Jamaah haji Indonesia, tahun ini, dipastikan akan menikmati fasilitas tenda baru di Arafah. Tenda baru tersebut menggunakan rangka baja aluminium dilengkapi dengan tenda antiapi.
Month: April 2017
Dua Kunci Mudah Menghafal Alquran
Semua manusia pada hakikatnya punyat tiket menghafal Alquran. Menurut Ustaz Abdul Aziz Abdur Rauf Lc, setiap manusia tinggal memilih, ambil seluruhnya atau sebagian, 30 juz atau juz 30.
”Bagaimana kalau sudah dewasa? Selama masih hidup, insya Allah bisa hafal Alquran,” kata Ustaz Abul Aziz dalam kajian bertajuk Sekeluarga Hafal Alquran yang digelar Majelis Taklim Wirausaha (MTW) di Masjid Jenderal Sudirman WTC, Jakarta, Ahad (29/1).
Sejak menghafal Alquran pada 1984, ia merasa terpanggil untuk memberikan metode mudah menghafal kitab suci yang diturunkan Allah subhanahu wa ta‘ala kepada Nabi Muhammad shallahu alaihi wassalam tersebut. Sebab menurut dia, jika umat Islam tidak hafal Alquran, rugi sekali.
Ia berkata, seorang Muslim harus khawatir kalau lisannya mengucapkan hal yang tidak diapresiasi Allah subhanahu wa ta‘ala. Saat terbaik adalah saat membaca Alquran. Menghafal Alquran pakai metode apa saja, kunci pertamanya adalah istiqamah sampai akhir hayat.
”Jangan berprasangka buruk sama Allah subhanahu wa ta‘ala. Niat ingin hafal Alquran itu mulia. Niatkan hafal 30 juz, kalau prosesnya hanya hafal tiga juz atau juz 30, ya tidak apa,” kata Ustaz Abul Aziz.
Lagi pula di Alquran dan hadits tidak ada yang menyebut kata hafal, yang ada adalah shahibul Alquran. Idealnya seorang Muslim bisa enam kemampuan atas Alquran hafal. Jika tidak mampu semua, maka cari cara lain yang dinilai mampu.
Kedua, menghafal bersama Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Sebab, kata dia,Allah Subhanahu wa Ta‘ala menurunkan Alquran sebagai sebaik-baik bacaan. Semangatnya, dengan hafal Alquran jadi dengan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Maka, amat perlu menghadirkan semua nilai akidah.
”Doa tiap hari minta bantuan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Berterima kasih pada Allah Subhanahu wa Ta‘ala yang memberi hidayah menghafal Alquran. Semangat bersama Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Jangan menghafal pakai logika,” ungkap penulis buku Anda Pun Bisa Jadi Hafidz Alquran itu.
Untuk mereka yang sudah dewasa, fokus menghafal Alquran bukan pada target tapi berapa lama waktu yang dikomitmenkan untuk menghafal. Jangan banyak berpikir, banyak bersyukur sudah punya waktu bersama Alquran.
Saat sudah membuktikan komitmen, Allah SWT beri rasa ketagihan dengan Alquran. Kalau sudah begitu, menghafal 30 juz itu pasti bisa.
Madinah, Pusat Dakwah Islam
Keberadaan kondisi alam yang subur, sikap masyarakat yang ramah, dan sebagian warganya yang sudah mengenal ajaran Islam, Rasulullah menjadikan kota ini sebagai tempat untuk mengembangkan ajaran Islam, dan mengganti namanya menjadi Madinah.
Dalam artikelnya yang berjudul Islam dan Politik; Suatu Tinjauan atas Prinsip-prinsip Hukum dan Keadilan, Cak Nur menuturkan, kebijakan Nabi SAW mengubah nama kota itu bukan perkara kebetulan. Di baliknya, terkandung makna yang luas dan mendalam, yang mengubah model dan cara hidup masyarakat di Jazirah Arab.
Perkataan “madinah” yang digunakan Nabi SAW untuk mengganti nama Yatsrib, jelas Cak Nur, menyiratkan semacam proklamasi atau deklarasi bahwa di tempat baru itu hendak diwujudkan suatu masyarakat, yang tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Secara sosial dan politik, sangat teratur atau berperaturan, sebagaimana mestinya sebuah masyarakat ideal.
”Maka, Madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum. Sistem yang dibangun merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat yang disebut kota,” jelasnya.
Untuk membangun sistem dan pola kehidupan yang baik, Rasul SAW dengan dukungan dari para sahabatnya mendirikan sebuah masjid, yang kemudian dikenal dengan nama Masjid Nabawi.
Dari masjid inilah, Rasul memulai mengajarkan Islam kepada sahabat-sahabatnya, juga kepada umat Islam lainnya. Mulai dari masalah ibadah, muamalah (perdagangan dan interaksi dengan masyarakat), politik, pemerintahan, pengadilan, pembinaan akhlak, hingga masalah perang. Semua aturan itu lebih banyak disampaikan dari masjid.
Karena itu, selain dipergunakan untuk shalat lima waktu, masjid juga dimanfaatkan Rasulullah SAW untuk mendidik akidah dan akhlak umat Islam agar menjadi lebih baik dan kuat. Rasul menanamkan etika dan moral umat dalam pergaulan keseharian, sebagaimana diajarkan Alquran. Sehingga, nilai-nilai Alquran senantiasa tertanam dalam sanubari dan lubuk hati segenap umat Islam. Ibaratnya, Masjid Nabawi sebagai kawah candradimuka dalam pembentukan karakter dan pembinaan akhlak umat.
Dengan akidah yang kuat, akhlak yang baik, dan sikap yang santun dari umat Islam maka menyebar dan memancarlah sinar dan cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia. Tak heran bila Madinah dijuluki dengan Al-Munawarah, yang penuh cahaya atau bersinar.
Yang Harus Kita Hindari: Penyakit Hati dalam Islam
Setelah sempat mengulas lima penyakit hati, kami akan mengulas lima penyakit hati lainnya dalam artikel ini, yaitu berburuk sangka, khianat, fitnah, hasut, dan mencintai harta/barang dunia.
Nah, berikut adalah penyakit hati dalam Islam yang sebaiknya kita jauhi.
Berburuk Sangka
Di dalam Alquran sudah dipaparkan dengan sangat jelas bahwa setiap muslim dilarang untuk berburuk sangka, karena (sebagian) perilaku berburuk sangka digolongkan dalam perbuatan dosa.
Berburuk sangka ialah perilaku curiga dan menganggap orang lain telah bersikap buruk kepada diri Anda. Padahal, ini baru ada di benak saja, tanpa ada bukti secara nyata. Tentu saja, sikap curiga ini dapat membuat hubungan antar sesama menjadi tidak harmonis.
Sebagai contoh, istri yang merasa curiga kepada sang suami tanpa dasar yang jelas, akan merusak keharmonisan rumah tangga. Saudara yang berpikiran buruk pada saudara yang lain akan memecah belah bahkan memutuskan tali persaudaraan. Rekan bisnis yang berprasangka buruk dengan rekannya yang lain, akan merusak hubungan bisnis yang telah terjalin.
Khianat
Khianat adalah mangkir dalam amanah yang sudah diberikan padanya. Ini merupakan sikap yang dibenci dalam Islam. Sikap khianat ini akan merugikan diri sendiri dan orang lain.
Sikap khianat tidak hanya akan merugikan orang lain, tetapi juga diri sendiri. Orang yang telah memberikan kepercayaan dan amanah tentu saja akan tersakiti dan kecewa saat dikhianati. Pun demikian dengan orang yang berkhianat, dia tidak akan diberi kepercayaan lagi.
Fitnah
Pernah dengar istilah “fitnah lebih kejam dari pembunuhan”? Ya, istilah ini bisa dibilang benar. Karena, dampak fitnah cukup besar bagi orang yang terkena fitnah. Fitnah akan akan meninggalkan pengalaman buruk bahkan traumatis, serta dapat memicu tindakan-tindakan yang berbahaya.
Hasut
Hasut adalah menebar kebencian dan amarah kepada orang lain maupun sekelompok orang. Sifat hasut tentu saja sangat tidak terpuji karena dapat memecah belah persaudaraan dan menghilangkan keharmonisan. Bahkan, dapat pula “menggiring” publik untuk membenci suatu kaum atau seseorang.
Tanpa di sadari, hasut ini banyak ditemui di sekitar kita. Untuk menyudahinya, tentu saja menjaga hati dan terus beribadah kepada-Nya merupakan “fondasi” awal untuk mencegah diri dari perilaku hasut.
Dan itulah mengapa kita dilarang untuk berprasangka buruk, dan membicarakan keburukan orang lain. Karena dua sikap ini dapat membuat Anda mudah terhasut. Cara termudah untuk menghindari hasutan orang adalah dengan tidak menelan mentah-mentah informasi yang kita terima, apalagi jika hal itu menyangkut keburukan orang lain.
Selain itu, apabila mendengar tentang aib orang lain, hendaklah kita tidak menyebarkannya. Bagaimanapun, kita juga manusia yang tak luput dari aib. Terlebih, Allah berjanji akan menjaga aib kita apabila kita menjaga aib saudara.
mencintai harta/barang dunia akan memunculkan sikap tidak bersyukur, kikir/pelit, berbuat curang, egois, bahkan memicu tindak kejahatan seperti korupsi.
Mencintai Harta/Barang Dunia
Penyakit hati dalam Islam yang terakhir ialah mencintai harta atau barang dunia. Sifat dasar manusia ialah tidak pernah merasa puas. Sebesar apa pun harta dunia dikejar, maka akan semakin terasa kurang. Padahal, mencintai harta/barang dunia akan memunculkan sikap tidak bersyukur, kikir/pelit, berbuat curang, egois, bahkan memicu tindak kejahatan seperti korupsi.
Agar kita tidak termasuk dalam golongan ini, kita perlu sama-sama menyadari bahwa setiap harta di dunia ini adalah milik Allah, dan rezeki yang kita miliki berasal dari Allah.
Dengan menjalani hidup sesuai tuntunan dan perintah dari-Nya, Allah akan memelihara hidup kita. Namun demikian, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika ia tidak mau mengubah nasibnya sendiri. Maka, teruslah bekerja dan berusaha mengubah nasib. Bukan untuk mengejar harta dunia, melainkan demi mendapat rida dari-Nya.
Demikian ulasan kami tentang penyakit hati dalam Islam. Semoga bermanfaat.
Tarbiyah Al-Awlad Fi Al-Islam Rumuskan Tata Cara Mendidik Anak
Anak merupakan salah satu anugerah terbesar yang dikaruniakan Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Kehadiran seorang anak dalam sebuah rumah tangga akan menjadi generasi penerus keturunan dari orang tuanya.
Rasulullah SAW dalam sebuah riwayat pernah berkata, ”Sesungguhnya, setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan suci (fithrah, Islam). Dan, karena kedua orang tuanyalah, anak itu akan menjadi seorang yang beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Penjelasan ini menegaskan bahwa sesungguhnya setiap anak yang dilahirkan itu laksana sebuah kertas putih yang polos dan bersih. Ia tidak mempunyai dosa dan kesalahan serta keburukan yang membuat kertas itu menjadi hitam. Namun, karena cara mendidik orang tuanya, karakter anak bisa berwarni-warni: berperangai buruk, tidak taat kepada kedua orang tuanya, dan tidak mau berbakti kepada Allah SWT.
Dalam Alquran atau hadis Nabi Muhammad SAW, telah diterangkan tentang tata cara mendidik anak. Di antaranya adalah harus taat dan patuh kepada kedua orang tuanya, tidak menyekutukan Allah, tidak membantah perintah-Nya, tidak berbohong, dan sebagainya. [Lihat QS 9:23, 17:23, 17:24, 29:8, 31:15, 37:102, 2:83, 4:36, 6:151, 12:99, 12:100, 17:23, 17:24, 19:14, 19:32, 29:8, 31:14, 46:15].
Apabila telah dewasa, seorang anak berkewajiban untuk memberi nafkah kepada kedua orang tuanya [2:215, 30:38], anak juga berkewajiban memberikan nasihat kepada orang tua [QS 19:42, 19:43, 19:44, 19:45], mendoakannya [QS 14:41, 17:23, 17:24, 19:47, 26:86, 31:14, 71:28], serta memelihara dan merawatnya ketika mereka sudah tua [QS 17:23, 17:24, 29:8, 31:14, 31:15, 46:15].
Berkenaan dengan cara mendidik anak ini, Abdullah Nashih Ulwan merumuskan tata cara mendidik anak dengan baik dan benar. Sesuai dengan tuntunan Alquran dan sunah Rasulullah SAW. Secara lengkap, ia menuliskannya dalam sebuah kitab yang berjudul Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam (Pendidikan Anak Menurut Islam).
Secara umum, isi kitab ini sangat mendasar, padat, komprehensif, dan lengkap dengan petunjuk praktis dalam mendidik dan membimbing seorang anak agar menjadi anak yang saleh.
Secara lebih khusus lagi, setidaknya ada dua persoalan inti dari karya Abdullah Nashih Ulwan ini. Pertama, visinya tentang makna pendidikan. Menurut Ulwan, pendidikan bukan sekadar perlakuan tertentu yang diberikan kepada anak untuk mencapai sebuah tujuan.
Kedua, visi tentang pendidikan anak. Dalam pandangan Ulwan, setiap anak memiliki kehidupan sosial, biologis, intelektual, psikis, dan seks. Dalam kehidupan sosial, setiap anak pasti terlibat dengan berbagai pihak, seperti orang tua, guru, tema, tetangga, dan orang dewasa. Dan, anak tidak dengan sendirinya dapat berhubungan dengan berbagai pihak itu sesuai atau selaras dengan tuntunan Alquran dan sunah (Islam). Karena itulah, kata Ulwan, setiap anak memerlukan bimbingan dan nasihat agar mereka bisa berjalan dengan lurus.
Di Mana Lokasi Persinggahan Rasulullah dalam Isra Mi’raj?
Isra Mi’raj merupakan peristiwa terbesar dalam sejarah manusia ketika seorang manusia dipertemukan dengan Penciptanya secara langsung. Peristiwa ini hanya dianugerahkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Mengendarai tunggangan khusus yang disebut buraq, Rasulullah didampingi Malaikat Jibril berangkat dari Makkah menuju Masjidil Aqsha.
Seperti termaktub dalam Hadis yang diriwayatkan Imam Nasa’i, dalam perjalanan menuju Masjidil Aqsha, Rasulullah SAW sempat singgah di sejumlah tempat. Seperti Madinah, Bukit Thursina, kemudian singgah di Bethlehem, dan selanjutnya menuju Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha).
Rasul SAW sempat berjumpa dengan sejumlah nabi di Masjid al- Aqsha. Selanjutnya, Rasul melanjutkan perjalanan menuju Sidratul Muntaha, untuk menerima perintah shalat lima waktu.
Bukit Thursina
Hampir semua ahli tafsir sepakat, Bukit Thursina adalah bukit saat Musa menerima wahyu dari Allah. Mereka pun meyakini bahwa Bukit Thursina sebagaimana disebutkan dalam surah at-Tin ayat 1-3 ber ada di wilayah Mesir yang lokasinya berada di Gunung Munajah, di sisi Gunung Musa.
Lokasi ini dikaitkan dengan keberadaan Semenanjung Sinai. Pendapat ini didukung oleh Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur’an. Menurut Quthb, Thursina atau Sinai itu adalah gunung tempat Musa dipanggil berdialog dengan Allah SWT.
Baitul Maqdis
Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha) yang berada di Kota Yerusalem (Al-Quds) memiliki arti sangat penting bagi umat Islam. Selain menjadi tempat singgah Rasullah dalam Isra Mi’raj, Baitul Maqdis pernah menjadi kiblat shalat umat Islam sebelum kiblat dipindahkan ke Ka’bah.
Baitul Maqdis memiliki sejarah panjang. Konon, kompleks peribadatan ini sudah ada jauh sebelum datangnya Nabi Sulaiman AS. Dalam perkembangannya, Sulaiman meneruskan pembangunannya sekaligusmenambahkan bangunan Kuil Sulaiman. Di kemudian hari, kuil ini dihancurkan oleh bala tentara Babilonia. ¦ Bethlehem
Berada di wilayah Palestina, Bethlehem (Baitullahmi) merupakan kota budaya dan wisata, khususnya wisata rohani. Secara geografis, Bethlehem terletak sekitar 10 km sebelah selatan Yerusalem. Berada pada ketinggian 765 meter dpl, Bethlehem dikelilingi perbukitan yang membentang ke arah Gurun Yudea.
Sejarah mencatat, kota ini telah dihuni manusia sejak 3.000 tahun sebelum Masehi. Orang-orang Kanaan adalah kelompok manusia yang diyakini menjadi penduduk pertama Bethlehem.
Umat Rasul SAW, Umat Terakhir Tapi Pertama Dihisab
DIRIWAYATKAN dari Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Kita adalah umat yang terakhir (di dunia), tapi yang pertama dihisab (di akhirat).” Seorang sahabat bertanya, “Dimanakah umat-umat yang lainnya dan Nabi mereka?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Kita adalah yang terakhir dan yang pertama.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, no. 4280, dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahiihah, no. 2374)
Malaikat pencatat amal
Kaum muslimin rahimakumullah, Allah Taala telah menugaskan para Malaikat yang mulia untuk mengawasi dan mencatat perbuatan dan ucapan manusia. Mereka mencatatnya dalam lembaran catatan amal yang akan dibaca oleh manusia pada hari Kiamat kelak. Para Malaikat yang mulia ini benar-benar sangat amanah dan teliti dalam mencatat.
Mereka mencatat semua ucapan dan perbuatan manusia, secara detail dan terperinci, baik yang zhohir maupun batin. Allah Taala berfirman:
“Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan (yang ada di tangan Malaikat). Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis.” (QS. Qomar: 52-53)
Allah Taala juga berfirman:
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya. Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (QS. Al-Kahfi: 49)
Lalu, apakah hikmah dicatatnya amal perbuatan manusia, padahal Allah Maha Mengetahui segala sesuatu? Salah satu hikmahnya, Wallohu Taala alam, pencatat ini dilakukan untuk menampakkan keadilan Allah Azza wa Jalla. Karena di hari Kiamat kelak, manusia akan disuruh membaca catatan amalnya dan menghisab dirinya, sehingga tidak ada alasan lagi bagi orang yang bermaksiat untuk mengingkari dosa-dosanya, karena semua telah tertulis.
Ketika Catatan Amal Dibagikan
Tatkala lembaran catatan amal dibagikan, setiap umat berlutut di atas lutut mereka dan menanti panggilan untuk menghadap Rabb semesta alam. Allah Taala berfirman:
“Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Jaatsiyaat: 28).
Semua berlutut menunggu dipanggil untuk menghadap Rabb semesta alam. Ketika seorang hamba tahu bahwa dirinyalah yang dicari dengan panggilan itu, maka seruan itu akan langsung menggetarkan hatinya. Tubuhnya gemetar dan ketakutan yang besar langsung menyelimutinya. Berubahlah rona wajahnya dan menjadi hampalah pikirannya. Kemudian kitab catatan amalnya dibentangkan dan dibuka di hadapannya.
Lalu dikatakan kepadanya:
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.” (QS. Al-Isro: 13-14)
Pada saat itulah semua manusia akan teringat apa yang dulu telah ia lakukan. Semua telah tercatat dengan lengkap dan tiada kekeliruan sedikit pun.
Sebagian ulama mengatakan, “Sungguh, Allah telah berlaku adil, karena menjadikan dirimu sebagai penghisab atas dirimu sendiri.”
Sungguh tepat perkataan ini. Adakah kebijaksanaan yang lebih adil selain itu? Dikatakan kepadanya: “Silakan periksa, inilah amal perbuatanmu dan silakan engkau hisab sendiri!” Bukankah ini kebijaksanaan yang paling adil?! Bahkan inilah kebijaksanaan yang paling adil. Pada hari Kiamat kelak, kitab catatan amal akan dibentangkan dan dibuka di hadapan masing-masing hamba tanpa tertutup sedikitpun. Ia akan membacanya dan akan jelas baginyabahwa pada hari ini dan di tempat ini, ia telah melakukan ini dan ini.
Semua telah tercatat tanpa penambahan dan pengurangan sedikit pun. Jika ia mengingkari dengan lesannya, maka lesannya akan dikunci dan bangkitlah para saksi yang akan memberikan kesaksian atasnya. Allah Taala berfirman:
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan kaki mereka memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yaasiin: 65)
Cara Menerima Kitab
Setelah dihisab, setiap hamba akan diberikan bukunya masing-masing yang berisi catatan lengkap seluruh amal perbuatan yang telah ia lakukan dalam kehidupan dunia. Cara penyerahan buku itu berbeda-beda. Ada yang kitab amalnya diterima dengan tangan kanannya. Mereka itulah orang yang bahagia. Ada pula yang menerima kitab dengan tangan kirinya.
Seorang mukmin akan diberikan bukunya dari arah depan dan ia terima dengan tangan kanannya. Ia dihisab dengan mudah dan kembali kepada kaumnya yang sama-sama beriman di Surga dengan gembira. Allah Taala berfirman:
“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira.” (QS. Al-Insyiqaaq: 7-9)
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa setelah dihisab, ia kembali kepada sesama kaum beriman di Surga dengan hati yang gembira. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan bahwa rombongan pertama yang masuk Surga, wajah mereka seperti bulan purnama. Ini menunjukkan kegembiraan hati mereka. Karena apabila hati gembira, maka wajah akan ceria.” (Tafsiir Juz Amma, hal. 114)
Adapun orang-orang kafir dan orang-orang munafiq, mereka akan menerima kitabnya dengan tangan kirinya. Allah Taala berfirman:
“Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang pula kekuasaanku daripadaku.” (QS. Al-Haqqoh: 25-29)
Kitab catatan amal mereka diberikan dari arah belakang punggung mereka. Allah Taala berfirman:
“Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: “Celakalah aku.” (QS. Al-Insyiqaaq: 10)
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa mereka menerima kitab dengan tangan kiri kemudian tangannya memelintir ke belakang sebagai isyarat bahwa mereka telah dulu di dunia telah mencampakkan aturan-aturan al-Quran ke belakang punggung mereka. Mereka telah berpaling dari al-Quran, tidak mempedulikannya, tidak mengacuhkannya, dan merasa tidak ada masalah bila menyelisinya. Lalu Allah Taala berfirman: “maka dia akan berteriak: “Celakalah aku” yakni ia berteriak menyesali dirinya. Akan tetapi penyesalan tidaklah berguna lagi pada hari itu, karena habis sudah waktu untuk beramal. Waktu untuk beramal adalah di dunia, sedangkan di akherat tidak ada lagi amal, yang ada hanyalah pembalasan. (Tafsiir Juz Amma, hal. 114)
Kita memohon kepada Allah Taala agar Allah berkenan memaafkan kesalahan-kesalahan kita dan memberikan ampunan-Nya kepada kita. Aamiin.[Ustaz dr. Muhaimin Ashuri]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2373416/umat-rasul-saw-umat-terakhir-tapi-pertama-dihisab#sthash.9Kc0tezN.dpuf
Umat Muslim yang Diusir Rasulullah di Alam Mahsyar
SAHABAT Abu Hurairah radhiallahu anhu mengisahkan, pada suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendatangi kuburan, lalu beliau mengucapkan salam:
“Semoga keselamatan senantiasa menyertai kalian wahai penghuni kuburan dari kaum mukminin, dan kami insya Allah pasti akan menyusul kalian”. Selanjutnya beliau bersabda: “aku sangat berharap untuk dapat melihat saudara-saudaraku”.
Mendengar ucapan ini, para sahabat keheranan, sehingga mereka bertanya: “bukankah kami adalah saudara-saudaramu wahai Rasulullah?”. Rasulullah menjawab, “Kalian adalah sahabat-sahabatku, sedangkan saudara-saudaraku adalah umatku yang akan datang kelak”.
Kembali para sahabat bertanya: “wahai rasulullah, bagaimana engkau dapat mengenali umatmu yang sampai saat ini belum terlahir?”. Beliau menjawab, “Menurut pendapat kalian, andai ada orang yang memiliki kuda yang di dahi dan ujung-ujung kakinya berwarna putih dan kuda itu berada di tengah-tengah kuda-kuda lainnya yang berwarna hitam legam, tidakkah orang itu dapat mengenali kudanya?”
Para sahabat menjawab: “tentu saja orang itu dengan mudah mengenali kudanya”. Maka Rasulullah menimpali jawaban mereka dengan bersabda, “Sejatinya umatku pada hari kiamat akan datang dalam kondisi wajah dan ujung-ujung tangan dan kakinya bersinar pertanda mereka berwudlu semasa hidupnya di dunia”.
Aku akan menanti umatku di pinggir telagaku di alam mahsyar. Dan ketahuilah bahwa akan ada dari umatku yang diusir oleh Malaikat, sebagaimana seekor unta yang tersesat dari pemiliknya dan mendatangi tempat minum milik orang lain, sehingga iapun diusir. Melihat sebagian orang yang memiliki tanda-tanda pernah berwudlu, maka aku memanggil mereka: “kemarilah”.
Namun para Malaikat yang mengusir mereka berkata, “sejatinya mereka sepeninggalmu telah merubah-rubah ajaranmu”. Mendapat penjelasan semacam ini, maka aku (Rasulullah) berkata:
“menjauhlah, menjauhlah wahai orang-orang yang sepeninggalku merubah-rubah ajaranku” (diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim).
Anda tidak ingin bernasib seperti mereka? Tentu jawabannya: tidak. Karena itu, mari kita menjaga kemurnian ajaran beliau dan mengamalkannya dengan seutuhnya tanpa ditambah atau dikurangi.
Ya Allah jadikanlah kami orang-orang yang mendapat syafaat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam pada hari kiamat kelak. Aamiin. [DR.Muhammad Arifin Baderi]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2373873/umat-muslim-yang-diusir-rasulullah-di-alam-mahsyar#sthash.NYoqOmhK.dpuf
Inilah Asal Usul Pemberian Gelar Haji
ORANG Islam Indonesia pada umumnya jika selesai menunaikan Ibadah Haji, maka sering di panggil Pak Haji Fulan atau Ibu Hajah Fulanah, bahkan ada sebagian orang yang dengan sengaja menambahkan gelar Haji di depan namanya untuk penulisan dalam dokumen atau surat-surat penting dengan berbagai alasan, diantaranya ada yang mengatakan itu merupakan Syiar, supaya orang tertarik untuk segera mengikuti menunaikan ibadah haji.
Ada yang beralasan bahwa Ibadah Haji adalah Ibadah yang besar dan memerlukan biaya besar jadi orang tersebut merasa rugi kalau namanya tidak memakai gelar Haji/Hajah, atau jaman dulu masih sedikit orang yang mampu (dalam hal materi) mengeluarkan biaya untuk menunaikan Ibadah haji, sehingga jarang sekali orang yang bisa melaksanakan haji, maka jika pada suatu desa atau kampung ada orang Islam yang menunaikan Haji dan di kampungnya atau desanya hanya dia satu-satunya yang pernah menunaikan Haji, maka jika di kampung/desa itu di sebutkan Pak Haji (tanpa menyebut nama aslinya) maka sekampung/sedesa pasti tahu siapalah orang yang di maksud Pak Haji itu.
Gelar atau sebutan haji bagi mereka yang telah menunaikan ibadah haji, pada awalnya tidak ada dan sebutan haji ini baru muncul beberapa abad setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sejarah pemberian gelar haji dimulai pada tahun 654H, pada saat kalangan tertentu di kota Makkah bertikai dan pertikian ini menimbulkan kekacauan dan fitnah yang mengganggu keamanan kota Makkah.
Karena kondisi yang tidak kondusif tersebut, hubungan kota Makkah dengan dunia luar terputus, ditambah kekacauan yang terjadi, maka pada tahun itu ibadah haji tidak bisa dilaksanakan sama sekali, bahkan oleh penduduk setempat juga tidak. Setahun kemudian setelah keadaan mulai membaik, ibadah haji dapat dilaksanakan. Tapi bagi mereka yang berasal dari luar kota Makkah selain mempersiapkan mental, mereka juga membawa senjata lengkap untuk perlindungan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan perlengkapan ini para jemaah haji ibaratkan mau berangkat ke medan perang.
Sekembalinya mereka dari ibadah haji, mereka disambut dengan upacara kebesaran bagaikan menyambut pahlawan yang pulang dari medan perang. Dengan kemeriahan sambutan dengan tambur dan seruling, mereka dielu-elukan dengan sebutan “Ya Hajj, Ya Hajj”. Maka berawal dari situ, setiap orang yang pulang haji diberi gelar “Haji”.
Kematian yang Tak Terduga
SYAIKH At-Thantawi menceritakan sebuah kisah yang menggambarkan kematian yang datang secara tiba-tiba.
Beliau mengisahkan satu kejadian yang bisa menggetarkan keimanan kita. Dikisahkan, Ada sebuah bus yang berisi penuh dengan penumpang. Kemudian si supir tiba-tiba menginjak rem.
Para penumpang bertanya, ”Ada apa?”
Dia berkata, ”Saya berhenti karena orang tua itu melambai agar dapat naik bus.”
Para penumpang keheranan, ”Kami tidak melihat siapa pun.”
Sang supir kembali berkata sembari menunjuk ke kiri bis,”Lihatlah! Dia disana!”
Mereka para penumpang kembali mengulangi bahwa mereka tidak melihat siapa pun. Sopir itu kemudian kembali berkata,” sekarang lihatlah, dia sudah masuk ke dalam bus.”
Melihat situasi yang tidak masuk akal, para penumpang kembali berseru,”Demi Alloh! Kami tidak melihat siapa pun!” mereka mengira si sopir bercanda, atau mungkin berhalusinasi.
Tiba-tiba si supir terdiam dan kepalanya terkulai ke depan. Sang sopir meninggal di kursinya. Mungkinkah yang dimaksud si sopir adalah malaikat yang bertugas mencabut nyawanya? Wallahu a’lam.
Yang jelas, Alloh telah berfirman di dalam QS Al-A’rof ayat 34.
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (ajalnya); Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”
Ada juga kisah lainnya yang juga dikisahkan oleh syaikh Ali At-Thantawi. Dikisahkan bahwa ada seorang sopir truk di suriah yang mengambil penumpang di tengah jalan. Ia memberinya tumpangan. Penumpang itu duduk di bagian belakang truk. Tidak ada atap atau penutupnya.
Di bagian belakang truk tersebut ada peti mati yang telah dipersiapkan untuk proses pemakaman. Hujan mulai turun dan penumpang itu menyadari bahwa itu adalah peti mati yang besar. Ia memutuskan untuk masuk ke dalamnya sehingga tidak kehujanan. Kemudian ada penumpang lain yang naik ke atas truk. Ia juga naik ke belakang. Ia kemudian memilih duduk di pinggir peti mati tersebut. Selama hujan, penumpang kedua berpikir bahwa ia sendirian saja di dalam bak.
Kemudian, penumpang pertama mengulurkan tangannya dari peti untuk memeriksa apakah hujan sudah reda. Dan ia tidak memberi tahu kepada penumpang kedua yang belum menyadari kehadirannya. Ketika melihat hal itu, penumpang kedua takut setengah mati. Ia menyangka bahwa itu adalah orang yang mati hidup kembali. Saking takutnya penumpang kedua terjengkang mundur, jatuh dan kepalanya terbentur. Ia sekarat seketika.
Inilah rahasia Alloh. Kematian seseorang kadang tidak terduga. [Mubarak]