ISRA’ MI’RAJ: Salah Tafsir, dan Makna Penting

Dalam memperingati isra’ dan mi’raj sering kita diajak oleh pembicara pengajian akbar melanglang buana sampai ke langit, dan kadang-kadang dibumbui dengan analisis yang nampaknya berdasar sains. Bagi saya, aspek astronomis sama sekali tidak ada dalam kajian isra’ mi’raj.

Tulisan ini saya maksudkan untuk mendudukkan masalah isra’ mi’raj sebagai mana adanya yang diceritakan di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih. Untuk itu pula akan saya ulas kesalahpahaman yang sering terjadi dalam mengaitkan isra’ mi’raj dengan kajian astronomi. Makna penting isra’ mi’raj yang mestinya kita tekankan.

Kisah dalam Al-Qur’an dan Hadits

Di dalam QS. Al-Isra’:1 Allah menjelaskan tentang isra’: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Dan tentang mi’raj Allah menjelaskan dalam QS. An-Najm:13-18: “Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.”

Sidratul muntaha secara harfiah berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’, suatu perlambang batas yang tak seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.

Kejadian-kejadian sekitar isra’ dan mi’raj dijelaskan di dalam hadits- hadits nabi. Dari hadits-hadits yang sahih, didapati rangkaian kisah-kisah berikut. Suatu hari malaikat Jibril datang dan membawa Nabi, lalu dibedahnya dada Nabi dan dibersihkannya hatinya, diisinya dengan iman dan hikmah. Kemudian didatangkan buraq, ‘binatang’ berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan buraq itu Nabi melakukan isra’ dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina.

Nabi SAW salat dua rakaat di Baitul Maqdis, lalu dibawakan oleh Jibril segelas khamr (minuman keras) dan segelas susu; Nabi SAW memilih susu. Kata malaikat Jibril, “Engkau dalam kesucian, sekiranya kau pilih khamr, sesatlah ummat engkau.”

Dengan buraq pula Nabi SAW melanjutkan perjalanan memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma’mur, tempat 70.000 malaikat salat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.

Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam (‘pena’). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia: sungai Efrat dan sungai Nil. Lalu Jibril membawa tiga gelas berisi khamr, susu, dan madu, dipilihnya susu. Jibril pun berkomentar, “Itulah (perlambang) fitrah (kesucian) engkau dan ummat engkau.” Jibril mengajak Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur’an surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya.

Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah salat wajib. Mulanya diwajibkan salat lima puluh kali sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringanan dan diberinya pengurangan sepuluh- sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi enggan meminta keringanan lagi, “Saya telah meminta keringan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah.” Maka Allah berfirman, “Itulah fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba-Ku.”

Urutan kejadian sejak melihat Baitul Ma’mur sampai menerima perintah salat tidak sama dalam beberapa hadits, mungkin menunjukkan kejadian- kajadian itu serempak dialami Nabi. Dalam kisah itu, hal yang fisik (dzhahir) dan non-fisik (bathin) bersatu dan perlambang pun terdapat di dalamnya. Nabi SAW yang pergi dengan badan fisik hingga bisa salat di Masjidil Aqsha dan memilih susu yang ditawarkan Jibril, tetapi mengalami hal-hal non-fisik, seperti pertemuan dengan ruh para Nabi yang telah wafat jauh sebelum kelahiran Nabi SAW dan pergi sampai ke surga. Juga ditunjukkan dua sungai non-fisik di surga dan dua sungai fisik di dunia. Dijelaskannya makna perlambang pemilihan susu oleh Nabi Muhammad SAW, dan menolak khamr atau madu. Ini benar-benar ujian keimanan, bagi orang mu’min semua kejadian itu benar diyakini terjadinya. Allah Maha Kuasa atas segalanya.

“Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: “Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia”. Dan Kami tidak menjadikan pemandangan yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia….” (QS. 17:60).

“Ketika orang-orang Quraisy tak mempercayai saya (kata Nabi SAW), saya berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, saya dapatkan apa yang saya inginkan dan saya jelaskan kepada mereka tanda-tandanya, saya memperhatikannya….” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Hakikat Tujuh Langit

Peristiwa isra’ mi’raj yang menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang juga sering disebut-sebut dalam Al-Qur’an.

Bila kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi kita. Benarkah yang dimaksud langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapis-lapis sebanyak tujuh lapisan? Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Langit (samaa’ atau samawat) berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada.

Bilangan ‘tujuh’ sendiri dalam beberapa hal di Al-Qur’an tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem desimal. Di dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan:

“Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang-orang yang dikehendakinya….”

Juga di dalam Q.S. Luqman:27: “Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah….”

Jadi ‘tujuh langit’ lebih mengena bila difahamkan sebagai tatanan benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.

Lalu, apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit ke tiga, … sampai langit ke tujuh dalam kisah isra’ mi’raj? Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran, mengaitkan dengan astronomi. Para penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di langit pertama, matahari di langit ke empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini ada sembilan planet yang sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin masih ada orang yang ingin mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang sampai saat ini kita ketahui, dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh lainnya –termasuk bumi– mengorbit jauh dari matahari. Nah, orang mungkin akan berfikir langit dunia itulah orbit bumi, langit ke dua orbit Mars, ke tiga orbit Jupiter, ke empat orbit Saturnus, ke lima Uranus, ke enam Neptunus, dan ke tujuh Pluto. Kok, klop ya. Kalau begitu, Masjidil Aqsha yang berarti masjid terjauh dalam QS. 17:1, ada di Pluto.

Dan Sidratul Muntaha adalah planet ke sepuluh yang tak mungkin terlampaui. Jadilah, isra’ mi’raj dibayangkan seperti kisah Science Fiction, perjalanan antar planet dalam satu malam. Na’udzu billah mindzalik.

Saya berpendapat, pengertian langit dalam kisah isra’ mi’raj bukanlah pengertian langit secara fisik. Karena, fenomena yang diceritakan Nabi pun bukan fenomena fisik, seperti perjumpaan dengan ruh para Nabi. Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah isra’ mi’raj adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia. Hanya Rasulullah SAW yang berkesempatan mengetahuinya. Isra’ mi’raj adalah mu’jizat yang hanya diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.

Makna pentingnya

Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan isra’ mi’raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia sedikit sekali (QS. Al-Isra: 85). Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa isra’ mi’raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rupanya, begitulah rencana Allah menguji keimanan hamba-hamba-Nya (QS. Al-Isra:60) dan menyampaikan perintah salat wajib secara langsung kepada Rasulullah SAW.

Makna penting isra’ mi’raj bagi ummat Islam ada pada keistimewaan penyampaian perintah salat wajib lima waktu. Ini menunjukkan kekhususan salat sebagai ibadah utama dalam Islam. Salat mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.

Salat lima kali sehari semalam yang didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas kehidupan, mestinya mampu membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah mengingatkan: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut:45).

 

 

T. Djamaluddin adalah peneliti bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan, Bandung.

Sumber isnet

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2204783/isra-miraj-salah-tafsir-dan-makna-penting#sthash.uWOxvObi.dpuf

Salat Rasul kala Jadi Imam Para Nabi

TENTANG salat Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika menjadi imam nabi-nabi yang lain pada saat peristiwa isra miraj. Salat apakah yang beliau lakukan? Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menceritakan kejadian isra miraj, diantara penggalannya, “Kemudian aku masuk masjid (Al-Aqsa) dan aku salat 2 rakaat.” (HR. Muslim 162).

Syaikh Athiyah Shaqr pernah ditanya tentang shalat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di masjidil Aqsha, ketika peristiwa isra. Kemudian beliau membawakan keterangan dari kitab Al-Mawahib Al-Laduniyah dengan syarah Az-Zurqani, “Diperselisihkan tentang salat ini. Apakah salat wajib ataukah sunah. Sebagian ulama mengatakan wajib, berdasarkan keterangan An-Numani, dan sebagian mengatakan, salat sunah. Jika kita mengatakan itu wajib, lalu itu salat apa? Sebagian berpendapat, yang mendekati, itu salat subuh, bisa juga salat isya. Ada yang mengatakan itu terjadi sebelum miraj (naik ke langit) dan ada yang mengatakan terjadi sesudah miraj.”

Kemudian beliau membawakan keterangan As-Syami, “Pendapat-pendapat ini tidak perlu dihiraukan, baik pendapat yang mengatakan salat jamaah itu sebelum mirajj atau sesudah miraj. Karena salat wajib 5 waktu yang pertama kali dikerjakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam secara mutlak adalah salat zuhur di Mekah dengan sepakat ulama. Dan siapa yang mengatakan ada salat wajib pertama sebelum di Mekah maka dia harus membawakan dalil.”

Setelah cukup detil membawakan rincian perselisihan, beliau mengakhiri dengan nasihat, “Apapun itu, perselisihan dalam kasus semacam ini, tidak memiliki manfaat yang bisa diamalkan.”

 

 

[Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/28523]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2374186/salat-rasul-kala-jadi-imam-para-nabi#sthash.cSXfDHgm.dpuf

Bagaimana Tata Cara Salat Rasul Sebelum Isra Miraj?

PERTAMA, bahwa syariat salat sudah dikenal sebelum peristiwa isra miraj. Pernah ada seseorang yang bertanya kepada Aisyah tentang salat malam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Pernahkah anda membaca surat ini (surat Al-Muzammil)? Sesungguhnya Allah mewajibkan salat malam seperti di awal surat ini. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya melaksanakan salat malam selama setahun, sampai kaki mereka bengkak, dan Allah tidak turunkan ayat-ayat akhir surat ini selama 12 bulan. Kemudian Allah menurunkan keringanan untuk salat malam seperti disebutkan pada akhir surat ini, sehingga salat malam hukumnya anjuran, setelah sebelumnya kewajiban.” (HR. Nasai 1601, Ibnu Khuzaimah 1127).

Kemudian keterangan lainnya juga terdapat dalam hadis panjang yang menceritakan dialog antara Heraklius dengan Abu Sufyan, ketika dia mendapat surat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Heraklius bertanya kepada Abu Sufyan,
“Apa yang diperintahkan nabi itu kepada kalian?”
Jawab Abu Sufyan, yang saat itu sedang berdagang di Syam, Nabi itu mengajarkan, “Beribadahlah kepada Allah semata dan jangan menyekutukannya dengan sesuatu apapun, tinggalkan apa yang menjadi ajaran nenek moyang kalian. Dia memerintahkan kami untuk salat, zakat, bersikap jujur, menjaga kehormatan, dan menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari 7 dan Muslim 1773)

Ketika menjelaskan hadis ini, Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan, “Kisah ini menunjukkan bahwa perintah terpenting yang diserukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya adalah salat, sebagaimana beliau memerintahkan mereka untuk bersikap jujur, menjaga kehormatan. Ajaran ini menjadi terkenal hingga tersebar ke berbagai pengikut agama selain islam. Karena Abu Sufyan ketika dialog itu masih musyrik, dan Heraklius beragama Nasrani. Dan sejak diutus beliau senantiasa memerintahkan untuk bersikap jujur dan menjaga kehormatan, beliau juga senantiasa salat, sebelum salat diwajibkan (salat 5 waktu).” (Fathul Bari Ibn Rajab, 2/303).

Sebagian ulama mengatakan, kewajiban salat pertama kali adalah 2 rakaat di waktu subuh dan 2 rakaat sore hari. Berdasarkan keterangan Qatadah seorang tabiin, muridnya Anas bin Malik , “Puasa pertama kali yang diperintahkan adalah puasa 3 hari setiap bulan, dan salat 2 rakaat di waktu pagi dan 2 rakaat di waktu sore.” (Tafsir At-Thabari, 3/501). Meskipun ada ulama yang menolak keterangan Qatadah ini. Apapun itu, intinya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat telah mengenal salat sebelum peristiwa isra miraj.

Kedua, tidak ada keterangan yang jelas tentang tata cara salat sebelum isra miraj. Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang masalah ini, jawaban beliau, “Yang kami tahu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah melaksanakan salat sebelum peristiwa isra miraj, di pagi dan sore hari. Bagaimana cara beliau salat? Allahu alam, yang jelas beliau salat. Bisa jadi tata caranya dengan ijtihad mereka atau berdasarkan wahyu. Jika tata cara salat yang beliau kerjakan ketika itu, berdasarkan wahyu maka statusnya telah mansukh (dihapus) [dengan tata cara shalat yang saat ini]. Jika berdasarkan ijtihad, syariat telah menjelaskan tata cara salat yang benar.” (Sumber: http://islamancient.com/play.php?catsmktba=22684)

Hal yang sama juga yang dipesankan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah. Ketika menanggapi pertanyaan semacam ini, majlis fatwa mengatakan, “Yang kami ketahui, tidak terdapat keterangan yang shahih maupun hasan yang menjelaskan tata cara salat yang dikerjakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebelum persitiwa isra miraj. Dan tahu masalah ini tidak memberikan banyak manfaat. Karena kita beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang Allah perintahkan untuk kita, dan yang sudah ditetap dalam syariat setelah sempurna.” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 41207).

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2374185/bagaimana-tata-cara-salat-rasul-sebelum-isramiraj#sthash.N7f734v4.dpuf

Roh Saja atau Roh dan Jasad yang Isra Miraj?

ADA sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Isra dan Mi’rajnya nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya ruhnya saja, sedangkan jasadnya tidak ikut. Pendapat ini kalau kita kaitkan dengan peristiwa-peristiwa sesudahnya serta dampak yang dialami oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, nampak kurang bisa diterima.

Sebab bila hanya ruhnya yang terbang ke langit, sedangkan jasadnya tetap di bumi, seharusnya tidak perlu ada kegegeran di tengah kaumnya. Padahal sirah nabawiyah mencatat bahwa setelah pengakuan nabi atas peristiwa itu, muncul reaksi dari para kalangan kafir Quraisy yang mengingkarinya.

Buat logika mereka, tidak mungkin ada manusia bisa terbang ke langit dengan jasadnya. Kalau sekedar ruhnya saja, banyak di antara mereka yang bisa mempercayainya. Sebagaimana masyarakat Arab saat itu percaya adanya jin yang bisa terbang tinggi ke langit. Sehingga bila yang terbang ke langit hanya ruh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saja, tentu tidak akan menimbulkan bantahan.

Namun karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa dirinya sepenuhnya, termasuk jasad dan ruhnya, yang terbang ke luar angkasa, setelah sebelumnya ‘mampir’ ke Baitil Maqdis di Palestina, muncullah penolakan luar biasa dari orang arab. Dan pemahaman bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berisra’ dan mi’raj dengan jasad dan ruhnya secara sadar, bukan mimpi, adalah keyakinan mayoritas umat Islam, serta menjadi keyakinan paham ahlussunnah wal jamaah sepanjang zaman.

Sebaliknya, mereka yang mengingkari kalau jasadnya ikut terbang, umumnya muncul dari kalangan ahli ra’yu yang lebih menekankan pertimbangan logika manusia ketimbang wahyu. Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2374169/roh-saja-atau-roh-dan-jasad-yang-isra-miraj#sthash.xrMPYsM5.dpuf

Awas! Bulan Sabit dan Bintang bukan Lambang Islam?

SESUATU bisa disebut syiar agama ketika dia bersumber dari agama. Dan kita tidak boleh menjadikan sesuatu sebagai syiar islam, sementara itu bukan bagian dari agama. Contoh syiar agama adalah adzan, takbiran, shalat jumat, shalat id, haji, dst. Ibadah-ibadah yang sifatnya zahir, yang disaksikan banyak orang, menjadi syiar, karena ibadah semacam ini menjadi tanda bahwa islam eksis di wilayah tersebut. (Tafsir Ibnu Utsaimin, al-Baqarah: ayat 198).

Menjadikan bulan bintang lambang dari islam, berarti meyakini bahwa lambang semacam ini sebagai syiar islam. Apakah ini dibenarkan? Berikut beberapa keterangan para ulama tentang fenomena bulan bintang. Pertama, terdapat sebuah riwayat dari Ibnu Yunus bahwa ada seorang sahabat bernama Abul Kanud, Sad bin Malik al-Azdi, beliau pernah bertamu kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di Madinah. Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memasangkan sebuah bendera untuk dia bawa kepada kaumnnya. Bendera itu berwarna hitam, bergambar bulan sabit putih. (al-Ishabah, 3/72)

Sanad kisah ini, sebagaimana keterangan Ibnu Yunus, sebagai berikut, Said bin Ufair meriwayatkan dari Amr bin Zuhair bin Asmar bin Abul Kanud, bahwa Abul Kanud pernah bertamu kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan diberi bendera itu. Status Riwayat dalam Fatwa Islam (no. 144180) dijelaskan bahwa riwayat ini dhaif. Karena beberapa alasan:
– Amr bin Zuhair majhul, tidak dikenal
– Said bin Ufair yang meriwayatkan kisah ini dari Amr bin Zuhair, bukan tabi tabiin. Namun generasi setelah itu. Al-Hafidz memasukkannya pada generasi kesepuluh (at-Tabahqah al-Asyirah), generasi sezaman dengan Imam Ahmad. (Taqrib at-Tahdzib, 1/362) Sehingga sanad riwayat ini terputus antara Said dengan Amr bin Zuhair.
– Jika Amr bin Zuhair adalah guru Said bin Ufair, berarti Amr bin Zuhair bukan tabiin. Artinya, dia tidak menjumpai kakek buyutnya, Abul Kanud, yang merupakan sahabat.

Mengingat sanadnya tidak bersambung dua kali, hadis ini digolongkan hadis mudhal, dan itu termasuk hadis dhaif, yang tidak bisa jadi dalil. Kedua, beberapa ulama menegaskan bahwa lambang bulan sabit bintang, tidak pernah dikenal di zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam maupun sahabat. Bahkan belum dikenal di zaman daulah Umawiyah. Ada yang mengatakan, pertama kali muncul di zaman daulah Utsmani (sekitar abad ke-13 M).

Dalam at-Taratib al-Idariyah dinukil keterangan Syihab al-Mirjani, dalam kitabnya Wafayat al-Aslaf, “Meletakkan gambar bulan sabit di atas menara-menara masjid, termasuk bidah (sesuatu yang baru). Para penguasa Daulah Utsmani menggunakan lambang ini sebagai lambang resmi, meniru lambang istana di romawi. Kejadian awal mulanya, bahwa Paulus al-Maqduni ayah dari Iskandar Akbar pernah menyerang konstatinopel bersama pasukannya. Di beberapa malam penyerangan, mereka berhasil mengalahkan penduduk negeri itu, dan mengusir mereka. Kejadian itu bertepatan dengan waktu sahur. Lalu mereka merasa optimis dengan waktu itu, dan menjadikan gambar hilal (bulan sabit) sebagai lambang resmi mereka, untuk mengingat peristiwa itu. Lambang inipun dipakai di berbagai istana, kemudian ditiru bani Utsmaniyah, ketika mereka berhasil mengalahkannya. Kemudian lambang itu masuk ke negeri Qazan.” (at-Taratib al-Idariyah, al-Kittani, 1/265).

Imam Ibnu Utsaimin mengatakan, “Tentang memasang gambar hilal di menara-menara, ada yang mengatakan, bahwa sebagian kaum musliminlah yang meniru umat yang lain, yang mereka lakukan terhadap tempat-tempat ibadah mereka. Mereka meletakkan lambang bulan sabit, untuk menandingi orang nasrani yang memasang lambang salib di tempat-tempat ibadah mereka. Sebagaimana yang terjadi pada yayasan pertolongan pertama bagi orang sakit dengan sebutan bulan sabit merah, untuk menyaingi milik orang nasrani, palang merah. Karena itu, tidak selayaknya lambang ini diletakkan di menara-menara masjid, mengingat adanya kemiripan (dengan orang nasrani), dan mengingat ini buang-buang harta dan waktu.” (Majmu Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 13/941).

Ketiga, berdasarkan tinjauan sejarah dari keterangan para ulama di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa bulan sabit maupun bintang bukan bagian dari syiar islam. Untuk itu, kita tidak boleh menjadikanya sebagai syiar islam, apalagi meyakini bahwa dengan memasang lambang itu akan mendapatkan pahala.

Dalam Fatwa Islam (no. 1528) dinyatakan, “Kesimpulannya, bahwa setiap syiar dan lambang, harus sesuai syariat, dimana ketika di sana tidak dalil yang menunjukkan anjuran hal itu, maka yang lebih tepat adalah meniggalkannya. Bulan sabit dan bintang bukan syiar kaum muslimin, meskipun sebagian kaum muslimin menjadikannya syiar. Adapun dari sisi keyakinan kaum muslimin terhadap bulan dan bintang, mereka meyakini bahwa dua benda itu ciptaan Allah, tidak bisa mengatur taqdir baik maupun buruk, dan tidak bisa memberikan pengaruh dengan sendirinya terhadap kejadian yang ada di bumi. Allah menciptakannya agar diambil manfaatnya bagi manusia. Diantaranya (sebagai acuan kalender), seperti yang Allah firmankan (yang artinya), “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Jawablah, itu acuan waktu bagi setaip manusia.”

 

 

Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2374151/awas-bulan-sabit-bintang-bukan-lambang-islam#sthash.wuxwWaL1.dpuf

Perhatikan Batas Usia dengan Mengingat Kematian

DI antara perkara yang dapat mendorong seseorang untuk beramal dan bersemangat adalah menyaksikan orang-orang yang sedang menghadapi sakaratul maut. Bisa jadi pengaruhnya akan membekas pada diri seseorang sampai ia meninggal dunia.

Suatu ketika, Hasan Al Bashri, seorang ulama pada masa kekhalifahan Umayyah, menjenguk seseorang yang sedang sakit. Didapati orang tersebut sedang menghadapi sakaratul maut. Secara langsung Hasan menyaksikan kesulitan dan derita yang dialami orang itu. Kemudian Hasan Al- Bashri pulang kepada keluarganya dengan raut muka yang berbeda saat ia keluar rumah meninggalkan mereka. Oleh karenanya mereka bertanya kepadanya, “Apakah engkau ingin makan? Semoga Allah Subhanahu Wataala memberi rahmat kepadamu.”

Imam Hasan Al-Bashri menjawab, “Wahai keluargaku, ambilah makanan dan minuman! Demi Allah, sesungguhnya aku telah melihat kematian, aku akan terus beribadah hingga bertemu dengan-Nya.” (dinukil dari At-Tadzkirah fi Ahwalil Mauta wa Umuuri Akhirat karya Imam Al-Qurthubi). Sementara Umar bin Abdul Aziz punya cara unik untuk selalu mengingat kematian. Biasanya secara rutin Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan para fukaha setiap malam untuk mengingat kematian, kemudian mereka menangis seolah-olah di hadapan mereka ada jenazah.

Ziarah kubur juga termasuk hal yang dapat mengingatkan kita pada akhirat (termasuk di dalamnya kematian, sebagai pintu menuju akhirat), sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi Wassalam: “Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, namun sekarang berziarahlah, karena hal itu akan menjadikan sikap hati-hati di dunia dan akan dapat mengingatkan pada akhirat.” (Riwayat Ahmad)

Pada akhir tulisan, marilah kita renungi Hadis Rasulullah berikut ini, “Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya. Mereka itulah orang-orang cerdas. Mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kemuliaan akhirat.” (Riwayat Ibnu Majah) [hidayatullah]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2363063/perhatikan-batas-usia-dengan-mengingat-kematian#sthash.1GGrEEpR.dpuf

Awas! Kiamat Semakin Dekat, Bertobatlah!

SUBHANALLAH, sahabatku inilah kiat-kiat tobat nasuha (sungguh-sungguh):

Pertama, “Annadm” penyesalan atas maksiat yang pernah dilakukan bahkan perih hati dan mudah menangis kalau ingat masa lalu.

Kedua, “Al I’tiqod” berjanji bersumpah untuk tidak pernah lagi mengulanginya (lihat QS. Ali Imron 135).

Ketiga, “Dawaamul Istigfaar” terus menerus minta ampunan Allah. Abu Bakar Ashshiddiq mohon kepada Rasulullah, “Ajarkanlah aku suatu doa yang bisa aku panjatkan saat munajat”, maka Beliau pun berkata, “Bacalah: Allahumma innii zholamtu nafsii zhulman katsiiran wa laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta faghfirlii maghfiratan min indika warhamnii innaka antal ghafuurur rahiim, “Ya Allah, sungguh aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali hanya Engkau, maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau maha pengampun lagi maha penyayang”, (HR. Muttafaqun Alaihi).

Keempat, “Al Iman Bimagfirotihi”, yakin sepenuh hati bahwa Allah maha pengampun dan maha menerima tobat, “Katakanlah: “Hai hamba-hambaKu yang malampaui batas dalam perbuatan maksiyat, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya, sesungguhnya Dia-lah yang maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS Az Zumar 53).

Kelima, “Adzdzunuubu Almatrukah” dosa yang Allah tidak ampuni sampai yang dizaliminya memaafkannya. Seperti orang dipukul, dihina, difitnah, dipergunjing, kecuali yang dibunuh, maka keluarganya punya hak hukum untuk memaafkan atau menuntutnya. Kalau tidak dilakukan maka tetap di akhirat akan dibalas, apalagi dosa membunuh walau selesai urusan dengan keluarga masih tetap bertanggungjawab di akhirat pada yang dibunuhnya saking besarnya dosa membunuh. Karena itu segeralah mohon maaf pada orang-orang yang pernah kita zalimi.

Keenam, “Iaadatul Maal” mengembalikan harta hasil kezaliman kepada yang dizalimi. Kalau tidak menjumpainya lagi maka berikan kepada ahli warisnya, kalau tidak ada juga maka sedekahkan sejumlah hasil kezaliman itu, diniatkan atas nama orang yang dizalimi itu, seperti hasil korupsi, menipu, sogokan dsb. Kalau tidak dilakukan, Rasulullah mengecamnya, “Sungguh semua hasil kezalimannya akan digantungkan dilehernya walau sekecil jarum”,

Ketujuh, salat sunah tobat adalah salat yang dianjurkan berdasarkan kesepakatan empat mazhab. “Tidaklah seorang hamba melakukan dosa lalu ia berwudhu, lalu berdiri untuk melakukan salat dua rakaat, lalu meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya,” (HR. Tirmidji, Abu Daud, Ibnu Majah). Kecuali yang berzina, dianjurkan sebelum sholat tobatnya mandi dulu.

Terakhir, kedelapan, semuanya dilakukan dengan niat benar-benar ingin keridaan Allah Swt.

Subhanallah, sahabatku tercinta setiap menulis tentang tobat hati abang sesak karena amat sangat mohon kepada Allah agar abang dan kalian sungguh-sungguh bertobat, tidak main-main lagi dengan kehidupan sesaat ini. Kabulkan doa kami ya Allah. Aamiin.

 

[Ustaz Arifin Ilham]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2372191/awas-kiamat-semakin-dekat-bertobatlah#sthash.liiNdaQK.dpuf

Tobat Sehari Menghapus Durhaka 40 tahun

PADA zaman Nabi Musa, kaum Bani Israil pernah ditimpa musim kemaru yang panjang. Karena tidak kuat menanggung cobaan dari Allah itu, mereka berkumpul untuk menemui Nabi Musa dan berkata,”Wahai Musa, tolonglah doakan kami kepada Tuhanmu supaya Dia berkenan menurunkan hujan untuk kami.”

Kemudian berdirilah Nabi Musa a.s bersama kaumnya. Mereka berangkat menuju tanah lapang untuk minta diturunkan hujan. Jumlah mereka kurang lebih 70 ribu orang.

Kepada Nabi Musa, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya,”Aku tidak pernah merendahkan kedudukanmu di sisi-Ku, sesungguhnya di sisi-Ku kamu mempunyai kedudukan yang tinggi. Akan tetapi, bersama denganmu ini, ada orang yang secara terang-terangan melakukan perbuatan maksiat selama 40 tahun.

Engkau boleh memanggilnya supaya ia keluar dari kumpulan orang-orang yang hadir di tempat ini. Orang itulah sebagai penyebab terhalangnya turun hujan untuk kamu semuanya.”

Nabi Musa kembali berkata,”Wahai Tuhanku, aku adalah hamba-Mu, suaraku juga lemah, apakah mungkin suaraku ini dapat di dengarnya, sedangkan jumlah mereka lebih dari 70 ribu orang.”

Allah SWT berfirman,”Wahai Musa, kamulah yang memanggil dan Aku-lah yang akan menyampaikannya kepada mereka.” Menuruti apa yang diperintahkan Allah, Nabi Musa a.s berseru kepada kaumnya,”Wahai seorang hamba yang durhaka yang secara terang-terangan melakukannya sampai 40 tahun, keluarlah kamu dari rombongan ini, karena kamulah hujan tidak diturunkan Allah SWT.”

Mendengar seruan dari Nabi Musa a.s itu, maka orang yang durhaka itu berdiri sambil melihat ke kanan dan ke kiri. Akan tetapi, dia tidak melihat seorangpun yang keluar dari rombongan itu. Dengan demikian, tahulah dia bahwa yang dimaksudkan Nabi Musa itu adalah dirinya ssendiri. Karena itu dia ingin bertobat, tetapi ia ragu untuk mengakuinya di tempat itu.

“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah durhaka kepada-Mu selama 40 tahun. Walaupun demikian, Engkau masih memberikan kesempatan kepadaku dan sekarang aku datang kepada-Mu dengan ketaatan, maka terimalah tobatku,” begitu doanya.

Beberapa saat selepas itu, awan bergumpal di langit, setelah itu hujan pun turun dengan deras. Melihat keadaan demikian, Nabi Musa berkata,”Tuhanku, mengapa Engkau memberikan hujan kepada kami, bukankah diantara kami tidak ada seorangpun yang keluar mengakui dosanya?”

Lalu Allah SWT berfirman,”Wahai Musa, aku menurunkan hujan ini juga disebabkan oleh orang yang dahulunya sebagai sebab tidak menurunkan hujan kepada kamu.”

Kemudian Nabi Musa berkata,”Tuhanku, sebenarnya siapakah gerangan dia? Perlihatkanlah dia kepadaku siapa sebenarnya hamba-Mu itu?”

Allah berfirman,”Wahai Musa, dulu ketika ia durhaka kepada-Ku, Aku tidak pernah membuka aibnya. Apakah sekarang Aku akan membuka aibnya itu ketika dia telah taat kepada-Ku? Wahai Musa, sesungguhnya Aku sangat benci kepada orang yang suka mengadu. Apakah sekarang Aku harus menjadi pengadu?”

Akhirnya Kaum Nabi Musa mengerti bahwa Allah Maha Pemaaf.Maksiat selama 40 tahun bisa dihapus dengan tobat sehari.[ ]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2374196/tobat-sehari-menghapus-durhaka-40-tahun#sthash.SNlC8vZd.dpuf

Bolehkah Puasa di Hari Isra Miraj?

PERTAMA, para ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal kejadian isra miraj. Ada berbagai pendapat ulama, terkait dengan penentuan waktu kejadian Isra dan Miraj. Ada yang mengatakan di bulan ramadhan, ada yang mengatakan 27 Rajab, ada yang berpendapat di bulan muharram, dan ada pula yang mengatakan di bulan rabiul awal.

Ini menunjukkan tidak ada keterangan tegas dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maupun sahabat tentang kapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjalani isra miraj. Yang berarti bahwa tidak ada sesuatu yang istimewa terkait aturan syariat untuk tanggal 27 rajab. Bagaimana mungkin akan ada ibadah di tanggal ini, sementara sahabat tidak menganggapnya sebagai waktu istimewa.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam fathul Bari menyebutkan ada sekitar 10 pendapat ulama tentang kapan isra miraj terjadi. Selanjutnya dikomentari oleh lembaga Fatawa Syabakah Islamiyah, “Perselisihan ini menunjukkan bahwa hari isra miraj tidak memiliki keutamaan khusus untuk puasa, tidak pula shalat di malam harinya. Karena, andaikan itu baik, tentu Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat mulia akan mendahului kita dalam melaksanakannya.” (Fatawa Syabakah islamiyah, no. 5951)

Para sahabat mengakui kemukjizatan isra miraj, namun kapan itu terjadi, dan tanggal berapa bulan apa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjalaninya, para sahabat tidak memperhatikannya. Kedua, tidak ada amal apapun yang dianjurkan ketika isra miraj. Andaikan tanggal kejadian isra miraj ini merupakan hari yang istimewa untuk ibadah, tentu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan sahabat akan mempraktekkannya. Dan kami belum menjumpai dalil tentang itu. Siapa yang mengklaim ada aturan khusus untuk hari isra miraj, dia harus mendatangkan dalil. Jika tidak, maka pendapatnya ditolak.

Sekali lagi para sahabat sangat mengakui kemukjizatan isra miraj. Terbukti dari semangat mereka untuk menyampaikan berita tentang isra miraj. Ada sekitar 16 sahabat yang meriwayatkan hadis tentang isra miraj ini. Namun kapan itu terjadi, sahabat tidak terlalu peduli. Karena itulah, para ahli sejarah tidak sepakat dalam menentukan tanggalnya. Andai ada keterangan yang jelas tentang tanggal kejadian isra miraj, tentu mereka akan sepakat terhadap tanggal itu. Ini artinya, tanggal isra miraj bukan waktu yang istimewa untuk ibadah. Peristiwanya istimewa, tapi tanggal kejadiannya tidak istimewa.

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, ketika ditanya tentang hukum puasa isra miraj, mereka menjawab, “Hari isra miraj, tidak diwajibkan, tidak dianjurkan, tidak pula disunahkan untuk puasa. Karena tidak ada keterangan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau mengerjakan puasa di hari itu atau memerintahkan sahabatnya untuk puasa di hari itu. Andaikan puasa di hari ini dianjurkan, atau disunahkan tentu beliau akan menjelaskannya. Sebagaimana beliau menjelaskan tenatng puasa hari Arafah atau puasa Asyura”( Fatawa Syabakah islamiyah, no. 5951)

Ketiga, jika hari isra miraj bertepatan dengan hari yang menjadi rutinitas seseorang berpuasa sunah maka tetap dianjurkan untuk melaksanakan puasa itu. Bukan karena isra mirajnya, tapi karena hari kebiasaan puasanya. Seperti isra miraj yang bertepatan dengan hari senin atau kamis. Oleh karena itu, keterangan bahwa hari ini tidak boleh puasa karena isra miraj adalah keterangan yang sama sekali tidak bisa diterima. Karena disamping tidak ada anjuran untuk mengkhususkan puasa di hari isra miraj, juga tidak ada larangan untuk berpuasa sunah di hari senin atau kamis yang kebetulan bertepatan dengan isra miraj.

Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2374184/URLPEDOMAN#sthash.Bqb3Lth7.dpuf

Ini Penyebab Wawasan Calon Jamaah Soal Haji Minim

Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) menilai pemerintah perlu memberikan perhatian serius terhadap bimbingan para calon jamaah haji (calhaj) Indonesia. Pasalnya selama ini wawasan dan pengetahuan para calhaj dinilai masih minim.

Komisioner KPHI Syamsul Maarif mengatakan minimnya wawasan calhaj soal proses haji tidak lain karena latar belakang pendidikan yang rendah. Kebanyakan tingkat pendidikan calhaj Sekolah Menengah Atas (SMA) ke bawah. Ditambah lagi usia calhaj mayoritas 60 tahun ke atas.

“Artinya di samping latar belakang pendidikan rendah, kemampuan mereka menerima ilmu pengetahun pun rendah,” ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa (18/4).

Untuk itu, dia meminta pemerintah memberikan perhatian serius kepada calhaj terutama soal pembekalan wawasan soal haji. “Mestinya Ditjen PHU (Penyelenggaraan Haji dan Umrah) bekerja sama dengan Ditjen Bimas Kemenag melakukan bimbingan melalui penyuluhan. Bimbingan ini pun seharusnya dilakukan sejak calhaj mendaftar haji,” ujar Syamsul.

Bimbingan sebaiknya berkaitan dengan materi penyelenggaraan haji dan umrah, waktu ritual haji, sarana dan prasarana, hingga alat peraga. Saat ditanya berapa lama waktu ideal bimbingan haji, dia menjawab hal itu relatif. Menurut Syamsul, yang terpenting adalah pemerintah terus memantau kemampuan calhaj.

Hal ini bisa dilakukan melalui pra-test dan post-test terhadap calhaj. Pra-test bertujuan untuk mengetahui kemampuan calhaj menerima bimbingan, sementara post-test berfungsi untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan jamaah setelah mengikuti bimbingan. Syamsul menyebut rangkaian tes ini dapat menjadi patokan kadar wawasan dan pengatahuan calhaj terkait proses yang akan mereka lalui di Tanah Suci.

 

IHRAM