SERINGKALI hati ini meringis saat mendengar ceramah atau membaca beberapa tulisan yang kelewat batas adab islami dan sopan santun.
Pasalnya, kadang ceramah/tulisan tersebut membawa kebenaran dan ingin membuktikannya, namun uslub (cara), kata dan kalimat yang terangkai dan tergores untuknya sama sekali tidaklah menghiasinya, atau bahkan cenderung mencoreng dan mengotori kebenaran itu sendiri. Seringkali pula saya merenung, apakah tidak ada uslub lain yang lebih pantas untuk menyuarakan yang hak dan menguburkan kebatilan selain uslub celaan dan caci maki?
Tentu, semua orang apalagi ustaz atau penuntut ilmu pasti tahu firman Allah taala yang ditujukan kepada Nabi Musa dan Harun alaihimassalaam:
“Pergilah kamu berdua kepada Firaun, karena dia telah berbuat melampui batas. Berbicaralah kepadanya dengan kata-kata yang lembut, mudah-mudahan ia mau ingat atau takut” [Thaha : 43-44]
Kebatilan yang dipertunjukkan dan dibangga-banggakan Firaun yang mengaku sebagai tuhan semesta alam tidaklah menyebabkan adanya sikap keras dan ocehan caci-maki dalam menyampaikan kebenaran padanya -walaupun ia berhak mendapatkannya-, namun Allah taala tentunya ingin mengajarkan bahwa sebesar apapun kebatilan, maka uslub yang diterapkan untuk menentangnya adalah kata-kata yang lembut. Tujuannya? Allah taala sendiri yang menjawab: “mudah-mudahan ia mau ingat atau takut”.
Tabiat manusia selalu menerima apapun selama disampaikan padanya dengan etika dan kelembutan, baik itu kebatilan ataupun kebenaran. Ini tidak menafikan adanya uslub kekerasan dan celaan, bila diperlukan dan dengan pertimbangan maslahat dan mafsadat., namun yang seringkali dilupakan bahkan dijahilkan adalah bahwa uslub dasar dakwah dan penyampaian kebenaran itu adalah dengan lemah lembut dan sopan santun.
Allah taala berfirman Kepada Nabinya:
“Dengan sebab rahmat Allah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauh dari sekelilingmu” [QS Ali Imran : 159]
Dalam hadis Anas radhiyallahuanhu: “Mudahkanlah dan jangan kalian persulit, berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat orang lari” (HR Al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734).
Tidak dimungkiri bahwa uslub keras dan kasar ini telah banyak membuat manusia lari dari dakwah yang hak. Dan ini sangatlah bertentangan dengan ayat dan hadis-hadis tersebut dan yang akan disebutkan setelah ini.
Awalnya, mungkin yang patut disalahkan adalah institut, atau majelis ilmu yang menjadi mesin keluarnya sang penceramah atau penulis ini karena tidak adanya materi “Metode Dan Cara Dakwah” yang diajarkan didalamnya. Akan tetapi saya disadarkan bahwa hampir di setiap mahad, kajian dan majelis ilmu pasti diajarkan materi ini. Dari sinilah saya ataupun anda bisa mengambil kesimpulan bahwa celah terbesar dalam lapangan dakwah kita saat ini adalah kurangnya aplikasi terhadap apa yang kita pelajari. Mungkin inilah sumber ketidaksopanan sebagian ceramah dan tulisan yang tersebar.
Anda bisa saksikan, sebagian mereka memiliki buku-buku metode dakwah dan akhlak islami, bahkan menjadi rujukan dan literatur penulisan Fiqh dan Metode Dakwah Kontemporer, namun literatur-literatur tersebut kadang berbanding terbalik dengan fakta dan tindak-tanduk penyusunnya, atau pemberi kata pengantarnya. Yang lebih tragis lagi, kadang seseorang memang memiliki tabiat keras dan kurang dianugerahi sikap lemah lembut, akan tetapi yang sangat disayangkan adalah sifat ini disebarkan, ditularkan atau juga (maaf) diajarkan kepada murid-muridnya, sehingga tak mengherankan bila lahir dari mereka murid-murid yang merupakan “fotocopy” dari gurunya.
Bedanya, sang guru mungkin berilmu, sedangkan sang murid sebagiannya tak ubahnya laksana penuntut ilmu kerdil yang berlagak ahli ilmu alias “ruwaibidhah”. Parahnya lagi, sang ruwaibidhah ini tak jarang menuduh orang lain yang menyelisihinya: bersifat ruwaibidhah tanpa bercermin terlebih dahulu. Tepatnya, Maling teriak maling.
Sudah saatnya kita kembali ke dasar uslub dakwah kita, yaitu berlemah lembut. Memberikan kritikan dengan penuh adab dan kesantunan. Agar semua orang paham bahwa pembawa manhaj ahli sunnah adalah orang-orang yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai norma dan etika, sebagai cerminan dari qudwah mereka:
“Sungguh, kamu mempunyai akhlak yang agung” [QS Al-Qalam : 4]
Bahkan kelembutan merupakan salah satu sifat Allah taala: Dalam HR Muslim no. 2593 Rasulullah shallallahualaihi wasallam bersabda;
“Wahai Aisyah, sesunguhnya Allah itu Maha lembut dan mencintai kelembutan. Allah memberi kepada kelembutan hal-hal yang tidak diberikan kepada kekerasan dan sifat-sifat lainnya”
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadis ini terdapat motivasi untuk bersikap lemah lembut, sabar, dan bertutur kata yang lembut kepada manusia, selama tidak ada sebab/hajat yang membuat kita bersikap keras terhadap mereka”. (Syarah Muslim: 14/145).
Juga pada no.2594 dari Aisyah radhiyallahuanha, Nabi bersabda;
“Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan nampak indah. Sebaliknya, tanpa kelembutan segala sesuatu akan nampak jelek”
Imam Nawawi juga menyatakan: Dalam hadis-hadis ini terdapat keutamaan untuk berlemah lembut motivasi untuk berakhlak baik, serta celaan terhadap sikap keras dan kasar, dan sikap lemah lembut merupakan sumber segala kebaikan”. (Syarah Muslim: 16/145).
Sekali lagi, bahwa saya tidak meruntuhkan metode sikap keras dalam menghadapi kesyirikan, bidah dan maksiat, sebab ini adalah sikap alternatif yang harus diterapkan bila memiliki maslahat yang jelas dan tujuan yang lebih baik. Namun yang saya ingin tegaskan adalah betapa kita tidak bisa mengendalikan otak kita tatkala melihat berbagai kemungkaran, sehingga dasar uslub dakwah (lemah lembut) dijadikan alternatif, sedangkan alternatif (kekerasan) dijadikan sebagai dasar uslub dakwah.
Orang yang memutar-balikkan uslub dakwah ini akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki, bahkan kerusakan yang diakibatkannya, akan lebih parah dari kerusakan yang diakibatkan oleh “aksi radikal atau terorisme” yang sering dipublikasikan. Wassalaam.
[Ustaz Maulana La Eda, Lc*/Wahdah]