱلطَّٰغُوتَ 

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah sesembahan selain-Nya.” (QS. An-Nahl: 36)

Tauhid adalah tujuan hidup kita dan tujuan penciptaan jin dan manusia. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku semata (mentauhidkan-Ku dalam ibadah).” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56)

Sungguh tinggi kedudukan tauhid di tengah-tengah bangunan agama kita. Memperbaiki tauhid seseorang di tengah-tengah keimanannya, hakikatnya adalah memperbaiki hati di tengah-tengah anggota jasad. Jika hati itu baik, maka baik pula amalan anggota tubuh lahiriah. Demikian pula, apabila tauhid seorang muslim itu baik dan sempurna, maka baik dan sempurna pula agamanya.

Tauhid adalah asas seluruh bentuk perbaikan, dan syirik adalah sebab terbesar keburukan dan musibah

Tauhid adalah asas perbaikan sebuah negeri. Apabila sebuah negeri menghadapi berbagai macam musibah, apalagi bertubi-tubi dan silih berganti, maka sudah semestinya masyarakatnya segera bertaubat dari segala dosa. Terutama bertaubat dari dosa syirik, karena syirik adalah dosa terbesar, keharaman yang paling haram, dan kezholiman (terhadap hak Allah) yang paling zholim. Sehingga syirik itu adalah penyebab terbesar kemurkaan dan adzab Allah.

Apabila masyarakat di negeri tersebut telah mengesakan dan mentauhidkan Allah dengan baik, maka akan tumbuh dari “akar pohon tauhid” dan keimanannya kepada Allah itu berbagai kebaikan dan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas dan sesuai tuntunan Rusulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan lagi, akan membuahkan kebahagiaan dunia akhirat serta rasa aman dan mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala telah membuat perumpamaan tentang pohon tauhid di dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى ٱلسَّمَآءِ(24) تُؤْتِىٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ(25) 

“(24) Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, (25) pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25)

Dalam kitab I’lamul Muwaqi’in, Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan bahwa jumhur ahli tafsir menafsirkan kalimat thayyibah di ayat ini dengan syahadat laa ilaha illallah.

Dengan demikian, perumpaan pohon yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah perumpamaan pohon tauhid. Allah Ta’ala membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat thayyibah) pada ayat ini, yaitu syahadat laa ilaha illallah sebagai sebuah pohon yang merupakan sebaik-baik pohon. Yaitu, akarnya kokoh menghujam ke dalam bumi dan dahan rantingnya menjulang tinggi ke langit, buahnya tak terputus, selalu ada di setiap waktu. Akar pohon tauhid ini menghujam ke dalam bumi. Maksudnya adalah dasar keimanan (tauhid) tersebut kokoh dalam hati seorang mukmin, berupa ilmu tentang iman dan keyakinan yang benar. 

Sedangkan dahan dan ranting pohon tauhid adalah seluruh amalan ketaatan kepada Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang diridhai oleh Allah, baik lahir maupun batin. Jadi, dasar keimanan yang kokoh dalam hati tersebut menumbuhkan ucapan dan amal shalih yang diridhai oleh Allah. Dahan ranting tersebut juga menjulang tinggi ke langit. Maksudnya, ucapan dan perbuatan yang diridhai Allah tersebut terangkat ke atas, diterima oleh Allah pada setiap waktu, pagi, dan sore. Adapun buah dari pohon tauhid ini adalah kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Seorang mukmin yang memiliki dasar iman yang kokoh dalam hati, ucapan serta amalnya pun shalih serta diridhoi oleh Allah, hal itu akan membuahkan kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. 

Pohon tauhid itu menghasilkan buah untuk setiap musim. Maksudnya, buah tauhid yang berupa kebaikan dan kebahagiaan itu dirasakan terus-menerus oleh seorang mukmin di setiap waktu selama iman dan tauhid seseorang masih ada dalam hatinya. Hal ini sebagaimana buah di surga yang terus-menerus ada tidak pernah habis dan selalu siap dipetik.

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab tersebut,

وإذا تأملت هذا التشبيه رأيته مطابقا لشجرة التوحيد الثابتة الراسخة في القلب التي فروعها من الأعمال الصالحة الصاعدة إلى السماء ولا تزال هذه الشجرة تثمر الأعمال الصالحة كل وقت بحسب ثباتها في القلب ومحبة القلب لها وإخلاصه فيها ومعرفته بحقيقتها وقيامه بحقوقها ومراعاتها حق رعايتها

“Jika Anda perhatikan perumpamaan ini, maka Anda akan melihat kesesuaiannya dengan pohon tauhid yang menghujam kokoh dalam hati, cabangnya berupa amal shalih yang naik ke langit. Sedangkan pohon ini senantiasa membuahkan amal shalih setiap waktu sesuai dengan kadar kokohnya (akar pohon) tauhid ini dalam hati dan kecintaan hati terhadapnya, keikhlasan dalam bertauhid, kadar pengetahuannya tentang hakikat (pohon) tauhid, kadar upaya memenuhi hak tauhid, serta upaya menjaganya dengan sebenar-benar penjagaan.” 

Ibnul Qayyim rahimahullah juga menegaskan dalam kitab tersebut,

والمقصود أن كلمة التوحيد إذا شهد بها المؤمن عارفا بمعناها وحقيقتها نفيا وإثباتا متصفا بموجبها قائما قلبه ولسانه وجوارحه بشهادته فهذه الكلمة الطيبة هي التي رفعت هذا العمل من هذا الشاهد أصلها ثابت راسخ في قلبه وفروعها متصلة بالسماء وهي مخرجة لثمرتها كل وقت

“Maksudnya, apabila seorang mukmin bersaksi dengan kalimat tauhid ini diiringi dengan mengetahui makna dan hakikatnya, baik mengetahui kandungan peniadaan maupun kandungan penetapannya, bersifat dengan sifat yang menjadi konsekuensi kalimat ini, dan menunaikan tuntutan syahadat tauhid ini dengan hati, lisan, maupun anggota tubuh, maka dari sisi inilah, kalimat thoyyibah (kalimat tauhid) itu akan mengangkat amalannya. Dasar kalimat thoyyibah (kalimat tauhid) ini kokoh menghujam dalam hati, cabangnya menjulang ke langit, serta menghasilkan buah di setiap waktu (terus menerus).”

(Bersambung)

***

Penulis: Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55793-atasi-corona-dengan-bertauhid-yang-sempurna-bag-1.html

Bahagia di Tengah Keterbatasan

HALIMATUS Sa’dihah, wanita terpilih yang menyusui Rasulullah berkomentar tentang masa kecil Sang Rasul: “Di malam-malam gelap itu, kami tak memiliki lampu yang menerangi selain WAJAHNYA.”

Begitu beruntungnya Halimatus Sa’diyah terpilih menyusui manusia terbaik sepanjang zaman, yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Di tengah keterbatasan hidup di zaman itu, ada sumber bahagia hadir menerangi kegelapan, memaniskan kepahitan dan menyuburkan kegersangan.

Tak inginkah hidup kita menjadi tenang di tengah kepanikan? Tak maukah pikiran kita terang di saat dunia semakin gelap gulita? Tak hendakkah kita merasa damai di tengah kesemrawutan berita dan tatanan hamak jelas di depan mata? Hadirkan Rasulullah Sang Cahaya, sebutlah namanya dalam lantunan kalimat shalawat, ikuti sunnahnya dan petunjuknya.

Semakin kita jarang menyebut namanya dan semakin jauh hati kita dari mencintainya adalah tanda-tanda pasti semakin runyam dan kacaunya kehidupan kita. Sahabat dan saudaraku, sungguh hidup kita ini diatur oleh Allah. Allah mensyaratkan pembefian cinta dan ampunanNya kepada hambaNya dalam al-Qur’an dengan mengikuti Rasulullah. Renungkanlah nilai dan fungsi “hadirnya” Rasulullah dalam hidup kita.

Terangi hidup kami Ya Rabb dengan kehadiran Rasulullah SAW. Bimbing kami untuk selalu bisa mencintai dan meneladani beliau. Aamiiiin. Salam, AIM. [*]

INILAH MOZAIK

Kisah Sahabat Ahli Zuhud, Wafatnya Sudah Diprediksi Nabi

Sahabat Nabi SAW yang ahli zuhud ini ialah Abu Dzar al-Ghifari

Betapa mulia akhlak para sahabat Nabi SAW! Mereka hidup bersama Rasulullah SAW dan mampu meneladani perikehidupan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasa cinta mereka kepada iman dan Islam melampaui urusan dunia.

Di antara para sahabat yang mulia, tersebutlah Abu Dzar al-Ghifari. Sosok ini memiliki nama asli Jundub bin Junadah bin Sakan. Sebelum masuk Islam, ia dikenal sebagai seorang perampok. Maklum, kaum tempatnya lahir dan tumbuh besar mencari penghidupan dengan cara merampok.

Namun, sejak kecil hingga remaja Jundub cenderung pada kebenaran. Ia membenci praktik ritual penyembahan terhadap berhala-berhala. Karena itu, begitu mengetahui adanya seorang Nabi di tengah bangsa Arab, ia pun langsung menuju ke kota yang dimaksud. Di Makkah, ia berjumpa dengan Rasulullah Muhammad SAW dan seketika menyatakan diri Muslim.

Jundub alias Abu Dzar al-Ghifari dengan setia mendampingi Rasul SAW, baik di Makkah maupun Madinah. Sesudah beliau wafat, Abu Dzar dikenal sebagai seorang yang alim dan menjalani kehidupan zuhud.

Di masa tuanya, ia tinggal di sebuah kampung kecil bernama Rabadzah. Menjelang ajal menjemputnya, ia hanya didampingi istrinya yang menangis tersedu-sedu.

“Apa yang kamu tangisi, padahal maut itu pasti datang?” tanya Abu Dzar.

Istrinya menjawab, “Anda akan meninggal, tetapi kita tak punya sehelai kain pun untuk kafanmu.”

Mendengar jawaban itu, Abu Dzar hanya tersenyum. Setelah itu, ia meninggal dunia.

Tidak lama kemudian, datanglah serombongan Mukminin yang dipimpin sahabat Abdullah bin Mas’ud. Melihat sesosok jenazah sudah terbujur kaku dalam kondisi yang cukup menyedihkan itu, air mata Ibnu Mas’ud pun meleleh lebat.

Rupanya, ia mengenal betul siapa sosok yang wafat itu, seraya berkata, “Benarlah prediksi Rasulullah! Anda berjalan sebatang kara, mati sebatang kara, dan dibangkitkan sebatang kara!”

Itulah akhir hayat Abu Dzar, sahabat Nabi yang terkenal gemar mengampanyekan hidup sederhana,

Sepanjang hayatnya, ia dikenal rewel dan lantang kepada para pejabat yang kerap menyalahgunakan kekuasaan demi menumpuk kekayaan pribadi. Sikap kritisnya sering membuat merah telinga para pejabat saat itu.

Pernah suatu ketika, tanpa gentar dan tedeng aling-aling, ia menanyakan harta kekayaan Muawiyah sebelum akhirnya terpilih menjadi Gubernur Syiria. Syiria memang wilayah paling makmur, sekaligus jauh dari Madinah ketika itu.

Banyak para pejabat yang berlomba-lomba memiliki gedung dan tanah pertanian di sana. Sambil mengutip Alquran surah at-Taubah ayat 24-35, Abu Dzar kerap mengingatkan para pejabat yang bergelimang kemewahan, “Sampaikan kepada para penumpuk harta akan seterika api neraka!”

Mendengar nasihat ini, Muawiyah resah. Ia merasa terancam dengan kehadiran Abu Dzar. Ia lalu menulis surat kepada Khalifah Utsman untuk meminta agar Abu Dzar dipanggil pulang ke Madinah.

Permintaan itu dikabulkan. Abu Dzar pun kembali ke Madinah. Di Kota Nabi itu, ia akhirnya dipinggirkan.

Demikianlah, nasib para pejuang yang lantang membela kebenaran dan kritis kepada penguasa–memang selalu tragis. Sejarah mencatat, berupaya keras memperjuangkan nasib rakyat lemah sering berakhir dengan keadaan dikucilkan. “Hidup seorang diri, mati seorang diri, dan kelak dibangkitkan seorang diri pula.” Inilah nubuat yang telah disampaikan Nabi SAW perihal sahabatnya yang gemar hidup zuhud dan lugas itu!

KHAZANAH REPUBLIKA