Ibadah Haji Modal Sosial Lakukan Perubahan untuk Indonesia Harmoni

Jamaah Haji dari seluruh dunia, mulai kembali ke negaranya masing-masing usai melakukan Rukun Islam yang ke-5 di Arab Saudi. Diharapkan sepulang dari Ibadah Haji, para jamaah haji dari Indonesia mampu meningkatkan keimanan dan memberikan perubahan sosial di masyarakat setelah digembleng’ secara spiritual di Tanah Suci, untuk menciptakan Indonesia yang harmoni.

Mantan Wakil Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2020-2022, Dr. Arief Subhan, M.Ag, mengungkapkan adanya budaya menarik terkait haji di Indonesia. Yakni, adanya identitas sosial yang melekat pada individu yang telah melaksanakan Ibadah Haji.

Bagi Arief, hal ini merupakan modal sosial yang dimiliki oleh para haji untuk melakukan gerakan-gerakan baik sosial keagamaan, perubahan sosial dan mengajak masyarakat untuk melakukan hal yang baik.

“Panggilan sebagai Pak Haji, itu merupakan suatu kehormatan. Kalau dihormati, kan otomatis dia punya otoritas. Dia mestinya punya ruang, punya peluang untuk mengajak masyarakat berbuat lebih baik,” ujar Arief Subhan di Jakarta, Jumat (7/7/2023).

Hal ini bukanlah hal yang tidak mungkin untuk memberikan kontribusi positif terhadap negeri, mengingat banyak para pendahulu bangsa, banyak melakukan perubahan sosial setelah menunaikan Ibadah Haji, maupun belajar agama di Mekkah, Arab Saudi.

Misalnya KH. Ahmad Dahlan, setelah pulang dari Mekkah mendirikan organisasi Muhammadiyah. Hal serupa juga dilakukan KH. Hasyim Asyari sepulang belajar dari Tanah Suci mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).

Selain itu, Peneliti pada Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengungkapkan ada tiga ajaran Islam yang penting yang terwujud dalam Ibadah Haji, yakni tauhid, egalitarianisme dan keadilan sosial.

Arief Subhan mengatakan inti dari Ibadah Haji merupakan tauhid. Di mana para jamaah mengucap takbir dan melaksanakan doa-doa haji untuk mengagungkan Allah SWT.  Tauhid memiliki makna bahwa kita betul-betul mengesakan Tuhan. Hanya percaya, hanya mengerti dan hanya menyembah kepada Allah.

“Kita hanya mengakui adanya kekuatan itu ya, hanya Tuhan Allah itu tiada lainnya. Tauhid itu ajaran yang pertama dan itulah yang pertama kali diajarkan oleh Nabi,” ucap Arief.

Ia mengungkapkan egalitarianism dalam Islamsemua berada di strata yang sama. Allah tidak memandang manusia dari sudut pandang sosial maupun materi, kecuali tingkat iman ketakwaannya. Sehingga, Islam tidak membedakan antara satu suku dengan suku yang lain.

Salah satu implikasi atau salah satu model ajaran yang egaliter dari Islam itu terwujud dalam Ibadah Haji. Dalam menunaikan Ibadah Haji, setiap individu dituntut untuk melepaskan semua atribut yang dimiliki, apakah dia orang Indonesia, apakah dia orang Arab Saudi, atau dia orang Afghanistan. Semua dianggap sama.

“Jadi dia melepaskan itu dengan hanya semata-mata menggunakan identitas yang sama (pakaian ihram),” kata Arief

Yang ketiga, lanjut Arief  adalah keadilan sosial. Islam sangat mementingkan keadilan sosial. Oleh karena itu, dalam Islam terdapat anjuran wajib dan sunnah (volunteer) dalam bersedekah. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pemerataan atau sama rasa sebagai kesatuan umat Islam.

“Kalau yang berbagi sifatnya wajib, itu zakat. Kalau yang volunteer kan infaq. Makanya itu dilakukan karena keadilan sosial itu penting dalam Islam. Dalam bagian dari perayaan haji, contoh yang sederhana, yaitu berbagi hewan daging kurban,” jelas Arief.

Menurut Arief, kesempatan haji, khususnya dalam kewajiban wukuf di Arafah, merupakan momen penting untuk para jamaah haji melakukan tafakur atau intropeksi diri. Oleh karena itu, setelah Ibadah Haji, para jamaah diharapkan menjadi haji yang mabrur, yang berarti lebih baik dari sebelumnya.

“Wukuf itu kan artinya berhenti ya. Berhenti, bertafakur, merenung tentang hidup, tentang diri, tentang apa yang bisa dilakukan dan seterusnya,” pungkas Arief.

ISLAMKAFFAH

Bea Cukai Imbau Jamaah Haji Patuhi Aturan Barang yang Boleh dan tak Boleh Dibawa Pulang

Barang-barang yang diperbolehkan dibawa yakni barang-barang keperluan diri.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengimbau jamaah haji untuk mematuhi aturan pembawaan barang penumpang yang tertera dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.04/2017. Adapun ketentuan ini harus dipatuhi para jemaah haji agar tidak ada kendala, baik saat kedatangan di Arab Saudi maupun saat kembali ke Indonesia.

Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai Kementerian Keuangan Encep Dudi Ginanjar mengatakan sebagai instansi yang bertugas dalam melakukan pelayanan dan pengawasan terhadap barang bawaan penumpang, berkomitmen untuk memberikan pelayanan dan pengawasan yang optimal kepada para jamaah haji yang berangkat dan tiba kembali di Indonesia.

“Dalam aturan tersebut dijelaskan apa saja barang yang tidak boleh dibawa keluar negeri, bagaimana aturan membawa uang ke luar negeri, apa saja barang yang boleh dibawa masuk ke Indonesia, dan fasilitas pembebasan bea masuk sampai dengan batas tertentu,” ujarnya dalam keterangan resmi, Ahad (9/7/2023).

Encep menjelaskan pemeriksaan pabean oleh Bea Cukai dilakukan secara selektif, termasuk kepada para jamaah haji. Pada saat keberangkatan, terhadap barang bawaan jemaah haji tidak dilakukan pemeriksaan fisik oleh petugas Bea Cukai.

Pemeriksaan hanya dilakukan dalam hal terdapat kecurigaan dan atas dasar informasi intelijen terkait barang-barang larangan dan pembatasan, yaitu barang yang tidak diizinkan dibawa atau boleh dibawa tetapi dengan persyaratan dan perizinan dari instansi terkait. Adapun pada saat kedatangan, terhadap jemaah haji diberlakukan ketentuan sebagaimana lazimnya penumpang udara internasional.

Pada saat kedatangan setelah selesai menjalankan ibadah haji, lanjut dia, barang-barang yang diperbolehkan dibawa yakni barang-barang keperluan diri atau bekal jamaah haji serta buah tangan selama menjalankan ibadah haji, yang bukan termasuk barang larangan atau pembatasan dengan nilai maksimal 500 dolar AS.

Atas kelebihan dari nilai tersebut, maka akan dikenakan pungutan negara berupa bea masuk dan pajak dalam rangka impor sesuai dengan ketentuan tentang barang bawaan penumpang dalam PMK 203/PMK.04/2017.

“Bea Cukai berkomitmen memberikan pelayanan yang optimal, baik pada saat keberangkatan maupun kepulangan para jamaah haji. Kami juga terus berupaya bersinergi dengan berbagai pihak untuk memastikan kelancaran pelayanan dan pengawasan di lapangan,” jelasnya.

IHRAM

Hadiah Terindah Sepulang Haji dan Umroh

Seorang jamaah haji hendaknya membawa oleh-oleh untuk keluarga.

Seorang musafir hendaknya menyiapkan hadiah bagi keluarga atau pun tetangganya setelah bepergian, terlebih sepulang haji atau umroh. Sementara hadiah terindah ketika pulang dari haji dan umrah adalah air zamzam.

Dikutip dari buku Adab-Adab Haji oleh Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani dengan penerjemah Muhammad Iqbal A Gazali, dianjurkan membawa hadiah karena menyenangkan hati dan menghilangkan permusuhan. Dianjurkan menerimanya dan memberi balasan atasnya. Dimakruhkan menolaknya tanpa alasan syari. Karena inilah Nabi ﷺ bersabda,

تهادوا تحابوا

“Hendaklah kamu saling memberi hadiah niscaya kamu saling mencintai” (HR Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 6148, al-Baihaqi dalam sunan kubra 6/169 dan dalam Syu’abul Iman no 8976, al-Bukhari Adabul Mufrad no 594, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Talkhish Khabir 3/70: Isnadnya hasan).

Hadiah adalah penyebab kecintaan di antara kaum Muslimin. Karena inilah sebagian mereka berkata: “Hadiah manusia, satu sama lain melahirkan keterkaitan di hati mereka.” Diriwayatkan bahwa salah seorang jamaah haji pulang kepada keluarganya dan tidak membawa apa-apa untuk mereka. Maka salah seorang dari mereka marah lalu membaca syair:

Jamaah haji saat ini tidak beribadah tidak membawa siwak dan tidak pula sendal darinya. Mereka datang kepada kami, maka tidak bermurah tangan dengan kayu arak. Dan tidak pula meletakkan pemberian di telapak tangan anak kami. Hadiah yang terindah adalah air zamzam karena ia penuh berkah. Nabi ﷺ bersabda tentang air zamzam,

انها مباركة انها طعام طعم

“Sesungguhnya ia penuh berkah, sesungguhnya ia adalah makanan orang yang makan dan (pengobat sakit)” (HR Muslim).

Dari Jabir radhiyallahu, ia memarfu’kannya:

ماء زمزم لما شربله

“Air zamzam untuk sesuatu yang ia niatkan” (HR Ibnu Majah).

Disebutkan bahwa, “Nabi ﷺ membawa air zamzam di bejana dan geriba (tempat air dari kulit), maka beliau ﷺ memberikan kepada yang sakit dan meminumkan mereka” (HR At Tirmidzi).

IHRAM

Ini Teknologi Terbaru Masjid Nabawi untuk Tambah Kenyamanan Jamaah

Masjid Nabawi terus berinovasi untuk menambah kenyamanan.

Madinah Region Development Authority (MDA) memperkenalkan perangkat pintar yang bekerja secara otomatis untuk menyambut jamaah dan peziarah. Alat ini akan menyebarkan aroma harum ke udara di trotoar dan jalur yang sering digunakan jamaah yang mengunjungi Masjid Nabawi.

Pihak MDA menyebut penyegar udara pintar tersebut juga ditempatkan di area tempat duduk dekat toko di sisi utara menuju masjid tersebut.

Dilansir di Riyadh Daily, Rabu (5/7/2023), sejumlah program telah disiapkan oleh insiatif Humanizing Cities dan proyek-proyek yang dilaksanakan oleh otoritas dalam rangka memberikan pelayanan bagi pengunjung Masjid Nabawi.

Langkah tersebut merupakan bagian dari upaya otoritas untuk memperbaiki lansekap kota di sekitar area masjid, sekaligus mengubahnya menjadi  lingkungan yang menarik bagi peziarah dan pengunjung.

Dalam pelaksanaan proyek baru di area pusat, sejumlah bahan yang berkontribusi untuk mengurangi suhu tinggi telah digunakan. Otoritas juga menanam pohon di sepanjang jalan, menyiapkan bangku dan area tempat duduk, serta trotoar dan jalur pejalan kaki diaspal dengan marmer yang tidak menyerap panas.

Kendaraan umum yang tidak berkepentingan tidak diperbolehkan memasuki area pusat, untuk menjaga suhu tetap sejuk. Semua rute dan jalur antara hotel di kawasan dan halaman masjid dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi pergerakan pejalan kaki.

Pada saat yang sama, 245 payung dengan kipas angin yang dapat mendinginkan ruang terbuka tersebar di alun-alun utara, selatan, dan barat masjid. Semua upaya ini dilakukan untuk menyediakan lingkungan yang sehat dan aman bagi peziarah dan pengunjung. 

IHRAM

Hukum Jamuan Makan Sepulang Haji

Jama’ah haji yang pulang dari tanah suci biasanya mengadakan acara jamuan makan (walimah) atau sejenisnya ketika mereka tiba di tanah air. Bagaimana hukum mengadakan acara ini ?

Fatwa 1

Pertanyaan:

يا شيخنا … بارك الله فيكم.. و يوجد عندنا في الأزمنة المتأخرة عقد الوليمة بمناسبة السفر للحج فهل يمكن أن نعدها من العادات المباحة؟

Ya Syaikh, di zaman ini banyak orang yang mengadakan walimah ketika kembali dari safar dalam rangka ibadah haji. Apakah acara ini termasuk kebiasaan yang dibolehkan?

Syaikh Ali Hasan Al Halabi hafizhahullah menjawab:

إذا أصبح هذا شأنا مستمرا قد يؤاخذ تاركه:فهذا لا يجوز..أما إذا فعل تارة وتارة دون مثالا ذلك النكير لمن ترك:فأرجو أن لا بأس

Jika acara ini diadakan terus-menerus, atau kadang dicela orang yang tidak mengadakannya, maka ini tidak diperbolehkan. Namun bila diadakan kadang-kadang saja dan orang yang tidak melakukannya tidak tercela, maka mudah-mudahan tidak mengapa.

Sumber: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=5532

Fatwa 2

Pertanyaan:

جرت العادة عندنا أنّ الحاجَّ إذا أراد الذهاب إلى الحجِّ صنع طعامًا ودعا الأقارب والأحباب والجيران إليه، ويفعل الشيء نفسه عند عودته، وتسمّى هذه الدعوة عندنا بقولهم: «عشاء الحاجّ»، فنرجو منكم بيانَ حكم صنع هذا الطعام، وبارك الله فيكم

Sudah menjadi kebiasaan, jika seorang ingin pergi haji ia mengadakan acara makan-makan yang mengundang kerabat, teman, serta tetangga. Ia juga mengadakan acara yang sama ketika pulang dari haji. Acara ini oleh masyarakat kami biasa disebut ‘asyaa-ul hajj. Kami mohon penjelasan dari anda tentang hukum mengadakan acara ini.

Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah menjawab:

الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد:

Segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta, juga kepada keluarganya, sahabatnya serta saudaranya seiman hingga hari kiamat. Amma ba’du.

فالطعامُ المعدُّ عند قدومِ المسافر يقال له «النقيعة»، وهو مُشتقٌّ من النَّقْعِ -وهو الغبار- لأنّ المسافر يأتي وعليه غبارُ السفر، وقد صحَّ عن النبيِّ صَلَّى الله عليه وآله وسَلَّم: «أَنَّهُ لَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً»(١)، والحديثُ يدلّ على مشروعية الدعوة عند القدوم من السفر(٢)، وقد بوّب له البخاري: «باب الطعام عند القدوم، وكان ابنُ عمرَ رضي الله عنهما يُفطِر لمن يغشاه»(٣)، أي: يغشونه للسلام عليه والتهنئة بالقدوم، قال ابن بطال في الحديث السابق: «فيه إطعام الإمام والرئيس أصحابَه عند القدوم من السفر، وهو مستحبٌّ عند السلف، ويسمَّى النقيعة، ونقل عن المهلب أن ابن عمر رضي الله عنهما كان إذا قدم من سفر أطعم من يأتيه ويفطر معهم، ويترك قضاء رمضان لأنه كان لا يصوم في السفر فإذا انتهى الطعام ابتدأ قضاء رمضان».

Acara makan-makan ketika datangnya orang yang safar disebut An Naqi’ah. Istilah An Naqi’ah dari kata dasar An Naq’u yang artinya debu. Karena orang yang safar biasanya terkena debu diperjalanan. Terdapat hadits shahih dari Nabi Shallalahu’alaihi Wasallam:

أَنَّهُ لَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً

Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam datang ke Madinah, beliau menyembelih unta atau sapi betina” (HR. Bukhari no.2923 bab Ath Tha’am Indal Qudum)

Hadits ini juga menunjukkan bahwa mengundang orang untuk mendatangi An Naqi’ah itu disyariatkan (Lihat Aunul Ma’bud, 10/211). Imam Al Bukhari membuat judul Bab “Bab jamuan ketika ada musafir yang datang, Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma biasa menjamu makan orang yang datang kepadanya” (Fathul Baari, 6/194). Maksudnya, orang-orang yang mendatangi Ibnu Umar untuk memberi salam dan menyambut kedatangannya. Ibnu Bathal menjelaskan hadits di atas: “Hadits ini dalil disyariatkannya seorang imam atau pemimpin memberi jamuan makan bagi kaumnya ketika datang dari safar. Hukumnya mustahab menurut para salaf. Acara ini disebut An Naqi’ah. Dinukil riwayat dari Muhallab bahwa Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma jika beliau datang dari safar, ia menjamu makan orang yang mendatanginya lalu makan bersama mereka. Walaupun beliau memiliki hutang puasa Ramadhan karena baru saja safar, beliau tidak mulai membayar hutang puasa tersebut hingga jamuan makan selesai”.

هذا، ومذهبُ جمهورِ الصحابة والتابعين وجوبُ الإجابة إلى سائرِ الولائم، وهي على ما ذكره القاضي عياض والنووي ثمان(٤) منها: «النقيعة»، مع اختلافهم هل الطعام يصنعه المسافرُ أم يصنعه غيرُه له؟ ومن النصِّ السابقِ والأثرِ يظهر ترجيحُ القولِ الأَوَّل.

Demikianlah hukumnya. Lalu, madzhab jumhur sahabat dan tabi’in berpendapat wajibnya memenuhi undangan untuk semua jenis jamuan makan. Al Qadhi ‘Iyadh dan An Nawawi menyebutkan ada 8 jamuan yang wajib didatangi, salah satunya An Naqi’ah (Lihat Syarah Muslim, 9/171;Tuhfatul Maudud, 127; Nailul Authar, 6/238). Namun memang para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang membuat hidangannya, apakah si musafir ataukah orang yang menyambut dia? Namun berdasarkan nash hadits di atas dan berdasarkan atsar, nampaknya pendapat yang rajih adalah pendapat pertama.

أمَّا إعدادُ الطعام قبل السفر فلا يُعلم دخوله تحت تَعداد الولائم المشروعة؛ لأنها وليمة ارتبطت بالحجّ وأضيفت إليه، و«كُلُّ مَا أُضِيفَ إِلَى حُكْمٍ شَرْعِيٍّ يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ يُصَحِّحُهُ».

Adapun mengenai jamuan makan sebelum berangkat haji, aku tidak mengetahui bahwa ini adalah jamuan yang disyariatkan. Karena hal ini dikait-kaitkan dengan haji dan kaidah mengatakan “segala sesuatu yang dikaitkan dengan sebuah hukum syar’i, butuh dalil untuk membenarkannya“.

Sumber: http://www.ferkous.com/rep/Bh27.php

Fatwa 3

Pertanyaan:

ظاهرة تنتشر في القرى خاصة بعد عودة الحجاج من مكة يعملون ولائم يسمونها ” ذبيحة للحجاج ” أو ” فرحة بالحجاج ” أو ” سلامة الحجاج ” ، وقد تكون هذه اللحوم من لحوم الأضاحي ، أو لحوم ذبائح جديدة ، ويصاحبها نوع من التبذير ، فما رأي فضيلتكم من الناحية الشرعية ، ومن الناحية الاجتماعية

Suatu hal yang sedang marak dilakukan oleh orang-orang, khususnya orang desa, ketika mereka kembali dari ibadah haji di Mekkah, mereka mengadakan jamuan makan yang dinamakan Dzabihah Lil Hujjaj atau Farhah Bil Hujjaj atau Salamatul Hujjaj. Terkadang makanannya adalah daging sembelihan biasa, terkadang daging sembelihan model baru. Dan biasanya dalam acara ini banyak pemborosan. Bagaimana pandangan anda wahai Syaikh, baik dari segi syar’i maupun dari segi sosial?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjawab:

هذا لا بأس به ، لا بأس بإكرام الحجاج عند قدومهم ؛ لأن هذا يدل على الاحتفاء بهم ، ويشجعهم أيضاً على الحج ، لكن التبذير الذي أشرت إليه والإسراف هو الذي ينهى عنه ؛ لأن الإسراف منهي عنه ، سواء بهذه المناسبة ، أو غيرها ، قال الله تبارك وتعالى : ( وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ ) الأنعام/141 ، وقال تعالى : ( إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ) الإسراء/27 ، لكن إذا كانت وليمة مناسبة ، على قدر الحاضرين ، أو تزيد قليلاً : فهذا لا بأس به من الناحية الشرعية ،

Tidak mengapa mengadakannya. Boleh melakukannya dalam rangka memuliakan para jama’ah haji ketika mereka datang, karena acara ini merupakan bentuk penyambutan bagi mereka. Selain itu dapat memacu orang untuk berhaji. Namun pemborosan, sebagaimana yang engkau ceritakan, inilah yang terlarang. Karena pemborosan itu dilarang agama, baik dalam acara seperti ini maupun dalam acara lain. Allah Ta’ala berfirman:

وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Jangan kalian berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al An’am:141)

Allah Ta’ala juga berfirman:

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

Sesungguhnya para pemboros itu saudaranya para setan” (QS. Al Isra: 27)

Bila jamuan makan ini hanya mengundang orang secukupnya atau lebih banyak sedikit, maka ini tidak mengapa (bukan pemborosan, pent.) dari segi syari’at.

ومن الناحية الاجتماعية ، وهذا لعله يكون في القرى ، أما في المدن فهو مفقود ، ونرى كثيراً من الناس يأتون من الحج ولا يقام لهم ولائم ، لكن في القرى الصغيرة هذه قد توجد ، ولا بأس به ، وأهل القرى عندهم كرم ، ولا يحب أحدهم أن يُقَصِّر على الآخر

Adapun dari segi sosial, sepertinya acara ini hanya ada di pedesaan saja, di perkotaan nampaknya sudah tidak ada lagi. Saya sudah sering melihat banyak orang datang dari haji namun mereka tidak mengadakan apa-apa. Namun di daerah pedesaan kecil memang terkadang masih kita jumpai, dan ini boleh-boleh saja. Orang pun desa memiliki keutamaan, dan tidak boleh meremehkan satu dengan yang lain.

(Liqaa Baabil Maftuh, kaset 154 pertanyaan no.12,  dikutip dari:http://www.islamqa.com/ar/ref/97879 )

Penyusun: Yulian Purnama

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/7001-hukum-jamuan-makan-sepulang-haji.html

Hadis al Hajju Arafah; Bukan Untuk Menentukan Puasa Arafah dan Idul Adha

Berikut ini penjelasan tentang hadis  al hajju arafah; bukan untuk menentukan puasa Arafah dan Idul Adha. Puasa Arafah dan Hari Raya Idul Adha merupakan 2 momen yang sangat ditunggu kaum Muslimin. Lalu apakah bisa hadis yang berbunyi haji adalah Arafah dijadikan dalil untuk menentukan pelaksanaan keduanya? 

Takhrij Hadis al Hajju Arafah

Sebelum menjawab persoalan ini, kami sajikan takhrij hadisnya secara singkat. Hadis tersebut merupakan penggalan dari kisah yang cukup panjang, banyak muhadditsin yang meriwayatkannya di kitab masing-masing. Di antaranya adalah Ibnu Majah, beliau menuliskan;

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَطَاءٍ سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ يَعْمَرَ الدِّيلِيَّ قَالَ شَهِدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ وَاقِفٌ بِعَرَفَةَ وَأَتَاهُ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ الْحَجُّ قَالَ الْحَجُّ عَرَفَةُ فَمَنْ جَاءَ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ لَيْلَةَ جَمْعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ أَيَّامُ مِنًى ثَلَاثَةٌ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَرْدَفَ رَجُلًا خَلْفَهُ فَجَعَلَ يُنَادِي بِهِنَّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا الثَّوْرِيُّ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَطَاءٍ اللَّيْثِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْمَرَ الدِّيلِيِّ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَةَ فَجَاءَهُ نَفَرٌ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ فَذَكَرَ نَحْوَهُ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى مَا أُرَ لِلثَّوْرِيِّ حَدِيثًا أَشْرَفَ مِنْهُ

“Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abu Syaibah] dan [Ali bin Muhammad], keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami [Waki’]; telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Bukair bin Atha`]; Aku mendengar [Abdurahman bin Ya’mar Ad-Dili], ia berkata;

 “Aku menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sedang wukuf di Arafah, dan sekelompok orang dari kalangan penduduk Najd mendatangi beliau, mereka bertanya; ‘Wahai Rasulullah, bagaimana (cara melaksanakan) haji? ‘ Beliau menjawab: 

“Haji itu adalah Arafah. Maka barang siapa datang ke Arafah sebelum fajar malam berkumpulnya manusia, maka telah sempurnalah ibadah haji. Hari-hari Mina itu tiga hari, barangsiapa ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tidak ada dosa baginya, dan barang siapa ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari), maka tidak ada dosa pula baginya.’ 

Kemudian seorang laki-laki di belakang beliau mengiringi ucapannya dan turut menyerukan ucapan tersebut.’ Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Yahya]; telah menceritakan kepada kami [Abdurrazak]; telah memberitakan kepada kami [Ats Tsauri] dari [Bukair bin Atha` Al Laitsi] dari [Abdurrahman bin Ya’mar Ad Dili] berkata;

Aku mendatangi Rasulullah SAW di Arafah, lalu datanglah seseorang dari penduduk Najed, lalu ia sebutkan hadits tersebut. [Muhammad bin Yahya] berkata; Aku tidak diperlihatkan dari Ats Tsauri sebuah hadits yang lebih baik dari ini.” (HR. Ibnu Majah, No. 3015)

Hadis ini juga disebutkan oleh Abu Daud  pada nomor 1949 Imam Al-Tirmidzi , pada nomor 889, Imam Al-Nasa’i,  pada nomor 3016 dan 3044, dan Imam Ahmad pada nomor 18774 dan lain-lain. 

Makna Hadis al Hajju Arafah

Menurut anotasi para komentator hadis, ini tidak tepat untuk dijadikan sebagai penentu pelaksanaan puasa Arafah dan Idul Adha. Sebab hadis tersebut berbicara terkait parameter sahnya haji, sebagaimana pesan tersurat dari teks hadis tersebut. Imam Al-Sindi ketika membahas riwayat ibnu Majah di atas menjelaskan;

قَوْلُهُ: (الْحَجُّ عَرَفَةُ) قِيلَ: التَّقْدِيرُ مُعْظَمُ الْحَجِّ وُقُوفُ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَقِيلَ: إِدْرَاكُ الْحَجِّ إِدْرَاكُهُ وُقُوفُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَالْمَقْصُودُ أَنَّ إِدْرَاكَ الْحَجِّ يَتَوَقَّفُ عَلَى إِدْرَاكِ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ، وَأَنَّ مَنْ أَدْرَكَهُ فَقَدْ أَمِنَ حَجَّهُ مِنَ الْفَوَاتِ

“Redaksi “haji adalah Arafah (Al-Hajj Arafah)” memiliki kepanjangan, yaitu keagungan ibadah Haji adalah Wukuf di padang Arafah. Atau ada yang menyatakan “Melaksanakan Haji harus dengan Berwukuf di Arafah”. Maksudnya adalah bahwa wukuf di Padang Arafah merupakan parameter keabsahan haji, sehingga barangsiapa yang telah melaksanakannya sungguh hajinya telah sah”. (Hasyiyah Al-Sindi, Juz 2 H. 239) 

Komentator lain juga menyatakan hal serupa, Muhammad Al-Majdidi Al-Hanafi menyatakan;

الْحَج عَرَفَة يَعْنِي ان الرُّكْن الْأَعْظَم لِلْحَجِّ هوالوقوف بهَا كَأَنَّهَا هِيَ الْحَج فَإِن إِدْرَاك الْحَج مَوْقُوف على إِدْرَاك الْوُقُوف بهَا حَتَّى ان من اخر الْوُقُوف بهَا حَتَّى خرج وقته فقد فَاتَهُ الْحَج بِخِلَاف سَائِر احكامه فبتأخيرها لَا يفوت الْحَج.

“Maksud dari redaksi tersebut (Al-Hajj Arafah) adalah bahwasanya rukun yang paling Agung pada ibadah haji adalah wukuf di Arafah, bahkan seakan-akan wukuf di Arafah adalah haji itu sendiri. Karena wukuf di sana merupakan penentu keabsahan ibadah haji, sehingga sesiapa yang mengakhirkan wukuf di sana hingga keluar dari waktunya maka ia telah melewatkan (batal) ibadah haji. 

Lain halnya dengan ritual yang lain (selain Wukuf), sebab dengan mengakhirkan ritual yang lain itu tidak sampai membatalkan haji”. (Syarh Sunan Ibnu Majah, H. 216) 

Selain 2 tokoh Hanafi di atas, kalangan Syafi’i juga berpandangan serupa. Misalnya Imam Al-Suyuthi yang menyatakan;

إِدْرَاكُ الْحَجِّ وُقُوفُ عَرَفَةَ فَمَنْ أَدْرَكَ لَيْلَةَ عَرَفَةَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ لَيْلَةِ جَمْعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ قَالَ الْقَاضِي أَبُو الطّيب فِي تَعْلِيقه أَي قَارب التَّمام

“Penentu keabsahan Haji adalah wukuf di Padang Arafah, maka barangsiapa yang mendapati malam Arafah sebelum munculnya fajar (pada hari raya Idul Adha) maka ia telah menyempurnakan hajinya. Al-Qadhi Abu Thayyib dalam salah satu komentarnya menyatakan bahwasanya maksudnya adalah ia telah mendekati kesempurnaan”. (Hasyiyah Al-Suyuthi, Juz 5 H. 256) 

Ibnu Allan juga menyatakan yang sama, beliau menuliskan;

قوله: (وهو معظم الحج) أي الوقوف بعرفة معظم الحج إذ بإدراكه يدرك الحج وبفواته يفوت ولذا قال – صلى الله عليه وسلم -: “الحج عرفة” قيل: وهو أفضل أركانه لتوقفه عليه ولما فيه من الفضل العظيم والشرف اليم. 

“Wukuf di Arafah merupakan ibadah yang paling Agung pada ritual haji, karena dengan melaksanakannya maka ia telah melaksanakan Haji dan barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah melewatkan ibadah haji (hajinya batal). 

Bahkan dikatakan bahwasanya paling utamanya rukun haji adalah wukuf di Arafah karena keabsahan haji disandarkan padanya dan juga dalam ritual ini terdapat kemuliaan yang agung dan keutamaan”. (Al-Futuhat Al-Rabbaniyyah ala Al-Adzkar Al-Nawawiyyah, Juz 5 H. 3) 

Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya hadis tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan hari Arafah dan hari raya Idul Adha, sebab pada dasarnya hadis tersebut berbicara terkait wajibnya wukuf di Padang Arafah. Semoga bermanfaat, Wallahu A’lam bi Al-Shawab.

BINCANG SYARIAH

Tiga Syiar Agung yang Terjadi di Mina

Jamaah haji akan bermalam di Mina saat puncak haji.

Mina merupakan salah satu syiar Allah yang diperintahkan untuk diagungkan, yang letaknya paling dekat dengan Masjidil Haram. Salah satu syiar yang dilakukan di Mina yakni menyembelih hewan kurban.

Dikutip dari buku Keutamaan Negeri Al-Haram oleh Prof. DR. Mahmud Al-Dausary, Di antara syiar-syiar agung yang terjadi di Mina adalah sebagai berikut:

1. Melontar jumrah.

2. Menyembelih hewan kurban.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنٰهَا لَكُمْ مِّنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا صَوَاۤفَّۚ فَاِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ كَذٰلِكَ سَخَّرْنٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu agar kamu bersyukur.” (al-Hajj ayat 36)

Menyembelih hewan kurban adalah simbol atas upaya untuk memotong semua suara yang menyelesihi suara kebenaran, semua jalan yang menyelisihi jalan Allah Ta’ala. Di dalamnya juga terdapat upaya untuk meninggikan perintah-perintah Allah serta mengabadikan penyebutan ayahanda kita, Ibrahim alaihissalam yang telah mencapai puncak pengorbanan hingga ia mengorbankan putra dan buah hati satu-satunya, Ismail alaihissalam, sebagai bentuk pemenuhan atas perintah Tuhannya serta ketaatan kepada kehendak Sang Khaliq-nya Subhanahu wa Ta’ala, dan menyelisihi fitrah, perasaan, rasa kebapakan, hawa nafsu dan bisikan syetan, yang boleh jadi semuanya mengajaknya untuk menyelisihi perintah Tuhannya.

3. Mencukur rambut.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Ya Allah, ampunilah orang-orang yang mencukur habis rambutnya.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan yang mencukur pendek?” Nabi pun berkata: “Ya Allah, ampunilah orang-orang yang mencukur habis rambutnya.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan yang mencukur pendek?” Nabi pun berkata: “Ya Allah, ampunilah orang-orang yang mencukur habis rambutnya.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan yang mencukur pendek?” Nabi pun berkata: “dan juga bagi orang-orang yang mencukur pendek rambutnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

IHRAM

Mengenal Maktab dan Masyariq di Armuzna

Jamaah haji sudah diberangkatkan ke Arafah.

Ratusan ribu jamaah haji Indonesia mulai Senin (26/6/2023) akan diberangkatkan secara bertahap ke Arafah untuk melaksanakan wukuf. Jamaah akan menempati tenda-tenda di 70 maktab.

Maktab adalah pihak atau lembaga yang diberi kewenangan oleh pemerintah Arab Saudi untuk mengurus dan melayani semua jemaah haji, termasuk asal Indonesia. Maktab melalui pihak perusahaan rekanan yang ditunjuk (masyariq) akan mengurusi layanan akomodasi, transportasi, termasuk juga katering jemaah haji selama di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).

Masyariq sendiri merupakan pengembangan bentuk kelembagaan dari muasasah. Sebelum 2022, penyedia layanan bagi jamaah haji Indonesia di Armuzna dikenal dengan nama Muasasah Asia Tenggara (Muasasah Janub Syarq Asia). 

Ketika itu, pelayanannya terbatas kepada negara-negara Asia Tenggara. Setelah menjadi perusahaan, namanya berubah menjadi Masyariq dan layanannya lebih luas, tidak terbatas negara Asia Tenggara tapi juga bisa untuk kawasan lainnya.

Setiap maktab berada dalam satu area yang dibagi berdasarkan nomor-nomor. Sedikitnya ada tujuh sampai delapan kelompok terbang (kloter) yang menghuni satu maktab. Dengan jumlah rata-rata jemaah tiap kloter mulai 350 hingga 400 orang, satu maktab akan diisi hingga 3.000 jamaah haji.

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Hilman Latief mengatakan, dari total kuota nasional tahun 2023 sebanyak 229.000 orang, realisasi penyerapannya mencapai 228.093 jamaah. Termasuk kuota tambahan 8.000 jamaah.

“Kuota dasar sebesar 221.000 ini terserap habis, 100 persen, baik haji reguler maupun haji khusus,” papar Hilman di Makkah, Ahad (25/6/2023).

Wukuf di Arafah merupakan rukun ibadah haji yang wajib dilakukan oleh setiap jemaah. Wukuf dilakukan mulai tergelincir matahari pada 9 Zulhijjah hingga terbit fajar pada 10 Dzulhijjah.

Kepala Bidang Perlindungan Jemaah PPIH Arab Saudi, Harun Al Rasyid menjelaskan, kedatangan jamaah ke Arafah dimulai sejak 8 Zulhijjah 1444 H atau pada Senin 26 Juni 2023. 

Dengan menggunakan bus, jamaah diberangkatkan dari masing-masing hotel mulai pukul 07.00 hingga terakhir pukul 22.00 waktu Arab Saudi. Tiba di Arafah, jamaah akan diarahkan ke masing-masing tenda sesuai maktab yang telah ditentukan.

IHRAM

Peristiwa-Peristiwa Penting di Bulan Zulhijah

Bulan Zulhijah adalah salah satu bulan mulia yang Allah ‘Azza Wajalla kabarkan dalam firman-Nya,

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauhulmahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka, janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu). Dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 36)

Bahkan, secara khusus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama menyebutkan keutamaan hari-hari pertama bulan Zulhijah dalam hadisnya,

ما من أيامٍ العملُ الصالح فيها أحبُّ إلى الله عز وجل من هذه الأيام؛ يعني أيام العشر

Tidak ada amalan yang lebih Allah cintai dibandingkan amalan yang dikerjakan di hari-hari ini, yakni 10 hari pertama Zulhijah.” (HR. Abu Dawud no. 2438)

Para ulama menyimpulkan beberapa keutamaan 10 hari pertama bulan Zulhijah, yaitu:

Pertama: Di dalamnya disyariatkan untuk berzikir kepada Allah Ta’ala.

Kedua: Allah ‘Azza Wajalla bersumpah dengan 10 hari pertama bulan Zulhijah dalam firman-Nya di surah Al-Fajr ayat 2. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullahu.

Ketiga: Di 10 hari pertama terdapat hari Arafah yang di dalamnya terdapat salah satu rukun haji yang paling penting diselenggarakan, yaitu wukuf di Arafah.

Keempat: Di dalam bulan ini terdapat syariat berkurban.

Kelima: Amalan kebaikan di bulan yang Allah muliakan akan dilipatgandakan dibanding di bulan-bulan yang lain.

Sejarah Islam mencatat banyak peristiwa penting yang terjadi di bulan Zulhijah, baik peristiwa yang telah terjadi, maupun yang sedang dan akan terjadi. Di antara peristiwa-peristiwa penting tersebut adalah:

Wukuf di Arafah

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

الحج عرفة

Inti ibadah haji adalah Arafah.” (HR. An-Nasa’i no. 3016)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjelaskan,

أنه لا بد في الحج من الوقوف بعرفة ، فمن لم يقف بعرفة فقد فاته الحج ، وليس معناه أن من وقف بعرفة لم يبق عليه شيء من أعمال الحج بالإجماع ، فإن الإنسان إذا وقف بعرفة بقي عليه من أعمال الحج كالمبيت بمزدلفة ، وطواف الإفاضة ، والسعي بين الصفا والمروة ، ورمي الجمار ، والمبيت في منى ، ولكن المعنى : أن الوقوف بعرفة لابد منه في الحج ، وإن لم يقف بعرفة فلا حج له ، ولهذا قال أهل العلم : من فاته الوقوف فاته الحج

Bahwa wukuf di Arafah adalah sebuah keharusan. Bagi mereka yang tidak mengerjakannya, maka sama halnya tidak mengerjakan ibadah haji. Namun, bukan berarti seorang yang sudah mengerjakan wukuf lantas tidak ada lagi prosesi ibadah haji secara ijma’. Masih ada ibadah lain seperti mabit di Muzdalifah, tawaf ifadhah, sa’i, melempar jamrah, dan mabit di Mina. Maksud dari hadis nabi adalah bahwa wukuf di Arafah adalah keharusan. Barang siapa yang tidak melaksanakan wukuf, maka hajinya tidak sah. Demikianlah maksud perkataan para ulama bahwa siapa saja yang meninggalkan wukuf, maka sama halnya meninggalkan ibadah haji.” (Majmu Fataawa Ibn Utsaimin, 24: 23)

Perayaan Iduladha

Iduladha merupakan salah satu dari dua hari raya yang diakui di dalam Islam. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

يا أَبَا بَكْرٍ إنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا، وَهذا عِيدُنَا.

Wahai Abu Bakr, setiap umat memiliki hari raya sendiri dan ini adalah hari raya kita.” (HR. Muslim no. 892)

Baca juga: Nabi Ibrahim Sebagai Teladan

Penyembelihan hewan kurban

Di antara peristiwa besar yang menunjukkan pengagungan terhadap syiar Islam adalah menyembelih hewan kurban. Dan ini terjadi setelah salat Iduladha. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama,

مَن ذَبَحَ قَبْلَ أنْ يُصَلِّيَ، فَلْيَذْبَحْ أُخْرَى مَكَانَهَا، ومَن لَمْ يَذْبَحْ، فَلْيَذْبَحْ باسْمِ اللَّهِ

Barangsiapa yang menyembelih kurban sebelum salat Iduladha, maka hendaknya mengulang penyembelihannya di waktunya. Dan barangsiapa yang belum sempat menyembelih, maka sembelihlah sembari mengucap ‘bismillah’.” (HR. Bukhari no. 985)

Puasa hari Arafah

Puasa di tanggal 9 Zulhijah memiliki faedah yang begitu besar. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama,

يكفر السنة الماضية والباقية

Ia menghapuskan dosa yang telah lalu maupun yang akan datang.” (HR. Muslim no. 1162)

Imam An-Nawawi rahimahullahu mengatakan, “Disunahkannya berpuasa Arafah adalah bagi mereka yang tidak sedang berada di Arafah. Adapun jemaah haji, maka menurut Imam Asy-Syafi’i dan pembesar mazhab syafi’i lain, dianjurkan untuk berbuka di hari itu berdasar hadis dari Ummul Fadhl. Bahkan dimakruhkan (berpuasa), sebagaimana terang disebutkan oleh Ad-Darimy, Al-Bandanijy, Al-Mahamily, penulis kitab Al-Muhaddzab, dan selain mereka.” (Al-Majmu’, 6: 428)

Demikian peristiwa-peristiwa penting di bulan Zulhijah yang semoga kita diberikan limpahan karunia untuk mengamalkan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama. Amin

***

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85729-peristiwa-penting-di-bulan-zulhijah.html

Mengenal Mina Jadid

Mina Jadid diqiyaskan dengan halaman atau bagian luar masjid.

Pemerintah Kerajaan Arab Saudi memperluas wilayah Mina dengan harapan menjadi solusi dari kepadatan Mina selama musim haji. Jumlah jamaah haji yang semakin banyak melalui banyak pertimbangan keselamatan jamaah tidak mungkin disatukan dalam satu wilayah.

Di padang Mina yang seluas 600 hektare, jamaah akan menginap tiga hari untuk melakukan ritual lempar jumroh. Sehingga perluasan menjadi kebutuhan tak terelakan. Saudi Gazette melaporkan, sejumlah ahli telah direkrut untuk mengkaji kekurangan layanan bagi tamu Allah. Salah satu kajiannya adalah perluasan ini.

Kasi Bimbingan Ibadah Daerah Kerja (Daker Madinah) Yendra Al Hamidy menjelaskan lokasi perluasan Mina biasa disebut di Arab Saudi dengan istilah tausi’ul Mina, disebabkan karena lokasi Mina yang aslinya sudah penuh ditempati jamaah haji dari berbagai negara di dunia.

“Meskipun demikian, lokasi Mina Jadid itu masih berurutan, masih menyambung dengan jamaah haji lainnya yang berada di lokasi Mina awal,” kata dia, Sabtu (24/6/2023).

Ihwal keabsahan jamaah haji mabit di wilayah perluasan Mina atau Mina Jadid. Menurutnya, itu merupakan pendapat ulama.

“Terkait keabsahan mabit di Mina Jadid itu sudah merupakan pendapat ulama Saudi, Syaikh Muhammad bin Baz,” kata Yendra, sapaan Yendra Al Hamidy.

“Itu yang sampai kita survei kemarin itu, di bidayatul Mina sampai Mina sudah penuh kondisinya. Kemudian (wilayah Mina) disambungkan di belakangnya,” kata Yendra.

Dari aspek fikihnya, ia menqiyaskan Mina Jadid dengan halaman atau bagian luar masjid yang dipergunakan untuk sholat jamaah ketika bagian dalam masjid sudah penuh oleh jamaah lain.

“Kemudian diqiyaskan (oleh ulama Saudi) bahwa apabila seseorang berjamaah di masjid kemudian penuh, maka boleh seseorang itu menyambung shafnya di halaman masjid, bahkan keluar masjid, yang penting jamaah itu menyambung dengan jamaah yang ada di dalam masjid,” ujar Yendra.

Qiyas sendiri yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu yang belum ada ketentuannya dan didasarkan pada sesuatu yang sudah ada ketentuannya. Dalam konteks ini, ketetapan dan dasar hukum Mina Jadid sama dengan halaman atau bagian luar masjid.

IHRAM