Alquran adalah kitab suci yang diturunkan Allah SWT ke pada Nabi Mu hammad SAW. Alquran memiliki beragam keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab suci yang lain nya. Alquran adalah kitab yang paling mudah untuk dihafalkan, sebagaimana janji Allah SWT.
Month: April 2018
Mudahkanlah Setiap Urusan, jangan Mempersulit
BERPRASANGKA baik lebih utama, daripada menghardik kemudian pergilah dia. Yang kawan kita perlukan adalah bimbingan dan hangatnya kebaikan, bukan bentakan serta dinginnya tindakan. Barangkali ketidaktahuan lah dia miliki sementara ini, sehingga pengetahuan lah yang harus kita beri.
Maka mudahkanlah untuk kawan. Dan jangan berikan kesulitan. Karena Islam mengajarkan kita arti keramahan, bukan kemarahan. Jangan anggap remeh sekecil apapun kebaikan.
Walaupun hanya sekedar memberi kemudahan, namun bisa jadi memberi perubahan. Yang awalnya sungkan, menjadi berkenan. Yang tadinya ogah-ogahan, menjadi semangat berkebaikan.
Telah menceritakan kepadaku Ishaq telah menceritakan kepada kami An Nadlr telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Sa’id bin Abu Burdah dari Ayahnya dari Kakeknya] dia berkata:
“Ketika beliau mengutusnya bersama Mu’adz bin Jabal, beliau bersabda kepada keduanya: “Mudahkanlah setiap urusan dan janganlah kamu mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan kamu membuatnya lari, dan bersatu padulah! Lantas Abu Musa berkata;
“Wahai Rasulullah, di daerah kami sering dibuat minuman dari rendaman madu yang biasa di sebut dengan Al Bit’u dan minuman dari rendaman gandum yang biasa di seut Al Mizru. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab: “Setiap yang memabukkan adalah haram.” (HR. Bukhari No.5659)
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhri, Al Laits berkata; telah menceritakan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku ‘Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bahwa Abu Hurairah telah mengabarkan kepadanya:
Seorang Arab badui kencing di Masjid, maka orang-orang pun segera menuju kepadanya dan menghardiknya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka: “Biarkanlah dia, dan guyurlah air kencingnya dengan seember air, hanyasanya kalian diutus untuk memudahkan bukan untuk mempersulit.” . (HR. Bukhari No.5663). [inspirasi-islami]
Dua Wakil Indonesia Raih Juara MTQ Internasional di Mesir
Dua wakil Indonesia Lauhin Mahfuz dan Farhan Tsani sukses menorehkan prestasi menjadi juara II MTQ cabang Syarhil Quran di ajang Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Internasional di Mesir.
Dalam babak final yang diselenggarakan, Rabu (04/04/2018) lalu, Lauhin Mahfuz yang mewakili Indonesia bersama Farhan Tsani, meraih juara II dari empat negara yang lolos ke babak final.
“Juara I diraih utusan Filipina, Juara II Indonesia, Juara III Malaysia dan Juara IV Nigeria,” tulis Lauhin Mahfudz pada laman Facebooknya yang dikutip laman Kemenag.
Atas prestasi ini, keduanya berhak atas hadiah umrah dan uang sebesar 5.500 pound.
“Alhamdulillah, sebelumnya kami sebagai perwakilan Indonesia dalam MTQ Cabang Syarhil Quran berhak melangkah ke babak final dengan 3 negara lainnya yaitu : Malaysia, Filipina, dan Nigeria pada tanggal 4 April 2018,” ujar Lauhin sebelum melaju ke final, menuliskan rasa syukurnya atas prestasi yang telah diraih.
Ada 20 negara yang ikut ambil bagian di Cabang Syarhil Quran MTQ tingkat internasional ini. Sebelum masuk final, duet Lauhin Mahfudz dan Ahmad Farhan Tsani sebelumnya juga sukses meraih peringkat kedua babak semifinal sebagai tiket bagi Indonesia menuju final.
Kedua pemuda asal Indonesia ini merupakan alumni Pesantren Raudhatul Hasanah Medan, Sumatera Utara. Lauhin Mahfudz berasal dari Takengon, Kabupaten Aceh Tengah dan Ahmad Farhan Tsani berasal dari Kota Medan, Sumatera Utara.
Mereka kini sedang menempuh pendidikan di Universitas Al Azhar, Kairo. Lauhin Mahfudz sendiri juga sempat menimba ilmu agama di UIN Ar Raniry Banda Aceh pada jurusan Tafsir Al Quran dan Hadist sebelum dia diterima menjadi mahasiswa Al Azhar Mesir sejak tahun 2016.*
Ingat, Hartamu akan Dihisab!
RASULULLAH shallallahu alaihi wa sallam juga mengingatkan bahwa harta akan dihisab. Tidak hanya dihisab untuk bagaimana cara mendapatkannya, tapi juga dihisab terkait bagaimana cara menggunakannya.
Anda bisa menjamin harta yang anda dapatkan halal. Tapi itu belum cukup. Ada tugas yang kedua, yaitu bagaimana menggunakan harta itu untuk sesuatu yang benar. Dalam hadis dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Kaki seorang hamba di hari kiamat tidak akan bergeser sampai dia ditanya tentang (beberapa hal, diantaranya) tentang hartanya, dari mana dia dapatkan dan untuk apa dia gunakan” (HR. Turmudzi 2602, ad-Darimi 546 dan statusnya hasan)
Selain itu, terdapat larangan israf dan tabdzir. Allah menyebut pelaku tabdzir sebagai temannya setan. Dan Allah tidak mencintai orang yang suka israf (boros). Allah berfirman, “Janganlah melakukan tindakan tabdzir, sesungguhnya para mubadzir itu temannya setan.” (QS. al-Isra: 26-27).
Allah juga berfirman, “Janganlah bersikap boros, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang boros.” (QS. al-Anam: 141).
Apa beda israf (boros) dengan tabdzir? Kesimpulan Ibnu Abidin, “Al-Israf: menggunakan harta untuk sesuatu yang benar, namun melebihi batas yang dibenarkan. Sedangkan tabdzir: menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak benar.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 6/759).
Anda makan dengan hidangan berlebihan, itu israf. Sementara ketika anda menggunakan harta untuk maksiat, itu tabdzir.
Mengapa Harta disebut Al-Khoir (baik) dalam Quran?
ISLAM sangat menghargai apapun yang bermanfaat bagi manusia, termasuk diantaranya harta. Diantara buktinya bisa kita lihat dalam kajian seputar dharuriyat al-khams (5 hal yang mendesak), yang menjadi maqasid as-Syariah (tujuan dasar syariah). Diantara 5 hal itu adalah hifdzul mal (menjaga harta). Karena itu, harta dalam islam tidak boleh disia-siakan.
Hanya saja perlu kita pahami, anjuran menghargai harta tidak sama dengan motivasi mengejar harta dan dunia. Bisa saja seseorang mengejar harta, namun di saat yang sama dia menggunakan harta itu untuk pemborosan yang sia-sia. Dan bahkan, kebanyakan mereka yang rakus dunia, hartanya dihamburkan untuk kehidupan glamor yang sia-sia.
Selanjutnya kita akan melihat bagaimana semangat islam dalam menghargai harta,
[1] Harta disebut al-khoir. Al-Khoir secara bahasa artinya kebaikan. Dan ada beberapa ayat dalam al-Quran yang menyebut harta dengan eutan al-Khoir.. diantaranya firman Allah, “Manusia itu terhadap harta sangat rakus.” (QS. al-Adiyat: 8).
Juga firman Allah, “Diwajibkan kalian, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan khoir (harta yang banyak), agar berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara maruf.” (QS. al-Baqarah: 180)
Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Al-khoir di sini maknanya adalah harta, tidak ada perbedaan penndapat diantara ulama dalam tafsir ini.” (at-Tamhid, 14/295). Kemudian Ibnu Abdil Bar menyebutkan 4 ayat lainnya dalam al-Quran yang menyebut harta dengan al-khoir: 2 ayat di atas, lalu QS. Shad: 32, dan QS. an-Nur: 33.
Mengapa disebut al-Khoir? Khoir artinya baik. Lawannya Syarr, yang artinya keburukan. Sehingga jangan sampai, karena salah dalam menggunakan, al-khoir berubah menjadi as-Syarr.
Menurut al-Hakim at-Turmudzi dalam Nawadir al-Ushul, “Harta pada asalnya merupakan pendukung bagi para hamba untuk urusan agama mereka. Dengan harta mereka bisa shalat, puasa, zakat, atau sedekah. fisik tidak bisa tegak kecuali dengan harta. Amal anggota badan hanya bisa terlaksana dengan harta karena itu, harta dengan semua karakter yangkita sebutkan, layak untuk disebut al-khoir, karena banyak kebaikan bisa terlaksana dengan harta.” (Nawadir al-Ushul, 4/91).
Gaji Para Cendekiawan
George A Makdisi dalam bukunya, Cita Humanisme Islam, menjelaskan, seorang penulis pernah mengungkapkan perjalanan karier seorang perdana menteri pada abad ke-10, bernama Abu Ja’far ibn Shirzd. Pada permulaan kariernya, ia ditawari gaji sebesar 10 dinar per bulan.
Tawaran ini diberikan ayahnya yang saat itu menjadi seorang kepala kantor. Namun, Abu Ja’far menolaknya, lalu ia melamar di Departemen Kekayaan Negara (Dhiwan al-Dhiya). Ia diterima di tempat tersebut sebagai pegawai magang bidang akuntansi dengan gaji 20 dinar per bulan.
Ada seorang ahli bahasa, Hisyam ibn Mu’awiyah, meninggal pada 824 Masehi, mendapatkan gaji bulanan sebesar 10 dinar per bulan. Ini merupakan imbalan sebagai pengajar seorang anak dari seorang pejabat pemerintah.
Sedangkan, Ibn al-A’rabi yang merupakan murid al-Kisai mendapatkan gaji per bulan sebesar 1.000 dirham atau 65 dinar. Bahkan, terungkap bahwa Pangeran Dinasti Tahiriyah, Muhammad ibn Abdullah, membayar Tsalab, seorang guru di lingkungan istana, sebesar 1.000 dirham per bulan.
Kekayaan Tsalab berlimpah. Sebab, saat ia meninggal dunia, harta kekayaannya mencapai 12 ribu dinar. Di antara kekayaan tersebut berupa 3.000 unit toko. Apalagi, Tsalab juga memiliki seorang murid yang memiliki harta warisan berlimpah.
Selain Tsalab, muncul nama Al-Zajjaj. Ia dikenal sebagai guru privat yang kaya. Sebab, selain mendapatkan gaji sebagai pengajar privat, ia juga mendapatkan gaji dari jabatan lainnya sebagai penasihat hukum dan ulama.
Tak heran, jika Al-Zajjaj mendapatkan gaji hingga 300 dinar. Di sisi lain, seorang dokter mendapatkan bayaran tinggi. Misalnya, ada seorang dokter Kristen di masa kekuasaan Islam, Ibn Tilmidz, memiliki pendapatan tahunan yang jumlahnya lebih dari 20 ribu dinar.
Ada pula kisah tentang Muhadzdzab al-Din Ibn al-Naqqasy. Ia merupakan seorang dokter dari Baghdad, Irak, pada abad ke-11. Ia pernah pergi ke Kota Damaskus untuk mencari pekerjaan. Sayangnya, ia belum berhasil mendapatkan pekerjaan yang diharapkannya.
Al-Naqqasy kemudian memutuskan untuk bergegas ke Mesir yang saat itu di bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah. Ia menemui seorang dokter kepala di istana dan mengutarakan maksudnya. Gayung pun bersambut, ia mendapatkan pekerjaan di sana.
Lalu, al-Naqqasy mendapatkan imbalan tiap bulan sebesar 15 dinar. Ia pun mendapatkan apartemen lengkap dengan perabotannya, seperangkat pakaian mewah, dan seekor keledai terbaik. Di sisi lain, ia pun mendapatkan seorang budak.
Para cendekiawan yang menguasai sejumlah bidang humaniora, juga memiliki penghasilan dari keahliannya itu. Pada masa Khalifah al-Ma’mun, ditetapkan penggajian bagi cendekiawan di bidang humaniora. Di antaranya, imbalan atas penulisan atau penerjemahan sebuah karya.
Penerjemahan sebuah karya dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, yang dilakukan seorang dokter bernama Ibn Hunayn ibn Ishaq, Khalifah al-Ma’mun membayarnya dengan emas yang didasarkan pada bobot dari buku tersebut.
Saat itu, Hunayn menggunakan kertas tebal untuk menuliskan terjemahannya. Sehingga, bobot buku terjemahan itu sangat berat dan ia mendapatkan pembayaran emas sangat banyak. Ia menjadi seorang kaya raya dari imbalan atas jasa penerjemahannya itu.
Tak hanya gaji, ada pula bonus, hadiah, maupun honorarium yang diperoleh para cendekiawan Muslim tersebut. Seorang ahli nahwu, al-Ahmar, memperoleh honorarium yang besar dari bekas muridnya, yang bernama al-Amin.
Al-Ahmar mengatakan pada suatu hari ia duduk sebentar dengan al-Amin. Muridnya yang kaya itu, memberinya sekantong uang berisi 3.000 dirham. Menurut dia, setelah mendapatkan uang itu seketika ia menjadi orang kaya dan memutuskan untuk cuti dalam kurun beberapa saat.
Hakikat Bersyukur
Sebuah yang hadis diriwayatkan Hakim dari Jabir bin Abdullah RA menyebutkan, di akhirat nanti ada seorang hamba yang telah beribadah selama 500 tahun.
Ahli ibadah tersebut pun dipersilakan Allah SWT untuk memasuki surga. “Wahai hamba-Ku, masuklah engkau ke dalam surga karena rahmat-Ku,” bunyi Firman Allah dalam hadis qudsi tersebut.
Namun, ada yang menyangkal di dalam hati si ahli ibadah. Mengapa ia masuk surga lantaran rahmat Allah? Bukankah ia telah beribadah selama 500 tahun? “Ya Rabbi, mengapa aku tidak dimasukkan ke dalam surga karena amalku?” tanyanya.
Allah SWT pun memperlihatkan nikmat yang telah diberikan-Nya bagi si ahli ibadah. Nikmat Allah tersebut ditimbang dengan seluruh amal ibadah yang telah ia kerjakan. Ternyata, nikmat penglihatan dari sebelah matanya saja sudah melebihi ibadah 500 tahun si ahli ibadah. Akhirnya, si ahli ibadah pun tunduk di hadapan Allah dan menyadari betapa kecilnya nilai ibadahnya.
Tak ada alasan bagi seorang Muslim untuk tidak bersyukur kepada Allah. Sebanyak apa pun ibadah yang dilakukan, tak akan sebanding dengan nikmat dan karunia yang telah diterima dari Allah. Demikianlah hakikat dari ibadah, sebagai ungkapan rasa syukur seorang hamba kepada Rabb-nya. Jadi, menunaikan ibadah bukan hanya sebatas “pelunas utang” dan menunaikan kewajiban saja.
Rasulullah SAW sebagai seorang hamba yang dijamin tidak berdosa (maksum) adalah teladan dalam hal bersyukur. Suatu kali, istri beliau SAW bertanya, mengapa suaminya itu selalu shalat tahajud sepanjang malam. Bahkan, kaki beliau SAW pun sudah bengkak lantaran lamanya berdiri. “Ya Rasulullah, bukankah Allah SWT telah mengampuni dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?” ujar Aisyah.
Aisyah mengisyaratkan, buat apalagi susah-susah ibadah, toh Rasulullah SAW sudah dijamin Allah masuk surga. Seluruh kesalahannya, kalaupun ada, sudah diampuni Allah. Dan, ia adalah makhluk yang paling mulia di muka bumi. Lalu, mengapa ia masih merepotkan diri dengan ibadah sepanjang malam?
“Bukankah lebih elok jika aku menjadi hamba yang bersyukur,” jawab Rasulullah (HR Bukhari).
Demikianlah Rasulullah mencontohkan, hakikat dari ibadah bukanlah sebatas “pelunas utang” atau pembersih diri dari dosa. Ibadah adalah luapan rasa syukur kepada Allah.
Rezeki Mesti Dicari, Bukan Hanya Duduk Bertawakal
ADA satu hal dalam masalah takdir yang membuat orang sering keliru dalam memahami. Ia adalah masalah yang berkaitan dengan rezeki.
Yang dimaksud dengan rezeki adalah suatu keberuntungan yang diperoleh manusia dalam hidupnya, baik itu berupa nikmat makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, harta, istri, anak, dan berbagai kenikmatan lain yang biasa diharapkan oleh manusia pada umumnya. Itu semua masuk dalam terminologi rezeki.
Rezeki ini ditakdirkan dan dibagikan Allah Ta’ala kepada manusia. Di antara mereka ada yang ditakdirkan lapang dalam rezekinya, ada yang rezekinya ditakdirkan sempit, dan ada pula yang rezekinya ditakdirkan berada di tengah-tengah. Semuanya, yang memberi rezeki adalah Allah. Dalam Al-Qur’an disebutkan,
إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِينُ (٥٨)
“Sesungguhnya Allah, Dia adalah Maha Pemberi Rezeki yang memiliki kekuatan amat kokoh.” (QS: Adz-Dzariyat: 58).
Allah jugalah yang mengatur pembagian rezeki ini kepada seluruh makhluk. Dikatakan dalam firman-Nya;
وَمَا مِن دَآبَّةٍ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا
“Dan tidak ada seekor binatang melata pun di muka bumi, melainkan Allah yang memberikan rezeki kepadanya.” (QS: Hud: 6).
وَڪَأَيِّن مِّن دَآبَّةٍ۬ لَّا تَحۡمِلُ رِزۡقَهَا ٱللَّهُ يَرۡزُقُهَا وَإِيَّاكُمۡۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ
“Dan berapa banyak binatang yang tidak dapat membawa (mencari) rezekinya sendiri. Allahlah yang memberikan rezeki kepadanya juga kepada kalian. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS: Al-Ankabut: 60).
Mayoritas orang memahami perkataan, “Bahwa rezeki ditakdirkan dan dibagikan oleh Allah Ta’ala,” sebagai tidak adanya faedah dalam berusaha mencari rezeki. Mereka. menganggap bahwa orang yang telah ditakdirkan kaya oleh Allah, maka dia pun akan kaya kendati dia hanya duduk-duduk saja di rumah. Dan orang yang ditakdirkan miskin oleh Allah, maka dia pun akan miskin sekalipun dia orang yang cerdas, rajin bekerja dan ulet berusaha.
Yang benar, sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menakdirkan rezeki berkaitan dengan sebabnya. Karena sebab-sebabnya pasti juga telah ditakdirkan, sebagaimana akibat-akibatnya. Sekiranya Allah menakdirkan si Fulan menggunakan akal dan kecerdasannya, serta sungguh-sungguh bekerja dan berusaha dalam rangka mencari penghidupan, maka Allah pasti akan meluaskan rezeki kepadanya. Adapun orang lain yang senantiasa hidup dalam kemalasan, pasrah dalam ketidakpunyaan, dan lebih memilih hidup dalam kehinaan, maka Allah pun akan menyempitkan rezekinya.
Itulah makanya Allah berfirman;
هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ ذَلُولاً۬ فَٱمۡشُواْ فِى مَنَاكِبِہَا وَكُلُواْ مِن رِّزۡقِهِۦۖ وَإِلَيۡهِ ٱلنُّشُورُ (١٥)
“Dialah yang menjadikan bumi mudah bagi kalian, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah kalian dari rezeki-Nya.” (QS: Al-Mulk: 15).
Makna ayat di atas bahwa orang yang bersungguh-sungguh dalam bekerja dan berusaha serta menyusuri pelosok bumi demi mencari rezeki di kisi-kisinya, maka dia akan makan dari rezeki Allah. Sedangkan orang yang malas-malasan dan enggan menyisir muka bumi untuk mencari rezeki, maka dia tidak berhak makan dari rezeki Allah.
Yang dimaksud jaminan Allah Ta’ala untuk memberikan rezeki kepada orang-orang yang hidup, termasuk jaminan rezeki-Nya terhadap seluruh binatang melata di muka bumi, adalah bahwa Allah menyediakan sebab-sebab dan sarana-sarana untuk mengais rezeki di bumi, baik di darat ataupun di lautan. Karena ketika Allah menciptakan bumi, Dia “Memberikan berkah di dalamnya dan telah menentukan makanan-makanannya.” (Fushshilat: 10).
Sebelum menciptakan manusia dan menempatkan mereka di bumi, Allah telah memberikan penghidupan terlebih dahulu untuk mereka di sana. Seperti firman-Nya, “Dan sungguh Kami telah menempatkan kalian di bumi dan membuat penghidupan di dalamnya untuk kalian, (namun) sedikit sekali kalian bersyukur.” (Al-A’raf: 10).
Selanjutnya Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian, kemudian Kami bentuk kalian (menjadi manusia), lalu Kami berkata kepada para malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam’.” (Al-A’raf: 11). Artinya, Al-Qur’an menunjukkan bahwa penghidupan dan rezeki untuk manusia di bumi telah disediakn sebelumnya oleh Allah sebelum Dia menciptakan mereka.
Akan tetapi, sudah menjadi sunnah Allah bahwa rezeki tidak akan dapat diraih kecuali oleh orang yang bekerja dan berusaha. Dan, syariat juga memerintahkan yang seperti ini. Sebab, sunnah-sunnah Allah yang berlaku pada makhluk-Nya serta tata aturan-Nya dalam syariat, mengharuskan manusia agar dia bekerja untuk mencari sendiri rezekinya. Barangsiapa yang cuma duduk-duduk saja tidak mau bekerja, berarti dia menyalahi hukum alam dan hukum syariat secara bersama-sama.
Manakala Umar bin Khathab Radhiyallahu Anhu melihat sekelompok orang duduk-duduk di masjid selepas shalat Jumat, sementara orang-orang sudah pada pulang, dia bertanya kepada mereka, “Siapa kalian?”
Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang bertawakal!” Kata Umar lagi, “Justru kalian adalah orang-orang yang sok bertawakal! Jangan sampai salah seorang dari kalian cuma duduk-duduk saja tidak mau mencari rezeki, lalu berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah rezeki kepadaku,’ padahal dia tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak! Sesungguhnya Allah Ta’ala mengaruniakan rezeki kepada mereka yang berusaha dan bekerja. Apa kalian tidak membaca firman Allah, ‘Apabila shalat (Jumat) telah selesai dilaksanakan, maka menyebarlah kalian di muka bumi dan carilah kemurahan (rezeki) dari Allah’.” (Al-Jumu’ah: 10).
Inilah logika sahabat dalam memahami makna rezeki; berusaha, menyebar ke bumi, dan mencari kemurahan Allah. Bukan cuma duduk-duduk dan pasrah saja dengan alasan tawakal, kemudian hanya diam mengandalkan rezeki yang sudah dibagi oleh Allah. Padahal, rezeki tidak akan datang dengan cara seperti ini.**/Dr. Yusuf Al Qaradhawi, dikutip dari bukunya Takdir
Ini Syarat Jika Muslim Menikahi Nasrani
PARA fuqaha dari berbagai mazhabdi antaranya adalah mazhab yang empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmadtelah sepakat mengenai bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab (kitabiyyah), yaitu perempuan beragama Yahudi dan Nasrani, sesuai firman Allah SWT:
“(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS Al Maa`idah [5] : 5). (Al Mausuah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 7/143; Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh Ala Al Madzahib Al Arbaah, 4/73;Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 1/369; Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/145).
Hanya saja, meskipun Imam Syafiirahimahullahtermasuk yang membolehkan seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab, beliau membuat syarat (taqyiid), yaitu perempuan Ahli Kitab tersebut haruslah perempuan Bani Israil. Jika dia bukan perempuan Bani Israil, misalnya perempuan Arab tapi menganut Yahudi atau Nasrani, maka dia tidak termasuk Ahli Kitab sehingga haram hukumnya bagi laki-laki muslim untuk menikahinya. (Imam Al Baihaqi,Ahkamul Qur`an, 1/187, Beirut : Darul Kutub Al Ilmiyyah).
Pendapat Imam Syafii tersebut dalam nash (teks) yang asli dari Imam Syafii, sebagaimana dikutip oleh Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra (7/173) adalah sebagai berikut:
“Dan Ahli Kitab yang halal menikahi wanita-wanita merdekanya, adalah Ahli [Pemilik] Dua Kitab yang masyhur, yaitu Taurat dan Injil. Mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani dari Bani Israil, bukan orang Majusi.” (Imam Al Baihaqi, Ahkamul Qur`an Lil Imam Al Syafii, 1/187, Beirut : Darul Kutub Al Ilmiyyah, 1975).
Imam Syafii menjelaskan dalil pendapatnya tersebut dalam kitabnya Al Umm (3/7) dengan bersandar pada beberapa khabar (hadis) yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir (w. 310 H), di antaranya khabar dari Atha` yang berkata:
“Orang-orang Nasrani Arab bukanlah Ahli Kitab. [Karena] Ahli Kitab itu hanyalah orang-orang Bani Israil yang datang kepada mereka kitab Taurat dan Injil. Adapun siapa saja yang masuk ke dalam mereka [menjadi penganut Yahudi dan Nasrani] dari kalangan manusia [bukan Bani Israil], maka mereka itu tidaklah termasuk golongan mereka [Ahli Kitab].” (Nuruddin Adil, Mujadalah Ahlil Kitab fi Al Qur`an Al Karim wa As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 79; Riyadh : Maktabah Ar Rusyd, 2007).
Berdasarkan riwayat seperti itulah, Imam Syafii berpendapat bahwa siapa saja orang non Bani Israil yang beragama dengan agama Ahli Kitab yang kepada mereka diturunkan Taurat dan Injil, maka mereka itu Ahli Kitab sekadar nama, bukanlah Ahli Kitab yang hakiki. (Imam Al Baihaqi, Ahkamul Qur`an, 2/57)
Pendapat Imam Syafii tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh para ulama mazhab Syafii seperti Imam Al Khathib Al Syarbaini pengarang kitab Mughni Al Muhtaj (3/187) dan Imam Nawawi pengarang kitab Al Majmu (2/44). Dikatakan, bahwa menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan Bani Israil dihalalkan, karena berarti perempuan itu adalah keturunan orang Yahudi atau Nashrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nashrani, kitabnya masih asli dan belum mengalami perubahan (tahrif).
Sedang perempuan Ahli Kitab yang bukan keturunan Bani Israil, haram dinikahi karena mereka adalah keturunan orang Yahudi atau Nasrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nasrani, kitabnya sudah tidak asli lagi atau sudah mengalami perubahan (tahrif), kecuali jika mereka menjauhi apa-apa yang sudah diubah dari kitab mereka. (Lihat Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/147).
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab secara mutlak, baik perempuan itu dari Bani Israil maupun bukan Bani Israil.
Adapun yang merajihkan pendapat jumhur, adalah 3 (tiga) dalil sebagai berikut:
Pertama, karena dalil-dalil yang ada dalam masalah ini adalah dalil yang mutlak, tanpa ada taqyiid (pembatasan/pensyaratan) dengan suatu syarat tertentu. Perhatikan dalil yang membolehkan laki-laki menikahi Kitabiyyah (perempuan Ahli Kitab), yang tidak menyebutkan bahwa mereka harus dari kalangan Bani Israil. Firman Allah SWT:
“(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS Al Maa`idah [5] : 5).
Ayat di atas mutlak, yaitu membolehkan menikahi perempuan muhshanat yang diberi Al Kitab sebelum umat Islam, tanpa menyinggung sama sekali bahwa mereka itu harus dari keturunan Bani Israil. Dalam hal ini berlakulah kaidah ushuliyah yang menyebutkan:
“Al muthlaqu yajriy alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ala at taqyiid.” (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya pembatasan). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, 1/208).
Kemutlakan dalil inilah yang menjadikan Syaikh Wahbah Zuhaili menguatkan pendapat jumhur ulama atas pendapat Imam Syafii. Syaikh Wahbah Zuhaili berkata:
“Pendapat yang rajih bagi saya adalah pendapat jumhur, berdasarkan kemutlakan dalil-dalil yang memutuskan bolehnya wanita-wanita Ahli Kitab, tanpa ada taqyiid (pembatasan) dengan sesuatu (syarat).” (Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/147).
Dengan ini jelaslah bahwa Ahli Kitab itu tidak hanya dari keturunan Bani Israil saja, melainkan siapa saja yang beragama Yahudi dan Nashrani baik dia keturunan Bani Israil maupun bukan keturunan Bani Israil.
Kedua, karena tindakan Rasulullah SAW (afaal rasulullah) dalam memperlakukan Ahli Kitab seperti menerapkan kewajiban membayar jizyah atas mereka, menunjukkan bahwa yang menjadi kriteria seseorang digolongkan Ahli Kitab adalah agamanya, bukan nenek moyangnya, yaitu apakah nenek moyang mereka itu ketika pertama kali masuk Yahudi/Nashrani kitabnya masih asli ataukah sudah mengalami perubahan (tahrif) dan pergantian (tabdiil).
Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah telah menjelaskan hal itu dalam kitabnya Zadul Maad (3/158) dengan perkataannya :
“Orang Arab adalah suatu umat yang pada asalnya tidak ada sebuah kitab di tengah mereka. Setiap kelompok dari mereka beragama dengan agama umat-umat yang berdekatan dengan mereka Maka Rasulullah SAW memberlakukan hukum-hukum jizyah, dan beliau tidak mempertimbangkan nenek moyang mereka juga tidak [mempertimbangkan] orang-orang yang masuk ke dalam agama Ahli Kitab : apakah dulu masuknya mereka itu sebelum terjadinya penghapusan (nasakh) [dengan turunnya Alquran] dan penggantian (tabdiil) [tahrif terhadap Taurat dan Injil] ataukah sesudahnya.” (Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Zadul Maad, 3/158; Lihat Nuruddin Adil, Mujadalah Ahlil Kitab fi Al Qur`an Al Karim wa As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 80).
Atas dasar itu, orang yang tergolong Ahli Kitab itu tidak dilihat lagi nenek moyangnya, apakah ketika mereka masuk Yahudi atau Nashrani kitab mereka masih asli, ataukah sudah mengalami perubahan, ataukah ketika sudah diturunkan Alquran. Maka, orang masa sekarang, yaitu setelah diturunkannya Alquran, jika menganut Yahudi atau Nashrani, juga digolongkan Ahli Kitab.
Ketiga, ayat-ayat Alquran yang turun untuk pertama kalinya dan berbicara kepada orang Yahudi dan Nashrani pada zaman Nabi SAW, sudah menggunakan panggilan atau sebutan “Ahli Kitab” untuk mereka. Padahal mereka pada saat itu sudah menyimpang dari agama asli mereka, bukan orang-orang yang masih menjalankan kitabnya yang murni/asli. Misalnya firman Allah SWT :
“Katakanlah [Muhammad],Wahai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Alquran yang diturunkan kepadamu [Muhammad] dari Tuhanmu.” (QS Al Maa`idah [5] : 68).
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa orang Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi SAW tidaklah menjalankan ajaran-ajaran Taurat dan Injil yang diturunkan Allah kepada mereka. Meski demikian, mereka tetap disebut “Ahli Kitab” di dalam Alquran. Dan ayat-ayat semacam ini dalam Alquran banyak. (Nuruddin Adil, Mujadalah Ahlil Kitab fi Alquran Al Karim wa As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 80).
Dengan demikian, istilah “Ahli Kitab” sejak awal memang ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani yang sudah menyimpang dan tidak lagi menjalankan ajaran Taurat dan Injil. Istilah “Ahli Kitab” bukan ditujukan kepada orang Yahudi dan Nashrani yang masih asli kitabnya atau masih lurus menjalankan agamanya. Jadi tidak benar anggapan bahwa saat ini sudah tak lagi Ahli Kitab dengan alasan istilah “Ahli Kitab” ditujukan untuk orang Yahudi dan Nashrani yang masih asli kitabnya. Pendapat ini tidak benar.
Berdasarkan tiga dalil di atas, jelaslah bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab secara mutlak, baik perempuan itu dari Bani Israil maupun bukan Bani Israil. Baik nenek moyang mereka masuk agama Yahudi dan Nasrani ketika kitabnya masih asli maupun ketika kitabnya sudah mengalami perubahan (tahrif). Baik sebelum diturunkannya Alquran maupun sesudah diturunkannya Alquran.
Namun yang perlu kami tegaskan, sesuatu yang mubah itu jelas bukan sesuatu yang dianjurkan (sunah), atau yang diharuskan (wajib). Bahkan perkara yang hukumnya mubah, pada kasus-kasus tertentu dapat diharamkan secara syari jika menimbulkan bahaya (mudharat/mafsadat), meski hukum pokoknya yang mubah tetap ada dan tidak hilang. Hal ini sesuai kaidah fikih yang dirumuskan oleh Imam Taqiyuddin An Nabhanirahimahullahsebagai berikut:
“Setiap kasus dari kasus-kasus perkara yang mubah, jika terbukti berbahaya atau membawa kepada bahaya, maka kasus itu diharamkan, sedangkan perkara pokoknya tetap mubah.” (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/456).
Berdasarkan kaidah fiqih tersebut, pada kasus tertentu, haram hukumnya seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab, jika terbukti berbahaya atau dapat membawa kepada bahaya bagi laki-laki itu secara khusus. Misalnya, laki-laki muslimnya lemah dalam beragama, sedang perempuan Ahli Kitabnya seorang misionaris Kristen atau Katolik yang sangat kuat beragama dan kuat pula pengaruhnya kepada orang lain. Maka dalam kondisi seperti ini, haram hukumnya laki-laki muslim tersebut menikahi perempuan Ahli Kitab ini, karena diduga kuat laki-laki muslim itu akan dapat terseret menjadi murtad dan mengikuti agama istrinya, atau diduga kuat perempuan itu akan dapat mempengaruhi agama anak-anaknya sehingga mereka menjadi pengikut Nasrani. Nauzhu billahi min dzalik.
Namun pada saat yang sama, hukum bolehnya laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab tetaplah ada, dan tidak lenyap. Hukum ini dapat diberlakukan misalnya untuk laki-laki muslim yang sangat kuat beragama, misalnya ulama atau mujtahid atau mujahid, yang menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan rakyat negara Khilafah.
Seperti halnya dahulu, ketika sebagian sahabat Nabi SAW menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan Ahludz Dzimmah. Misalnya Utsman bin Affan radhiyallahu anhu yang menikahi seorang perempuan Nashrani bernama Na`ilah, yang kemudian masuk Islam di bawah bimbingan Utsman. Hudzaifah bin Al Yaman RA pernah menikahi seorang perempuan Yahudi dari penduduk Al Mada`in. Jabir bin Abdillah RA pernah ditanya mengenai laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan Yahudi atau Nashrani. Maka Jabir menjawab,”Dahulu kami dan Saad bin Abi Waqqash pernah menikahi mereka pada saat penaklukan Kufah.” (Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/145).
Kesimpulannya, seorang laki-laki muslim hukum asalnya mubah menikahi perempuan Ahli Kitab. Namun dalam kasus tertentu, hukumnya menjadi haram jika pernikahan itu dapat menimbulkan bahaya (mudharat/mafsadat), sedang hukum asalnya tetap mubah. Wallahu alam.[]
Menggagas kurikulum wisata muslim
Kasus Abu Tours, First Travel, Solusi Balad Lumampah, dan Hannien Tour ibarat fenomena gunung es. Sebab, bisa jadi kasus tipu-tipu dan penggelapan uang nasabah umrah masih banyak yang belum terungkap. Dan sewaktu-waktu akan kembali mencuat kasus lainnya, ketika para korbannya berani bersuara.
Pegiat wisata muslim, Priyadi Abadi mengaku, sangat prihatin terhadap kasus penipuan jemaah umrah yang berulang terjadi. Padahal, ada sebagian masyarakat yang susah panyah mengumpulkan dana supaya bisa berangkat umrah. “Tapi masih ada saja masyarakat yang mudah tergoda dengan iming-iming biaya umrah. Ini salah satunya karena kurangnya edukasi soal penyelenggaraan umrah oleh jasa travel,” katanya saat berbincang dengan KONTAN, pekan ini.
Di sisi lain, pengawasan dari pihak otoritas terkait juga belum maksimal karena luasnya wilayah pemantauan. Akibatnya, tidak bisa mengantisipasi modus-modus penyimpangan oleh perusahaan travel yang berujung pada calon jemaah tidak bisa diberangkatkan. Faktor lainnya, Pribadi menyebutkan, pengelola jasa travel seperti First Travel atau Abu Tours tidak amanah dengan uang jemaah. Buktinya, dana yang dikumpulkan dari calon jemaah digunakan untuk kepentingan pribadi, bermewah-mewahan seperti membeli kendaraan mahal, dipakai untuk pelesiran ke luar negeri hingga membangun rumah megah. “Penyimpangan dana jemaah juga akibat buruknya administrasi keuangan yang dijalankan,” ungkap Pendiri Indonesian Islamic Travel Communication Forum (IICTF) ini.
Agar masyarakat tidak terjebak dengan tawaran atau promosi umrah murah, pihak-pihak terkait harus senantiasa memberikan edukasi secara berkesinambungan. Dengan demikian, masyarakat mengerti bagaimana sebenarnya penyelenggaraan umrah.
Terlepas dari intrik tipu-menipu dalam bisnis umrah, Priyadi tidak menampik jika potensi industri halal atau wisata muslim sangat besar. Sejatinya, dalam indusri ini tidak hanya yang mindstream yakni haji dan umrah tapi menyangkut potensi wisatanya. Dalam hal ini inbound tourist, yakni turis muslim dari mancanegara yang berkunjung ke Indonesia, maupun outbound tourist atau turis muslim dari Indonesia berwisata ke mancanegara.
Kini, wisata muslim berkembang pesat di dunia. Bisnis ini tidak hanya dikembangkan oleh negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, namun juga negara-negara yang sebagian penduduknya beragama non-Islam. Sayang, industri wisata halal di Indonesia belum berkembang secara optimal. Ya, masih kalah dari negara Thailand atau Jepang. Maklum, belum banyak biro perjalanan di tanah air yang menggarap wisata muslim.
Priyadi khawatir, kalau potensi pasar yang besar ini tidak diseriusi oleh travel muslim, maka akan diambil alih oleh travel umum. Nah, salah satu upaya untuk mempopulerkan potensi wisata muslim adalah lewat jalur pendidikan. Saat ini, IICTF sedang berupaya memperjuangkan wisata muslim masuk menjadi matakuliah atau kurikulum di perguruan tinggi, terutama yang membuka jurusan pariwisata dan Sekolah Tinggi Pariwisata (STP). “Sampai saat ini belum ada matakuliah khusus tentang haji, umrah dan wisata muslim,” sebutnya.
Dengan masuk menjadi kurikulum di pendidikan tinggi, mahasiswa bisa secara dini memahami tentang wisata muslim tentang potensi, prospek plus tantangannya. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim semestinya lebih maju ketimbang negara lain dalam mengembanglam wisata muslim. Jadi tidak sebatas haji dan umrah, yang dilirik. “Selama ini, travel muslim hanya menggarap paket haji dan umrah. Kalau pun ada sebatas wisata ke negara-negara Timur Tengah, dengan paket umrah plus tour ke Turki atau Mesir dan lainnya,” ungkap Priyadi.
Atas dasar itu, IITCF yang merupakan pusat pelatihan terus memfasilitasi perusahaan travel muslim mengembangkan paket-paket wisata muslim baik mancanegara maupun domestik. Dengan demikian, kebutuhan muslim untuk berwisat terakomodasi, pasar yang potensial di industri ini perlahan akan maju.