Seputar Polemik Riba

Baru-baru ini jagad media sosial diramaikan oleh diskusi mengenai lemahnya derajat hadis Nabi SAW yang mengaitkan antara dosa riba dengan dosa zina. Namun sayangnya, ada indikasi bahwa dari diskursus hadis tersebut, muncul penggiringan opini bahwa bunga bank diarahkan menjadi persoalan khilafiyah, yaitu persoalan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Dengan kata lain, apakah bunga bank itu riba atau bukan, itu dianggap sebagai persoalan perbedaan interpretasi. Pada akhirnya kesimpulan tersebut menimbulkan persepsi liar di tengah umat, terutama di antara mereka yang masih belum teredukasi dengan baik mengenai konsep riba dan upaya yang dilakukan untuk keluar dari sistim riba melalui pengembangan sistim keuangan syariah. Apalagi kemudian ditambah dengan viralnya penjelasan salah seorang ustaz pengasuh rubrik fiqh di salah satu website terkemuka, yang kemudian membahas tentang munculnya akad-akad baru yang tidak ditemukan di zaman Nabi SAW, yang memungkinkan akad pada simpanan / tabungan di bank konvensional menjadi “halal”.

Sayangnya, yang baru dibahas oleh sang pengasuh rubrik tersebut adalah bunga pada sisi tabungan saja, sementara pada sisi penyaluran, yaitu adanya suku bunga kredit maupun suku bunga bank sentral (sebagai suku bunga acuan), tidak dibahas sama sekali. Padahal, selisih antara suku bunga kredit dengan suku bunga tabungan, ditambah fee-based income, itulah yang menjadi sumber utama keuntungan pada bank konvensional. Karena itu, merespons diskursus yang muncul, saya melihat ada tiga hal pokok yang perlu disampaikan kepada publik secara jelas.

Pertama, derajat lemahnya satu atau dua hadits terkait riba, terutama yang terkait dengan zina, tidak otomatis mereduksi makna riba sebagai salah satu dosa besar yang harus kita hindari. Hal ini dikarenakan adanya dalil-dalil lain yang menunjukkan haramnya riba dan posisi riba sebagai dosa besar yang harus kita tinggalkan. Sebagai contoh adalah dalil dalam Alquran tentang riba yang diturunkan sebanyak empat tahap, yaitu : (i) tahap 1 (QS 30:39), berupa perbandingan antara riba dengan zakat; (ii) tahap 2 (QS 4 : 160-161), dimana Allah mulai mengancam pelaku dosa riba dengan siksa yang pedih; (iii) tahap 3 (QS 3 : 130), dimana Allah mengharamkan sebagian riba, yaitu riba yang berlipat ganda (adh’aafan mudhoo’afah), yang prosentasenya minimal 100 persen dan ini disebut haromul juz’i (pengharaman sebagian); dan (iv) tahap 4 (QS 2: 275-281), dimana keharaman riba, berapapun prosentasenya bersifat final.

Bahkan di dalam QS 2: 278-279, Allah SWT mengajak berperang pada para pelaku dosa riba, dimana hal yang sama, yaitu ajakan berperang secara eksplisit, tidak kita temukan secara tersurat di dalam Alquran untuk para pelaku dosa yang lain. Ini menunjukkan bahwa dosa riba tidak bisa dianggap enteng. Demikian pula banyak hadis-hadis shahih, seperti riwayat Bukhari dan Muslim, yang menggambarkan larangan riba dan siksa yang akan Allah timpakan kepada para pelaku dosa riba, baik yang memberi riba, menerima riba, mencatat riba, dan menjadi saksi atas transaksi ribawi. Karena itu, kita harus melihat dalil-dalil secara komprehensif sehingga tidak salah dalam mengambil kesimpulan.

Kedua, bahwa bunga bank adalah riba, itu sudah final dan telah menjadi kesepakatan (ijma) para ulama kontemporer. Hal ini dibuktikan oleh fatwa-fatwa majelis-majelis/dewan ulama di berbagai negara, termasuk fatwa Majelis Ulama Indonesia. Fatwa MUI No 1 Tahun 2004 secara tegas menyatakan bahwa praktik bunga dalam perbankan konvensional telah memenuhi kriteria riba an-nasiah, sehingga haram hukumnya. Kalaupun ada yang memiliki pandangan berbeda, seperti pendapat Syaikh Muhammad Sayyid Tanthawi rahimahullah, maka sebaiknya kita merujuk pada fatwa majelis ulama.

Khusus mengenai Syaikh Tanthawi rahimahullah, telah banyak artikel yang kemudian mengkritisi pendapat beliau. Ghani (2009) misalnya, menyatakan bahwa pendapat Syaikh Tanthawi mengandung sejumlah kelemahan. Sebagai contoh, Syaikh Tanthawi menyatakan bahwa riba itu hanya terkait dengan al-qurudh al-istihlakiyyah, yaitu pinjaman pada barang/komoditas yang mudah rusak, seperti makanan dan minuman. Pendapat ini kurang tepat karena pada saat ayat-ayat tentang riba diturunkan, maka itu terkait riba yang dilaksanakan paman Nabi, yaitu Abbas bin Abdul Muthallib ra.

Abbas ra mengembangkan riba istitsmar yaitu riba yang terkait dengan barang-barang investasi, yang kemudian diperdagangkan di wilayah Syam yang saat itu memerlukan waktu 2-3 bulan perjalanan dari Madinah. Dalam keterangan lain dinyatakan, dari Atho dan Ikrimah keduanya mengatakan bahwa ayat-ayat tentang riba ini diturunkan pada Abbas dan juga Utsman bin Affan. Setelah turun ayat-ayat ini, maka kedua sahabat radiyallaahu ‘anhuma itu kemudian hanya mengambil modalnya saja dan tidak mengambil ribanya.

Contoh kedua, Syaikh Tanthawi rahimullah menyatakan bahwa hubungan bank dan nasabah adalah hubungan principal-agent yang didasarkan pada akad wakalah. Nasabah (muwakkil) mewakilkan kepada bank konvensional (wakil) untuk mengelola dananya. Namun demikian, pendapat ini kurang tepat karena faktanya, praktik wakalah tidak terjadi. Tidak ada kontrak/perjanjian yang menunjukkan adanya akad wakalah (Ghani, 2009).

Misalnya, ujrah atau fee yang diterima wakil harus disebutkan secara jelas dalam kontrak. Kenyataannya, pada praktik konvensional, fee ini tidak disebutkan. Yang ada justru bank konvensional di awal menjanjikanreturn/bunga yang bersifat tetap dengan prosentase tertentu dari jumlah uang yang ditabungkan/disimpan nasabah. Padahal dalam wakalah, mestinya keuntungan dan kerugian itu menjadi domain muwakkil, dan wakil hanya menerima fee berdasarkan prosentase atau jumlah tertentu sebagai balas jasa atas pengelolaan dana yang dilakukannya.

Masih ada contoh-contoh kekurangtepatan lainnya. Meski demikian, kita tetap menghormati beliau sebagai salah seorang ulama besar abad ini. Sementara kalau kita lihat dari sisi penyaluran dana, bank konvensional jelas menyalurkan kredit dengan akad pinjaman yang disertai bunga, sebagai keuntungan yang dinikmatinya. Ini jelas riba.

Ketiga, meski bunga adalah riba, dan keharaman riba sudah final, namun dalam praktiknya kita perlu melakukan transformasi sistim ekonomi ribawi ini secara bertahap. Di sinilah indahnya ajaran Islam, dimana pelaksanaan ajaran agama kita ini harus dilakukan dengan bijak, memperhatikan kondisi yang ada, dan dilakukan secara bertahap, sistematis dan terukur. Tidak asal main ubah yang justru berpotensi menciptakan kemadharatan yang lebih besar.

Karena itu, dalam mengembangkan sistim ekonomi dan keuangan, termasuk perbankan yang bebas riba, diperlukan tahapan yang jelas, yang mencakup tiga variabel utama. Yaitu : (i) edukasi masyarakat; (ii) pengembangan kelembagaan ekonomi dan keuangan syariah; dan (iii) penguatan regulasi yang berpihak pada pengembangan sistim ekonomi dan keuangan syariah.

Pada sisi edukasi, kita perlu terus menerus mengkampanyekan peningkatan literasi ekonomi dan keuangan syariah masyarakat. Pada sisi kelembagaan, kita perlu dorong kelembagaan ekonomi dan keuangan syariah yang profesional, kompetitif, dan memiliki value proposition yang jelas, sehingga publik bisa merasakan keunikan dan kelebihan sistim berbasis syariah dibandingkan konvensional, sehingga perlahan tapi pasti, institusi ekonomi syariah ini akan menjadi market leader.

Sebagai contoh, para praktisi perbankan syariah harus bisa menampilkan proposisi nilai dan kualitas layanan yang unik dan baik kepada masyarakat, sehingga posisi perbankan syariah yang saat ini menjadi market followerbisa naik kelas menjadi market challenger, sebelum menjadi market leader.Inovasi produk yang bersifat genuine atau orisinal berbasis syariah perlu untuk terus didorong dan dikembangkan.

Sementara dari sisi regulasi, kita perlu terus menerus mendorong keberpihakan negara untuk mengeluarkan beragam kebijakan yang mendukung pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Insya Allah kalau ini bisa dilakukan dengan baik, maka peran institusi dan instrumen ekonomi dan keuangan syariah, akan semakin signifikan di Tanah Air. Semoga. Waallaahu a’lam.

Oleh: Irfan Syauqi Beik, Direktur CIBEST IPB dan Pusat Kajian Strategis Baznas

 

REPUBLIKA

Di Balik Anjuran-Anjuran Agama

Pernakah kita mencoba menguak dan mempelajari apa yang terkandung dalam anjuran- anjuran agama? Dari hal yang terkecil, larangan kencing berdiri, misalnya. Mengapa Rasulullah SAW lebih sering menekankan agar tidak kencing berdiri.

At-Tirmidzi dalam karyanya al-Manhiyyat menyebutkan pesan yang ada di balik larangan kencing dengan posisi berdiri. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah, Rasulullah menegaskan hal itu.

Menurut analisis al-Hakim, ada dua motif pelarangan tersebut. Alasan yang pertama, posisi berdiri saat kencing rawan terkena percikan air seni. Sedangkan, najis yang diaki- batkan oleh kelalaian saat buang air kecil tersebut bisa berujung pada siksa di alam kubur.

Riwayat lain yang dinukil oleh Thabrani dan dan al-Bazzar menjelaskan peringatan tersebut. Rasulullah bersabda, Pastikanlah kalian bersih dari (najis) air seni karena sesungguhnya sebagian besar azab kubur akibat (najis) air seni.

Karenanya, Rasulullah di riwayat lainnya menganjurkan agar kencing sambil duduk.

Sedangkan, motif yang kedua dari larangan kencing berdiri ialah berkenaan dengan kesehatan yang bersangkutan.

Menurut tokoh yang terusir dari Tirmidz lalu pindah ke Balkh lantaran menulis kitab yang dianggap kontroversial, yaitu Khatm al- Awliya’dan ‘Ilal asy-Syari’at, posisi berdiri kurang mendukung bagi kelancaran membuang air seni.

Di saat berdiri, vena terus aktif dan jantung tetap memompa darah dengan kencang.

Semuanya bermuara di jantung. Berbeda dengan posisi duduk. Dengan posisi ini, jantung akan perlahan mengalami rileksasi.

Dengan duduk pula, saluran kencing akan mudah terbuka dan semakin melancarkan.

Kesemuanya itu tidak didapatkan lewat posisi berdiri. Dalam agama memang ada sebagian perintah ataupun larangan dalam yang bersifat ta’abbudi(transendental) dan ada pula yang dikategorikan sebagai ta’lili (bisa dirasionalisasikan). Baik yang bersumber dari Kalam Allah SWT ataupun hadis yang disabdakan oleh Rasulullah SAW.

Tapi, tak semua pesan yang tersim pan di balik kedua hal terse- but mampu ditangkap oleh akal manusia. Berangkat dari fakta ini, muncul sejumlah karya yang mencoba menguak hikmah dari sebuah perintah atau larangan. Salah satunya datang dari al- Hakim at-Tirmidzi (ia bukan Imam Tirmidzi yang pakar hadis).

At-Tirmidzi pakar hadis bernama Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmizi (279 H). Tokoh yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Basyar al- Hakim at-Tirmidzi itu berusaha menguraikan pesan yang terkandung di balik larangan ataupun anjuran-anjuran yang pernah disampaikan oleh Rasulullah.

Ia membatasi ulasannya hanya pada hadis-hadis Rasulullah dengan dejarat kesahihan yang beragam. Uraiannya itu diperkuat dengan argumentasi yang berasal dari Alquran, riwayat hadis lainnya, dan pendapat para ulama. Penjelasannya sangat sederhana.

Karenanya, pembahasan kitab yang salah satu naskah manuskripnya masih tersimpan di Dar al-Kutub, Kairo, Mesir, itu mudah dibaca dan tak terlalu sulit memahaminya.

Tapi, analisis dan pembacaan pesan yang tersimpan dalam hadis Rasulullah oleh tokoh yang berasal dari Tirmidz, sebuah daerah yang kini berada di wilayah Uzbekistan dan sebagian barat Kazakstan, tersebut tergolong mendalam.

Hal ini tak terlepas dari latar belakang tasawuf dan ilmu olah spiritual yang ia dalami.

Kedalamannya itu juga tampak di beberapa karyanya. Sebut saja, Ilal al-Ubudiyyah, Syarh as-Shalat wa Maqashiduha, al-Hajju wa Asraruhu,dan tentunya mahakaryanya yang ter kenal, yaitu Khatm al-Awliya.’ Dalam pembukaan kitabnya, tokoh yang hidup hingga 320 H tersebut menegaskan satu poin penting.

Bahwasanya, semua larangan yang diberlakukan oleh Rasulullah kepada umatnya memiliki tujuan positif dan benar. Bila peringatan dan larangan itu diikuti maka yang bersangkutan akan tetap berada dalam kebenaran. Sebaliknya, bila dilanggar maka ia telah tergelincir dari hidayah-Nya.

Fakta bahwa hadis larangan memiliki motif dan tujuan ini tak terbantahkan. Hanya, barang kali tidak kasatmata oleh kebanyakan orang. Kesimpulannya itu sangat berasalan.

Hal ini terlihat jelas pada upa ya nya menyibak tabir di 170 hadis tentang etika hidup sehari- hari yang ia kutip dalam kitab al- Manhiyyat. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.

(QS al-Hasyr [59]: 7).

Tingkatan Menurutnya, larangan-larangan yang disampaikan oleh Rasulullah dalam sabdanya memiliki tingkatan yang berbeda. Dalam pandangan sosok yang dibesarkan oleh iklim intelektulitas yang heterogen di Khurasan kala itu, larangan-larangan Rasulullah yang tersebar di berba- gai riwayat dapat dikategorikan menjadi dua bagian utama, yaitu la rangan untuk alasan etika (nahy adab) dan larangan karena ada unsur haram (nahy tahrim).

Yang dimaksud dengan nahyadab ialah perkara yang dilarang oleh Allah untuk dilakukan. Tingkatan larangannya tidak terlalu kuat. Indikasinya bisa ditangkap dari teks itu sendiri. Misalnya, larangan untuk bertanya tentang hal-hal yang rumit kepada Rasulullah.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.(QS al-Maidah [6]: 101).

Sedangkan, pengertian nahy tahrim, ialah larangan yang bersifat pasti dan mutlak.

Seba gaimana kategori sebelumnya, larangan ini bisa diketahui dari teks. Misalnya, larangan mengonsumsi bangkai, darah, dan daging babi.

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah [394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul. (QS al-Maidah [5]: 3).

Nahy tersebut bersifat mutlak, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Siapa pun yang melanggarnya terancam siksa. Berbeda dengan nahy adab,mereka yang melakukannya tidak disiksa.

Dari total 170 hadis yang ia uraikan, tokoh yang memutuskan terjun di dunia tasawuf saat berusia 27 tahun itu, menitikberatkan pada hadis-hadis adab. Keseluruhan menyangkut etika dan norma-norma hidup sehari- hari.

Larangan-larangan Rasulullah yang tersebar di berba- gai riwayat dapat dikategorikan menjadi dua bagian utama, yaitu larangan untuk alasan etika (nahy adab)

dan larangan karena ada unsur haram (nahy tahrim).

Dari Soal Berbusana Hingga Riba

Hadis yang pertama kali ia uraikan ialah menyangkut tata cara berbusana yang baik.

Di antaranya ialah hadis riwayat Bukhari Muslim dan sejumlah imam hadis lainnya larangan memakai baju (jubah atau gamis–Red) dengan posisi duduk sementara kedua pahanya terlihat. Cara seperti ini dilakukan dengan bajunya terlipat separuh.

Apa maskud di balik larangan itu? Menurut ulama yang belajar hadis di Nisaphur pada 285 H itu, mengenakan pakaian dengan cara demikian akan memudahkan aurat tampak.

Apalagi, bila yang bersangkutan tidak memakai pakaian dalam. Ketika masa awal Islam hadir di tengah-tengah masyarakat Jahiliyah, mereka belum terbiasa menutup aurat.

Bahkan, tatkala mereka melaksanakan thawaf di Ka’bah sekalipun. Aurat mereka terlihat.

Maka, saat Islam datang, bangsa Arab diperintahkan untuk menutup aurat mereka sebisa mungkin dan menjaga pandangan agar tidak melihat aurat orang lain. Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya. (QS an-Nuur [24] 31).

Larangan yang tersebut dalam hadis di atas, pada dasarnya ialah bentuk pendisiplinan kepada mereka. Dan, menutup karyanya tersebut, al-Hakim menjelaskan tentang larangan mengadakan transkaksi menggunakan emas ditukar dengan emas.

Larangan itu berlaku selama nila dan kadarnya tidak setara.

Bila jual-beli dengan emas sementara nilainya berbeda, maka menurut sosok yang terinspirasi dan belajar agama dari sang ayah, Syekh Ali, praktik semacam ini dikategorikan riba.

Dan, riba adalah perbuatan yang tidak diperkenankan dalam agama. Selain itu pula, riba merugikan salah satu atau kedua belah pihak.

Inilah Manfaat Puasa Syawal yang Perlu Diketahui (Bagian 3)

Inilah Manfaat Puasa Syawal yang Perlu Diketahui (Bagian 2)

Amal seorang mukmin tidak akan pernah habis hingga ajalnya datang. Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menjadikan batas bagi amalan seorang mukmin selain ajal.” Hasan Al-Bashri lantas membacakan firman Allah,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 99).

Semua bulan, tahun, malam, dan siang adalah takdir bagi waktu pelaksanaan ibadah, kemudian berakhir dengan cepat dan semuanya berlalu.

Dzat yang telah menciptakan itu semua memperindahnya serta mengkhususkannya dengan keutamaan, lalu yang membuatnya sirna adalah Allah Yang Mahakekal dan Maha Esa. Dia selalu mengawasi dan menyaksikan amalan para hamba-Nya.

Mahasuci Allah yang membolak-balikkan para hamba-Nya di antara pergantian waktu-waktu yang berisi amal kebaikan. Dengan itu semua, Allah menyempurnakan kenikmatan kepada mereka, Dia memberlakukan hamba-Nya dengan Sifat Pemurah-Nya.

Ketika dua bulan mulia ini berlalu, awalnya adalah bulan haram (Sya’ban) dan akhirnya adalah bulan puasa (Ramadhan), kemudian setelah dua bulan ini datanglah tiga bulan untuk melaksanakan haji ke Baitullah (Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah). Sebagaimana halnya orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan serta shalat pada malam harinya, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka begitu juga siapa saja yang pergi haji ke Baitullah tanpa melakukan kekejian dan kefasikan, maka ia akan kembali dari dosa-dosanya sebagaimana pada hari ia dilahirkan ibunya.

Tidaklah berlalu umur seorang mukmin sesaat, melainkan pada yang saat itu ada hak Allah atas dirinya untuk melakukan ketaatan, seorang mukmin berpindah-pindah antara tugas-tugas ketaatan ini, ia mendekatkan diri dengannya kepada Allah Ta’ala dalam keadaan penuh harap dan takut.

Tanda diterimanya amalan seseorang adalah ketika selesai melaksanakan sebuah ketaatan, maka ia akan melanjutkan dengan ketaatan lain, sebaliknya tanda ditolak adalah setelah ketaatan itu, ia melakukan kemaksiatan.

Alangkah baiknya suatu kebaikan yang dilakukan setelah keburukan karena itu bisa menghapuskannya dan lebih baik lagi kebaikan yang mendatangkan kebaikan lain setelahnya. Selain itu, alangkah buruknya suatu keburukan yang dilakukan setelah kebaikan karena bisa menghapuskan dan menguranginya.

Mintalah keteguhan dan ketetapan hati kepada Allah hingga ajal menjelang, mintalah perlindungan kepada-Nya dari terbolak-baliknya hati, dan dari kekurangan amal setelah melakukan amal yang banyak. Alangkah menyedihkan seseorang yang terjerumus dalam kehinaan maksiat setelah melakukan ketaatan dan alangkah kejinya sifat rakus setelah seseorang merasa cukup.

Siapa saja yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan mengganti yang lebih baik daripada itu. Allah Ta’ala berfirman,

إِنْ يَعْلَمِ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ خَيْرًا يُؤْتِكُمْ خَيْرًا مِمَّا أُخِذَ مِنْكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ

Jika Allah mengetahui ada kebaikan di dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan yang lebih baik dari apa yang telah diambil darimu dan Dia akan mengampuni kamu” (QS. Al-Anfaal: 70).

Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang senantiasa melaksanakan ketaatan demi ketaatan di sepanjang tahun, bukan di bulan Ramadhan saja. Aamiin. Wallahu A’lam.

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

 

INILAH MOZAIK

Inilah Manfaat Puasa Syawal yang Perlu Diketahui (Bagian 2)

Lanjutan dari Inilah Manfaat Puasa Syawal yang Perlu Diketahui

Termasuk rasa syukur seorang hamba kepada Allah atas kemudahan, petunjuk, dan pertolongan-Nya untuk bisa melaksanakan puasa Ramadhan dan terampuninya dosa-dosanya adalah dengan berpuasa setelah mendapatkan nikmat tersebut.

Adapun membalas nikmat petunjuk Allah untuk bisa melaksanakan puasa dengan melakukan maksiat setelahnya, termasuk perbuatan orang yang mengubah nikmat Allah dengan kekufuran.

Kelima, amal ibadah yang dilakukan seorang hamba dalam rangka ber-taqarrub(mendekatkan diri) kepada Allah selama bulan Ramadhan tidak akan putus dengan berakhirnya bulan Ramadhan, sebaliknya hal tersebut tetap berlangsung selagi hamba tersebut masih hidup.

Ini adalah makna hadits yang menerangkan bahwa orang yang berpuasa setelah Ramadhan ibarat orang yang merangsek maju dalam medan pertempuran fi sabilillahsetelah bersiasat mundur.

Seseorang bertutur kepada Bisyr bahwa ada satu kaum yang beribadah dan bersungguh-sungguh pada bulan Ramadhan, maka ia mengataka, “Seburuk-buruknya kaum adalah mereka yang tidak mengetahui hak Allah kecuali hanya pada bulan Ramadhan. Sesungguhnya orang shalih adalah orang yang beribadah dan bersungguh-sungguh sepanjang tahun.”

Asy-Syibli pernah ditanya, “Manakah yang lebih utama, bulan Rajab atau Sya’ban?” Ia pun menjawab, “Jadilah kamu seorang yang Rabbani (taat kepada Allah sepanjang tahun) dan jangan menjadi Sya’bani (taat kepada Allah hanya pada bulan Sya’ban)

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melaksanakan amal ibadahnya secara kontinu. Aisyah Radhiyallahu Anha pernah ditanya, “Apakah pernah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallammengkhususkan satu hari tertentu untuk ibadah?” Ia menjawab, “Tidak! Beliau melakukan amalannya secara kontinu.” (HR. Al-Bukhari).

Aisyah Radhiyallahu Anha juga menuturkan,

مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menambah (jumlah rakaat shalat sunnah pada malam hari), baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, melebihi sebelas rakaat.” (HR. Al-Bukhari)

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga mengqadha` (mengganti) apa yang terlewatkan dari kegiatan rutin beliau di Ramadhan pada bulan Syawal. Beliau pernah tidak beri’tikaf sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, maka beliau mengqadhanya pada bulan Syawal, yaitu beliau beri’tikaf sepuluh hari pertama dari bulan Syawal. Hal ini seperti diterangkan dalam hadits shahih riwayat Al-Bukhari.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya kepada salah seorang shahabat, apakah ia puasa pada awal Sya’ban? Orang itu menjawab, “Tidak,” Beliau pun memerintahkan shahabat itu untuk berpuasa setelah hari raya, yakni mengqadha` apa yang terlewatkan dari puasa Sya’ban pada bulan Syawal.

Dalam sebuah riwayat dari Ummu Salamah Radhiyallahu Anha disebutkan bahwa beliau memerintahkan keluarganya untuk mengqada puasa Ramadhan.

Ummu mengatakan, “Siapa saja yang memiliki hutang puasa Ramadhan, maka hendaknya ia segera bayarkan sehari setelah hari raya pada bulan Syawal, karena hal tersebut lebih membebaskan diri dari tanggungan dan membayar puasa wajib lebih utama daripada puasa sunnah enam hari dari bulan Syawal.”

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

 

INILAH MOZAIK

Inilah Manfaat Puasa Syawal yang Perlu Diketahui

Di antara amalan yang dusunnahkan setelah bulan Ramadhan adalah puasa Syawal selama 6 hari secara berturut-turut atau terpisah. Sungguh, melaksanakan puasa sunnah di bulan Syawal memiliki banyak manfaat di antaranya adalah seperti yang disebutkan dalam kitab Latha’if Al-Ma’arif Fima Lil Mawasim Min Wazha`if karya Ibnu Rajab.

Pertama, puasa enam hari pada bulan Syawal setelah Ramadhan menyempurnakan pahala puasa setahun penuh seperti yang telah dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Kedua, puasa bulan Syawal dan Sya’ban seperti shalat sunnah rawatib yang dilakukan sebelum dan sesudah shalat fardhu sehingga bisa menyempurnakan kekurangan yang terjadi pada puasa Ramadhan.

Amalan-amalan fardhu kelak pada hari Kiamat disempurnakan dengan amalan sunnah sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari berbagai jalur.

Sebagian kaum muslimin melaksanakan puasa Ramadhan mengalami kekurangan dan celah, maka mereka memerlukan sesuatu yang bisa menutup, menambal, dan menyempurnakannya.

Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah pernah mengatakan, “Siapa saja yang tidak mendapatkan sesuatu untuk ia sedekahkan, maka hendaknya ia berpuasa.”

Ketiga, membiasakan puasa setelah Ramadhan menjadi pertanda diterimanya puasa Ramadhan seseorang, karena jika Allah Ta’ala menerima amalan hamba, maka Dia menunjukinya untuk melakukan amal shalih sesuah amalan tersebut.

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, “Pahala dari kebaikan adalah kebaikan yang dilakukan sesudahnya.” Siapa saja yang melakukan satu kebaikan kemudian mengikutinya dengan kebaikan lain, maka hal tersebut merupakan pertanda amalannya yang pertama diterima.

Keempat, puasa Ramadhan itu mengharuskan adanya ampunan atas dosa-dosa seseorang yang lampau sebagaimana telah dijelaskan bahwa orang-orang yang berpuasa Ramadhan akan dipenuhi pahalanya kelak pada hari raya.

Oleh karena itu, membiasakan diri dengan puasa sesudah hari raya adalah sebagai bentuk syukur atas nikmat tersebut, tidak ada nikmat yang lebih besar daripada terampuninya dosa-dosa.

Dalam sebuah riwayat dinyatakan, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bangun shalat malam hingga kedua kaki beliau bengkak, lalu ada yang bertanya,

“Mengapa Anda lakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang dahulu maupun yang akan datang?”

Beliau menjawab, “Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?” (Muttafaq Alaih).

Allah Ta’ala memerintahkan para hamba-Nya untuk mensyukuri nikmat puasa Ramadhan dengan menampakkan dzikir kepada-Nya dan beragam bentuk rasa syukur lainnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185).

 

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Cemburu, Tabiat setiap Wanita

SEBAGAIMANA fenomena yang kita lihat dalam kehidupan tangga pada umumnya, tampaklah bahwa sifat cemburu itu sudah menjadi tabiat setiap wanita, siapapun orangnya dan bagaimanapun kedudukannya.

Akan tetapi, hendaklah perasaan cemburu ini dapat dikendalikan sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan masalah yang bisa menghancurkan kehidupan rumah tangga.

Berikut beberapa nasihat yang perlu diperhatikan oleh para istri untuk menjaga keharmonisan kehidupan rumah tangga, sehingga tidak ternodai oleh pengaruh perasaan cemburu yang berlebihan.

Seorang isteri hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersikap pertengahan dalam hal cemburu terhadap suami. Sikap pertengahan dalam setiap perkara merupakan bagian dari kesempurnaan agama dan akal seseorang. Dikatakan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:

“Hai ‘Aisyah, bersikaplah lemah-lembut, sebab jika Allah menginginkan kebaikan pada sebuah keluarga, maka Dia menurunkan sifat kasih-Nya di tengah-tengah keluarga tersebut.”

Dan sepatutnya seorang isteri meringankan rasa cemburu kepada suami, sebab bila rasa cemburu tersebut melampaui batas, bisa berubah menjadi tuduhan tanpa dasar, serta dapat menyulut api di hatinya yang mungkin tidak akan pernah padam, bahkan akan menimbulkan perselisihan di antara suami dan melukai hati sang suami. Sedangkan isteri akan terus hanyut mengikuti hawa nafsunya.

Wanita pencemburu, lebih melihat permasalahan dengan perasaan hatinya daripada indera matanya. Ia lebih berbicara dengan nafsu emosinya dari pada pertimbangan akal sehatnya. Sehingga sesuatu masalah menjadi berbalik dari yang sebenarnya. Hendaklah hal ini disadari oleh kaum wanita, agar mereka tidak berlebihan mengikuti perasaan, namun juga mempergunakan akal sehat dalam melihat suatu permasalahan.

Dari kisah-kisah kecemburuan sebagian istri Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, bisa diambil pelajaran berharga, bahwa sepatutnya seorang wanita yang sedang dilanda cemburu agar menahan dirinya, sehingga perasaan cemburu tersebut tidak mendorongnya melakukan pelanggaran syariat, berbuat zhalim, ataupun mengambil sesuatu yang bukan haknya. Maka janganlah mengikuti perasaan secara membabi buta.

Seorang istri yang bijaksana, ia tidak akan menyulut api cemburu suaminya. Misalnya, dengan memuji laki-laki lain di hadapannya atau menampakkan kekaguman terhadap laki-laki lain di hadapannya atau menampakkan kekagumman terhadap laki-laki lain, baik pakaiannya, gaya bicaranya, kekuatan fisiknya dan kecerdasannya. Bahkan sangat menyakitkan hati suami, jika seorang isteri membicarakan tentang suami pertamanya atau sebelumnya.

Rata-rata laki-laki tidak menyukai itu semua. Karena tanpa disadarinya, pujian tersebut bermuatan merendahkan kejantanannya, serta mengurangi nilai kelaki-lakiannya, meski tujuan penyebutan itu semua adalah baik. Bahkan, walaupun suami bersumpah tidak terpengaruh oleh ungkapannya tersebut, tetapi seorang istri jangan melakukannya. Sebab, seorang suami berat melupakan itu semua.

Ketahuilah wahai para istri! Bahwa yang menjadi keinginan laki-laki di lubuk hatinya adalah jangan sampai ada orang lain dalam hati dan jiwamu. Tanamlah dalam dirimu bahwa tidak ada lelaki yang terbaik, termulia, dan lainnya selain dia.

Wahai para istri! Jadikanlah perasaan cemburu kepada suami sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepadanya. Jangan menjadikan ia menoleh kepada wanita lain yang lebih cantik darimu. Berhias dirilah, jaga penampilan di hadapannya agar engkau selalu dicintai dan disayanginya.

Cintailah sepenuh hatimu, sehingga suami tidak membutuhkan cinta selain darimu. Bahagiakan ia dengan seluruh jiwa, perasaan dan daya tarikmu, sehingga suami tidak mau berpisah atau menjauh darimu. Berikan padanya kesempatan istirahat yang cukup. Perdengarkan di telinganya sebaik-baik perkataan yang engkau miliki dan yang paling ia senangi.

Wahai, para istri! Janganlah engkau mencela kecuali pada dirimu sendiri, bila saat suamimu datang wajahnya dalam keadaan bermuram durja. Jangan menuduh salah kecuali pada dirimu sendiri, bila suamimu lebih memilih melihat orang lain dan memalingkan wajah darimu. Dan jangan pula mengeluh bila engkau mendapatkan suamimu lebih suka di luar daripada duduk di dekatmu.

Tanyakan kepada dirimu, mana perhatianmu kepadanya? Mana kesibukanmu untuknya? Dan mana pilihan kata-kata manis yang engkau persembahkan kepadanya, serta senyum memikat dan penampilan menawan yang semestinya engkau berikan kepadanya? Sungguh engkau telah berubah di hadapannya, sehingga berubah pula sikapnya kepadamu, lebih dari itu, engkau melemparkan tuduhan terhadapnya karena cemburu butamu.

Dan ingatlah wahai para istri! Suamimu tidak mencari perempuan selain dirimu. Dia mencintaimu, bekerja untukmu, hidup senantiasa bersamamu, bukan dengan yang lainnya. Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ikutilah petunjuk-Nya dan percayalah sepenuhnya kepada suamimu setelah percaya kepada Allah yang senantiasa menjaga hamba-hamba-Nya yang selalu menjaga perintah-perintah-Nya, lalu tunaikanlah yang menjadi kewajibanmu.

Jauhilah perasaan was-was, karena setan selalu berusaha untuk merusak dan mengotori hatimu. [alsofwah]

 

INILAH MOZAIK

Satu Kebijakan Pemimpin yang Salah ialah Kezaliman

DARI Ma’qil bin Yasir Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seorang hamba yang Allah memberikan kesempatan kepadanya untuk mengatur rakyat (bawahan), tatkala (hari dimana) dia meninggal dunia, sementara ia dalam kondisi berbuat Ghisy kepada rakyatnya, kecuali Allah akan mengharamkan baginya surga.” (HR Bukhari nomor 6617, versi Fathul Bari nomor 7150 dan Muslim nomor 3509, versi Syarh Muslim nomor 142)

Telah kita sebutkan bahwasanya pemimpin yang adil akan dinaungi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat di padang Masyhar tatkala matahari diturunkan kira-kira 1 mil. Sebaliknya, kalau ada seorang pemimpin yang tidak adil maka dia telah melakukan dosa yang sangat berbahaya.

Kenapa? Karena ketidakadilannya. Karena kezhalimannya. Karena perbuatan ghisy nya berkaitan dengan banyak orang. Berbuat zalim kepada satu orang dengan dua orang berbeda, apa lagi berbuat zalim dengan seribu orang atau bahkan satu juta orang, berbahaya!

Bayangkan! Misalnya ada seorang gubernur mengeluarkan satu peraturan yang ternyata gubernur tersebut zalim dalam peraturannya tersebut. Misalnya gubernur itu membuat aturan demi kemaslahatan dirinya dan peraturan tersebut memberi kemudharatan kepada rakyat banyak, maka betapa banyak dosa yang akan dia tanggung. Betapa banyak orang akan menuntut dia pada hari kiamat dalam persidangan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka, seorang pemimpin (penguasa) hendaknya memikirkan hal ini, terutama kepada saudara-saudara kita yang bekerja di pemerintahan sebagai pegawai negeri.

Telah kita sebutkan bahwa hadis ini mencakup pemimpin yang paling utama (raja), gubernur, kemudian juga pemimpin-pemimpin kecil baik menteri maupun pemimpin-pemimpin lain seperti lurah, kepala bagian yang dia memiliki anak buah, maka dia harus melakukan yang terbaik bagi anak buahnya.

Ingat! Pemimpin itu bukanlah bekerja untuk dirinya, pemimpin adalah wakil yang ditugaskan bekerja untuk kemaslahatan rakyat. Pemimpin bekerja bukan untuk kemaslahatan dirinya tetapi untuk rakyat.

Oleh karenanya Imam Syafi’i berkata, “Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan seorang wali terhadap yatim.”

Kita tahu anak yatim, apabila orang tuanya meninggal dunia maka ada walinya, misalnya Om nya atau kakaknya. Wali tersebut harus mengurus harta anak yatim tersebut dengan baik.

Bagaimana dia mengurus yang terbaik buat anak yatim? Dalam syariat dalam mengurus anak yatim dibolehkan seorang wali makan dari hasil anak yatim itu, namun dia tidak boleh membohongi anak yatim tersebut, misalnya mengambil banyak harta anak yatim tersebut sehingga anak yatim tersebut terlantar.

Apabila ini terjadi maka dia telah melakukan ghisy. Sama seperti pemimpin, pemimpin tatkala bersikap dengan rakyat seakan-akan dia bersikap di hadapan anak yatim. Bagaimana sikap dia?

Dia harus berusaha yang terbaik baik bagi anak yatim (rakyat) tersebut. Apabila seorang pemimpin melakukan amalan demi kemaslahatan dirinya kemudian dia mengorbankan kemaslahatan rakyat, maka dia terancam dengan neraka Jahannam dan akan diharmkan surga baginya.

Oleh karenanya sebagian ulam mengatakan, “Pemimpin yang zalim (pemimpin yang melakukan ghisy, tidak melakukan yang terbaik bagi rakyatnya atau bawahannya) adalah yang berusaha meraih kebahagiaan pribadi dengan mengorbankan kebahagiaan banyak orang.”

Kebahagiaan rakyat dikorbankan. Kebahagiaan masyarakat dia korbankan. Demi untuk kepentingan pribadi (kemaslahatan pribadi). Sebagaimana dalam kaidah, “Balasan sesuai dengan perbuatan.”

Maka pada hari kiamat kelak Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengambil kebahagian dia (pemimpin tersebut) karena selama di dunia dia telah mengambil kebahagiaan masyarakat. Maka Allah akan masukan dia ke dalam neraka Jahannam dan Allah akan haramkan baginya surga.

Ini ancaman yang sangat besar. Oleh karenanya, seorang pemimpin hendaknya benar-benar bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga dia bisa melakukan yang terbaik bagi rakyatnya dan dia akan memperoleh pahala yang sangat banyak.

Menjadi pemimpin yang adil yang akan dinaungi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat kelak. Dan perlu saya ingatkan kepada para pemimpin atau yang memiliki kedudukan (jabatan) yang memiliki bawahan, bahwa seorang pemimpin harus berusaha melakukan perbaikan (nahi mungkar).

Dan dalam melakukan perbaikan tidak mesti harus terjadi perbaikan secara total. Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa nahi mungkar ada 2 (dua) tingkatan (martabat) yaitu:

1. Tingkatan yang pertama, ini yang terbaik, adalah merubah segala kemungkaran menjadi kebaikan (terjadi perubahan total 100 persen). Ini yang diharapkan, tapi tidak semua orang bisa melakukannya, tidak semua kondisi mendukungnya.

2. Tingkatan yang kedua, mengurangi kemungkaran. Kita mungkin memiliki jabatan dan masuk ke dalam sistem, kemudian sistem itu rusak (misalnya) ada praktek korupsi. Banyak praktek-praktek yang harm sehingga mengorbankan masyarakat dan yang lainnya.

Apabila kita tidak bisa merubah secara total hendaknya kita melakukan perbaikan. Tatkala kita melakukan proses perbaikan, sesungguhnya kita sedang bernahi mungkar dan kitapun dapat pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kenapa? Karena ada perbaikan yang kita usahakan.

Oleh karenanya ini yang bisa dilakukan oleh para pegawai negeri: melakukan sesuai prosedur, melakukan perubahan demi perbaikan. Jangan sampai sebaliknya: menyalahi prosedur, melakukan kecurangan, menerima harta haram, mengorbankan masyarakat, menarik uang sebanyak mungkin dari masyarakat.

Ingat! Apabila dia melakukan seperti ini maka dia akan binasa kelak pada hari kiamat. [Ustadz Firanda Andirja, MA]

INILAH MOZAIK

Mengunjungi Guru

Alhamdulillah, rasa syukur yang mendalam patutlah dipanjatkan ke hadirat Ilahi atas limpahan karunia yang tak terhingga. Kita telah usai menjalani ibadah puasa dan merasakan keceriaan Hari Raya Idul Fitri 1439 H di seluruh penjuru negeri. Kiranya, pendidikan (tarbiyah) dan pelatihan (riyadhah) yang dilalui di madrasah Ramadhan dapat menjadi bekal dalam menata diri dan sistem sosial Islami yang lebih baik.

Esensi Idul Fitri itu kembali kepada kesucian diri sebab dosa kepada Allah SWT dan manusia sudah diampuni.Lebaran pun menjadi momentum saling memaafkan, menyambung silaturahim dengan orang tua, guru, kerabat, dan handai tolan. Mudik ke kampung halaman sebagai wujud dari pesan Nabi SAW, Barang siapa yang ingin dilapangkan rezeki dan dipanjangkan umur maka hendaklah menyambung tali kasih sayang.” (HR Bukhari).

Bersama keluarga, saya pun mudik ke pelosok Labusel, Sumatra Utara. Menelusuri jalan darat lebih dari 4.200 km dan melalui tujuh provinsi. Sejatinya bukan sekadar touring biasa, melainkan memaknainya sebagai perjalanan hidup yang hakiki menuju Tuhan (QS 18:110). Menikmati luasnya hamparan bumi nan indah, menengok ragam keunikan karakter manusia dan saling bertegur sapa. Bak kata pepatah, Lama hidup banyak dirasa, jauh berjalan banyak dilihat, pandai bergaul banyak sahabat.”

Mudik kali ini begitu berkesan. Setelah ziarah ke kubur orang tua yang melahirkan (kandung) dan yang menikahkan (mertua), lalu mengunjungi orang tua yang mengajarkan (guru). Mencari empat guru di kota yang berbeda dan sudah puluhan tahun tidak bersua.

Pertama, Pak Ngatiyo. Guru SD tahun 1983 nan bersahaja. Beliau pandai bercerita dan memotivasi, hingga terngiang sampai saat ini. Mengetahui kunjungan saya, beliau pun rela menunggu di pinggir jalan raya. Memang tidak mudah menemukan rumahnya. Namun, atas pertolongan Allah SWT juga, usaha pun tak sia-sia.

Kedua, Ibu Zuriah. Guru madrasah tsanawiyah di Merbau tahun 1987. Berbekal sedikit kenangan lama, saya pun bertanya kepada siapa saja yang mungkin mengenalnya.Walau tiada alamat dan nomor telepon yang dapat dihubungi, rupanya Allah SWT memudahkan murid menemui guru yang sudah 31 tahun lamanya tidak berjumpa.

Ketiga, Ibu Nur Hamidah. Guru bahasa Arab MAN Padang Sidempuan. Walaupun sejak lulus tahun 1990 tidak pernah bertemu lagi, tidak sulit mencari rumahnya karena tidak jauh dari sekolah. Saya juga pernah mengirimkan buku pertama, Karunia tak Ternilai, dan dijadikan rujukan dalam pengajian.

Keempat, Abang Bakiri Dasopang. Sewaktu masih kecil dahulu, beliau sering ceramah ke kampung. Juga membantu masuk ke madrasah aliyah dan mengantarkan kuliah ke Jakarta tahun 1990. Ketulusannya menjadi wasilah untuk mengubah nasib kehidupan hingga pencapaian saat ini.

Tak terkirakan rasa haru, bangga, dan bahagia saat bertemu dengan mereka setelah sekian lama tak jumpa. Peluk an rindu dan tangis bahagia pun meliputi suasana penuh syah du.Awalnya mereka tak lagi mengenal. Namun, se orang guru tak pernah melupakan muridnya. Saya pun minta petuah dan doa dalam mengarungi jalan dakwah, terutama untuk ananda Ihza yang hendak kuliah ke al-Azhar, Kairo, Mesir.

Teringat nasihat orang bijak, Kunci keberhasilan itu pandai berbakti kepada kedua orang tua dan memuliakan guru. Kiranya upaya menjalin silaturahim kepada orang tercinta dan berjasa menjadi pembuka jalan rezeki dan kebaikan. Insya Allah anak dan murid kita pun kelak pandai berbakti, aamiin. Allahu a’lam bish-shawab.

Oleh: DR Hasan Basri Tanjung

 

REPUBLIKA

Malu Berbuat Buruk

Ada sebagian orang yang tidak merasa malu berbuat buruk. Sebaliknya, ada sebagian orang yang justru malu berbuat baik. Rasulullah pernah bersabda, Sesungguhnya kalimat kenabian pertama yang didapatkan manusia adalah: jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu! (HR Abu Dawud)

Malu selain merupakan tabiat manusia, ia sesungguhnya adalah salah satu akhlak mulia orang beriman. Rasulullah bersabda, Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu. (HR Ibnu Majah dari Anas bin Malik). Apa saja yang dihiasi malu, maka ia akan menjadi indah, seperti ditegaskan beliau, Tidaklah perasaan malu ada pada sesuatu, kecuali akan mem buatnya menjadi indah. (HR at-Tirmidzi dari Anas bin Malik).

Malu juga selalu mendatangkan kebaikan, Malu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan. (HR al-Bukhari dari Imran bin Hushain). Malu dalam hal ini adalah malu dalam melakukan perbuatan buruk atau jahat. Juga malu melakukan maksiat. Baik itu maksiat terhadap Allah maupun terhadap sesama.

Maksiat kepada Allah, misalnya, melanggar aturan-aturan-Nya yang sudah digariskan dalam Alquran dan petunjuk Rasulullah. Maksiat terha dap sesama manusia, misalnya, berbuat jahat atau menzalimi manusia, menyakiti manusia, dan seterusnya. Juga malu jika tidak berbuat baik atau beramal saleh dalam kehidupan.

Rasulullah pernah mengatakan, Malulah kalian kepada Allah. Para Sahabat berkata, Rasulullah, kami telah bersikap malu kepada Allah, alhamdulillah. Beliau bersabda, Bukan demikian. Tetapi, sesungguhnya sikap malu dengan sebenarbenarnya kepada Allah adalah menjaga kepala dan apa yang ada padanya, menjaga perut dan yang dikandungnya, serta mengingat kematian dan akan datangnya kebinasaan.

Siapa saja yang menginginkan kehidupan akhirat, dia akan meninggalkan perhiasan dunia. Siapa saja yang melakukan hal itu, maka ia telah bersikap malu dengan sebenar-benarnya kepada Allah. (HR at- Tirmidzi dari Abdullah bin Mas’ud). Malu disebutkan juga merupakan salah satu cabang iman, yang berarti merupakan karakter orang beriman, seperti dijelaskan Rasulullah, Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih.

Dan, malu adalah salah satu cabang iman. (HR al-Bukhari dari Abu Hurairah). Beliau juga menegaskan, Malu adalah bagian dari iman, dan iman di dalam surga. (HR at-Tirmidzi dari Abu Hurairah). Beliau juga mengatakan, Sesungguhnya malu dan iman adalah kedua hal yang beriringan. Jika salah satu diangkat, ma ka terangkat pula yang lainnya. (HR al-Hakim dari Ibnu Umar).

Ketika manusia telah kehilangan rasa malu, ia akan melakukan apa pun sesuai yang diinginkan hawa nafsunya. Tidak peduli apakah yang dilakukan melanggar hukum dan aturan ataupun tidak. Baginya, yang penting apa yang diinginkan didapatkan.

Betapa banyak kita saksikan atau kita dengar di sekitar kita, bahkan orang yang telah terbukti secara jelas melakukan pelanggaran hukum, seperti korupsi, suap-menyuap, menghilangkan nyawa orang, dan sejenisnya, di depan orangorang tersenyum malah tertawa, seperti tidak merasa bersalah. Benarlah apa yang dikatakan Nabi di atas, Jika kalian tidak punya rasa malu, berbuatlah sekehendakmu.

Rasulullah mengingatkan kita untuk menumbuhkan dan membiasakan kembali rasa malu dalam diri kita, kemudian melekat kan rasa ini selamanya. Inilah rasa yang bisa mengon trol dan mengendalikan kita dari perbuatan-perbuatan buruk, sekaligus menumbuhkan dorongan untuk melakukan banyak kebaikan setiap saat dan di manapun. Malu menjadi bagian penting ba gi terciptanya perubahan menuju kepada kehidupan yang lebih baik untuk semuanya.

Orang beriman mesti malu berbuat buruk dan malu jika tidak berbuat baik. Jika ini dilakukan, niscaya hidup akan lebih bermakna. Allah berfirman, Beramallah kamu, maka Allah dan Rasul- Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS at-Taubah [9] : 105). Wallahu a’lam.

 

REPUBLIKA

Jangan Berpakaian Hitam Saat Kematian

KITA sering menyaksikan hampir setiap ada kematian, banyak orang-orang yang melayat atau keluarga yang tengah berduka, menggunakan pakaian serba hitam. Apakah syariat Islam mengajarkan hal itu?

Ternyata, tengenakan pakaian hitam saat tertimpa musibah, terutama karena kematian anggota keluarga, merupakan simbol yang tidak ada asalnya.

Seharusnya ketika seseorang yang tertimpa musibah melaksanakan hal-hal yang telah diajarkan syariat, yaitu mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Allahumma ajirni fi mushibati wa akhlifli khoiron minha (Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami dikembalikan. Ya Allah berilah aku pahala dalam musibahku ini dan berilah aku pengganti yang lebih baik).

Jika ia mengucapkannya dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, Allah Subhanahu wa Taala akan membalasnya dengan pahala dan memberikan pengganti yang lebih baik.

Adapun menggunakan pakaian tertentu, misalnya pakaian hitam atau lainnya, tidak ada asalnya, bahkan ini merupakan perkara batil dan tercela. []

Sumber : Fatawa al-Marah, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 65 dan Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, Darul Haq Cetakan VI 2010