Asal penamaan
Nama “Muharram” berasal dari kata “haram” yang artinya ‘suci’ atau ‘terlarang’. Dinamakan “Muharram” karena bulan ini termasuk salah satu bulan suci. (http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=27755)
Keutamaan bulan Muharram
1. Termasuk empat bulan haram (suci).
Allah berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
مِنْهَا أرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
“Sesungguhnya, bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus ….” (QS. At-Taubah:36)
Keterangan:
- Yang dimaksud “empat bulan haram” adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram (tiga bulan ini berurutan), dan Rajab.
- Disebut “bulan haram” karena bulan ini dimuliakan masyarakat Arab, sejak zaman jahiliah sampai zaman Islam. Pada bulan-bulan haram, tidak boleh ada peperangan.
- Az-Zuhri mengatakan, “Dahulu, para sahabat menghormati syahrul hurum.” (HR. Abdur Razaq)
2. Dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, zaman berputar sebagaimana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam satu tahun, ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci); tiga bulan berurutan: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar–antara Jumadi Tsani dan Sya’ban–.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3. Dinamakan “syahrullah” (bulan Allah).
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)
Keterangan:
- Imam An-Nawawi mengatakan, “Hadis ini menunjukkan bahwa Muharram adalah bulan yang paling mulia untuk melaksanakan puasa sunah.” (Syarah Shahih Muslim, 8:55)
- As-Suyuthi mengatakan, “Dinamakan ‘syahrullah‘–sementara bulan yang lain tidak mendapat gelar ini–karena nama bulan ini (yaitu) ‘Al-Muharram’ adalah nama islami. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliah. Sementara dahulu, orang jahiliah menyebut bulan Muharram ini dengan nama ‘Shafar Awwal’. Kemudian, ketika Islam datang, Allah mengganti nama bulan ini dengan ‘Al-Muharram’, sehingga Allah menyandarkan nama bulan ini kepada dirinya (syahrullah)”. (Syarah Suyuthi ‘Ala Shahih Muslim, 3:252)
4. Bulan ini juga sering dinamakan “syahrullah al-asham” (bulan Allah yang sunyi). Dinamakan demikian karena sangat terhormatnya bulan ini, sehingga tidak boleh ada sedikit pun riak dan konflik di bulan ini.
5. Ada satu hari yang sangat dimuliakan oleh para umat beragama; hari itu adalah hari ‘Asyura. Orang Yahudi memuliakan hari ini karena hari ‘Asyura adalah hari kemenangan Musa bersama Bani Israil dari penjajahan Fir’aun dan bala tentaranya. Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau menceritakan, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Asyura. Beliau bertanya, ‘Hari apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Hari yang baik; hari di saat Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan pasukan Fir’aun, sehingga Musa pun berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah.’ Akhirnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa daripada kalian.’ Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa.” (HR. Al-Bukhari)
6. Para ulama menyatakan bahwa bulan Muharram adalah adalah bulan yang paling mulia setelah Ramadhan
Hasan Al-Bashri mengatakan, “Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan dalam setahun, setelah bulan Ramadhan, yang lebih mulia di sisi Allah dibandingkan bulan Muharram.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 67)
Hadis Dhaif Seputar Muharram
1. “Barang siapa yang berpuasa selama sembilan hari pertama di bulan Muharram maka Allah akan bangunkan untuknya satu kubah di udara, yang memiliki empat pintu, yang tiap pintunya berjarak satu mil.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at, 2:199 dan Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah, hlm. 45)
2. “Barang siapa yang berpuasa di hari terakhir bulan Dzulhijjah dan hari pertama bulan Muharram, berarti dia telah mengakhiri pengujung tahun dan mengawali tahun baru dengan puasa. Allah jadikan puasanya ini sebagai kafarah selama lima tahun.” (Hadis dusta, karena pada sanadnya terdapat dua pendusta, sebagaimana keterangan Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah, hlm. 45)
3. “Sesungguhnya, Allah mewajibkan Bani Israil berpuasa sehari dalam setahun, yaitu hari ‘Asyura, yaitu hari kesepuluh bulan Muharram. Oleh karenanya, berpuasalah kalian di bulan Muharram dan berilah kelonggaran (makan enak dan pakaian baru) untuk keluarga kalian, karena inilah hari di saat Allah menerima tobat Adam ‘alaihis salam ….” (Al-Fawaid Al-Majmu’ah, hlm. 46)
4. “Barang siapa yang berpuasa sehari di bulan Muharram, maka untuk satu hari puasa, dia mendapat pahala puasa tiga puluh hari.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Al-Albani dalam Silsilah Hadis Dhaif, no. 412)
5. “Bulan yang paling mulia adalah Al-Muharram.” (Hadis dhaif, sebagaimana keterangan Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 1805)
6. “Pemimpin umat manusia: Adam, pemimpin bangsa Arab: Muhammad, pemimpin bangsa Romawi: Shuhaib Ar-Rumi, pemimpin bangsa Persia: Salman Al-Farisi, pemimpin bangsa Habasyah: Bilal bin Rabah, pemimpin gunung: Gunung Sina, pemimpin pohon: bidara, pemimpin bulan: Muharram, pemimpin hari: hari Jumat ….” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 7069)
Amalan sunah di bulan Muharram
1. Memperbanyak puasa selama bulan Muharram.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan daripada yang lainnya, kecuali puasa hari ‘Asyura dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Puasa ‘Asyura (puasa tanggal 10 Muharram).
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Dahulu, hari ‘Asyura dijadikan orang Yahudi sebagai hari raya. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Berpuasalah kalian!’” (HR. Al-Bukhari)
Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa ‘Asyura, kemudian beliau menjawab, “Puasa ‘Asyura menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, orang-orang Yahudi sedang berpuasa ‘Asyura. Mereka mengatakan, ‘Ini adalah hari di saat Musa menang melawan Fir’aun.’ Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat, ‘Kalian lebih berhak terhadap Musa daripada mereka (orang Yahudi). Karena itu, berpuasalah!’” (HR. Al-Bukhari)
Keterangan:
Puasa ‘Asyura merupakan kewajiban puasa pertama dalam Islam, sebelum Ramadhan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Suatu ketika, di pagi hari ‘Asyura, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan, ‘Barang siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai magrib, dan barang siapa yang sudah berpuasa maka hendaknya dia lanjutkan puasanya.’” Rubayyi’ mengatakan, “Kemudian, setelah itu, kami berpuasa dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mainan dari kain untuk mereka. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya, sampai datang waktu berbuka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Setelah Allah mewajibkan puasa Ramadhan, puasa ‘Asyura menjadi puasa sunah. Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Dahulu, hari ‘Asyura dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakan puasa ‘Asyura dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah mewajibkan puasa Ramadhan, beliau meninggalkan hari ‘Asyura. Barang siapa yang ingin berpuasa ‘Asyura maka dia boleh berpuasa; barangsiapa yang tidak ingin berpuasa ‘Asyura maka dia boleh tidak berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3. Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, ada sahabat yang berkata. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari ‘Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani.” Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah diwafatkan. (HR. Al-Bukhari)
Keterangan:
Ada pendapat yang mengatakan bahwa dianjurkan melaksanakan puasa tanggal 11 Muharram, setelah puasa ‘Asyura. Pendapat ini berdasarkan hadis, “Berpuasalah (di) hari ‘Asyura dan janganlah sama dengan orang Yahudi. Berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad dan Al-Bazzar). Namun, sanad hadis ini dhaif, sebagaimana keterangan Al-Albani dan Syekh Syu’aib Al-Arnauth. Oleh karena itu, yang lebih tepat, puasa satu hari setelah ‘Asyura itu tidak disyariatkan. Sebagai gantinya adalah puasa sehari sebelumnya.
Imam Ahmad mengatakan bahwa jika awal bulan Muharram tidak jelas maka sebaiknya berpuasa tiga hari: (tanggal 9, 10, dan 11 Muharram). Beliau mempraktikkan hal itu agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10. (Al-Mughni, 3:174; diambil dari Al-Bida’ Al-Hauliyah, hlm. 52)
4. Puasa tiga hari setiap bulan (puasa Yaumul Bidh).
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Kekasihku (Rasulullah)–shallallahu ‘alaihi wa sallam–berwasiat kepadaku dengan tiga hal: puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat salat dhuha, dan witir sebelum tidur.” (HR. Al-Bukhari)
Bid’ah–bid’ah di bulan Muharram
Ada banyak bid’ah yang dilakukan kaum muslimin terkait bulan Muharram, baik dalam masalah akidah dan keyakinan, maupun amal harian. Berikut ini adalah beberapa amal bid’ah di sekitar kita, terkait bulan Muharram:
Pertama: Keyakinan bahwa bulan Muharram adalah bulan sial.
Dalam bahasa Jawa, bulan Muharram sering disebut dengan “bulan syura (suro)”. Sebagian masyarakat Jawa berkeyakinan bahwa bulan syura (suro) adalah “bulan sial”. Mereka diimbau untuk tidak mengadakan kegiatan apa pun ketika bulan syura (suro). Barang siapa yang berani mengadakan kegiatan di bulan syura (suro), maka: awas, itu alamat ciloko (celaka)!
Pada hakikatnya, keyakinan ini adalah keyakinan syirik, karena berkeyakinan sial terhadap sesuatu tanpa dalil adalah termasuk thiyarah, dan thiyarah adalah perbuatan kesyirikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik ….” (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi; dan dinilai sahih oleh Al-Albani)
Kedua: Menampakkan kesedihan mendalam di bulan Muharram.
Pada hari ‘Asyura, tergoreskan satu kenangan pahit bagi kaum muslimin, bagi orang yang memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan keluarga beliau. Di hari ‘Asyura, Allah memuliakan Husain bin Ali bin Abi Thalib dengan syahadah. Beliau dibantai di tanah Karbala oleh para pengkhianat dari Irak. Sebagai muslim, kita menganggap ini sebagai musibah.
Namun, perlu diketahui, ada musibah yang jauh lebih besar dari itu, berupa munculnya sikap ekstrim sebagian kaum muslimin karena motivasi mengultuskan Husain. Mereka menjadikan hari itu sebagai hari berkabung, hari belasungkawa besar-besaran.
Pada sepuluh hari pertama bulan Muharram, di sebagian negara, semua cahaya dimatikan, manusia keluar, anak-anak memenuhi jalan, mereka meneriakkan, “Wahai Husain, wahai Husain ….” Bunyi gendang terdengar di mana-mana. Ada juga yang menusuk dan menyayat tubuhnya dengan pedang, sebagai bentuk bela sungkawa yang mendalam atas kematian Husain. Pada saat yang sama, tokoh mereka berkhotbah menyampaikan kebaikan-kebaikan Husain dan mencela para sahabat lainnya. Mereka mencela Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan.
Merekalah gerombolan Syi’ah Rafidhah, sekelompok manusia yang membangun agama dan keyakinannya berdasarkan kedustaan tokoh dan pemuka Syiah; manusia yang berakidah sesat. Semoga Allah menjauhkan kita dari kejelekan mereka.
Ketiga: Bergembira di hari ‘Asyura.
Kebalikan dengan kelompok sebelumnya; kelompok ini menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari raya dan kegembiraan. Merekalah sekelompok orang yang memproklamirkan diri sebagai musuh Syi’ah Rafidhah. Mereka adalah kelompok Khawarij, yang memiliki prinsip yang bertolak belakang dengan Syiah, dan mereka juga membenci keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Artikel www.yufidia.com