Apakah Sholat Tahajud Harus Tidur Dulu?

Pertanyaan:

Ass. Apakah bisa sholat tahajud tanpa harus tidur terlebih dahulu. Karna saya insomnia.

Dari: Ricky Gery

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Pertama, ada dua istilah umum untuk menyebut kegiatan ibadah di malam hari,

  • Qiyam Lail
  • Tahajud

Para ulama menegaskan, qiyam lail lebih umum dari pada tahajud. Karena qiyam lail mencakup semua kegiatan ibadah di malam hari, baik berupa shalat, membaca Al-Quran, belajar mengkaji ilmu agama, atau dzikir. Selama ketaatan itu dilakukan di malam hari, sehingga menyita waktu istirahatnya, bisa disebut qiyam lail. Baik dilakukan sebelum tidur maupun sesudah tidur.

Dalam Maraqi Al-Falah dinyatakan,

معنى القيام أن يكون مشتغلا معظم الليل بطاعة , وقيل : ساعة منه , يقرأ القرآن أو يسمع الحديث أو يسبح أو يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم

Makna Qiyam lail adalah seseorang sibuk melakukan ketaatan pada sebagian besar waktu malam. Ada yang mengatakan, boleh beberapa saat di waktu malam. Baik membaca Al-Quran, mendengar hadis, bertasbih, atau membaca shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 34/117).

Sementara tahajud hanya khusus untuk ibadah berupa sholat. Sementara ibadah lainnya, selain shalat, tidak disebut tahajud.

Kedua, apakah harus tidur dulu?

Ulama berbeda pendapat tentang syarat bisa disebut sholat tahajud, apakah harus tidur dulu ataukah tidak.

1. Tahajud harus tidur dulu

Ini merupakan pendapat Ar-Rafi’i – ulama madzhab Syafii –. Dalam bukunya As-Syarhul Kabir, beliau menegaskan,

التَّهَجُّدُ يَقَعُ عَلَى الصَّلَاةِ بَعْدَ النَّوْمِ ، وَأَمَّا الصَّلَاةُ قَبْلَ النَّوْمِ ، فَلَا تُسَمَّى تَهَجُّدًا

“Tahajud istilah untuk shalat yang dikerjakan setelah tidur. Sedangkan shalat yang dikerjakan sebelum tidur, tidak dinamakan tahajud.”

Setelah menyatakan keterangan di atas, Ar-Rafi’i membawakan riwayat dari katsir bin Abbas dari sahabat Al-Hajjaj bin Amr radhiyallahu ‘anhu,
<

يَحْسَبُ أَحَدُكُمْ إذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ يُصَلِّي حَتَّى يُصْبِحَ أَنَّهُ قَدْ تَهَجَّدَ ، إنَّمَا التَّهَجُّدُ أَنْ يُصَلِّيَ الصَّلَاةَ بَعْدَ رَقْدِهِ ، ثُمَّ الصَّلَاةَ بَعْدَ رَقْدِهِ ، وَتِلْكَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Diantara kalian menyangka ketika melakukan shalat di malam hari sampai subuh dia merasa telah tahajud. Tahajud adalah shalat yang dikerjakan setelah tidur, kemudian shalat setelah tidur. Itulah shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu Hajar dalam Talkhis Al-Habir mengatakan,

Sanadnya hasan, dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Shaleh, juru tulis Imam Al-Laits, dan Abu Shaleh ada kelemahan. Hadis ini juga diriwayatkan At-Thabrani, dengan sanad dari Ibnu Lahai’ah. Dan riwayat kedua ini dikuatkan dengan riwayat jalur sebelumnya.

2. Tahajud TIDAK harus tidur dulu

Sholat tahajud adalah semua shalat sunah yang dikerjakan setelah isya, baik sebelum tidur maupun sesudah tidur. (Hasyiyah Ad-Dasuqi, 7/313).

Karena tahajud memiliki arti mujanabatul hajud (menjauhi tempat tidur). Dan semua shalat malam bisa disebut tahajud jika dilakukan setelah bangun tidur atau di waktu banyak orang tidur.

Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أفشوا السلام، وأطعموا الطعام، وصلوا الأرحام، وصلوا بالليل والناس نيام تدخلوا الجنة بسلام

Sebarkanlah salam, berilah makanan, sambung silaturahmi, dan kerjakan shalat malam ketika manusia sedang tidur, kalian akan masuk surga dengan selamat. (HR. Ahmad, Ibn Majah, dan dishahihkan Syuaib Al-Arnauth)

Abu Bakr Ibnul ‘Arabi mengatakan,

في معنى التهجد ثلاثة أقوال (الأول) أنه النوم ثم الصلاة ثم النوم ثم الصلاة، (الثاني) أنه الصلاة بعد النوم، (والثالث) أنه بعد صلاة العشاء. ثم قال عن الأول: إنه من فهم التابعين الذين عولوا على أن النبي صلى الله عليه وسلم كان ينام ويصلي، وينام ويصلي . والأرجح عند المالكية الرأي الثاني

Tentang makna tahajud ada 3 pendapat: pertama, tidur kemudian shalat lalu tidur lagi, kemudian shalat. Kedua, shalat setelah tidur. Ketiga, tahajud adalah shalat setelah isya. Beliau berkomentar tentang yang pertama, bahwa itu adalah pemahaman ulama tabi’in, yang menyandarkan pada ketarangan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur kemudian shalat, kemudian tidur, lalu shalat. Sedangkan pendapat paling kuat menurut Malikiyah adalah pendapat kedua. (Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 14/86)

Catatan:

Bagi anda yang dikhawatirkan tidak mampu bangun sebelum subuh untuk tahajud, dianjurkan untuk shalat sebelum tidur. Sekalipun tidak disebut tahajud oleh sebagian ulama, namun dia tetap terhitung melakukan qiyam lail, yang pahalanya besar.

Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita untuk bisa istiqamah dalam melakukan ketaatan.

Amiin.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/18087-sholat-tahajud-tanpa-tidur-dulu.html

Perbuatan Yang Dilarang Karena Tasyabbuh, Tidak Memandang Niat

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من تشبه بقوم فهو منهم

Orang yang menyerupai suatu kaum, ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, 4031, di hasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, di shahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152).

Hadits ini dalil terlarangnya tasyabbuh bil kuffar, menyerupai ciri khas kaum kuffar.

Terkadang ketika seseorang dinasehati agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tasyabbuh bil kuffar ia menyanggah: “saya tidak berniat meniru orang kafir, saya hanya melakukannya karena begini dan begitu“.

Larangan tasyabbuh tidak memandang niat

Jawaban atas pernyataan demikian, tasyabbuh bil kuffar, atau meniru kekhususan orang kafir, tetap terlarang dalam syariat walaupun pelakunya tidak berniat untuk tasyabbuh. Karena larangan tasyabbuh tidak melihat niat, namun melihat zhahir perbuatannya. Walaupun pelakunya tidak meniatkan diri untuk menyerupai orang kafir, akan tetapi hasil dari perbuatan yang ia lakukan adalah ia menjadi serupa dengan orang kafir dan memiliki salah satu ciri khas orang kafir. Oleh karena itu tetap terlarang, walaupun tidak berniat demikian.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyatakan: “suatu perbuatan yang merupakan tasyabbuh, tidak disyaratkan adanya niat untuk tasyabbuh. Maka, bentuk dari perbuatan tasyabbuh itu terjadi walau tidak dimaksudkan demikian. Maka jika terjadi suatu perbuatan yang merupakan bentuk dari tasyabbuh, hukumnya terlarang. Ini tidak dibedakan baik dalam tasyabbuh dengan orang kafir atau tasyabbuh-nya wanita dengan laki-laki atau tasyabbuh-nya laki-laki dengan wanita. Tidak disyaratkan adanya niat, selama di sana terjadi satu bentuk tasyabbuh (maka terlarang)” 1.

Di dalam Al Qaulul Mufid, beliau juga menjelaskan: “karena hukum tasyabbuh ini hanya terkait dengan bentuk zhahirnya. Maka perbuatan ini tidak membutuhkan pengecekan niat, karena hukumnya hanya dikaitkan dengan amal. Adapun amal itu berpengaruh pada amal-amal shalih yaitu berpengaruh pada sah atau tidaknya amal shalih tersebut. Juga terkait dengan amal-amal yang tidak disebut batasan pahalnya, sehingga seseorang diberi pahala karena niatnya, atau amalan-amalan semacam itu. Ini tidak berlaku pada yang hanya dikaitkan dengan amalannya saja. Dalam hal ini maka tidak perlu pengecekan niat”.

Beliau melanjutkan: “dalam hal ini, syariat mengaitkan hukum dengan tasyabbuh. Maksudnya, terkait dengan perbuatan melakukan tasyabbuh, baik disertai niat atau pun tidak. Oleh karena itu dalam masalah tasyabbuh para ulama berkata: ‘(haram) walaupun tidak bermaksud tasyabbuh‘. Karena tasyabbuh itu sudah terjadi semata-mata dengan adanya perbuatan tasyabbuh. Jika ada yang bertanya: ‘ada kaidah bahwasanya amal itu tergantung niatnya, apakah ini bertentangan?’. Jawabnya, tidak bertentangan. Karena perkara yang dikaitkan dengan amalan itu tetap sah walaupun tanpa niat melakukannya. Misalnya perkara-perkara yang haram, seperti zhihar, zina, atau semacamnya”2.

Perbuatan-perbuatan yang dilarang karena sadd adz dzari’ah tidak memandang niat

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

Sungguh kalian akan mengikuti jalannya umat-umat terdahulu, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, sehingga seandainya mereka masuk lubang dhab (sejenis kadal), maka kalian akan mengikutinya”. Lalu para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksud umat terdahulu itu adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab: “siapa lagi kalau bukan mereka?” (Muttafaqun ‘alaih).

Hadits ini dalil terlarangnya ittiba’ bil kuffar, mengikuti jalannya orang-orang kafir.

Ketahuilah, perbuatan-perbuatan yang dilarang karena tasyabbuh memang terkadang pada asalnya mubah, namun bisa menjadi jalan kepada ittiba’ bil kuffar (mengikuti jalannya orang-orang kafir)sehingga menjadi terlarang, ini disebut sebagai kaidah sadd adz dzari’ah (menutup jalan menuju keburukan). Karena penyerupaan dalam perkara lahiriyah akan membawa kepada penyamaan dalam perkara batin. Syaikhul Islam dalam Iqtidha Shiratal Mustaqim mengatakan:

المشابهة في الظاهر تورث نوع مودة ومحبة ، وموالاة في الباطن ، كما أن المحبة في الباطن تورث المشابهة في الظاهر ، وهذا أمر يشهد به الحس والتجربة

“Penyerupaan penampilan dalam lahiriyah akan menimbulkan unsur kecintaan dan kesukaan serta loyalitas di dalam hati.
Sebagaimana juga kecintaan dalam hati akan menimbulkan penyerupaan dalam lahiriyah. Ini adalah perkara yang bisa dirasakan oleh indera dan terbukti oleh pengalaman”.

Misalnya memakai topi apapun hukum asalnya mubah. Namun ketika yang dipakai adalah topi santa klaus, maka ia menjadi jalan kepada ittiba’ bil kuffarsehingga menjadi terlarang. Bergembira ria dan bersenang-senang hukum asalnya boleh, namun ketika dilakukan di malam tahun baru Masehi maka ini menjadi jalan kepada tasyabbuh bil kuffar sehingga menjadi terlarang.

Dan sesuatu yang terlarang karena sadd adz dzari’ah tidaklah memandang niat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Dzari’ah (jalan menuju sesuatu yang haram) itu diharamkan oleh syariat walaupun pelakunya tidak berniat melakukan perbuatan haram, karena dikhawatirkan ia terjatuh pada perkara haram tersebut. Namun jika pelakunya memang meniatkan untuk melakukan perbuatan haram tersebut, maka ia lebih haram daripada keharaman dzari’ah-nya” 3.

Karena sebuah amalan (non ibadah) itu tidak dilihat dari niatnya saja namun juga dari ma’alat (akibat) dari perbuatan tersebut. Parameter pertama yang dicek dari sebuah perbuatan adalah niatnya, apakah perbuatan tersebut diniatkan kepada suatu hal yang haram ataukah tidak. Andai perbuatan tersebut tidak diniatkan untuk perkara yang haram, maka dicek parameter kedua, yaitu apakah perbuatan itu akan berujung kepada keburukan ataukah tidak. Jika berujung kepada kepada keburukan maka terlarang walaupun parameter pertama (yaitu niat) tidak bermasalah 4.

Demikian pula perbuatan-perbuatan yang dilarang karena tasyabbuh bil kuffar, ia terlarang walaupun tidak diniatkan untuk tasyabbuh, karena ia dapat mengakibatkan keburukan yaitu ittiba’ bil kuffar (mengikuti jalannya orang-orang kafir).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan 30 dalil yang melandasi kaidah ini dalam kitab Bayanud Dalil, dan ditambahkan oleh muridnya, Ibnul Qayyim, menjadi 99 dalil dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in. Diantaranya:

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS. Al An’am: 108).

Allah Ta’ala dalam ayat ini melarang memaki sesembahan-sesembahan kaum Musyrikin padahal itu boleh dan bahkan asalnya merupakan ibadah kepada Allah, karena bisa menjadi jalan dan sebab dicaci-makinya Allah oleh mereka. Perhatikan, seseorang yang memaki sesembahan-sesembahan kaum Musyrikin tentu tidak berniat memaki Allah, namun perbuatannya tersebut bisa menjadi jalan dicacinya Allah oleh mereka, sehingga dilarang memaki sesembahan-sesembahan kaum Musyrikin.

Dalil lainnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مِنْ الْكَبَائِرِ أَنْ يَشْتُمَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالُوا وَكَيْفَ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ

Termasuk dosa besar, seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya”. Para sahabat bertanya: “bagaimana mungkin seseorang mencaci-maki orang tuanya?”. Nabi menjawab: “ia mencaci maki ayah orang lain, lalu orang lain tersebut balik mencaci maki ayahnya. Atau ia mencaci maki ibu orang lain, lalu orang lain tersebut balik mencaci maki ibunya” (Muttafaqun ‘alaih).

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menganggap seorang anak yang menjadi sebab dicaci-maki orang tuanya oleh orang lain sebagai pencaci-maki orang tua sendiri, walaupun si anak tersebut tidak berniat mencaci-maki orang tuanya sendiri.

Dan dalil-dalil yang lainnya.

Maka kesimpulannya, perbuatan-perbuatan yang dilarang karena tasyabbuh bil kuffar tetap terlarang walaupun pelakunya tidak beniat untuk tasyabbuh.

Semoga bisa dipahami, wabillahi at taufiq was sadad.

***

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29205-perbuatan-yang-dilarang-karena-tasyabbuh-tidak-memandang-niat.html

Seorang Mukmin Bukan Orang Yang Hobi Mencela

Orang Mukmin adalah orang yang sangat antusias terhadap semua kebaikan dan selalu bersikap lemah lembut terhadap sesama manusia.

Sikap santun dalam menyampaikan pesan, berlemah lembut dalam berbicara dan juga dalam berdialog merupakan metode yang benar yang bisa menarik hati banyak orang, bisa mengembalikan hati-hati yang telah menjauh dari Islam ataupun pendapat-pendapat yang telah berubah. Allâh Azza wa Jalla berpesan kepada Nabi Musa dan Harun ‘Alaihimas salam :

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut! Mudah-mudahan ia menjadi sadar atau takut [Thaha/20:44]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Dalam ayat ini terdapat pelajaran yang sangat berharga yaitu Fir’aun (kala itu) sosok manusia sudah berada pada puncak pembangkangan, keangkuhan dan kesombongan (terhadap ajaran Nabi Musa Alaihissallam), sementara Musa Alaihissallam adalah manusia terbaik pilihan Allâh Azza wa Jalla saat itu, namun demikian Allâh Azza wa Jalla memerintahkannya untuk tidak berbicara dengan Fir’aun kecuali dengan perkataan yang santun dan lemah lembut.”

(Fir’aun dengan sombongnya sampai berani mengaku dan memaksa rakyatnya untuk mengakui bahwa dia tuhan yang maha tinggi. Sungguh itu sebuah ungkapan lisan orang yang amat sangat sombong. Semoga Allâh Azza wa Jalla menghindarkan kita semua dari kesombongan yang telah menyeret fir’aun dan juga syaitan dalam pembangkangan terburuk.)

Kata-kata cacian hanya akan memantik fitnah (bencana). Caci maki tidak akan bisa menarik kembali hati orang yang sudah terlanjur menjauhi kita juga tidak bisa meluluhkan hati para penentang.  Caci maki justru menanamkan rasa dendam dan benci di hati serta membuat orang yang berseberangan semakin nekad dan keras kepala.

Barangsiapa menyerang setiap orang yang tidak sependapat dengannya dengan kata-kata keji, ucapan-ucapan yang buruk lagi tercela, maka apa yang dia lakukan itu hanya akan memperburuk keadaan dan memperparah penyakit.

Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita semua untuk mencontoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ucapan-ucapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat santun

Orang yang rendah moralnya, lisannya tajam dan kotor, suka merendahkan harga diri orang lain, pengumpat, hobi melontarkan tuduh-tuduhan keji terhadap orang tak bersalah, suka menyerang orang-orang yang baik, semua ucapannya hanya umpatan dan cacian; Sungguh orang seperti ini tidak pantas disebut mushlih (orang yang melakukan perubahan kearah yang lebih baik), penasihat atau guru pembimbing yang baik.

Wahai orang-orang yang suka menulis pernyataan-pernyataan yang penuh umpatan dan kutukan! Wahai orang-orang yang suka melontarkan tuduhan serta melakukan justifikasi! Kalian akan dimintai pertanggungan jawab atas semua yang kalian tulis pada hari seluruh makhluk dikumpulkan yakni hari kiamat. Saat itu, semua amalan sekecil apapun akan ditimbang dan diperhitungkan. Setiap orang akan datang didampingi malaikat yang menjadi saksi dan malaikat yang menggiring.

Wahai orang-orang yang bersembunyi di balik layar! Yang bersembunyi dibelakang nama samaran demi menghindari pandangan manusia lalu melontarkan celaan tapi atas nama orang lain! Apakah engkau lupa bahwa Allâh Azza wa Jalla senantiasa melihat anda dan Dia mengetahui semua yang anda sembunyikan.

Seorang Mukmin yang benar, bukanlah seorang yang banyak mencela, bukan yang banyak melaknat, bukan orang yang keji, dan bukan pula orang yang omongannya kotor.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam suri tauladan kita, bukan seorang yang sering melontarkan celaan, kutukan dan ucapan-ucapan keji. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً

Sesunguhnya aku tidak diutus sebagai tukang melaknat, tetapi aku diutus sebagai rahmat.

Beliau juga bersabda :

     سِبَابُ المسْلِمِ فُسُوْقٌ

Mencaci maki seorang Muslim adalah suatu kefasikan.

Dalam riwayat lain disebutkan :

اَلْمُسْتَبَّانِ شَيْطَانَانِ يَتَهَاتَرَانِ وَيَتَكَاذَبَانِ

Dua orang yang saling memaki adalah seperti dua syaitan yang saling menjatuhkan dan mendustakan lawannya.

Dalam sebuah riwayat dari Jabir disebutkan:

قَالَ جَابرٌ بن سليْم رَضيَ اللهُ عَنْه : قُلْتُ: اعْهَدْ إِلَيَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: لَا تَسُبَّنَّ أَحَدًا قَالَ: فَمَا سَبَبْتُ بَعْدَهُ حُرًّا، وَلَا عَبْدًا، وَلَا بَعِيرًا، وَلَا شَاةً،

Dari Jabir bin Salîm z bercerita, “Aku berkata, ‘Buatlah ikatan perjanjian denganku wahai Rasûlullâh!’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menjawab, “Janganlah sekali-kali engkau memaki orang lain“. Kata Jabir, “Sejak itulah aku tidak pernah memaki seorang pun, baik ia orang merdeka atau hamba sahaya, termasuk tidak memaki unta dan kambing”. [HR Abu Dawud]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepadanya, “Jika ada orang yang mencela dan memakimu dengan celaan yang dia tahu ada pada dirimu, maka janganlah kamu balas mencelanya dengan celaan yang engkau tahu ada pada dirinya. Karena akibat celaannya itu hanya kembali kepada dia.” [HR. Abu Daud]

Semoga Allâh senantiasa memberikan petunjuk kepada kita dan menyelamatkan kita dari kejahatan jiwa-jiwa kita.

Allâh Azza wa Jalla melarang kaum Muslimin dari perbuatan mencaci maki sesembahan orang-orang musyrik agar itu tidak menjadi alasan mereka untuk membenarkan tindakan mereka yang mencaci maki Allâh Azza wa Jalla .

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

Janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allâh, karena nanti mereka akan memaki Allâh dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan [Al-An’âm/6:108]

Sungguh cacian dan celaan yang diarahkan kepada tuhan-tuhan sesembahan mereka hanyalah akan membuat mereka semakin ingkar, keras kepala dan semakin menjauhi kita. Jika demikian, ini bertentangan dengan misi dakwah yang dikehendaki Allâh Azza wa Jalla .

Hendaklah kita senaniasa waspada dan mawas diri. Jangan sampai kita menghadapi mereka dengan kekerasan, makian, kutukan dan umpatan. Sebab itu hanya akan membuat mereka semakin menjauh dari kebenaran, sunnah dan budi pekerti yang luhur.

Sampaikanlah dan jelaskanlah kebenaran itu dengan mengemukakan dalil-dalil dengan cara-cara yang bijak dan sesuai.

Kewajiban kita hanyalah menyampaikan nasihat, mengajak dan mencegah. Soal menjadikan mereka baik dan buruk bukanlah tugas kita. Itu urusan Allâh, bukan urusan kita. Allâh Azza wa Jalla yang akan menghitung dan membalas mereka.

Oleh Syekh Shalah Bin Muhammad Al-Budair

Read more https://almanhaj.or.id/7404-seorang-mukmin-bukan-orang-yang-hobi-mencela.html

Buah Tauhid, Sudahkah Ada Pada Diri Kita?

Memahami tauhid perkara yang sangat mulia. Lebih dari itu, mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari tentu tidak kalah mulianya, bahkan itulah tujuan seorang mempelajari tauhid melalui kitab-kitab para ulama. Seringkali, kita lupa bahwa tauhid bukan sekedar wacana yang cukup untuk didiskusikan dan dibaca berulang-ulang. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka berikanlah peringatan, sesungguhnya peringatan itu akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzariyat : 55).

Saudaraku sekalian –semoga Allah menambahkan nikmat Islam dan Sunnah kepada kita- apabila kita kaji lebih dalam dengan pikiran yang jernih dan hati yang tenang, sesungguhnya faidah mempelajari tauhid sangatlah banyak. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Salah satu manfaat dari tauhid adalah ia akan menjadi pilar terbesar untuk membangkitkan kemauan menjalankan ketaatan. Sebab, seorang yang bertauhid akan mempersembahkan amalnya tulus karena Allah subhanahu wa ta’ala. Karena dorongan itulah maka dia akan tetap beramal dalam keadaan sepi/sendirian maupun ketika berada di depan orang/terang-terangan. Sedangkan orang yang tidak bertauhid –misalnya orang yang riya’- maka dia akan melakukan amal sedekah, shalat dan berdzikir hanya jika di sisinya terdapat orang yang melihatnya. Oleh karena itu, sebagian ulama salaf mengatakan, “Sesungguhnya saya sangat ingin mengerjakan suatu ketaatan yang tidak diketahui oleh siapa pun selain Dia” ” (al-Qaul al-Mufid, jilid 1. attasmeem.com).

Ikhlas, menuntut perjuangan
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan untuk-Nya, dengan lurus [bertauhid]…” (QS. al-Bayyinah : 5). Ibadah tidak akan diterima jika tidak ikhlas. Sebagaimana ia tidak akan diterima jika dilakukan dengan cara yang salah. Seorang yang menginginkan agar amalnya sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia akan berusaha mempelajari ilmu tentang ibadah yang akan dia jalani. Setelah mengetahui ilmu tersebut maka dia pun akan berusaha untuk menerapkannya. Kemudian apabila lupa, maka dia pun kembali membuka bukunya, mengingat-ingat tata cara dan bacaan doa yang luput dari ingatannya. Demikianlah seterusnya, sampai dia berhasil meniru tata cara beribadah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Mungkin diperlukan waktu yang tidak sebentar, sepekan dua pekan, sebulan dua bulan, atau bahkan setahun lamanya sampai dia benar-benar bisa melakukannya dengan baik dan sempurna. Demikianlah ketika seorang ingin menjadikan ibadahnya persis sebagaimana dituntunkan oleh Nabi-Nya.

Maka tidak berbeda halnya dalam hal keikhlasan. Untuk mendapatkan keikhlasan dalam beribadah maka seorang hamba harus senantiasa belajar dan belajar, mengingat-ingat dan merenungkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, membaca ayat-ayat al-Qur’an, menyimak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membaca keterangan-keterangan para ulama. al-Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Kitab al-‘Ilm dalam Shahihnya dengan judul ’Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’. Apa yang beliau kemukakan sangatlah tepat! Dan tidak cukup berhenti di situ saja, setelah mengetahui ilmunya, maka orang masih harus melakukan perjuangan berikutnya yaitu agar ikhlas itu benar-benar terwujud dalam dirinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju keridhaan Kami.” (QS. al-Ankabut : 69).

Pentingnya ilmu ikhlas
Kita semua tahu bahwa untuk berwudhu yang benar ada ilmunya. Untuk shalat yang benar ada ilmunya. Untuk berpuasa yang benar ada ilmunya. Demikian pula untuk menunaikan ibadah-ibadah lain dengan benar pun ada ilmunya. Namun hendaknya kita juga ingat bahwa ternyata ikhlas pun ada ilmunya. Bagaimana tidak? Sementara ikhlas itulah tujuan hidup kita, untuk mengajak kepada keikhlasan itulah para rasul dibangkitkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul [yang mengajak] sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl : 36).

Salah satu bukti pentingnya ilmu ikhlas ini adalah apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin fil hadits Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, an-Nawawi, dan Syaikh as-Sa’di rahimahumullah yang memulai kitab mereka dengan hadits ‘Innamal a’maalu bin niyaat’. Anda bisa melihat hal itu dalam Sahih Bukhari, hadits yang pertama. Umdat al-Ahkam hadits yang pertama. al-Arba’in an-Nawawiyah, hadits yang pertama. Bahjat al-Qulub al-Abrar, hadits yang pertama. Para ulama terkemuka itu menempatkan hadits ‘Innamal a’maalu bin niyaat’ sebagai hadits pertama dalam kitab-kitab mereka. Tentu saja hal itu menunjukkan betapa pentingnya kandungan hadits tersebut yang tidak lain adalah ajaran keikhlasan beribadah untuk Allah ta’ala.

Buah tauhid itu (baca: ikhlas) sudah ada dalam diri kita?
Menilai orang lain sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Namun, ketika kita berusaha untuk menilai diri sendiri terkadang kita mengalami kesulitan. Sebagian orang –yang tertipu- merasa bahwa dirinya sudah ikhlas padahal dia belum ikhlas. Sebagian orang yang lain berjuang untuk meraih keikhlasan namun dengan cara-cara yang tidak disyari’atkan, sampai-sampai banyak kewajiban dan ibadah yang ditinggalkannya demi mendapatkan apa yang dia anggap sebagai keikhlasan. Dia meninggalkan amal karena takut dikatakan sebagai orang yang riya’. Sebagian lagi berusaha untuk ikhlas, namun godaan dan rintangan kerapkali menyeretnya ke tepi-tepi jurang kemunafikan. Ketika bersama orang banyak begitu bersemangat, namun ketika sendirian maka lenyaplah gairahnya untuk beramal. Aduhai, termasuk kelompok yang manakah kita?

Saudaraku, perlu kita sadari bahwa riya’d alam beramal merupakan akhlak yang sangat tercela. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Riya’ adalah akhlak yang sangat tercela dan ia termasuk ciri orang munafik.” (al-Qaul al-Mufid, jilid 2. at-tasmeem.com). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apabila mereka (orang-orang munafik) hendak mendirikan shalat, maka mereka lakukan dengan rasa malas. Mereka ingin amalnya dilihat oleh manusia (riya’), dan mereka tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja.” (QS. an-Nisaa’: 143).

Sebenarnya apa sih yang kita harapkan dalam hidup ini? Bukankah kitaberharap Allah menerima amal-amal kita? Bukankah kita juga berharap Allah mengampuni dosa-dosa kita? Bukankah kita juga berharap kelak Allah memasukkan kita ke surga dan menyelamatkan kita dari api neraka? Bukankah kita juga tahu bahwa hanya Allah yang bisa memenuhi harapan-harapan kita tersebut? Kita pun tahu bahwa tak seorang pun manusia yang menguasai pemberian rezeki, kehidupan, kematian, surga dan neraka selain Allah semata? Lalu mengapa kita tertipu oleh pujian manusia, dukungan mereka, senyuman mereka dan kedudukan mereka? Apa yang bisa kita harapkan dari manusia? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya apa-apa yang kalian seru (ibadahi) selain Allah itu hanyalah hamba [yang lemah] sebagaimana kalian.” (QS. al-A’raaf : 194). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang berharap untuk berjumpa dengan Rabbnya maka lakukanlah amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatu pun [dengan Allah] dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (QS. al-Kahfi : 110).

Cukuplah Allah sebagai saksi atas amal-amal kita! Alangkah meruginya apabila kita mengalami nasib buruk seperti tiga golongan orang yang diadili pertama kali pada hari kiamat nanti. Mereka berjihad, menimba ilmu serta mengajarkannya, rajin berderma; namun ternyata mereka riya’. Dan oleh karena dosa itulah Allah tak segan-segan untuk mencampakkan mereka ke dalam neraka, wal ‘iyadzu billah! Semoga Allah menjaga diri kita dari syirik yang tersembunyi, dan semoga Allah mencabut nyawa kita dalam keadaan kita mengabdi kepada-Nya semata; bukan mengabdi kepada dunia ataupun hawa nafsu manusia. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/6908-buah-tauhid-sudahkah-ada-pada-diri-kita.html

Bahaya Mengkafirkan Sesama Kaum Muslimin

Mencela sesama kaum muslimin secara umum termasuk dalam perbuatan dosa besar. Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64)

Lebih dari itu adalah mencela sesama muslim dengan melemparkan tuduhan bahwa dia telah kafir. Perbuatan ceroboh (penyakit) semacam ini telah menjangkiti sebagian kaum muslimin karena lemahnya pemahaman mereka terhadap aqidah dan manhaj yang benar. Padahal, banyak kita jumpai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan hal ini.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالفُسُوقِ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالكُفْرِ، إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ

“Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik dan jangan pula menuduhnya dengan tuduhan kafir, karena tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri jika orang lain tersebut tidak sebagaimana yang dia tuduhkan.” (HR. Bukhari no. 6045)

Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR. Bukhari no. 6104)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ

“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim no. 60)

Dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ

“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim no. 61)

Hadits-hadits di atas termasuk yang dinilai membingungkan, karena makna yang diinginkan tidak seperti yang tercantum dalam teks hadits. Menuduh (memvonis) sesama muslim dengan tuduhan kafir adalah maksiat, yang tidak sampai derajat perbuatan kekafiran. Sedangkan seorang muslim tidaklah dinilai (divonis) kafir hanya dengan sebab maksiat, seperti misalnya berzina, membunuh, demikian juga dengan menuduh saudara muslim dengan tuduhan kafir, tanpa meyakini batilnya agama Islam. 

Oleh karena itu, terdapat beberapa penjelasan ulama berkaitan dengan hadits di atas. 

Penjelasan pertama, hadits di atas dimaknai bagi orang-orang yang meyakini halalnya perbuatan tersebut (adanya istihlal dari pelaku). Kalau seseorang meyakini (memiliki i’tiqad) bahwa perbuatan tersebut halal, inilah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir. 

Kaidah dalam masalah ini adalah maksiat itu berubah menjadi kekufuran ketika pelakunya meyakini halalnya perbuatan maksiat tersebut. Kalau dia bermaksiat, namun dia merasa bersalah, maka itu statusnya tetap maksiat. 

Penjelasan ke dua, yang kembali kepada dirinya adalah maksiat berupa pelecehan kepada saudaranya dan dosa maksiat akibat memvonis kafir saudaranya. Artinya, yang kembali kepada si penuduh adalah “maksiat menuduh kafir”.

Penjelasan ke tiga, sebagian ulama memaknai hadits ini khusus untuk orang-orang khawarij yang suka mengkafirkan kaum muslimin. Ini menurut pendapat ulama yang mengatakan bahwa sekte khawarij itu kafir. Akan tetapi, pendapat ini lemah karena pendapat yang tepat adalah bahwa kaum khawarij itu tidak kafir sebagaimana kelompok ahlul bid’ah yang lainnya, meskipun mereka hobi mengkafirkan saudara sesama muslim.

Penjelasan ke empat, maknanya adalah bahwa perbuatan itu akan mengantarkan kepada kekafiran. Hal ini karena maksiat adalah pos pengantar menuju kekafiran. Orang yang banyak dan terus-menerus berbuat maksiat dan tidak bertaubat, maka dikhawatirkan lama-lama akan berujung kepada kekafiran.

Penjelasan ke lima, yang kembali kepada dirinya sendiri adalah “vonis (tuduhan) kafir”, bukan maksudnya kalau dirinya menjadi benar-benar kafir. Hal ini karena ketika dia menuduh saudara sesama muslim dengan tuduhan kafir, maka seolah-olah dia sedang menuduh dirinya sendiri, karena muslim yang satu dengan yang lain bagaikan satu tubuh (satu badan). 

Demikianlah lima penjelasan ulama tentang maksud hadits bahwa siapa saja yang menuduh saudara sesama muslim dengan tuduhan kafir, maka tuduhan kafir itu akan kembali kepada si penuduh. 

Kesimpulan, perbuatan (suka) menuduh sesama muslim dengan tuduhan kafir adalah perkara maksiat yang berbahaya. Seharusnya kita menjauhkan diri kita dari perbuatan semacam ini. 

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50837-bahaya-mengkafirkan-sesama-kaum-muslimin.html

Agar Anak Akil Baligh Mudah Pakai Hijab…

BERDASARKAN firman Allah Ta’ala dalam QS. An-Nur ayat 31, yang artinya:

“Katakanlah kepada wanita-wanita beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak daripadanya.”

Juga dalam QS. Al-Ahzab ayat 59 yang artinya:

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka menjulurkan khimarnya (jilbab) ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

“Ada dua macam golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya: Sekelompok laki-laki yang menggenggam cambuk seperti ekor sapi, mereka mencambuk manusia dengannya. Dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang dan berlenggak lenggok. Di kepalanya ada sesuatu seperti punuk unta. Mereka itu tidak akan masuk surga dan tidak juga mencium baunya surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak yang sangat jauh.” (HR. Muslim)

Perintah hijab diwajibkan bagi wanita yang sudah akil baligh, akil baligh pada anak perempuan ditandai dengan keluarnya darah haid. Tetapi alangkah baiknya pembiasaan menggunakan hijab sejak maka kanak-kanak agar ketika kewajiban telah sampai kepadanya, yaitu telah akil baligh maka berhijab akan menjadi kebiasaan yang mudah untuk dilakukan.

Banyak anak perempuan sudah akil baligh pada umur 11 tahun bahkan banyak juga pada umur 10 tahun, jadi umur 11 tahun sudah berkewajiban untuk menggunakan hijab keluar rumah, tidak hanya keluar rumah tetapi berhijab dari orang-orang yang bukan mahram kita, misalnya saudara sepupu.

[Ustadzah Novria]

INILAH MOZAIK

Jangan Risau dan Khawatir dengan ”Jatah” Rizki Kita (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya: Jangan Risau dan Khawatir dengan ”Jatah” Rizki Kita (Bag. 1)

Kewajiban kita hanyalah berusaha mencari rizki yang halal dengan senantiasa bertawakkal kepada-Nya

Sekali lagi kami ingin tekankan, bahwa Allah-lah yang menjamin rizki kita di dunia ini. Sampai-sampai Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

“Tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan rizkinya telah ditetapkan oleh Allah.” (QS. Huud [11]: 6)

Jika binatang saja mendapatkan jaminan demikian, bagaimana lagi dengan manusia?

Allah Ta’ala juga tidak akan mencabut nyawa kita kecuali Allah telah menyempurnakan bagian rizki tersebut untuk kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا

“Sesungguhnya jiwa itu tidak akan mati sehingga sempurnalah rizkinya.” (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 2144)

Ketika Allah Ta’ala sudah menyatakan demikian, maka kewajiban kita adalah berusaha untuk mencari dan mendapatkan rizki itu dari Allah Ta’ala dari jalan-jalan yang halal. Allah Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi,

يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُونِى أُطْعِمْكُمْ يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُونِى أَكْسُكُمْ

“Wahai para hamba-Ku, kalian semua adalah lapar kecuali yang Aku beri makan. Maka mintalah makan kepada-Ku niscaya akan Aku beri makan. Wahai para hamba-Ku, kalian semuanya adalah telanjang kecuali yang Aku beri pakaian. Maka mintalah pakaian kepada-Ku niscaya akan Aku beri pakaian.” (HR. Muslim no. 6737)

Yang dimaksud dengan “permintaan” di sini bukanlah sekedar permintaan belaka tanpa melakukan usaha apa-apa. Akan tetapi, permintaan di sini mencakup meminta dengan berdoa kepada Allah agar Allah memberikan makanan dan pakaian kepada kita serta terkandung pula usaha untuk mencari rizki dan karunia dari Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 10)

Allah Ta’ala juga berfirman,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk [67]: 15)

Inilah hakikat tawakkal. Karena tawakkal adalah kita bersandar kepada Allah Ta’ala dengan penuh kepercayaan kepada-Nya untuk meraih apa yang kita cari dan menolak apa yang kita benci disertai dengan mengambil sebab-sebab yang diizinkan oleh syariat(Lihat Al-Qaulul Mufiid, 2: 87)

Dan bukankah Allah sendiri telah menjanjikan, bahwa barangsiapa yang bertawakkal hanya kepada Allah pasti Allah akan menjamin urusan-urusannya?

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberinya rizki dari arah yang tidak dia sangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 2-3)

Alangkah indahnya hidup ini jika diisi dengan bertawakkal hanya kepada-Nya!!

Jangan berburuk sangka kepada Allah Ta’ala

Oleh karena itu, ketika kita berusaha untuk bertakwa dengan menjalankan ketaatan kepada-Nya kita tidak perlu khawatir apalagi takut kalau-kalau rizki menjadi sempit. Janganlah kita berburuk sangka kepada Allah Ta’ala bahwa Allah akan menelantarkan dan membiarkan kita begitu saja hidup di dunia ini. Kita juga tidak perlu merasa berputus asa dari rahmat Allah yang sedemikian luas kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah mensifati hamba-hamba-Nya yang berputus asa dari rahmat-Nya sebagai hamba-Nya yang tersesat.

Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ

“Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-nya, kecuali orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr [15]: 56)

Hal ini karena kalau kita berputus asa dari rahmat Allah maka kita termasuk ke dalam orang-orang yang berburuk sangka kepada Allah Ta’ala.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat di atas,

“Berputus asa dari rahmat Allah itu tidak diperbolehkan. Karena hal itu termasuk berburuk sangka kepada Allah. Yang demikian itu bisa ditinjau dari dua sisi. Pertama, karena mengandung unsur celaan terhadap kekuasaan Allah Ta’ala. Karena barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu, maka tidak ada sesuatu pun yang lepas dari kekuasaan-Nya. Ke dua, karena hal itu mengandung unsur celaan terhadap rahmat Allah. Karena barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah itu Maha Penyayang maka tidak ada sesuatu pun yang terlepas dari rahmat-Nya. Oleh karena itu, berputus asa dari rahmat Allah itu termasuk kesesatan.” (Al-Qaulul Mufiid, 2: 103-104)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50751-jangan-risau-dan-khawatir-dengan-jatah-rizki-kita-bag-2.html

Agar Siap pada Apapun Takdir Allah

DOA memang bisa mengubah takdir. Tapi semuanya tetap berujung pada ketentuan Allah. Beriman pada takdir selalu dengan kedua perspektif manusia yaitu takdir baik dan buruk. Padahal bagi Allah semua berujung kebaikan. Baik dan buruk itu perspektif manusia saja.

Manusia yang beriman seharusnya tak menyerah untuk melakukan perubahan ke arah kebaikan dan di saat yang sama ia berdoa. Berdoa adalah usaha agar keinginan kita diselaraskan dengan keinginan Allah Sang Penentu. Kalau pun tidak atau belum, doa adalah kekuatan untuk mengubah perspektif negatif kita.

Keberpihakan Allah kepada hamba-Nya dalam penentuan takdir bermaksud ketika keinginan kita dikabulkan Allah.

Manusia bisa berada pada empat kondisi, di antaranya:
– yang ia inginkan terjadi = sama dengan keinginan Allah Ta’ala
– yang tidak ia inginkan tidak terjadi
– yang ia inginkan tidak terjadi
– yang tidak ia inginkan terjadi

Sebagai orang beriman kita harus menyiapkan diri menerima keempat kondisi di atas. Doa adalah salah satu sarana menyiapkan diri menerima takdir Allah apapun keputusannya.

Wallahu a’lam. [Ustadz DR. Syaiful Bahri]

INILAH MOZAIK

Mengapa Kita Tak Boleh Malas Berdoa?

PERTAMA adalah karena Allah sendiri yang memerintahkan kita berdoa dan Allah sendiri yang berjanji akan mengabulkannya. Allah sangat senang kepada hambaNya yang senang berdoa karena berdoa bermakna ada sambungan antara hamba dengan Tuhannya.

Kedua adalah karena doa merupakan sebuah kekuatan akan harapan hidup yang lebih baik. Mereka yang tidak pernah berdoa akan mudah untuk pesimis dan, bahkan, tidak berdoa itu adalah potret kepesimisan, keputusasaan, di samping bisa juga sebagai potret kesombongan.

Ketiga adalah karena berdoa itu merupakan tanda percayanya kita kepada Allah; percaya bahwa Allah Tuhan kita, percaya bahwa Allah yang mengatur hidup kita, percaya bahwa Allah tahu persis keadaan dan masalah kita, serta karenanya maka kita percayakan urusan kita kepadaNya. Sungguh keimanan yang indah.

Ada tiga kemungkinan jawaban Allah akan doa yang kita panjatkan. Pertama, iya, Aku kabulkan segera atau sekarang. Kedua, iya, Aku kabulkan, tapi tidak sekarang. Ada waktu yang lebih indah dan lebih tepat untukmu. Ketiga, Aku memiliki rencana yang lebih indah untukmu. Jadi bukan yang engkau pinta yang Aku berikan, namun yang lebih baik dari yang engkau pinta.

Betapa Rahman Rahimnya Allah Tuhan kita, betapa baiknya Allah Tuhan kita. Namun, begitu terbatas pengetahuan kita. Teruslah berbaik sangka kepada Allah dan tetaplah berdoa serta memasrahkan diri kita kepada Allah. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi |

INILAH MOZAIK

Ciri Khas Umat Muhammad pada Hari Kiamat: Ghurrah dan Tahjiil (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya: Ciri Khas Umat Muhammad pada Hari Kiamat: Ghurrah dan Tahjiil (Bag. 1)

Apakah dianjurkan untuk memanjangkan ghurah dan tahjiil?

Dalam pembahasan sebelumnya telah disampaikan pada ghurrah adalah cahaya putih pada wajah; sedangkan tahjiil adalah cahaya putih di tangan dan kaki pada hari kiamat yang disebabkan oleh basuhan air wudhu.

Mengingat keutamaan tersebut, sebagian fuqaha (ulama ahli fiqh) berpendapat dianjurkannya memanjangkan ghurrah dan tahjiil ketika berwudhu [1]. Bagaimana caranya? Yaitu dengan memperluas area yang terkena basuhan air. Maksudnya, ketika membasuh wajah, wajah dibasuh sampai terkena rambut; ketika membasuh tangan, tangan dibasuh sampai pundak/ketiak (lengan atas); dan ketika membasuh kaki, kaki dibasuh sampai betis (tidak cukup sampai dua mata kaki).

Hal ini adalah berdasarkan riwayat dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan dari Nu’aim bin ‘Abdillah, beliau berkata,

أَنَّهُ رَأَى أَبَا هُرَيْرَةَ يَتَوَضَّأُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ حَتَّى كَادَ يَبْلُغُ الْمَنْكِبَيْنِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ حَتَّى رَفَعَ إِلَى السَّاقَيْنِ، ثُمَّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوءِ، [ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ ]

“Aku melihat Abu Hurairah berwudlu, dia membasuh muka dan membaguskannya, membasuh tangan kanannya hingga lengan atas serta membasuh tangan kirinya hingga lengan atas. Setelah itu mengusap kepala, membasuh kaki kanannya hingga betis dan membasuh kaki kirinya hingga betis. Kemudian berkata, ‘Seperti inilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu.” Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Kalian akan bersinar pada hari kiamat disebabkan karena bekas wudhu”, [barangsiapa dari kalian yang mampu memperluas sinar tersebut, maka lakukanlah].” (HR. Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246. Lafadz hadits ini milik Muslim)

Tentang perkataan dalam tanda kurung siku pada hadits di atas, yaitu “barangsiapa dari kalian yang mampu memperluas sinar tersebut, maka lakukanlah”, Al-Hafidz Al-Mundziri berkata,

“Sesungguhnya perkataan “barangsiapa dari kalian yang mampu … ” sampai selesai, itu hanyalah perkataan sisipan dari perkataan Abu Hurairah, sehingga statusnya mauquf (maksudnya, perkataan sahabat Abu Hurairah dan bukan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Hal ini telah disebutkan oleh banyak ulama ahli hadits. Wallahu a’lam.” (Shahih At-Targhiib wa At-Tarhiib, 1: 136-137)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah memberikan komentar atas perkataan Al-Mundziri tersebut dengan mengatakan,

“Inilah yang telah ditegaskan oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, dan juga muridnya, yaitu Syaikh An-Naaji.” (Lihat Silsilah Adh-Dha’ifah, 3: 106)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,

فهذا الحديث إذا قرأته فإنك تظن أنه من قول الرسول صلى الله عليه وسلّم، ولكن الواقع أن الجملة الأخير ليست من كلام النبي صلى الله عليه وسلّم وهو قوله: “فمن استطاع منكم أن يطيل غرته وتحجيله فليفعل” بل هي مدرجة من كلام أبي هريرة

“Hadits ini, jika Engkau baca, Engkau menyangka bahwa hadits itu merupakan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (seluruhnya). Akan tetapi faktanya, kalimat terahir bukanlah termasuk bagian dari ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu kalimat, “barangsiapa dari kalian yang mampu memperluas sinar tersebut, maka lakukanlah.” Kalimat ini statusnya mudraj, yaitu sisipan berupa perkataan dari Abu Hurairah.” (Syarh Al-Mandhumah Al-Baiquniyyah, hal. 111)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata,

ولو صحت هذه الجملة , لكانت نصاً على استحباب إطالة الغرة والتحجيل لا على إطالة العضد

“Seandainya kaliamt tersebut shahih (dari Nabi), maka itu adalah dalil tegas dianjurkannya memanjangkan ghurrah dan tahjiil, tapi bukan memanjangkan (basuhan sampai) lengan atas (karena lengan atas tidak masuk dalam istilah ghurrah dan tahjiil, pent.)” (Majmu’ Fataawa Al-Albani, 1: 40 [Asy-Syamilah])

Karena perkataan di atas adalah sisipan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, maka –Wallahu a’lam-, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah tidak dianjurkannya perkara tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

ولا يستحب إطالة الغرة وهو مذهب مالك ورواية عن أحمد

“Dan tidak dianjurkan memanjangkan ghurrah, inilah pendapat Imam Malik dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.” (Al- Fataawa Al-Kubra, 5: 302)

Di antara alasan yang bisa dijadikan sebagai bantahan adalah bahwa ghurrah itu vahaya pada wajah, sehingga tidak mungkin dipanjangkan. Jika membasuh wajah dilanjutkan sampai rambut kepala, itu sudah tidak ghurrah lagi.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وكان شيخنا يقول هذه اللفظة لا يمكن أن تكون من كلام رسول الله فإن الغرة لا تكون في اليد لا تكون إلا في الوجه وإطالته غير ممكنة إذ تدخل في الرأس فلا تسمى تلك غرة

“Guru kami berkata bahwa kalimat ini tidak mungkin bagian dari ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ghurrah itu letaknya tidak di tangan, ghurrah itu tidak ada kecuali hanya di wajah saja. Sehingga memanjangkan ghurrah itu tidak mungkin, karena (jika dipanjangkan) akan masuk ke daerah kepala. Sehingga tidak bisa disebut ghurrah lagi.” (Haadil Arwaah, 1: 138)

Sebagian ulama yang menganjurkan juga berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنَ الْمُؤْمِنِ، حَيْثُ يَبْلُغُ الْوَضُوءُ

“Perhiasan seorang mukmin sampai pada bekas wudhunya.” (HR. Muslim no. 250)

Dan argumen ini juga dibantah oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dengan mengatakan,

وقد احتج بهذا من يرى استحباب غسل العضد وإطالته والصحيح انه لا يستحب وهو قول أهل المدينة وعن أحمد روايتان والحديث لا تدل على الإطالة فإن الحلية إنما تكون في زينة في الساعد والمعصم لا في العضد والكتف

“Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini untuk mengatakan dianjurkannya membasuh lengan atas dan memanjangkannya (sampai pundak, pent.). Akan tetapi pendapat yang benar adalah bahwa itu tidak dianjurkan. Pendapat ini adalah pendapat penduduk Madinah dan salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad. Sedangkan hadits tersebut tidak menunjukkan dianjurkannya memanjangkan basuhan, karena yang disebut dengan “hilyah” (perhiasan) itu hanyalah perhiasan di lengan bawah dan pergelangan tangan, bukan di lengan atas dan pundak.” (Haadil Arwaah, 1: 137)

Selain itu, alasan lain adalah bahwa tidak terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan dianjurkannya hal ini.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata,

فإذا لم يثبت في الشرع الإطالة , لم يجز الزيادة عليه , كما لا يخفى

“Ketika tidak terdapat dalil dari syariat (dianjurkannya) memanjangkan basuhan (anggota wudhu), maka tidak boleh menambah (memanjangkan) basuhan anggota wudhu, sebagaimana hal ini adalah perkara yang sudah jelas.” (Majmu’ Fataawa Al-Albani, 1: 39 [Asy-Syamilah])

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50755-ciri-khas-umat-muhammad-pada-hari-kiamat-ghurrah-dan-tahjiil-bag-2.html