Month: February 2019
Sambunghlah Tali Silaturahmi,…
Peristiwa dan Hikmah Semasa Nabi Muhammad di Madinah
SEJARAWAN Perancis, Gustave Le Bon (1841-1931) dalam bukunya yang berjudul, “La Civilization des Arabes” pernah membuat statemen menarik mengenai Nabi Muhammad ﷺ, “Jika nilai seorang diukur dari amal mulia yang dilakukannya, maka Muhammad adalah di antara orang paling agung yang pernah dikenal sejarah.” (1989: 135). Paling tidak, 10 tahun selama di Madinah, akan terlihat bagaimana kinerja Rasulullah ﷺ yang menunjukkan kapasitasnya sebagaimana pujian orientalis kenamaan tersebut.
Tulisan ini tentu saja tidak akan membahas detail-detail peristiwanya selama di Madinah, namun yang diangkat adalah beberapa poin penting yang dirasa mewakili amal beliau ketika di Madinah.
Pertama, saat pertama kali datang di Madinah ada enam hal besar yang dilakukan nabi: membangun masjid, mempersaudarakan kaum muhajirin dan Anshar, membuat piagam madinah, penguatan militer, terus melakukan pembinaan pendidikan dan keilmuan, serta membangun pasar mandiri (Shallâbi, 2008: 299-388).
Bila diperhatikan secara saksama, keenam hal besar itu adalah kinerja besar yang menjadi asas berdirinya daulah di Madinah. Masjid menjadi pusat oprasional negara; pemersaudaraan Muhajirin dan Anshar sebagai langkah strategis untuk menjaga persatuan dan kesatuan internal umat; Piagam Madinah sebagai nota kesepakatan untuk menjaga kedamaian antar kelompok di luar Islam; penguatan militer melalui pengiriman ekspedisi sariyyah sebagai penguat stabilitas keamanan; pembinaan dari segi pendidikan dan keilmuan sebagai peningkatan mutu SDM; dan pembangunan pasar sebagai faktor fundamental untuk memperkuat ekonomi negara.
Kedua, ekspedisi militer. Selama sepuluh tahun di Madinah, ada dua istilah yang digunakan pakar sirah dalam menjelaskan ekspedisi militer yang dicanangkan nabi yaitu: ghazwah (yang dimimpin oleh nabi sendiri) dan sariyyah(yang dipimpin oleh sahabat). Dalam sirah, ghazwah dilakukan sebanyak 26 kali. Sedangkan sariyah dilakukan sebanyak 38 kali. Jadi, total ekspidisi militer yang dilakukan nabi selama di Madinah sebanyak 64 kali (Musthafa Sibâ`i, 1985: 79).
Ada yang unik dari ekspedisi militer yang diperintahkan nabi selama di Madinah. 1. Untuk membela diri dari serangan musuh 2. Melindungi keamanan dai dan dakwah 3. Ini menjadi alternatif terakhir ketika dakwah secara damai tidak diindahkan 4. Dilakukan dengan syarat-syarat dan adab-adab yang ketat 5. Semua tidak keluar dari jalur rahmatan lil `âlamîn. Peristiwa pembebasan kota Mekah pada tahun 8 hijriah, adalah bukti bahwa ketika ekspedisi militer sudah tidak dibutuhkan lagi, maka asas perdamaian akan diambil kembali.
Ketiga, sebagai kepala keluarga ketika di Madinah, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki 9 istri. Dilihat dari usia beliau 53 sampai 63 tahun, dengan berbagai kesibukan lain yang sedang dilakukan, mungkin akan membuat orang terperangah bagaimana kehebatan beliau dalam bidang manajemen. Mengurus istri satu saja terkadang sangat susah apalagi mengurus banyak istri.
Hanya saja, poligami ini kadang-kadang dijadikan celah bagi musuh Islam untuk menciderai citra Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak sekali yang berusaha mendiskreditkan nabi melalui bagian ini.
Untuk menjawab masalah syubhat poligami, Abbas al-Aqqâd memjawabnya dengan sangat baik: Jika nabi nikah karena semata syahwat, maka: dia akan menikahi 9 gadis sekaligus, padahal yang gadis ketika itu hanyalah Aisyah; pasca kematian Khadijah pun beliau tidak akan menikahi Saudah yang merupakan janda tua. Jika Nabi Muhammad ﷺ menikahi karena kecantikannya, maka tidak akan menikahi Zainab binti Jahsyin setelah menjadi menjadi janda Zaid bin Haritsah.
Sedangkan pernikahan beliau yang lain adalah disebabkan maslahat syar`i yang memang harus dilakukan. Di sisi lain, selama masa muda, ia terkenal sebagai pemuda yang pandai menjaga kesucian diri. Di samping itu, selama 25 tahun bersama Khadijah beliau setia dan tak pernah poligami (Abqariyah Muhammad, 109, 110).
Keempat, universalitas dakwah Islam. Bila di Mekah sudah terbukti keuniversalitasan Islam, maka di Madinah semakin diperteguh. Masuk Islamnya Salman Al-Farisi, Abdullah bin Salam dan surat yang dikirimkan beliau pada tahun ketujuh kepada raja-raja dunia pada masanya adalah sebagai bukti bahwa Islam adalah agama universal untuk semua manusia.
Kelima, ketika Nabi Muhammad wafat, Islam sudah sempurnah sebagaimana yang digambarkan Surah Al-Maidah [5] ayat: 3. Di sepanjang sejarah yang dilalui beliau menyimpan banyak benih-benih keteladanan yang bisa dicontoh oleh setiap muslim sampai hari kiamat.
Sepeninggal beliau, melalui para penerusnya, Islam mampu menjadi soko guru peradaban dunia. Ini adalah pembuktian dari hadits nabi ﷺ,
إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِىَ الأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِى سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِىَ لِى مِنْهَا
“Sesungguhnya Allah menghimpun bumi untukku lalu aku melihat timur dan baratnya dan sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai yang dihimpunkan untukku…” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi).*/Mahmud Budi Setiawan
Amphuri: Jamaah Umrah Alami Penurunan
Asosiasi Muslim Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Amphuri) menyebut pada awal tahun ini bisnis ibadah umrah mengalami penurunan cukup signifikan. Berdasarkan catatan Amphuri, pada akhir Januari 2019 masyarakat Indonesia yang melakukan ibadah umrah sebesar 478 ribu jamaah.
Sekjen Amphuri Firman M Nur mengatakan angka tersebut merupakan akumulasi sejak September 2018. Dengan kata lain jumlah tersebut belum menyentuh 50 persen dari total keseluruhan jamaah yang melakukan ibadah umrah. “Awal tahun ini terjadi penurunan jamaah, sekarang ini akhir Januari 478 ribu jamaah yang baru berangkat, sudah dari September jadi belum sempat 50 persen. Padahal setiap tahun trennya kenaikan 15 persen,” ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis (14/2).
Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadi penurunan jamaah umrah pada awal tahun ini. Antara lain, munculnya regulasi yang kontra produktif antara pemerintah Indonesai dengan Saudi. “Visa progresif, kemudian isu proses biometrik. Efeknya adalah perlu effort lebih untuk melengkapi persyaratan adminitrasi untuk mendapatkan visa. Masalahnya Tasheel cenderung tidak bekerja sama dengan pemerintah Indonesia secara baik lalu memaksakan diri melayani langsung kepada masyarakat. Tentu problemnya jumlahnya besar, sebaran juga luas sehingga belum mencakup Tasheel itu sendiri,” ungkapnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Haji Umrah dan In-Bound Indonesia (Asphurindo), Magnatis Chaidir, memastikan VFS Tasheel memiliki izin. Akan tetapi, kata dia, izinnya bukan untuk mengambil data jamaah melalui rekam biometrik.
“Ada legalitasnya melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) cuma pengurusannya untuk perjalanan wisata. Jadi, bisa dibilang tidak sesuai legalitasnya karena izinnya wisata, tapi pada praktiknya mengambil data jamaah lewat rekam biometrik,” kata Magnatis, Ahad (6/1).
Magnatis menuturkan, karena jika VFS Tasheel ingin mengambil data untuk calon jamaah umrah, minimal harus ada izin dari dua kementerian terkait, yaitu Kemenag dan Kementerian Dalam Negeri. “Berarti dia (VFS Tasheel) harus mengantongi izin resmi dari Kementerian Agama yang mengurusi ibadah haji dan umrah. Dan, karena ini juga menyangkut data kependudukan, Kemendagri harus terlibat. Jadi, mereka harus meminta perizinan ke sana,” tegasnya.
Malu itu bagian Iman
Malu Sebagian dari Iman
PADA salah satu pertemuan kuliah dengan Prof. DR. Jumah Ali Abdul Qadir (almarhum), beliau menceritakan pengalamannya ketika mengajar di Universitas Ummul Qura Makkah Al-Mukarramah khusus untuk perempuan:
“Suatu kali ketika mengajarkan tafsir surat Ar-Rum ayat 4, saya bertanya kepada salah seorang mahasiswi, apa perbedaan antara kalimat “bidhun” dengan meng-kasrah-kan huruf ba dan “budhun” dengan men-dhammah-kan huruf ba?
Jawaban mahasiswi itu sangat mencengangkan. Jawaban yang menunjukkan dia seorang perempuan yang cerdas, paham, dihiasi oleh rasa malu dan kehormatan diri.
Mahasiswi itu berkata: “Adapun “bidhun” adalah bilangan antara 3 sampai 9, sedangkan “budhun” adalah sesuatu yang kita malu untuk menyebutkannya di depan orang lain.”
Jawaban ini sangat berkesan bagi saya sampai hari ini, ujar beliau melanjutkan cerita. Demikianlah seharusnya seorang yang mempunyai harga diri, ia harus menjaga bahasanya dari mengucapkan perkataan vulgar dan porno. Terutama dalam majelis ilmu dan forum-forum resmi seperti itu. Lebih-lebih lagi bila di sana hadir laki-laki dan perempuan. Hendaknya dijaga perasaan perempuan yang lebih halus dan lebih pemalu dari pada laki-laki.
Sekalipun seorang guru atau ustadz dituntut untuk menyampaikan sesuatu yang memalukan bila disebut dengan terang-terangan,seperti permasalahan yang berhubungan dengan perkara fikih, ia akan berusaha untuk mencari kosa kata yang bisa mewakili apa yang ia maksud, tapi terjauh dari bahasa yang tidak pantas. Namun orang yang mendengar tetap paham apa maksud perkataan itu.”
Apa yang diajarkan oleh DR. Jumah Ali ini sebenarnya penjelasan dari ajaran Alquran dan sunah Rasulullah. Di mana Alquran selalu memilih kosa kata yang sangat halus untuk mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan laki-laki dan perempuan atau suami-istri.
Contoh, ayat Alquran mengibaratkan istri itu dengan sawah ladang, dan pergaulan dengannya dipakai istilah bercocok tanam.
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 223)
Maha Mulia Allah yang menggunakan kalimat yang sangat mulia karena Alquran akan dibaca dalam salat dan tilawah.
Rasulullah pernah ditanya tentang seorang suami yang telah menceraikan istrinya sampai talak tiga, lalu mantan istrinya itu menikah dengan laki-laki lain. Sebelum digauli oleh suami barunya, ia ditalak oleh suami barunya itu. Apakah dengan demikian dia sudah halal menikah lagi dengan suami lamanya? Rasulullah menjawab:
“Belum, sampai suami barunya itu mencicipi madunya sebagaimana suaminya yang pertama telah mencicipinya”. (HR. Bukhari Muslim)
Perhatikanlah bagaimana bersih dan indahnya bahasa Rasulullah yang mengibaratkannya dengan madu.
Aisyah menceritakan, suatu kali seorang perempuan bertanya kepada Nabi, bagaimana caranya bersuci dari haid? Rasulullah menjawab, “Ambillah sepotong kapas yang sudah diolesi harum-haruman, kemudian bersihkan dengannya.”
Perempuan itu bertanya lagi, “Bagaimana cara membersihkannya?”
Rasulullah menjawab, “Bersihkanlah dengannya!”
Perempuan itu masih bertanya lagi, “Bagaimana?”
Lalu Rasulullah berkata sambil menutupi wajahnya dengan pakaian, “Subhanallah, bersihkanlah!”
Kemudian Aisyah melanjutkan ceritanya: Lalu aku menarik perempuan itu dengan kuat dan mengatakan kepadanya, “Bersihkan bekas darahnya dengan kapas itu!”
Meskipun pertanyaan perempuan itu sangat urgent demi kesucian dan kesempurnaan ibadahnya, namun Rasulullah tetap memakai bahasa yang sangat halus, yang paling pantas dengan fitrah pemalunya seorang perempuan. Rasulullah tidak hanya mementingkan bagaimana pesan tersampaikan, tapi juga menimbang cara dan kalimat yang paling terhormat.
Amat disayangkan pada masa kita ini, sebagian ustaz dan dai yang menyampaikan ceramah kurang memperhatikan hal ini. Bahkan seperti disengaja untuk memilih kosa kata vulgar demi membuat jemaah tertawa. Bagaimana kita akan mengajari umat perihal malu bila kalimat para penceramahnya tanpa sengaja mengikis malu sedikit demi sedikit. Atau dia bagaikan orang yang tidak ada malu di depan jemaahnya.
Bukankah ceramahnya itu juga akan didengar oleh anak-istri, ipar-besan, dan keluarga serta handai tolannya. Tidakkah ia malu dengan mereka semua?
Dalam sebuah hadis yang sangat masyhur Rasulullah bersabda:
“Malu itu sebagian dari iman.” (HR. Bukhari Muslim). [Ustaz Zulfi Akmal, Lc. MA/fimadani]
Kisah Apel dan Kegelisahan Umar bin Abdul Aziz
Hari itu cuaca begitu panas. Matahari sangat terik sejak pagi. Anak bungsu Khalifah Umar bin Abdul Aziz menghabiskan harinya dengan bermain sejak pagi. Ia pulang karena merasa sangat lapar.
Sesampainya di rumah, ia meminta makanan kepada ibunya. Namun, saat itu istri Khalifah, Fatimah, belum memasak sesuatu apa pun. “Pergilah berjumpa dengan ayahmu di baitul maal, mungkin dia dapat memberikan kamu sesuatu yang dapat dimakan,” ujar Fatimah pada anaknya.
7 Warna Kiswah dan Insiden Terbakarnya Penutup Ka’bah
Kiswah atau penutup Ka’bah tidak hanya berfungsi sebagai ‘selimut’, tetapi juga kiswah memiliki unsur estetika yang sangat tinggi dan diperhitungkan. Banyak sekali riwayat yang menyebutkan warna dari kiswah.
Setidaknya ada tujuh riwayat yang menyebutkan ragam warna kiswah, yaitu di antaranya yait coklat, merah, putih, kuning, hijau, hitam, dan warna keemasan.
Masing-masing warna ini pernah menjadi warna utama kiswah dalam catatan sejarah. Akan tetapi warna yang paling mendominasi adalah warna hitam, hingga sekarang.
Perpaduan warnanya bisa berganti-ganti, terkadang penuh satu warna, atau dua warna yaitu warna dasar dan warna sekunder untuk pemanis. Seperti yang tampak sekarang, warna keemasan sebagai warna untuk teks ayat Alquran, sedangkan warna dasarnya adalah warna hitam.
Warna merah dan putih juga pernah dikombinasi sebagai warna kiswah ketika menggunakan kain dari Yaman.
Brokat dan sutra merupakan bahan yang sering digunakan untuk kiswah. Biasanya kiswah tersebu terdiri dari beberapa kain yang disusun dan di bagian paling atas adalah kiswah yang bertuliskan ayat-ayat Alquran.
Pergantian kiswah memang semula tidak ada ketentuannya, namun belakangan kiswah diganti setiap tahun sekali. Biasanya kiswah diganti pada 10 Muharram, awal Rajah, 27 Ramadhan, hari tarwiyah,, atau ketika 10 Dzulhijjah.
Pada masa Rasulullah SAW dan umat Islam menaklukkan Makkha, Rasul memilih tidak mengganti kiswah yang diletakkan oleh Suku Quraish dan tetap mempertahankannya.
Kiswah tersebut diganti ketika terbakar akibat seorang perempuan yang membakar dupa di sekitar Ka’bah.
Jumat, Hari Istimewa Umat Islam: Yuk Muliakan!
ALLAH Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar akan memberi putusan di antara mereka di hari kiamat terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu.” (QS. an-Nahl: 124).
Ibnu Katsir menjelaskan tafsir ayat ini,
Allah menentukan setiap penganut agama untuk memilih satu hari istimewa dalam sepekan. Hari untuk berkumpul bersama dalam rangka melakukan ibadah. Allah syariatkan untuk umat ini (umat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam) agar mereka memuliakan hari jumat. Karena itu hari keenam, di mana Allah sempurnakan makhluk-Nya. Dan itu nikmat sempurna bagi mereka.
Selanjutnya Ibnu Katsir menyebutkan keterangan sebagian ahli tafsir,
Ada yang menyatakan bahwa Allah mensyariatkan kepada bani Israil melalui Musa untuk memuliakan hari jumat. Namun mereka menolaknya dan memilih hari sabtu. Mereka meyakini, di hari sabtu, Allah tidak menciptakan makhluk apapun, karena telah Allah sempurnakan di hari jumat. Akhirnya Allah tetapkan ibadah hari sabtu itu sebagai kewajiban untuk mereka dalam taurat. Allah wasiatkan agar mereka komitmen dengan hari sabtu dan berusaha menjaganya. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/612).
Demikian pula dengan nasrani. Al-Hafdiz Ibnu Katsir melajutkan keterangannya,
Mereka terus konsisten dengan ibadah hari sabtu, sampai Allah mengutus Isa bin Maryam. Selanjutnya ada banyak versi di sana. Ada yang mengatakan, Allah memindahkannya kepada hari ahad. Ada yang mengatakan, mereka tidak meninggalkan syariat taurat, selain beberapa hukum yang dihapus dengan injil. Mereka terus konsisten dengan hari sabtu, hingga Allah mengangkat Isa. Kemudian, oleh orang nasrani, itu diubah menjadi hari ahad di zaman kerajaan Konstatinopel. Agar berbeda dengan orang yahudi. Mereka juga melakukan salat menghadap ke timur, ke arah batu di timur al-Aqsha. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/612).
Karena itulah, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sangat membanggakan adanya hari jumat. Karena berarti kita benar. Kita memuliakan hari jumat, dan itu sesuai dengan apa yang Allah pilihkan. Sementara pilihan yahudi dan nasrani meleset.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menceritakan, Ketika hari jumat, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengingatkan,
“Kita adalah umat terakhir namun pertama di hari kiamat. Kitalahlah yang pertama kali masuk surga. Meskipun mereka mendapatkan kitab suci sebelum kita dan kita mendapatkan kitab suci setelah mereka. Lalu mereka menyimpang dan kita ditunjukkan Allah kepada kebenaran dalam hal yang mereka perselisihkan. Inilah hari mereka yang mereka menyimpang darinya dan Allah tunjukkan kepada kita. Beliau bersabda lagi: Hari jumat adalah hari kita dan esoknya hari Yahudi dan setelah besok adalah hari nasrani.” (HR Muslim 2017).
Sudah selayaknya kaum muslimin bersyukur dengan dijadikannya hari jumat sebagai hari besar untuk mereka dalam setiap pekan. Saatnya memuliakan hari jumat. Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits]
Kontroversi Hukum Mandi Jumatan Sebelum Ngantor
PENDAPAT yang benar, bahwa mandi Jumat dikaitkan dengan kewajiban melaksanakan Jumatan. Di antara dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadis dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian menghadiri Jumatan, hendaknya dia mandi.” (HR. Ahmad 5289, Bukhari 877 dan yang lainnya).
Dan inilah yang dipahami para sahabat. Ibnu Umar radhiallahu anhuma pernah mengatakan: “Mandi Jumat hanya wajib bagi orang yang wajib jumatan.” (HR. Bukhari secara Muallaq).
Dan tujuan utama adanya perintah mandi sebelum jumatan adalah agar kaum muslimin tidak terganggu dengan bau badan temannya selama di masjid. Aisyah Radhiyallahu anha menceritakan,
Dulu para sahabat mendatangi jumatan berangkat dari rumah mereka di pelosok. Mereka datang di masjid dengan baju berdebu, dan keringat yang mencemarkan aroma yang tidak sedap. Suatu ketika, salah satu di antara mereka mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Ketika itu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sedang di rumahku. Karena mencium bau yang tidak sedap, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengatakan,
“Mengapa kalian tidak mandi hari ini?” (HR. Muslim 1995 & Ibnu Hibban 1237).
Apakah Harus Mengulang Mandi?
Ulama berbeda pendapat. Dalam mazhab Malikiyah, mandi jumat harus bersambung dengan jumatan. Sehingga sekalipun seseorang telah mandi di pagi hari, dia harus mengulang mandinya ketika hendak berangkat jumatan. Imam al-Baji menyebutkan dalam Syarh al-Muwatha,
Imam Malik mengatakan, Siapa yang mandi pada hari jumat di pagi hari dengan niat untuk mandi jumat, maka mandi yang dia lakukan tidak sah. Sampai dia ulang mandi sebelum berangkat jumatan. (al-Muntaqa Syarh al-Muwatha, 1/186).
Ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama. Mereka tidak mempersyaratkan bahwa mandi jumat harus bersambung dengan jumatan. Hanya saja, dianjurkan agar bersambung dengan berangkat jumatan. As-Syaukani dalam Nailul Authar mengatakan,
Ada tiga pendapat ulama tentang waktu mandi jumat, pertama, disyaratkan bersambung antara mandi dan berangkat jumatan. Ini merupakan pendapat Malik. Kedua, tidak disyaratkan harus bersambung, tapi tidak sah sebagai mandi jumat jika dikerjakan setelah jumatan, dan dianjurkan untuk diakhirkan menjelang berangkat jumatan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. (Nailul Authar, 1/290).
Kemudian as-Syaukani menyebutkan bahwa pendapat Imam Malik lebih kuat. Beliau mengatakan, “Dan yang lebih kuat adalah pendapat Imam Malik. Beliau memahami, hadis yang menyebutkan nama hari jumat untuk masalah mandi jumat, dikaitkan dengan waktu wajib jumatan.” (Nailul Authar, 1/290).
Sementara jumhur memahami bahwa istilah ghaslul jumah (mandi jumat) sifatnya mutlak. Bahkan beberapa hadis menyebutkan, “Mandi hari jumat.” Diantaranya hadis, “Mandi hari jumat itu wajib” (HR. Bukhari 895, Abu Daud 341 dan yang lainnya).
Karena mandi itu dilakukan di hari jumat, artinya tidak harus bersambung dengan berangkat jumatan. Selama itu dilakukan di hari jumat dan sebelum jumatan, maka sah sebagai mandi jumat. As-Syirbini ulama Syafiiyah mengatakan, “Waktu mandi jumat adalah sejak subuh. Karena hadis yang meyebutkan mandi jumat, dikaitkan dengan hari jumat.” (Mughni al-Muhtaj, 1/558).
Bagaiman dengan Bau Badan?
Mengingat hadis Aisyah di atas maka mereka yang telah mandi, kemudian keringatan hingga mengeluarkan bau badan, maka dia disyariatkan untuk mengulang mandinya. Bahkan Syaikh Abdurrahman As-Suhaim, dai ahlus sunah di Kementrian Wakaf dan Urusan Islam, Riyadh menyebutnya wajib. Mengingat hadis larangan mendekati masjid bagi orang yang makan bawang, karena bau mulutnya yang mengganggu,
Siapa yang makan bawang putih ini, -di riwayat lain beliau bersabda, “Barangsiapa makan bawang merah dan putih atau bawang bakung,”- janganlah dia mendekati masjid kami, karena malaikat terganggu dari bau yang mengganggu manusia.” (HR. Muslim 564)
Karena itu, sebisa mungkin, bagi anda yang telah mandi sebelum berangkat kerja kemudian keluar bau badan, hendaknya mengulangi mandinya agar tidak mengganggu jemaah yang lain. Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits]