KEMULIAAN rumah (hurmah al-bayt) sebenarnya tidak ditarik dari sejumlah hukum, sebagaimana kasus pemisahan antara pria dan wanita dalam kehidupan Islam, juga tidak dinukil dari satu riwayat maupun aktivitas sejumlah Sahabat dan kaum muslim yang lain, dengan seluruh rinciannya.
Namun, kemuliaan (kehormatan) rumah ini merupakan hukum obyek tertentu, yang dinyatakan oleh Alquran dengan dalil yang qathi. Karena itu kemuliaan (kehormatan) rumah bagi pemiliknya ini merupakan hukum yang qathi, baik dari aspek sumber maupun maknanya.
Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian agar kalian (selalu) ingat (QS an-Nur [24]: 27).
Allah SWT melanjutkan:
Jika kalian tidak menemui seorang pun di dalamnya, janganlah kalian masuk sebelum kalian mendapat izin. Jika dikatakan kepada kalian, “Kembalilah,” maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian. Allah Mahatahu atas apa saja yang kalian kerjakan (QS an-Nur [24]: 28).
Kedua nas di atas merupakan dalil yang qathi dari aspek sumbernya, karena diambil dari Alquran, juga dari segi maknanya, yang dengan tegas menyatakan kemulian (kehormatan) rumah bagi pemiliknya. Karena itu, rumah tidak boleh dimasuki, kecuali dengan izin pemiliknya, baik rumah tersebut berpenghuni maupun tanpa penghuni. Jadi, kemuliaan (kehormatan) rumah tersebut ditegaskan melalui larangan memasukinya, kecuali dengan izin.
Dengan demikian, siapa saja yang memasuki rumah seseorang tanpa seizin penghuni atau pemiliknya, dia sesungguhnya telah menodai kehormatan rumah tersebut, dan tentu bisa dinyatakan telah melakukan keharaman. Alasannya, karena ada larangan menodai kehormatan rumah yang dinyatakan dengan tegas oleh dalil, baik dari aspek sumber maupun maknanya. Maka dari itu, status hukum ini harus dijalankan, dan siapa saja yang mengingkari hukum ini, maka dia bisa dinyatakan kafir.
Inilah status hukum tentang kehormatan rumah. Ini merupakan hukum syariah untuk rumah, bukan untuk bangunannya. Hukum untuk rumah, dari aspek rumah itu sendiri, bukan karena berpenghuni atau tidak. Sebab, status hukum tersebut berkaitan dengan rumah dan kemuliaannya. Menodai kehormatan (kemuliaan) rumah itu identik dengan memasuki rumah tanpa izin. Dengan begitu, menjaga kehormatan (kemuliaan) rumah berarti tidak memasuki rumah, kecuali dengan izin.
Adapun apa yang menjadi konsekuensi dari memasuki rumah, apakah bisa dianggap menodai kehormatan (kemuliaan) rumah atau tidak? Inilah yang menjadi pertanyaan, termasuk menggeledah rumah untuk mencari barang bukti.
Untuk menjawab masalah ini, bisa diambil dari ayat yang sama, dan dari kondisi rumah yang diberikan solusi oleh ayat tersebut. Perlu dicatat, meski ayat di atas melarang masuk ke rumah seseorang, larangan masuk ini juga mencakup larangan untuk melakukan apa saja yang menjadi konsekuensi memasuki atau berada di rumah tersebut. Karena itu, apa saja yang menjadi konsekuensi dari memasuki rumah atau berada di dalam rumah tersebut hukumnya sama dengan larangan memasuki rumah itu sendiri. Sebab, hukum haramnya memasuki rumah tidak hanya menyatakan keharaman memasukinya saja, tetapi juga menyatakan keharaman melakukan apa saja di dalam rumah tersebut sebagai akibat dari memasukinya. Maka dari itu, kalau memasuki rumah tanpa izin hukumnya haram, dan dianggap menodai kehormatan (kemuliaan) rumah tersebut, hukum yang sama juga berlaku untuk aktivitas apapun yang dilakukan oleh orang lain di rumah tersebut. Kesimpulan di atas diambil darimanthuq dan dari dalalah iltizam dua ayat di atas.
Pertanyaannya kemudian: apakah izin tersebut harus dari kepala rumah tangga, ataukah cukup izin dari penghuninya, atau izin yang dimaksud adalah izin dari Pembuat syariah?
Jawabannya, ayat tersebut berbentuk mutlak. Ayat tersebut menyatakan: hatta tastanisu(hingga kalian meminta izin) dan hatta yudzana lakum” (hingga kalian diizinkan). Dari kata”idzn” tersebut bisa dipahami, bahwa “hatta yudzana lakum” ini dinyatakan dalam bentukmajhul, tanpa menyebutkan pemberi izin. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa siapa saja yang mempunyai kewenangan untuk mengizinkan masuk ke rumah, maka izinnya cukup bagi seseorang untuk memasuki rumah tersebut. Apakah orang yang memberi izin tersebut kepala rumah tangga, atau penghuninya, selama dia berakal (waras) dan mumayyiz. Dengan catatan, selama dia mempunyai kewenangan untuk memberi izin. Sebab, izin ini hanya diakui sebagai izin jika diberikan oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk memberi izin tersebut. Inilah pemahaman literal dari konteks “Izin masuk”.
Adapun pemahaman secara literal tentang konsekuensi memasuki rumah, maka harus diteliti terlebih dulu:
(1) Jika aktivitas di dalam rumah tersebut merupakan konsekuensi dari izin tersebut, seperti kebolehan untuk duduk atau berdiri di dalamnya, maka izin memasuki rumah tersebut sekaligus menjadi izin untuk berdiri dan duduk di dalamnya.
(2) Jika aktivitas tersebut bukan merupakan konsekuensi dari izin tersebut, seperti melakukan penggeledahan, makan, minum, tidur atau yang lain, maka izin memasuki rumah tersebut tidak bisa serta-merta menjadi izin untuk melakukan penggeleda-han, makan, minum dan tidur di dalamnya.
Dalam konteks yang kedua ini, selain izin yang diberikan oleh tuan atau penghuni rumah, maka dibutuhkan adanya izin Pembuat syariah sehingga berbagai aktivitas ini bisa dilakukan di dalam rumah tersebut. Adanya izin dari tuan atau penghuni rumah untuk memasuki rumahnya tidak cukup bagi seseorang sehingga dia bisa menggeledah rumahnya. Apalagi aktivitas penggeledahan rumah ini merupakan aktivitas tajassus (memata-matai), yaitu tafahush al-akhbar (memeriksa dan menginvestigasi berbagai informasi dan dokumen), yang jelas-jelas diharamkan di dalam Islam (Lihat: QS al-Hujurat [49]: 12).
Karena itu, aparat negara tidak boleh masuk ke rumah rakyatnya tanpa izin dari tuan atau penghuninya. Jika dia diizinkan masuk, dia pun tidak boleh menggeledah rumah tersebut. Dia juga tidak boleh melakukan tindakan apapun di dalamnya, meski dengan maksud untuk melakukan riayatu as-syuun (mengurus urusan rakyatnya). Tindakan ini hukumnya haram dilakukan oleh negara dan aparatnya, sekalipun atas perintah Khalifah. Sebab, perintah tersebut bertentangan dengan perintah Allah SWT. Dalam hal ini, perintah Allahlah yang harus dilaksanakan. Apalagi perintah tersebut melanggar keharaman tajassus.
Hanya saja, ada kondisi darurat yang mengharuskan untuk memasuki rumah tersebut, seperti menyelamatkan penghuni rumah saat rumah tersebut terbakar, atau rumah tersebut tenggelam, atau menolong orang sebatang kara yang sakit di rumahnya dan hendak dibawa berobat, atau tindakan lain yang bertujuan untuk menghilangkan bahaya dari rumah tersebut. Namun, jika bahaya tersebut tidak dinyatakan oleh nas, seperti mencari pencuri di dalam rumah, menggeledah isi rumah, atau sejenisnya, maka alasan bahaya tersebut tidak bisa menjadi justifikasi untuk melakukan tindakan di dalam rumah tersebut.
Mengenai alasan “mengurus urusan rakyat”, alasan tersebut tidak bisa digunakan oleh negara untuk memasuki rumah rakyatnya, termasuk menangkap orang yang melakukan perbuatan haram di dalamnya dengan cara yang salah. Karena “mengurus urusan rakyat” ini tidak berarti boleh mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang haram; kecuali jika kewajiban “mengurus urusan rakyat” mengharuskan negara untuk memasukinya seperti memasang instalasi listrik, saluran telpon, air minum dan sebagainya. Dalam hal ini, izin untuk memasuki rumah berarti termasuk izin untuk melakukan pemasangan instalasi dan saluran di dalamnya. []
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2362081/mari-menjaga-kemuliaan-rumah-kita#sthash.dCfK4gTn.dpuf