Ramadan, Idul Fitri, dan Budaya Literasi

Hari ini Ramadan 1438 H beranjak pergi meninggalkan kita. Setelah menjalankan proses pembentukan diri selama satu bulan lamanya, umat Islam berbondong-bondong merayakan kemenangan di hari raya penuh kesucian, Idul Fitri 1438 H.

Namun jika diamati, satu momentum yang hampir terlewatkan oleh sebagian kaum muslim pada Ramadan kali ini. yaitu peristiwa nuzulul quran. Ramadan merupakan bulan diturunkannya (wahyu) Alquran pertama kali kepada Nabi Muhammas SAW. Hal tersebut terjadi bertepatan dengan 17 Ramadan ketika nabi sedang berkhalwat di Gua Hira.

Iqra’ (bacalah!), menjadi sepenggal ayat pertama dari lima ayat Surat Al-‘Alaq yang diturunkan sebagai wahyu pertama. Kiranya, umat Islam perlu merenungkan kembali perintah yang terkandung dalam ayat tersebut. Apakah budaya iqra’ sudah mengakar di masyarakat kita? Apakah sudah dilaksanakan dengan baik?

Berdasarkan hasil penelitian The World’s Most Literate Nation yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (2016), menempatkan Indonesia di urutan ke-60 dari 61 negara sebagai negara dengan tingkat literasi atau minat baca rendah. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).

Ditambah data dari International Standard Book Number (ISBN) pada tahun yang sama, Indonesia tercatat minim soal produksi buku dengan hanya memproduksi 64 ribu buku per tahun. Berbanding jauh dengan Tiongkok yang memproduksi 440 ribu buku per tahun.

Menurut UNESCO, literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menerjemahkan, menciptakan, mengkomunikasikan dan memperhitungkan, menggunakan bahan tertulis maupun tercetak yang berhubungan dengan berbagai konteks. Ringkasnya, literasi itu sendiri berkaitan erat dengan kemampuan membaca dan menulis.

Ramadan merupakan bulan penuh kebaikan, sudah seyogianya momentum ini dimanfaatkan untuk memperbaiki sekaligus meningkatkan budaya literasi kita. Agar membaca bisa menjadi budaya perlu beberapa tahapan. Dimulai dari belajar dan mengajarkan, lalu membiasakan sehingga membentuk karakter, lantas budaya itu terbentuk. Misalnya, Ramadan kali ini giat melakukan tadarus (saling belajar) Alquran, mengkaji kitab-kitab, maupun membaca buku-buku lainnya.

Kemudian, solusi lain yang lebih efektif dalam meningkatkan minat baca adalah membuat sebuah movement atau gerakan. Contoh konkretnya, Gerakan Literasi Nasional dengan didukungnya pengiriman buku gratis hingga ke pelosok nusantara setiap tanggal 17 –di hari angka kemerdekaan Indonesia. Alhasil, gerakan tersebut menyebar secara masif bukan karena program, dana ataupun perintah, melainkan adanya faktor “penularan”.

Perihal minimnya produksi buku di Indonesia, hal tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pegiat literasi untuk lebih produktif dalam menuangkan gagasan, resah pemikiran, serta pengalamannya ke dalam buku. Singkatnya, semakin banyak buku diproduksi, semakin banyak juga pilihan buku yang menarik untuk dibaca, sehingga diharapkan minat baca masyarakat Indonesia meningkat pesat.

Pada dasarnya, Ramadan menggiring kita menjadi pribadi pemenang pada Idul Fitri mendatang. Kemenangan bagi mereka yang membudayakan baca di atas rata-rata, sebab membaca merupakan modal melesatnya kemajuan bangsa. Hal ini merupakan tantangan yang harus kita upayakan sepenuh hati, bersama turun tangan untuk budaya literasi. (ded/ded)

 

CNN Indonesia

Hari Raya, Sebelum dan Semasa Rasulullah SAW

SEBELUM Islam mengalami kejayaan, tradisi orang Arab pada saat merayakan hari rayanya lain dengan cara umat Islam. Mereka bersenang-senang dengan berfoya-foya sehingga tradisi tersebut menjamur sampai mereka masuk Islam.

Di antara hari raya yang mereka rayakan adalah hari raya Nairuz dan Mihron. Kemudian pada saat Baginda Nabi Muhammad Saw datang di Madinah, beliau Saw menjumpai kaum Anshar yang sedang merayakan hari rayanya dengan model seperti di atas. Lalu Nabi Saw bertanya: “Hari apakah ini?”

Mereka menjawab: “Ini adalah hari raya yang biasa kami buat hiburan pada saat zaman jahiliyah.” Kemudian Nabi Saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah menggantikan keduanya dengan hari yang lebih baik, yaitu hari raya Idul Adha (Qurban) dan hari raya Idul Fitri.”

Hal-hal yang disunahkan pada hari raya adalah:

1. Membaca takbir. Dimulai pada saat terbenamnya matahari pada malam hari raya sampai imam akan mengerjakan salat hari raya.

Takbir dibagi menjadi 2 macam; Takbir Mursal, yakni takbir yang tidak disunahkan dibaca setelah salat, seperti halnya takbiran pada hari raya Idul Fitri. Kedua adalah Takbir Muqayyad, yakni takbir yang disunahkan untuk dibaca setelah salat, seperti halnya takbiran pada hari raya Idul Adha yang waktunya dimulai waktu Subuhnya bulan Arafah sampai Ashar yang terakhir hari tasyriq.

Takbiran ini disunahkan setelah salat fardhu, baik ada atau qadha, setelah salat sunah Rawatib, sunnah Mutlak, sunnah Tahiyyatul Masjid, sunah Wudhu dan salat Jenazah. Adapun bacaan takbirnya sebagai berikut:

2. Mengisi malam hari raya dengan memperbanyak beribadah. Minimal melakukan salat Isya berjemaah dan berkeinginan melakukan salat Subuh secara berjemaah. Sesuai dengan sabda Nabi Saw.:

“Barangsiapa yang mengisi malam hari raya dengan memperbanyak ibadah maka Allah akan menghidupkan hatinya di saat semua hati manusia mati.”

Ulama salaf punya metode lain, yaitu melakuan salat sunah Mutlak. Adapun tata caranya sebagai berikut:

a. Membaca niat:

b. Melakukan salat 2 rakaat. Rakaat pertama membaca surat al-Fatihah dan al-Falaq masing-masing 15 kali. Dan rakaat kedua membaca surat al-Fatihah dan an-Nas masing-masing 15 kali.

c. Setelah salam membaca wirid: Ayat kursi 13 kali, istighfar 15 kali, selawat 15 kali, zikir 15 kali dan ditutup dengan doa.

3. Mandi. Meskipun tidak punya tujuan untuk menghadiri salat hari raya. Waktunya mulai pertengahan malam sampai terbenamnya matahari pada hari raya. Namun yang lebih utama adalah mandi dilakukan setelah salat sunah Fajar. Adapun niatnya mandi sebagai berikut:

Sebelum melakukan salat hari raya, yang lebih utama adalah makan kurma yang jumlahnya ganjil.

4. Berangkat pagi-pagi. Bagi selain imam disunnahkan berangkat dini hari setelah salat Subuh. Sedangkan bagi imam disunahkan berangkat pada saat masuknya waktu salat.

5. Memakai wangi-wangian dan pakaian yang bagus, warna hijau atau putih.

6. Berangkat berjalan kaki dengan keadaan tenang melalui jalan yang jauh, dan ketika pulang melalui jalan yang lebih pendek.

7. Bagi selain imam dianjurkan melakukan salat sunah Qabliyyah jika tidak mendengarkan khutbah. Sedangkan bagi imam hukumnya makruh melakukan salat sunah Qabliyyah dan Badiyyah hari raya.

8. Mencukur rambut, memotong kuku dan menghilangkan bau yang tidak sedap.

9. Melakukan salat sunah Idul Fitri.

10. Melakukan khutbah Idul Fitri.

11. Saling memberi penghormatan antara satu dengan yang lainnya seperti mengucapkan “Taqabbalalallahu minna waminkum”.

12. Berjabat tangan dengan sesama jenis atau beda jenis yang semahram. Klasifikasi hukum berjabatan tangan sebagai berikut: 1) Haram berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang tidak semahram serta tidak menggunakan penghalang, begitupula dengan amrad yang tampan. 2) Makruh berjabat tangan dengan orang yang punya penyakit menular. 3) Makruh berangkulan kecuali dengan orang yang baru datang dari bepergian. 4) Sunnah mengecup tangannya orang yang shaleh, alim dan zuhud. 5) Makruh mengecup tangannya orang lain karena kekayaannya.

13. Melakukan puasa 6 hari. Puasa ini boleh dilakukan dengan berbagai macam cara, baik dilakukan secara berurutan dan bersambung atau tidak. Tetapi yang lebih utama dilakukan secara berurutan. Kesunnahan puasa ini juga bisa didapat dengan melakukan puasa qadha atau nadzar. Jika puasa ini dilakukan di luar bulan Syawal maka pahalanya tidak sama dengan yang dilakukan pada bulan Syawal, sebab pahala di bulan Syawal laksana melakukan puasa fardhu setahun penuh sebagaimana bunyi hadits:

“Barangsiapa yang melakukan puasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka pahalanya seperti puasa setahun penuh.”

Kemudian jika puasa itu dilakukan di luar bulan Syawal maka laksana melakukan puasa sunnah setahun penuh. Adat puasa Syawal yang telah berlaku, yakni puasa 6 hari secara berurutan kemudian ditutup dengan hari raya ketupat, itu hanyalah metode yang diajarkan oleh Wali Songo untuk mempermudah membiasakan dan agar tidak dirasa berat. Sedangkan niatnya berpuasa Sayawal adalah:

c. Hikmah Disyariatkannya Salat Hari Raya

Perlu diketahui bahwa salat jemaah itu lebih utama daripada salat sendirian. Sebab di dalamnya membentuk persatuan dan kesatuan dengan berwujud semua muslim berdiri dalam keadaan berbaris di belakang seorang imam. Sehingga mirip dengan sebuah bangunan yang saling menguatkan, bagian satu menguatkan sebagian lainnya.

Ketika hal itu dirasa belum cukup untuk mewujutkan persatuan dan kesatuan umat Islam, maka disyariatkanlah salat Jumat. Kemudian dirasa masih kurang lagi, maka disyariatkanlah salat hari raya agar rasa persatuan dan kesatuan umat Islam semakin ditingkatkan. Sebab hal ini dapat memberikan manfaat yang sangat besar.

Hikmah lain disyariatkannya salat hari raya adalah menampakkan kekuatan umat Islam di mata orang kafir. Dan dengannya membentuk suatu sistem kekuasan yang akhirnya dapat menakut-nakuti orang kafir.

d. Tata Cara Salat Idul Fitri

Tata cara salat sunah hari raya Idul Fitri adalah sebagai berikut

a) Bilal membaca:

b) Jemaah menjawab:

c) Membaca niat salat:

d) Melakukan salat 2 rakaat. Rakaat pertama setelah takbiratul ihram membaca takbir (Allahu Akbar) 7 kali, sedangkan rakaat kedua setelah takbir berdiri membaca takbir 5 kali. Rakaat pertama setelah al-Fatihah membaca surat Qaf, sedangkan pada rakaat kedua setelah al-Fatihah membaca surat Iqatarabat as-Saah (al-Qamar). Masing-masing takbir baik yang jumlahnya 7 atau 5 dipisah dengan bacaan:

Waktu melaksanakan salat hari raya Idul Fitri adalah setelah matahari terbit dan naik setinggi ujung tombak menurut pandangan mata, atau masuknya waktu Dhuha.

e. Khutbah Idul Fitri

Seusai melaksanakan salat sunah Idul Fitri berjemaah maka dilaksanakanlkah khutbah. Tata caranya adalah, terlebih dahulu Bilal membacakan:

Kemudian khatib naik mimbar untuk berkhutbah. Contoh khutbahnya adalah sebagai berikut:

Para hadirin jemaah salat Idul Fitri yang dirahmati Allah. Mari kita bertakwa kepada Allah Swt dengan sebaik-baik takwa. Ketahuilah bahwa hari ini disebut sebagai harinya beberapa pemberian. Sehingga pada hari ini setiap orang akan pulang dari masjid dan akan mendapatkan apa yang telah dibagikan oleh Allah. Bagi orang yang berbuat kebajikan akan mendapatkan keagungan dan kemuliaan di catatan amalnya. Dan bagi orang-orang yang berbuat dosa akan menemui penyesalan dan kerugian di catatan amalnya.

Diriwayatkan oleh Ibn Abbas Ra, berupa hadis marfu, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Ketika hari raya Fitri para malaikat turun ke bumi di setiap negara. Mereka berdiri di perempatan-perempatan jalan dan selalu memanggil-manggil dengan suara yang bisa didengarkan oleh setiap makhluk, kecuali jin dan manusia, dengan panggilan: “Hai umat Muhammad. Keluarlah kamu kepada Tuhan Yang Mahapemurah lagi Mahamulia. Ia akan memberi dengan pemberian yang agung dan akan memaafkan setiap dosa yang kecil dan yang besar.”

Kemudian ketika orang sudah berkumpul di masjid, Allah berfirman kepada para malaikat: “Hai malaikatKu. Apa balasan bagi orang yang kerja dan telah menyelesaikan tugasnya?”

Para malaikat menjawab: “Wahai Tuhanku, sudah semestinya Engkau akan membalas orang-orang tersebut.”

Lalu Allah berfirman lagi: “Saksikanlah wahai malaikatKu, bahwa Aku akan membalas orang-orang yang menyelesaikan puasa dan salatnya berupa rida dan pengampunanKu. Kalian semua mintalah kepadaKu. Demi kemuliaan dan keagunganKu, tidak ada permintaan dari kalian semua kepadaKu apa saja untuk akhirat di hari ini kecuali Aku akan mengabulkannya. Dan tidak ada permintaan untuk dunia pada hari ini kecuali akan Aku kabulkan. Pulanglah kalian semua dari masjid, karena kalian telah mendapatkan pengampuanKu, karena kalian semua sudah rida terhadapKu dan Aku sudah meridaimu.”

(Referensi: Asy-Syarqawi, Ianat ath-Thalibin, Tanwir al-Qulub, Bujairami ala al-Khathib, Hasyiyat al-Jamal, Nihayat az-Zain, al-Munasabah li as-Sayyid Muhammad al-Maliki, al-Adzkar an-Nawawi, Kitab Primbon Syaikh Sholeh Darat dan Durrat an-Nashihin).

MOZAIK

Memungut Hikmah dari Seorang Supir

SEPULANG khutbah di Masjid Al-Hijrah New South Wales, saya pulang naik uber karena mobil teman panitia sedang bermasalah. Alhamdulillah, supir uber ini adalah seorang penduduk muslim Australia.

Saya menyatakan Alhamdulillah bukan berarti kalau supirnya non muslim itu Innaa lillaah, namun saya memiliki kesempatan bertanya-tanya tentang Islam di Australia kepadanya. Banyak yang diceritakan, inspiratif sekali terutama bagi mereka yang hidup sebagai kelompok minoritas.

Salah satu yang disampaikan adalah bahwa kita tak perlu memaksakan kehendak kita kepada orang lain yang punya kehendak lain. Demikian pula dalam hal kehendak untuk bertuhan dan beragama. Tugas kita adalah menampilkan perilaku dan gaya hidup yang baik yang memungkinkan orang lain tertarik untuk bersama kita dan ikut bersama kita dalam keimanan. Inilah cara dakwah yang baik di Australia. Begitu ujarnya.

Lalu supir ini mengernyitkan dahinya seakan berat mengatakan sesuatu. Terdiam sejenak sampai saya tanya mengapa di matanya ada kabut. Dia melanjutkan ujar: “Masalahnya adalah di sini, banyak orang muslim yang tidak Islami, tidak pantas ditiru. Bos yang non Islam membayar gaji karyawannya on time dan sesuai janji. Sementara bos muslim suka menunda pembayaran dan bahkan menguranginya.”

Panjang sekali kita bicara fakta ini, lalu saya teringat pada fenomena beberapa orang yang mengajak damai dengan cara membentak dan mencaci atau orang yang mengajak bersatu tapi memecah belah persaudaraan. Benar juga supir ini.

Ketika saya tanya tentang pekerjaan sebagai supir uber, dia tersenyum dan berkata: “Saya senang dengan pekerjaan ini karena saya bisa berhenti di mana saja untuk shalat, saya bisa bertemu dengan siapapun dan belajar pada mereka. Tentang penghasilan saya tidak begitu peduli walau kadang tak sesuai harapan. Karena saya tahu bahwa kadang seorang raja membuat jalan di tempat yang tidak diduga. Allah adalah Raja saya. Saya ikuti saja apa mauNya.”

Sungguh saya dapat pelajaran yang banyak dari supir ini. Di akhir perjumpaan saat saya mau turun mobil dia memberi nomer telpon dan berkata: “Kemanapun Anda mau pergi di sini, telpon saya. Saya akan antarkan, karena Anda seorang penyebar agama Islam. Jangan pikirkan bayaran saya. Rizki saya sudah ada yang ngatur.” Subhanallah. Damainya hatinya. Salam, AIM.

 

MOZAIK

Ketupat, Simbol Mengakui Kesalahan Ala Sunan Kalijaga

Salah satu menu wajib di hari raya Idul Fitri atau Lebaran adalah ketupat. Menu yang satu ini hampir tersedia di sejumlah wilayah Nusantara, dengan penamaan atau varian yang berbeda-beda. Ada ketupat dengan tahu atau kupat tahu di lingkungan masyarakat Sunda, kupat glabet (kota Tegal), coto Makassar, ketupat sayur (Padang), laksa (kota Cibinong), doclang (kota Cirebon). Ketupat juga kerap kali menjadi pelengkap untuk menyantap gado-gado dan sate ayam.

Dari sisi bentuknya, F.G Winarno, pakar Ilmu Teknologi Pangan dari Institut Pertanian Bogor mengungkapkan ketupat tak hanya bentuk wajik, tapi ada yang persegi panjang, mirip mulut bebek hingga seperti untaian rambut dikepang dua. “Total ada 12 jenis bentuk ketupat asli Indonesia,” ujarnya.

Khatib salat Idul Fitri 1436 Hijriah di Masjid Agung Kauman Kota Magelang pada Juli 2015 sempat menguraikan bahwa berdasarkan filosofi Jawa, ketupat memiliki makna khusus yakni “Ngaku Lepat” yang artinya meminta maaf dan “Laku Papat” yang berarti empat tindakan.

Pada awalnya, ketupat lahir ketika agama Islam mulai masuk ke Nusantara. Tradisi ketupat ini diperkenalkan oleh Raden Mas Sahid atau yang biasa disebut dengan Sunan Kalijaga di masa Kerajaan Demak. Kerajaan Islam pertama di Jawa ini membangun kekuatan politik dan penyiaran agama Islam dengan pendekatan budaya agraris.

Jay Akbar di majalah Historia edisi Agustus 2010 pernah mengutip pendapat H.J. de Graaf dalam Malay Annals. Menurut Graaf, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak di bawah Raden Patah awal abad ke-15. Kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa.

Warna kuning pada janur dimaknai oleh de Graff sebagai upaya masyarakat pesisir Jawa untuk membedakan warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.

Sementara Djawahir Muhammad, budayawan dari Semarang, memberikan tafsir ikhwal anyaman dari janur yang terlihat rumit sebagai simbol dari kesalahan tiap individu yang memang beragam. “Ketika ketupat dibuka, maka terlihatlah isinya yang berwarna putih yang mencerminkan hati yang putih dan suci,” ujarnya.

Selain itu, menurut Djawahir, bentuk ketupat yang saling menyambung juga melambangkan kesempurnaan umat muslim setelah menjalani ibadah puasa serta menahan nafsu selama sebulan. (jat/bag)

 

DETIK

Malam Akhir Ramadhan, Jutaan Orang Penuhi Makkah dan Madinah

REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH — Jutaan umat Islam dari seluruh dunia berkumpul di Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Mereka sedang bersiap mengikuti iktikaf di malam terakhir bulan suci Ramadhan.

Seperti dilansir dari Saudi Gazette, Jum’at (23/6), lalu lintas yang menuju ke kota-kota suci sangat ketat dengan kendaraan yang bergerak sangat lambat sebelum matahari terbenam. Seluruh komponen pemerintah telah memobilisasi sumber daya manusia untuk menyambut jamaah.

Semua fasilitas untuk jamaah di kota-kota suci ada di titik maksimal mengingat atmosfir spiritual yang sangat tinggi. Penjaga Dua Masjid Suci, Raja Salman, telah memberi instruksi kepada departemen pemerintah dan badan publik demi memperluas kenyamanan tamu-tamu Allah SWT di Makkah dan Madinah.

Upaya maksimal dilakukan untuk memberi umat akomodasi yang memadai demi menjaga kebersihan, keamanan dan mengendalikan lalu lintas memastikan kelancaran arus kendaraan. Rencana Ramadhan fokus untuk memastikan kelancaran arus jamaah dari dan menuju Dua Masjid Suci.

Dari aspek kebersihan, petugas telah memeriksa toko yang menjual bahan makanan dan pedagang kaki lima untuk memastikan mereka mematuhi peraturan kebersihan. Di sisi lain, sudah ada rencana lengkap melindungi jamaah dari penyakit menular, termasuk mendirikan klinik di Masjidil Haram.

Tanda-Tanda Puasa Kita Diterima Allah

Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis mengatakan, meskipun ibadah puasa umat Islam di Bulan Ramadhan telah memenuhi syarat dan rukunnya belum tentu diterima oleh Allah. Karena, menurut dia, untuk diterima Allah membutuhkan suatu keikhlasan.

“Tentunya untuk mengukur apakah puasa kita diterima atau tidak diterima oleh Allah, meskipun barangkali syarat dan rukunnya sudah terpenuhi sehingga disebut sah, tapi untuk diterimanya itu butuh keikhlasan,” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (22/6).

Kiai Cholis mengungkapkan, untuk mengetahui apakah ibadah puasa kita diterima atau tidak oleh Allah, maka harus tetap istiqamah menjalan kebiasaan baik selama Bulan Ramadhan. Jika bisa sanggup melaksanakn ibadah baik tersebut, berarti ibadahnya telah diterima oleh Allah.

“Tanda-tanda puasa kita diterima maka kita harus istiqamah, konsisten dengan kebiasaan pada Bulan Ramadhan. Artinya, seusai Bulan Ramadhan, sebelas bulan berikutnya kebiasaan itu kita teruskan,” ucapnya.

Dengan demikian, kata dia, kondisi umat Islam setelah Ramadhan akan menjadi lebih baik dibandingkan sebelum Ramadhan. Selain itu, Kiai Cholis juga mengingatkan, agar umat Islam tak lupa memberikan buah tangan kepada setiap saudara yang dicintai dalam momentum lebaran nanti.

Karena, menurut dia, pemberian itu merupakan bentuk cinta terhadap sesama umat Islam, sesama kerabat, dan orang-orang terdekat. “Itu adalah tanda-tandanya ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Ketika seusai ibadah, kehidupan, prinsip, lalu prilaku, keimanan kita bertambah baik dan tambah mendekatkan diri kepada Allah SWT,” kata Kiai Cholil.

 

REPUBLIKA

Merayakan Lebaran sesuai Cara Nabi Muhammad

IDUL Fitri, secara turun temurun sudah membudaya di negeri ini. Namun bukan berarti menjadi suatu keharusan untuk dirayakan secara berlebihan. Padahal, Rasulullah saw telah memberikan beberapa contoh yang perlu diperhatikan.

Yang paling utama, sudahkah kita mengeluarkan zakat fitrah atau maal sebelum salat Id? Tujuannya, untuk berbagi kegembiraan dihari fitri ini dengan kaum dhuafa atau fakir miskin agar ikut merasakan kebahagiaan di hari itu. Namun apabila imam sudah mengumandangkan takbir untuk salat Id, maka sudah tidak lagi disebut zakat melainkan sedekah.

Lalu bagaimana Rasulullah merayakan Idul Fitri? Janganlah merayakan dengan berlebihan, sangat istimewa bahkan terkesan ada yang dipaksaan hingga di luar kemampuan. Untuk itu Islam menganjurkan hendaknya menyambut dengan niat baik, dengan kondisi seadanya, meski sebaiknya berpakaian yang paling bagus, tapi tidak harus baru, karena semua ini merupakan salah satu bentuk syukur terhadap nikmat Allah.

Ketika menjelang berangkat salat Id, dianjurkan makan meski hanya sebutir kurma, karena ada hadis yang mengatakan:

“Rasulullah saw tidak keluar pada hari Idul Fitri hingga beliau makan, sedangkan pada hari Raya Kurban beliau tidak makan hingga kembali (dari masjid) lalu beliau makan dari sembelihannya”. (HR Tirmidzi, Ahmad,).

Pada pelaksanaan Salat Id sangat dianjurkan agar para wanita dan anak-anak untuk ikut. Seandainya ada wanita yang sedang haid, diusahakan tetap menghadirinya, meskipun hanya dibelakang shaf atau di luar masjid, tujuannya agar semuanya bersama-sama merasakan dan merayakan kegembiraan.

Disunahkan pada waktu ketempat salat dengan berjalan kaki:

“Termasuk sunah untuk keluar menunaikan salat Id dengan jalan kaki”. (HR Tirmidzi).

Di saat pulang dianjurkan untuk tidak melewati jalan yang dilalui ketika berangkat, karena ada hadis yang mengatakan:

“Rasulullah saw pada hari raya biasa mengambil jalan yang berlainan (ketika pergi dan ketika kembali)” (HR Bukhari)

Ketika dalam perjalanan, sebaiknya selalu mengumandangkan takbir hingga menjelang dimulainya salat Id. Yang perlu diperhatikan, Rasulullah saw tidak mengerjakan salat sesudah Subuh hingga sebelum salat Id dimulai, kecuali salat Tahiyatul Masjid.

Pada saat salat Id, tidak ada azan maupun iqamah serta mendahulukan khutbah sebelum salat.

“Aku menghadiri salat Id bersama Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar dan Ali, semua melakukan salat sebelum khutbah” (HR Bukhari, Ahmad, Muslim).

Barulah setelah salat Id selesai, sampai dirumah dianjurkan untuk melakukan salat sunah dua rakaat, karena Rasul mengerjakan salat sunah dua rakaat sesampai di rumah.

Kemudian setelah itu menjalin tali silaturrahmi, saling memberi dan mengucapkan salam serta maaf, meskipun bermaaf-maafan tidak harus hari raya dan meninggalkan sesuatu perkara yang melampaui batas.

 

MOZAIK

Memberi Zakat Fitrah kepada Keluarga Lebih Afdal

MEMBAYAR zakat fitrah adalah salah satu kewajiban umat Islam di penghujung Ramadan–memasuki hari raya Idul Fitri. Saat ini masjid-masjid dan musala, misalnya, membentuk panita zakat fitrah. Melalui panitia inilah zakat fitrah nantinya disalurkan kepada yang berhak yaitu fakir miskin.

ADA pertanyaan bolehkah memberikan zakat fitrah ke saudara atau paman, atau bibi, atau keluarga lainnya?

Menurut Ustaz Ammi Nur Baits, golongan yang berhak menerima zakat fitri adalah fakir miskin. Selain itu, tidak berhak menerima zakat fitrah. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskan fungsi disyariatkannya kewajiban zakat fitrah, sebagaimana disebutkan dalam riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma,

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri sebagai makanan bagi orang miskin.” (HR. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani)

Asy-Syaukani mengatakan, “Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa zakat fitri hanya (boleh) diberikan kepada fakir miskin, bukan enam golongan penerima zakat lainnya.” (Nailul Authar, 2:7)

Hadis di atas secara tegas menunjukkan bahwa fungsi zakat fitri adalah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin ketika hari raya. Sebagian ulama mengatakan bahwa salah satu kemungkinan tujuan perintah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin di hari raya adalah agar mereka tidak disibukkan dengan memikirkan kebutuhan makanan di hari tersebut, sehingga mereka bisa bergembira bersama kaum muslimin yang lainnya.

Kemudian, ketika ada salah satu anggota keluarga kita yang kurang mampu, baik itu saudara atau paman atau bibi atau kerabat lainnya, bolehkah zakat fitrah kita berikan kepada mereka?

Jawabannya boleh dan bahkan lebih afdal. Seseorang akan mendapatkan pahala lebih ketika dia salurkan zakatnya kepada kerabatnya daripada dia salurkan kepada orang lain. Karena menyalurkan zakat ke keluarga nilainya ganda: zakat dan mempererat silaturahim. Hanya saja ada syaratnya.

Syaratnya adalah kerabat tersebut bukan termasuk orang yang wajib kita nafkahi. Jika kerabat tersebut termasuk orang yang wajib kita nafkahi, maka tidak boleh menerima zakat dari kita.

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang zakat kepada kerabat, beliau menjawab:

Boleh memberikan zakat fitrah atau zakat mal kepada kerabat yang miskin. Bahkan memberikan zakat kepada kerabat, lebih diutamakan daripada memberikannya kepada orang lain. Karena memberikan zakat kepada kerabat statusnya sebagai zakat dan mempererat silaturahim.

Namun dengan syarat, dalam penyerahan zakat ini tidak menyebabkan terlindungi kewajiban hartanya. Semacam orang miskin tersebut termasuk orang yang wajib dia nafkahi. Dalam kondisi ini, dia tidak boleh memenuhi kebutuhan orang miskin tersebut yang diambilkan dari zakatnya. Jika dia lakukan hal ini, berarti dia telah memperkaya hartanya dengan harta zakatnya. Tentu ini tidak boleh dan tidak halal. Namun jika dia bukan orang yang wajib dia nafkahi, maka dia boleh menyerahkan zakatnya kepada orang miskin itu. Bahkan menyerahkan zakat ke orang miskin yang masih kerabat, lebih afdal daripada diberikan kepada orang lain, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

“Sesungguhnya zakat kepada orang miskin nilainya zakat (saja). Sedangkan zakat kepada kerabat, nilainya dua: zakat dan silaturahim.” (HR. Nasai, Dariri, turmudzi, Ibnu Majah dan dishahihkan al-Albani). (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin 18. no. 301)

 

MOZAIK

Sidang Isbat Tetapkan Idul Fitri 1438 Hijriah Besok, 25 Juni 2017

Jakarta (Kemenag) – Sidang Isbat menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1438 Hijriah jatuh pada hari Minggu, 25 Juni 2017. Hasil sidang Isbat tersebut disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam jumpa pers di Kantor Kementerian Agama Jalan M.H. Thamrin No. 6 Jakarta, Sabtu (24/6).

Dalam kesempatan sidang yang dinyatakan tertutup, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah M Thambrin menyampaikan laporan hasil rukyat di sejumlah titik di Nusantara. Dalam laporannya, M. Thambrin menyampaikan, laporan rukyat yang masuk kepada panitia sidang isbat Kemenag. H. Mohammad Moa S.Ag, 51 Tahun (Kasi Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kanwil kemenag NTT). H. Abdullah Said Sagran, 60 Tahun (Betua Baznas NTT). 3. Tri Umaryadi Wibowo (BMKG, Kupang, NTT). Keemoat orang tersebut menyatakan melihat hilal dan telah disumpah oleh Muhammad Syaukki, Hakim Pengadilan Agama Kota Kupang, NTT.

Selanjutnya, H. Inwanuddin, 40 Tahun (Ketua Lemabag Falakiyah NU, Gresik, Jawa Timur), dan H. Ahmad Asyhar, 52 Tahun (Pengurus Pondok pesantren Al-Fatih, Surabaya, Jawa Timur). Kedua orang tersebut menyatakan telah melihat hilal, dan telah disumpah oleh Drs. H. Ach. Shofwan MS, Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Gresik,Jawa Timur.

Laporan hasil rukyat tersebut selanjutnya disepakati oleh peserta sidang.

“Dengan demikian malam ini sudah  memasuki 1 Syawal dan mulai takbiran,” ujar Menag.

Menag berharap, Idul Fitri ini kita mampu kembali suci dan menebarkan kasih sayang dan kita tergolong ke dalam orang-orang yang minal aidzin wal faidzin.

Sebelumnya, Tim Hisab Kemenag kepada Menag dan sejumlah duta besar negara Islam serta pimpinan ormas Islam menyampaikan posisi hilal menjelang awal Syawal. Posisi hilal pada saat matahari terbenam Sabtu, 24 Juni 2017M/29 Ramadhan 1438H tinggi hilal berada di 3,88 derajat. Jarak busur Bulan dari Matahari 5,06 derajat, umur hilal 8 jam 15 menit 24 detik, dan FraksIlluminasi hilal 0,29 persen.

Rangkaian sidang ini diawali pemaparan Tim Badan Hisab Rukyat Kemenag, terkait posisi hilal secara astronomis pada 29 Ramadan 1438H/2017. Kemudian acara akan berlanjut ke sidang isbat setelah salat Maghrib.

Sejumlah perwakilan ormas turut hadir dalam sidang Isbat ini yang juga dihadiri oleh perwakilan Duta Besar Negara Islam. Hadir mendampingi Menag dalam memimpin sidang isbat, Ketua MUI KH, Makruf Amin, Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher, dan Plt. Dirjen Bimas Islam Kamaruddin.

 

KEMENAG RI