Keterlambatan Visa Haji Harus Bisa Diantisipasi

Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Desy Ratnasari, meluruskan pernyataan Dirjen Penyelenggaran Haji dan Umrah Kemenag Abdul Djamil beberapa hari lalu.

Saat melakukan konferensi pers, Jumat (12/8) lalu, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Abdul Djamil memastikan pengurusan visa haji berjalan lancar sebab Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta cukup membantu.

Djamil menjelaskan, pengurusan visa tahun ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu gelombang satu dan dua. Hal ini, kata dia, dilakukan supaya tidak terjadi kekacauan seperti tahun lalu. Visa calhaj yang melunasi ongkos haji pada tahap pertama akan diurus di gelombang pertama.

Bila di daerah ada kesan terdapat calhaj yang visanya belum jadi, itu memang karena mereka berangkat gelombang kedua. Namun, Desy mengungkapkan, pernyataan Dirjen PHU itu tak sepenuhnya sesuai.

Buktinya, kata dia, ada 90 calhaj Sukabumi yang melakukan pelunasan ongkos haji pada tahap pertama ternyata belum memperoleh visa.

Padahal, jadwal berangkat mereka pada 13 Agustus. Di sisi lain, ungkap dia, sebanyak 38 calhaj yang melunasi ongkos haji pada tahap kedua dan jadwal berangkatnya 20 Agustus sampai sekarang belum melihat tanda-tanda bahwa visa mereka telah selesai.

Kemenag, menurut Desy, seharusnya bisa mengantisipasi kejadian seperti ini. “Keterlambatan visa ini tidak hanya terjadi di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Di daerah lain di Provinsi Jawa Barat serta provinsi lainnya, yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur, keterlambatan visa calhaj juga terjadi,” kata Desy.

Sementara itu, Ketua Penyelenggara Haji dan Umrah Kemenag Kota Surakarta, Jawa Tengah, Rosyid Ali Safitri, menuturkan, 24 dari 355 calhaj yang bakal ke Tanah Suci, Senin (15/8) ini, belum mempunyai paspor.

“Ya, ada 24 orang calon jamaah haji belum ada paspornya, tapi visanya sudah ada. Ini petugas sedang mengurus,” ujar Rosyid. Ia menduga ada sejumlah paspor tercecer sehingga belum sampai ke tangan calon jamaah haji. Ada petugas yang sedang ke Jakarta untuk menyelesaikan masalah ini.

Faktor kesehatan Menurut Komisioner Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) Syamsul Maarif, ada potensi terjadi kekosongan kursi calhaj sekitar satu persen dari jumlah calhaj Indonesia karena sakit.

Kuota haji tahun ini 168.800 jamaah, yaitu haji reguler 155.200 dan haji khusus 13.600 jamaah. Kekosongan ini akibat penundaan keberangkatan yang dipicu faktor kesehatan. “Saya bersama kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan memperkirakan satu persen, yakni sebanyak 100 calhaj lebih,” katanya.

 

 

sumber: republika Online

Arti, Makna dan Hikmah Kemerdekaan RI Menurut Islam

Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada tanggal 17 Agustus 1945 memiliki arti, makna dan hikmah bila ditarik dalam kajian studi Islam.

Menurut Islam, kemerdekaan yang sesungguhnya adalah bebas untuk bertindak karena manusia adalah makhluk yang diberikan otonomi dan kepercayaan sebagai khalifah fil ardh, pemimpin di bumi. Namun, kemerdekaan itu dibatasi dengan hukum-hukum dalam syariat Islam.

Semua syariat Islam bisa ditemukan dalam Al Quran sebagai sumber utama hukum Islam. Ada pula hadits yang menjadi sumber hukum Islam kedua. Kemerdekaan itu jelas ada batasnya, karena sudah ada aturan yang menjadi petunjuk supaya manusia bisa hidup dengan baik di dunia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kemerdekaan adalah suatu keadaan di mana seseorang atau negara bisa berdiri sendiri, bebas dan tidak terjajah lagi. Sedangkan merdeka artinya adalah bebas dari segala penjajahan atau penghambaan.

Dalam konteks kemerdekaan Republik Indonesia, kemerdekaan berarti manusia Indonesia bebas dari segala penjajahan bangsa asing, terutama kolonialisme Belanda yang selama 3,5 abad telah menduduki dan menjajah bangsa Nusantara dengan segala sumber daya alamnya yang melimpah.

Bangsa-bangsa asing yang menjajah Nusantara, di antaranya Portugis meski tidak terlalu berhasil, Belanda yang telak menguasai Indonesia seutuhnya, Jepang hanya beberapa tahun, dan Inggris juga tidak lama.

Dengan proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia menyatakan bebas dari imperalisme, kolonialisme dan penjajahan bangsa asing. Dengan demikian, manusia Indonesia saat ini bebas menentukan hidupnya secara mandiri tanpa dicampuri bangsa asing.

Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad Saw juga mengalami penjajahan dari bangsanya sendiri, yaitu kaum Kafir Quraisy. Beliau tidak bisa menyuarakan pikiran, ide-idenya, dan ajaran tentang Islam.

Umat Rasulullah Saw disiksa tanpa ampun. Bahkan, Nabi Muhammad beserta dengan para pengikutnya diusir dari bumi kelahiran, bumi pertiwinya sendiri. Inilah masa-masa di mana Nabi Muhammad sebagai pembawa Islam dijajah tanpa ampun.

Sampai suatu ketika, Rasulullah Saw memutuskan untuk hijrah, pindah dari Mekah menuju Madinah. Di sana, beliau dari rombongannya disambut warga Madinah dan memiliki kekuatan baru, lengkap dengan persenjataan dan keterampilan perang.

Mereka kemudian kembali ke Mekah sebagai bumi pertiwi. Setelah melakukan perjuangan yang sangat keras, Nabi Muhammad Saw akhirnya berhasil mengalahkan kaum kafir quraisy dan merdeka untuk selamanya. Merdeka untuk menjalankan ibadah dalam Islam, termasuk merdeka mengajarkan ajaran Islam.

Agama Islam akhirnya menyebar ke seluruh pelosok dunia di mana Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas Muslim. 90 persen warga Indonesia adalah Muslim. Itu tidak lepas dari perjuangan Nabi Muhammad Saw dan para penyebarnya di wilayah Nusantara.

Kemerdekaan RI dalam Islam
Melihat fakta sejarah, Nabi Muhammad dan pengikutnya benar-benar merdeka tanpa ada tekanan dari suku lain setelah berjuang sekian lama. Umat Islam otonom, bebas, dan terlepas dari penjajahan suku lain.

Pertanyaannya kemudian, apakah Indonesia benar-benar merdeka dari segala pengaruh bangsa asing? Baik kebijakan-kebijakan pemerintahan?

Banyak sumber daya alam (SDA) Indonesia yang sangat kaya raya dikelola pihak asing. Hasilnya dibawa ke negara lain, sedangkan Indonesia mendapatkan sangat sedikit bagian. Itu atas nama investasi, padahal tidak! Itu bagian dari penjajahan jenis baru bernama proxy war.

Tambang emas, kilang minyak, gas alam, semen, dan segala sumber daya alam yang melimpah diserahkan asing. Penduduk Indonesia sendiri hanya bisa gigit jari. Meski Indonesia sudah merdeka secara fisik pada 17 Agustus 1945, tetapi tidak merdeka secara substansial, hakikat, dan sejati.

Indonesia masih dijajah dengan konsesi-konsesi politik, kapitalisme atas nama investasi, setting kurikulum pendidikan yang membodohkan seluruh pelajar Indonesia, dan lainnya. Mirisnya, hampir tidak bisa membedakan siapa yang menjajah, karena sebagian manusia Indonesia juga menjajah sesama manusia Indonesia lainnya.

Sebab, arti dan makna kemerdekaan RI seharusnya bebas dan lepas dari segala bentuk penjajahan, baik itu penjajahan langsung maupun proxy war.

Namun, ada hikmah di balik kemerdekaan RI pada 17 Agustus. Bangsa Indonesia memiliki kesempatan baru untuk melakukan pembangunan dan bebas dari pendudukan bangsa asing. Tugas generasi penerus bangsa adalah melakukan pembangunan, membenahi sistem, dan mewujudkan kesejahteraan bersama.

Dalam konsep Islam, kemerdekaan adalah hak setiap manusia, tetapi ada batasnya, yakni syariat Islam itu sendiri. Dalam Al Quran Surat An Naazi ayat 37: “Orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, sesungguhnya neraka adalah tempat tinggalnya.”

Menurut pandangan Islam pula, kemerdekaan beragama juga dijamin. Jadi, Anda bebas memilih agama tanpa ada paksaan. Sebab, mana yang benar dan salah sudah sangat jelas. Tinggal manusia sendiri yang bisa memilih.

“Tidak ada paksaan untuk masuk agama (Islam). Sesungguhnya, jelas jalan yang benar daripada yang sesat…” begitu dalam Al Quran Al Baqarah 256. Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad juga tidak memaksa orang lain untuk masuk Islam.

Nabi hanya mengajarkan, tidak ada paksaan. Sebab, manusia memang merdeka. Indahnya Islam membuat banyak orang tertarik dan masuk agama Islam. Berhubung banyak yang menentang, bahkan sampai menyiksa umat Muslim, akhirnya jihad dan perang adalah jalan untuk menegakkan Islam. (*)

Hakikat Kemerdekaan Sejati dalam Ajaran Islam

Hakikat kemerdekaan dalam agama Islam adalah kebebasan yang dimiliki seseorang untuk dapat melakukan sesuatu, namun tidak menjadi ancaman bagi orang lain.

Sementara jika membicarakan kemerdekaan dalam sebuah negara bermakna warga negara bisa melakukan apa-apa yang menjadi haknya yang masih diatur oleh negara.

“Misalnya, kebebasan ibadah dan mendapatkan pendidik‎,” kata Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta ‎KH Zulfa Mustafa, akhir pekan lalu.

Sementara itu, ujarnya,  jika seseorang sudah mengakui tiada tuhan selain Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW utusan Allah maka seseorang itu harus memerdekakan dirinya dari ketergantungan selain Allah SWT.

“Bebas dari hukum-hukum selain Allah SWT, artinya hanya bergantung kepada hukum Allah,” ujarnya.

Kiai Zulfa mengatakan, seseorang dikatakan belum merdeka‎ ketika apa-apa yang menjadi haknya belum bisa dilaksanakan karena terbelenggu sebagai manusia dan warga negara.

“Misalnya, dia tidak bebas mencari nafkah untuk kehidupannya, misalnya kesetaraan hukum belum memenuhi rasa ketidak adilannya, Jika dia tidak bisa melakukan itu Berarti dia belum merdeka,” katanya.

Menurut Kiai Zulfa, secara umum kondisi bangsa Indonesia sudah bagus. Meski Islam sebagai penduduk mayoritas, namun terkadang di beberapa daerah tertentu masih ada kesulitan untuk melakukan ibadah.

Misalnya, insiden antarumat beragama  di Tolikara, Papua hingga larangan berjilbab di tempat kerja dan sekolah.

“Kalau masih seperti itu berarti belum disebut merdeka,” katanya.

 

 

sumber: Republika ONline

Perjalanan yang Mendatangkan Pahala: Safar untuk Menuntut Ilmu

BERIKUT ini kami menyampaikan contoh perjalanan yang bisa mendatangkan pahala dan meraih rida Ar Rahmn.

(7) Safar untuk Menuntut Ilmu

Tidak diragukan tentang pentingnya ilmu, sehingga Nabi shallallhu ‘alayhi wa sallam menyatakan sebagai kewajiban setiap muslim. Beliau bersabda:

“Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah nomor 224, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani di dalam Shahih Ibni Majah)

Yang dimaksud dengan ilmu disini adalah ilmu syari, ilmu yang diwahyukan Allh Subhnahu wa Ta’la kepada Rasul-Nya dan diwariskan kepada para ulama pewaris para Nabi shallallhu ‘alayhi wa sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

“Menuntut ilmu syari adalah fardhu kifayah, kecuali perkara yang wajib pada setiap individu, seperti: setiap orang wajib menuntut ilmu perkara yang diperintahkan oleh Allh Subhnahu wa Ta’la dan perkara yang Dia larang, karena sesungguhnya hal ini wajib atas setiap individu.” (Majmu Fatawa, 28/80)

Dan thalabul ilmi sering mengharuskan safar. Oleh karena itu di zaman dahulu terkenal rihlah ulama untuk menuntut ilmu. Raslullh shallallhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Barang siapa meniti satu jalan untuk mencari ilmu, niscaya dengan hal itu Allh Subhnahu wa Ta’la menjalankannya di atas jalan di antara jalan-jalan surga.” (HR Abu Daud)

[Ustadz Abu Isma’il Muslim Al Atsari]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2315768/safar-untuk-menuntut-ilmu#sthash.A7ObKxAF.dpuf

Dilema Belajar di Internet, Haruskah Ditinggalkan?

MESKI kita sepakat bahwa belajar agama harus dengan jalan berguru kepada ulama yang ahli di bidangnya, namun bukan berarti internet harus kita tinggalkan. Memang kita tidak memandang bahwa internet itu sebagai satu-satunya sumber ilmu agama, melainkan internet itu fungsinya hanya sebagai media saja.

Dan dalam belajar ilmu agama, selain keberadaan seorang guru yang ahli di bidangnya, tidak bisa dipungkiri bahwa kita butuh media pembelajaran. Di antaranya kita butuh kitab untuk membaca ilmu yang sudah ditulis oleh guru kita.

Dan seorang guru pun juga perlu menuliskan semua ilmunya agar tidak hilang. Oleh karena itu sang guru juga butuh pena, tinta, lembaran kertas bahkan mesin cetak untuk menyebarkan ilmunya yang berharga.

Kalau di masa lalu buku atau kitab itu berbentuk lembaran kertas yang dicetak dan dijilid, maka di masa modern ini bukunya bisa saja berbentuk buku elektronik, baik berupa website yang berisi banyak tulisan ilmu atau berformat file komputer semacam pdf dan sejenisnya.

Dan internet itu ibarat buku, bahwa tidak semua buku itu baik. Ada buku yang baik dan ada buku yang tidak baik. Tetapi tidak ada yang memungkiri bahwa buku atau kitab adalah salah satu media yang cukup bermanfaat, dimana kita bisa mendapatkan ilmu agama yang luas. Demikian juga dengan internet, ada yang isinya baik dan ada yang isinya buruk.

Namun saya sepakat bahwa media buku atau internet saja, tentu belum cukup untuk mendapatkan ilmu secara baik, apalagi sempurna. Jadi sifatnya hanya membantu, dan bukan yang utama.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2316635/dilema-belajar-di-internet-haruskah-ditinggalkan#sthash.fmZvDTsP.dpuf

Jangan Tidak Ingin Tahu dengan Dalih Orang Awam

DALAM sebuah pengajian yang diselenggarakan pada bulan ramadan, pada momen yang berbeda, penulis pernah ditanya oleh dua orang jemaah pengajian. Menurut penulis, masing-masing pertanyaan yang mereka ajukan mengandung korelasi di satu sisi, namun di sisi lain cenderung kontradiksi.

Pertanyaan pertama diajukan kepada penulis pada hari pertama pengajian. Mengingat pengajian ini merupakan pengajian perdana yang diselenggarakan bada subuh di bulan Ramadan, sekaligus sosok penulis sendiri yang mungkin- dianggap kurang dikenal oleh mayoritas masyarakat, di tambah lagi tema yang digagas penyelenggara cenderung berat dan jarang disampaikan, “Fiqih Puasa Menurut Empat Mazhab”, maka pertanyaan yang diajukan pun bernada ketidaksetujuan atas tema yang diangkat.

Kurang lebih pertanyaannya seperti ini:

“Ustadz, bagi masyarakat kita yang awam, pembicaraan tentang mazhab-mazhab fiqih merupakan pembicaraan yang membingungkan, saya harap selepas pengajian ini jemaah yang hadir tidak akan bingung, apalagi keluar dari kebiasaan yang telah berlaku, yaitu mengikuti mazhab imam Asy Syafii.”

Penulispun menjawab bahwa, “Pada hakikatnya adanya mazhab fiqih dan sedikit banyaknya pengetahuan kita terkait hal tersebut, insyaAllah tidak akan menyebabkan kita kebingungan dalam mengamalkan agama selama kita tahu alasan terjadinya perbedaan mazhab, dan hikmah yang terkandung di dalamnya.”

Sedangkan terkait mazhab imam Asy Syafii, penulis sampai tidak enak hati untuk mengatakan, siapakah di antara jemaah pengajian yang tahu detail pendapat-pendapat imam Asy Syafii, padahal penulis tahu bahwa pengurus masjid tesebut menyelenggarakan salat Tarawih sebanyak 11 rakaat, yang notabene bukanlah mazhab imam Asy Syafii.

Adapun pertanyaan kedua, kurang lebih seperti ini:

“Ustadz, saya pernah mendengar dan membaca sebuah buku, bahwa ada ulama yang mengatakan bahwa qunut subuh itu tidak ada, bahkan perbuatan bidah. Apakah benar demikian?”

Penulispun menjawab bahwa, “Masalah qunut merupakan masalah yang diperselisihkan ulama, di mana kita tidak boleh saling bermusuhan dan terpecah belah atas dasar permasalahan-permasalahan semisal ini, meskipun ulama yang bersangkutan sampai menyatakan bahwa qunut itu hukumnya haram atau bidah.”

Dari dua permasalahan di atas, penulis menyimpulkan bahwa sering kali masyarakat muslim atau sebagian di antara mereka berlindung di bawah alasan “sebagai orang awam/awwamiyyah” untuk tidak ingin tahu menahu pendapat kelompok/mazhab lain meskipun dalam ranah furuiyyah.

Padahal informasi-informasi tentang adanya perbedaan-perbedaan pendapat dalam banyak hal terkait corak beragama (Islam) di negeri ini merupakan suatu keniscayaan yang pasti terjadi dan lumrah serta mesti disikapi dengan sikap yang bijak, serta didasari ilmu yang benar atau informasi yang valid.

Dan patut diketaui bahwa sikap tidak ingin tahu dengan alasan awwamiyyah tidak seyogyanya menghalangi kita untuk terus belajar tentang perkara-perkara agama sesuai dengan kesempatan dan kemampuan yang dimiliki.

Semakin banyak seseorang mengetahui khilafiyah dalam fiqih maka semakin lapang dadalah ia, jika diniati untuk bertafaqquh/belajar. Dan tentu semakin sering mendatangkan kebaikan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Siapapun yang Allah kehendaki kebaikan untuknya, Allah akan menganugrahi atasnya pemahaman dalam agamanya.”

Adapun sikap ketidak mau tahuan bahkan cenderung menganggap pendapat lain tidak mesti diakui eksistensinya merupakan sikap arogansi beragama yang semestinya diminimalisir bahkan dihilangkan dalam tubuh masyarakat muslim.

Wallahualam. [Isnan Ansory, Lc, M.A]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2316351/jangan-tidak-ingin-tahu-dengan-dalih-orang-awam#sthash.fDi6bSqL.dpuf

Bagaimana Jika Ulama Mengajar Lewat Internet?

KALAU di masa lalu seorang guru agama mengajarkan ilmunya dengan cara didatangi oleh murid-muridnya, baik di madrasah, pesantren atau perguruan tinggi, maka di era informasi teknologi sekarang ini, ada banyak cara yang lebih mudah, cepat dan lebih massif yang bisa dilakukan.

Katakanlah seorang ulama besar sekelas Dr. Yusuf Al-Qaradawi, kalau kita ingin belajar kepada beliau, kita perlu terbang 9 jam non-stop ke Doha Qatar, negeri dimana beliau bertempat tinggal. Atau kalau kita mau belajar kepada Syeikh Ali Jum’ah, mufti Negara Mesir, maka kita harus menghabiskan paling tidak 10-11 jam terbang ke negeri Piramid Mesir.

Disana, belum tentu beliau-beliau itu punya waktu, sebab mereka adalah orang-orang sibuk, tiap hari banyak jadwal yang padat saling tumpang tindih. Itulah yang saya alami ketika berkesempatan mampir ke Doha, jauh-jauh pergi kesana, ternyata beliau sedang kunjungan ke Eropa dan berdakwah disana.

Maka kalau beliau berceramah secara live di depan kamera televisi Al-Jazeera misalnya, bisa dipastikan orang yang bisa belajar dari ilmu beliau akan menjadi jutaan jumlahnya. Sebab tanpa harus jauh-jauh datang ke Qatar atau ke Mesir, kita bisa menyaksikan ceramah beliau lewat layar kaca. Boleh dibilang nyaris tanpa biaya.

Dan apa yang beliau ceramahkan itu oleh pihak televisi Al-Jazeera ternyata juga diposting di internet (youtube.com), sehingga kapan saja kita bisa memutar videonya, bahkan mereka yang tidak punya antena parabola di rumahnya, bisa dengan mudah mendownload filenya dan diputar lewat komputer.

Tentu kita tidak mengatakan bahwa cara ini adalah sesat, sebab gurunya jelas-jelas orang yang berilmu. Beliau berdua, Al-Qaradawi dan Ali Jumah, masing-masing adalah mufti resmi Qatar dan Mesir. Rakyat di kedua negera itu mendengarkan fatwa-fatwa mereka.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2316633/bagaimana-jika-ulama-mengajar-lewat-internet#sthash.pOYTkOF0.dpuf

Akibat Belajar Agama dari Mbah Google

ADA benarnya, bahwa belajar ilmu agama itu harus lewat guru. Sebab kalau tanpa guru, memang bisa saja seseorang tersesat, karena salah paham atau salah mengerti.

Murid yang punya guru saja kadang-kadang masih belum paham pelajaran dengan sempurna, apalagi mereka yang belajar agama tanpa guru. Mungkin bisa keliru dan jauh melenceng dari kebenaran.

Kita punya banyak contoh dimana seorang yang tidak pernah belajar ilmu agama secara benar, dalam arti dia tidak punya guru yang secara khusus mengajarkan ilmu-ilmu keislaman sesuai dengan disiplin ilmu yang baku, lalu tiba-tiba mengangkat dirinya sebagai ulama besar. Dan konyolnya, kadang pendapatnya itu tanpa malu diproklamirkan sebagai satu-satunya kebenaran.

Lebih nampak bodohnya ketika mereka memvonis bahwa semua orang itu bodoh, sesat, dan tidak punya ilmu. Seolah-olah ilmu itu hanya terbatas apa yang menurutnya cocok dengan selera pribadinya.

Tokoh-tokoh seperti ini sayangnya cukup banyak bergentayangan di dunia nyata dan di dunia maya. Kita tidak tahu disiplin ilmu apa yang pernah dipelajarinya dengan benar. Kok, tiba-tiba ada orang mengaku-ngaku sudah jadi tokoh besar, dan mengangkat dirinya satu-satunya rujukan kebenaran. Semua orang harus divonis salah dan sesat di matanya. Naudzu billah tsumma naudzu billah.

Nah, fenomena seperti ini salah satunya memang diakibatkan dari belajar ilmu agama tanpa guru. Maksudnya, bukan sama sekali tidak ada guru, melainkan orang itu tidak belajar lewat jalan proses belajar dengan benar. Bukan lewat jenjang kuliah yang benar, atau pun boleh jadi bukan berguru kepada guru yang kualified di bidang ilmu tertentu.

Sehingga apa yang disebutnya sebagai ilmu sesungguhnya cuma was-was dan issue-issue murahan yang tiap hari dihembus-hembuskan saja. Sama sekali tidak bertumpu pada disiplin ilmu agama yang baku dan muktamad, sebagaimana diwariskan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para salafusshalih di masa lalu.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2316637/akibat-belajar-agama-dari-mbah-google#sthash.nUZ9U9vf.dpuf

Rujukan Kitab yang Berasal dari Unduhan Internet

Belajar Agama Lewat Internet Sesat Tanpa Guru?

Rujukan Kitab yang Berasal dari Unduhan Internet

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2316632/rujukan-kitab-yang-berasal-dari-unduhan-internet#sthash.tP6kGnFI.dpuf

 

KALAU di masa lalu saya butuh sebuah kitab untuk rujukan, maka saya harus terbang jauh ke Arab sana untuk membeli. Atau minimal saya titip ke teman atau kenalan yang pulang ke tanah air. Toko kitab di Jakarta bukannya tidak ada, tetapi koleksi yang mereka miliki amat terbatas.

Tetapi di masa sekarang ini, kitab-kitab tulisan para ulama, klasik atau modern, sudah banyak beredar di internet. Bisa diunduh sepuasnya dengan tanpa biaya apa pun.

Seorang kenalan pernah menghadiahi saya sebuah harddisk dengan kapasitas 1 Terrabyte. Isinya ribuan kitab-kitab para ulama hasil download di internet. Membaca judulnya saja tidak selesai seminggu, apalagi membaca isinya, bisa keburu ubanan belum selesai.

Namun demikian, tetap saja harus kita akui bahwa nonton ceramah para ulama di youtube atau membaca ribuan kitab, tidak akan menjamin kita paham ilmu agama, atau memastikan kita bisa langsung menjadi ulama seketika. Sebab kita tidak secara langsung akan ditegur kalau keliru dalam memahami. Seorang bisa saja punya interprestasi yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh gurunya.

Oleh karena itu belajar secara langsung kepada guru tetap menjadi sebuah keharusan. Sebab guru akan menegur kita manakala kita salah paham, kurang paham atau tidak paham-paham. Selain itu guru juga bisa melakukan serangkaian test atau ujian kepada kita.

Sewaktu kuliah dulu, tidak semua murid yang tiap hari masuk kuliah lantas menjadi berilmu. Mereka tiap semester harus diuji, baik secara lisan atau pun tulisan. Dan guru akan membetulkan atau mengoreksi bila terjadi kesalahan.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2316632/rujukan-kitab-yang-berasal-dari-unduhan-internet#sthash.tP6kGnFI.dpuf

Istri Boleh Minta Cerai Bila Suami Di-PHK

FIQIH mengatur segala aspek kehidupan manusia agar sesuai dengan syariat (syar’i). Baik kehidupan pribadi maupun hubungannya dengan makhluk lain. Selama 24 jam dalam sehari, dan 7 hari dalam seminggu. Kelak, semua itu harus ia pertanggung jawabkan di hadapan Allah.

Sementara Akhlak Mahmudah adalah tabiat, tingkah laku atau perangai baik dan patut, yang harus dijaga oleh setiap muslim agar senantiasa terjaga keharmonisan hubungan dengan makhluk di sekitarnya, khususnya antar sesama manusia.

Dalam hal pernikahan, misalnya;

1. Ketika suami tidak mampu menafkahi istri dan anak-anaknya dengan baik, entah karena ia belum mendapat pekerjaan yang layak, atau tertimpa musibah PHK, maka istri boleh meminta cerai darinya.

Meminta cerai dari suami dalam kasus di atas itu “Syar’i, Tapi Tidak Patut.”

Mengapa?

Sebab rumah tangga dibangun untuk menciptakan ‘sakinah’ (ketentraman/kenyamanan). Dan ‘sakinah’ akan tercipta ketika suami-istri saling mengokohkan di saat yang lain rapuh. Saling menopang di saat yang lain terpuruk. Bukan meninggalkan di saat pasangannya tertimpa musibah.

Wallahu A’lam Bishshawab. [Aini Aryani, Lc]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2316363/istri-boleh-minta-cerai-bila-suami-di-phk#sthash.JvO0tnn5.dpuf