Bayar Fidyah, Mazhab Mana yang Anda Ikuti?

ADA banyak ibadah yang disyariatkan karena adanya sebab tertentu. Misalnya, kaffarah sumpah, disyariatkan karena orang itu melanggar sumpah. Atau kaffarah dzihar, disyariatkan karena ada suami yang mendzihar istrinya, dst.

Termasuk diantaranya membayar fidyah. Membayar fidyah disyariatkan karena seseorang tidak mampu berpuasa.

Allah berfirman,

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. al-Baqarah: 184).

Artinya, fidyah diwajibkan ketika ada orang yang tidak puasa karena tidak mampu menjalankannya. Sehingga ketidakmampuan untuk berpuasa menjadi sebab adanya fidyah. Ketika ini belum ada, maka fidyah tidak disyariatkan.

Kita simak ilustrasi berikut: Si A sudah tidak mampu berpuasa karena sudah tua. Dia membayar fidyah untuk puasa sebulan di tanggal 5 Ramadan. Kasus yang terjadi, si A baru meninggalkan pausa selama 5 hari. Dari tanggal 1 sampai 5 ramadan. Sementara untuk puasa tanggal 6 sampai 30 ramadan, si A belum meninggalkannya. Karena ketika si A bayar fidyah, hari itu belum datang. Sehingga, si A membayar fidyah untuk kejadian yang belum ada, yaitu meninggalkan puasa tanggal 6 30 ramadan.

Inilah yang dimaksud membayar fidyah sebelum ada sebab.

Lalu bolehkah menyegerakan fidyah sebelum ada sebab tidak puasa? Ulama syafiiyah melarang hal ini.

Imam ar-Ramli ulama Syafiiyah pernah ditanya sebagai berikut,

“Apakah orangtua yang tidak mampu lagi berpuasa wajib niat ketika membayar fidyah? Bagaimana caranya? Lalu bagaimana cara membayar fidyah, apakah wajib untuk dikeluarkan setiap hari di hari itu, atau boleh dia bayarkan sekali, baik di awal Ramadhan atau pertengahannya?”

Jawaban ar-Ramli,

“Dia wajib niat. Karena fidyah termasuk ibadah harta, sebagaimana zakat atau kaffarah. Dia bisa berniat membayar fidyah karena tidak puasa. Dia boleh milih, apakah dibayarkan setiap hari yang dia tidak puasa atau setelah selesai ramadan. Namun tidak boleh mendahulukan pembayaran fidyah, karena berarti mendahulukan amal sebelum adanya kewajiban, disebabkan dia tidak puasa.” (Fatawa ar-Ramli, 2/74).

Ini berbeda dengan mazhab hanafiyah, yang membolehkan membayar fidyah untuk keseluruhan di awal bulan.

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

“Ulama berbeda pendapat tentang kasus orangtua atau orang sakit menahun yang lagi tidak mampu puasa. Apakah boleh menyegerakan bayar fidyah. Hanafiyah membolehkan bayar fidyah di awal bulan, sebagimana boleh dibayarkan di akhir bulan.

Kemudian dalam ensiklopedi itu dilanjutkan keterangan dari mazhab Syafii,

“An-Nawawi mengatakan, seluruh ulama mazhab kami sepakat bahwa orangtua dan orang sakit yang tidak mampu puasa, mereka tidak boleh membayar fidyah sebelum masuk Ramadan, dan boleh setiap hari setelah masuk waktu subuh. Apakah boleh dibayarkan sebelum subuh di bulan Ramadan? Ad-Darimi menegaskan bahwa itu boleh. Dan inilah yang benar. (al-Mausuah al-Fiqhiyah, volume ke-32, hlm. 68).

Hukum Membayar Fidyah dengan Uang

Berdasarkan keterangan di atas, mengenai waktu pelaksanaan fidyah bisa dengan dua cara,

Pertama, dibayarkan harian. Batasnya adalah malam hari ramadan, sebagaimana keterangan ad-Darimi. Jika di tanggal 3 ramadan, si A tidak puasa, dia sudah boleh bayar fidyah di malam tanggal 3 ramadan.

Kedua, dibayarkan sekali untuk satu bulan. Ini hanya bisa dilakukan di akhir ramadhan atau setelah ramadan. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits/konsultasisyariah]

MOZAIK

Apa Hukum Takbir Keliling?

Beberapa hari terakhir Ramadhan, suasana Idul Fitri 1438 H mulai terasa. Takbir keliling atau semarak lebaran menjadi salah satu tandanya. Meski demikian, sejumlah masyarakat bertanya kepada Komisi Fatwa MUI tentang hukum takbir keliling.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan takbir di malam Idul Fitri hukumnya sunnah bagi setiap muslim. Ini menjadi salah satu tanda hari kemenangan dan keberasan Allah. Meski demikian, gema takbir ini bisa dilakukan dimana saja.

“Takbir dapat dilaksanakan dengan sendiri atau berjamaah, dapat dilaksanakan di rumah, di masjid, di mushalla, juga di jalan. Bisa dilaksanakan dengan duduk berdiam diri, jalan, atau dengan berkendara, baik darat, laut maupun udara,” katanya, dilansir siaran pers yang diterima Republika.co.id, Sabtu (24/6).

MUI pun mengimbau kepada seluruh umat Islam untuk menghidupkan malam Idul Fitri dengan syiar kumandang takbir, tahmid, dan tahlil, di manapun berada. Asrorun menyarankan untuk menyemarakkan masjid, mushalla, rumah, jalanan, dengan semarak syiar takbir dan memuji asma Allah.

“Syiar takbir yang menggema di seluruh negeri diharapkan dapat menjadi penyebab diturunkannya rahmat Allah, sehingga negeri ini dikaruniai kedamaian, keamanan,  dan kesejahteraan,” kata dia.

 

REPUBLIKA

Tanda Kiamat, Orang tak Mau Jadi Imam Salat

KITA tahu bahwa salat merupakan kewajiban. Dan kewajiban ini, jika dilaksanakan secara bersama-sama atau berjemaah, maka pahala yang diperoleh berlipat ganda.

Sudah barang tentu, hal ini merupakan sesuatu yang sangat menguntungkan kita. Mengapa? Sebab, tabungan di akhirat kita, insya Allah akan bertambah.

Dalam melaksanakan salat berjemaah, tentu kita memerlukan seorang imam. Ialah orang yang memimpin kita dalam salat. Namun tahukah Anda, bahwa di akhir zaman kelak, tak akan ada lagi orang yang mau menjadi imam. Mengapa itu bisa terjadi?

Salah satu tanda dekatnya hari kiamat adalah menyebarnya kebodohan di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, nanti tak ada lagi seorang pun yang bisa dijadikan imam salat. Orang-orang akan saling mendorong satu sama lain untuk menjadi imam.

Namun, seluruhnya menolak karena mereka tidak mengetahui hukum-hukum syariat serta tidak menguasai bacaan Alquran.

Salamah binti Al-Hurr meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya, salah satu tanda hari kiamat adalah nanti orang-orang akan saling mendorong untuk menjadi imam di masjid, namun mereka tidak mendapatkan seorang pun yang bisa menjadi imam,” (HR. Abu Daud).

Abdullan bin Amr RA menuturkan, “Akan tiba satu zaman yang ketika itu orang-orang berkumpul dan melaksanakan salat di masjid, namun tak ada seorang mukmin pun di antara mereka.”

Barangkali, zaman seperti ini belum tiba. Sebab, saat ini masih banyak ulama dan majlis-majlis taklim yang tersebar di berbagat tempat. Masjid-masjid juga masih dipenuhi oleh para ulama, para penuntut ilmu dan mereka yang fasih dalam membaca Al-Quran.

[Kiamat Sudah Dekat?/Dr. Muhammad Al-Areifi]

MOZAIK

Teror di Masjidil Haram, Kemenlu Cek Informasi Korban WNI

Jakarta – Upaya teror bom bunuh diri di Masjidil Haram, Arab Saudi, bisa digagalkan polisi setempat. Seorang pelaku sempat melepaskan tembakan hingga melukai enam orang jemaah umrah. Pihak Kementerian Luar Negeri masih akan mengecek apakah ada WNI dari enam korban luka tersebut.

“Sampai sekarang belum ada informasi mengenai itu. Kami masih menelusuri,” kata Dirjen Perlindungan WNI Kemenlu Lalu Muhammad Iqbal dalam perbincangan, Sabtu (24/6/2017).

Iqbal mengatakan sebagian besar jemaah umrah asal Indonesia telah pulang ke Tanah Air. Meski demikian, pihaknya tetap akan mencari tahu apakah ada WNI yang terluka dalam insiden tersebut.

“Sebagian besar sekarang sudah kembali karena rata-rata mereka berlebaran di Indonesia. Jadi puasa di sana, Lebaran di Indonesia. Tapi kita masih cek lagi kondisinya. Masih kita lakukan penelusuran,” tegas Iqbal.

Atas kejadian tersebut, lima terduga pelaku teror telah diamankan, sementara satu lainnya yang melawan polisi dengan menembakkan senjata api tewas setelah meledakkan diri di sebuah apartemen. Apartemen tersebut lalu runtuh dan menyebabkan enam orang yang menginap di dalamnya terluka.

Petugas keamanan setempat belum dapat memastikan siapa otak penyerangan tersebut. Selain melukai enam orang jemaah umrah, kejadian ini melukai lima petugas keamanan. (gbr/nkn)

 

DETIK

Cara Menyikapi Qunut Subuh

SYAIKH Dr Yusuf Qardhawi ditanya tentang qunut Subuh. Maka beliau menjelaskan tentang qunut Subuh ini di dalam Hadyul Islam Fatawi Muashirah (Fatwa-Fatwa Kontemporer) sebagai berikut:

Qunut Subuh

Membaca doa qunut dalam salat Subuh termasuk hal yang diperselisihkan oleh para fuqaha. Sebagian menilai sunah, sebagian yang lain tidak menganggapnya sunah.

Memang ada riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukan qunut Subuh, tetapi hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah melakukannya dalam rangka mendoakan kehancuran kaum musyrikin yang mengganggu dan menyakiti kaum muslimin serta mendoakan kebaikan kaum muslimin yang tertindas.

Jadi, qunut yang beliau lakukan hanyalah pada waktu dan kondisi tertentu yang oleh para fuqaha diistilahkan dengan qunut nazilah, yang dilakukan ketika kaum muslimin ditimpa bencana. Maka pada saat itu disunahkan dan disyariatkan membaca qunut dalam salat-salat jahriyah agar Allah menghilangkan derita dan kesedihan yang menimpa mereka sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Sebagian ulama dan imam, misalnya golongan Syafiiyah, menilai sunah melakukan qunut subuh secara terus menerus dalam kondisi apa pun.

Dengan demikian, qunut Subuh ini termasuk hal yang diperselisihkan yang tidak apa-apa jika ditinggalkan.

Diriwayatkan bahwa ketika Imam Syafii pergi ke Baghdad, beliau tidak membaca qunut Subuh demi menghormati perasaan sahabat-sahabat Imam Abu Hanifah. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masalah qunut Subuh terdapat kelapangan dan rukhshah yang tidak semestinya kita menyikapinya dengan kaku.

 

MOZAIK

Teror di Masjidil Haram, Kemenlu: Jemaah Indonesia Jangan Takut

Jakarta – Rencana serangan bom bunuh diri ke Masjidil Haram, Arab Saudi berhasil digagalkan kepolisian setempat namun menyebabkan 6 jemaah umrah terluka. Atas insiden ini, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mengimbau ke jemaah asal Indonesia untuk tidak takut.

“Tidak perlu panik,” kata Dirjen Perlindungan WNI Kemenlu, Lalu Muhammad Iqbal dalam perbincangan dengan detikcom, Sabtu (24/6/2017).

Iqbal menyebut imbauan kepada jemaah umrah asal Indonesia sudah digencarkan terkait aksi-aksi, baik di Arab Saudi sendiri maupun di negara-negara lain. Jemaah asal Indonesia diingatkan agar lebih waspada.

“Imbauan sebetulnya sudah dari beberapa bulan terakhir. Kita memberikan imbauan kepada mereka untuk lebih waspada dan menghindari ke tempat keramaian kalau tidak perlu. (Imbauan) sejak maraknya serangan bom di berbagai tempat,”

Jika terjadi insiden teror, keluarga di Indonesia pun tak perlu panik dan diharap mengabaikan berita-berita yang belum jelas kebenarannya. Kemenlu RI siap memberi informasi yang akurat.

“Kalau misal ada keluarga, (ada) yang ingin ditanyakan, mereka bisa menghubungi ke hotline perlindungan WNI Kemenlu: 08290070027. Kalau ada yang perlu ditanyakan,” sebut Iqbal.

Pihak Kemenlu sendiri masih akan mencari tahu apakah ada korban WNI atas insiden ini. Kemenlu menyebut jemaah umrah asal Indonesia saat ini telah banyak yang pulang ke tanah air untuk lebaran.

Sebelumnya diberitakan, lima terduga pelaku teror telah diamankan terkait teror ini. Sementara satu lainnya yang melakukan perlawanan ke polisi dengan menembakkan senjata api, tewas setelah meledakkan diri di sebuah apartemen. Apartemen tersebut lalu runtuh dan menyebabkan enam jemaah umrah yang menginap di dalamnya luka-luka.

Petugas keamanan setempat masih belum dapat memastikan siapa otak dari serangan tersebut. Kejadian ini selain melukai 6 jemaah umrah juga melukai lima petugas keamanan.
(gbr/nkn)

 

DETIK

Batalkah Salat karena Muncul Syahwat?

DALAM sebuah halaqah, ada yang bertanya bagaimana hukumnya bila seorang Muslim mengalami ereksi manakala salat? Bagaimana pula hukumnya bila kebetulan orang itu mendapat amanah untuk mengimami jemaah yang lain.

Menurut Ustaz Ammi Nur Baits, pertanyaan semacam itu pernah disampaikan pada lembaga fatwa Syabakah Islamiyah. Misalnya, ada pertanyaan:

Jika penis ereksi ketika salat atau muncul luapan syahwat, apakah bisa membatalkan salat? Apa yang harus saya lakukan?

Jawabannya,

Tidak membatalkan salat hanya karena kemaluan mengalami ereksi atau karena muncul syahwat ketika salat. Karena munculnya syahwat dan ereksi bukan pembatal salat. Ini jika tidak sampai keluar madzi. Jika keluar madzi maka wudhunya batal, dan wajib membatalkan salat. Kemudian mencuci kemaluan dan bagian pakaian atau badan yang terkena madzi, lalu mengulangi salat.

Yang harus anda lakukan adalah membuang was-was dan pikiran jorok yang menjadi pemicu hal itu, dan konsentrasi terhadap shalat yang dikerjakan dengan khusyu serta merenungi makna bacaannya. Jika muncul syahwat, segera memohon perlindungan dari setan dan meludah ke kiri tiga kali. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis dari Utsman bin Abil Ash Radhiyallahu anhu, beliau mengadu kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,

Ya Rasulullah, setan telah mengganggu konsentrasiku ketika salat, serta merusak bacaanku.

Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Itu setan, namanya khinzib. Jika kamu merasa terganggu mintalah perlindungan kepada Allah darinya. dan meludahlah tiga kali ke kiri.”

Kata Utsman, Akupun melakukan hal itu, dan Allah menghilangkan gangguan itu dariku. (HR. Muslim). Hal itu bersumber dari Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 50096. Sementara yang dimaksud meludah ke kiri adalah meludah ringan, angin campur sedikit air ludah.

Kemudian, dalam fatwanya yang lain, juga ditegaskan,

Semata muncul syahwat, tidak membatalkan wudhu, dan tidak membatalkan salat. Kecuali jika keluar sesuatu, seperti madzi atau semacamnya, maka wudhunya batal da shalatnya juga batal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

 

MOZAIK

Puasa Syiah VS Puasa Rasulullah

Perbedaan Waktu Berbuka Puasa bagi Syiah

SEGALA amal seseorang dikendalikan oleh ideologinya. Beda ideologi akan merambah pada perbedaan praktek ibadah, akhlak, dan bahkan muamalah. Ketika kita membandingkan antara praktek ibadah syiah dan praktek ibadah yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, kita akan mendapatkan sekian banyak perbedaan. Demikian pula akhlak dan muamalah antara syiah dengan yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Pada bagian ini, kita akan menyoroti perbedaan praktek puasa syiah dengan puasa yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Keempat, berbuka setelah awan merah menghilang. Salah satu kebiasaan Syiah adalah berbuka setelah betul-betul masuk waktu malam. Di saat awan merah di ufuk telah menghilang dan bintang mulai terbit. Dalam kitab Wasail As-Syiah karya Muhammad bin Al-Hasan Al-Hur Al-Amili, dinyatakan, Bab: waktu berbuka adalah sampai hilangnya mega merah di ufuk timur, dan tidak boleh sebelumnya.

Di bawah judul bab ini, selanjutnya dia membawakan beberapa riwayat dusta atas nama Ahlul Bait, diantaranya: “Dari Zurarah, saya pernah bertanya kepada Abu Jafar alaihis salam tentang waktu berbuka bagi orang yang puasa? Beliau menjawab: Ketika telah terbit 3 bintang.”
Abu Jafar : cucu Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beliau bergelar Al-Baqir. Salah satu ulama ahlus sunah yang dikultuskan Syiah. Dan satu kedustaan, beliau memfatwakan demikian. Al-Hur Al-Amili memberi komentar,
“Ini dipahami bahwa orang yang tidak mengetahui arah timur, sehingga dia tidak tahu hilangnya awan merah kecuali setelah terbit bintang, sebagaimana penjelasan dalam waktu-waktu shalat atau dianjurkan untuk mendahulukan shalat (maghrib) dari pada berbuka. Sehingga setelah itu terbit 3 bintang. Demikian yang dijelaskan ulama mutaakhirin (Syiah).” [Wasail As-Syiah, hlm. 124 125]

Keterangan ini yang selanjutnya dipraktekkan masyarakat penganut agama Syiah di masa ini. Termasuk komunitas Syiah di indonesia. Sebagaimana pengakuan beberapa orang yang pernah mengikuti kegiatan buka bersama yang diadakan kelompok Syiah indonesia. Jika kita perhatikan, apa yang dipraktekkan oleh Syiah dalam kebiasaan berbuka ini, sama persis sebagaimana kebiasaan orang yahudi dan nasrani. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Agama Islam akan senantiasa menang, selama masyarakat (Islam) menyegerakan berbuka. Karena orang yahudi dan nasrani mengakhirkan waktu berbuka.” (HR. Ahmad 9810, Abu Daud 2353, Ibn Hibban 3509 dan statusnya hadia hasan).

Dalam riwayat lain, itu disebabkan orang yahudi suka mengakhirkan waktu maghrib sampai terbit bintang. Karena itulah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang sengaja menunda shalat maghrib hingga terbit bintang, “Umatku akan senantiasa berada di atas fitrah, selama tidak menunda waktu maghrib sampai bintang-bintang mulai terbit.” (HR. Ahmad 15717, Ibn Majah 689, dan statusnya Hasan). Kebiasaan berbuka puasa orang Syiah ini berbeda dengan apa yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau menganjurkan kepada umat Islam untuk menyegerahkan berbuka. Segera berbuka sejak bulatan matahari sudah tenggelam, meskipun awan merah masih merekah di ufuk barat.

Dari Sahl bin Sad radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Umatku akan senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka tidak menunggu waktu berbuka dengan terbitnya bintang.” Sahabat Sahl mengatakan, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika puasa, beliau pernah menyuruh seseorang. Ketika orang ini mengatakan, Matahari telah tenggelam maka beliaupun langsung berbuka.” (HR. Ibn Khuzaimah dalam Shahihnya 3/275, dan sanadnya shahih).

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah berbuka pada saat awan merah di langit masih sangat cerah, hingga sebagian sahabat menyebutnya masih siang. Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu anhu, beliau mengatakan, “Kami pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, dan saat itu beliau puasa. Ketika matahari sudah terbenam, beliau memanggil sahabat yang di atas kendaraan, Wahai Fulan, turun, kita buat minuman. Sahabat ini menjawab, Wahai Rasulullah, sekarang masih siang. Nabi shallallahu alaihi wa sallam tetap menyuruhnya, Turun, kita siapkan minuman. Orang inipun turun, kemudian menyiapkan minuman dari sawiq dan dihidangkan untuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliaupun meminumnya.” (HR. Bukhari 1956 & Muslim 1101).

Dari keterangan sahabat yang disuruh turun: Wahai Rasulullah, sekarang masih siang karena dia melihat suasana langit yang masih terang merah setelah bulatan matahari terbenam. Sehingga dia menyangka belum boleh berbuka. Ketika menjelaskan hadis di atas, Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan, “Hadis ini menunjukkan dianjurkannya menyegerahkan berbuka, dan tidak wajib melanjutkan puasa hingga betul-betul malam. Akan tetapi, jika sudah yakin matahari telah terbenam, halal untuk berbuka.” (Fathul Bari, 4/197).

Dalam karyanya, Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawi mengatakan, “Waktu maghrib segera setelah terbenamnya bulatan matahari. Inilah yang disepakati umat Islam. Dikisahkan dari orang Syiah yang berbeda dengan ini, tidak perlu digubris dan itu tidak berdasar.” (Syarh Shahih Muslim, 5/136).

 

MOZAIK

Batalkah Puasa Wajib tanpa Udzur? Ini Hukumnya!

ADA yang bertanya kepada Ustaz M Shiddiq Al Jawi, apakah jika orang membatalkan puasa wajib secara sengaja tanpa udzur syari, adakah kewajiban qadha atas orang itu?

Bagaimana dengan hadis yang menyebutkan “lam yaqdhi shiyamud dahri wa in shaamahu” (Dia tak akan dapat mengqadhanya dengan puasa satu tahun, meskipun dia melakukan puasa satu tahun)?

Ustaz menjawab sebagai berikut; Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang dengan sengaja tak berpuasa atau berpuasa tapi membatalkannya tanpa udzur syari, misalnya sakit atau dalam perjalanan. Ada dua pendapat; Pertama, pendapat jumhur ulama yang mengatakan orang tersebut wajib mengqadha.

Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil A`immah disebutkan, “Mereka [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad] sepakat bahwa orang yang sengaja makan atau minum pada siang hari pada bulan Ramadan sedang dia dalam keadaan sehat dan mukim (tak dalam perjalanan), maka dia wajib mengqadha` (M. Abdurrahman Ad Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil A`immah, hlm. 93).

Dalil wajibnya qadha adalah hadis dari Abu Hurairah RA yang diriwayatkan Imam Dawud mengenai seorang laki-laki yang menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadan. Pada ujung hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Dan berpuasalah satu hari [sebagai gantinya] dan mintalah ampun kepada Allah [wa shum yauman wastighfirillaah].” (HR Abu Dawud,no 2393). Jumhur ulama mengatakan hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan wajibnya qadha bagi orang yang sengaja berbuka (membatalkan puasanya) tanpa udzur syari. (Imam Shanani, Subulus Salam, 2/164; Said Al Qahthani, Al Shiyam fil Islam, hlm. 288; Ahmad Huthaibah, Al Jami li Ahkam Al Shiyam, hlm. 138).

Kedua, pendapat sebagian ulama, seperti Imam Ibnu Hazm dan Imam Ibnu Taimiyyah, yang mengatakan bahwa qadha tidak disyariatkan bagi orang tersebut. Dalilnya, hadis dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berbuka pada satu hari dari bulan Ramadan tanpa suatu rukhsah yang diberikan Allah kepadanya maka dia tak akan dapat mengqadhanya dengan puasa satu tahun (lam yaqdhi anhu shiyaam ad dahr).” (HR Abu Dawud, no 2396; Ibnu Majah no 1672; Ad Darimi 2/10; Ahmad, 2/376).

Dalil lainnya, pendapat sebagian sahabat seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, dan Abu Hurairah yang tak mewajibkan qadha` bagi orang yang sengaja berbuka tanpa udzur syari. (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 2/359; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 3/108; Abdurrahman Al Harafi, Ahkamush Shiyam, hlm. 45).

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama, yang mewajibkan qadha bagi orang yang membatalkan puasa secara sengaja tanpa udzur syari. Ada dua alasan; pertama, bahwa hadis Abu Hurairah RA bahwa orang yang berbuka tanpa rukhsah tak akan dapat mengqadha puasanya walau puasa setahun, adalah hadis yang dhaif (lemah). (Nashiruddin Al Albani, Dhaif Sunan Abi Dawud, hlm. 517).

Alasan kelemahannya, karena ada seorang periwayat hadis bernama Abu Muthawwas yang majhul (tak diketahui dengan jelas identitasnya). Demikian sebagaimana dijelaskan oleh Imam Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari, dan Imam Ibnu Hazm dalam Al Muhalla. Imam Ibnu Hazm berkata, “Abu Muthawwas tidaklah terkenal sifat keadilannya (ghairu masyhur bi al adalah).” (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 2/358; Abdurrahman Al Harafi,Ahkamush Shiyam, hlm. 45).

Kedua, pendapat sebagian sahabat yang tak mewajibkan qadha, kedudukannya hanya sebagai ijtihad yang boleh saja diikuti, namun bukan dalil syari. (Mahmud Uwaidhah, Al Jami li Ahkam Al Shiyam, hlm. 55). Ijtihad shahabat dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan istilah mazhab al shahabi, yakni mazhab seorang shahabat. Para ulama berbeda pendapat apakah mazhab al shahabi dapat menjadi hujjah (dalil syari) atau tidak.

Namun yang rajih menurut jumhur ulama adalah bukan dalil syari. Imam Taqiyuddin An Nabhani berkata, “Madzhab sahabat tidak termasuk dalil-dalil syari. [mazhab al shahabi laisa min al adillah al syariyyah].” (Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/417). Kesimpulannya, orang yang membatalkan puasa secara sengaja tanpa uzur syari, wajib mengqadha`. Wallahu alam. [konsultasiislam ]

MOZAIK

“Saya Tahu Jalan Pintas Menuju Surga”

Ja’far al-Khuldi – rahimahullah – berkata: Saya mendengar al Junaid – rahimahullah – berkata: Saya mendengar Sari as-Saqathi berkata, “Saya tahu jalan pintas menuju surga:

Jangan meminta apa pun pada seseorang, jangan mengambil apa pun dari seseorang, sementara Anda tidak memiliki apa pun yang bisa Anda berikan pada orang lain.”

Dikisahkan dari al-Junaid bahwa ia berkata, “Tidak dibenarkan seseorang mengambil sesuatu dari orang lain sehingga la lebih suka mengeluarkan (memberi) daripada mengambil.”

Abu Bakar Ahmad bin Hamawaih, sahabat ash-Shubaihi – rahimahullah – berkata, “Barangsiapa mengambil karena Allah maka ia mengambil dengan penuh hormat, dan barangsiapa meninggalkan (tidak mengambil) sesuatu karena Allah maka ia juga mengambil dengan penuh hormat. Dan barangsiapa mengambil bukan karena Allah maka la mengambil dengan hina dan barangsiapa tidak mengambil bukan karena Allah maka dia juga tidak mengambil dengan hina.”

Saya mendengar Ahmad bin Ali al-Wajihi berkata: Aku mendengar az-Zaqqaq berkata, “Yusuf ash-Shayigh datang menjemputku di Mesir dengan membawa kantong berisi dirham. Ia ingin memberiku sesuatu. Namun tangannya aku kembalikan ke dadanya. Lalu ia berkata, ambillah uang ini dan jangan Anda kembali padaku. Sebab andaikan aku tahu bahwa aku memiliki sesuatu, aku memberi Anda sesuatu, tentu aku tidak akan memberikan pada Anda.”

Saya mendengar Ahmad bin Ali berkata: Aku mendengar Abu Ali ar-Rudzabari – rahimahullah – berkata: Aku tidak pernah melihat etika (adab) yang lebih baik dalam memberikan kelembutan dan kasih sayang pada orang-orang fakir daripada adab yang dilakukan Ibnu Rafi’ ad-Dimasyqi.

Aku melihatnya ketika aku bermalam di rumahnya. Pada malam itu aku bercerita tentang Sahl bin Abdullah yang pernah berkata, “Ciri orang fakir yang jujur adalah tidak meminta, tidak menolak dan tidak menyimpan.” Ketika aku mau pergi meninggalkannya, la membawa sejumlah dirham. Ia berdiri di sebelahku mengangkat tempat air. Lalu ia berkata padaku, “Bagaimana Anda bercerita tentang Sahl bin ‘Abdullah?” Tatkala aku selesai mengisahkannya dan aku berka kepadanya, “Janganlah Anda meminta dan jangan pula menolak, maka ia segera melemparkan dirham-dirham itu ke tempat airku lalu ia pergi meninggalkanku.

Abu Bakar az-Zaqqaq – rahimahullah – berkata, “Kedermawanan bukanlah seorang yang berada memberi pada yang tidak punya, akan tetapi kedermawanan adalah orang yang tidak punya memberi kepada orang yang berada.”

Dikisahkan dari Abu Muhammad al-Murta’isy – rahimahullah – yang berkata, “Menurut saya, mengambil tidak bisa dibenarkan sehingga Anda datang kepada orang yang Anda mengambil darinya. Maka Anda mengambil untuknya dan bukan untuk Anda.

Dikisahkan dari Ja’far al-Khuldi dari al Junaid – rahimahullah – yang berkata: Satu hari aku pergi menemui Ibnu al-Kurraini dengan membawa dirham yang ingin aku berikan kepadanya, dengan anggapan la tidak mengenalku. Aku meminta padanya agar la sudi mengambil dirham yang kubawa untuknya. Kemudian la berkata, “Aku tidak membutuhkan dirham.”

Ia tidak mau mengambilnya. Lalu aku berkata kepadanya, “Jika engkau tidak membutuhkannya, maka aku adalah seorang muslim yang sangat senang bila engkau mau mengambil pemberianku ini. Maka silakan engkau mengambilnya untuk menyenangkan hatiku.” Akhirnya ia mau mengambilnya.

Disebutkan dari Abu al-Qasim al-Munadi rahimahullah- bahwa jika la melihat asap mengepul dari sebagian rumah tetangganya, maka ia akan berkata pada orang-orang yang ada disekitarnya, “Pergilah Anda kepada mereka, dan katakan pada mereka, ‘Berilah saya bagian dari apa yang engkau masak!” Ada seseorang di antara mereka yang berkata, “Barangkali mereka hanya memasak air.” Maka la berkata, “Berangkatlah kepada mereka, apa yang bisa diandalkan oleh orang-orang kaya itu kecuali memberikan sesuatu pada kita dan mereka meminta syafaat dengan pemberiannya itu di akhirat.”

Al Junaid – rahimahullah – berkata: Aku membawa uang dirham kepada Husain bin al-Mishri, dimana istrinya sedang melahirkan. Mereka sedang berada di gurun sahara yang tidak punya tetangga. Namun la tidak mau menerima pemberianku. Kemudian dirham itu kuambil kembali dan kulemparkan ke dalam kamar di mana istrinya berada sembari berkata, “Wahai istri Husain ini untukmu!” Akhirnya ia tidak bisa berkutik untuk menolak apa yang aku lakukan.

Yusuf bin al-Husain – rahimahullah – ditanya, “Jika aku mempersaudara seseorang karena Allah, kemudian aku keluar, kepadanya dengan membawa semua hartaku. Lalu apakah aku telah menunaikan semua hak-haknya dari apa yang Allah berikan kepadaku?”

Maka la menjawab, “Bagaimana Anda bisa melakukannya dengan rendahnya mengambil dan menemukan kemuliaan memberi bila dalam memberi ada kemuliaan sementara dalam mengambil ada kerendahan?”

-Syeikh Abu Nashr as-Sarraj. [sufinews]

 

MOZAIK