Ada ‘Haji Ikan’ di Padang Pasir Arabia

Mungkin ada yang bingung adakah ikan bisa pergi haji? Jawabnya selama dunia masih belum kiamat maka itu serba mungkin.

Dan ini juga tidak aneh, apalagi semua orang pun pasti sudah tahu ada beberapa nama flora-fauna yang juga memakai kata haji. Salah satu contoh untuk tumbuhan ada tanaman bernama ‘pakis haji’ (Cycas Rumphii). Sedangkan untuk satwa di Jawa ada sebutan yang ingin menunjukan burung endemik pemakan biji-bijian yang punya kepala putih: peking haji alias bondol haji alias juga emprit atau pipit haji (Lonchura Maja).

Lalu bagaimana bisa ada sebutan haji ikan, padahal semua tahu di Makkah dan Madinah tak ditemukan banyak kubangan air maupun sungai. Kalau pun ada tempat penampungan air alami ditempat terbuka, itu pun hanya berupa oase yang tentu saja tak ada –minimal jarang—ditemukan ikannya. Kalaupun ada ikan dalam jumlah banyak di Arab Saudi maka letaknya itu hanya di Laut Merah atau di kolam buatan.

Meski begitu sebutan ‘haji ikan’ kerap merupakan ‘gelar lain’ yang diberikan para penduduk Makkah dan Madinah kepada para jamaah haji asal Indonesia. Khususnya ketika mereka merasa kesal atau tak terima ketika melihat perilaku jamaah yang tak mau menghemat pemakaian air.

‘’Jamaah haji Indonesia itu kayak ikan saja. Dalam sehari bolak-balik mandi. Ke luar rumah sebentar setelah pulang mandi. Berkeringat sedikit mandi. Mencuci pakaian airnya berlebihan. Wudhu dengan air berlebih,’’ begitu ucapan yang kerap terdengar di kalangan para penjaga pemondokan haji di Makkah.

Orang Arab lazimnya hanya mandi sekali dalam sehari.

 Akibat tak bisa menghemat air, para penjaga pemondokan pun kerap kesal. Tak cukup hanya dengan ‘mengomel’ mereka kadang kerap mematikan pasokan air sehingga memantik keributan. Bila di pemondokan  yang ditinggali jamaah dari luar Indonesia, sampai puncak haji mereka hanya isi tandon airnya hanya dua kali saja.

Tapi bila jamaah Indonesia yang tinggal di pondokannya maka tandon air di tempatnya tersebut bisa dipasok  hingga empat sampai enam kali.

‘’Boros banget. Para jamaah banyak tak mau matikan air,’’ kata seorang penjaga pemondokan haji di Makkah yang mengaku berasal dari sebuah kecamatan di sebelah utara kota Kebumen, Alian, beberapa tahun silam. Menurutnya, ribut soal air yang habis bagi para penjaga pemondokan haji asal Indonesia adalah hal yang jamak terjadi.

Berbeda dengan orang yang tinggal di gurun sahara, bagi orang yang datang dari kepulauan Nusantara air masih banyak yang bisa didapatkan dengan mudah dan gratis. Ketersediaan air tak pernah merisaukannya. Bahkan, di kawasan tertentu air mengucur sepanjang waktu dan sepanjang tahun.

Di pegunungan Garut, Jawa Barat, yang  hutannya masih belum banyak ditebangi, batang bambu pancuran yang di Arab Saudi berubah jadi ‘pipa pralon dan kran’, mengucurkan air seperti tak ada habisnya.

 Akibatnya, bila seorang jamaah asal daerah itu tak punya kesadaran khusus bahwa air di gurun pasir bisa seharga dengan emas, maka mereka akan jengkel ketika kebiasaan pemakaian airnya harus dibatasi.

Sudah jamak bila jamaah  haji perempuan ketika mencuci pakaian misalnya, tak akan pernah merasa puas bila pakainnya masih ada sedikit sabun yang menempel. Akibatnya, mereka terus saja membilas cucian pakainnya dengan air secara berulang-ulang.

 Sebagai perbandingan air mineral 600 ml yang di Indonesia dijual Rp 3.000, di Arab Saudi air mineral kemasan ini dijual dengan harga 3 SR (Saudi Real). Jadi bila dihitung dalam kurs Indonesia terhadap Real yang mencapai Rp 3.552, maka harga air mineral ukuran 600 ml tersebut adalah senilai Rp 10.656. Coba bandingkan dengan harga BBM  kualitas pertamax plus yang di Saudi harganya tidak sampai 1 Real.

Akibat mahalnya air, maka menjadi hal yang lazim bila mobil dan kendaraan di Arab Saudi terlihat kusam karena tertutup debu. Jarang sekali terlihat ada orang Arab yang sibuk memandikan kendaraanya. Mereka paling banter hanya mengelap bodi dan kaca kendaraanya dengan lap basah, atau beberapa bulan sekali memandikan mobilnya dengan cara mengguyurinya dengan air.

Di zaman dahulu, sewaktu petualang legendasris asal Maroko, Ibnu Batutta pergi haji ke Makkah dari arah Damaskus pada 1325 M, dia sempat menceritakan betapa para kafilah sangat berhemat dengan air ketika berjalan melintasi padang pasir.Mereka paham sekali bila di tengah perjalanan kehabisan air maka maut akan segera menjemputnya.

’’Bila sampai kekurangan air di tengah padang pasir maka seperti ‘kiamat’ akibatnya. Saat itu satu kantong air bisa berharga sampai 1.000 dinar emas. Itu pun kalau ada. Kalau persedian tak cukup maka bisa-bisa akan terjadi pertumpahan darah. Akhirnya, baik yang punya air maupun yang tidak punya, keduanya bisa sama-sama menjemput ajal,’’ tulis Ibnu Batutta.

Di Makkah misalnya, pemerintah kerajaan Arab Saudi menjaga betul agar pasokan air bersih tetap bisa dikonsumsi dengan cukup oleh warganya, baik itu mereka datang untuk berziarah umrah maupun berhaji. Di sana memang tak ditemukan jaringan pipa air bersih seperti lazim ditemui di Jakarta.

Dan, untuk memenuhi persediaan air bersih maka pihak kerajaan menyediakan truk-truk tangki raksasa. Air yang sudah dibawa sampainya di pemondokan haji atau perumahan penduduk akan langsung digelontorkan ke sebuah tempat penampungan air yang lazimnya terletak di bawah bangunan gedung. 

Semakin besar daya tampung hotel, rumah, atau pemondokan haji maka semakin besar pula tandon air yang harus dibuat.

Pada awal musim haji, sebelum jamaah gelombang pertama tiba di Makkah, tandon air di pemondokan haji diisi hingga penuh. Lazimnya, baru nanti menjelang musim puncak haji tandon air itu diisi kembali. Tapi kalau penghuninya boros air, maka tangki yang ukurannya ada yang mencapai 30 ribu liter akan terkuras dalam waktu sepekan hingga sepuluh hari.

Lalu apakah air yang dipakai sehari-hari di pemondokan Makkah merupakan air zamzam? Jawabnya tentu saja tidak! Air yang dipakai mandi, mencuci, membasuh kamar mandi, dan memasak adalah air haji sulingan air laut. Air Zamzam hanya dikonsumsi secara khusus untuk air minum. Ini pun sifatnya hanya terbatas saja.

Nah, kalau sekarang warga Makkah kerap menjuluki haji Indonesia sebagai ‘haji ikan’ karena boros air, maka wajar saja. Sebab, di manakah air tanah bisa di dapat bila tanah di kota itu hanya terdiri dari batuan dan serta pasir saja?

 

sumber: Republika Online

Cara Aman Berbelanja di Tanah Suci

Berbelanja oleh-oleh menjadi tradisi bagi para jamaah haji. Banyak pusat perbelanjaan yang dapat didatangi para jamaah haji di sela-sela waktu luangnya beribadah.

Namun, berburu buah tangan di Tanah Suci gampang-gampang susah. Berikut sejumlah tips cara aman berbelanja di Tanah Suci yang dirangkum dari berbagai sumber.

Pertama, buatlah daftar belanjaan. Hal ini penting, khusunya untuk menyesuaikan dengan keuangan anda. Belanjalah barang yang sekiranya tidak dapat anda jumpai di Tanah Air. Anda harus ingat, kapasitas maksimal bagasi masing-masing jamaah haji, yakni 32 kilogram.

Kedua, tukarkan uang anda dengan riyal. Akan lebih mudah dan nyaman jika belanja menggunakan mata uang setempat di Tanah Suci.

Ketiga, datanglah ke pusat oleh-oleh atau perbelanjaan bersama beberapa teman. Seperti, di Makkah, Madinah, Jeddah, pedagang musiman, dan sekitar hotel. Yang perlu diingat, jangan sampai kegiatan belanja mengganggu waktu ibadah anda.

Keempat, berani menawar barang. Ada baiknya, datanglah ke beberapa toko atau gerai sebelum anda memutuskan membeli suatu barang. Hal itu untuk memastikan kisaran harga barang tersebut.

Jangan segan untuk menawar harga. Sebab, tidak jarang banyak pedagang yang mencari untung saat musim haji. Mulailah menawar di bawah 50 persen dari harga yang disebut pedagang.

Jangan takut mengenai bahasa. Anda dapat berkomunikasi dengan bermacam cara, misalnya dengan jari atau kalkulator. Pun tidak sedikit para pedagang yang mengerti bahasa Indonesia. Selain itu, jangan lupa cek ke aslian apakah barang yang akan anda beli.

Kelima, jangan membawa uang banyak saat belanja. Hal ini untuk menghindari kemungkinan pemalakan terhadap jamaah haji. Selain itu, jangan menggunakan perhiasan, pakaian atau riasan yang mencolok.

 

sumber:Jurmal haji Republika

Ini Kiat Agar Jamaah tak Terpisah dari Kelompoknya

Setiap kali musim haji tiba, kerap kali kita mendengar calon jamaah tersasar dari kelompoknya. Nah, untuk menghindari hal tersebut, ada baiknya calon jamaah haji membaca tips dari Pembimbing Haji Travel Maktour Ustaz Faishol:

1. Saat ke Masjid Nabawi, Masjidil Haram, datanglah bersama rombongan.  Usahakan, ada salah satu teman yang sudah berpengalaman, misalnya pernah umrah.

2. Jika ke Masjid Nabawi dan Masjidil Haram atau yang lain, selalu ingat di pintu mana dia masuk, perhatikan nomor pintunya. Jadi, setelah selesai beribadah dapat keluar di pintu yang sama.
3. Selain itu, bagi jamaah gelombang pertama dari Jakarta langsung menuju Madinah untuk langsung umrah di Masjid Bir Ali, harap memperhatikan nomot pintu. Tidak sedikit jamah yang tercecer di masjid itu akibat tidak memperhatikan nomor pintu.
4. Kemudian perhatikan lagi, bus yang mengantarkan jamaah haji.
5. Para jamaah haji diimbau tidak keluar dari lingkungan tenda saat berada di Arafah. Kendati, ingin bersilaturahmi di tenda kerabat, fokus saja mempersiapkan diri saat di Arafah. Banyak orang keluar tenda, akhirnya tidak bisa kembali karena ada jutaan orang di Arafah.
6. Kemudian, saat turun di Musdalifah usahakan bersama-sama jamaah lain.
7. Jangan terlalu jauh meninggalkan rombongan. Kalau ke toilet dengan ketua regu atau rombongan agar lebih terkoordinasi, sehingga ketua rombongan tak merasa kehilangan di mana posisi jamaah berada.
8. Saat melontar jumrah di Akobah, usahakan tetap bersama rombongan. Karena kondisi di sana sangat padat sekali.
Buatlah tempat untuk janjian bertemu setelah selesai melontar jumrah. Ketua rombongan akan mengabsen bersama berapa orang. Berangkat dan pulang bersama
9. Untuk di Masjidil Haram, saat tawaf dan sai, usahakan tetap berkelompok. Usahakan ibu-ibu berada di tengah, sementara bapak-bapak mengelilinginya. Dan selalu ada bagian depan dan belakang.
Bagian depan mengarahkan jalur tawaf, sementara yang belakang mengawasi jamaah. Jadi ritme tawaf harus mengikuti orang yang paling lambat jalannya. Tidak boleh terlalu cepat, harus mengikuti kecepatan orang-orang tua.
Jika sudah tercecer.
1. Cari saja orang Indonesia atau petugas PPIH yang biasa memakai seragam biru bertuliskan Indonesia, datangi saja petugas itu.
2. Kemana pun, usahakan tetap membawa identitas, karena ada nama, nomor maktab, hingga nomor rumah. Sehingga, akan memudahkan petugas untuk mengembalikan atau mengantar.
3. Di Masjidil Haram, banyak petugas yang siaga di depan pintu. Jika ada orang Indonesia yang keluar akan ditanya, apakah ibadahnya sudah lengkap dan di mana akan bertemu dengan rombongan.
4. Bagi jamaah yang kehilangan rombongan, bisa menghubungi maktab atau posko kloter. Sebutkan saja nama dan di mana jamaah haji itu hilang.

Cara Bertayamum di Pesawat

Untuk bersuci (wudhu, istinja’ , tayamum) di pesawat, sebenarnya sama saja dengan di luar pesawat. Namun karena ada perbatasan fasilitas di pesatar, terutama air, maka umat Islam yang sedang melakukan perjalanan (safari) boleh melakukan tayamum.

Sebab, andaikan satu pesawat yang membawa jamaah haji (450 orang) berwudhu dengan menggunakan air, bisa dibayangkan sangat banyak air yang diperlukan untuk itu. Dianjurkan untuk bertayamum.

Caranya :

1. Berdoa: Nawaitut tayamumma li ittibahtis shalati lillahi ta’ala
2. Letakkan atau tepukkan kedua telapak tangan di kursi atau dinding pesawat
3. Usapkan kedua telapak tangan ke wajah. Mulai dari ujung dahi sampai dagu. Dari daun telinga secara merata.
4. Tepukkan lagi kedua telapak tangan ke kursi atau dinding pesawat. Usahakan tidak di tempat sebelumnya
5. Telapak tangan kiri mengusap tangan kanan dari ujung jari sampai siku secara merata
6. Kemudian tangan kanan mengusap tanngan kiri dari ujung jari sampai siku secara merata
7. Berdoa : Allahummaj’alni minat tawwabina waj’alni minal mutathahhirina waj’alni min ‘ibadikas shalihin

 

sumber:Jurnl haji

Hidup Sehat Selama Berhaji

Berbagai aktivitas tentu akan dilakukan calon jamaah haji ketika sedang melakukan ibadah haji. Sehingga perlu diperhatikan beberapa hal yang dapat menunjang kesehatan dalam tubuh agar ibadahnya berjalan dengan baik, termasuk menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS).

“Meskipun dihadapkan dengan serangkaian ibadah, jemaah haji harus tetap sehat, dimulai dari diri sendiri melalui perilaku hidup bersih,” ujar Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Depok, Agus Gojali di Balaikota Depok, Rabu (10/8).

Adapun beberapa perilaku hidup bersih dan sehat yang dapat dilakukan :

1. Konsumsi makanan bergizi.
2. Cuci tangan sebelum makan.
3. Konsumsi air mineral 2 liter sehari.
4. Gunakan masker.
5. Jaga kebersihan lingkungan.
6. Istirahat Cukup.
7. Tidak merokok.

 

sumber: Jurnal Haji

Menkes Minta Jamaah Haji Jauhi Unta

Kelompok terbang pertama jamaah calon haji resmi dilepas dari Asrama Haji Pondok Gede. Sejumlah pesan pun disampaikan kepada seluruh jamaah calon haji.

Menteri Kesehatan Nila Moeloek meminta semua jamaah calon haji untuk selalu menjaga kesehatan, atas cuaca yang lebih panas dan sebagian besar kesehatan jamaah tidak prima. Selain penggunaan gelang identifikasi kesehatan dan penambahan jumlah minum, ia meminta jamaah untuk tidak makan dan membeli makanan secara berlebihan.

“Terutama di Mina, jamaah harus benar-benar memperhatikan kondisi fisik,” kata Nila, Selasa (9/8).

Terkait persiapan, ia menerangkan Kementerian Kesehatan sendiri telah dua kali melakukan tinjauan langsung ke Tanah Suci, dan dua kali bertemu Menteri Kesehatan Arab Saudi. Nila menekankan, jamaah haji harus lebih waspada akan kesehatan badan, terutama atas penularan virus MERS yang banyak terjadi melalui unta.

Untuk itu, Nila mengingatkan agar jamaah calon haji tidak mendekati unta-unta di Arab Saudi, karena penularan diketahui banyak terjadi melalui air liur dan susu unta. Walau sudah disediakan tenaga dan Balai pengobatan, ia menjelaskan tempat-tempat seperti Padang Arafah, tidak boleh dibuat klinik-klinik selain milik Arab Saudi.

 

suber: Republika Online

Gelang Identitas Jamaah Haji Tahan Api

Gelang dari bahan logam berwarna perak yang dipakai sebagai identitas jamaah haji di Embarkasi Surakarta memiliki kualitas tahan api dan antikorosi.

Gelang identitas haji terbuat dari bahan logam dengan ketebalan sekitar 1,5 milimeter dan diproduksi di Desa Kriyan, Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara.
Salah seorang perajin gelang logam tersebut, Nur Rohim (40 tahun), mengaku telah menjadi langganan untuk menyediakan gelang identitas haji Indonesia itu sejak beberapa tahun terakhir. Ia menjelaskan, gelang logam itu diproduksi tahan korosi dengan kandungan nikel (Ni) sekitar 67 persen, tembaga (Cu) 30 persen dan campuran sedikit besi dan sulfur.
Menurut dia, gelang haji hasil produksinya sudah diuji laboratorium dan dinyatakan tahan api atau tidak meleleh saat dibakar, juga antikarat. Gelang tersebut memang berbeda dibanding produk kerajinan pada umumnya karena pada permukaannya tertera sejumlah identitas, yakni nama jamaah yang bersangkutan, kode kloter, nomor paspor, dan asal daerah.
“Gelang juga terdapat gambar lambang negara Garuda Pancasila,” katanya, di Asrama Haji Donohudan Boyolali, Kamis (11/9).
Nur Rohim yang dibantu lima tenaga kerja mampu melayani identitas ribuan orang calhaj di asrama haji Donohudan Boyolali. Perajin tinggal menyablon nama dan kloter jamaah dengan menggunakan alat sablon listrik, sedangkan lambang negara dicetak timbul dan tak bisa dihapus.
“Gelang ini sudah jadi saat di Asrama Haji Donohudan. Namun, gelang tinggal disablon secara manual sesuai nama dan kloter jamaah terkait,” katanya.
Menurut Kepala Subbagian Humas PPIH Embarkasi Surakarta Agus Widakdo, gelang haji diberikan kepada calhaj untuk memudahkan petugas kloter mengetahui identitas anggota jamaahnya guna mengantipasi jika ada jamaah yang terpisah dari kloternya. “Gelang haji sebagai identitas jamaah seperti cip vital untuk antisipasi jika terjadi musibah atau tersesat dari kelompoknya,” kata Agus.

Foto Aidit di Bandara, DPR: Itu Melecehkan Muhammadiyah dan NU

Dalam pameran foto di Bandara Soekarno-Hatta ada foto tokoh pemberontak Partai Komunis Indonesia (PKI) Aidit yang diapit foto pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari. Tampak pula ada wajah presiden keempat RI Gus Dur dalam foto kolase tersebut.

Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mengatakan, jika benar foto itu adalah foto Aidit tokoh PKI maka sangat melecehkan negara dan organisasi Muhammadiyah dan NU.

“PKI itu jelas makar yang ingin mengubah Pancasila dan negara Indonesia menjadi negara komunis,” katanya, Jumat (12/8).

Makanya ia meminta otoritas Bandara Soekarno-Hatta segera mengganti foto tersebut. “Saya juga meminta Polres Bandara Soekarno-Hatta mengusut siapa pihak yang bertanggungjawab sehingga ada foto Aidit yang disandingkan dengan tokoh-tokoh besar Indonesia tersebut,” katanya.

Nasir mengatakan terkesan seolah-olah Aidit itu pembaharu agama Islam. Dia menambahkan, hal tersebut sangat menyakitkan dan merendahkan martabat bangsa.

“Pemasangan foto Aidit bukan saja membangkitkan PKI namun mereka juga melakukan propaganda dan berupaya bisa eksis dengan cara menghapuskan soal larangan ajaran komunis di Indonesia,” ujar Nasir.

 

sumber: Republika Online

Orang-orang miskin yang pergi Haji (2)

Pemulung Kariyati binti Halil (69) tergabung dalam Kloter 42/Probolinggo.

Janda empat anak dan 11 cucu asal Desa Pondok Wuluh, Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo, Jatim itu berjuang  mewujudkan niatnya ke Tanah Suci kurang lebih 20 tahun.

Selama itu, dia berupaya menyisihkan penghasilannya dari memungut barang-barang bekas.

Nenek Karyati adalah pemulung yang setiap hari mengumpulkan gelas plastik bekas air mineral, kardus, dan kertas yang dipungutnya dari beberapa tempat sampah di Wuluh, Leces, probolinggo.

Pekerjaan itu terkadang dilakoni hampir seharian, yaitu pagi siang sore dan malam dan hasilnya pun sekitar Rp20 ribuan, meski terkadang ada orang yang berbelas kasihan dengan memberinya uang antara Rp100 ribu.

Recehan demi recehan dikumpulkan Kariyati dan ditabungkan ke bank sampai puluhan tahun hingga akhirnya terkumpul dana cukup untuk mendaftarkan dirinya guna mendapatkan porsi berangkat haji.

Sisanya, dia belikan sapi untuk persiapan pelunasan, bahkan pekerjaan sebagai pemulung masih dilakoni hingga beberapa saat menjelang keberangkatannya ke Tanah Suci.

“Selama mengikuti manasik haji, Kariyati juga masih selalu membawa peralatan sebagai pemulung, bahkan gelas bekas air mineral dan kardus bekas snack setelah manasik pun masih dipungut satu per satu,” tutur ketua rombongan 7, Hadi.

Idem dito, perjuangan yang cukup berat dan panjang juga dilakukan Kusdi Jainem beserta istrinya, Sutini, yang tergabung dalam Kloter 30 asal Magetan.

Selama kurang lebih hampir 10 tahun lalu, Kusdi dengan modal pas-pasan memulai usaha sebagai pedagang rongsokan berupa besi-besi yang tidak layak pakai atau sudah dibuang.

Sebagai pedagang rongsokan, dia menerima rongsokan itu dari para pengepul barang rongsokan dari desa ke desa, lalu barang rongsokan itu dipilah-pilah dan selanjutnya disetorkan ke pengepul besi langganannya.

Nah, hasil dari itu dikumpulkan sediki demi sedikit, lalu dia belikan hewan ternak berupa sapi yang masih kecil, kemudian dipelihara.

Setelah sapi itu besar, lalu dijual untuk dibelikan lagi sapi ukuran sedang tetapi jumlahnya dua ekor, kemudian dipelihara lagi hingga besar dan layak jual dengan harga tinggi.

Begitu seterusnya hingga akhirnya Kusdi beserta istri mampu mendaftarkan dirinya untuk berangkat haji, bahkan pelunasan biaya haji pun dipenuhi dengan terus menjalankan usaha rongsokan dan memelihara sapi itu.

Tantangan juga datang dari warga sekitar. “Kan kerjanya hanya sebagai pedagang rongsokan saja, kok bisa berangkat haji?” begitu olok-olok tetangganya.

Namun, setelah dia mampu membuktikan bisa melunasi biaya haji, Kusdi dan Sutini pun berbalik menjadi inspirasi bagi warga sekitarnya hingga ada delapan orang tetangga yang juga turut mendaftar berangkat haji.

“Saya sengaja tidak menyimpan atau menabung uang hasil usaha ke bank karena kalau disimpan di bank tidak akan mendapatkan hasil sebesar hasil dari berternak sapi sehingga saya tidak akan mungkin bisa berangkat haji sekarang (2013),” ucap Kusdi.

Loper koran
Adalah warga Dusun Juwet, Kelurahan Glagahan, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Mohammad Anwar yang bisa mewujudkan cita-citanya ke Tanah Suci berkat ketekunan dan kesungguhannya sebagai loper koran.

Bapak tiga orang anak dan empat cucu itu sehari-hari menjadi loper koran sejak 1992 dengan sekitar 60 pelanggan.

Setiap bulan, dia menyisihkan penghasilannya sebesar Rp300 ribu hingga Rp500 ribu untuk ditabung. Cara itu dilakukan setelah mendapat saran dari seorang kiai di kampungnya.

“Sekitar lima tahun lalu, saya mampu membeli sepeda motor Supra Fit, tetapi Kiai Haris Munawir (pengurus MWC NU Perak) memberi saran nek awakmu pengin lungo kaji, dolen sepedamu (kalau kamu ingin berangkat haji, jual saja sepeda motormu),” ungkap Anwar.

Tentu, saran Kiai Haris Munawir itu memicu perdebatan yang cukup panjang antara dirinya dan sang kiai.

Namun, sang kiai mampu memberi motivasi hingga akhirnya dirinya merelakan motornya dijual untuk segera mendaftarkan haji ke bank.

Setelah mendapatkan nomor porsi, Anwar bersama ketiga anaknya yang semuanya menjadi guru di Jombang itu pun menabung untuk bisa melunasi biaya hajinya pada tahun 2013.

“Alhamdulillah, saya akhirnya bisa melunasinya, malah ada kelebihan sekitar satu jutaan yang bisa jadi uang saku, selain living cost dari pemerintah,” tukas anggota Kloter 12/Jombang itu.

Agaknya “orang miskin pergi haji” itu bukan fakta yang kecil sebab Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi/Debarkasi Surabaya mencatat mayoritas haji asal Jawa Timur dari kalangan miskin.

Sekretaris PPIH Embarkasi/Debarkasi Surabaya H.M. Asyhuri di Surabaya mengemukakan bahwa haji asal Jatim pada tahun 2013 berjumlah 28.448 orang, antara lian meliputi Selanjutnya, petani sebanyak 5.118 orang atau 17,99 persen, PNS sebanyak 4.685 orang (16,47 persen), pedagang 2.231 orang (7,84 persen), dan pelajar 519 orang (1,82 persen).

 

sumber: Antara

Orang-orang miskin yang berangkat Haji (1)

Orang-orang miskin yang berangkat ibadah haji ke Tanah Suci agaknya bukan hanya ada dalam sinetron seperti “Mak Ijah Pengen ke Mekkah” atau “Tukang Bubur Naik Haji”.

Di Jawa Timur pada musim haji 2013 ada tukang becak, juru parkir, pemulung, pedagang rongsokan, loper koran,  yang menunaikan ibadah haji.

Cara yang ditempuh orang-orang miskin untuk bisa bertandang “Rumah Allah” (Baitullah) di Masjidilharam atau ke “Rumah Nabi” di “Roudloh” (Masjid Nabawi) itulah yang menarik direnungkan.

Abdullah bin Saiful Hadi (57), bapak dua anak serta tiga cucu asal Kabupaten Jember, Jawa Timur, yang berangkat bersama Kloter 62/Surabaya pada tanggal 8 Oktober 2013.

Abdullah yang hanya lulusan SD itu bisa mewujudkan niatnya menyempurnakan Rukun Islam yang kelima dalam kurun waktu hampir 26 tahun.

Ketika masih menjadi siswa, setiap kali pulang sekolah Abdullah mencari “rupiah” dengan menjadi pengayuh becak.

Dia sejak 1987 selalu menyisihkan uangnya hasil jerih payahnya sebagai pengayuh becak dan kuli panggul di Pasar Mangli Jember untuk mewujudkan keinginannya ke Tanah Suci itu.

Setiap hari uang yang disisihkan Abdullah dalam tabungannya hanya sekitar Rp10.000 hingga Rp20.000, kecuali hari Minggu karena toko-toko yang ada libur.

Dengan kesabaran dan ketekunannya, Abdullah mendaftarkan dirinya ke bank untuk mendapatkan nomor porsi pada tahun 2009 kendati sejumlah rekannya sering mengolok-olok dirinya.

“Penghasilan sebagai tukang becak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, saya bersama almarhumah istri tetap menyisakan uang receh sisa dari belanja kebutuhan keluarga untuk ditabung,” paparnya.

Saat itu, hanya tersisa sekitar Rp17 juta karena sering diambil untuk kebutuhan yang mendadak, termasuk menikahkan anaknya.

Untuk bisa mendapat porsi haji pada tahun itu harus tersedia dana Rp20 juta, maka akhirnya ditambahi tabungan milik istrinya Rp3 juta sehingga mencukupi.

Guna memenuhi kekurangan biaya haji diikhtiarkan dengan mengikuti arisan di kampungnya, yaitu Dusun Klanceng, Kecamatan Ajung, Jember.

“Saya sangat bersyukur akhirnya bisa berangkat haji. Di depan Kakbah, saya doakan almarhumah istri yang telah meninggal dunia pada tahun 2011, serta memohon rezeki lancar dan barokah serta haji yang mabrur,” tuturnya.

Menabung Sejak 2008
Cerita yang tak jauh berbeda juga dialami Djumain, seorang juru parkir motor di pertokoan Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang tergabung dalam Kloter 44 yang berangkat ke Tanah Suci pada tanggal 2 Oktober 2013.

Dengan meneteskan air mata seolah tak percaya, dia menceritakan tentang bagaimana mewujudkan niatnya untuk bisa menunaikan Rukun Islam yang kelima.

Keseharian dirinya sebagai seorang juru parkir motor tentu sangatlah sulit dibayangkan bisa berangkat haji walaupun dibantu istrinya, Sulismani, yang menerima pesanan kue-kue.

“Akan tetapi, Allah berkehendak lain, tiba-tiba saya tergerak untuk selalu menyisihkan penghasilan saya yang sekitar Rp700 ribu setiap bulan untuk sebagian dimasukkan tabungan haji sejak 2008,” ucap penderita polio sejak kecil itu.

Selang setahun, dengan bantuan saudara-saudaranya, dia pun langsung mendaftarkan diri untuk bisa mendapatkan nomor porsi berangkat haji, sampai pada saat pelunasan pun mampu terpenuhi walaupun cukup bersusah payah untuk semua itu.

Padahal, pada tahun 2011, Djumain yang bapak dari empat anak itu mengalami kecelakaan saat mengendarai motor akibat tertabrak mobil. Dia pun tidak sadarkan diri dan siuman saat sudah berada di RSSA Malang.

“Kaki dan tangan saya patah dan kaki kanan saya harus dipen serta tangan kiri dengan perawatan selama 20 hari. Alhamdulillah, saya tetap bisa berangkat bersama istri walaupun harus menggunakan tongkat penyangga untuk berjalan,” tukasnya.

Di Mekah, dia berdoa untuk rumah tangga yang sakinah mawadah wa rohmah,rezekinya lancar dan barokah, dan pendidikan anak yang masih kuliah lancar serta ilmunya bermanfaat bagi keluarga dan negara.

Ikhtiar yang tidak jauh berbeda juga dilakukan seorang waria asal Jember, Jawa Timur, Sutika bin Marwapi (42), yang berangkat menunaikan ibadah haji pada tahun 2012.

Waria asal Desa Cangkring Baru, Kecamatan Jenggawah, Jember yang berprofesi sebagai pedagang di Pasar Jenggawah itu mengaku dirinya berasal dari keluarga miskin, lalu dirinya merantau ke Bali untuk bekerja.

“Di Bali, pikiran saya terbuka untuk berdagang dan saya mengumpulkan uang untuk menunaikan ibadah haji agar saya tidak malu di hadapan keluarga, lalu saya mendaftarkan haji pada tahun 2008 dan akhirnya ditakdirkan berangkat pada hari Senin (15/10/2012),” ujarnya.

Takdir yang membanggakan dirinya itu membuatnya untuk bersemangat mengingatkan kaumnya (waria) untuk tetap menjalankan ibadah secara maksimal, termasuk beribadah haji.

“Saya mengajak teman-teman waria yang belum punya uang untuk umroh,” papar waria yang sempat kesulitan mendaftar haji sebagai wanita sesuai perasaan hatinya hingga akhirnya ke Tanah Suci dengan identitas sebagai laki-laki.

(bersambung)

 

 

sumber: Antara