Fenomena kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dengan pengaruh budaya patriarki yang masih melekat di tengah masyarakat. Suami tak segan bertindak keras pada istri di antaranya karena pemahaman agama yang sudah tidak relevan untuk saat ini. Anehnya, para remaja yang masih pacaran sudah berani bertindak keras kepada pasangannya padahal tidak memiliki ikatan sah baik secara Agama maupun Negara. Melihat fakta yang ada perlu untuk menamkan lebih dalam lagi nilai-nilai membangun rumah tangga khususnya bagi laki-laki yang ringan tangan dan para remaja untuk pegangan di kemudian hari.
Dalam Surah An-Nisa ayat 34 Allah swt. Berfirman;
“… perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan nusyuz hendaklah beri nasehat (jika tetap) tinggalkan mereka (pisah ranjang) dan pukullah mereka (kalau terpaksa melakukan). Tapi jika mereka menaatimu maka janganlah mencari-cari kesalahannya untuk menyusahkannya. Sungguh Allah Maha Tinggi dan Maha Besar.” [Q.S. An-Nisa, 34]
Fakhrudin Al-Razi saat menginterpretasi ayat di atas dalam kitabnya [Mafatihu Al-Ghaib:72/10] mengatakan bahwa tujuan dari penyebutan sifat Allah (Maha Tinggi dan Maha Besar) untuk mendidik kepada suami agar tidak memperlakukan istrinya sewena-wena. Lebih lanjut, Fakhrudin Al-Razi mengatakan;
. وَذِكْرُ هَاتَيْنِ الصِّفَتَيْنِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ فِي غَايَةِ الْحُسْنِ
“Adapun penyebutan dua sifat Allah ini (Maha Tinggi dan Maha Besar) pada tempat ini (memiliki nilai) dalam puncak kebaikan.”
Nilai-nilai tersebut. Pertama, ketika istri-istri itu tidak mampu menolak kezaliman suami maka bagi suami janganlah terpedaya untuk merasa lebih tinggi derajatnya dan lebih kuat tangannya karena Allah swt. itu Maha Agung, pemaksa dan kuasa masih mengasihi para istri dan memenuhi hak-haknya.
Kedua, bagi para suami janganlah mencari-cari kesalahan istri karena kekuatan tangan yang dimiliki ketika istri sedang berbaik hati (ta’at) karena sesungguhnya Allah swt. lebih tinggi dari pada para suami dan Allah lebih besar kekuasaannya namun Allah tetap mengangunggkan wanita dengan tidak memberatkan kecuali dengan benar.
Ketiga, Allah swt beserta sifat kebesaran dan ketinggiannya tidak pernah memberatkan kalian, para suami kecuali sekedar apa yang dimampui oleh kalian. Maka, seharusnya engkaupun demikian kepada istri-istri mu yang katanya kau cintai dan diikrarkan dalam perjanjian yang sakral (akad nikah) karena sesungguhnya mereka secara fisik tidak sekuat kalian.
Keempat, Allah swt dengan segala keluhuran dan kebesarannya tidak ernah menyiksa orang-orang yang melakukan maksiat sekeji apapun bila bertaubat bahkan Allah akan mengampuninya. Oleh karena itu, ketika istri-istrimu sedang berbaik hati (tidak nuzuz) setelah membangkang maka seharusnya engkau lebih menerima kepada sikap-sikap mereka. Janganlah kalian menghukum apa lagi menyiksanya.
Kelima, Allah swt. Dengan segala keluhurun dan kebesarannya tetap mencukupkan dengan yang nampak-nampak saja dan tidak mencari-cari kepada kesalahan yang tersembunyi maka seharusnya para suami lebih mencukupkan lagi dengan kondisi luarnya istrimu. Janganlah engkau mencari-cari kesalahan yang berada dalam hatinya yang tersimpan baik berupa cinta kasih apa lagi kemurkaannya kecuali engkau akan bersikap lemah lembut kepadanya.
Dalam panggung sejarah tidak ada yang seganas Sayyidina Umar bin Khattab bahkan beliau juga memiliki kedudukan paling tinggi dikalangan umat islam, orang nomor satu sebagai khalifah Al-Rasyidin ke dua setelah Abu Bakar. Akan tetapi, beliau tetap berlaku baik kepada istrinya. Dalam kitab ‘Uqudul Al-Lujain Fi Huququ Al-Zaujain, karangan Syeh Nawawi Al-Bantani, pada bab-bab awal memaparkan bagaimana interkasi Sayyidina Umar kepada istrinya, yang juga dikutip oleh Syeh Sulaiman Al-Bujairami dalam kitab Hasyiah AlBujairami [441/3].
Diceritakan bahwa seorang suami datang kepada Umar bin Khattab ingin mengadukan keburukan istrinya. Setelah sampai ke rumahnya Umar, ia berdiri di pintu sambil lalu menanti Umar yang sedang ditunggu. tiba-tiba lelaki itu mendengar suara istrinya Umar sedang mengomeli sang Khalifah sementara beliau hanya berdiam tidak melawan. Maka pulanglah lelaki tersebut sambi bergumam, “jika kondisi Amirul Mukminin, Umar bin Khattab saja begitu (diomeli) lantas kondisi ku bagaimana yang Cuma rakyat biasa?”. Umar keluar rumah dan melihat lelaki itu, dipanggillah ia menghadap Umar khawatir ada urusan penting soal Agama dan administrasi Negara. Lalu Umar bertanya, “ada kebutuhan apa wahai saudaraku?”
lelaki itu menceritakan gerangan apa yang ingin diadukan. Setelah mendengar cerita itu, Umar pun memberi nasehat kepada sang suami, “aku menerima segala erlakuan buruk istriku karena dia telah menyiapkan makananku, menyediakan sarapanku, mencucikan bajuku dan menyusui anakku padahal itu bukan kewajibannya. Hati kupun aman dari hal-hal haram karena-nya. karena hal tersebut maka aku harus menerima perlakuan buruknya”. Mendegar nasihat itu, lelaki itu berkata, “ya… Amirul Mukminin istriku sama dengan istrimu”. Maka terimalah wahai saudaraku, hal itu tidak akan berlangsung lama! Teladanilah!