Demi Menjaga Anak-anak Muslim, Saddam Hussein Larang Tayangan Pokemon

Sebuah dokumen rahasia yang ditemukan pasukan Amerika Serikat pada tahun 2004 mengungkapkan Presiden Irak Saddam Hussein melarang tayangan film animasi anak-anak buatan Jepang, Pokemon.

Dilansir dari laman Mirror, Senin, (11/4/2016), Saddam Hussein telah melarang acara TV Pokemon setelah staff intelijennya menyatakan nama itu mirip dengan kalimat: “Aku adalah orang Yahudi”.

Direktorat Keamanan Umum, lembaga keamanan dalam negeri Irak menyampaikan keprihatinan mereka pada Saddam bahwa beberapa nama dari makhluk animasi itu sangat menghina di Suriah.

“Kami telah menyadari fenomena yang menyebar cepat di dunia Muslim dan di antara anak-anak kita. Anak-anak kita telah tersentuh pada fenomena ini,” ujar Direktorat Keamanan umum.

Nama-nama dalam film animasi memiliki banyak arti, seperti:
Pokemon: “Saya seorang Yahudi ”
Charmander: “Allah adalah lemah”
Pikachu: “Jadilah seorang Yahudi”
Growlithe: “Allah adalah pelit”
Magma: “Allah adalah bodoh”.

Dokumen itu memuat seruan: “Hati-hatilah saudara-saudara saya dalam Islam dan lindungi anak-anak dari bangsa Muslim.”

Film animasi Pokemon diciptakan pada 1995 dan berpusat pada makhluk fiksi yang disebut Pokemon, dikenal sebagai kucing dan sering bertempur satu sama lain untuk olahraga.

Hingga September 2015, Pokemon telah meraup pendapatan lebih dari £28 miliar secara global.

Saddam Hussein ditangkap pada Desember 2003 dan dihukum atas tuduhan terkait dengan pembunuhan 148  warga Syiah Irak di tahun 1982. Dia dieksekusi mati pada 30 Desember 2006. [TM]

 

sumber: Panji Mas

Baghdad, Ibu Kota Dunia

Pada abad pertengahan, Baghdad disebut sebagai ibu kota dunia. Karena, Baghdad mampu menggerakkan sistem pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan secara bersamaan.

Ketika kota-kota Eropa masih dicengkram kegelapan, Baghdad sudah menjalankan sebuah peradaban yang akhirnya memengaruhi perkembangan peradaban bangsa-bangsa di dunia.

Sehingga wajar beberapa dekade lalu, Baghdad menjadi tanah impian setiap bangsa di dunia untuk menguasainya.

Keindahan kota Baghdad seperti banyak berdiri bangunan megah dan kesuburan tanahnya itu berkat lalulintas air di Sungai Tigris dan Sungai Eufrat yang erletak di sebelah utara Teluk Persia.

Masa keemasaan kota metropolis intelektual itu terjadi pada masa kekuasaan Dinasti Abbasyih. Namun kebesaran dan keagungan Dinasti Abbasyih ini berakhir setelah Baghdad diluluhlantahkan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan tahun 1258.

Sebagai kota yang menjadi pusat intelektual dan peradaban dunia pada abad kedelapan hingga ke-14 M, kota Baghdad memiliki beberapa lembaga pendidikan yang berpengaruh pada masa kejayaan.

Sejumlah lembaga pendidikan yang sangat berpengaruh itu adalah Universitas al-Hikmah, Universitas al-Muntansiriyah dan Madrasah Nizamiyah.

 

sumber: RepublikaOnline

Kak Seto: Mendidik Anak Perlu Orang Sekampung

Keluarga harus benar-benar diberdayakan untuk mendidik anak dan dalam mendidik anak juga perlu orang sekampung. Hal ini dikatakan Ketua Dewan Pembina Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Seto Mulyadi yang akrab dipanggil Kak Seto.

“Jadi, kami selalu mengimbau agar sekarang ini setiap RT dan RW ditambah satu seksi lagi, seksi perlindungan anak, Jadi, saling mengingatkan,” katanya di sela-sela kegiatan “Indonesia Scouts Challenge 2015-2016” di Sasana Krida Satria, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (31/3).

Dia mencontohkan jika ada anak di bawah umur tiba-tiba membawa sepeda motor, orang tuanya harus diingatkan supaya bisa mencegah karena hal itu berbahaya dan melanggar hukum.

Selain itu, kata Kak Seto, jika ada orang tua yang memukuli anaknya dan kejadian tersebut diketahui tetangganya maka tetangga tersebut wajib melaporkan ke seksi perlindungan anak agar bisa diberi peringatan. “Kalau sampai diteruskan (pemukulan terhadap anak) bisa lapor polisi,” katanya.

Kak Seto mengakui bahwa kasus kekerasan terhadap anak maupun tindak pidana yang dilakukan anak di bawah umur merupakan fenomena gunung es yang sebenarnya cukup tinggi jumlahnya.

“Jadi, apa yang dilaporkan selama ini masih belum sejumlah yang sebenarnya terjadi. Dengan adanya satgas (satuan tugas) perlindungan anak di setiap RT-RW, maka data-data ini bisa dikumpulkan di RT, selanjutnya lurah, kabupaten/kota, kemudian dilaporkan ke pusat,” katanya.

Terkait dengan tayangan televisi yang dinilai tidak mendidik, Kak Seto mengatakan masyarakat perlu diberdayakan untuk berani melapor dengan menulis surat ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat.

“Semua harus melapor dan di situ (KPI) ada tim panelis. Saya salah satunya juga anggota tim panelis untuk mendengar laporan masyarakat ini dan itu bisa untuk menegur ke televisi yang bersangkutan,” katanya.

 

Sumber : Antara/Republika Online

Dari Keluarga, Anak Mengenal Nilai-Nilai Agama

Dalam proses kehidupan, manusia memasuki beberapa fase yang harus dilewati. Pada fase pertama, manusia terlahir dalam ketergantungan dan belum berdaya melakukan apa-apa; segala keinginan hanya mampu diekspresikan dengan menangis. Kendati demikian, kebelumberdayaan itu telah Allah sempurnakan dengan berfungsinya pendengaran, penglihatan dan hati sejak ia di dalam kandungan.

Bulan berganti, bayi pun tumbuh menjadi sosok yang mulai mampu melakukan sesuatu. Memasuki masa kanak-kanak, penanaman nilai-nilai kebaikan dengan contoh yang sederhana sangat dianjurkan. Fase ini juga disebut dengan golden age (usia emas) sebab anak-anak—dengan ketajaman indera penglihatan yang mereka miliki—pandai meniru siapapun entah hal itu baik maupun buruk.

Pada fase ini pula, pengetahuan apapun yang diberikan kepada mereka, akan tertanam kuat hingga mereka dewasa dan menua. Karena masa golden age yang tak terulang inilah penguatan peranan keluarga sangat dibutuhkan oleh anak-anak melalui penanaman nilai-nilai kebaikan dan keagamaan.

Teori Perkembangan Anak

Ada beberapa teori mengenai rasa ketergantungan (Sense of Depend). Teori ini dikemukakan oleh Thomas van Aquino melalui teori Four Wishes. Menurutnya, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu: keinginan untuk mendapatkan perlindungan (security), keinginan untuk mendapatkan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapatkan tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal (recognation).

Teori yang kedua adalah insting keagamaan—yang menurut Woodsworth insting ini terbentuk semenjak anak mulai mengenal fungsi-fungsi kejiwaan dari lingkungan tempat ia tinggal. Teori kedua inilah yang menjadi pijakan dasar kita semua bahwa hal terpenting yang harus dipriotitas dan dikuatkan adalah pengetahuan tentang agama dan penanaman nilai-nilai kebaikan.

Dalam buku The Development of Religious of Children karya Ernest Harms, perkembangan agama pada anak-anak melalui tiga fase (tingkatan), yaitu The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng— usia 3 hingga 6 tahun) dimana anak lebih menyukai sesuatu jika diceritakan sekaligus melatih kemampuan imajinasinya. Tingkatan kedua yaitu The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan—usia masuk sekolah dasar hingga remaja), fase yang menghendaki pembuktian sederhana atas pengalaman beragama mereka.

Dan fase terakhir adalah The Individual Stage (Tingkat Individu) yakni masa-masa remaja hingga orangtua yang lebih menekankan kesadaran beragama pada tiap individu serta bagaimana pengalaman beragama mereka mampu membuat mereka lebih sadar dan dekat akan keberadaan Sang Pencipta.

 

Pendidikan Agama Anak

Tentu saja, keseluruhan dari perkembangan beragama pada anak ini tidak akan mampu tumbuh dengan baik jika tidak dipupuk oleh peranan keluarga—yang dalam hal ini adalah orangtua, lebih spesifik lagi adalah ibu sebagai seutama-utamanya sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Sebab, menanamkan nilai-nilai kebaikan sebagai anjuran Tuhan juga memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on authority.

Ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya authoritarius maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka  dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat dan mempelajari hal-hal yang berada dari luar diri mereka. Orangtua memiliki pengaruh yang sangat besar sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki.

 

Sifat Agama pada Diri Anak

Berdasarkan hal tersebut, maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi dua bagian besar yaitu:

Pertama, Unreflective. Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak, 73 persen mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Kebenaran yang mereka terima tanpa kritik dan tidak mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan merekka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.

Meski demikian, pada beberapa anak memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain. Sebagai contoh Seorang anak perempuan diberitahukan tentang doa yang dapat menggerakkan sebuah gunung.

Berdasarkan pengetahuan tersebut, maka pada suatu kesempatan anak itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan memindahkan gunung-gunung yang ada di daerah Washington ke laut. Karena keinginannya itu tidak terwujud, maka semenjak itu ia tak mau berdoa lagi.

Contoh di atas sudah menunjukkan bahwa anak kritis walau bersifat sederhana. Menurut penelitian, pikiran kritis baru timbul pada usia 12 tahun sejalan dengan pertumbuhan moral. Di usia tersebut, bahkan anak kurang cerdaspun menunjukkan pemikiran yang korektif. Disini menunjukkan bahwa anak meragukan kebenaran ajaran agama pada aspek-aspek yang bersifat konkret.

Egois

Kedua, Egosentris. Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya.

Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat kekanak-kanakan (childish) dan memiliki sifat ego yang rendah.Hal yang demikian menganggu pertumbuhan keagamaannya,

 

Peranan Keluarga

Berdasarkan paparan sederhana di atas, maka dapat kita bayangkan jika mereka (anak-anak) hidup dalam ketiadaan peranan keluarga atau orangtua yang akan menjembatani pemahaman mereka dalam mengenal Tuhan dan segenap ciptaan-Nya. Mengenal hal-hal apa saja yang harus mereka lakukan atau perilaku mana yang harus mereka jauhi.

Urgensi peranan keluarga sangat menentukan kekuatan spiritual anak-anak. Jika penanaman nilai-nilai keagamaan tidak dipupuk sejak dini, maka betapa miris generasi yang akan terlahir berikutnya. Padahal, anak-anak yang sukses adalah mereka yang mampu memahami Tuhan dengan pemahaman universal bahwa cukuplah Dia yang disembah dan diyakini kekuatannya, juga karena kecintaannya kepada Tuhan itulah yang mengantarkan mereka untuk juga mencintai kedua orangtua, keluarga dan sesamanya.

Dapat kita saksikan bahwa saat ini—fenomena sosial yang menimpa generasi kita saat ini telah banyak terjadi; anak-anak yang terjerat narkoba, minum-minuman keras, bisnis prostitusi, kasus remaja hamil di luar nikah, belum lagi krisis kejujuran saat ujian nasional diadakan dan sederet masalah-masalah sosial yang sebenarnya akar dari semua permasalahan ini adalah peranan keluarga yang belum dominan dalam menanamkan pengetahuan tentang rasa takut kepada Tuhan. Sebab, di era digitalisasi ini cobaan orangtua (keluarga) bukan hanya lingkungan sekitar tapi juga tontonan dan gadget yang bertebaran.

Sungguh memang merawat buah hati bukan hal mudah, namun jika keluarga bersedia menyamakan visi dan menguatkan peranan mereka demi terciptanya generasi yang taat dan tangguh, maka tidak ada kata tidak mungkin untuk generasi yang lebih baik di masa mendatang. Ya, untuk menjadi bangsa besar yang cerdas dan penuh wibawa, harus dimulai dari didikan lingkup terkecil; yakni keluarga.

 

Oleh: Ina Salma Febriany

sumber: Republika Online

Ketika Kuabaikan Panggilan Subuh-Mu

Deru suara truk-truk pengangkut bahan bakar mulai memecah kesunyian pagi. Suara mesin berkapasitas 8.000 cc juga terdengar berderik keras mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menarik tangki-tangki besar muatannya.

Sesekali dentuman hidrolik melepaskan angin membuat tembok mushala tempatku tidur bergetar. Mataku masih terasa pedih untuk dapat kubuka. Kusempatkan melirik handphone di sampingku. Masih pukul 3.30 pagi. Dengan malas aku mencoba duduk sambil bersandar di tembok. Kulihat temanku Dimas masih tertidur dengan pulas.

Sesekali terlihat keletihan di wajahnya yang belum pulih benar setelah seharian mendampingi operator. Tak lama kemudian terdengar suara panggilan bagi para sopir dan awak mobil untuk berkumpul.

“Mas, bangun! Sebentar lagi sudah mulai operasi” seruku sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Tak perlu waktu lama untuk dia bangun dan mengambil tasnya yang berisi laptop yang penuh dengan kode-kode program baru yang sudah kami upload ke server tadi malam.

Dengan langkah gontai kami pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Usapan air di muka kami betul-betul menyegarkan wajah kami.

“Mas, kita harus pastikan sistem yang di upload semalam berjalan dengan baik”, kataku kepada Dimas. “Iya, saya akan stand by supaya operasional lancar” jawab Dimas. Temanku yang satu ini memang bisa diandalkan untuk urusan mengotak-atik sistem baru.

Sesampainya kami di depan pintu ruang operasi kuketuk pintu tiga kali. “Srek srek”, suara sandal terdengar mendekati pintu. “Eh mas Rinto, nginep kantor to kang”, kata Pak Ari. “Iyo pak, takutnya telat malah ganggu operasional”, jawabku sambil menuju sofa tamu yang ada di depan meja operasional.

Segera kuambil laptop dalam tasku. Kubuka perlahan layar laptop dan kuisikan password. Setelah loading beberapa saat, aku segera membuka aplikasi proyek yang sedang kami kerjakan.

Sayup-sayup terdengar suara adzan Subuh mulai menggema. Aku masih meneruskan membaca baris-baris program komputer. Rasa penasaran intelektualku makin membuncah memenuhi seluruh ruang kesadaranku. Sudah beberapa kali kuotak-atik aplikasi ini, namun tak kunjung kutemukan solusi atas kendala logika otomasi di menu sistem tersebut. “Mas, kenapa datanya masih belum bisa terintegrasi ya?” seruku pada Dimas yang tak kalah pusing.

“Sepertinya masih terkendala di koneksi databasenya”, jawabnya sambil menaikkan kacamata minusnya. Aku kembali terhanyut dalam rentetan baris kode logika pemrograman yang tertata rapi di layar komputer. Aku mencoba keras untuk berpikir memecahkan teka-teki permasalahan namun belum terlihat juga masalah yang terjadi.

Kulayangkan pandanganku ke tembok. “Teng…..Teeeng” suara jam dinding berdentang keras.
“Astaghfirullah, sudah jam lima!” seru Dimas mengingatkan. “Ayuk, salat Subuh dulu mas” kata Dimas. Aku terhenyak karena subuh sudah lewat dari tadi. Segerak kuiikuti Dimas buru-buru ke kamar mandi dan berwudhu.

Setelah salat subuh sebentar, kami kembali duduk di depan laptop sambil menganalisa gambar
jaringan komputer. “Nah aku sudah ketemu mas, ada masalah di salah satu setup paramater kita dan sudah kubereskan,” serunya dengan wajah gembira.

“Ok, segera kamu setup saja biar cepet kelar nih” seruku. “Aku sudah bosen di sini ngerjain itu melulu, ngga kelar-kelar,” ocehku sambil mengacungkan jempol pada rekanku. “Kriing…kriiing” tiba-tiba handphoneku berbunyi.

“Assalamualaikum, Ayah” dari handphone kudengar celoteh anakku. “Waalaikum salam sayang”, jawabku. “Adik sudah salat?” tanyaku kembali kepada anakku. “Sudah, Yah. Tadi juga ikut Bunda Tahajud.” Tukasnya sambil ketawa ngikik. “Tut…tut…tut”, tidak terdengar lagi jawaban dari handphone. Mungkin kepencet sehingga terputus.

Aku sudah kembali hanyut dalam pekerjaanku. Aku memang sangat menyenangi pekerjaanku. Jika
sudah bergelut di depan laptopku, aku bisa berjam-jam duduk tanpa bergeser dari bangku tempatku menyandarkan tubuhku. Terkadang aku berkerja dengan keras sekali bukan karena loyalitasku tetapi lebih cenderung karena memuaskan rasa intelektualku. Seringkali salat berjemaah maupun makan siangku terlewat begitu saja karena begitu asyiknya di depan komputerku.

Siang ini aku sudah cukup puas dengan hasil kerjaku dan rekan kerjaku karena beberapa masalah sudah berhasil aku selesaikan. Sambil minum teh hangat, aku berbincang-bincang dengan beberapa rekan kerja seniorku di kantin. Dari dinding kaca kantin dapat kulihat beberapa sopir truk berkerumun menunggu antrean pengiriman. Asap rokok yang dinyalakan oleh mereka mulai masuk ke ruang kantin tempat kami berbincang. Tiba-tiba kami dikejutkan suara pintu yang terbuka.

“Mas Rinto, aplikasinya kembali ngga konek. Antrean semakin panjang dan tolong segera dibantu,” seru Dimas yang dari tadi berada di ruang kerjanya.

Aku pun kembali bergegas menuju ruangan di samping kantin. Beberapa kabel jaringan yang ada kucabut, dan kucolok kembali. “Mas, tolong dicek apakah sudah kembali konek atau tidak?” seruku pada Dimas yang dari tadi bengong di belakangku. “Belum, Mas,” jawabnya sambil teriak dari dalam kantor.

Sementara itu antrean para sopir yang sudah mulai mengular menaikkan tingkat stressku. “Pak, lama banget sih” kata para sopir truk yang sudah tidak sabar. “Sabar pak, sabar.
Orang sabar itu disayang Allah,” jawabku sekenanya. “Kayaknya perlu dicek antenanya di atas atap mas Rinto” usul Dimas yang dari tadi ikut stress mendengar omelan para sopir. “Ok deh mas Dimas, aku naik ke atas atap ya, kamu jaga di sini dan kasih tau kalau sudah bisa nyambung kembali,” kataku sambil berlalu menuju tangga belakang.

Dengan perlahan aku mulai menaiki tangga belakang dengan hati-hati. Sesampainya di atap, aku mulai berjalan mengikuti coran tembok menuju antena berbentuk parabola yang menjadi
penghubung koneksi jaringan di kantorku. Kulihat lampu indikator pada antena tersebut tidak menyala. Dengan segera kucabut kabel yang tercolok di perangkat tersebut kemudian kutancapkan kembali. “Dimaaas, sudah nyambuuuung?” teriakku dari atas atap. “Sudah mas, wokeeeeh.”

Serunya membalas teriakanku. “Sip deh” batinku sambil merasa puas atas kemampuanku. Aku pun berjalan kembali melintas atap untuk kembali turun. Sesudah sampai di dinding, aku mencoba melangkahkan kaki arah tangga, tapi nahas. Tangga yang licin membuat kakiku terpeleset sehingga aku harus bertumpu pada tanganku di salah satu genteng. “Kreek” suara atap patah tertarik oleh tanganku karena tak mampu lagi menahan berat tubuhku. Tak ayal lagi, tubuhku melayang di udara, bumi siap menerima hempasan tubuhku. “Buk, Aduuuh” Aku berteriak kesakitan dan kulihat langit menjadi gelap.

“Tit…tit…tit” suara teratur itu terdengar di telingaku. Saat kubuka mataku, aku ternyata sedang terbaring di sebuah kamar yang serba putih. Perlahan-lahan aku mencoba mengingat kembali memori terakhirku. Ketika aku teringat kejadian kemarin, aku menduga bahwa ini adalah rumah sakit. Kucoba menggerakkan kakiku, ternyata sakit sekali.

“Ayah sudah siuman?” kudengar suara putriku ada didekatku. Aku menolehkan wajahku ke arah suara itu. “Alhamdulilah Sayang, ayah sudah baikan” jawabku sambil tanganku mengusap-usap kepalanya. Aku begitu bahagia masih bisa bertemu dan melihat kembali anakku.

“Alhamdulilah, Fathin senang lihat Ayah sudah baikan. Fathin bersyukur banget sama Allah. Doa Fathin terkabul. Tadi Fathin doain ayah biar segera sembuh, celoteh anakku yang memang dari kecil ceriwis sekali dan rona wajahnya menyiratkan kebahagiaan yang luar biasa. Sambil berjingkrak-jingkrak dia berlari ke pangkuan ibunya untuk mengabarkan berita gembira bahwa ayahnya sudah siuman.

Kupandangi lekat-lekat anakku. Begitu mudahnya anak ini berbahagia dengan kembalinya kesadaran diriku. Tapi bagaimana mungkin, sebelumnya aku dengan seluruh kesehatan badanku tak mampu untuk mensyukurinya? Bagaimana mungkin aku tidak memenuhi panggilanmu untuk salat berjemaah di saat Engkau berikan harta yang sudah mencukupi kebutuhanku? Begitu sombongnya diriku menganggap dapat menyelesaikan masalah-masalah pekerjaan, padahal itu semua adalah ilham dari-Mu. Kini aku yakin bahwa jatuhnya diriku ini pun adalah kuasa-Mu untuk dapat kembali menyadarkanku agar kembali ke jalan-MU.

“Allahuakbar…Allahuakbar”, suara gema adzan Dzuhur yang sayup-sayup kudengar tak terasa telah melelehkan mataku. Hari ini aku hanya bisa mendengar panggilan-Mu tanpa bisa memenuhinya karena peringatan-Mu kepadaku. Aku berjanji akan kembali bersegera memenuhi seruan-Mu, sebelum Engkau benar-benar meminta pertanggungjawaban hidupku. Terima kasih ya Allah telah Kau ingatkan hamba-Mu. []

Riswanto Warih Prabowo, Aktivis Dakwah Kampus ITB’ 99

sumber: Mozaik Inilah.com

Alasan Disebut Rajab dan Nama Lain Bulan ini

Umat Islam saat ini sedang berada di salah satu bulan yang mulia, yaitu Rajab. Rajab, adalah bulan yang mulia dan memiliki kedudukan agung. Rajab termasuk salah satu dari empat bulan yang disucikan dan dilarang pertumpahan darah yakni, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam. (Larangan itu berlaku di semua bulan, hanya saja, penekanan larangan itu lebih di keempat bulan itu).

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.”(QS. at-Taubah [9]: 36).

Rajab dikenal dengan beberapa sebutan. Penamaan Rajab itu menurut Ibn Faris di Maqayis al-Lughah, berarti pengagungan. Konon, masyarakat pra-Islam menghormati Rajab. Selain kata Rajab, ada pula padanan lainnya yakni  Mudhir.

Ada sejumlah alasan, kenapa Rajab disebut Mudhir. Konon Mudhir adalah salah satu kabilah arab di masa jahiliah yang tidak mengotak-atik bulan-bulan haram tersebut, agar mereka bebas melakukkan larangan-larangan itu.

Kisah itu terabadikan di surah at-Taubah ayat ke-37. Alasan lain, karena suku ini menunjukkan penghormatan yang lebih terhadap Rajab. Ini bila dibandingkan dengan suku  yang ada saat itu.

Sedangkan sebutan Rajab berikutnya yaitu Athirah. Latarbelakang pemakaian nama Athirah, lantaran masyarakat Arab pra-Islam menyembelih hewan kurban di bulan ini. Athirah, berarti hewan kurban.

 

 

sumber: Republika Online

Jangan Pernah Remehkan Niat

APA program Anda di weekend ini dan apakah makna weekend bagi Anda dan keluarga Anda? Jawabannya bisa jadi berbeda-beda dan kita harus menghormati keberbedaan jawaban-jawaban itu.

Secara umum, weekend diterjemahkan sebagai saat rehat dari rutinitas, relaks dari kepenatan dan santai dari keruwetan. Karena itulah maka kegiatan yang “tidak biasa” biasanya menjadi pilihan; wisata ke luar kota bagi yang selalu sibuk di dalam kota, berbelanja bagi yang jarang belanja sendiri, dan tidur sepanjang hari bagi mereka yang sehari-harinya jarang tidur.

Ada yang menerjemahkan weekend sebagai jalan-jalan ke mana saja, tanpa tujuan dan tanpa kejelasan, yang penting jalan. Menurut para peneliti, para penerjemah weekend yang seperti ini biasanya sulit menemukan bahagia dan gampang bertemu derita. Kok bisa? Karena dalam kebiasaannya, mayoritas bahagia itu adalah digapai karena niat, tujuan dan rencana. Jangan pernah remehkan niat, tujuan dan rencana hanya karena ingin tampil sepertinya kita adalah orang yang paling pasrah.

Pasrah itu ada yang positif dan ada yang negatif, tergantung nuansa hati, alasan kepasrahan dan potensi diri yang dimiliki. Nah, saatnya kita membaca diri kita sendiri sebagai bagian dari aktifitas weekend kita. Bukankah rutinitas kita selama ini adalah membaca orang lain atau urusan-urusan lain?

Lepaskan urusan rutinitas dalam acara weekend kita. Tenangkan dan bahagiakan hati di weekend ini karena hari-hari kerja kita telah dipenuhi dengan kegiatan yang menganaktirikan ketenangan dan kebahagiaan dengan menganakemaskan kemenangan dan kekuasaan.

Pondok Pesantren Alif Laam Miim secara rutin melaksanakan acara “Pondok Weekend” bagi mereka yang berkehendak mengisi acara weekendnya dengan mengaji dan mengkaji ajaran agama, kisah teladan, dan tips Islam dalam menjalani hidup yang senantiasa penuh tantangan dan hambatan. Salam, AIM@PonpesKota.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2287017/jangan-pernah-remehkan-niat#sthash.O7qjencr.dpuf

Menimba Ilmu Kehidupan

“TULISKANLAH yang terbaik dari apa yang kau dengar, bacalah yang terbaik dari apa yang kau tulis, hafalkanlah yang terbaik dari apa yang kau baca, dan sampaikanlah yang terbaik dari apa yang engkau hafal.” Demikianlah ajaran Ibn al-Muqaffa’ menyikapi kondisi yang semakin runyam dengan banyaknya orang yang berbicara tanpa ilmu yang memadahi.

Dibutuhkan banyak bacaan referensi untuk dibandingkan dan direnungkan untuk kemudian dijadikan sebuah keyakinan. Sebagaimana kita berhak memilih dan meyakini apa yang kita dapatkan dari proses pembelajaran kita, sadarilah bahwa orang lain juga memiliki hak yang sama memiliki bacaan dan keyakinan yang mungkin saja berbeda dengan kita.

Hanya orang yang pendek akal saja yang menganggap bacaan dirinya adalah yang terlengkap dan tersempurna. Dia tidak sadar bahwa kopyah atau songkok atau topi yang dipakainya masih lebih besar dari kepalanya sendiri.

Bagikan kepada orang lain pandangan, pendapat dan ujaran yang terbaik, hasil seleksi pemikiran dan perenungan panjang. Sampaikanlah dengan penuh ketulusan. Ini adalah salah satu pesan esensial yang terkandung dalam ajaran Ibn al-Muqaffa’ di atas. Hanya dengan cara dan semangat seperti inilah masa depan akan lebih terang benderang dibandingkan hari kemaren dan hari ini.

Para agamawan, guru kehidupan, tokoh spiritual sejati bisa dikenali dengan ujaran bijak dan teladan kehidupannya yang selalu menjadi buku hidup bagi masyarakatnya, jamaahnya, dan murid-muridnya. Tak ada istilah kehabisan kata dan tak ada kata kehabisan ilmu pada mereka.

Allah senantiasa menitipkan pesan kehidupan kepada masyarakatnya melalui mereka, ilmu mereka senantiasa bertambah dengan cara Allah. Bukankah Allah berkuasa mengajarkan hambaNya sesuatu yang sebelumnya tidak diketahuinya?

Bahagianya hati jika kita senantiasa bisa bersama mereka, menimba ilmu kehidupan, mengharap tetes embun ruhani dan menunggu usapan hati. Salam, AIM@National Seminar UNISMA Malang & Ilalang Camp Cengger Ayam Street Malang

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2287200/menimba-ilmu-kehidupan#sthash.EdM6mM2V.dpuf

Jangan Mau Jadi Manusia Buta Huruf Kehidupan

MENGAPA Allah menyampaikan banyak kisah nabi dan umat terdahulu kepada Nabi Muhammad? Dalam al-Qur’an banyak sekali ditemukan kisah sejarah. Allah menyebutkan salah satu tujuannya adalah “untuk memantapkan hatimu” bahwa kebenaran dan kebaikan senantiasa mengantarkan pada hakikat kebahagiaan.

Dalam bahasa para sejarawan: “Orang yang tak pernah membaca sejarah adalah orang yang tak pernah belajar dari sejarah orang lain. Seberapapun panjang usia orang itu, sesungguhnya orang itu sulit untuk menjadi dewasa, karena dia hanya belajar dari usianya sendiri dan tak belajar dari usia orang lain. Usianya hanyalah usia dia sendiri yang tak mengalami pertambahan dengan usia orang lain. Tua itu urusan penambahan usia, dewasa itu urusan penambahan kebijaksanaan diri.”

Dengarkanlah kisah-kisah bermakna yang diceritakan sejarah, selalulah punya waktu untuk belajar dari kehidupan orang lain. Nilai-nilai kebajikan yang ditawarkan sejarah adalah nilai-nilai kemanusiaan yang perlu kita teladani untuk kemudian kita wariskan kepada anak cucu kita. Kisah tentang ketidakbaikan yang disampaikan sejarah harus dibaca sebagai larangan yang wajib ditinggalkan.

Hanya mereka yang membaca sejarah dan mau belajar dari kehidupan orang lain yang paham makna hakiki dari susunan kata “sekolah kehidupan” atau kalimat “dunia dan seisinya adalah hakikat dari sekolah kehidupan.”

Bersekolahlah sepanjang usia, jangan mau menjadi manusia dengan julukan “buta huruf kehidupan.” Belajarlah mulai dari hal paling mendasar, yakni memahami abjad kehidupan, untuk kemudian belajar mengeja dan memaknai kalimat kehidupan itu sendiri. Salam, AIM, Dosen UINSA Surabaya dan pengasuh Ponpes Alif Laam Miim Surabaya. [*]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2287269/jangan-mau-jadi-manusia-buta-huruf-kehidupan#sthash.g7rCyc2H.dpuf

Menjadi Karyawan Allah

LAPAR itu bukan satu-satunya alasan mengapa seseorang itu harus atau berebut makan. Ada juga orang-orang yang terus saja makan atau berebut makan karena mereka memang senang makan walaupun tidak lapar. Biasanya, kebiasaan makan model kedua ini akan menyebabkan banyak masalah kesehatan.

Miskin itu bukan satu-satunya alasan mengapa seseorang itu mengemis. Ada juga orang-orang yang terus saja mengemis karena memang kesenangannya menjadi pengemis walaupun mereka telah memiliki banyak harta benda. Biasanya, kebiasaan mengemis pola kedua ini akan menyebabkan banyak masalah hukum.

Kasihan sekali kepada mereka yang lapar betulan dan tidak ada yang mempedulikan. Kasihan pula kepada mereka yang miskin yang tidak mendapatkan perhatian. Berbahagialah pada setiap jiwa yang senantiasa bersemangat membahagiakan orang lapar dan orang miskin. Mereka itulah sesungguhnya karyawan-karyawan Allah SWT di muka bumi ini.

Pekerjaan paling baik, paling barakah dan paling cepat mendapatkan apresiasi Allah adalah menjadi karyawan Allah, menjadi pelayan Allah, menjadi pegawai Allah. Allah yang akan menggaji mereka dengan kehendak, kuasa dan cintaNya. Tak ada satu orangpun Nabi dan kekasih Allah yang tidak menjadi pelayan-pelayanNya. Salam, AIM, Pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya. [*]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2286911/menjadi-karyawan-allah#sthash.SoLKkBop.dpuf