Niat Puasa Syawal, Tata Cara, Waktu dan Keutamaan

Puasa Syawal adalah salah satu puasa sunnah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah) bagi kaum muslimin. Bagaimana niat dan tata cara serta apa saja keutamaan puasa syawal serta waktu pelaksanaannya? Ini pembahasan lengkapnya. Insya Allah.

Hukum Puasa Syawal

Hukum puasa syawal adalah sunnah muakkadah, yakni sunnah yang sangat dianjurkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun” (HR. Muslim)

Sungguh tidak pantas kita menyia-nyiakan puasa ini. Hanya enam hari di bulan Syawal, namun keutamaannya luar biasa.

Waktu Puasa Syawal

Puasa Syawal dilaksanakan selama enam hari di bulan Syawal, mulai tanggal 2 Syawal yakni sehari setelah Idul Fitri. Adapun saat hari raya idul fitri, diharamkan berpuasa.

Puasa enam hari di bulan Syawal ini apakah harus berturut-turut atau tidak? Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menjelaskan bahwa menurut pendapat Imam Ahmad, puasa Syawal boleh dilakukan secara berurutan, boleh pula tidak berurutan. Dan tidaklah yang berurutan lebih utama daripada yang tidak berurutan.

Sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi, puasa Syawal lebih utama dilaksanakan secara berurutan sejak tanggal 2 Syawal hingga 7 Syawal.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu mengatakan, puasa enam hari di bulan Syawal ini boleh dikerjakan terpisah-pisah, tapi lebih afdhal berurutan dan langsung setelah hari raya (dikerjakan tanggal 2 – 7 Syawal). Karena hal itu berarti menyegerakan ibadah.

Jadi, tidak ada madzhab yang tidak memperbolehkan puasa ini di hari lain selain tanggal 2 sampai 7. Yang penting masih berada di bulan Syawal.

Namun, hendaknya tidak berpuasa khusus di hari Jum’at tanpa mengiringinya dengan puasa di hari Kamis atau Sabtu karena adanya larangan Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Para ulama menjelaskan bahwa larangan itu menegaskan makruhnya puasa di hari Jum’at tanpa mengiringinya dengan puasa di hari Kamis atau Sabtu.

Tata Cara Puasa Syawal

Tata cara puasa Syawal sama dengan tata cara puasa lainnya secara umum. Yang membedakan hanyalah niatnya.

Jadi secara ringkas, tata cara puasa Syawal sebagai berikut:

1. Niat

Niat ini boleh dilakukan di malam hari, boleh dilakukan saat makan sahur, bahkan boleh dilakukan ketika pagi karena ini merupakan puasa sunnah.

2. Makan sahur

Disunnahkan makan sahur sebelum terbit fajar. Namun tidak makan sahur pun (misalnya terlambat bangun) tidak apa-apa, dalam artian puasa tetap sah.

3. Menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa

Yakni menahan dari makan, minum, berhubungan dan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga tenggelamnya matahari.

4. Berbuka

Disunnahkan menyegerakan berbuka puasa ketika matahari terbenam, yakni bersamaan dengan masuknya waktu Maghrib.

 

Niat Puasa Syawal

Semua ulama sepakat bahwa niat tempatnya di hati. Ia tidak harus dilafadzkan karena melafadzkan niat bukanlah syarat. Menurut madzhab Maliki, yang terbaik adalah tidak melafadzkan niat karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Demikian pula Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menjelaskan, niat adalah pekerjaan hati dan tidak ada sangkut pautnya dengan lisan. Seseorang yang makan sahur dengan maksud akan berpuasa syawal, berarti ia telah niat puasa syawal. Bahkan jika ia tidak makan sahur lalu paginya bermaksud berpuasa syawal, itu juga termasuk niat puasa syawal.

Sedangkan Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan, jumhur ulama mensunnahkan melafadzkan niat dalam rangka membantu hati menghadirkan niat.

Bagi yang berpendapat melafadzkan niat, berikut ini lafadz niat puasa syawal beserta tulisan latin artinya:

(Nawaitu shouma ghodin ‘an sittatin min syawwaalinn sunnatan lillaahi ta’aalaa)

Artinya: Aku berniat puasa besok dari enam hari Syawal, sunnah karena Allah Ta’ala

Keutamaan Puasa Syawal

Puasa selama enam hari di bulan Syawal ini memiliki keutamaan yang luar biasa. Keutamaan puas Syawal setelah puasa Ramadhan adalah seperti berpuasa setahun penuh.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan dalam beberapa hadits shahih berikut ini:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun” (HR. Muslim)

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ

“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh” (HR. Ibnu Majah, shahih)

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصَوْمِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, ia seperti puasa setahun” (HR. Ibnu Majah, shahih)

Haruskah qadha puasa Ramadhan dulu?

Bagi muslimah, secara umum pasti memiliki udzur saat Ramadhan yang membuatnya tidak boleh berpuasa yakni datangnya haid. Lalu muncul pertanyaan, apakah puasa enam hari di bulan Syawal ini harus menunggu qadha puasa Ramadhan dulu? Apakah boleh puasa syawal dulu agar mendapatkan keutamaannya?

Dalam hal ini ada dua pendapat. Madzab Hanbali berpendapat, tidak boleh berpuasa sunnah sebelum qadha’ puasa Ramadhan. Yang wajib harus didahulukan daripada yang sunnah. Qadha puasa Ramadhan harus diselesaikan baru menjalankan puasa sunnah.

Salah seorang ualam Hambali, Ibnu Rajab menambahkan, meskipun puasa sunnah boleh dilaksanakan sebelum qadha puasa Ramadhan diselesaikan, keutamaan seperti puasa setahun penuh tidak bisa didapatkan. Sebab dalam hadits disebutkan:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun” (HR. Muslim)

Keutamaan seperti puasa setahun itu untuk orang yang “tsumma atba’ahu” (kemudian mengikutinya) dengan puasa enam hari di bulan Syawal. Sedangkan orang yang belum qadha puasa Ramadhan belum bisa dikatakan telah berpuasa Ramadhan.

Pendapat kedua, jumhur ulama menyatakan boleh puasa sunnah sebelum qadha puasa Ramadhan. Sedangkan mengenai apakah keutamaan puasa Syawal seperti puasa setahun penuh, sebagian ulama berpendapat seseorang bisa mendapatkan keutamaan tersebut meskipun belum selesai qadha puasa Ramadhan.

Di antara hujjahnya, orang yang terhalang beberapa hari puasa Ramadhan karena haid, ia tetap bisa disebut telah berpuasa Ramadhan. Selain itu, puasa Syawal telah ditentukan waktunya yang terbatas di bulan Syawal sedangkan qadha Ramadhan tidak hanya terbatas di bulan Syawal.

Yang paling ideal, dengan mengkompromikan dua pendapat di atas, sebaiknya mengqadha’ puasa Ramadhan terlebih dahulu lalu mengerjakan puasa sunnah di bulan Syawal sehingga keutamaannya pun bisa didapat.

Kalaupun tidak bisa atau waktunya tidak cukup, hendaknya puasa enam hari di bulan Syawal didahulukan baru setelah itu qadha’ Ramadhan. Inilah yang dicontohkan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau menuturkan:

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ . قَالَ يَحْيَى الشُّغْلُ مِنَ النَّبِىِّ أَوْ بِالنَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم

Aku punya hutang puasa Ramadhan, aku tak dapat mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban, karena sibuk melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (HR. Al Bukhari)

Demikian pembahasan Puasa Syawal mulai dari hukum, waktu, tata cara, keutamaan, niat, hingga apakah harus menyelesaikan qadha’ puasa Ramadhan dulu baru mengerjakan puasa sunnah ini. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab.

 

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]

 

Izzah Islam; Antara Umar bin Khattab dan Hurmuzan (2)

Alkisah, akhirnya Hurmuzan menghadap amirul mukminin, Umar Bin Khattab.

‘Umar memerhatikan Hurmuzan dan pakaian yang dikenakannya lalu berkata, “Aku berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari api neraka dan aku memohon pertolongan-Nya.”

“Segala puji hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menghinakan orang-orang seperti ini dan para pengikutnya dengan Islam. Wahai kaum muslimin, berpegangteguhlah kamu dengan agama ini, ikutilah petunjuk Nabi kalian dan janganlah dunia ini membuat kalian jadi sombong dan congkak, karena sesungguhnya dunia ini pasti lenyap,” lanjut Khalifah Umar.

Salah satu utusan berkata, “Ini adalah Raja Ahwaz, berbicaralah dengannya!”

“Tidak, sampai semua perhiasan yang dipakainya itu disingkirkan darinya,” kata ‘Umar.

Setelah  Hurmuzan berganti dengan pakaian biasa,  ‘Umar kemudian berkata, “Hai Hurmuzan, kamu lihat bagaimana hasil pengkhianatanmu dan ketetapan Allah?”

“Hai ‘Umar, kami dan kamu sebelum ini hidup dalam kejahiliahan. Waktu itu, Allah membiarkan antara kami dan kamu lalu kami mengalahkan kamu, karena ketika itu Dia tidak bersama kami dan tidak pula bersama kamu. Namun, ketika Allah bersama kamu, kamu pun berhasil mengalahkan kami,” ujar Hurmuzan.

“Kamu dapat mengalahkan kami di masa jahiliah, tidak lain adalah karena kalian bersatu, sementara kami berpecah belah.”

Beliau melanjutkan, “Apa alasanmu melanggar perjanjian berkali-kali?”

Kata Hurmuzan, “Aku takut kau membunuhku sebelum aku menerangkannya.”

“Tidak usah takut.”

Hurmuzan meminta air, lalu segera diberikan padanya dengan sebuah cangkir yang buruk, tetapi dia berkata, “Andaikata aku mati kehausan pasti aku tidak akan mungkin dapat minum dengan cangkir seperti ini.”

Kemudian, dibawakan kepadanya air dalam cangkir lain yang disukainya. Ketika dia memegangnya, tangannya bergetar hebat dan dia berkata, “Aku takut dibunuh ketika sedang minum.”

“Tidak apa-apa, minumlah.”

Hurmuzan mulai minum.

‘Umar berkata, “Berikan lagi, dan janganlah kamu jatuhkan hukuman mati padanya, padahal dia masih haus.”

Tiba-tiba Hurmuzan membuang air tersebut. Melihat hal itu Umar menyuruh seseorang agar mengambilkan air dan memberikannya kepada Hurmuzan. “Jangan sampai kalian membunuhnya dalam keadaan haus,” kata Umar.

Tapi ternyata Hurmuzan menolak pemberian ‘Umar.

“Aku tidak butuh air,” jawabnya. “Aku sengaja melakukan hal itu untuk mendapatkan jaminan keselamatan darimu,” tandasnya dengan tenang.

“Kalau begitu, aku akan membunuhmu sekarang juga,” kata ‘Umar.

“Tapi engkau telah memberikan jaminan keselamatan padaku.”

“Engkau bohong,” sahut ‘Umar.

Tiba-tiba Anas bin Malik yang berada di tempat itu berkata, “Dia benar wahai Amirul Mukminin,” Anas membenarkan ucapan Hurmuzan. “Engkau telah memberinya jaminan keselamatan,” lanjutnya.

“Celaka engkau wahai Anas,” kata ‘Umar kepada Anas. “Mungkinkah aku memberikan jaminan keselamatan kepada orang yang telah membunuh al-Barra’ bin Malik?, (yang tak lain saudara kandung Anas bin Malik sendiri, red).  Sebaiknya engkau menjelaskannya. Kalau tidak, aku akan menghukummu,” tegas Umar kepada Anas bin Malik.

“Pertama engkau mengatakan, “tidak ada yang akan menyentuhmu hingga engkau meminumnya” kepada Hurmuzan,” kata Anas menjelaskan. Engkau juga mengatakan, “tidak ada yang akan menyentuhmu hingga engkau menceritakannya kepadaku.” Lanjut Anas mengingatkan Umar.

Bahkan orang-orang yang berada di situ juga membenarkan perkatan Anas.

Umar lalu menghadap kepada Hurmuzan dan mengatakan, “Engkau telah menipuku,” katanya. “Demi Allah aku tidak akan tertipu kecuali engkau masuk agama Islam,” tambah ‘Umar.

Ternyata setelah itu Hurmuzan menyatakan diri masuk Islam. Maka Umar pun memperlakukan Hurmuzan dengan baik dan menyuruhnya menetap di Kota Madinah.

Sebagai penutup, kata-kata bersejarah Umar yang dicatat oleh Sayyid bin Husain Al-‘Affani ini patut untuk dijadikan renungan terkait betapa pentingnya nilai Izzah bagi umat Islam:

“Kami adalah suatu kaum yang telah dimuliakan (diberikan Izzah) oleh Allah dengan Islam. Jika kita mencari Izzah pada selainnya, maka Allah akan menjadikan kita hina.”  (dalam buku Anwâr al-Fajr fî Fadhâ`ili Ahli Badr”, 2006:504).*/Mahmud Budi Setiawan

 

HIDAYATULLH

Muadzin di Masjid Nabawi Ada 17 Orang

Masjid Nabawi ternyata memiliki 17 muazin yang menyerukan shalat lima kali sehari. Mereka melantunkan adzan dari area”Mukabariyah”, tempat di mana mereka mengangkat adzan sehingga semua jamaah yang berada di dalam dan di luar masjid akan mendengar suara itu dengan jelas.

Mukabariyah adalah tempat yang berada di atas tanah. Jaraknya sekitar delapan kolom dan jaraknya cukup jauh dari mimbar, yakni  sekitar lima meter. Tempat ini memiliki luas berukuran 5×4 meter persegi.

” Area Mukabariyah terakhir direnovasi sekitar 36 tahun yang lalu,” kata kepala muazin Masjid Nabawi,Sheikh Abdul Rahman Khashogji

Dia mengatakan setiap hari tiga muazin bergantian untuk menaikkan adzan dengan suara-suara merdu yang memikat para jamaah ke masjid. Dan khusus untuk melantunkan adzan di bulan Ramadhan ada rasa sensasi tersendiri.

“Adzan di Ramadhan memberikan perasaan yang berbeda. Ini karena menyebarkan iman, spiritualitas, dan ketenangan,” katanya.

Kashogji mengatakan bahwa para jamaah shalat merasakan kedalaman iman mereka ketika mereka melihat ribuan pengunjung pergi ke masjid untuk melakukan shalat. Ini juga menjadi kenikmatan tersendiri.

Dia mengatakan amplifier suara selalu diuji sebelum tibanya waktu shalat. Hal ini untuk memastikan bahwa peralatan ini mampu beroperasi dengan sempurna dan siap untuk mengirimkan suara.

 

REPUBLIKA

Mudik Dalam Perspektif Islam

WAKTU berlalu begitu cepat, tak terasa Ramadan telah sampai di penghujung pertemuan. Sepuluh hari terakhir menjadi momen yang selain menyibukkan diri untuk beriktikaf (mendekatkan diri pada Allah) dengan berdiam diri di mesjid. Juga, menjadi momen sibuk orang-orang untuk melakukan perjalan pulang ke kampung halaman.

Hampir seluruh umat muslim bahkan nonmuslim, yang memiliki kesempatan untuk mudik maka pasti akan melakukan tradisi pulang kampung ini. Lalu, adakah anjuran mudik dalam Islam? Dan bagaimana pandangan bermudik dalam perspektif Islam.

Memang, tradisi mudik tidak ada kaitannya secara langsung dalam ajaran Islam, apalagi mengingat tidak ada satu pun perintah Allah dan Rasul untuk melakukan mudik khususnya selama Ramadan.

Namun yang perlu kita ketahui adalah, mudik menjadi tradisi dan merupakan sebuah kearifan yang telah mendarah daging pada masyarakat kita. Masyarakat menjadikan libur Idul Fitri yang cukup panjang untuk kembali ke kampung halaman, bertemu kedua orang tua, keluarga, sanak family, dan teman kerabat. Hal ini tentu berdampak baik, karena dapat mempererat tali silahturahmi, berbagi suka dan duka, juga bisa untuk saling memberikan semangat dan motivasi untuk mengisi hari-hari di kehidupan baru di bulan Syawal mendatang.

Dalam Alquran dan sunah Rasulullah juga disebutkan agar anak selalu berbuat baik kepada orangtuanya. Berbuat baik kepada orangtua, bisa dalam bentuk apapun, tidak hanya materi, sekadar mendoakan, memberikan perhatian dan kasih sayang, menjaga nama baik orangtua, dan juga bisa dengan melakukan kunjungan jika anak hidup berjauhan dari orangtua. Nah, dengan mudik hal ini bisa dilakukan.

Allah Ta’ala berfirman: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKu lah kembalimu.” (QS Luqman: 14).

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, dan janganlah kamu membentak mereka. Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS Al Isra`: 23).

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah berwasiat agar kalian berbuat baik kepada ibu-ibumu, lalu Allah berwasiat agar berbuat baik kepada ibu-ibumu, kemudian Allah berwasiat kepada bapak-bapakmu, dan kemudian Allah berwasiat kepada kalian agar berbuat baik kepada sanak kerabatmu. (HR Ibnu Majah).

Mudik juga mengajarkan kita untuk bersilahturahmi, dan dalam Islam menjalin silahturahmi sangat dianjurkan. Dan dapat kita jumpai banyak sekali nash baik dari Alquran maupun Sunah yang memganjurkan kita untuk memperkuat silahturahmi yang memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam.

Allah berfirman: “Dan bertakwalah kepada Allah, yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturrahmi. (QS An Nisa: 1).

Dari Anas bin Malik Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan ditambah umurnya, maka hendaklah melakukan silaturrahmi. (HR Muslim).

Dalam hadis lainnya dijelaskan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam: “Maukah kamu aku beri tahu tentang derajat yang lebih utama dari derajat salat, puasa, dan sedekah!” Para sahabat menjawab: “Mau!” kemudian Rasulullah bersabda: “Mendamaikan antara dua orang yang berselisih, karena perselisihan antara dua manusia itulah yang membawa kehancuran.” (HR Abu Daud dan Termizi).

Ya, walaupun mudik tidak ada secara langsung dianjurkan dalam Islam, tak ada salahnya kita laksanakan bila ada kesempatan dan kemampuan. Tidak melulu menunggu waktu Idul Fitri, menjalin silahturahmi bisa lakukan kapan saja. Dan jangan lupa untuk melengkapi ibadah kita selama perjalanan mudik. Insyaa Allah perjalanan kita mendapatkan berkah dan selalu dalam lindunganNya. [Chairunnisa Dhiee]

 

INILAH MOZAIK

Izzah Islam; Antara Umar bin Khattab dan Hurmuzan

ISLAM sebagai agama penutup yang sempurna dan paripurna, mengajarkan kepada pemeluknya untuk memiliki karakter “Izzah”. Dalam al-Qur`an misalnya –Surah Al-Munafiqun [63]: 8- termaktub bahwa Izzah itu milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Maka sudah seharusnya, setiap mukmin menjadikan Izzah sebagai karakter pribadinya. Bahkan, dalam Surah Al-Ma’idah [5] ayat 54, disebutkan bahwa ciri orang beriman adalah bersikap Izzah (tegas) kepada orang-orang kafir dan bersikap lemah lembut dan kasih sayang kepada sesamanya.

Dalam bahasa Arab, kata “Izzah” mengandung beberapa makna, yaitu: kuat, keras, menang, tinggi, menahan diri dan unik atau langka (Murtadha, Tâj al-‘Arûs, XV/219) Di dalam bahasa Indonesia pun, rupanya kata ini sudah masuk idiom kamus bahasa Indonesia. Dalam kamus tersebut, ‘Izzah’ ditulis ‘izah’ yang bermakna: kehormatan, harga diri dan kekuasaan. Arti ini tentu tidak menyimpang dari bahasa asalnya.

Salah satu sosok legendaris yang patut diteladani dalam masalah Izzah adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu. Al-Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitab “al-Bidâyah wa al-Nihâyah” (1998: VII/70) mencatat dengan baik kata-kata bersejarah khalifah kedua ini yang menggambarkan kapasitas Izzahnya yang diilhami oleh Islam, “Kami adalah kaum yang dimuliakan (diberikan Izzah) oleh Allah dengan Islam. Maka, kami tidak akan mencari alternatif (Izzah) selain (yang dianugerahkan) Allah.”

Semua orang mengenal ‘Umar bin Khattab, salah satu Khulafa’ ar-Rasyidin. Keadilan dan ketegasannya dalam menjalankan pemerintahan sangat masyhur.

Umar bin Khattab terkenal dengan keadilannya ketika menjabat Khalifah ar-Rasyidin kedua. Semasa kekuasaanya wilayah Islam sudah meliputi seluruh wilalah Jazirah Arabiyah, sebagian Asia kecil, Afrika Utara, bahkan sampai ke Eropa.

Namun siapa sangka, bahwa suatu kali Umar pernah tertipu saat berbicara dengan Raja Persia yang bernama Hurmuzan.

Tiga orang kepercayaan Khalifah Umar –Anas Bin Malik, Mughirah bin Syu’bah dan Ahnaf bin Qais– mendatangi negeri Hurmuzan dan berhasil menangkapnya atas permintaan Khalifah Umar.

Dikisahkan bahwa dalam salah peperangan pasukan Islam berhasil menaklukkan Persia dan menangkap Hurmuzan. Dia kemudian dibawa ke kota Madinah untuk dihadapkan kepada Umar bin Khattab.

Menjelang tiba di Kota Madinah, mereka memakaikan Hurmuzan baju kebesarannya yang terbuat dari sutra yang telah dipenuhi dengan perhiasan emas, permata, dan mutiara. Setelah itu barulah mereka masuk ke kota Madinah bersama Hurmuzan dengan pakaian lengkapnya dan langsung mencari rumah Amirul Mukminin.

Sepanjang perjalanan, sang tawanan membayangkan alangkah megah dan hebatnya istana Umar mengingat daerah kekuasaannya yang begitu luas meliputi dua pertiga dunia. Fikirannya  sang Kisra merasa rendah diri (inferor) ketika hendak menemui sang Khalifah.

Kisah pertemuan antara Hurmuzan dan Umar bin Khattab berikut adalah di antara contoh nyata bagaimana karakter Izzah ini benar-benar tercermin dalam diri sahabat yang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dijuluki Al-Faruq ini.

Dalam buku “Nizhâm al-Hukûmiyah al-Nabawiyyah” (II/250) Muhammad Abdul Hayyi Al-Kattani menulis sepenggal kisah antara Umar bin Khattab dan Hurmuzan. Kisah ini ditulis dalam bab “Fîman Kâna Yudhrabu bihi al-Matsal fi al-Haibah min al-Shahâbah” (Bab tentang orang yang dijadikan percontohan dari kalangan sahabat terkait masalah kemuliaan).

Menukil cerita Sya’bi, dikisahkan bahwa tongkat kecil Umar bin Khattab –karena begitu hebat Izzah beliau- lebih ditakuti daripada pedang Hajjaj. Suatu hari saat Hurmuzan (Raja Khurasan) menjadi tawanan yang dibawa beberapa sahabat –di antaranya Anas- untuk menemui langsung orang nomer satu umat Islam kala itu (‘Umar).

Kebetulan, saat sampai di Madinah, Umar tidak ada di rumah. Kemudian beliau dicari hingga ditemukan di salah satu masjid Madinah. Saat itu posisinya sedang tidur bersandar tongkatnya. Melihat fenomena demikian, Hurmuzan berseloroh, “Ini -demi Allah- adalah raja yang baik. Anda telah berbuat adil, sehingga bisa tidur (dengan nyenyak). Demi Allah, sesungguhnya aku telah melayani empat Raja Kisra (Persia) yang memiliki mahkotah, tidak ada satu pun di antara mereka yang aku rasakan kehebatan –Izzah nya- melebihi orang yang sedang tidur beralas tongkat ini.”

Izzah yang dimiliki Umar benar-benar membuat Hurmuzan terkagum-kagum. Sosok nomer satu yang memimpin pasukan hebat yang bisa mengalahkan Imperium Persia ini ternyata jauh dari yang dibayangkannya. Dalam benaknya, ‘Umar ini pasti raja hebat yang memiliki istana mega, harta melimpah, penjagaan yang super ketat dan lain sebagainya.

Hurmuzan tidak yakin berhadapan dengan seorang pria sederhana, khalifah besar, pemimpin pasukan Islam yang menguasai Timur dan Barat, yang mampu menjatuhkan dua raksasa super power dunia kala itu, kekuasaan Persia dan Byzantium (Rum/Romawi Timur).

Terkejutnya Hurmuzan,  pemimpin besar umat Islam ini gaya hidupnya begitu bersahaja dan tanpa penjagaan. Sebuah fenomena aneh yang belum pernah Hurmuzan dapati sebelumnya. Namun, Hurmuzan menyadari bahwa salah satu kunci yang bisa membuka rasa penasaran terkait kehebatan dan izzah Umar adalah keadilan yang ditegakkan oleh Umar bin Khattab.

‘Umar baru bisa tidur nyenyak ketika keadilan ditegakkan dan didistribusikan secara merata kepada rakyatnya. Sebuah tipikal pemimpin yang lebih mementingkan kehidupan rakyat daripada diri dan kerabat; lebih memilih hidup melarat demi terciptanya keadilan untuk rakyat.

Senada dengan kisah Hurmuzan, Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam buku “Minhâj al-Muslim” (1964: 126) menceritakan bagaimana utusan Kaisar Romawi yang kagum kepada Umar bin Khattab. Saat sampai Madinah, dia bertanya kepada para penduduk, “Dimana raja kalian?” Oleh penduduk dijawab, “Kami tidak memiliki raja, tapi Amir (Pemimpin). Ternyata setelah dicari-cari, Umar ditemukan sedang tidur di atas pasir berbantalkan tongkat kecilnya.

“Orang yang seluruh raja goncang kerajaannya karena kehebatannya ternyata keadaannya seperti ini. Tapi, wahai Umar engkau telah berbuat adil, sehingga bisa tidur (nyenyak). Sedangkan raja kami berbuat zalim. Tidak mengherankan jika (raja kami) selalu merasa takut dan tidak bisa tidur malam.” Demikianlah contoh dari izzah Umar bin Khattab. Bagi para pemimpin yang ingin memiliki izzah seperti Umar, maka jadikanlah keadilan sebagai pusat perhatian.

 

HIDAYATULLAH

Hal-hal yang Dilakukan Rasulullah Saat Idul Fitri

  1. RASULULLAH shallallahu alaihi wa sallam biasa melaksanakan Salat Id di tanah lapang. Beliau tidak menunaikan salatnya di masjid kecuali sekali saja yaitu karena hujan.
  2. Saat Hari Raya Idul Fitri, Nabi mengenakan pakaian terbaik (terindah).
  3. Beliau biasa makan kurma-dengan jumlah ganjil-sebelum pergi melaksanakan Salat Id. Tetapi pada Idul Adha, Rasulullah tidak makan terlebih dahulu sampai pulang, setelah itu baru beliau memakan sebagian daging binatang sembelihannya.
  4. Dianjurkan untuk mandi sebelum pada hari Id sebelum ke tanah lapang, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Ibnu Umar yang dikenal semangat mengikuti sunah Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
  5. Nabi Muhammad biasa berjalan (menuju tanah lapang) sambil berjalan kaki. Beliau biasa membawa sebuah tombak kecil. Jika sampai di tanah lapang, beliau menancapkan tombak tersebut dan salat menghadapnya (sebagai sutroh atau pembatas ketika salat).
  6. Beliau shallallahu alaihi wa sallam biasa mengakhirkan salat Idul Fitri (agar kaum muslimin memiliki kesempatan untuk membagikan zakat fitrinya) dan mempercepat pelaksanaan salat Idul Adha (supaya kaum muslimin bisa segera menyembelih binatang kurbannya).
  7. Ibnu Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali setelah matahari terbit, lalu beliau bertakbir dari rumahnya hingga ke tanah lapang.
  8. Beliau shallallahu alaihi wa sallam ketika sampai di tanah lapang langsung menunaikan salat tanpa ada adzan dan iqomah. Tidak ada juga ucapan, Ash Sholatul Jamiah. Beliau shallallahu alaihi wa sallam dan juga sahabatnya tidak menunaikan salat sebelum (qobliyah) dan sesudah (badiyah) Salat Id.
  9. Nabi shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan Salat Id dua rakaat terlebih dahulu kemudian berkhutbah. Pada rakaat pertama beliau bertakbir 7 kali berturut-turut setelah takbiratul ihram, dan berhenti sebentar di antara tiap takbir. Tidak disebutkan bacaan zikir tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja ada riwayat dari Ibnu Masud radhiyallahu anhu bahwa bacaan ketika itu adalah berisi pujian dan sanjungan kepada Allah taala serta bersalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dan diriwayatkan pula bahwa Ibnu Umar (yang dikenal semangat dalam mencontoh Nabi shallallahu alaihi wa sallam)mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir.
  10. Setelah bertakbir, beliau shallallahu alaihi wa sallam membaca surat Al-Fatihah dan surat “Qaf” pada rakaat pertama serta surat “Al-Qamar” pada rakaat kedua. Kadang-kadang beliau membaca surat “Al-Ala” pada rakaat pertama dan “Al-Ghasyiyah” pada rakaat kedua. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku dilanjutkan takbir 5 kali pada rakaat kedua lalu membaca Al-Fatihah dan surat lainnya.
  11. Setelah menunaikan salat, beliau shallallahu alaihi wa sallam menghadap ke arah jemaah, sedang mereka tetap duduk di shaf masing-masing. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan khutbah yang berisi wejangan, anjuran dan larangan.
  12. Beliau shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah di tanah dan tidak ada mimbar ketika beliau berkhutbah.
  13. Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa memulai khutbahnya dengan Alhamdulillah dan tidak terdapat dalam satu hadis pun yang menyebutkan beliau memulai khutbah Id dengan bacaan takbir. Hanya saja dalam khutbahnya, beliau shallallahu alaihi wa sallam memperbanyak bacaan takbir.
  14. Beliau shallallahu alaihi wa sallam memberi keringanan kepada jemaah untuk tidak mendengar khutbah.
  15. Diperbolehkan bagi kaum muslimin, jika Id bertepatan dengan hari Jumat untuk mencukupkan diri dengan Salat Id saja dan tidak menghadiri Salat Jumat.
  16. Beliau shallallahu alaihi wa sallam selalu melalui jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang (dari shalat) Id.

 

Pembahasan ini disarikan dari kitab Zadul Maad, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Murojaah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslimah.or.id

Sumber: https://muslimah.or.id/145-petunjuk-nabi-dalam-shalat-ied.html

Muhasabah Akhir Ramadhan

Ramadhan akan segera meninggalkan kita. Tentu ada banyak kebaikan telah dilakukan. Akan tetapi, yang penting diperhatikan adalah apakah semua yang diamalkan di dalam Ramadhan, berupa ibadah dan amal saleh yang begitu ringan dijalankan, dapat dipertahankan, bahkan diperkuat dan ditajamkan pada bulan-bulan pasca-Ramadhan.

Inilah pertanyaan yang superpenting agar predikat takwa tak semata melekat pada saat Ramadhan, tetapi sepanjang tahun hingga bertemu kembali dengan Ramadhan pada ta hun berikutnya, bahkan sampai ber temu dengan Ilahi Rabbi.

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Me ngetahui lagi Maha Mengenal. (QS al- Hujurat [49]: 13).

Dengan kata lain, esensi, target, atau pun capaian penting yang mesti dijaga setelah diraih dengan beragam amal ibadah dan kebaikan tiada lain adalah ketakwaan itu sendiri. Alquran memberikan banyak penjelasan secara konkret perihal bagaimana orang yang bertakwa itu dalam kehidupannya. Di antaranya seperti terurai dalam surah al-Baqarah ayat 177.

Seperti memiliki keimanan kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab- kitab, dan nabi-nabi, kemudian memberikan harta yang dicintainya kepada karib kerabat, anak yatim, fakir miskin, orang-orang yang telantar di dalam perjalanan, para peminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, membayar zakat, menepati janji bila berjanji, sabar atas kemiskinan, kemudaratan, dan ketika berada di medan peperangan. Itulah sifat-sifat orang bertakwa.

Semua amalan itu tentu saja tidak boleh terhenti di dalam Ramadhan semata, tetapi harus diupayakan untuk diamalkan pada bulan-bulan lainnya, sekalipun secara kalkulasi pahala, tentu saja Ramadhan jauh lebih berli pat ganda balasannya dibanding dila ku kan pada bulan yang lain. Namun, semangat untuk menjaga ka rakteristik takwa di dalam diri, mesti diupayakan sepanjang tahun dan sepanjang hayat.

Permasalahan yang tidak ringan ada lah begitu Ramadhan pergi, nuansa religius secara sosial langsung bu bar kemudian lenyap. Di sini orang banyak yang lupa dengan kebaikan dirinya pada Ramadhan.

Ibadah perlahan kendur dan godaan untuk melanggar perintah-Nya kian menguat sehingga jika Ramadhan ibadah kuat, di luar Ramadhan komitmen keberislamannya pun melorot. Di sini, takwa mendapatkan ujian tidak ringan.

Jika ditelusuri, mengapa Rasulul lah, sahabat, dan para ulama terdahulu menangis kala akan berpisah de ngan Ramadhan, tidak lain adalah karena menjaga takwa pada bulan selain Ra ma dhan adalah benar-benar tidak mudah.

Menarik kita simak percakapan antara Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab. Ubay bertanya kepada Umar tentang makna takwa. Khalifah kedua ini malah balik bertanya, Pernahkah engkau berjalan di tempat yang penuh duri?Ubay bin Ka’ab menjawab, Ya, pernah. Apakah yang engkau lakukan? tanya Umar kembali.

“Tentu aku sangat berhati-hati melewatinya! jawab Ubay bin Ka’ab. Itulah yang dinamakan takwa, ujar Umar.

OLEH IMAM NAWAWI

 

 

REPUBLIKA

Spirit Harmoni Idul Fitri

Jelang berakhirnya bulan suci Ramadhan, ada rasa suka sekaligus duka. Idul Fitri yang dinantikan tengah berada di pintu gerbang. Rasa bahagia mewarnai umat Islam yang tengah menjalani ibadah puasa di penghujung. Juga bagi para pecinta ibadah, menikmati khidmatnya beri’tikaf dan rangkaian tadarrus Al-Quran yang menyejukkan.

Keramaian suasana masjid saat jelang berbuka, shalat Tarwih hingga Shubuh berjamaah yang padat, segera terlewatkan. Ramadhan kan berpisah, beranjak ke bulan Syawal memasuki hari fitrah rayakan Idul Fitri. Ada rasa haru, saat indah dan nikmatnya Ramadhan sampai di pengujung.

 

Sebagian saudara kita tengah menikmati pulang kampung, mudik Lebaran. Ada rasa bahagia berkumpul bersama keluarga, sahabat dan menikmati nostalgia kehidupan kampung halaman. Meskipun jarak jauh ditempuh, kemacetan ditembus, aral melintang pun dilalui. Kita bersyukur, seiring dengan pesatnya kemajuan infrastruktur jalan, jarak tempuh pemudik bisa dilalui lebih mudah dan cepat.

 

Suatu keberkahan melalui Ramadhan, sebagai bangsa kita dapat melalui dengan suasana yang tenang, aman, nyaman, damai dan khidmat. Meskipun jelang Ramadhan sempat diguncang tragedi bom dan hingar bingarnya suasana tahun politik, alhamdulillah, semua dapat dilalui dengan lancar dan kondusif. Begitu gencarnya traffic komunikasi media sosial kita pun, dalam nafas kehidupan demokrasi dan tegaknya hukum yang semakin matang, kondisi keamanan dan suasana nyaman demikian stabil dan kokoh.

 

Seiring dengan itu, masyarakat Muslim di belahan kawasan lain, di Timur Tengah, Eropa, Asia hingga ASEAN, telah menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Islam rahmatan lil’alamin, menjadi rahmat dan berkah bagi semesta, hadir sangat bergairah dan semakin cepatnya pertumbuhan dengan damai dan tulus, perkembangan Islam di Eropa utamanya.

 

Apa yang telah dicapai sebagai kemajuan, tentu terus kita tingkatkan. Sementara, yang belum baik, menjadi pekerjaan rumah bersama keumatan, agar segala persoalan dapat diselesaikan secara utuh dan menyeluruh. Jika perlu, memilih dan memilah mana yang menjadi prioritas untuk lebih cepat diselesaikan.

 

Hilangkan Stigma Stigmatisasi terhadap umat Islam di Indonesia berlangsung lama. Sama saja secara langsung atau tidak, arah dan dampaknya secara luas pada Indonesia.

 

Secara sosio-demografi, warga Indonesia dengan mayoritas Muslim menjadi warga terbesar bangsa ini. Padahal, nilai keindahan dan pesona keragaman di Tanah Air sangat membanggakan. Begitu besar rahmat Tuhan YME, Allah SWT menghadirkan keindahan dan kekayaan sumber daya alam dan sumber daya sosial-kemanusiaan demikian harmoni, rukun dan berdampingan hidup dalam kebinekaan yang mengagumkan.

 

Dalam perspektif dunia Islam, masyarakat dan negara-bangsa yang berpenduduk Muslim di dunia, kita menjadi bangsa yang patut berterima kasih atas rahmat dan berkah ini. Tegaknya NKRI, berlandaskan Pancasila dalam spirit Bhineka Tunggal Ika, menjadikan Indonesia yang religius, sangat agamis. Meskipun berdasarkan konsensus sejarah para pendiri bangsa yang bijaksana, kita bukan negara agama, dan tidak ada agama resmi negara.

 

Sejak peristiwa 911 tragedi WTC di New York, stigma Islam teroris, Muslim teroris, seiring dengan terjadi rentetan peristiwa ledakan bom di banyak negara, terutama Indonesia. Hingga yang terjadi baru-baru ini dijadikan dalih penguat, fantastik, saat sebuah keluarga diberitakan melakukan bom bunuh diri secara sistematis karena alasan ideologis.

 

Dunia Islam pun berada dalam ujian. Ada paradoks, seakan kontradiksi antara nilai idealita dengan realita. Saat ini meskipun satu agama dan keyakinan, bahkan satu bahasa Arab, beberapa negara Timur Tengah masih sibuk dengan konflik dan perang diantara dan antar mereka. Seakan tak ada habisnya.

 

Indonesia bukanlah Timur Tengah. Islam Indonesia meskipun muasalnya dari Rasul Muhammad SAW yang dilahirkan di Tanah Suci Makkah dan mendirikan negara dan peradaban Islam dari Madienatussalam, dalam hal tradisi dan budaya, lebih pada khas Islam Nusantara, Islam wasathiyah yang moderat, ramah dan toleran. Terbukti, Indonesia pun menjadi negara dengan masyarakat Muslim demokratis terdepan dan terbesar.

 

Saat saya sebagai Waketum dan Ketua Harian DMI diundang oleh Grand Syeikh Al Azhar di Mesir, Beliau pun sangat mengakui adanya tradisi dan karakter Islam Indonesia yang khas dan kental dengan Islam wasthiyahnya. Islam yang menjadi rahmat, kasih dan berkah bagi sesama.

 

Tudingan segelintir orang terhadap Indonesia sebagai ladang subur, bahkan akar dan sumber dari gerakan radikalisme, ekstremisme, fundamentalisme, terorisme yang melahirkan sikap dan gerakan anti Islam, Islamphobia masih ada dan bertumbuh. Tentu semua itu tidak berdasar, keliru. Bisa juga menyesatkan.

 

Beragam nilai, ajaran dan kalamullah yang suci pun mendapat persepsi negatif. Jihad yang berarti sungguh-sungguh berjuang untuk kebaikan, banyak disalahpahami. Sapaan salam dan Assalamu’alaikum yang bermakna doa untuk kedamaian dan kebahagiaan telah menjadi syariat dan ajaran utama yang mentradisi dalam kehidupan sehari-hari.

 

Terkadang dengan mudah, pengamat dan peneliti ikut latah melakukan stempel dan identifikasi adanya masjid, pesantren, hingga kampus dan forum pengajian sebagai persemaian radikalisme. Salah paham, klaim, dan stigmatisasi tersebut tentu saja sangat mengganggu suasana kebatinan umat dan kehidupan rukun yang berjalan harmoni pada bangsa dan negeri ini.

 

Dengan tegas, saya sampaikan, tidak benar jika ada masjid dikategorikan atau dituduh radikal. Juga tak ada Pesantren, Kampus atau Majelis Pengajian radikal. Sebagai negara yang menjunjung supremasi hukum, sepantasnya, ada logika sehat, fakta hukum, bukti dan saksi yang mengarah kepada subyek hukum, berupa orang, beberapa orang atau sekelompok orang.

 

Bukan masjid yang menjadi rumah suci peribadatan, seperti halnya jika ada koruptor, kriminal atau bandar narkoba, kebetulan memiliki identitas agama tertentu, tak serta merta disandarkan atau dipersonifikasi dengan agama atau lembaga agama tertentu.

Amanah Memakmurkan Masjid

Sebelumnya, saya tak mengira akan mendapatkan amanah oleh Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, Bapak HM Jusuf Kalla, menjadi Wakilnya di Pimpinan Pusat DMI. Secara moral dan spiritual, saya menyandang tugas tersebut lebih berat dari tugas keseharian saya di lingkungan Mabes Polri. Termasuk, saat ini, ketika Presiden RI memercayakan saya sebagai punggawa Asian Games (Chief De Mission) yang akan berlangsung pada 18.8.2018 di Jakarta dan Palembang.

 

Meskipun demikian, saya menerimanya dengan tulus ikhlas. Karena itu pula ketika semula saya bertanya kepada Bapak JK, tentang alasan mengapa saya mendapat tugas mulia tersebut? Beliau menjawab, bahwa dalam lingkungan Dewan Masjid Indonesia, syaratnya sangat gampang, yaitu siapapun yang dapat melayani, mengurus “rumah Allah” dengan ikhlas tanpa ada kepentingan lainnya selain beribadah dan mengabdi.

 

Sungguh, bagi saya sangat mengharukan sekaligus terasa berat mengemban amanah tersebut. Terasa ringan, karena sejak kecil semasa di kampung saya dekat jarak dan kegiatan rutin dengan masjid. Bahkan sejak muda, di kampung saya mengurus masjid.

 

Satu pesan yang sangat menarik adalah, cita dan visi Pak JK tentang bagaimana Memakmurkan dan Dimakmurkan Masjid. Bersyukur sekali, saya berada di PP DMI sekaligus dapat sambil terus belajar dan meningkatkan pengetahun agama, yang bersinerji dengan keumatan dari perspektif yang luas.

 

Sejak 7 tahun lalu saat Pak JK mengemban amanah sebagai Ketua Umum PP DMI, beliau telah mencanangkan gerakan memakmurkan dimakmurkan masjid. Para pengurus DMI, pengelola masjid, imam, khatib, dan marbot, semua mendapat tugas mulia memakmurkan masjid. Menata akustik dan sound sistem masjid untuk menunjang kekhusuan ibadah dan syiar.

Manajemen masjid yang profesional. Mengupayakan bantuan memastikan legalitas terkait status dan hak milik tanah dan bangunan agar tak tergusur. Menata masjid sebagai pusat ibadah dengan kondisi yang bersih, sehat dan tertata sesuai tuntunan syariat Islam. Itulah memakmurkan dalam amaliahnya.

 

Demikian, dimakmurkan masjid, menjadi tugas dan kewenangan DMI bersama lembaga, pengelola bersama umat dan jamaah, untuk menghadirkan kemakmuran bagi lingkungannya. Program Pemberdayaan ekonomi berbasis masjid, wisata religi masjid, arsitektur masjid, pendidikan berbasis masjid, penyiapaan sumber daya umat dari kalangan remaja dan pemuda yang berkualitas, semuanya sangat bermanfaat.

 

Semangat kaum muda dan remaja masjid, serta meningkatkan layanan bagi anak-anak agar masjid ramah terhadap anak, semakin menggairahkan kegiatan para takmir (pengelola) masjid. Komunitas kaum muda antarmasjid, antarpegiat dan pecinta masjid, semakin berkolaborasi.

BKPRMI bersama PRIMA sebagai wadah berhimpun pemuda dan remaja masjid terus melakukan pembinaan kaderisasi. Secara khusus, komunitas pegiat gerakan ekonomi berbasis masjid terlahir melalui ISYEF (Islamic Youth Economic Forum), dari kalangan menengah dan profesional muda terus bergerak cepat mendorong capaian program memakmurkan dan dimakmurkan masjid.

 

Program DMI pun sudah merambah dan beradaptasi dengan perkembangan digital. Program Aplikasi DMI telah diluncurkan untuk menginformasikan keberadaan masjid, waktu shalat, tugas imam dan khatib, termasuk pengelolaan infaq dan sedekah digital dalam menggalang potensi dana keummatan.

 

Keberkahan pun terasa kita nikmati bersama. Tak luput dari rasa syukur, mimpi umat Islam Indonesia untuk mempunyai Universitas Islam Internasional pun telah terwujud. Presiden RI, Bapak Joko Widodo bersama Wapres RI, Bapak HM Jusuf Kalla, secara bersamaan di bulan suci Ramadhan meletakkan batu pertama petanda dimulainya pembangunan yang sangat bermanfaat untuk membangun pendidikan Islam bertaraf global dan mengemban misi Indonesia sebagai kiblat peradabah Islam moderat.

 

DMI bukanlah pemilik masjid, juga bukan supporter utama pembangunan dan pengembangan masjid di Indonesia. DMI sangat terbuka menjalin kemitraan terbuka dengan semua elemen keumatan, kelembagaan dan publik secara luas. Beragam potensi keumatan kita sinerjikan dalam harmoni kerjasama yang terpadu bagi kemaslahatan umat, bangsa dan negara.

 

“Harmoni Dari Masjid” Dari masjid, harmonisasi kehidupan keumatan memberikan pengaruh positif secara luas pada lingkungan sosial dan kebangsaan. DMI menjadi mitra, fasilitator dan penggerak peran dan fungsi masjid sebagaimana masjid di zaman Nabi.

 

DMI berikhtiar bagaimana mengembalikan fungsi dan peran rumah ibadah, masjid maupun musholla yang jumlahnya melebihi 850.000, untuk kembali ke khittah. Masjid sebagai azas ketakwaan untuk menjalankan ibadah kepada Allah (Hablumminalloh) seiring dengan menjalin harmoni dengan sesama hamba (hablumminannas).

 

Dari sisi sejarahnya, DMI memang didirikan oleh para Ulama, Umara dan tokoh keumatan. Bahkan ada beberapa anggota perwira TNI dan Polri sebagai penggagas, pendiri dan pengurus di masa awal.

 

Sejarah Pendirian DMI dipelopori oleh 14 tokoh umat Islam saat itu, yaitu :  KH Moh Natsir, KH Achmad Syaichu, KH Hasan Basri, KH Muchtar Sanusi, KH Taufiqurrohman, KH Hasyim Adnan, Letjen TNI Purn H Sudirman, Jend Polisi Purn H Sucipto Judodihardjo, Kolonel H Karim Rasyid, Kolonel H Soekarsono, Brigjen TNI Purn HMS Raharjodikromo, Brigjen TNI H.

 

Projokusumo, H Fadli Luran dan H Ichsan Sanuha, mewakili 8 induk organisasi kemasjidan sebagai perwujudan yang mewakili para Pengurus Masjid dan Mushola seluruh Indonesia, mereka bergabung dan bersatu bersepakat mendirikan kelembagaan baru organisasi kemasjidan di Indonesia dengan nama Dewan Masjid Indonesia (DMI) pada tanggal 10 Jumadil Ula 1392 H bertepatan dengan tanggal 22 Juni 1972 M.

Karenanya sangat berlebihan dan tidak tepat ketika ada riak kecil yang merespon via media sosial, seperti ada penunggangan dan politisasi pihak kepolisian, TNI atau lembaga lain dari pemerintahan. Tentu saja, kesan dan pandangan tersebut tidaklah tepat.

 

Dari masjidlah seorang Rasul Muhammad di zamannya memulai peran dalam mengharmonisasikan segala aspek dan pelaku kehidupan. Islam, agama yang dari namanya merupakan kreasi Sang Pencipta. Dari Masjid pula alasan dibangunnya untuk menjadi landasan, dasar dan fundamen ketakwaan.

Dengan itulah peradaban Islam yang damai, humanis, rukun dan toleran dibangun hingga meraih kejayaannya dalam tempo sangat cepat melesat ke seantero dunia. Peradaban Islam hadir dan tumbuh berdampingan secara damai bersama peradaban yang telah terlahir sebelumnya.

 

Islam bermakna damai, tenang, nyaman, ketundukan, ketaatan juga kepatuhan. Menjadi seorang Muslim atau Muslimah, dengan sendirinya sebagai umat Islam, adalah kesediaan untuk berpasrah, tunduk, patuh dan taat pada Allah dan Rasul-Nya guna menghadirkan kehidupan yang damai, tenang, tenteram, aman dan bahagia bagi sesama. Itulah hakikat dan fitrah beragama Islam untuk bersama menuju dan pada akhirnya kembali kepada Sang Maha Pencipta, Allah ‘Azza wa Jalla.

 

Masjid selama Ramadhan menjadi sentra kegiatan umat dalam beribadah. Bukan hanya giat ibadah bertikal, berpuasa, Bukber, Shalat Fardhu, shalat tarwih, witir hingga tadarrus dan i’tikaf di masjid.

 

Begitupun, giat ibadah sosial kemanusiaan berlandas keislaman, mulai dari zakat, infaq, shodaqah, jariyah, menunjukkan semangat dan gempita luar biasa. Layanan terhadap saudara sesama dari kalangan kaum dhu’afa, faqier miskin dan yatim piatu, sungguh sangat semarak.

 

Silaturahim antar para pemimpin (umara), ulama dan umat begitu sejuk dan nyaman saling bersambung ukhuwah dan meningkatkan kerja sama. Ramadhan suasana yang semakin meneguhkan spiritual values (nilai-nilai spiritual) dan moral yang sangat memberi manfaat kebaikan tersambungnya silaturahim, sekaligus ishlah (rekonsiliasi alami dan damai) antara berbagai lapisan sosial.

 

Wajah bulan suci di negeri khatulistiwa ini menambah khidmat, saat saudara dan sahabat berbeda agama dan keyakinan penuh rasa hormat dan toleransi memuliakan saudara umat Islam yang berpuasa.

 

Semoga, semangat harmoni yang kokoh dalam segala aspek kehidupan yang menjadi tradisi dan budaya kehidupan keumatan dan kebangsaan tetap terus bersemi, terus tumbuh bak indahnya warna warni bunga di taman kehidupan yang indah dan membahagiakan.

 

Secara pribadi, keluarga dan sebagai Waketum PP DMI saya sampaikan selamat merayakan  Idul Fitri, teriring haturkan mohon maaf lahir dan batin.

 

Taqabballlohu minna waminkum taqabbal yaa kariem.

 

Oleh Komjen Pol H Syafruddin, Wakil Ketua Umum PP Dewan Masjid Indonesia (DMI)

 

REPUBLIKA

Pelajaran dari Penjual Sate tentang Kebahagiaan

PRIA ini dijuluki sebagai penjual sate senior. Warung satenya terkenal dari generasi zaman dahulu, tak tergeserkan oleh warung sate yang lain. Kata para pelanggan, satenya khas, dari daging pilihan, dibakar secara tradisional memakai arang batok kelapa, dimulai dengan basmalah dan dikipas dengan bibir tersenyum sambil bershalawat. Nama warungnya: Warung Sate ALAMI.

Saya tertarik mendengar kisah kehidupan pemilik warung ini. Bukan tentang membuat sate enak, melainkan tentang tetap tersenyum di hadapan bara api yang panas untuk waktu yang sangat panjang dan sering. Apa rahasia ketabahannya? Subhanallah. Jawabannya sungguh mengagumkan. Asa nilai filosofis yang layak direnungkan.

Pertama, beliau berkata: “Berdiri di dekat bara api senantiasa mengingatkan kami sekeluarga bahwa api itu panas. Bagaimana dengan panasnya api neraka? Maka pantang bagi kami sekeluarga untuk melanggar hukum agama. Selalulah saya bershalawat dengan harapan saya mendapat syafaat.”

Kedua, beliau melanjutkan ucap: “Kalau tahu bahwa bara api itu panas, maka jangan dipegang. Tangan akan terbakar melepuh dan hancur. Jangan sentuh dan lepaskan saja. Menggenggam bara adalah menyakitkan, melepaskannya adalah kebahagiaan. Kebencian adalah bara, dendam adalah bara, irihati dan dengki adalah bara, maka lepaskanlah dari diri kita.”

Luar biasa sekali pelajaran tukang sate ini, bukan? Jangan pelihara segala yang membuat hidup kita panas menderita, teruslah menjaga segala hal yang membuat hidup sejuk bahagia.

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

 

INILAH MOZAIK