Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait Ibadah Haji (Bag. 4)

Mencium dan menempelkan pipi ke rukun (sudut) Yamani

Berkaitan dengan rukun Yamani, yang shahih dan terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengusapnya dengan tangan, tidak ada sunnah yang lainnya. Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

مَا تَرَكْتُ اسْتِلَامَ هَذَيْنِ الرُّكْنَيْنِ الْيَمَانِيَ، وَالْحَجَرَ، مُذْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُهُمَا، فِي شِدَّةٍ وَلَا رَخَاءٍ

“Aku tidak pernah meninggalkan meraba kedua sudut ini, yaitu sudut Yamani dan sudut Hajar Aswad, sejak aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapnya, baik dalam keadaan sempit (kesulitan) maupun dalam keadaan lapang (longgar).” (HR. Muslim no. 1268)

Adapun mencium rukun Yamani atau menempelkan pipi ke rukun Yamani, terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan hal itu, akan tetapi riwayat-riwayat hadits tersebut tidak shahih, dan sebagiannya adalah hadits munkar. (Lihat Al-I’laam bi ‘Ibaadaatin lam Tatsbut ‘anil Musthafa ‘alaihis shalatu was salaam, hal. 178)

Ibnul Hajj rahimahullah berkata, “ … dan waspadalah dari perbuatan sebagian orang, mereka mencium rukun Yamani sebagaimana mereka mencium hajar aswad. Adapun yang sunnah adalah mengusap rukun Yamani dengan tangan, bukan dengan mulut … “ (Al-Madkhal, 4/224)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Mencium rukun Yamani tidaklah valid dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibadah itu jika tidak terdapat dalil shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka perbuatan itu adalah bid’ah, bukan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala).” (Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 22/398)

Mencium tangan setelah mengusap rukun Yamani

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, yang terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengusap rukun Yamani saja. Adapun mencium tangan setelah mengusap rukun Yamani, tidak terdapat dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

وَتَنَازَعُوا فِي تَقْبِيلِ الْيَمَانِيِّ؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ مَعْرُوفَةٍ. قِيلَ: يُقَبَّلُ. وَقِيلَ: يُسْتَلَمُ وَتُقَبَّلُ الْيَدُ. وَقِيلَ يُسْتَلَمُ وَلَا تُقَبَّلُ الْيَدُ. وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ فَإِنَّ الثَّابِتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ اسْتَلَمَهُ وَلَمْ يُقَبِّلْهُ وَلَمْ يُقَبِّلْ يَدَهُ لَمَّا اسْتَلَمَهُ وَلَا أَجْرَ وَلَا ثَوَابَ فِيمَا لَيْسَ بِوَاجِبِ وَلَا مُسْتَحَبٍّ؛ فَإِنَّ الْأَجْرَ وَالثَّوَابَ إنَّمَا يَكُونُ عَلَى الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَالْأَعْمَالُ الصَّالِحَةُ إمَّا وَاجِبَةٌ وَإِمَّا مُسْتَحَبَّةٌ

“ … para ulama berbeda pendapat tentang mencium rukun Yamani, menjadi tiga pendapat yang terkenal. Pendapat pertama, menciumnya; pendapat ke dua, mengusap dan mencium tangan; dan pendapat ke tiga, mengusap tanpa mencium tangan. Pendapat ke tiga inilah yang shahih. Karena sesungguhnya yang terdapat dalil shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau mengusap saja, tidak menciumnya, juga tidak mencium tangan setelah mengusap rukun Yamani dengan tangan tersebut. Tidak ada ganjaran dan pahala untuk amal perbuatan yang tidak diwajibkan dan tidak pula disunnahkan. Pahala hanyalah diperoleh jika melakukan amal shalih, sedangkan amal shalih itu bisa jadi amal wajib, bisa jadi amal sunnah.” (Majmu’ Fataawa, 27: 108)

Bertakbir ketika mengusap rukun Yamani

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apakah terdapat dzikir yang disyariatkan ketika mengusap rukun Yamani?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Amal mereka itu tidaklah memiliki dalil dari sunnah, sehingga termasuk bid’ah. Wajib bagi para penuntut ilmu untuk menjelaskan hal ini, bahwasannya hal itu tidak berasal dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 22: 351)

Mengusap semua sudut (rukun) ka’bah

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada seri sebelumnya, yang disyariatkan hanyalah mengusap hajar aswad dan rukun Yamani. Adapun sudut ka’bah dan bagian dinding lainnya, maka tidak disyariatkan untuk mengusapnya.

Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّهُ طَافَ مَعَ مُعَاوِيَةَ بِالْبَيْتِ، فَجَعَلَ مُعَاوِيَةُ يَسْتَلِمُ الْأَرْكَانَ كُلَّهَا، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ: ” لِمَ تَسْتَلِمُ هَذَيْنِ الرُّكْنَيْنِ؟ وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُهُمَا “، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ الْبَيْتِ مَهْجُورًا،فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ} [الأحزاب: 21] ، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: صَدَقْتَ

“Sesungguhnya beliau thawaf bersama sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Mu’awiyah mengusap semua rukun (sudut) ka’bah. Ibnu ‘Abbas berkata kepadanya, ‘Mengapa Engkau mengusap kedua rukun ini?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengusap kedua rukun ini.’

Mu’awiyah berkata kepadanya, ‘Tidak ada satu rukun ka’bah pun yang akan aku tinggalkan (untuk diusap, pen.)’

Ibnu ‘Abbas kemudian membacakan firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian.’ (QS. Al-Ahzab: 21)

Kemudian Mu’awiyah berkata, ‘Engkau benar.’” (HR. Ahmad no. 1877, sanadnya dinilai hasan li ghairihi oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

Kita bisa melihat ketawadhu’an sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu setelah ditegur oleh Ibnu ‘Abbas atas perbuatan beliau yang mengusap semua sudut (rukun) ka’bah, sahabat Mu’awiyah pun membenarkan nasihat Ibnu ‘Abbas. Hal ini menunjukkan pengagungan para sahabat terhadap sunnah Nabi-nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“ … setiap amal yang ditujukan untuk mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah namun tidak memiliki dalil dari syariat, maka amal itu adalah bid’ah, sebagaimana yang telah diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Waspadalah kalian dari perbuatan yang diada-adakan (dalam agama). Dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”

Dan tidak terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengusap (sudut ka’bah), kecuali rukun Yamani dan hajar aswad. Jika seseorang mangusap semua sudut ka’bah atau semua bagian ka’bah, selain rukun Yamani dan hajar aswad, maka dengan perbuatan tersebut dia dianggap telah berbuat bid’ah.” (Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 22: 350)

Menempelkan badan (iltizam) ke semua sisi dinding ka’bah, selain sisi multzam

Terkait dengan sisi (dinding) ka’bah, yang terdapat contoh (sunnah) adalah menempelkan semua badan kita, termasuk tangan dan pipi ke sisi multazam saja. Multazam adalah dinding ka’bah yang terletak antara sudut hajar aswad dengan pintu ka’bah. Adapun untuk sisi atau dinding ka’bah selain multazam, tidak boleh diusap-usap atau menempelkan badan ke sisi tersebut.

Dalam fiqh haji, terdapat istilah iltizam, yaitu menempelkan wajah, dada, tangan dan dua telapak tangan yang terbuka (tidak menggenggam). Tempat untuk iltizam disebut multazam yaitu sisi (ka’bah) antara pintu ka’bah dan sudut hajar aswad.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata ketika menjelaskan masalah iltizam,

وهذه مسألة اختلف فيها العلماء مع أنها لم ترد عن النبي صلّى الله عليه وسلّم ، وإنما جاءت عن بعض الصحابةـ رضي الله عنهم ـ فهل الالتزام سنة، ومتى وقته، وهل هو عند القدوم، أو عند المغادرة، أو في كل وقت؟

وسبب الخلاف بين العلماء في هذا أنه لم ترد فيه سنة عن النبي صلّى الله عليه وسلّم، لكن الصحابة رضي الله عنهم كانوا يفعلون ذلك عند القدوم. والفقهاء قالوا: يفعله عند المغادرة فيلتزم في الملتزم، وهو ما بين الركن الذي فيه الحجر والباب

“Dalam permasalahan (iltizam) ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, meskipun tidak ada contoh dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Akan tetapi, terdapat contoh dari sebagian shahabat radhiallhau ’anhum (yang melakukannya). Apakah iltizam itu sunnah? Kapan waktunya? Apakah ketika pertama kali datang atau ketika meninggalkan (Mekkah) atau pada setiap waktu?

Sebab (adanya) perbedaan ini di antara para ulama adalah dikarenakan tidak ada sunnah dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Akan tetapi, para shahabat radhiallahu ’anhum melakukan hal itu ketika pertama kali datang (di Mekkah). Para ahli fiqih mengatakan bahwa melakukan iltizam di multazam, yaitu antara rukun hajar aswad dan pintu (ka’bah), itu dilakukan ketika meninggalkan (Mekkah).” (Syarhul Mumti’, 7: 372-373)

Namun, perlu diperhatikan bahwa melakukan iltizam hendaklah melihat situasi dan kondisi, agar jangan berdesak-desakan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata setelah menjelaskan sunnah iltizam di atas,

وعلى هذا فالالتزام لا بأس به ما لم يكن فيه أذية وضيق

“Berdasarkan hal ini, iltizam itu tidak mengapa selama tidak menyakiti dan berdesak-desakan.” (Syarhul Mumti’, 7: 373)

Sebagai kesimpulan dalam masalah ini, yang terdapat contoh dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah melakukan iltizam di sisi multazam. Adapun melakukan iltizam di sisi ka’bah selain multazam, maka tidak terdapat sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnyasehingga tidak selayaknya dilakukan.

Berdoa ketika mengusap dinding atau kain penutup ka’bah sambil bersandar ke dinding ka’bah

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apa hukum mengusap kain penutup ka’bah dan berdoa lama ketika itu?”

Beliau rahimahullah menjawab,

“Amal mereka itu tidaklah memiliki dalil dari sunnah, sehingga termasuk bid’ah. Wajib bagi para penuntut ilmu untuk menjelaskan hal ini, bahwasannya hal itu tidak berasal dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 22: 351)

[Bersambung]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41423-beberapa-kesalahan-dan-kemungkaran-terkait-ibadah-haji-bag-4.html

Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait Ibadah Haji (Bag. 3)

Berdiri lama ketika mencium hajar aswad

Yang disyariatkan dan terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkenaan dengan hajar aswad adalah:

Pertama, mencium hajar aswad

Dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata ketika mencium hajar aswad,

وَاللهِ، إِنِّي لَأُقَبِّلُكَ، وَإِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ، وَأَنَّكَ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ، وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَكَ مَا قَبَّلْتُكَ

Demi Allah, aku sungguh-sungguh menciummu. Dan sesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu ini hanyalah batu (biasa), tidak bisa mendatangkan bahaya, tidak bisa pula mendatangkan manfaat. Kalaulah bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, tentu aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari no. 1610 dan Muslim no. 1270).

Kedua, mengusap hajar aswad dengan tangan

Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

مَا تَرَكْتُ اسْتِلَامَ هَذَيْنِ الرُّكْنَيْنِ الْيَمَانِيَ، وَالْحَجَرَ، مُذْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُهُمَا، فِي شِدَّةٍ وَلَا رَخَاءٍ

Aku tidak pernah meninggalkan meraba kedua sudut ini, yaitu sudut Yamani dan sudut Hajar Aswad, sejak aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapnya, baik dalam keadaan sempit (kesulitan) maupun dalam keadaan lapang (longgar)” (HR. Muslim no. 1268).

Ketiga, mencium tangan setelah mengusap hajar aswad

Diriwayatkan dari Nafi’, beliau berkata,

رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَسْتَلِمُ الْحَجَرَ بِيَدِهِ، ثُمَّ قَبَّلَ يَدَهُ، وَقَالَ: مَا تَرَكْتُهُ مُنْذُ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ

Aku melihat Ibnu ‘Umar mengusap hajar aswad dengan tangannya, kemudian mencium tangannya. Ibnu ‘Umar berkata, “Aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya” (HR. Muslim no. 1268).

Keempat, berisyarat (dengan tangan atau tongkat) ke hajar aswad dan bertakbir jika tidak memungkinkan untuk mencium atau mengusap hajar aswad

Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

طَافَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْبَيْتِ عَلَى بَعِيرٍ، كُلَّمَا أَتَى الرُّكْنَ أَشَارَ إِلَيْهِ بِشَيْءٍ كَانَ عِنْدَهُ وَكَبَّرَ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan thawaf di baitullah (ka’bah) di atas untanya. Setiap kali beliau melewati ar-rukun (hajar aswad), beliau berisyarat kepadanya dengan sesuatu yang ada pada beliau, lalu bertakbir” (HR. Bukhari no. 1613).

Adapun berhenti lama untuk berdoa atau berdiri lama untuk mencium hajar aswad, maka hal ini tidaklah disyariatkan. Meskipun diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan disyariatkannya hal tersebut, akan tetapi haditsnya dha’if.

Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

اسْتَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَجَرَ، ثُمَّ وَضَعَ شَفَتَيْهِ عَلَيْهِ، يَبْكِي طَوِيلًا، ثُمَّ الْتَفَتَ، فَإِذَا هُوَ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ يَبْكِي، فَقَالَ يَا عُمَرُ: هَاهُنَا تُسْكَبُ الْعَبَرَاتُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap Hajar Aswad, kemudian meletakkan kedua bibirnya kepadanya dan beliau menangis lama sekali. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling, dan beliau menjumpai ‘Umar bin Khaththab juga menangis. Beliau berkata, ‘Wahai Umar, di sinilah ditumpahkan air mata’” (HR. Ibnu Majah no. 2945).

Hadits ini dha’if jiddan (sangat lemah sekali), karena di dalamnya sanadnya terdapat perawi bernama Muhammad bin ‘Aun Al-Khurasani, dan dia matruuk. (Lihat Silsilah Al-Ahaadits Adh-Dha’ifah no. 1022)

Selain menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdiri lama ketika menyentuh atau mencium hajar aswad juga termasuk perbuatan menyakiti kaum mulsimin yang juga sedang thawaf sehingga akan menyusahkan mereka.

Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Al-Utsaimin rahimahullahu Ta’ala ditanya, “Apa hukum berhenti di garis hitam yang dibuat lurus ke arah hajar aswad dan berdoa lama di sana?”

Beliau rahimahullahu Ta’ala menjawab, “Berhenti di garis itu bukan maksudnya berhenti lama, akan tetapi seseorang menghadap ke arah hajar aswad, berisyarat ke arahnya, bertakbir, kemudian berjalan lagi. Tempat itu bukanlah tempat untuk berhenti lama … .“ (Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 22: 405).

Di tempat yang lain, beliau rahimahullahu Ta’ala berkata, “Bukanlah maksudnya untuk berhenti dan berdoa, ini sebuah kesalahan. Berhenti (lama) akan menyusahkan orang-orang yang thawaf. Jangan berhenti (lama), karena hal ini tidak disyariatkan … “(Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 22: 316).

Wanita ikut berdesak-desakan untuk mencium hajar aswad

Para wanita hendaklah menghindari berdesak-desakan dengan kaum lelaki. Perbuatan ini akan menyebabkan perbuatan dosa yang bisa mengurangi kesempurnaan hajinya, karena kaum lelaki bisa memandang para wanita yang ikut berdesak-desakan tersebut.

Mencium hajar aswad bukanlah kewajiban. Sehingga siapa saja yang memungkinkan baginya untuk mencium hajar aswad dengan mudah tanpa berdesak-desakan, itulah yang kita harapkan. Dan tidak perlu berdesak-desakan untuk bisa menciumnya. Diriwayatkan dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau,

يَا عُمَرُ، إِنَّكَ رَجُلٌ قَوِيٌّ، لَا تُزَاحِمْ عَلَى الْحَجَرِ فَتُؤْذِيَ الضَّعِيفَ

Wahai ‘Umar, sesungguhnya Engkau adalah lelaki yang kuat (perkasa). Janganlah Engkau berdesakan untuk (mencium) hajar aswad, sehingga Engkau menyakiti orang yang lemah” (HR. Ahmad no. 190. Dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth).

Oleh karena itu, ketika ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melaksanakan thawaf, beliau thawaf di pinggiran ka’bah. Diriwayatkan dari ‘Atha’, beliau berkata,

كَانَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَطُوفُ حَجْرَةً مِنَ الرِّجَالِ، لاَ تُخَالِطُهُمْ، فَقَالَتْ امْرَأَةٌ: انْطَلِقِي نَسْتَلِمْ يَا أُمَّ المُؤْمِنِينَ، قَالَتْ: «انْطَلِقِي عَنْكِ» ، وَأَبَتْ، يَخْرُجْنَ مُتَنَكِّرَاتٍ بِاللَّيْلِ، فَيَطُفْنَ مَعَ الرِّجَالِ

Dulu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melaksanakan thawaf di pinggiran ka’bah (menyendiri) dan tidak berbaur dengan kaum lelaki. Lalu ada seorang wanita berkata kepada ‘Aisyah, ‘Wahai ummul mukminin, ayo kita pergi untuk mencium hajar aswad!’ ‘Aisyah berkata, ‘Engkau saja yang pergi.’ Sedangkan ‘Aisyah enggan untuk pergi. Dahulu kaum wanita keluar pada malam hari tanpa diketahui keberadaannya, lalu mereka thawaf bersama kaum lelaki” (HR. Bukhari no. 1618).

Hadits ini menunjukkan adanya pengingkaran dari ‘Aisyah untuk mencium hajar aswad karena hal itu akan menyebabkan dirinya berdesakan dan berbaur dengan kaum lelaki.

[Bersambung]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41421-beberapa-kesalahan-dan-kemungkaran-terkait-ibadah-haji-bag-3.html

Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait Ibadah Haji (Bag. 2)

Perbuatan tasyabbuh jamaah haji wanita dengan memakai pakaian yang merupakan ciri khas pakaian laki-laki

Hal ini adalah perbuatan terlarang, karena wanita diperintahkan oleh syariat untuk tidak tasyabbuh (menyerupai) kaum lelaki, baik dalam pakaian atau gerak-gerik yang menjadi ciri khas kaum lelaki (misalnya, jalan tegap). Sebagian jamaah haji wanita memakai pakaian yang menyerupai pakaian lelaki atau memakai rida’ yang memakai rida’ kaum lelaki. Misalnya, perempuan yang memakai kerudung, namun memakai rida’ yang biasa dipakai oleh kaum lelaki.

Kaum wanita tidaklah memiliki pakaian khusus ketika ihram, sedangkan tasyabbuh itu hukumnya haram secara mutlak. Hal ini sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum lelaki yang menyerupai wanita, dan kaum wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari no. 5885)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

أن المراد التشبه في الزي وبعض الصفات والحركات ونحوها لا التشبه في أمور الخير

“Yang dimaksud adalah menyerupai dalam hal pakaian, sifa, gerak-gerik, dan sejenisnya. Dan bukan meyerupai dalam perkara-perkara kebaikan.” (Fathul Baari, 10: 333)

Meyakini bahwa memakai pakaian ihram berwarna putih bagi wanita itu lebih utama

Hal ini termasuk di antara kesalahan orang-orang awam yang banyak terjadi. Perempuan tidaklah terlarang untuk memakai pakaian apa pun, kecuali memakai sarung tangan dan penutup wajah. Selain itu, maka tidak ada keutamaan bagi satu jenis pakaian tertentu (misalnya, pakaian berwarna putih) di atas jenis pakaian yang lainnya.

Yang terpenting, pakaian tersebut tidaklah menampakkan perhiasan perempuan, menampakkan keindahan tubuhnya, atau menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya, atau menampakkan lengan dan betisnya, dan semacam itu. Dengan kata lain, asal pakaian tersebut adalah pakaian syar’i yang menutup aurat, dengan warna apa pun (asal tidak menarik perhatian dan pandangan laki-laki), maka tidak masalah.

Diriwayatkan dari Nafi’, budak sahabat Ibnu ‘Umar, beliau berkata,

أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نَهَى النِّسَاءَ فِي إِحْرَامِهِنَّ عَنِ القُفَّازَيْنِ وَالنِّقَابِ، وَمَا مَسَّ الْوَرْسُ وَالزَّعْفَرَانُ مِنَ الثِّيَابِ

“Sesungguhnya dia (sahabat Ibnu ‘Umar) mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang wanita ketika ihram untuk memakai sarung tangan dan penutup wajah. Juga melarang dari pakaian yag dicelup dengan pewarna waras dan za’faran.” (HR. Abu Dawud no. 1827, hadits hasan shahih)

Berdasarkan hadits di atas, terlarang bagi wanita untuk memakai pakaian yang memiliki warna yang menarik (mencolok) sehingga menarik perhatian dan pandangan laki-laki, seperti pada zaman dahulu adalah pakaian yang dicelup dengan bahan pewarna waras dan za’faran. Juga warna-warna yang menunjukkan kemewahan, karena ketika ihram, seseorang itu hendaknya meninggalkan sikap kemewahan dan berlebih-lebihan.

Di antara dalil masalah ini adalah riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

وَقَدِمَ عَلِيٌّ مِنَ الْيَمَنِ بِبُدْنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَجَدَ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مِمَّنْ حَلَّ، وَلَبِسَتْ ثِيَابًا صَبِيغًا، وَاكْتَحَلَتْ، فَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا

“Ali datang dari Yaman dengan membawa hewan kurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mendapati Fathimah radhiyallahu ‘anha, yang sudah ber-tahallul, memakai pakaian yang bercelup (warna menarik, pen.) dan memakai celak mata. Ali melarangnya berbuat demikian.” (HR. Muslim no. 1218)

‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengingkari Fathimah, karena tidak mengetahui bahwa Fathimah sudah tahallul (selesai ihram). Hal ini menunjukkan pemahaman yang tertanam di benak ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang wanita dilarang untuk memakai pakaian yang dicelup dengan warna yang menarik dan menunjukkan kemewahan.

Berdasarkan hal ini, asalkan pakaian tersebut menutup aurat secara sempurna dari pandangan laki-laki dan tidak menunjukkan kemewahan, maka silakan memakai pakaian dengan warna, bahan dan jenis apa pun yang dia sukai.

Meyakini bahwa sandal yang ada jahitan benangnya itu dilarang; demikian pula meyakini terlarangnya memakai pakaian yang ada jahitannya

Misalnya, jika kain ihram robek, sebagian orang meyakini bahwa kain tersebut tidak boleh dijahit. Padahal tidak demikian maksud larangan dari syariat. Maka keyakinan seperti ini adalah keliru. Memang terdapat larangan bagi orang yang ihram untuk memakai pakaian berjahit, namun yang dimaksud adalah pakaian berjahit sesuai dengan ukuran atau mengelilingi anggota badan, seperti membuat lengan baju atau celana panjang, memakai jubah, dan semacamnya.

Istilah “pakaian berjahit” ini pertama kali disampaikan oleh tabi’in Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah sebagai kaidah umum dan penafsiran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ الْقَمِيصَ، وَلَا الْعِمَامَةَ، وَلَا الْبُرْنُسَ، وَلَا السَّرَاوِيلَ

“Orang yang ihram tidak boleh memakai jubah, surban, burnus (jubah yang sambung dengan tutup kepala langsung), celana, … “ (HR. Bukhari no. 1842 dan Muslim no. 1177)

Oleh karena itu, diperbolehkan orang ihram untuk memakai sandal apa pun bentuknya. Adapun jam tangan, sebaiknya dihindari berdasarkan perkataan sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

لَا تَعْقِدْ عَلَيْكَ شَيْئًا وَأَنْتَ مُحْرِمٌ

“Janganlah membuat ikatan-ikatan jenis apa pun, sedangkan kalian dalam kondisi ihram.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 3: 409)

Mendengarkan alat-alat musik

Di antara kesalahan jamaah haji adalah memakai dan memainkan alat-alat musik, yaitu alat-alat yang membuat kita lalai dari mengingat dan beribadah kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

“Sungguh akan ada sekelompok umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan shighat jazm (ungkapan tegas).

Hadits di atas menunjukkan terlarangnya alat-alat musik. Dan di antara bentuk pelanggaran terhadap masalah ini yang sering terjadi adalah menjadikan musik dan nyanyian sebagai nada dering handphone yang bisa jadi berbunyi ketika berada di masjid, baik Masjidil Haram, Masjid Nabawi, atau masjid-masjid lainnya.

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala ditanya, “Apa hukum membawa masuk handphone ke dalam masjid yang di dalamnya terdapat musik dan nada dering berupa nyanyian?”

Beliau hafidzahullahu Ta’ala menjawab, “Tidak boleh melakukan perbuatan tersebut, baik di masjid atau di luar masjid. Akan tetapi, jika di masjid, itu lebih parah lagi. Karena wajib memuliakan masjid. Masjid adalah tempat beribadah, berdzikir mengingat Allah Ta’ala, shalat, membaca Al-Qur’an, dan di dalamnya berkumpul malaikat dan kaum muslimin. Maka tidak boleh melakukan berbagai kemungkaran di dalamnya, termasuk nada dering handphone berupa nyanyian, musik, dan gambar (makhluk bernyawa yang terlarang, pen.)” (Al-Farqu baina an-nashiihah wa at-tajriih, hal. 39)

[Bersambung]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41313-beberapa-kesalahan-dan-kemungkaran-terkait-ibadah-haji-bag-2.html

Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait Ibadah Haji (Bag. 1)

Ibadah haji merupakan ibadah yang sangat agung, ibadah yang dirindukan oleh jutaan kaum muslimin di seluruh dunia, termasuk di negeri kita. Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, ibadah haji haruslah dilaksanakan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala, dan tidak kalah penting, sesuai dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ، فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ

“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku), karena aku tidak tahu apakah aku masih bisa berhaji setelah hajiku ini.” (HR. Muslim no. 1297)

Selain itu, dalam ibadah haji tersebut, kita juga perlu membersihkan aqidah dan keyakinan kita dari berbagai pemikiran yang menyimpang, apalagi keyakinan yang menjerumuskan kita ke dalam syirik, baik syirik kecil maupun syirik besar.

Oleh karena itu, melalui serial tulisan ini, kami ingin menyampaikan beberapa kesalahan dan kemungkaran yang dijumpai dalam pelaksanaan ibadah haji, baik yang terkait dengan fiqh ibadah haji itu sendiri atau yang terkait dengan penyimpangan aqidah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah haji.

Memulai ihram sebelum sampai di miqat

Tidak terdapat dalil valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan disyariatkannya ihram sebelum miqat.

Imam Malik bin Anas rahimahullah mengingkari orang yang ingin memulai ihram jauh sebelum miqat, meskipun dengan niat ingin memperbanyak pahala.

Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyainah, beliau berkata, “Aku mendengar dari Imam Malik bin Anas, beliau didatangi oleh seseorang. Orang tersebut berkata, “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), dari mana Engkau mulai berihram?”

Imam Malik menjawab, “Dari Dzul Hulaifah (Bir ‘Ali), dari tempat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai berihram.”

Orang tersebut berkata, “Aku ingin memulai ihram dari masjid di samping kubur Nabi.”

Imam Malik mengatakan, “Jangan Engkau lakukan, karena aku khawatir Engkau akan tertimpa fitnah.”

Orang tersebut berkata, “Fitnah seperti apa yang ditakutkan dari perbuatan semacam ini? Ini hanyalah beberapa mil yang aku tambahkan (untuk berihram) (untuk menambah pahala kebaikan, pen.).”

Imam Malik menjawab perkataan orang tersebut,

وأي فتنة أعظم من أن ترى أنك سبقت إلى فضيلة قصر عنها رسول الله صلى الله عليه و سلم؟ إني سمعت الله يقول:

“Fitnah apakah yang lebih besar daripada ketika Engkau menyangka bahwa Engkau memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sesungguhnya aku mendengar Allah Ta’ala mengatakan,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An-Nuur [24]: 63) (Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1/148; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 6/326; Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, no.232, dan lain-lain)

Abu ‘Ubaid rahimahullahu Ta’ala berkata tentang seseorang yang mulai berihram dari kampungnya, “Sesungguhnya hal itu menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah mawaqit (tempat atau waktu dimulainya ihram, pen.).” (An-Naasikh wal Mansuukh, hal. 187-188)

Ibnu ‘Abdil Barr Al-Maliki rahimahullah berkata,

كَرِهَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنْ يُحْرِمَ أَحَدٌ قَبْلَ الْمِيقَاتِ … وَمِنْ أَقْوَى الْحُجَجِ لِمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ مَالِكٌ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يُحْرِمْ مِنْ بَيْتِهِ بِحَجَّتِهِ وَأَحْرَمَ مِنْ مِيقَاتِهِ الَّذِي وَقَّتَهُ لِأُمَّتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا فَعَلَهُ فَهُوَ الْأَفْضَلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَكَذَلِكَ صَنَعَ جُمْهُورُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ بَعْدَهُمْ كَانُوا يُحْرِمُونَ مِنْ مَوَاقِيتِهِمْ

“Imam Malik membenci seseorang mulai berihram sebelum miqat … Dan di antara dalil paling kuat pendapat Imam Malik dalam masalah ini adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mulai berihram dari rumahnya (di Madinah, pen.) ketika berhaji. Beliau berihram dari tempat yang telah beliau tetapkan untuk umatnya. Apa yang beliau kerjakan, inilah yang lebih utama, insyaa Allah. Demikian pula yang dilakukan oleh mayoritas sahabat dan tabi’in setelahnya, mereka mulai berihram dari miqat mereka masing-masing.” (At-Tamhiid, 15: 143-146)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullahu Ta’ala berkata,

وإن لبس إزاره ورداءه قبل الركوب أو قبل الدنو من الميقات فلا بأس ، ولكن لا ينوي الدخول في النسك ولا يلبي بذلك إلا إذا حاذى الميقات أو دنا منه ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يحرم إلا من الميقات ، والواجب على الأمة التأسي به صلى الله عليه وسلم في ذلك كغيره من شئون الدين

“Adapun jika seseorang mulai memakai pakaian ihram (izar [pakaian bawahan ketika ihram] dan rida’ [pakaian atasan ketika ihram])sebelum naik pesawat atau ketika sudah dekat dengan miqat, hal ini tidak mengapa. Akan tetapi, dia tidak boleh berniat mulai manasik dan tidak boleh bertalbiyah kecuali jika sudah berada di miqat atau sudah (sangat) dekat dengan miqat. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mulai berihram kecuali setelah berada di miqat. Menjadi kewajiban umat ini untuk meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini, sebagaimana perkara-perkara agama yang lainnya.” (Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz, 16: 44)

Lalai dari berniat untuk ihram karena kurang perhatian, padahal sudah melewati miqat

Terdapat pertanyaan yang disampaikan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala, “Sebagian penumpang pesawat (yang akan berhaji) tidak berniat masuk ke dalam rangkaian manasik kecuali setelah melewati miqat karena mereka lalai (karena kurang perhatian, pen.)?”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala menjawab,

“Jika (calon jamaah haji) tidak berniat kecuali setelah melewati miqat, maka di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa barangsiapa yang meninggalkan ihram dari miqat, maka wajib baginya untuk membayar denda (dam), yaitu bianatangyang disembelih di Makkah dan dibagikan kepada kaum fakir miskin di Makkah, meskipun dia meninggalkannya karena kelalaian. Hal ini karena wajib atasnya untuk perhatian. Jika dia khawatir terlewat (karena lalai) atau ketiduran, maka tidak mengapa berniat ihram sebelum lurus atau bertepatan dengan miqat. Seseorang yang mengetahu bahwa dirinya itu mudah lalai atau mudah ketiduran, maka hendaknya dia berniat sebelum sampai ke miqat dan tidak masalah baginya untuk niat berihram sebelum sampai ke miqat.” (I’laamul Musaafiriin, hal. 79, pertanyaan nomor 106)

Beliau juga ditanya, “Pilot pesawat terbang lupa untuk memberi pengumuman kepada penumpang (calon jamaah haji) bahwa sudah sampai miqat. Apa yang harus dia lakukan? Apa yang harus dilakukan oleh penumpang?”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala menjawab,

“Adapun pilot pesawat terbang, jika dia lupa, maka tidak ada masalah (tidak ada dosa) baginya. Demikian pula penumpang, tidak masalah bagi mereka dan tidak berdosa. Akan tetapi, wajib bagi mereka untuk membayar badal (pengganti), yaitu tebusan berupa kurban (kambing) yang disembelih di Makkah dan dibagikan kepada kaum fakir miskin. Inilah fatwa para ulama bagi mereka yang tidak berihram dari miqat.” (I’laamul Musaafiriin, hal. 81, pertanyaan nomor 101)

Bermudah-mudah untuk menerjang larangan dalam ibadah haji

Wajib atas setiap calon jamaah haji untuk mempelajari berbagai hal yang dilarang dalam pelaksanaan ibadah haji sehingga tidak melanggar larangan tersebut. Misalnya, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ

“Dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 196)

Dan diqiyaskan dengan menggundul rambut kepala adalah mencabut rambut kepala dengan sengaja. Jika tidak senagaja, maka tidak mengapa (dimaafkan).

Demikian pula larangan yang terapat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تَلْبَسُوا القَمِيصَ، وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ، وَلاَ العَمَائِمَ …

“Janganlah (orang yang ihram) memakai gamis (jubah), celana, dan surban … “ (HR. Bukhari no. 1838, 1842 dan Muslim no. 1177)

Ini hanyalah sebagian kecil contoh larangan yang wajib atas setiap orang yang ingin berhaji untuk mempelajari perkara-perkara yang lainnya, sehingga dapat mengamalkannya.

[Bersambung]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41311-beberapa-kesalahan-dan-kemungkaran-terkait-ibadah-haji-bag-1.html

Cara Jamaah Menjaga Kesegaran Tubuh

Usai melaksanakan shalat Subuh di Masjid Ghalib Al Musyakhi, sejumlah jamaah asal Kloter 22 BTH kembali ke pemondokannya di Hotel 103, kawasan Syisah, Ahad (28/7). Jaraknya hanya selemparan batu dari masjid.

Mereka tidak langsung naik lift menuju ke kamarnya masing-masing, tetapi kumpul di lobi hotel. Sekitar 10 menit lagi, akan dimulai pelaksanaan senam massal yang dipandu oleh Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) atau petugas kesehatan kloter.

Tepat pukul 06.00 WAS, dipandu oleh dokter kloter bernama Syaharuddin, ratusan orang jamaah langsung memulai gerakan senamnya. “Ayo bapak-bapak dan ibu-ibu kita mulai senamnya kita sukseskan gerakan sukses dan sehat haji,” kata Syaharuddin.

Mereka pun semua terlihat ceria saat senam. Sesekali jamaah satu menggoda jamaah lainnya karena tak bisa melakukan atau mengikuti gerakan senam. Gelak tawa muncul di antara mereka.

Senam yang digerakkan tak rumit, seperti senam-senam peregangan yang dilakukan oleh para pelajar di sekolah. Bedanya, ini tidak pakai musik.

Akhirnya, setelah 15 menit senam, acara dilanjutkan dengan minum bersama. Gerakan minum bersama ini merupakan salah satu program untuk menyehatkan jamaah haji.

Usai senam, jamaah meski terlihat ada yang ngos-ngosan, tetapi raut ceria hinggap di wajah mereka. “Segar, ini bagus untuk menjaga fisik. Melatih tubuh supaya sehat,” kata Maryam (60 tahun) asal Kabupaten Tanjung Jabung, Jambi.

Menurutnya, dia agak kepayahan mengikuti gerakan senam karena usianya tak lagi semuda dulu. Tetapi, dia berusaha mengikuti gerakan pemandu dan dia pun telah merasakan manfaatnya.

Jamaah linnya, Santi Laotte Salewek (35), mengaku senang dengan diadakannya senam di pemondokan. Karena, sejak enam bulan terakhir dia memang rutin berolahraga berdasarkan anjuran dari pembimbing manasik haji di tanah air.

“Kalau bisa diadakan terus senamnya,” kata Santi.

Sedangkan Siti Aisyah (50), mengaku dengan gerakan senam, ototnya yang sempat tegang menjadi lebih lentur. “Enaklah kami tidak stres selama di Makkah. Ibadah kami selalu aktif, alhamdulillah haji sehat, haji mabrur,” kata Aisyah.

Sementara, Ainun Jariyah (79) berharap, semoga dengan rutinitas senam ini, kondisi fisiknya menjadi siap. Sehhingga, dia bisa mengikuti puncak haji dengan maksimal.

“Saya selalu siap buat ibadah,” katanya.

Syaharuddin, dokter kloter yang memandu senam ini mengatakan, tujuannya diadakannya senam ini adalah agar otot-otot jamaah yang tegang karena melakukan berbagai aktivitas ibadah kembali normal. “Sehingga perlu diperbaiki otot-ototnya,” kata Syaharuddin.

Senam massal ini akan dilakukan dua kali sepekan di lobi hotel. Namun, senam peregangan ini juga bisa dilakukan di kamar-kamar.

Soal gerakan minum air, Syaharuddin mengatakan agar jamaah minum setidaknya 200 mililiter setiap jamnya. Ini dilakukan agar mereka terhindar dari dehidrasi.

Selain itu, edukasi soal penggunaan alat pelindung diri (APD) juga terus dilakukan, yaitu memakai topi, payung, kacamata, masker, alas kaki jika keluar pemondokan.

“Ini harus sering dilakukan terutama masker, jamaah suka lupa memakai masker,” kata Syaharuddin.

Oleh Muhammad Hafil dari Makkah, Arab Saudi

IHRAM


Jamaah Haji Indonesia Diminta Selalu Bawa Kartu Bus Shalawat

Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) 2019 mengimbau jamaah haji Indonesia selalu membawa kartu bus shalawat. Di dalam kartu tersebut tertera nomor bus, nama terminal, dan tujuan pemondokan. Informasi itu dimaksudkan agar jamaah tidak kesulitan saat terpisah dari rombongan.

“Selalu membawa kartu bus dalam tas sandang sesuai wilayahnya masing-masing, semua pasti dapat itu dan dengan kartu itu bisa tanya banyak orang,” kata Kepala Seksi Perlindungan Jamaah Daerah Kerja Mekkah PPIH 2019 Maskat Ali Jasmun, Selasa waktu setempat (23/7).

Saat pertama tiba di Makkah, jamaah asal Indonesia akan mendapat kartu bus shalawat yang memuat informasi mengenai nomor bus, terminal, dan tujuan bus. Pemerintah Indonesia tahun ini menggunakan tiga terminal dari enam terminal yang ada di sekitar Masjidil Haram sebagai pangkalan bus shalawat bagi jamaah, yakni Terminal Syeib Amir, Terminal Bab Ali, dan Terminal Jiad.

Bus-bus shalawat melayani jamaah dari ketiga terminal itu menuju area pondokan yang tersebar di tujuh zona sebagaimana yang tercantum dalam kartu bus. Maskat menyarankan jamaah untuk mengenali letak terminal arah mereka pulang ke pondokan.

Jaga Kondisi

Maskat juga mengingatkan kepada jamaah yang baru tiba di Makkah menjaga kesehatan. “Ketika datang pertama ke Haram ini yang paling penting pastikan kondisi fresh (segar), manfaatkan waktu istirahat yang ada,” katanya.

Umumnya jamaah yang baru tiba di Makkah dari Madinah atau Bandara Jeddah terburu-buru ingin langsung beribadah ke Masjid Al-Haram. Kepada jamaah yang hendak menunaikan umrah wajib atau ibadah lain di Masjid Al-Haram, Maskat menyarankan memilih waktu yang tepat agar terhindar dari dampak kepadatan masjid.

“Upayakan ketika masuk ke Masjid AL-Haram itu di jam-jam yang tidak terkena waktu shalat, insya Allah aman, rombongan itu akan utuh dan tak terpisah,” katanya.

Ia mencontohkan waktu setelah shalat isya atau subuh sebagai waktu yang tepat menunaikan umrah. “Insya Allah saat umrah akan utuh dari tawaf sampai tahalul,” katanya.

IHRAM


10 Rahasia di Balik Sunah Menjaga Wudu

SEGALA puji bagi Allah Taala yang telah memberikan hidayah kepada kita untuk memeluk Islam.

Segala puji bagi Allah Taala yang telah memampukan kita untuk senantiasa berbuat taat karena-Nya dan demi menjalankan sunah Nabi-Nya. Segala puji bagi Allah Taala atas kekuatan yang diberikan-Nya sehingga menahan kita dari segala jenis maksiat dan perbuatan dosa.

Di antara sunah Nabi-Nya yang mulia adalah menjaga wudu. Setidaknya, seorang muslim berwudu minimal lima kali dalam sehari, setiap hendak mendirikan salat fardu. Kuantitas ini akan bertambah seiring dengan bertambah kualitas kecintaannya kepada Nabi yang mulia. Bahkan, jika seorang muslim memperbarui wudu saat hendak salat, meski belum batal, baginya tercatat sunah yang mulia.

Sebenarnya, apa saja hikmah dari sunah yang terkesan boros karena buang-buang air dan merepotkan ini? Apakah manfaat yang akan kita dapatkan jika mengamalkannya? Berikut ini penjelasan Kiai Haji Muhammad Arifin Ilham tentang 10 rahasia di balik sunah menjaga wudu.

Dai kelahiran Banjarmasin ini mengawali nasihatnya dengan mengatakan, “Keluargaku tercinta karena Allah Taala, (inilah) hal ringan dan sederhana, tetapi sangat-sangat besar nilai manfaatnya.”

1. Sebab kecintaan dari Allah Taala

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (al-Baqarah [2]: 222)

2. Sunah mulia Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dai yang kerap mengenakan busana serbaputih ini mengatakan, “Tiada orang yang selalu menjaga wudunya, kecuali orang itu benar-benar beriman.”

3. Meraih doa para malaikat. Kepada orang yang mendawamkan wudunya, malaikat senantiasa berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosanya. Rahmatilah dia sampai wudunya batal.”

4. Wajahnya bersih, segar, dan bercahaya. Cermatilah saudara-saudara kita yang senantiasa menjaga wudunya. Wajahnya bercahaya. Senyumnya sumringah dan inspiratif.

5. Terjaga dari nafsu jahat. Aura mereka senantiasa positif. Pikiran dan hatinya bersih. Saat melihat yang haram, mereka langsung menundukkan pandangan seraya memohon perlindungan kepada Allah Taala.

6. Himmatul Hasanaati. Kaum Muslimin penjaga wudhu, tegas dai yang kini menetap di Bogor Jawa Barat ini, “Energinya maunya hanya yang baik, halal, dan positif.”

7. Tumbuh dan berkembangnya akhlak yang mulia. Akhlak merupakan kecenderungan diri. Awalnya pemberian. Namun, ia harus dijaga agar tumbuh dan berkembang. Wudu adalah energi positif yang membuat seorang hamba bertambah baik akhlaknya.

8. Jaminan husnul khatimah. Sebab mati datang sekonyong-konyong, maka orang mukmin yang cerdas senantiasa menjaga dirinya dari kesucian. Saat meninggal dalam keadaan suci, jelas pemimpin Majelis az-Zikra ini, “Ia akan meninggal dalam keadaan husnul khatimah karena meninggal dalam keadaan suci.”

9. Diterangi alam kuburnya. Terangnya alam kubur ini merupakan pancaran dari anggota tubuh yang bercahaya lantaran air wudu

10. Termasuk Ahlul Karaami. Mereka yang senantiasa menjaga wudu adalah hamba-hamba Allah Taala yang memiliki kedudukan mulia. “Sejatinya umatku pada Hari Kiamat akan datang dalam kondisi wajah, ujung-ujung tangan dan kakinya bersinar pertanda mereka (menjaga) wudu semasa hidup di dunia.” (HR Bukhari dan Muslim). 

INILAH MOZAIK

Pesan Rasulullah: Pria Salat Berjemaah di Masjid

SEBAGIAN umat Islam masih membiasakan diri mengerjakan salat lima waktu di rumah atau di kantor tempat ia bekerja. Sangat sedikit yang membiasakan salat lima waktunya berjemaah di masjid atau musala di mana azan dikumandangkan.

Bahkan ada sebagian saudara muslim yang membiasakan dirinya salat seorang diri alias tidak berjemaah. Padahal terdapat sekian banyak pesan dari Nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam yang menganjurkan ummat Islam terutama kaum pria-salat berjemaah di masjid tempat di mana azan dikumandangkan.

Ibn Masud radhiyallahu anhu berkata: “Barangsiapa ingin bertemu Allah esok hari sebagai seorang muslim, maka ia harus menjaga benar-benar salat pada waktunya ketika terdengar suara azan. Maka sesungguhnya Allah subhaanahu wa taaala telah mensyariatkan (mengajarkan) kepada Nabi shollallahu alaih wa sallam beberapa sunanul-huda (perilaku berdasarkan hidayah/petunjuk) dan menjaga salat itu termasuk dari sunanul-huda. Andaikan kamu salat di rumah sebagaimana kebiasaan orang yang tidak suka berjemaah berarti kamu meninggalkan sunah Nabimu Muhammad shollallahu alaih wa sallam. Dan bila kamu meninggalkan sunah Nabimu Muhammad shollallahu alaih wa sallam pasti kamu tersesat. Maka tidak ada seseorang yang bersuci dan dia sempurnakan wudhunya kemudian ia berjalan ke masjid di antara masjid-masjid ini kecuali Allah subhaanahu wa taaala mencatat bagi setiap langkah yang diangkatnya menjadi kebaikan yang mengangkat derajatnya dan bagi setiap langkah yang diturunkannya menjadi penghapus kesalahannya. Dan sungguh dahulu pada masa Nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam tiada seorang tertinggal dari salat berjemaah kecuali orang-orang munafik yang terang kemunafikannya. Sungguh adakalanya seseorang itu dihantar ke masjid didukung oleh dua orang kanan kirinya untuk ditegakkan di barisan saf.” (HR Muslim 3/387).

Berdasarkan hadis di atas sekurangnya terdapat beberapa pelajaran penting:

Pertama, seseorang yang disiplin mengerjakan salat saat azan berkumandang akan menyebabkan dirinya diakui sebagai seorang muslim saat bertemu Allah subhaanahu wa taaala kelak di hari berbangkit. Sungguh suatu kenikmatan yang luar biasa! Pada hari yang sangat menggoncangkan bagi semua manusia justru diri kita dinilai Allah subhaanahu wa taaala sebagai seorang hamba-Nya yang menyerahkan diri kepada-Nya. Kita tidak dimasukkan ke dalam golongan orang kafir, musyrik atau munafik.

“Barangsiapa ingin bertemu Allah esok hari sebagai seorang muslim, maka ia harus menjaga benar-benar salat pada waktunya ketika terdengar suara azan.”

Kedua, menjaga salat termasuk kategori aktivitas sunanul-huda (perilaku atau kebiasaan berdasarkan pertunjuk Ilahi). Barangsiapa memelihara pelaksanaan kewajiban salat lima waktu setiap harinya berarti ia menjalani hidupnya berdasarkan petunjuk dan bimbingan Allah subhaanahu wa taaala. Berati ia tidak membiarkan dirinya hidup tersesat sekadar mengikuti hawa nafsu yang dikuasai musuh Allah subhaanahu wa taaala, yakni setan.

“Maka sesungguhnya Allah subhaanahu wa taaala telah mensyariatkan (mengajarkan) kepada Nabi shollallahu alaih wa sallam beberapa sunanul-huda (perilaku berdasarkan hidayah/petunjuk) dan menjaga salat itu termasuk dari sunanul-huda.”

Ketiga, salat di rumah identik dengan meninggalkan sunah Nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam. Padahal tindakan meninggalkan sunah Nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam merupakan gambaran raibnya cinta seseorang kepada Nabinya Muhammad shollallahu alaih wa sallam.Sebaliknya, bukti cinta seseorang akan Nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam adalah kesungguhannya untuk melaksanakan berbagai sunah beliau, Nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam.

“Andaikan kamu salat di rumah sebagaimana kebiasaan orang yang tidak suka berjemaah berarti kamu meninggalkan sunah Nabimu Muhammad shollallahu alaih wa sallam.”

Keempat, meninggalkan sunah Nabi akan menyebabkan seseorang menjadi tersesat. Berarti tidak lagi hidup di bawah naungan bimbingan dan petunjuk Allah. Sungguh mengerikan, bilamana seorang muslim merasa menjalankan kewajiban salat, namun karena ia kerjakannya tidak di masjid, maka hal itu menyebabkan dirinya menjadi tersesat dari jalan yang lurus! Naudzubillaahi min dzaalika.

“Dan bila kamu meninggalkan sunah Nabimu Muhammad shollallahu alaih wa sallam pasti kamu tersesat.”

Kelima, barangsiapa menyempurnakan wudhu lalu berjalan ke masjid, maka hal itu akan mendatangkan kenaikan derajat dan penghapusan kesalahan.

“Maka tidak ada seseorang yang bersuci dan dia sempurnakan wudhunya kemudian ia berjalan ke masjid di antara masjid-masjid ini kecuali Allah subhaanahu wa taaala mencatat bagi setiap langkah yang diangkatnya menjadi kebaikan yang mengangkat derajatnya dan bagi setiap langkah yang diturunkannya menjadi penghapus kesalahannya.”

Keenam, Ibnu Masud radhiyallahu anhu menggambarkan bahwa pada zaman Nabi Muhammadshollallahu alaih wa sallam masih hidup di tengah para sahabat radhiyallahu anhum jika ada yang tertinggal dari salat berjemaah maka ia dipandang identik dengan orang munafik sejati.

“Dan sungguh dahulu pada masa Nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam tiada seorang tertinggal dari salat berjemaah kecuali orang-orang munafik yang terang kemunafikannya.”

Ketujuh, di zaman Nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam sedemikian bersemangatnya orang menghadiri salat berjemaah di masjid sampai-sampai ada yang dipapah dua orang di kiri-kanannya agar ia bisa salat berjemaah di masjid.

“Sungguh adakalanya seseorang itu dihantar ke masjid didukung oleh dua orang kanan kirinya untuk ditegakkan di barisan saf.”

Ya Allah, berkahi, mudahkan dan kuatkanlah kami untuk selalu salat lima waktu berjemaah di masjid bersama saudara muslim kami lainnya. 

INILAH MOZAIK

Perang Sesama Muslim Bukanlah Jihad

MENUMPAHKAN darah seorang muslim bukan cuma dosa, tetapi peristiwa itu lebih dahsyat dan hancurnya dunia dan alam semesta. Apalagi kalau sampai terjadi perang saudara sesama muslim, tentu lebih parah lagi kondisinya. Sebab dalam sebuah peperangan, nyawa yang terbunuh biasanya bukan cuma satu atau dua orang, tetapi bisa ratusan bahkan ribuan.

Betapa beratnya dosa membunuh nyawa seorang muslim, juga ditegaskan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Demi Allah Yang jiwaku berada di tangan-Nya, membunuh seorang muslim itu lebih dahsyat di sisi Allah dari hancurnya dunia.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat yang lain disebutkan hal yang sama meski dengan redaksi yang agak berbeda:

“Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dari dibunuhnya seorang muslim.” (HR. Muslim)

Maka haram bagi seorang muslim untuk turun ke medan perang, kalau orang yang harus dibunuhnya ternyata masih beragama Islam. Dan tentu saja perang semacam itu bukan jihad. Sebab jihad itu hanya dalam rangka perang melawan orang kafir saja. Kafirnya pun bukan sembarang kafir, tetapi syaratnya harus kafir harbi (orang kafir yang memerangi Allah dan Rasulullah dengan berbuat makar di atas muka bumi atau seluruh orang musyrik dan Ahli kitab yang boleh diperangi atau semua orang kafir yang menampakkan permusuhan dan menyerang kaum Muslimin, red.).

[Ahmad Sarwat, Lc., MA]

INILAH MOZAIK

Sunnah Yang Terlupakan, Ucapan “Innal ‘Aisya, ‘Aisyul Akhirah”

Syaikh Ibnul Utsaimin –rahimahullah– mengatakan:

Rasul –shallallahu’alaihi wasallam– dahulu bila melihat suatu perkara dunia yg membuatnya takjub, beliau mengatakan:

لبيك إن العيش عيش الآخرة

/Labbaik, innal ‘aisya ‘aisyul akhirah/
Aku penuhi panggilanmu ya Allah, sungguh kehidupan yg hakiki adalah kehidupan akherat” (HR. Bukhari 2834, Muslim 1805)

Karena bila seseorang melihat suatu perkara dunia yang membuatnya takjub, mungkin saja dia meliriknya, sehingga dia berpaling dari Allah. Oleh karena itu beliau mengatakan: “labbaik” sebagai jawaban panggilan Allah azza wajalla, kemudian beliau memantapkan hatinya dg mengatakan: “Sungguh kehidupan yg hakiki adalah kehidupan akhirat“.

Karena kehidupan yang membuatmu takjub ini adalah kehidupan yang pasti sirna, sedang kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akherat. Oleh karena itu, termasuk diantara sunnah ketika seseorang melihat sesuatu yang menakjubkan di dunia ini adalah mengucapkan: “Labbaik, innal aisya aisyul akhirah” (Syarah Mumti‘, 3/124).

Imam Syafi’i –rahimahullah– mengatakan:

Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam– mengucapkannya (yakni ucapan: “Innal ‘Aisya ‘Aisyul Akhirah“) di momen yang paling membahagiakan dan di momen yang paling menyusahkan.

(Nihayatul Mathlab, karya Al Juwaini, 4/237-238).

Penulis: Ustadz Musyaffa Ad Darini Lc., MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/21680-sunnah-yang-terlupakan-ucapan-innal-aisya-aisyul-akhirah.html