Lima Cara Mengurangi Gejolak Syahwat

SERING ada pertanyaan, bolehkah seorang wanita yang sering ditinggal pergi suami karena bekerja di kota lain, karena desakan syahwat lalu bermasturbasi? Berdosakah dia?

Benar bahwa masturbasi pada dasarnya dilarang dalam Islam sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Mukminun dan al-Ma’arij bahwa seorang mukmin hanya menyalurkan syahwat kepada pasangannya yang sah; bukan dengan cara yang lain. Siapa yang menyalurkan dengan cara lain berarti melampaui batas. Karena itu jumhur ulama menegaskan bahwa hukum masturbasi baik bagi laki-laki maupun wanita hukumnya haram.

Namun dalam kondisi tertentu saat gejolak nafsu sangat besar, sementara penyaluran yang halal sulit untuk dilakukan, di lain sisi faktor yang bisa mengantarkan kepada zina begitu kuat, maka dalam kondisi demikian sebagian Imam Ahmad seperti disebutkan dalam sebuah riwayat membolehkan dengan alasan irtikab akhaffu adh-dhararayn (memilih mudharrat yang paling ringan dari dua mudharrat yang ada). Yakni hal itu untuk menjaga diri dari perbuatan zina saat faktor-faktornya sangat kuat.

Hanya saja, untuk mengurangi gejolak nafsu yang besar ada sejumlah hal yang bisa dilakukan:

1. memperbanyak puasa sunah.

2. berteman dengan wanita saleh

3. menjauhi hal-hal yang bisa membangkitkan syahwat, seperti menonton film percintaan, sinetron asmara, majalah vulgar, dst.

4. memperbanyak zikir dan tilawah Alquran

5. menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas kebaikan

Wallahu alam..

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2376936/lima-cara-mengurangi-gejolak-syahwat#sthash.2XS8EMih.dpuf

Pergi Umrah, Bawa Dolar atau Rupiah?

Anda tengah bersiap melaksanakan umrah? Kemudian bingung, bagaimana seharusnya membawa uang ke Tanah Suci.

Nah, berikut tips Ihram.co.id, untuk Anda yang masih bingung.

Para jamaah sebaiknya cukup membawa dolar Amerika Serikat (AS) ke Tanah Suci, mengingat uang tersebut berlaku di mana-mana.

Tetapi, begitu sampai di Tanah Suci, barulah dolar AS itu ditukar ke riyal sesuai kebutuhan. Kalau ditukar di Indonesia, kursnya tinggi, sehingga merugikan jamaah, karena itu lebih baik ditukar di Arab Saudi. Tempat penukaran uang (money changer) banyak ditemui di sekeliling Masjidil Haram Makkah maupun di Masjid Nabawi Madinah.

Namun, idealnya sebelum berangkat ke Tanah Suci, jamaah harus sudah mempersiapkan uang riyal terlebih dahulu dari Indonesia. Bagi majaaah reguler, biasanya akan mendapat uang living cost dalam bentuk riyal.

Jika uang riyal masih tersisa, sementara jamaah akan pulang ke Tanah Air, ada baiknya menukarkan kembali uang tersebut ke rupiah di Arab Saudi, jangan di Indonesia.

Mengapa?

Karena, jika ditukar di Indonesia, selisihnya lumayan jauh. Artinya, jamaah akan lebih untung menukarkan riyal di Arab dibanding menjualnya di Tanah Air.

 

IHRAMcoID

Pastor Ini Masuk Islam Setelah Bandingkan “Ya Ayyuhal Ladzina Amanu” vs “Wahai Anak Domba”

Sejak kecil ia sekolah di sekolah Katolik. Mulai TK Katolik Kristus Raja, SD Katolik Santo Yohanes Gabriel, SMP Katolik Santo Stanilslaus, SMA Katolik Santa Maria, Sekolah Pastor Tingkat Menengah Santo Vincentius a Paulo, Sekolah Tinggi Pastor Katolik Santo Giovanni, Magister Teologi Vatikan Roma.

Namun siapa sangka, setelah 35 tahun menempuh pendidikan Katolik dan menjadi seorang pastor, Allah justru memberikan hidayah kepadanya.

Ustadz Bangun Samudra, demikian nama muslim-nya sekarang. Ia masuk Islam setelah mempejari dan membandingkan antara Al Qur’an dan Alkitab. Antara Islam dan agamanya. Antara aqidah Islamiyah dengan dogma-dogma agama lamanya.

Salah satu yang menarik dan membuatnya berpikir mendalam adalah saat mempelajari Al Qur’an. Semula, ia mempelajari Al Qur’an untuk menentang dan menolaknya. Tapi ia justru terkesima saat mendapati di dalam Al Qur’an banyak panggilan mulia dari Allah untuk hambaNya.

Di surat An Nisa’ ayat 1 ada “yaa ayyuhan naas” (wahai manusia). Di surat Al Baqarah juga ada “yaa ayyuhan naas”

Yang lebih dalam lagi, dalam sekian banyak ayat Al Qur’an mendahului dengan panggilan “yaa ayyuhal ladziina aamanuu” (wahai orang-orang yang beriman).

“Panggilan-panggilan ini begitu memuliakan. Kita dipanggil sebagai manusia, bahkan kita dipanggil sebagai orang-orang beriman,” pikir Bangun Samudra.

Ia lantas membandingkan dengan kitabnya yang menyebut “wahai anak-anak domba.”

“Mengapa Tuhan kami memanggil kami sebagai anak domba yang dalam bahasa Jawa berarti wedhus? Benarkah ini panggilan dari Tuhan”

Panggilan dari kedua kitab itu adalah salah satu di antara sekian banyak hal yang menjadi dasar pemikiran mengapa ia akhirnya masuk Islam. Dengan kedalaman ilmu yang ia dapatkan sejak kecil hingga di Vatikan, Bangun Samudra akhirnya mengetahui bahwa Islam-lah yang benar. Al Qur’an-lah kitab suci yang benar-benar datang dari Tuhan tanpa diselewengkan atau dipalsukan manusia.

 

[Muchlisin BK/Bersamadakwah]

Sepintas Mirip Wanita Muslim, Padahal Yahudi “Frum”

Jika melihat sekilas, mungkin Anda berpikir mereka adalah muslim. Kalau iya, dugaan Anda salah. Memang ada beberapa muslim luar negeri yang memakai burqa. Tapi untuk yang satu ini mereka buka muslim. Mereka adalah Yahudi. Yahudi sekte Haredi. Yahudi yang memakai kerudung yang mirip Muslim.

Wanita Yahudi Ultra-Ortodoks selalu merasa bangga mengenakan gaun sederhana. Wanita Yahudi Ultra-Ortodoks bangga berpakaian sopan agar tidak menarik perhatian orang-orang yang bukan suaminya.

Saat ini, beberapa sekte Yahudi ultra-Ortodoks, perempuan telah pergi ke tingkat yang baru kesopanan dengan menutup seluruh tubuh dan wajah mereka.

Menurut Wikipedia, sekte ini disebut “Haredi burka sekte” atau “ibu Taliban”. Banyak para gadis muda dari keluarga-keluarga ini berpakaian sama, kecuali untuk penutup wajah. Sekte Yahudi ultra-Ortodoks ini sederhana, berpusat di Israel, di mana perempuan ultra-Ortodoks Yahudi merasa membutuhkan kain untuk menutupi seluruh tubuh burqa, termasuk cadar yang menutupi wajah.

Menurut Muslim Mirror, niqab burqa mereka disebut frumka, plesetan dari kata frum (fakir) dan burka. Sekte Yahudi ultra-Ortodoks ini, diperkirakan telah dimulai dengan sekitar 100 wanita pada tahun 2008, dan tumbuh tahun 2011.

 

[Paramuda/ BersamaDakwah]

 

 

Baca juga:

Memanfaatkan Sya’ban Agar Ramadhan Tak Ngos-Ngosan

Disebut Sya’aban, karena sya’ban yang berasal dari kata syi’ab bisa dimaknai sebagai jalan setapak menuju puncak. Artinya bulan sya’ban adalah bulan persiapan yang disediakan oleh Allah swt kepada hambanya untuk menapaki dan menjelajahi keimanannya sebagai persiapan menghadapi puncak yakni Ramadhan.

Allah berfirman dalam Alquran surat Yunus 63-64:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”

Sya’ban adalah bulan kedelapan dalam penanggalan Hijriyah. Secara bahasa kata “Sya’ban” mempunyai arti “berkelompok”. Nama ini disesuaikan dengan tradisi bangsa Arab yang berkelompok mencari nafkah pada bulan itu.

Sya’ban termasuk bulan yang dimuliakan oleh Rasulullah Saw. selain bulan yang empat, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

Mumpung masih ada waktu, mumpung ada bulan Sya’ban yang penuh dengan keutamaan dan keistimewaan.

Meniti perjalanan menuju puncak bukanlah hal yang mudah. Minimal memerlukan persiapan-persiapan yang terkadang sangat melelahkan dan menguras energi. Ingatlah pekerjaan mendaki gunung yang mengharuskan berbagai macam persiapan fisik seperti lari minimal seminggu sebelumnya dan persiapan materi seperti tas gunung, P3K, sepatu gunung dan lainnya. Begitu pula meniti puncak di bulan Sya’ban tentunya pendakian itu mengharuskan kesungguhan hati dan niat yang suci karena mendaki adalah usaha menuju yang lebih tinggi yang harus dilalui dengan sedikit susah dan payah. Kepayahan itu akan terasa ketika kita memilih berpuasa di bulan Sya’ban sebagai bentuk pendakian menuju puncak.

 

Baca juga: 9 Persiapan Menuju Ramadhan

 

Agar awal Ramadhan tidak ngos-ngosan, maka melatih diri dengan puasa bisa dimulai bulan Sya’ban. Puasa sunnah Senin Kamis atau Ayyamul Bidh.

Pendakian menuju puncak di bulan Sya’ban ini juga dapat dilakukan dengan cara banyak beristigfar dan meminta ampun atas segala dosa yang  telah kita lakukan di bulan-bulan sebelumnya. Baik dosa yang kita lakukan dalam bentuk tindakan dan kelakuan yang kasatmata maupun dosa yang adanya di dalam hati dan tidak kasatmata, dan justru dosa terakhir inilah yang terkadang lebih menumpuk dibandingkan dosa kelakukan. Ujub, sum’ah, takabbur dan lain sebagainya.

Coba kita dalami an-Nahl ayat 78:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar bersyukur.”

Bukankah ayat tersebut seolah mewajibkan manusia agar selalu insyaf dan sadar bahwasanya berbagai kedudukan kita di dunia ini, jabatan, kekuatan, kekayaan, kegagahan, kepandaian dan semuanya adalah pemberian Allah Swt dan manusia pada awalnya tidak mengerti sesuatu apa.

Jika tebersit dalam hati kita sebagai manusia akan kepamilikan dan keakuan, sadarlah bahwa itu adalah sebuah kesalahan dan dosa. Apalagi jikalau perasaan itu disertai dengan kesengajaan menafikan Allah Swt. maka segeralah bertaubat. Allah sendiri mengancam orang-orang seperti ini dalam surat Thaha ayat 124:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”

Wajiblah setiap manusia itu selalu bersujud dan berbakti kepada Allah Swt. setiap saat, setiap waktu, semakin berpangkat, semakin pandai, semakin kaya, semakin berada, maka sujudnya harus semakin dalam dan penuh makna. Semakin kaya harta seharusnya semakin kaya amaliyah.

Di bulan Sya’ban yang penuh fadhilah ini, kita mendaki bersama dengan menjalankan berbagai amal shaleh dan meminta magfirah-Nya, sehingga kita akan sampai di puncak nanti sebagai insan yang siap menjalankan keinsaniyahannya di depan Sang Khalik. Melatih diri untuk persiapan Ramadhan dengan memanfaatkan bulan Sya’ban.

 

[Paramuda/BersamaDakwah]

Kenapa Wujud Setan Indonesia Beda dengan Amerika?

DALAM bahasa Arab, kata Al Jinn, kata dasarnya dari janna yajunnu jannan yang bermakna menutup. Jika kita perhatikan, susunan kata yang terdapat satu huruf jim dan dua huruf nun, biasanya bermakna benda-benda yang terhalang dan tak terlihat.

Contoh: majnun yang berarti gila karena akalnya sudah tertutup. Janin yang berarti bayi yang masih (tertutup) diperut ibunya. Jannah yang bermakna taman (surga) yang saat ini belum dapat kita lihat. Maka, Jin adalah makhluk ghaib yang tidak terlihat oleh kasat mata. Dan, dia tidak bisa tampil ke hadapan manusia dalam wujud asli, dan dustalah orang yang mengaku pernah melihatnya dalam wujud asli, kecuali Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai mujizat baginya, sebagaimana ia pernah melihat Malaikat jibril dalam wujud aslinya sebanyak dua kali.

Ada pun wujud syetan yang dikenal dan dilihat oleh masyarakat adalah wujud lain dan tipuan mereka terhadap manusia, agar manusia takut kepadanya bukan takut kepada penciptanya. Mereka tidak mampu tampil dalam wujud aslinya karena memang bukan dunianya. Mereka mampu berwujud sosok yang terlanjur dikenal sebagai syetan itu, hewan, atau bahkan- manusia. Itulah yang bisa dilihat oleh manusia, itu pun jarang dan bukan keinginan manusia itu sendiri.

Tipuan ini semakin terlihat ketika kita meneliti bahwa wujud-wujud syetan itu memiliki khas kedaerahan, seperti pocong, wewegombel, gandaruwo, kuntil anak, dan lainnya hanya ada di Indonesia. Sementara, zombie, drakula, vampire, hanya ada di Amerika. Ada pun di Mesir di kenal dengan Mumi. Kita tidak akan temukan mumi di Indonesia, sebagaimana kita tidak akan temukan pocong di Amerika!

Allah Taala berfirman: “Sesungguhnya ia (syetan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al Araf (7): 27)

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2376401/kenapa-wujud-setan-indonesia-beda-dengan-amerika#sthash.r1NbkUJF.dpuf

 

Baca juga: Jagan biarkan Iblis mengendalikan Anak kita

Apakah Manusia Benar-Benar Bisa Melihat Jin?

PARA ulama berbeda pendapat; apakah jin bisa dilihat? Imam Al Qurthubi Rahimahullah menguraikan:

“(dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka), berkata sebagian ulama: ini merupakan dalil bahwa jin tidak dapat dilihat karena firmanNya: (dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka). Disebutkan: “bisa saja mereka dilihat, karena Allah Taala jika menghendaki memperlihatkan mereka akan disingkap jasad mereka hingga terlihat.” Berkata An Nuhas: (dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka) menunjukkan bahwa jin tidak dapat dilihat kecuali pada masa Nabi, yang demikian itu menjadi bukti kenabiannya, karena Allah Azza wa Jalla menciptakan mereka menjadi makhluk yang tidak dapat dilihat, sesungguhnya mereka bisa dilihat hanyalah ketika mereka beralih dari wujud aslinya. Demikian itu merupakan mujizat yang tidak terjadi kecuali pada masa para Nabi Shalawatullah wa Salamuhu Alaihim.” (Imam Al Qurthubi, Al Jami Li Ahkam Al Quran, 7/186. Dar Alim Al Kutub)

Tertulis dalam Mahasin At Tawil tentang tafsir surat Al Araf ayat 27 di atas, sebagai berikut: “Berkata As Suyuthi dalam Al Iklil: berkata Ibnu Al Faris: sebagian manusia berdalil dengan ayat ini bahwa jin tidak dapat dilihat, dan barang siapa yang mengatakan bahwa mereka diperlihatkan jin maka dia kafir.” (Imam Jamaluddin Al Qasimi, Mahasin At Tawil). Al Qasimi melanjutkan, bahwa sebagian manusia yang dimaksud adalah golongan mutazilah. Oleh karena itu Az Zamakhsyari (tokoh besar Mutazilah) mengatakan: “Dalam ayat ini terdapat dalil yang jelas, bahwa jin tidak dapat dilihat dan tidak Nampak bagi manusia, sesungguhnya penampakan mereka bukanlah kemampuan mereka, dan persangkaan orang yang mengklaim dapat melihat mereka adalah dusta.” (Ibid)

Adapun Ahlus Sunnah menyanggah pendapat mereka, bahwa hadits-hadits shahih dan masyhur menyebutkan bahwa jin dapat dilihat (tetapi bukan dalam wujud asli). Ada pun ayat di atas tidaklah mengingkari kemungkinan ini, sebab ayat di atas tidak menyebutkan syetan tidak dapat dilihat, tetapi mereka ada di tempat yang manusia tidak bisa melihat, namun mereka bisa melihat manusia. Disebutkan dalam Fathul Bayan:

“Segolongan ulama telah berdalil dengan ayat ini, bahwa melihat syetan tidaklah mungkin. Maksud ayat tersebut tidaklah demikian. Maksudnya adalah bahwa dia (syetan) melihat kita dari tempat yang kita tidak bisa melihatnya, bukan maksudnya bahwa kita tidaklah dapat melihatnya selamanya. Sebab, pengingkaran terhadap kita bahwa kita tidak dapat melihatnya di saat melihatnya, tidaklah mengharuskan pengingkaran secara mutlak” (Ibid. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 3/26. Mawqi Ruh Al Islam)

Imam Jamaluddin Al Qasimi Rahimahullah mengatakan: Yang benar adalah bisa saja melihat mereka sebagaimana tertulis dalam teks hadits-hadits shahih, dan ayat-ayat khusus tentang itu, maka mereka bisa dilihat oleh sebagaian manusia pada sebagian keadaan, dan tidak pada selainnya.” (Ibid). Tentang hadits-hadits yang dimaksud insya Allah Taala- akan kami paparkan pada bagiannya nanti.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2376402/apakah-manusia-benar-benar-bisa-melihat-jin#sthash.uyH4K7Xg.dpuf

Keutamaan Bulan Syakban Berdasarkan Hadis Sahih

BERIKUT kami cantumkan beberapa hadis sahih yang menyebutkan keutamaan bulan Syaban:

Dari Aisyah radliallahu anha, beliau mengatakan, “Terkadang Nabi shallallahu alaihi wa sallam puasa beberapa hari sampai kami katakan, Beliau tidak pernah tidak puasa, dan terkadang beliau tidak puasa terus, hingga kami katakan: Beliau tidak melakukan puasa. Dan saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan, saya juga tidak melihat beliau berpuasa yang lebih sering ketika di bulan Syaban.” (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

Aisyah mengatakan, “Belum pernah Nabi shallallahu alaihi wa sallam berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Syaban. Terkadang hampir beliau berpuasa Syaban sebulan penuh.” (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

Aisyah mengatakan, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan perhatian terhadap hilal bulan syaban, tidak sebagaimana perhatian beliau terhadap bulan-bulan yang lain. Kemudian beliau berpuasa ketika melihat hilal ramadhan. Jika hilal tidak kelihatan, beliau genapkan syaban sampai 30 hari.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, An Nasai dan sanad-nya disahihkan Syaikh Syuaib Al Arnauth)

Ummu Salamah radliallahu anha mengatakan, “Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam belum pernah puasa satu bulan penuh selain Syaban, kemudian beliau sambung dengan ramadhan.” (H.R. An Nasai dan disahihkan Al Albani)

Dari Usamah bin Zaid, beliau bertanya, “Wahai Rasulullah, saya belum pernah melihat anda berpuasa dalam satu bulan sebagaimana anda berpuasa di bulan Syaban. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.” (H.R. An Nasai, Ahmad, dansanad-nya di-hasan-kan Syaikh Al Albani)

Dari Abu Musa Al Asyari radliallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Syaban. Maka Dia mengampuni semua makhluqnya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR. Ibnu Majah, At Thabrani, dan disahihkan Al Albani). [Ustaz Ammi Nur Baits]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2376693/keutamaan-bulan-syakban-berdasarkan-hadis-sahih#sthash.MesuEa7r.dpuf

 

Baca juga:

Keutamaan Bulan Syaban yang Diabaikan Umat Islam

Raih Ampunan di Malam Nisfu Sya’ban

عن معاذ بن جبل عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: يَطْلَعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ-الطبراني

Artinya: Dari Muadz bin Jabal dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, bersabda,”Allah melihat kepada ciptaan-Nya di malam pertengahan Sya’ban, lalu mengampuni semua ciptaan-Nya, kecuali bagi orang musyrik atau yang bermusuhan. (Riwayat Ath Thabarani, dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al Hafidz Al Haitsami menyatakan bahwa rijalnya tsiqat.)

Ibnu Rajab Al Hanbali berkata mengenai menghidupkan malam nisfu Sya’ban,”Hendaklah bagi orang beriman untuk meluangkan diri di malam itu untuk berdzikir kepada Allah, berdoa, meminta ampunan atas dosa-dosa, meminta agar ditutup aibnya dan meminta ager diberikan jalan keluar dari kesusahan, dan yang paling diutamakan dari hal itu adalah taubat. Sesungguhnya Allah Ta’ala membuka pintu taubat, bagi siapa yang bertaubat.” (Lathaif Al Ma’raf, hal. 265)

 

HIDAYATULLAH

Hukum Bersedekah Padahal Utang Belum Lunas

KITA diajarkan untuk mendahulukan kewajiban sebelum amal yang sifatnya anjuran. Baik kewajiban terkait hak Allah maupun kewajiban terkait hak makhluk.

Ada kaidah mengatakan, “Didahulukan yang wajib sebelum yang anjuran.” Kita bisa memahami, perbedaan hukum antara membayar utang dan sedekah. Utang terkait kewajiban kita kepada orang lain dan harus kita penuhi. Sementara sedekah sifatnya anjuran. Karena itulah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan agar manusia bersedekah setelah memenuhi kebutuhan pribadinya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sedekah terbaik adalah sedekah setelah kebutuhan pokok dipenuhi. Dan mulailah dari orang yang wajib kamu nafkahi.” (HR. Bukhari 1360 & Muslim 2433). Mengingat pertimbangan ini, para ulama memfatwakan agar mendahulukan pelunasan utang sebelum bersedekah. Bahkan sebagian ulama menyebut orang yang mendahulukan sedekah sementara utangnya belum lunas, bisa terhitung memalak harta orang lain.

Imam Bukhari dalam shahihnya mengatakan, “Siapa yang bersedekah sementara dia membutuhkan, keluarganya membutuhkan atau dia memiliki utang, maka utangnya lebih layak dia lunasi sebelum sedekah, membebaskan budak, atau memberi hibah. Maka sedekah ini tertolak baginya. Dan dia tidak boleh menghilangkan harta orang lain.” Lalu beliau membawakan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Siapa yang membawa harta orang lain (secara legal, seperti utang) dan dia berniat untuk tidak mengembalikannya maka Allah akan menghilangkannya.”

Imam Bukhari melanjutkan, “Kecuali masih dalam batas normal, dilandasi bersabar, lebih mendahulukan orang lain dari pada dirinya, meskipun dia membutuhkannya. Seperti yang dilakukan Abu Bakr ketika beliau mensedekahkan hartanya atau perbuatan orang anshar yang lebih mendahulukan Muhajirin. Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang kita untuk menyia-nyiakan harta. Karena itu, tidak boleh menyia-nyiakan harta orang lain dengan alasan sedekah.” (Shahih Bukhari, 2/517). Masih banyak keterangan lain yang disampaikan ulama yang menekankan agar pelunasan lebih didahulukan dari pada sedekah. Kita sebutkan diantaranya,

[1] Keterangan Badruddin al-Aini, “Bahwa bagian dari syarat sedekah, dia bukan termasuk orang yang membutuhkan, keluarganya membutuhkan dan tidak memiliki utang. Jika dia memiliki utang, maka wajib baginya melunasi utangnya. Dan melunasi utang lebih berhak didahulukan dari pada sedekah, membebaskan budak, atau hibah. Karena harus mendahulukan yang wajib sebelum yang anjuran.” (Umdatul Qari, Syarh Sahih Bukhari, 13/327).

[2] Keterangan Ibnu Bathal, “Pernyataan Bukhari, Orang yang bersedekah sementara dia memiliki utang, maka seharusnya pelunasan utang lebih didahulukan dari pada sedekah, membebaskan budak, dan hibah. Ini merupakan ijma ulama, tidak ada perbedaan dalam hal ini diantara mereka.” (Syarh Shahih Bukhari, Ibnu Batthal, 3/430).

Dalam al-Minhaj dan syarahnya Mughnil Muhtaj buku madzhab Syafiiyah disebutkan keterangan an-Nawawi dan komentar al-Khatib as-Syarbini. An-Nawawi mengatakan, “Orang yang memiliki utang dianjurkan untu tidak bersedekah sampai dia lunai utangnya.” Komentar al-Khatib as-Syarbini, “Menurutku, pendapat yang kuat adalah haramnya sedekah terhadap harta yang dia butuhkan dan menjadi kebutuhan orang yang dia nafkahi, atau karena dia memiliki utang yang tidak ada harapan bisa melunasi.” (Mughnil Muhtaj, 4/197).

Keterangan lain disampaikan Ibnu Qudamah, “Siapa yang memiliki utang, tidak boleh bersedekah yang menyebabkan dia tidak bisa membayar utang. Karena membayar utang itu wajib yang tidak boleh dia tinggalkan.” (al-Kafi, 1/431). Keterangan di atas berlaku ketika utang tersebut harus segera dilunasi. Karena itulah, ketika utang jatuh tempo masih jauh, dan memungkinkan baginya untuk melunasi, seseorang boleh bersedekah, meskipun dia memiliki utang.

Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang hukum sedekah ketika seseorang memiliki utang. Jawab beliau, “Jika utangnya jatuh tempo masih jauh, dan waktu jatuh tempo anda memiliki dana untuk melunasinya, silahkan sedekah, tidak ada masalah. Karena anda terhitung mampu.” (Taliqat Ibnu Utsaimin ala al-Kafi, 3/108). Memahami fiqh prioritas akan mengarahkan kita untuk memutuskan sesuai dengan urutan yang paling penting. Para ulama membahas ini bukan untuk mengajak umat agar bersikap pelit. Tapi untuk memahamkan masyarakat terkait sesuatu yang harus diprioritaskan. Tunaikan hak orang lain yang ada di tempat kita, kerena itu kewajiban yang menjadi tanggung jawab kita.

 

 

Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2376489/hukum-bersedekah-padahal-utang-belum-lunas#sthash.xE40wX1u.dpuf

 

Baca juga:

Dahsyatnya Sedekah,…

Contoh Sedekahnya Rasulullah SAW