Pesantren Dinilai Belum Manfaatkan Jasa Perbankan Syariah

Kementerian Agama mengharapkan kalangan pondok pesantren (ponpes) dapat memanfaatkan jasa perbankan dalam upaya mendukung pemberdayaan ekonomi umat serta mendorong kemandirian ponpes itu sendiri.

“Kita harapkan pesantren tidak tabu berhubungan dengan bank karena sudah ada perbankan syariah, bahkan produk dan jasa perbankan syariah perlu dimanfaatkan secara optimal,” kata Kasubdit Pendidikan Pesantren Kemenag Dr Ainur Rofiq di Jakarta, Selasa Malam.

Ainur mengemukakan keterangan tersebut pada pembukaan pendidikan keterampilan ponpes, advokasi peningkata kualitas Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB), dan review kinerja Panitia Pusat Perkemahan Pramuka Santri Nusantara (PPSN).

Berbicara mewakili Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag Dr H Mohsen, Kasubdit Pendidikan Pesantren mengemukakan, sampai sejauh ini belum banyak pengelola ponpes yang berani berhubungan dengan perbankan.

Ia menjelaskan, jasa dan produk perbankan syariah dapat dimanfaatkan untuk membantu kemandirian ponpes dan meningkatkan pemberdayaan ekonomi umat, apalagi sejumlah ponpes memiliki aset yang tidak sedikit.

Menurut Ainur, Kemenag siap memfasilitasi dengan menghubungkan ponpes dengan pihak perbankan syariah. Dalam kaitan dengan pengembangan kemandirian ponpes pula Kemenag sudah menandatangani nota kesepahaman dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

“Kemenag juga sudah menandatangani kerjasama dengan enam kementerian dalam upaya membantu kemandirian pondok pesantren dan pembedayaan ekonomi umat,” katanya.

Ia menambahkan, Kemenag saat ini tengah melakukan pemetaan pondok-pondok pesantren guna mengetahui potensi masing-masing ponpes tersebut. Sejauh ini ada ponpes yang memiliki potensi kemaritiman, kehutanan, pertanian, perikanan, dan potensi ekonomi lainnya.

Di Indonesia saat terdapat sekitar 29.000 ponpes besar dan kecil. Dengan mengetahui potensi masing-masing, Kemenag akan bisa memberikan bantuan bagi pengembangan ponpes secara lebih terarah, demikian Dr Ainur.

Jamaah Dilarang Ziarah ke Jeddah

Oleh: EH Ismail dari Tanah Suci

JEDDAH — Jamaah haji Indonesia dilarang melakukan ziarah ke Jeddah, Arab Saudi. Larangan tersebut sudah diberitahukan Muassasah Adilla, lembaga bentukan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang berwenang mengurus penyelenggaraan haji di Tanah Suci kepada pemerintah melalui Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi.

Konsuler Jenderal RI di Jeddah, Dharmakirty Syailendra Putra, mengatakan, Muassasah Adilla menetapkan Jeddah bukan merupakan bagian dari kota peribadahan haji. “Karenanya, mereka melarang jamaah haji berziarah ke sini,” kata Dharmakitry di Jeddah, Senin (7/9).

Dharmakitry sangat mendukung kebijakan tersebut. Alasannya, kebiasaan jamaah haji berziarah ke Jeddah akan menimbulkan berbagai dampak yang bisa merugikan jamaah.

Selain harus mengeluarkan uang tambahan untuk menyewa bus ke Jeddah, jamaah juga rentan tersesat, kehilangan barang, dan tertimpa tindak kejahatan lainnya.

Apalagi, mulai tahun ini sudah tidak ada lagi hotel transit di Jeddah sebagaimana disediakan bagi jamaah haji Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya.

Artinya, pemerintah tidak memberikan tempat dan waktu khusus bagi jamaah haji Tanah Air berada di Jeddah. “Kecuali di bandara saat kedatangan dan kepulangan,” kata Dharmakitry.

Bagi jamaah atau Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang tetap nekat membawa rombongannya ke Jeddah, Dharmakitry menyarankan agar pemerintah memberikan sanksi yang tegas terhadap KBIH tersebut. Kalau perlu, sanksi berupa pencabutan izin operasi KBIH lantaran melakukan tindakan yang berbahaya bagi jamaah haji.

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Abdul Djamil membenarkan adanya surat larangan jamaah haji bepergian ke Jeddah. Surat yang datang dari Muassasah Adilla tersebut juga menerangkan konsekuensi yang bisa menimpa jamaah apabila berziarah ke Jeddah.

“Jamaah tidak diperkenankan keluyuran di Jeddah, kalau nekat khawatir langsung ditangkap petugas keamanan Arab Saudi,” kata Djamil. Dia menjelaskan, tahun ini pemerintah membagi kedatangan dan kepulangan jamaah haji melalui dua kota.

 

sumber: Republika Online

‘Mewukufkan’ Ketauhidan Allah dalam Hati

Wukuf di Padang Arafah menjadi aktivitas puncak dalam ritual ibadah haji. Seluruh jamaah haji wajib melakukan wukuf atau berdiam di Padang Arafah dalam kondisi apa pun.

Namun, apa itu wukuf?
Guru Besar Ilmu Quran dan Tafsir UIN Sunan Ampel, Surabaya, Aswadi mengatakan, jamaah perlu memaknai wukuf dalam prosesi ibadah haji. “Mengapa sih di Arafah? Apa yang dilakukan di Arafah? Apa itu wukuf?” kata dia, kepada jamaah haji yang tinggal di Pemondokan 208, Sektor 2, Mahbas Jin, Makkah, seperti dilaporkan wartawan Republika, Ratna Puspita, Selasa (8/9)

Secara harafiah, wukuf berarti berdiam diri atau berhenti. Namun, menurut Aswadi, pemahaman wukuf jangan terbatas pada berdiam diri di Arafah. Jamaah perlu mencamkan dalam diri bahwa wukuf di Arafah untuk mendapatkan ma’rifat atau pengertian yang maksimal.

Untuk mendapatkan pengertian yang maksimal, jamaah perlu mewukufkan ketauhidan dan iman kepada Allah Swt dalam hatinya. Setelah mewukufkan ketauhidan dan iman kepada Allah SWT, jamaah dapat mengembangkan agar menjadi pengajaran dalam kehidupannya.

Aswadi menerangkan makna wukuf di Padang Arafah harus dapat dikembangkan ketika jamaah berada di tanah air. Lalu, makna itu ditularkan sehingga jamaah dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat itu harus dikembangkan.

“Bukan berarti wukuf di sana lalu itu hanya berada di sana. Wukuf itu iman dan takwa berada di dalam hatinya menjadi pedoman sehingga dalam kehidupannya dapat menjadi kebaikan bagi masyarakat,” kata Aswadi.

Wukuf di padang Arafah merupakan salah satu rukun haji. Jika prosesi ini tidak dilakukan maka tidak sah ibadah haji seorang jamaah. Jika jamaah sakit maka dia harus disafariwukufkan. Apabila dia meninggal dunia sebelum sempat melaksanakan wukuf di Arafah maka dia harus dibadalhajikan. Ritual ini dilakukan mulai dari tergelincirnya matahari pada 9 Dzulhijjah.

Ikhlas

Prosesi setelah wukuf, yaitu mabit atau bermalam di Mudzalifah. Dari Mudzalifah, jamaah bergerak ke Mina untuk bermalam dan melontar jumrah. Aswadi menerangkan makna melontar jamrah aqabah adalah jamaah siap meninggalkan keburukan, dosa, dan noda. “Kita lempar sampai tujuh kali, itu adalah lapisan sistem kemanusiaan, sampai ruhnya terkena,” kata dia.

Aswadi mengatakan prosesi melontar jamrah jangan disertai dengan kebencian, kecongkakan, dan kebohongan. “Doa melontar itu dengan ridho Allah Swt,” kata dia. Dia menambahkan melontar disertai hati senang dan ikhlas untuk melepaskan segala yang buruk.

Setelah tahalul, Aswadi mengatakan, tidak berarti jamaah bebas melakukan hal yang buruk. Sebaliknya, jamaah harus meneruskan melakukan perbuatan positif dan menghindari hal-hal buruk.

 

sumber: Republika Online

Hukum Berdoa Ketika Haid

Bolehkah berdoa ketika haid? Bagaimana caranya?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Tidak semua ibadah dilarang ketika haid. Wanita haid hanya dilarang melakukan ibadah tertentu.

Dalam Fatwa Islam disebutkan beberapa daftar ibadah yang dilarang untuk dikerjakan ketika haid,

الحائض تفعل جميع العبادات إلا الصلاة والصيام والطواف بالكعبة والاعتكاف في المسجد

“Wanita haid boleh melakukan semua bentuk ibadah, kecuali shalat, puasa, tawaf di ka’bah, dan i’tikaf di masjid.” (Fatwa Islam no. 26753)

Boleh Membaca Dzikir ketika Junub

Ibnul Mundzir mengatakan,

روينا عن ابن عباس أنه كانَ يقرأ وِرْدهُ وهو جنب ، ورخّص عكرمة وابن المسيب في قراءته

“Kami mendapatkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau membaca wiridnya ketika junub. Ikrimah dan Ibnul Musayib memberi keringanan untuk membaca wirid ketika junub.” (HR. Ibnul Mundzir dalam al-Ausath, 2/98).

Boleh Berdoa Ketika Haid

Berdoa termasuk dzikir. Sebagaimana layaknya orang junub boleh berdzikir, maka wanita haid lebih ringan kondisinya. Mereka boleh berdzikir.

Karena itu, wanita haid boleh berdzikir.

Imam Ibnu Baz pernah ditanya tentang hukum membaca doa ketika haji bagi wanita haid. Jawaban beliau,

لا حرج أن تقرأ الحائض والنفساء الأدعية المكتوبة في مناسك الحج

“Tidak masalah, wanita haid atau nifas untuk membaca doa-doa dalam buku ketika manasik haji.” (Fatawa Islamiyah, 1/239)

Mengenai tata carannya, sama persis seperti cara berdoa pada umumnya. Memperhatikan adab-adab yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar doanya lebih mustajab. Misalnya dengan diawali dengan memuji Allah, kemudian bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selengkapnya bisa anda pelajari di: 13 Adab Dalam Berdoa

Allahu a’lam

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Menuduh Orang Lain Telah Riya

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan hukum di dunia berdasarkan atas sesuatu yang tersembunyi, akan tetapi berdasarkan atas apa yang terlihat oleh mata

Dorongan untuk menghentikan setiap kemungkaran terkadang membuat seseorang lupa akan kadar kemampuan yang sudah Allah patenkan kepada hamba-Nya perihal yang ghaib, atau tersembunyi. Pun dalam mengorek informasi ghaib dalam hati manusia, yang itu bukan kapasitasnya sebagai hamba. Jika demikian saja tidak mampu, lantas bagaimana dia hendak membongkarnya?

Sebuah pitutur nabawi patut direnungkan dalam-dalam:

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده…

Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaknya ia ubah dengan tangannya…” (HR. Muslim).

Sabda nabawi di atas sangat jelas memberikan informasi bahwa dalam menindak sebuah kemungkaran sangat bergantung kepada ru’yah atau apa yang disaksikan langsung oleh mata. Karenanya, apabila sebuah kemaksiatan tidak terlihat oleh mata alias tidak seorang pun dari kita menyaksikan sendiri, maka tidak layak baginya untuk memaksakan diri menindak perkara tersebut. Berangkat dari sini lah, tidak seorang pun berhak memvonis orang lain atas perkara-perkara maksiat yang ada di dalam hati, seperti riya’, hasad, sombong, dan semisalnya, karena ia tak terlihat oleh mata.

Tidak dipungkiri, dalam pergaulan, orang yang paling dekat adalah yang paling tahu kepribadian sahabatnya. Kebersamaan membuatnya mengenal betul karakter seseorang dari kode-kode maupun gerak-geriknya. Persinggungan sehari-hari antara seseorang dengan sahabatnya, tetangganya, rekan kerjanya, maupun pertemanan di dunia maya membuat seseorang semakin mengenal kepribadian saudaranya.

Pertanyaannya, apakah semua itu cukup untuk menjadi garansi bahwa seseorang sangat tahu apalagi selalu tahu apa yang ada dalam hati saudaranya? Dengan berdalih menolak kemaksiatan hati, sebagian orang tidak merasa bersalah bersikap merendahkan, dan berusaha menghentikan saudaranya mengerjakan amal kebaikan lantaran ia dianggap hanya cari muka saja atau riya’. Bolehkah sikap yang demikian?

Menarik untuk disimak tanggapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang to the point menyatakan kekeliruan sikap tersebut. Dalam Majmu Fatawa jilid 23, 173-176, beliau melansir empat argumen yang poin-poinnya sebagai berikut:

Pertama, bahwasanya sebuah amal ibadah tidak boleh dicegah hanya karena khawatir terjatuh ke dalam riya’, ia tetap lah amal yang disyari’atkan dan menuntut pelakunya untuk menjaga keikhlasan. Manakala kita melihat orang lain mengerjakan amal tersebut, maka cukup kita amini dia telah mengerjakannya, meskipun kita yakin dia melakukannya karena riya’.

Tahukah Anda, bagaimana sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatterhadap kaum munafikin yang sifat buruk mereka sudah terabadikan dalam Al Quran:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا

Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit.” (An Nisa: 142).

Beliau beserta para sahabat membiarkan mereka tetap menampakkan ibadahnya, meskipun sejatinya mereka melakukan semua itu atas dasar riya’ semata. Itulah sebabnya mereka tidak dilarang untuk beribadah, karena mafsadah yang timbul jika mereka meninggalkan ibadah yang sifatnya lahiriyah lebih besar ketimbang mafsadahnya mereka mengerjakan ibadah atas dasar riya’, seperti halnya mafsadah akibat menyembunyikan keimanan dan tidak menampakkan shalat lima waktu lebih besar daripada mafsadahnya melakukan dua amal tadi secara riya’.

Kedua, bahwasanya kemaksiatan yang boleh ditindak hanyalah yang ditampakkan saja dan demikian lah syari’at menyikapi. Sang Nabi bersabda:

إني لم أومر أن أنقب عن قلوب الناس ولا أشق بطونهم

Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk membelah dada manusia, tidak pula membedah perutnya.” (HR. Bukhari).

Dalam hal ini Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu punya satu kaidah, “Barangsiapa secara lahir berlaku baik kepada kami maka kita cintai, dan kita berikan loyalitas kepadanya, meskipun yang ada dalam hatinya tidak sama. Dan barangsiapa yang secara lahir berlaku buruk kepada kami maka kami membencinya, meskipun ia mengaku-ngaku hatinya baik.”

Ketiga, jika sikap seperti ini dibiarkan, justru akan memberi kesempatan kepada orang-orang fajir dan musyrik untuk mengejek orang-orang shalih tatkala mengerjakan amal ibadah secara terang-terangan dengan menyebut “paling cuma mau pamer”, sehingga orang-orang yang sangat menjaga keikhlasan mulai enggan menampakkan perkara-perkara yang baik agar terhindar dari celaan buruk tersebut.

Dampak negatifnya, kebaikan semakin sepi, sementara orang-orang jahat semakin berani memamerkan perilaku buruknya, dan tak seorang pun berani menentang mereka. Inilah salah satu mafsadah paling besar efek dari sikap di atas.

Keempat, sikap seperti ini termasuk syi’arnya orang munafik. Allah Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لا يَجِدُونَ إِلا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

(Orang-orang munafik) yaitu mereka yang mencela orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan mereka akan mendapat azab yang pedih.” (al-Taubah: 79).

Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyemangati para sahabat untuk menginfakkan hartanya di jalan Allah menjelang perang Tabuk, ada di antara para sahabat datang menenteng bundelan besar berisi kepingan uang yang saking beratnya hampir-hampir tangannya tak kuasa menahan, lalu serta merta orang-orang munafik menyeletuk, “dasar mau pamer”. Kemudian sebagian lain datang menyumbang berbagai kebutuhan logistik, lagi-lagi mereka pun berkomentar, “Allah itu Maha Kaya, tidak butuh bantuan macam itu”.

Secara ringkas cukup kita yakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan hukum di dunia berdasarkan atas sesuatu yang tersembunyi, akan tetapi berdasarkan atas apa yang terlihat oleh mata. Adapun yang tidak terlihat, maka ia sudah terwakili dengan yang terlihat.

Selanjutnya kita sadari bersama bahwa dengan tidak adanya kewenangan seseorang untuk menindak maksiat-maksiat hati, maka otomatis tugas itu menjadi tanggungjawab setiap pribadi untuk memperbaiki kondisi hatinya. Bagi setiap jiwa yang merasa hatinya terjangkit maksiat hati agar segera memeriksanya dan mencarikan obat penawarnya.

Tak lupa pula kita renungkan bahwa dalam perjalanan hidup ini banyak aral yang melintang. Jika kita terlalu disibukkan untuk mencari-cari hal semacam itu, habislah waktu kita. Lain halnya jika tiba-tiba ada aral di depan kita, maka wajib kita singkirkan.

Sebelum kita akhiri, kami ingin berbagi oleh-oleh untuk kita dari Ibnul Qayyim terkait topik yang sedang kita bicarakan, di mana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun turut mengapresiasi muridnya tersebut. “Aku pernah bertanya perihal ini (was-was dengan penyakit hati, -pent) kepada beberapa guruku, maka salah seorang dari mereka menjawab, “Perumpamaan penyakit-penyakit hati itu seperti ular dan kalajengking yang bertebaran di sekitar para pengguna jalan. Jika ia sibuk memeriksa setiap jengkal dari jalan yang ia lalui, lalu membunuhnya satu-persatu, maka ia tak akan pernah sampai tujuan. Oleh karena itu, jadikan lah perjalananmu itu sebagai target utama, dan palingkan wajahmu dari mengurusi hal-hal seperti itu. Akan tetapi, bila suatu waktu keduanya tiba-tiba menghalangi jalanmu, baru lah saat itu Kau bunuh, lalu lanjutkan lagi perjalanmu.”

Jika mengurusi perkara hati diri sendiri saja cukup menyita waktu, lantas bagaimana seseorang masih sempat menyibukkan dirinya dengan perkara hati orang lain?

(Disarikan dari kitab ‘Amalul Qalbi Al Faridhah Al Ghaibah)
Ditulis di Asrama Kampus Islamic University, Saudi Arabia, pada hari Jum’at, 20 Dzulqa’dah 1436.

***

Penulis: Ganang Prihatmoko

Artikel Muslim.or.id

Menyembelih di Hari Tasyrik Terakhir (13 Dzulhijjah), Tidak Sah?

Bolehkah menyembelih di hari tasyrik terakhir, yaitu tanggal 13 Dzulhijjah? Saya pernah dengar itu tidak sah. Apa benar?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du

Ulama berbeda pendapat tentang batas akhir waktu penyembelihan qurban. Ada dua pendapat dalam hal ini,

Pertama, waktu penyembeihan qurban hanya 3 hari, hari idul adha (10 Dzulhijjah) dan dua hari tasyrik setelahnya (11 & 12 Dzulhijjah). Ini adalah pendapat mayoritas ulama, diantaranya Hanafiyah, Malikiyah, dan hambali. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, ad-Durar as-Saniyah, 2/351).

as-Sarkhasi – ulama Hanafiyah – (w. 483 H) mengatakan,

ثُمَّ يَخْتَصُّ جَوَازُ الْأَدَاءِ بِأَيَّامِ النَّحْرِ وَهِيَ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ عِنْدَنَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَيَّامُ النَّحْرِ ثَلَاثَةٌ أَفْضَلُهَا أَوَّلُهَا. فَإِذَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ مِنْ الْيَوْمِ الثَّالِثِ لَمْ تَجُزْ التَّضْحِيَةُ بَعْدَ ذَلِكَ

Menyembelih qurban hanya dibolehkan khusus pada rentang batas hari penyembelihan, yaitu 3 hari, menurut pendapat kami (Hanafiyah). Dalam hadis dinyatakan, ‘Hari penyembelihan ada 3 hari. Yang paling ulama adalah pada hari qurban.’ Apabila matahari telah tenggelam di hari ketika (12 Dzulhijjah) maka tidak boleh lagi menyembelih. (al-Mabsuth, 14/169).

Keterangan lain disampaikan Ibnu Qudamah,

وقت نحر الأضحية والهدي ثلاثة أيام يوم النحر ويومان بعده نص عليه أحمد

“Waktu penyembelihan qurban dan hadyu (penyembelihan di Mekah) adalah 3 hari. Hari qurban (10 Dzulhijjah) dan dua hari setelahnya (11 & 12 Dzulhijjah). Ini ditegaskan oleh Imam Ahmad.” (al-Mughni, 3/462).

Diantara dalil pedapat pertama,

Dalil pertama, larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyisakan daging qurban lebih dari 3 hari. Larangan ini pernah beliau sampaikan, ketika daerah di sekitar Madinah mengalami kekurangan bahan makanan. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ تُؤْكَلَ لُحُومُ الأَضَاحِى بَعْدَ ثَلاَثٍ. قَالَ سَالِمٌ فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ لاَ يَأْكُلُ لُحُومَ الأَضَاحِىِّ فَوْقَ ثَلاَثٍ

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan daging qurban lebih dari 3 hari. Kata Salim (putra Ibnu Umar), ‘Ibnu Umar tidak pernah makan daging qurban lebih dari 3 hari.’ (HR. Ahmad 5013, Muslim 5214, Nasai 4423 dan yang lainnya).

Dalam riwayat lain, dari Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu, Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebab larangan ini,

« مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَفِى بَيْتِهِ مِنْهُ شَىْءٌ » . فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِى قَالَ « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا »

”Barangsiapa di antara kalian berqurban, maka janganlah ada daging qurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga.” Ketika datang tahun berikutnya, para sahabat mengatakan, ”Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau menjawab, ”(Adapun sekarang), makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami paceklik sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari 5569 dan Muslim 1974).

Yang dipahami para ulama dari hadis ini, bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengizinkan makan daging qurban selama 3 hari (10, 11, dan 12 Dzulhijjah) menunjukkan bahwa hari keempat (13 Dzulhijjah) bukan hari penyembelihan. Andai tanggal 13 Dzulhijjah adalah hari penyembelihan qurban, tentu beliau tidak akan memberikan batas sampai tanggal 12 Dzulhijjah.

Kemudian larangan ini dihapus oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan alasan bahwa tahun itu terjadi musim kurang makanan. Kemudian beliau izinkan untuk menyimpan daging qurban.

Ibnu Qudamah menjelaskan alasan pendapatnya,

ولنا أن النبي صلى الله عليه و سلم نهى عن الأكل من النسك فوق ثلاث وغير جائز أن يكون الذبح مشروعا في وقت يحرم فيه الأكل ثم نسخ تحريم الأكل وبقي وقت الذبح بحاله ولأن اليوم الرابع لا يجب فيه الرمي فلم يجز فيه الذبح كالذي بعد

Kami (hambali) memiliki dalil bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan qurban lebih dari 3 hari. Dan tidak mungkin dibolehkan menyembelih qurban di hari larangan makan daging qurban (13 Dzulhijjah). Kemudian larangan makan ini dihapus, sementara waktu penyembelihan masih tetap seperti semula. Disamping itu, padda hari keempat (13 Dzulhijjah) bukan waktu wajib melempar jumrah, sehingga ketika itu tidak boleh menyembelih sebagaimana hari sebelumnya. (al-Mughni, 3/462, Simak juga Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, volume 4, hlm. 201).

Dalil kedua, terdapat beberapa riwayat dari para sahabat bahwa mereka membatasi hari penyembelihan hanya sampai hari tasyrik kedua (12 Dzulhijjah). Diantaranya Umar, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhum. Dan semacam ini tidak mungkin mereka sampaikan tanpa bimbingan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, ad-Durar as-Saniyah, 2/351).

Ibnu Qudamah menukil keterangan Imam Ahmad,

وقال : هو عن غير واحد من أصحاب الرسول الله صلى الله عليه و سلم ورواه الأثرم عن ابن عمر وابن عباس وبه قال مالك و الثوري و الأوزاعي و الشافعي و ابن المنذر

Imam Ahmad mengatakan, pendapat ini diriwayatkan lebih dari satu sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Atsram meriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, at-Tsauri, al-Auza’i, as-Syafi’i, dan Ibnul Mundzir. (al-Mughni, 3/462).

Kedua, waktu penyembelihan qurban ada 4 hari

Dimulai sejak hari qurban (10 Dzulhijjah), hingga akhir hari tasyriq ketiga (13 Dzulhijjah). Ini merupakan pendapat Syafiiyah dan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali dan  yang dinilai kuat oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyim, as-Syaukani, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, ad-Durar as-Saniyah, 2/351).

Imam an-Nawawi mengatakan,

وأما آخر وقتها فاتفقت نصوص الشافعي والاصحاب على أنه يخرج وقتها بغروب شمس اليوم الثالث من أيام التشريق واتفقوا على أنه يجوز ذبحها في هذا الزمان ليلا ونهارا

Akhir waktu penyembelihan, keterangan Imam as-Syafii sama dengan keterangan para ulama syafiiyah bahwa batas waktu penyembelihan sampai terbenam matahari di hari tasyriq ketiga (13 Dzulhijjah). Mereka sepakat, boleh menyembelih qurban di selama rentang waktu ini, siang maupun malam. (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8/388).

Dalam al-Fatawa al-Kubro, Syaikhul Islam mengatakan,

وَآخِرُ وَقْتِ ذَبْحِ الْأُضْحِيَّةِ آخِرُ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ، وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ فِي مَذْهَبِ أَحْمَدَ

Akhir waktu penyembelihan qurban adalah sampai hari tasyriq terakhir. Ini adalah pendapat ‘alaihis salam-Syafii dan salah satu pendapat dalam madzhab hambali. (al-Fatawa al-Kubro, 5/385).

Pendapat ini juga diriwayatkan dari sebagian sahabat, diantaranya Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Ibnu Qudamah mengatakan,

وروي عن علي : آخر أيام التشريق وهو مذهب الشافعي وقول عطاء و الحسن

Dan diriwayatkan dari Ali, bahwa batas waktu penyembelihan adalah akhir hari tasyriq. Ini merupakan pendapat as-Syafii, dan pendapat Atha serta Hasan al-Bashri. (al-Mughni, 11/113).

Diantara dalil pendapat ini adalah hadis dari Jubair bin Muth’im Radhiyallahu ‘anhu, bahwa RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ

Di setiap hari tasyriq adalah penyembelihan. (HR. Ahmad 17207, Ibnu Hibban 3854, ad-Daruquthni dalam Sunannya 4821 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’).

Dalil lainnya, bahwa semua hari tasyriq adalah hari di mina, hari melempar jumrah, hari untuk memperbanyak takbiran, dan hari makan minum dan haram berpuasa. Sehingga hukum yang berlaku bagi ketiga hari tasyriq adalah sama. Lalu bagaimana mungkin dibedakan dengan hari tasyrik lainnya. (Zadul Ma’ad, 2/319).

Sementara larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyisakan daging qurban lebih dari 3 hari, telah beliau jelaskan sebabnya. Karena ketika itu, masyarakat mengalami kekurangan makanan. Sehinggi semua hewan qurban, harus habis sebelum tanggal 13 Dzulhijjah. Dan ini tidaklah menunjukkan larangan menyembelih di hari tasyriq ketiga.

Dengan memperhatikan semua pendapat, insyaaAllah pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat kedua, bahwa batas akhir penyembelihan sampai hari tasyriq terakhir, tanggal 13 Dzulhijjah. Hanya saja, kita sarankan agar sohibul qurban tidak menunda penyembelihan tanpa sebab. Dalam rangka menghindari perbedaan pendapat ulama. Artinya, ketika hewan qurban itu disembelih sebelum tanggal 13 Dzulhijjah, akan lebih tenang, karena semua ulama sepakat, statusnya sah sebagai qurban.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Hukum Utang untuk Qurban

Ada orang yg ingin berqurban tahun ini, tp dia tdk punya dana yg cukup. Urunan sapi, minimal 2,5 jt. Kambing bisa di atas itu. Bolehkah dia utang utk bs ikut qurban?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Sasaran perintah berqurban adalah orang yang mampu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

“Barangsiapa yang memiliki kelapangan rezeki, namun tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad 8273, Ibnu Majah 3123, dan sanad hadits  dihasankan al-Hafizh Abu Thohir).

Bagaimana jika berutang karena tidak mampu?

Sebagian ulama secara tegas menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang.

Imam Sufyan ats-Tsauri menceritakan,  bahwa Abu Hatim berutang untuk membeli seekor onta. Ketika ditanya, mengapa sampai utang? Jawab beliau, ”Saya mendengar firman Allah,

لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ

”Kalian akan mendapatkan kebaikan dari sembelihanmu itu.” (Tafsir Ibn Katsir, 5/426).

Artinya, beliau meyakini, Allah akan memberi ganti dari upaya beliau dengan berutang untuk qurban.

Saran ini berlaku jika dia memiliki penghasilan dan memungkinkan untuk melunasi utangnya. Tapi jika dia tidak berpenghasilan, atau sudah punya banyak utang, sebaiknya menambah beban utangnya. Meskipun untuk ibadah.

Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455).

Dalam Majmu’ Fatawa, beliau juga ditanya tentang hukum utang untuk qurban. Beliau mengatakan,

إذا كان الرجل ليس عنده قيمة الأضحية في وقت العيد لكنه يأمل أن سيحصل على قيمتها عن قُرب، كرجل موظف ليس بيده شيء في وقت العيد، لكن يعلم إذا تسَلَّم راتبه سهل عليه تسليم القيمة فإنه في هذه الحال لا حرج عليه أن يستدين، وأما من لا يأمل الحصول على قيمتها من قرب فلا ينبغي أن يستدين للأضحية

Ketika seseorang tidak memiliki dana untuk qurban di hari ‘id, namun dia berharap akan mendapatkan uang dalam waktu dekat, seperti pegawai, ketika di hari ‘id dia tidak memiliki apapun. Namun dia yakin, setelah terima gaji, dia bisa segera serahkan uang qurban, maka dalam kondisi ini, dia boleh berutang. Sementara orang yang tidak memiliki harapan untuk bisa mendapat uang pelunasan qurban dalam waktu dekat, tidak selayaknnya dia berutang.

Beliau menyebutkan alasannya,

أما إذا كان لا يأمل الوفاء عن قريب فإننا لا نستحب له أن يستقرض ليضحي؛ لأن هذا يستلزم إشغال ذمته بالدين ومنّ الناس عليه، ولا يدري هل يستطيع الوفاء أو لا يستطيع

Jika tidak ada harapan untuk melunasinya dalam waktu dekat, kami tidak menganjurkannya untuk berutang agar bisa berqurban. Karena semacam ini berarti dia membebani dirinya dengan utang, untuk diberikan kepada orang lain. Sementara dia tidak tahu, apakah dia mampu melunasinya ataukah tidak. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 25/110)

Kecuali jika di suatu masyarakat, kegiatan qurban ini tidak digalakkan. Karena mungkin rata-rata mereka tidak mampu, atau mereka terlalu pelit sehingga keberatan untuk berqurban, maka dia dianjurkan untuk utang, apapun keadaannya, dalam rangka menghidupkan sunah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) untuk berqurban.

Ini sebagaimana yang disarankan Imam Ahmad, bagi orang yang tidak memiliki biaya aqiqah, agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran. Imam Ahmad mengatakan,

إذا لم يكن عنده ما يعق فاستقرض رجوت الله أن يخلف عليه إحياء للسنة

”Jika dia tidak memiliki biaya untuk aqiqah, hendaknya dia berutang. Saya berharap agar Allah menggantinya karena telah menghidupkan sunah.” (al-Mughni, 11/120).

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Hukum Qurban Atas Nama Perusahaan

Di daerah kami banyak perusahaan melakukan qurban. Dititip-titipkan ke masjid-masjid kampung. Mungkin dana CSR perusahaan. Totalnya banyak, bisa sampai puluhan sapi dr beberapa perusahaan.

Tapi katanya, itu atas nama karyawan di perusahaan itu.

 

 

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Salah satu yang diatur dalam ibadah qurban adalah mengenai kepemilikan hewan qurban. Kambing hanya boleh dimiliki oleh satu orang, sapi maksimal 7 orang, sementara onta maksimal 10 orang.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَحَضَرَ الْأَضْحَى، فَاشْتَرَكْنَا فِي الْجَزُورِ، عَنْ عَشَرَةٍ، وَالْبَقَرَةِ، عَنْ سَبْعَةٍ

Kami pernah safar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika tiba Idul Adha, kami urunan untuk onta 10 orang dan sapi 7 orang. (HR. Ibn Majah 3131 dan dishahihkan al-Albani).

Hadis ini berbicara tentang kepemilikan hewan qurban, bukan peruntukan pahala qurban. Untuk peruntukan qurban, satu ekor kambing bisa diqurbankan atas nama satu orang dan seluruh anggota keluarganya. Abu Ayyub radhiyallahu’anhu mengatakan,

كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ، وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ

“Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan selueuh anggota keluarganya.” (HR. Tirmidzi 1505, Ibn Majah 3125, dan dishahihkan al-Albani).

Bagaimana dengan Qurban dari Perusahaan?

Kita bisa melihat beberapa kemungkinan di sana,

Pertama, perusahaan itu milik perorangan.

Semua modal dan asetnya milik satu orang. Sehingga, setiap dana yang dikeluarkan untuk kegiatan ibadah, maupun kegiatan sosial lainnya, hakekatnya adalah uang milik satu orang. Termasuk ketika perusahaan ini memberikan qurban, hakekatnya itu milik owner perusahaan. Qurban ini sah sebagai ibadah pemilik perusahaan.

Kedua, perusahaan milik banyak pemodal

Seperti perseroan, yang modal dan asetnya patungan dari para pemegang saham. Ketika perusahaan mengeluarkan dana sosial CSR, hakekatnya itu uang milik semua pemegang modal. Jika itu untuk kegiatan ibadah, semua pemegang modal berhak di sana.

Ketika itu wujudnya hewan qurban, tentu saja tidak sah. Karena beararti quota pemilik hewan itu, melebihi batas. Jika perusahaan tetap mengeluarkan hewan qurban atas nama satu perusahaan, nilainya sedekah, dan bukan qurban.

Ketiga, perusahaan memberikan hewan qurban ke karyawan

Mungkin kasusnya, perusahaan memberikan hewan qurban ke sejumlah karyawan. Misalnya, perusahaan mengeluarkan 10 ekor sapi untuk qurban 70 karyawan. Semacam ini dibolehkan, dan tentunya, pahalanya pun untuk karyawan.

Kira-kira sama dengan kasus perusahaan menghajikan para karyawannya. Yang pergi haji tentu karyawan, bukan perusahaan. Dan pahalanya untuk karyawan yang pergi haji, bukan perusahaan.

Hanya saja, untuk jenis ketiga ini perlu diperhatikan aturan berikut,

Pertama, harus dipastikan kepemilikan sapinya. Terutama ketika perusahaan mengeluarkan lebih dari 1 sapi. Sebagai contoh, perusahaan mengeluarkan 10 ekor sapi untuk 70 karyawan. Secara perhitungan benar, namun tetap perllu ditegaskan, siapa pemilik masing-masing sapi.

Kedua, semua karyawan yang mendapat hadiah ibadah qurban harus sadar bahwa dia sedang berqurban. Karena setiap ibadah butuh niat. Sehingga tidak boleh perusahaan mengeluarkan sejumlah sapi qurban untuk beberapa karyawannya, tapi yang bersangkutan tidak tahu.

Ketiga, ketika hewan ini telah diserahkan ke karyawan, semua aturan qurban berlaku untuknya. Seperti anjuran menyembelih sendiri, atau melihat penyembelihannya, tidak boleh menjual bagian qurbannya, berhak dapat dagingnya, dst.

Demikian, Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Qurban dari Orang yang Meninggalkan Shalat, Batal?

Ikut Qurban Tapi Tidak Shalat?

Ada seseorang yg (maaf) tidak melaksanakan sholat wajib 5 waktu, tapi dia ikut berkurban. bagaimana tinjauan syariat atas hal ini?

Dari: Tri Biyantoko via Tanya Ustadz for Android

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Para ulama menegaskan, tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik, dari pada meninggalkan shalat.

Kita simak dialog dengan penduduk neraka ketika ditanya, sebab mereka masuk neraka.

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ. قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ . وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ

Apa yang menyebabkan kalian masuk ke Saqar (neraka). Mereka menjawab, “dulu kami tidak shalat” ( )dan kami tidak mau memberi makanan kepada orang miskin… (QS. Al-Muddatsir: 42 – 44)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut meninggalkan shalat sebagai perbuatan kekufuran.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

Sesungguhnya batas antara seseorang dengan syirik dan kekafiran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim 82).

Dalam hadis lain, dari sahabat Buraidah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya, dia telah kafir. (HR. Ahmad 22937, Tirmidzi 2621; dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Masih banyak dalil lain yang menunjukkan betapa bahayanya orang yang meninggalkan shalat. Hingga para ulama menyebut dosa ini sebagai dosa terbesar setelah syirik. Kita sebutkan diantaranya,

Keterangan Ibnu Hazm,

لا ذنب بعد الشرك أعظم من ترك الصلاة حتى يخرج وقتها، وقتل مؤمن بغير حق

Tidak ada dosa – setelah syirik – yang lebih besar dari pada meninggalkan shalat hingga habis waktunya, dan membunuh orang mukmin tanpa alasan yang dibenarkan.

Keterangan Ibrahim an-Nakhai. Beliau mengatakan,

من ترك الصلاة فقد كفر

Orang yang meninggalkan shalat, berarti telah kafir.

Keterangan Imam Ishaq bin Rahuyah,

صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة كافر، وكذلك كان رأي أهل العلم أن تارك الصلاة عمداً من غير عذر حتى يذهب وقتها كافر

Terdapat riwayat shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat, dia kafir. Demikian yang dipahami para ulama, bahwa orang yang meninggalkan shalat dengna sengaja, tanpa udzur, sampai habis waktunya, maka dia kafir. (Ta’dzim Qadri as-Shalah, 2/929)

Berangkat dari berbagai dalil dan keterangan di atas, para ulama menilai bahwa amal ibadah apapun yang dikerjakan seseorang, sementara dia meninggalkan shalat, maka tidak dinilai dalam islam. Dengan kata lain, meninggalkan shalat merupakan Salah satu penyebab amal ibadah seseorang tidak diterima oleh Allah.

Dr. Soleh al-fauzan mengatakan,

أما الصيام مع ترك الصلاة فإنه لا يجدي ولا ينفع ولا يصح مع ترك الصلاة ، ولو عمل الإنسان مهما عمل من الأعمال الأخرى من الطاعات فإنه لا يجديه ذلك مادام أنه لا يصلي ؛ لأن الذي لا يصلي كافر ، والكافر لا يقبل منه عمل

Puasa namun meninggalkan shalat, tidak ada nilainya, tidak manfaat, dan puasanya tidak sah, selama dia meninggalkan shalat. Jika seseorang beramal, amal ketaatan apapun, statusnya tidak ada nilainya, selama  dia tidak shalat. Karena orang yang tidak shalat, kafir. Sementara orang kafir, amalnya tidak diterima. (al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan, 39/16)

Keterangan lain, disampaikan Imam Ibnu Utsaimin,

الذي يصوم ولا يصلى لا يقبل منه صوم ، لأنه كافر مرتد ، ولا تقبل منه زكاة ولا صدقة ولا أي عمل صالح

Orang yang puasa, sementara tidak shalat, puasanya tidak diterima, karena dia kafir, murtad. Tidak diterima zakatnya, sedekahnya, maupun amal soleh lainnya.

Selanjutnya, Imam Ibnu Utsaimin membawakan firman Allah,

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلا يَأْتُونَ الصَّلاةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلا يُنفِقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ

tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan. (QS. At-Taubah: 54).

Dalam ayat itu dinyatakan, salah satu penyebab amal dia tidak diterima adalah karena meninggalkan shalat. Allah sebut, “mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas”. Artinya, shalatnya bolong-bolong.

(Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, Ibnu Utsaimin, 124/32).

Sebagai nasehat bagi mereka yang masih enggan shalat…

Kami tidak tahu, dengan cara apalagi kami harus mengingatkan anda untuk shalat. Sementara ayat dan hadis tentang bahaya meninggalkan shalat, tidak lagi bisa menembus relung hati anda. Yang dinilai bukan status agama di KTP anda, tapi apa yang anda kerjakan.

Kami hanya bisa mengatakan kepada anda, segera bertaubat. Kecuali jika ingin merelakan semua amal anda tidak diterima dan tidak ada nilainya.

Termasuk ketika anda hendak berqurban. Segera bertaubat, agar qurban anda tidak sia-sia.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Bersiaplah untuk Armina

Makkah (Pinmas) —- Jamaah haji asal Indonesia yang sudah berada di Makkah, Arab Saudi, harus mulai bersiap untuk rangkaian ibadah haji d Arafah, Mudzalifah, dan Mina (Armina) dua pekan mendatang. Jamaah diimbau menjaga kesehatan dengan tidak memaksakan diri ke Masjidil Haram atau melakukan umrah berkali-kali.

Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan dr Fidiansjah mengingatkan jamaah untuk menjaga kesehatan dengan memilih ibadah-ibadah yang termasuk rukun dan wajib haji. “Jangan terforsir dengan ibadah-ibadah sunnah yang akan meletihkan jamaah itu sendiri,” katanya, di Pemondokan Nomor 201, Sektor 2, Mahbas Jin, Makkah, Selasa (08/09).

Rukun haji adalah perbuatan-perbuatan yang wajib dilakukan dalam berhaji. Rukun haji tersebut, yaitu, ihram, wukuf di Arafah, tawaf ifadah, sa’i, mencukur rambut, dan tertib. Rukun haji harus dilakukan secara berurutan dan menyeluruh. Jika salah satu ditinggalkan maka hajinya tidak sah.

Sedangkan wajib haji, yaitu memulai ihram dari miqat, yaitu batas waktu dan tempat yang ditentukan untuk melakukan ibadah haji dan umrah. Lalu, melontar jumrah, mabit atau menginap di Mudzdalifah, dan mabit di Mina, dan tawaf wada’ atau tawaf perpisahan. Jika salah satu dari wajib haji ini ditinggalkan maka hajinya tetap sah, namun harus membayar dam (denda).

Kepala Seksi Bimbingan Ibadah dan Pengawasan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Tawwabuddin mengatakan, jamaah dapat mempersiapkan diri menjelang Arafah dengan berbagai cara. Pertama, jamaah jangan memaksakan diri melakukan umrah berkali-kali karena dapat membuat tubuh letih. Kedua, jamaah dapat melaksanakan shalat di mushala yang ada di hotel. “Karena fisik kita harus dipersiapkan untuk Arafah,” ujar dia.

Pelaksana Bimbingan Ibadah Daker Makkah Profesor Aswadi mengatakan, jamaah perlu mengingat bahwa mereka berada di Makkah yang merupakan tanah haram. Selama di tanah suci, menunaikan shalat di mushala hotel tidak mengurangi kemuliaan atau fadilah beribadah. “Walaupun di tempat masjid dan hotel dan sebagainya ini masih bersinergi dengan masjidil haram. Karena, ini di tanah haram,” ujar dia.

Tanah Suci memang memberikan kesempatan bagi jamaah untuk memaksimalkan perilaku dan nilai ibadah. Namun, Aswadi mengatakan, upaya mengoptimalkan ibadah harus dibarengi dengan usaha menjaga kesehatan. Dia pun mengingatkan jamaah memiliki kewajiban memelihara jiwa sekaligus menyehatkan akal dan fisik sehingga ruh ibadah bisa tercapai.

Dia juga mengajak jamaah untuk memanfaatkan waktu di tanah suci untuk membesarkan kuasa Allah Swt lewat dzikir, tasbih, dan takbir. “Di mana pun, kapan pun, kita hanya melihat kebesaran dan keagungan Allah Swt,” ujar Guru Besar Ilmu Quran dan Tafsir UIN Sunan Ampel, Surabaya, ini. (ratna/mch/mkd)

 

sumber: Portal Kemenag