Kemenag Tunggu Kebijakan Saudi Terkait Haji

Kasubdit Kepala Subdirektorat Perizinan, Akreditasi, dan Bina Penyelenggara Ibadah Haji Khusus Kemenag Mulyo Widodo mengatakan belum ada kebijakan khusus untuk jamaah haji khusus terkait penyebaran virus corona.

“Kami masih menunggu keputusan dari Saudi terkait kebijakan lainnya untuk perjalanan haji dan adanya virus corona ini,” ujar dia kepada Republika.co.id, Ahad (15/3).

Kemenag hanya mengimbau jamaah haji khusus selalu menjaga kesehatan terutama dari tertularnya virus corona. Kemenag telah menyurati seluruh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaran Ibadan Haji (BPS-BPIH) untuk menyampaikan kepada jamaah haji khusus tetap melakukan pelunasan BPIH Khusus sesuai dengan waktu yang telah ditentukan meski masih diberlakukannya penghentian sementara ibadah umrah dan ziarah ke Arab Saudi.

Kemenag saat ini masih menunggu informasi lebih lanjut dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tentang kebijakan pencabutan penghentian sementara ibadah umrah dan ziarah. Jadwal pelaksanaan pelunasan BPIH Khusus ini tahap pertama berlangsung mulai 16 hingga 27 Maret 2020. Tahap kedua mulai 14 sampai 22 Maret 2020. Pelunasan bagi petugas PIHK dilakukan 11-15 Maret 2020.

IHRAM

Belajar Dahulu Fikih Haji, Semoga Dimudahkan Segera

Sebagian orang sangat ingin bisa segera naik haji, akan tetapi sebagian lagi berpikir “nanti saja” belajar fikh haji yaitu setelah sudah mendaftar haji atau menjelang keberangkatan haji saja. Hendaknya seorang muslim segera belajar fikh haji, tidak harus menunggu sudah mendaftar dulu haji dahulu atau menjelang keberangkatan. 

Haji dan umrah adalah salah satu dari rukun Islam yang mana seorang muslim harus mengetahuinya dan mempelajarinya. Ini termasuk ilmu yang hendaknya dipelajari sebagaimana hadits tentang menuntut ilmu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” [HR. Ibnu Majah]

Suatu fakta dan tidak sedikit kami temui bahwa orang yang belajar fikh haji terlebih dahulu dengan niat ikhlas menunaikan perintah Allah, lalu diberi kemudahan untuk bersegera naik haji atau umrah. Padahal secara logika saat itu, orang tersebut sulit untuk bisa segera menunaikan ibadah haji dan umrah baik dilihat dari sisi ekonomi, usia, kesehatan dan kesempatan waktu.

Demikianlah Allah lebih tahu apa yang menjadi niat utama dan usaha seorang hamba. Apabila seorang hamba sangat ingin naik haji dan benar-benar tulus dari hati yang paling dalam, tentu ia berusaha dari awal dengan mempelajari fikh ibadah haji meskipun belum mendaftar haji atau umrah.

Allah mengetahui apa yang disembunyikan hati sebagaimana firman Allah,

وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ

Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan. [An-Nahl/16: 19]

Allah juga berfirman,

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

“Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” [Ghafir: 19]

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah tahu apa yang ada dalam hatinya, yaitu keinginan yang sangat kuat untuk segera naik haji, maka bisa jadi Allah memudahkan jalannya menunju baitullah. Ibnu Katsir berkata,

ويعلم ما تنطوي عليه خبايا الصدور من الضمائر والسرائر .

“Allah mengetahui apa yang menjadi keinginan hati dan rahasia serta yang tependam di dalam hati.” [Tafsir Ibnu Katsir 7/137]

Sebagian orang juga memang sengaja menunda haji, mereka berpikir bahwa haji itu adalah ibadah yang bisa ditunda, padahal mereka sudah mampu dan wajib. Mereka menunggu ketika sudah tua dahulu baru berangkat pergi haji. Hal ini tidaklah tepat, ibadah haji itu dilakukan sesegra mungkin apabila telah  mampu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَجَّلُوا إِلَى الْحَجِّ – يَعْنِي : الْفَرِيضَةَ – فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ

“Bersegeralah kalian berhaji-yaitu haji yang wajib-karena salah seorang diantara kalian tidak tahu apa yang akan menimpanya” [HR.Ahmad, dihasankan oleh Al-Albany]

Beliau juga bersabda,

مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ فَإِنَّهُ قَدْ يَمْرَضُ الْمَرِيضُ وَتَضِلُّ الضَّالَّةُ وَتَعْرِضُ الْحَاجَةُ

“Barangsiapa yang ingin pergi haji maka hendaklah ia bersegera, karena sesungguhnya kadang datang penyakit, atau kadang hilang hewan tunggangan atau terkadang ada keperluan lain (mendesak)”. [HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al Albani]

Semoga kita dimudahkan untuk segera mempelajari fikh ibadah haji dan Allah pun memudahkan kita untuk segera naik haji memenuhi panggilan Allah.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47771-belajar-dahulu-fikih-haji-semoga-dimudahkan-segera.html

Antara Haji dan Umrah, Manakah yang Harus Didahulukan?

 Haji dan umrah merupakan salah satu ibadah bagi umat Islam yang tergantung pada syarat. Syarat tersebut adalah kemampuan (istitha’ah). 

Bagaimana jika kemampuan terpenuhi, manakah dari kedua ibadah itu yang harus didahulukan?   

Direktur Lembaga Pengkajian Hadis El Bukhari Institute, Abdul Karim Munthe, mengatakan haji dan umrah bisa dilaksanakan secara bersamaan. 

Namun, adakalanya seorang Muslim harus memilih salah satu di antara keduanya. “Karena dalam rukun Islam haji yang diwajibkan. Maka ada baiknya melakukan haji terlebih dahulu,” kata Abdul Karim Munthe kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.  

Munthe sapaan akrab Abdul Karim Munthe itu menambahkan, dalam konteks Indonesia ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Di antaranya adalah soal waktu dan ekonomi.

Selanjutnya, menurut Munthe, pertimbangan soal waktu biasanya didasarkan pada waktu antrean. Dalam rangka mendaftarkan haji, umat Islam di Indonesia harus mengantre 10-20 tahun. Lamanya waktu antre mendorong sebagian muslim untuk melaksanakan umrah terlebih dahulu.  

“Ada beberapa kasus misalnya, seorang Muslim tidak mengetahui jatah umurnya di dunia. Kemudian dia memilih untuk melaksanakan umrah terlebih dahulu,” kata Munthe.

Di sisi lain, masalah ekonomi termasuk pula sebagai pertimbangan kunci dalam pelaksanaan haji dan umrah. Jika seseorang berniat menjalankan umrah.

Kemudian dikhawatirkan dia tidak memiliki cukup dana untuk melakukan haji, maka sebaiknya dia memilih berhaji. “Jika ingin umrah, namun dikhawatirkan tidak punya uang untuk berhaji. Ada baiknya bersabar menunggu antrean haji,” kata Direktur El Bukhari Institute tersebut.  

IHRAM

Bagaimana Urutan Ihram untuk Umrah atau Haji?

Assalamualaikum Wr Wb

Pak ustaz yang baik, bagaimana urutan pelaksanaan ihram ibadah haji atau umrah ketika berada di Miqat?

Hamba Allah, 0811 678xx

Jawaban oleh KH Miftah Faridl

Ketika berada di Miqat, setelah berpakaian ihram, laksanakan shalat dua rakaat, bisa syukrul wudlu atau tahiyatul masjid. Atau shalat fardlu (kalau belum shalat fardlu) kemudian baru mengikrarkan niat Labaikka Allahumma Umratan untuk umrah, Labbaika Allahumma Hajjan untuk ibadah haji.

Setelah itu berlakulah ketentuan disiplin. Pria tidak boleh memakai pakaian kecuali dua helai kain ihram, tidak boleh menutup kepala, tidak boleh memakai alas kaki yang menutup dua mata kaki. 

Dan bagi wanita harus menutup semua anggota badan kecuali muka dan telapak tangan. Berlaku bagi pria dan wanita tidak boleh memotong kuku, mencabut atau memotong rambut, memakai wangi-wangian, mencabut atau memetik tumbuh-tumbuhan, tidak boleh membunuh hewan buruan dan tidak boleh rofats (jorang/jorok), fusuq (berbuat dosa), Jidal (bertengkar).

IHRAM

Hukum Gelar Haji

Memberi Gelar Haji

Apa hukum gelar haji bagi mereka yang berhaji? Apakah diperbolehkan menyebut Haji Fulan.. makasih

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Gelar haji atau hajah belum dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun sahabat. Bahkan menurut Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid, gelar haji pertama kali beliau temukan di kitab Tarikh Ibnu Katsir ketika pembahasan biografi ulama yang wafat tahun 680an.

Lantas bagaimana hukum memberi gelar haji untuk mereka yang sudah berangkat haji?

Orang yang sedang melakukanhaji, disebut oleh Allah dalam al-Quran dengan sebutan Haji. Allah berfirman,

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman Haji dan mengurus Masjidil haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah?..” (QS. at-Taubah: 19).

Dr. Bakr Abu Zaid mengatakan,

وكلمة (( الحاج )) في الآية بمعنى جنسهم المتلبسين بأعمال الحج . وأما أن تكون لقباً إسلامياً لكل من حج ، فلا يعرف ذلك في خير القرون

Kata “Haji” pada ayat di atas maknanya adalah kelompok orang yang sedang melaksanakan amal haji. Sementara fenomena kata ini dijadikan sebagai gelar dalam islam bagi orang yang telah melaksanakan ibadah haji, tidak pernah dikenal di masa generasi terbaik umat islam (qurun mufadhalah).

Selanjutnya beliau menyebutkan perbedaan pendapat ulama mengenai gelar ini,

Pendapat pertama, gelar haji hukumnya dilarang.

Karena ini adalah gelar belum pernah dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan gelar ini dikhawatirkan memicu riya.

Dalam salah satu fatwanya, Lajnah Daimah pernah mengatakan,

أما مناداة من حج بـ: (الحاج) فالأولى تركها؛ لأن أداء الواجبات الشرعية لا يمنح أسماء وألقابا، بل ثوابا من الله تعالى لمن تقبل منه، ويجب على المسلم ألا تتعلق نفسه بمثل هذه الأشياء، لتكون نيته خالصة لوجه الله تعالى

Panggilan Haji bagi yang sudah berhaji sebaiknya ditinggalkan. Karena melaksanakan kewajiban syariat, tidak perlu mendapatkan gelar, namun dia mendapat pahala dari Allah, bagi mereka yang amalnya diterima. dan wajib bagi setiap muslim untuk mengkondisikan jiwanya agar tidak bergantung dengan semacam ini, agar niatnya ikhlas untuk Allah. (Fatwa Lajnah Daimah, 26/384).

Keterangan yang semisal juga pernah disebutkan Imam al-Albani – rahimahullah –, beliau melarangnya karena tidak ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pendapat kedua, gelar semacam ini dibolehkah, terlepas dari kondisi batin jamaah haji.

Dengan beberapa alasan,

a. Alasan keikhlasan itu alasan pribadi, dan berlaku bagi semua ibadah. Dalam arti, kita diperintahkan untuk mengikhlaskan ibadah apapun kondisinya, meskipun ibadah itu diketahui orang banyak.

b. Gelar tertentu untuk ibadah tertentu lebih bersifat urf (bagian tradisi), sehingga bisa berbeda-beda tergantung latar belakang tradisi di masyarakat.

Terkadang masyarakat memberi gelar untuk mereka yang telah melakukan perjuangan berharga atau memberi manfaat besar bagi yang lain. Misalnya, orang yang pernah berjihad disebut mujahid. Dulu peserta perang badar disebut dengan al-Badri. Meskipun perang badar sudah berakhir tahunan, gelar itu tetap melekat.

c. Tidak ada dalil yang melarangnya.

An-Nawawi mengatakan,

يجوز أن يقال لمن حج : حاج ، بعد تحلله ، ولو بعد سنين ، وبعد وفاته أيضاً ، ولا كراهة في ذلك ، وأما ما رواه البيهقي عن القاسم بن عبدالرحمن عن ابن مسعود قال : ((ولا يقولن أحدكم : إنِّي حاج ؛ فإن الحاج هو المحرم )) فهو موقوف منقطع

Boleh menyebut orang yang pernah berangkat haji dengan gelar Haji, meskipun hajinya sudah bertahun-tahun, atau bahkan setelah dia wafat. Dan hal ini tidak makruh. Sementara yang disebutkan dalam riwayat Baihaqi dari a-Qasim bin Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan, “Janganlah kalian mengatakan ‘Saya Haji’ karena Haji adalah orang yang ihram.” Riwayat ini mauquf dan sanadnya terputus. (al-Majmu’, 8/281).

Alasan bahwa gelar haji itu masuk urf (tradisi di masyarakat) pernah disampaikan as-Subki ketika membahas biografi Hassan bin Said al-Haji. Beliau mengatakan,

وأما الحاجي فلغة العجم في النسبة إلى من حج ، يقولون للحاج إلى بيت الله الحرام : حاجِّي

Gelar al-Haji ini menggunakan bahasa bukan arab, untuk mereka yang telah berangkat haji. Mereka menyabut orang yang bernah berhaji ke baitullah al-haram dengan Haji.. (Thabaqat as-Syafiiyah al-Kubro, 4/299)

Karena di Indonesia, bisa haji termasuk amal istimewa, mereka yang berhasil melaksanakannya mendapat gelar khusus Haji.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/30898-hukum-gelar-haji.html

Tempat-Tempat Wajib dalam Ibadah Haji

Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dikerjakan bagi setiap muslim yang mampu dan telah memenuhi syarat. Pada 2019 ini, Indonesia mendapatkan kuota sebanyak 231 ribu jemaah. Rinciannya adalah haji reguler 214 ribu dan haji khusus 17 ribu.

Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada 8 Zulhijah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Zulhijah.

Pemerintah Arab Saudi, Jumat (2/8), menetapkan pelaksanaan wukuf di Arafah akan dilaksanakan pada 10 Agustus 2019, waktu setempat.  Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara’, haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Dalam definisi tersebut, selain Kakbah dan Mas’a (tempat sai), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. 

Berikut tempat-tempat yang diwajibkan dalam proses ibadah haji, seperti dikutip dari berbagai sumber.

Makkah Al Mukaromah 

Makkah. Sumber: Fahmina Institute

Di kota inilah berdiri pusat ibadah umat Islam sedunia, Kakbah, yang berada di pusat Masjidil Haram. Dalam ritual haji, Mekkah menjadi tempat pembuka dan penutup ibadah ini ketika jemaah diwajibkan melaksanakan niat dan tawaf haji.

Arafah 

Arafah. Sumber: Dream

Kota di sebelah timur Mekkah ini juga dikenal sebagai tempat pusatnya haji. Yakni tempat wukuf yang dilaksanakan pada 9 Zulhijah tiap tahunnya.

Daerah berbentuk padang luas ini adalah tempat berkumpulnya sekitar dua juta jemaah haji dari seluruh dunia dan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Di luar musim haji, daerah ini tidak dipakai.

Muzdalifah

Muzdalifah. Sumber: Islamic Landmarks

Tempat di dekat Mina dan Arafah  ini dikenal sebagai tempat jemaah haji melakukan Mabit (bermalam) dan mengumpulkan bebatuan untuk melaksanakan ibadah jumrah di Mina.

Mina 

Mina. Sumber: TSN World

Tempat berdirinya tugu jumrah, yaitu tempat pelaksanaan kegiatan melontarkan batu ke tugu jumrah sebagai simbolisasi tindakan nabi Ibrahim ketika mengusir setan. Di masing-maising tempat itu berdiri tugu yang digunakan untuk pelaksanaan: Jumrah Aqabah, Jumrah Ula, dan Jumrah Wustha. Di tempat ini jemaah juga diwajibkan untuk menginap selama satu malam.

Madinah

Adalah kota suci kedua umat Islam. Di tempat inilah panutan umat Islam, Nabi Muhammad dimakamkan di Masjid Nabawi. 

Madinah. Sumber: Medium

Tempat ini sebenarnya tidak masuk ke dalam ritual ibadah haji, namun jemaah haji dari seluruh dunia biasanya menyempatkan diri berkunjung Madinah, untuk berziarah dan melaksanakan salat di Masjid An-Nabawi.

Haji Arbain 

Haji Arbain (artinya “empat puluh”) adalah ibadah haji yang disertai dengan salat fardu sebanyak 40 kali di Masjid An-Nabawi Madinah tanpa terputus. Ibadah ini sering dikerjakan oleh jemaah haji dari Indonesia. 

Arbain. Sumber: Tribun

Dalam pelaksanaannya, mereka setidak tinggal di Madinah saat haji selama delapan atau sembilan hari. Dengan perhitungan sehari salat wajib lima kali. Dengan demikian, selama delapan atau sembilan hari akan tercukupi jumlah 40 kali salat wajib tanpa terputus.

Dengan mengenali tempat-tempat utama dalam pelaksanaan ibadah haji, moga-moga para jemaah makin semangat dalam menjalankan rukun kelima di Tanah Suci. 

Selamat menunaikan ibadah haji, semoga menjadi Haji Mabrur. 

IHRAM REPUBLIKA

Apa Itu Tanazul saat Haji?

Kepala PPIH Arab Saudi Daker Makkah Subhan Cholid menyebut sudah ada lebih dari 100 orang jamaah yang mengajukan mutasi kloter atau tanazul. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh jamaah untuk bisa tanazul.

“Sudah, sudah ada ratusan yang mengajukan tanazul.Karena yang tertunda keberangkatannya itu berentet dari kloter awal sampai kloter akhir cukup banyak juga,” kata Subhan, Selasa (13/8).

Lalu, apa itu tanazul? Subhan menjelaskan bahwa tanazul adalah mutasi perpindahan satu kloter ke kloter lain. Baik itu kloter yang lebih awal maupun kloter yang lebih akhir.

“Itu dimungkinkan selama masih tersedia seat (pesawat) di kloter yang dituju,” kata Subhan.

Kemudian, jamaah haji yang diizinkan melakukan tanazul pertama yaitu pemulangan lebih cepat  untuk jamaah sakit. Namun, harus ada keterangan dari dokter kloter dan  tetap harus ada ketersediaan seat.

“Sakit itu ada dua kemungkinan. Sakit baring dan sakit duduk. Kalau baring tentu butuh seat lebih banyak,” kata Subhan.

Kedua, tanazul untuk penggabungan jamaah terpisah. Misalnya,  pada waktu akan berangkat tetapi jamaah tersebut sakit di embarkasi sehingga dia diberangkatkan pada kloter berikutnya.

“Begitu di sini bisa dimutasikan dan dikembalikan ke kloter asal,” kata Subhan.

Atau, yang terpisah antara keberangkatan dengan keluarga. Misalnya, orang tua, anak, suami istri yang terpisah  karena visanya tidak keluar.

“Pada saat mau berangkat belum keluar visanya. Maka begitu sampai sini itu dimungkinkan diajukan mutasinya sejauh seatnya tersedia,” kata Subhan.

Kemudian, juga soal kedinasan. Misalnya, ada seseorang yang mendaftar haji sudah lama dan menunggu antrean lama. Kemudian, saat ini dia sudah jadi pejabat dan memiliki penugasan yang tak bisa dihindari. Maka, dia bisa mengajukan proses tanazul.

Menurut Subhan, pascapuncak haji ini, jumlah yang mengajukan tanazul sudah cukup banyak. Mencapai ratusan. Dan, yang mendominasi adalah jamaah yang tertunda keberangkatannya karena sakit di embarkasi. Sehingga, ketika dia sampai di Tanah Suci mengajukan tanazul.

Adapun prosesnya yaitu, jamaah yang ingin tanazul melaporkan diri ke ketua kloter dam sektor dengan mengirimkan permohonan. Kemudian, pihak PPIH Arab Saudi mengecek ketersediaan seat pesawatnya.

Dan, pihak PPIH juga mengajukan permohonan ke Maktab. Karena, paspor jamaah disimpan di maktab sesuai kloternya masing-masing.

“Maka ketika terjadi perpindahan kloter maka juga dokumen harus ikut dipindahkan ke kloter yang dituju karena berbeda maktab,” kata Subhan.

Oleh Muhammad Hafil dari Makkah, Arab Saudi

IHRAM REPUBLIKA

Bolehkah Anak Menghajikan Bapaknya?

Pertanyaan:

Seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya, ayahku masuk Islam setelah tua dan lanjut usia. Dia tidak sanggup mengendarai kendaraan, padahal haji suatu kewajiban atasnya. Bolehkah aku menghajikannya?”

Jawaban:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah kamu anaknya yang paling besar?” Dia menjawab, “Benar.”

قَالَ: أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيْكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ، كَانَ ذَلِكَ يَجْزِئُ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَحُجَّ عَنْهُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagaimana menurutmu jika ayahmu mempunyai hutang lalu engkau membayarnya, apakah itu bisa memadai?” Dia menjawab, “Ya.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Karena itu, hajikanlah dia.” (HR. Ahmad).

Abu Dzar bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku seorang yang lanjut usia, tidak mampu melaksanakan haji dan umrah, bahkan (melakukan) pelajaran.”

فَقَالَ لَهُ: حُجَّ عَنْ أَبِيْكَ وَاعْتَمِرْ


Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hajikanlah untuk ayahmu dan lakukan umrah untuknya.” (Ad-Daraquthni berkata, “Semua rawi pada sanad hadits ini terpercaya.”)

Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya ayahku meninggal, tetapi dia belum sempat mengerjakan haji. Apakah aku boleh menghajikannya?” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bagaimana menurutmu jika ayahmu mempunyai utang, apakah engkau akan membayarnya?” Dia menjawab, “Ya.”

قَالَ: فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ

Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau begitu, utang kepada Allah lebih berhak (untuk dibayar).” (HR. Ahmad).

Imam ad-Daraquthni meriwayatkan bahwa ada seorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku meninggal, tetapi belum mengerjakan haji?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagaimana menurutmu jika ayahmu mempunyai utang, lalu engkau membayar untuknya, apakah pembayaranmu diterima?” Dia menjawab, “Ya.”

قَالَ: فَاحْجُجْ عَنْهُ

Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau begitu, berhajilah untuknya.”

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa tanya jawab yang terjadi adalah semata-mata menjelaskan bahwa hukum menghajikan itu sah, bukan untuk menetapkan bahwa hukumnya adalah wajib.

Sumber: Fatawa Rasulullah: Anda Bertanya Rasulullah MenjawabTahqiq dan Ta’liq oleh Syaikh Qasim ar-Rifa’i, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Pustaka As-Sunnah, Cetakan Ke-1, 2008.
(Dengan pengubahan tata bahasa seperlunya oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/2946-anak-menghajikan-ayah.html

Bercita-cita Meninggal di Tanah Suci

Salah satu dalilnya adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mendapatkan keutamaan meninggal di Madinah yang merupakan tanah suci.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَمُوتَ بِالْمَدِينَةِ فَلْيَمُتْ بِهَا فَإِنِّي أَشْفَعُ لِمَنْ يَمُوتُ بِهَا

“Barangsiapa yang ingin mati di Madinah, maka matilah disana. Sesungguhnya aku akan memberi syafa’at bagi orang yang mati disana”. [HR Ahmad & Tirmidzi]

Akan tetapi meninggal di sini bukanlah meninggal yang diusahakan sendiri misalnya sengaja membuat dirinya sakit di Madinah, sengaja kecelakaan di Madinah atau malah bunuh diri di tanah suci, akan tetapi kematian yang alami sesuai dengan takdir Allah. Hendaknya ia sabar hidup di kota Madinah dengan segala cobaannya.

At-Tibiy berkata,

أمر بالموت بها وليس ذلك من استطاعته ، بل هو إلى الله تعالى ، لكنه أمر بلزومها والإقامة بها بحيث لا يفارقها

“Perintah agar meninggal di madinah bukanlah dengan usahanya sendiri, tetapi kembali kepada Allah (sesuai dengan takdir Allah). Hendaknya ia tetap bertahan tinggal di Madinah dan berusaha tidak meninggalkannya.” [Tuhfatul Ahwadzi 10/286]

Hal ini selaras juga dengan penjelasan An-Nawawi, beliau berkata,

قال العلماء وفي هذه الأحاديث المذكورة في الباب مع ما سبق وما بعدها دلالات ظاهرة على فضل سكنى المدينة والصبر على شدائدها وضيق العيش فيها وأن هذا الفضل باق مستمر إلى يوم القيامة

“Para Ulama menjelaskan bahwa hadits yang disebutkan (tentang kota Madinah) pada bab sebelumnya menunjukkan dalil yang jelas tentang keutamaan tinggal di kota Madinah dan besabar atas ujian dan kesesuhan hidup di kota Madinah. Keutamaan ini berlaku terus-menerus sampai hari kiamat.”[Syarh Shahih Muslim 9/151]

An-Nawawi juga menjelaskan disunnahkannya berdoa agar diwafatkan di tanah suci. Beliau berkata,

يستحب طلب الموت في بلد شريف

“Disunnahkan meminta kematian di tanah yang mulia/suci.” [Al-Majmu’ 5/106]

Salah satu hikmah besar meninggal di tanah suci adalah banyak orang shalih yang akan mendoakannya dan berkahnya orang- orang shalih di tanah suci tersebut, baik yang sudah meninggal maupun masih hidup.

Al-Bahuti berkata,

” يستحب أيضا الدفن في ( ما كثر فيه الصالحون ) لتناله بركتهم ، ولذلك التمس عمر الدفن عند صاحبيه ، وسأل عائشة حتى أذنت له ” انتهى

“Disunnahkan agar dikuburkan pada tempat yang banyak orang shalihnya untuk mendapatkan keberkahan mereka. Oleh karena itu Umar bin Khattab meminta agar dikuburkan bersama dua sahabatnya, ia meminta kepada ‘Aisyah kemudian diizinkan.” [Kasyfu’ Qanna’ 2/142]

Apakah akan mendapatkan keutamaan mati syahid? Untuk hal ini diperlukan dalil untuk menyatakan mereka yang meninggal di tanah suci (atau sedang melakukan ibadah hai) akan mati syahid. Dalam hal ini tidak ada dalil dan nash tegas yang menyatakan demikian. Dalil yang ada adalah mengenai keutamaan orang yang meninggal ketika sedang melakukan haji dan umrah, akan mendapatkan pahalanya sampai hari kiamat. Perhatikan hadits berikut:

من خرج حاجا فمات كتب له أجر الحاج إلى يوم القيامة ومن خرج معتمرا فمات كتب له أجر المعتمر إلى يوم القيامة ومن خرج غازيا فمات كتب له أجر الغازي إلى يوم القيامة

Barangsiapa keluar untuk berhaji lalu meninggal dunia, maka dituliskan untuknya pahala haji hingga hari kiamat. Barangsiapa keluar untuk umrah lalu meninggal dunia, maka ditulis untuknya pahala umrah hingga hari kiamat. Dan barangsiapa keluar untuk berjihad lalu mati maka ditulis untuknya pahala jihad hingga hari kiamat.” [HR Abu Ya’la. lihat Shahih At Targhib 1114]

Apabila jamaah haji meninggal di kota Madinah, ia akan mendapatkan syafaat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikan hadits berikut:

لَا يَصْبِرُ أَحَدٌ عَلَى لَأْوَائِهَا فَيَمُوتَ إِلَّا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا أَوْ شَهِيدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا كَانَ مُسْلِمًا

“Tidaklah seseorang sabar terhadap kesusahannya (Madinah) kemudian dia mati, kecuali aku akan memberikan syafa’at padanya, atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat. Jika dia seorang muslim” [HR Muslim]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50575-bercita-cita-meninggal-di-tanah-suci.html

Sejarah Disyariatkannya “Raml” ketika Thawaf

Disunnahkannya raml ketika thawaf

Salah satu sunnah yang perlu diperhatikan ketika thawaf adalah melakukan “raml”. Yang dimaksud dengan raml adalah berjalan cepat dengan memendekkan langkah kaki. Sunnah ini ditujukan untuk kaum laki-laki saja. Kemudian empat putaran berikutnya diselesaikan dengan jalan biasa.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,

والرمَل ليس هو هز الكتفين كما يفعله الجهال، بل الرمَل هو المشي بقوة ونشاط، بحيث يسرع، لكن لا يمد خطوه، والغالب أن الإنسان إذا أسرع يمد خطاه لأجل أن يتقدم بعيداً، لكن في الطواف نقول: أسرع بدون أن تمد الخطا بل قارب الخطا

“Raml itu bukanlah dengan menggoyang-goyangkan pundak, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh. Akan tetapi, raml adalah berjalan dengan penuh tenaga dan semangat, yaitu jalan cepat, namun tidak dengan memanjangkan langkah (artinya, dengan langkah pendek, pent.). Pada umumnya, jika seseorang jalan cepat, dia melakukan dengan memanjangkan langkah agar bisa melangkah agak jauh (lebar). Akan tetapi ketika thawaf kami katakan, jalan cepat tanpa memperlebar langkah, namun dengan memperpendek langkah.” (Asy-Syarhul Mumti’, 7: 242)

Awal mula disyariatkannya raml

Sejarah disyariatkannya raml dapat kita pelajari dari hadits yangd iriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ إِنَّهُ يَقْدَمُ عَلَيْكُمْ وَقَدْ وَهَنَهُمْ حُمَّى يَثْرِبَ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَرْمُلُوا الْأَشْوَاطَ الثَّلَاثَةَ وَأَنْ يَمْشُوا مَا بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ وَلَمْ يَمْنَعْهُ أَنْ يَأْمُرَهُمْ أَنْ يَرْمُلُوا الْأَشْوَاطَ كُلَّهَا إِلَّا الْإِبْقَاءُ عَلَيْهِمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya datang mengunjungi Ka’bah.” Kaum Musyrikin berkata, “Dia datang kepada kalian, padahal fisik mereka telah dilemahkan oleh penyakit demam yang melanda kota Yatsrib (Madinah).”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya agar berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama dan berjalan biasa antara dua rukun (sudut). Dan tidak ada yang menghalangi beliau apabila (beliau ingin) memerintahkan mereka agar berlari-lari kecil untuk semua putaran, namun hal itu tidak lain kecuali sebagai kemurahan beliau kepada mereka.” (HR. Bukhari no. 1602)

Kejadian tersebut adalah ketika beliau melaksanakan umrah pada tahun ke tujuh hijriyah bersama-sama dengan para sahabatnya. Kaum musyrikin Makkah menyangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum adalah manusia-manusia lemah, karena selama tinggal di Madinah terkena penyakit demam (al-khuma). Penyakit al-khuma ini memang penyakit yang populer menimpa penduduk Madinah, karena teriknya sinar matahari di kota Madinah.

Maka orang-orang musyrikin Makkah pun duduk “mengintip” di sebelah kiri Ka’bah, yaitu di perbukitan di sekeliling ka’bah di arah sudut Hajar Aswad untuk melihat thawaf beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya. Orang-orang musyrikin ingin membuktikan persangkaan mereka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum adalah manusia-manusia lemah secara fisik ketika thawaf mengelilingi ka’bah.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan raml untuk membantah anggapan orang-orang musyrik Makkah tersebut.

Dalam riwayat Muslim, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ مَكَّةَ، وَقَدْ وَهَنَتْهُمْ حُمَّى يَثْرِبَ، قَالَ الْمُشْرِكُونَ: إِنَّهُ يَقْدَمُ عَلَيْكُمْ غَدًا قَوْمٌ قَدْ وَهَنَتْهُمُ الْحُمَّى، وَلَقُوا مِنْهَا شِدَّةً، فَجَلَسُوا مِمَّا يَلِي الْحِجْرَ، وَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَرْمُلُوا ثَلَاثَةَ أَشْوَاطٍ، وَيَمْشُوا مَا بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ، لِيَرَى الْمُشْرِكُونَ جَلَدَهُمْ، فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ أَنَّ الْحُمَّى قَدْ وَهَنَتْهُمْ، هَؤُلَاءِ أَجْلَدُ مِنْ كَذَا وَكَذَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya datang ke Makkah dalam keadaan lemah oleh penyakit demam (khuma) Madinah. Lalu orang-orang musyrik Makkah berkata kepada sesama mereka, “Besok, akan datang ke sini suatu kaum yang lemah karena mereka diserang penyakit demam yang memayahkan.” Karena itu, mereka duduk di dekat Hijr memperhatikan kaum muslimin thawaf.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka supaya berlari-lari kecil (raml) tiga kali putaran dan berjalan biasa empat kali putaran antara dua sujud (sudut ka’bah) agar kaum musyrikin melihat ketangkasan mereka. Maka berkatalah kaum musyrikin kepada sesama mereka, “Inikah orang-orang yang kamu katakan lemah karena sakit panas, ternyata mereka lebih kuat dari golongan ini dan itu.” (HR. Muslim no. 1266)

Dari penjelasan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma di atas, raml ketika itu hanya diperintahkan pada tiga putaran pertama saja, dan itu pun hanya dari sudut hajar aswad dan rukun Yamani saja, tidak satu putaran penuh. Hal ini karena orang-orang musyrik itu mengintip dari arah perbukitan antara rukun hajar aswad dan rukun Yamani. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 7: 242)

Setelah fathu Makkah, tetap disyariatkan raml

Dari awal mula disyariatkannya raml di atas, kita mengetahui bahwa sebab disyariatkannya adalah ejekan orang-orang musyrik Makkah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Setelah peristiwa penaklukan kota Makkah, Islam dan kaum muslimin pun berjaya, dan tidak ada lagi orang-orang musyrik di Makkah. Tentunya, ejekan dan hinaan itu tidak ada lagi. Meskipun demikian, raml tetap disyariatkan.

Oleh karena itu, ketika sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada dirinya sendiri apakah akan tetap melakukan raml, beliau pun menjawab sendiri,

شَيْءٌ صَنَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا نُحِبُّ أَنْ نَتْرُكَهُ

“Berlari-lari kecil ini adalah sesuatu sunnah yang telah dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami tidak suka bila meninggalkannya.” (HR. Bukhari no. 1605)

Dan demikianlah praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’. Beliau tetap melakukan raml, bahkan lebih dari yang dilakukan pertama kali dahulu. Jika awalnya hanya dilakukan dari rukun hajar aswad dan rukun Yamani saja, maka ketika haji Wada’, beliau melakukannya satu putaran penuh dan tiga putaran pertama, sebagaimana hadits dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan detil tatacara haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu, apakah hikmah tetap disyariatkannya raml, padahal tidak ada lagi orang-orang musyrik Makkah?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,

أن العلة وإن كانت إغاظة المشركين ولا مشركين الآن، لكن ليتذكر الإنسان أن المسلم يُطْلَبُ منه أن يغيظ المشركين، فينبغي لك أن تشعر عند الرمل في الطواف، كأن أمامك المشركين؛ لأجل أن تغيظهم؛ لأن غيظ المشركين مما يقرب إلى الله عزّ وجل ـ قال تعالى: {ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لاَ يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلاَ نَصَبٌ وَلاَ مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلاَ يَطَؤُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلاَ يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلاً إِلاَّ كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ} [التوبة: 120]

“Meskipun dulu (raml) disyariatkan untuk membangkitkan amarah orang-orang musrik dam tidak ada lagi orang-orang musyrik pada jaman sekarang (di Makkah), akan tetapi sebabnya adalah untuk mengingatkan manusia bahwa mereka diperintahkan untuk membangkitkan amarah orang-orang musyrik. Hendaknya Engkau memunculkan perasaan tersebut dalam raml ketika thawaf, seolah-olah di hadapanmu ada orang-orang musyrik, untuk membangkitkan amarah mereka. Karena membangkitkan amarah orang musyrikin termasuk dalam perkara yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Yang demikian itu ialah karena tidaklah mereka ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal salih.” (QS. At-Taubah [9]: 120)” (Asy-Syarhul Mumti’, 7: 243-244)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47970-sejarah-disyariatkannya-raml-ketika-thawaf.html